BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Tinjauan Pustaka 1. Kerangka Teori a. Tinjauan Tentang Praperadilan 1) Pengertian Praperadilan Praperadilan merupakan suatu hal yang baru dalam dunia peradilan di Indonesia. Praperadilan merupakan salah satu lembaga baru yang diperkenalkan didalam KUHAP di dalam kehidupan penegak hukum. Praperadilan dalam KUHAP, telah ditempatkan dalam BAB X, Bagian Kesatu, sebagai salah satu bagian ruang lingkup wewenang mengadili bagi Pengadilan Negeri. Ditinjau dari peradilan sendiri, Praperadilan bukan lembaga pengadilan yang berdiri sendiri. Buka pula sebagai instansi tingkat peradilan yang mempunyai wewenang memberi putusan akhir atas suatu kasus peristiwa pidana. Praperadilan hanya suatu lembaga baru yang ciri dan eksistensinya (M.Yahya Harahap, 2012: 1): a) Berada dan merupakan kesatuan yang melekat pada tingkat Pengadilan Negeri , dan sebagai lembaga pengadilan, hanya dijumpai pada tingkat Pengadilan Negeri sebagai satuan tugas yang tidak terpisah dari Pengadilan Negeri, b) Dengan demikian, Praperaddilan bukan berada di luar atau samping maupun sejajar dengan Pengadilan Negeri, tapi hanya merupakan divisi dari Pengadilan Negeri, c) Administrative yustisial, personil, peralatan, dan finansial bersatu dengan Pengadial Negeri, dan berada di bawah pimpinan serta pengawasan dan pembiaan Ketua Pengadilan Neger, d) Tata laksana fungsi yustisialnya merupakan bagaian dari fungsi yustisial Pengadilan Negeri itu sendiri. Dari gambaran di atas, eksistensi dan kehadiran Praperadilan, bukan merupakan lembaga peradilan sendiri. Tetapi hanya merupakan pemberian wewenang dan fungsi baru yang dilimpahkan KUHAP kepada setiap Pengadilan Negeri,
13
sebagai wewenang dan fungsi tambahan Pengadilan Negeri yang telah ada selama ini. Praperadilan pada hakekatnya adalah suatu lembaga yang bermaksud dan bertujuan memberi perlindungan kepada orang yang disangka melakukan tindak pidana atau pihak lain yang berkepentingan disatu pihak dan dilain pihak merupakan kontrol terhadap tindakan penyidik dan atau penuntut umum dalam usaha menjalankan tugas dan wewenangnya, yaitu penyidikan dan atau penuntutan. (“Faktor Penyebab Gagalnya Praperadilan”. Jurnal Ilmiah Progresif. Vol. 8, No.8, 23 Agustus 2011. Banyuwangi: UNTAG) Rumusan Pasal 1 butir 10 pada KUHAP, yang menegaskan : Praperadilan adalah wewenang Pengadilan Negeri untuk memeriksa dan memutus tentang: a) Sah atau tidaknya suatu penangkapan dan atau penahanan atau permintaan tersangka atau keluarganya atau pihak lain atau kuasa tersangka; b) Sah atau tidaknya penghentian penyidikan atau penghentian penuntutan atas permintaan demi tegaknya hukum dan keadilan; c) Permintaan ganti kerugian atau rehabilitasi oleh tersangka atau keluarganya atau pihak lain atau kuasanya yang perkaranya tidak diajukan ke pengadilan. Lembaga Praperadilan merupakan hasil usaha tuntutan terhadap pelindungan hak asasi manusia, terutama mereka yang terlibat di dalam perkara pidana. Oleh karena itu, tujuan dibentuknya Praperadilan ini tidak lain adalah demi tegaknya hukum. Di samping itu Praperadilan ini juga berfungsi sebagai pengawas terhadap penyidik atau penuntut umum mengenai adanya penyalahgunaan wewenang yang diberikan kepadanya, fungsi kontrol yang dilakukan dengan cara-cara sebagai berikut: a) kontrol vertical, yakni kontrol dari atas ke bawah
14
b) kontrol horizontal, yakni kontrol ke samping antara penyidk, penuntut umum timbal-balik, dan tersangka, keluarganya, atau pihak ketiga. Menurut Wahyu Efendi, yang dikutip oleh S.Tanusubroto, kehadiran
Praperadilan
ini
memberikan
peringatan
(S.Tanusbroto, 1983: 2): a) Agar penegak hukum hati-hati dalam melakukan hukumnya dan setiap tindakan hukum harus didasarkan pada ketentuan hukum yang berlaku, dalam arti ia harus mampu menahan diri serta mejauhkan diri dari tindakan sewenang-wenang b) Ganti kerugian dan rehabilitasi merupakan upaya untuk melindungi warga Negara yang diduga melakukan kejahatan yang ternyata tanpa didukung dengan buktibukti yang meyakinkan sebagai akibat dari sikap dan perlakuan dari pengak hukum yang tidak mengindahkan prinsip-prinsip hak asasi manusia. c) Hakim dalam menentukan ganti kerugian harus memperhitungkan dan mempertimbangkan dengan seksama, baik untuk kepentingan orang yang dirugikan maupun dari sudut kemampuan finansial pemerintah, dalam memenuhi dan melaksanakan keputusan itu d) Dengan rehabilitasi, maka orang tersebut telah dipulihkan haknnya sesuai dengan keadaan semula yang diduga telah melakukan kejahaatan. e) Kejujuran yang telah dijiwai KUHAP harus diimbangi dengan integritas dan dedikasi oleh aparat penegak hukum karena tanpa adanya keseimbangan itu semuanya akan siasia belaka. Titik berat perhatian pemeriksaan Praperadilan dimulai untuk menentukan apakah petugas telah melaksanakan atau tidak melaksanakan
pemeriksaan
apakah
petugas
telah
melaksanakan atau tidak melaksanaan pemeriksaan terhadap tersangka sesuai dengan undang-undang atau apakah petugas telah melaksanakan perintah jabatann yang diwenangkan atau tidak.
Selain
itu,
tindakan
sewenang-wenang
yang
menyebabkan kekeliruan dalam penerapan hukum yang mengakibatkan kerugian dan hak asasi tersangka menjadi kurang terlindungi. 15
2) Wewenang Praperadilan Undang-undang telah memberikan beberapa macam kewenangan terhadap Praperadilan. Kewenangan-kewenangan Praperadilan tersebut adalah sebagai berikut: a) Memeriksa dan Memutus Sah atau Tidaknya Upaya Paksa Hal ini merupakan kewenangan yang diberikan undangundang
kepada
praperadilan,
untuk
memeriksa
dan
memutus sah atau tidaknya penangkapan atau penahanan., atau penyitaan dapat meminta kepada Praperadilan untuk memeriksa sah atau tidaknya tindakan yang dlakukan penyidik kepadanya yang bertentangan dengan Pasal 21 KUHAP atau telah melampaui batas yang telah diatur dalam Pasal 24 KUHAP (M.Yahya Harahap