II. TINJAUAN PUSTAKA A. Pengertian Agroforestri Agroforestri merupakan sebuah nama bagi sistem-sistem dan teknologi penggunaan lahan dimana pepohonan berumur panjang (termasuk semak, palem, bambu, kayu, dll) dan tanaman pangan dan atau pakan ternak berumur pendek diusahakan pada petak lahan yang sama dalam suatu pengaturan ruang dan waktu. Dalam sistem-sistem agroforestri terjadi interaksi ekologi, ekonomi antar unsurunsurnya (de Foresta 2000). Menurut Huxley (1999) dalam Indriyanto (2008), agroforestri merupakan sistem penggunaan lahan yang menyediakan bahan bakar maupun hasil lain dari tanaman pepohonan dan semak atau memberikan kenyamanan lingkungan yang disebabkan oleh tanaman pepohonan dan semak. Melalui kombinasi semacam ini diharapkan: a. dapat menciptakan komunitas tanaman yang memiliki strata tajuk, sehingga dapat mampu memaksimumkan penggunaan energi matahari, meminimumkan kehilangan unsur hara dari sistem tersebut. b. mengoptimumkan efisiensi penggunaan air oleh tanaman. c. meminimumkan aliran permukaan dan erosi. B. Pola Tanam Pola tanam dalam agroforestri sangat spesifik karena menyangkut berbagai komponen yang berbeda di dalamnya. Prinsip pola tanam dalam sistem agroforestri adalah bagaimana memanfaatkan ruang dan waktu secara optimal. Dalam usaha memanfaatkan ruang secara optimal ditempuh berbagai cara, diantaranya pengaturan jarak tanam, tata letak tanaman, perkembangan lapisan tajuk dan perakaran. Optimalisasi pemanfaatan unsur waktu dilakukan antara lain dengan pengaturan waktu tanam dan panen. Dengan pengaturan ruang dan waktu yang optimal diharapkan komponen yang satu tidak akan menekan komponen yang lain, akan tetapi sebaiknya yaitu terjadi saling menunjang antar komponen. Pola tanam dalam sistem agroforestri diatur sedemikian rupa sehingga pada tahap awal, dimana faktor naungan belum menjadi masalah, beberapa komponen dapat tumbuh bersamaan dalam satu lapisan tajuk. Pada tahap lanjut
4
sistem agroforestri akan menyerupai ekosistem hutan yang terdiri dari banyak lapisan tajuk. Lapisan tajuk atas ditempati jenis-jenis dominan, dibawahnya ditempati jenis-jenis yang kurang dominan yang tahan setengah naungan, kemudian lapisan bawah ditempati jenis-jenis tahan naungan (Sukandi et al. 2002). C. Pemilihan Jenis Pola agroforestri melibatkan berbagai jenis tanaman sebagai komponennya baik berupa pohon, perdu, liana maupun tanaman semusim. Di dalam memilih jenis-jenis tanaman yang akan dikembangkan perlu mempertimbangkan aspekaspek biofisik, sosial, ekonomi, dan budaya masyarakat. Aspek biofisik yang sangat berpengaruh adalah iklim/curah hujan, topografi, ketinggian tempat, dan lahan. Berdasarkan tinggi rendahnya curah hujan, wilayah Indonesia yang beriklim tropik dibedakan atas daerah humid, sub humid, dan semi arid. Pengembangan agroforestri di Indonesia bagian barat pada umumnya tidak mensyaratkan jenis-jenis yang tahan kering tetapi sebaliknya untuk wilayah Indonesia bagian timur, dengan banyaknya daerah yang mempunyai iklim semi arid perlu pemilihan jenis-jenis tanaman yang relatif tahan kekeringan (Sukandi et al. 2002). Pola agroforestri yang dikembangkan di daerah dataran tinggi dengan topografi yang umumnya bergelombang sampai berbukit dan ketersediaan air yang terbatas, berbeda dengan daerah dataran rendah dengan topografi yang lebih datar. Untuk daerah dataran tinggi, pemilihan jenis diarahkan pada jenis-jenis yang berakar dalam, misalnya mahoni, khaya, dan nangka disamping mempertimbangkan kecocokan jenis dengan lahan dan ketinggian tempat. Sedangkan untuk daerah hilir dan pantai dengan tiupan angin yang kencang lebih ditekankan untuk menggunakan pola tanam dengan menggunakan tanaman pagar, misalnya akasia dan mimba (Sukandi et al. 2002) Faktor ketinggian tempat sangat menentukan jenis-jenis tanaman yang akan digunakan karena setiap tanaman mempunyai batas toleransi terhadap ketinggian. Semakin tinggi suatu tempat dari muka laut maka temperatur semakin
5
rendah. Kondisi tanah dan luas lahan juga perlu mendapat pertimbangan dalam pemilihan jenis tanaman untuk pola agroforestri. Selain hal-hal tersebut, faktor lain yang perlu dipertimbangkan dalam pemilihan jenis, khusus untuk tanaman bawah adalah fase perkembangan suatu agroforestri. Pada fase awal (sampai dua atau tiga tahun pertama) dapat dipilih tanaman semusim yang membutuhkan cahaya penuh untuk pertumbuhan dan produksinya seperti padi, jagung, dan kacang-kacangan. Tetapi pada fase lanjut (mulai tahun ketiga atau keempat dan seterusnya), dimana tajuk dari tanaman pohon-pohonan sudah saling menutup, sehingga cahaya matahari yang sampai ke permukaan tanah hanya sedikit, maka harus dipilih jenis-jenis tanaman bawah yang tahan naungan seperti empon-empon (kunyit, jahe, laos, temu lawak), ubi jalar, bengkuang, dan lainnya (Sukandi et al. 2002). D. Manfaat Sistem Agroforestri Sebagaimana pemanfaatan lahan lainnya, agroforestri dikembangkan untuk memberikan manfaat kepada manusia atau meningkatkan kesejahteraan masyarakat. Agroforestri diharapkan dapat memecahkan berbagai masalah pengembangan pedesaan dan seringkali sifatnya mendesak. Agroforestri utamanya diharapkan dapat membantu mengoptimalkan hasil suatu bentuk penggunaan lahan secara berkelanjutan guna menjamin dan memperbaiki kebutuhan hidup masyarakat. Dalam mewujudkan sasaran ini, agroforestri diharapkan lebih banyak memanfaatkan tenaga ataupun sumber daya sendiri (internal) dibandingkan sumber-sumber dari luar. Di samping itu agroforestri diharapkan dapat meningkatkan daya dukung ekologi manusia, khususnya di daerah pedesaan. Selain manfaat tersebut di atas, sistem agroforestri dapat memenuhi kaidah pengawetan tanah tanah dan air. Pada sistem ini pepohonan diharapkan dapat melindungi tanaman dari butiran air hujan, demikian juga dengan strata tajuk yang berlapis, sinar matahari dapat dimanfaatkan secara optimal sehingga dapat meningkatkan produktivitas lahan (Satjapradja 1982). Manfaat agroforestri lainnya adalah agroforestri dapat memberikan atau menyediakan lapangan pekerjaan baru, dapat meningkatkan hasil karena ruang tumbuh dimanfaatkan
6
seoptimal
mungkin
untuk
pertumbuhan
berbagai
jenis
tanaman
yang
dikombinasikan dalam suatu lahan. E. Mahoni (Swietenia macrophylla King.) Mahoni merupakan salah satu jenis pohon yang bisa mengurangi polusi udara sekitar 47% - 69% sehingga disebut sebagai pohon pelindung sekaligus filter udara dan daerah tangkapan air. Daun-daunnya bertugas menyerap polutanpolutan di sekitarnya. Tanaman ini butuh air yang cukup agar kelembaban tanah terjaga dan ditanam pada tempat yang cukup matahari (sinar langsung). Pohon Mahoni merupakan pohon penghasil kayu keras dan digunakan untuk perabot rumah tangga serta perabot ukiran. Kayu mahoni ini termasuk bahan meubel bernilai tinggi karena dekoratif dan mudah dikerjakan. Pohon mahoni ditanam secara luas di daerah tropis dalam program reboisasi dan penghijauan. Mahoni digunakan sebagai tanaman naungan dan kayu bakar dalam sistem agroforestri (Irwanto 2007). F. Keterangan Botani Tanaman mahoni yang tumbuh di Indonesia berasal dari Hindia Barat dan afrika. Tanaman ini mempunyai nama ilmiah Swietenia macrophyyla King. Tanaman ini dikelompokkan menjadi dua, yaitu mahoni berdaun kecil (Swietenia mahagony Jacq) dan mahoni berdaun besar (Swietenia macrophyyla King). Keduanya termasuk ke dalam famili Meliaceae. Sifat ekologis yang sangat penting untuk membedakan mahoni daun kecil dan mahoni daun besar yaitu kemampuan tumbuh di daerah kering. Dalam sistem klasifikasi, tanaman mahoni mempunyai penggolongan sebagai berikut: Divisi
: Spermatophyta
Kelas
: Angiospermae
Sub-kelas
: Dicotyledoneae
Ordo
: Rutales
Family
: Meliaceae
Genus
: Swietenia
Spesies
: Swietenia macrophylla King
7
Secara morfologis, tanaman mahoni memiliki tinggi antara 35-40 m, diameter batang mencapai 125 cm. batangnya lurus dan berbentuk silindris serta tidak berbanir. Kulit luar berwarna cokelat kehitaman, beralur dangkal seperti sisik, sedangkan kulit batang berwarna abu-abu dan halus ketika masih muda, berubah menjadi cokelat tua, menggelembung dan mengelupas setelah tua. Daun bertandan dan menyirip yang panjangnya berkisar 35-50 cm (Nurhasybi et al. 2001). G. Penyebaran dan Habitat Mahoni merupakan jenis pohon yang tumbuh di daerah lembab, menyebar secara alami dan dibudidayakan. Merupakan jenis asli dari Meksiko (Yucatan), bagian tengah dan utara Amerika Selatan (Wilayah Amazona). Penanaman secara luas terutama di Asia Selatan dan Pasifik, juga diintroduksi di Afrika Barat (Nurhasybi dan Sudrajat 2001). Sedangkan di Indonesia, menurut Martawijaya et al. (1981) dalam Nurhasybi dan Sudrajat (2001), pohon mahoni menyebar diseluruh Pulau Jawa. Tumbuh pada ketinggian 500-1400 mdpl dengan curah hujan 1920-4800 mm/th dan tumbuh pada tanah berdrainase baik serta toleran terhadap tanah liat dan basa. Tanaman mahoni ditanam di seluruh Jawa pada jenis tanah apapun. Mahoni merupakan salah satu jenis yang masih dapat tumbuh baik pada tanahtanah margalit yang buruk. Pada jenis tanah yang buruk, jarak tanamn mahoni sebaiknya 2x1 m, sedangkan pada tanah yang baik 3x1 m. Pada jenis tanah yang baik tidak ditanami jenis mahoni campuran dengan tanaman jati, karena tanaman mahoni dapat mengalahkan pertumbuhan jati (Yayasan Pembina Fakultas Kehutanan 1976). H. Sifat Umum Mahoni Menurut Nurhasybi dan Sudrajat (2001), pohon ini selalu hijau dengan tinggi antara 30 - 35 m. Kulit berwarna abu-abu dan halus ketika masih muda, berubah menjadi coklat tua, menggelembung dan mengelupas setelah tua. Daun bertandan dan menyirip yang panjangnya berkisar 35 - 50 cm, tersusun bergantian, halus berpasangan, 4 - 6 pasang tiap-daun, panjangnya berkisar 9 - 18 cm. Bunga kecil berwarna putih, panjang 10 - 20 cm, malai bercabang.
8
Buah kering merekah, umumnya berbentuk kapsul bercuping 5, keras, panjang 12 - 15 cm, abu-abu coklat, halus. Benih berwarna coklat, lonjong padat, bagian atas memanjang melengkapi menjadi sayap, panjangnya mencapai 7,5 - 15 cm dengan extensive air spaces (biji disebarkan oleh angin), jumlah biji sekitar 1800 2500 per Kg. tanaman mahoni mempunyai tajuk yang agak lebat, gugur daun tetapi tidak lama. Daunnya sukar terbakar, dan pada waktu muda tajuknya sempit. Jenis mahoni ini tergolong dalam tanaman yang tahan naungan, yang mampu bersaing dengan alang-alang (Yayasan Pembina Fakultas Kehutanan 1976).
I. Pengaruh Intensitas Cahaya Terhadap Pertumbuhan Cahaya digunakan oleh tanaman untuk proses fotosintesis. Hasil fotosintesis ini sangat berguna bagi pertumbuhan tanaman untuk membuat makanan yang penting untuk pertumbuhan. Semakin baik proses fotosintesis semakin baik pula pertumbuhan tanaman (Omon et al. 2007). Intensitas cahaya dapat mempengaruhi proses metabolisme dalam tanaman. Intensitas cahaya rendah pada umumnya disebabkan oleh naungan (Ardie 2006). Menurut Jumin (1989), faktor-faktor yang mempengaruhi fotosintesa diantaranya adalah suhu. Suhu berkorelasi dengan penangkapan cahaya matahari. Intensitas cahaya matahari tinggi, suhu juga tinggi. Sampai batas waktu tertentu laju fotosintesa meningkat dengan meningkatnya suhu. Tanaman beriklim sedang suhu maksimum untuk fotosintesa berkisar antara 20oC sampai 30oC. Pengaruh dari suhu yang rendah diantaranya adalah akan memperlambat aktivitas fisiologis. Sedangkan pengaruh dari suhu yang tinggi seringkali menyebabkan pertumbuhan yang menurun dan luka-luka pada pohon (Soekotj0 1976). Penerimaan radiasi surya di permukaan bumi sangat bervariasi menurut tempat dan waktu. Menurut tempat khususnya disebabkan oleh perbedaan letak lintang serta keadaan atmosfer terutama awan. Pada skala mikro arah lereng sangat menentukan jumlah radiasi yang diterima. Menurut waktu, perbedaan radiasi terjadi dalam sehari (dari pagi sampai sore hari) maupun secara musiman (dari hari ke hari) (Handoko 2005). Intensitas cahaya yang sangat tinggi lebih baik bagi pertumbuhan perakaran daripada pertumbuhan pucuk. Intensitas yang seperti ini
menyebabkan
transpirasi
yang
berlebihan
pada
tumbuhan,
yang
mengakibatkan batang-batang menjadi pendek, daun-daun yang tebal menjadi
9
kecil, bertambah banyaknya jaringan-jaringan pengangkut air, dan menurunnya pertumbuhan. Perkembangan dan pertumbuhan daun-daun terhalang jika intensitas cahaya sangat rendah (Soekotjo 1976). Besar kecil atau tinggi rendahnya energi sinar matahari yang diterima oleh suatu tempat bergantung pada lamanya sinar matahari yang bersinar langsung lahan tempat tersebut seperti berupa hutan, tanah kosong, tertutup rapat maupun yang lainnya. J. Sistem Perakaran Akar merupakan bagian pokok atau utama dari pertumbuhan yang biasanya mempunyai sifat-sifat seperti: 1. Merupakan bagian tumbuhan yang biasanya terdapat dalam tanah, dengan arah tumbuh ke pusat bumi atau menuju ke air, meninggalkan udara dan cahaya. 2. Tidak berbuku-buku, hal ini berarti tidak beruas dan tidak mendukung daundaun atau sisik-sisik maupun bagian lainnya. 3. Warna tidak hijau, biasanya keputih-putihan atau kekuning-kuningan. 4. Tumbuh terus pada ujungnya, tetapi umumnya pertumbuhannya masih kalah jika dibanding dengan batang. 5. Bentuknya meruncing sehingga lebih mudah untuk menembus tanah. Selain sifat-sifat diatas, akar suatu tumbuhan juga mempunyai beberapa fungsi yaitu untuk melekatkan tumbuhan pada tanah (memperkuat berdirinya tumbuhan), menyerap zat-zat makanan yang terlarut di dalam air dalam tanah, mengangkut air dan zat-zat makanan ke tempat-tempat pada tuuh tumbuhan yang diperlukan, dan sebagai tempat untuk penyimpanan cadangan makanan (Tjitrosoepomo 2005). Menurut Jumin (1989), bentuk dan kedalaman serta penyebaran akar akan mempengaruhi jumlah air yang dapat diserap oleh akar tanaman. Akar yang panjang dan kurus mempunyai luas permukaan yang lebih besar jika dibandingkan dengan akar yang tebal dan pendek, karena dapat menjelajahi sejumlah volume yang sama. Penyerapan air dapat terjadi dengan perpanjangan akar ke tempat baru yang masih banyak air. Akibatnya laju penyerapan dapat ditingkatkan.
10
Kedalaman perakaran sangat berpengaruh pada porsi air yang diserap. Makin panjang dan dalam akar menembus tanah, makin banyak air yang dapat diserap bila dibandingkan dengan perakaran yang pendek dan dangkal dalam waktu yang sama. Kedalaman akar berkurang dengan bertambahnya air tanah. Jumlah air yang diserap akar berkurang dengan bertambahnya kedalaman. Sistem tumpangsari dapat diatur berdasarkan sifat-sifat perakaran dan waktu penanaman. Pengaturan sifat-sifat perakaran sangat perlu untuk menghindarkan persaingan unsur hara dan air yang berasal dari dalam tanah. Sistem perakaran yang dalam ditumpangsarikan dengan tanaman yang berakar dangkal. Tanaman monokotil pada umumnya mempunyai sistem perakaran yang dangkal, sedangkan tanaman dikotil umumnya mempunyai perakaran yang dalam. Dalam pengaturan tanaman tumpangsari tanaman monokotil dengan tanaman dikotil dapat dilakukan jika dilihat dari sifat perakarannya (Jumin 2005). Sistem perakaran pada tumbuhan terdiri dari sistem perakaran tunggang dan serabut. Akar tunggang sistem perakarannya akan lebih jauh masuk ke dalam tanah, sementara akar serabut umumnya daerah perakarannya hanya pada lapisan atas tanah saja. Pertumbuhan akar yang menuju ke dalam tanah, identik dengan pertumbuhan batang ke arah atas, bedanya akar tidak berdaun, namun ada bulubulu akar untuk menyerap air dan zat hara dan ada tudung akar untuk menembus tanah. Melihat percabangan dan bentuknya, akar tunggang dapat dibedakan menjadi a) akar tunggang yang tidak bercabang atau sedikit bercabang, dan jika ada cabang-cabangnya terdiri atas akar-akar yang halus berbentuk serabut. Akar tunggang yang bersifat demikian seringkali berhubungan dengan fungsinya sebagai tempat penimbunan zat makanan cadangan lalu mempunyai bentuk yang istimewa. b) akar tunggang yang bercabang. Akar ini berbentuk kerucut panjang, tumbuh lurus ke bawah, bercabang-cabang banyak, sehingga member kekuatan yang lebih besar kepada batang dan juga daerah perakaran menajdi amat luas hingga dapat diserap air dan zat-zat yang lebih banyak. Susunan akar yang demikian terdapat pada pohon-pohon yang ditanam dari biji (Tjitrosoepomo 2005).
11
Berdasarkan sistem perakaran tersebut di atas, tumbuhan mahoni mempunyai sistem perakaran tunggang pada waktu muda, dimana akar tersebut sangat cepat tumbuhnya sehingga memerlukan solum tanah yang agak tebal, dan sedikit akar cabang, serta terdapat banyak akar permukaan yang panjang dengan akar tunggang yang dalam dengan banyak akar penghisap (Yayasan Pembina Fakultas Kehutanan 1976).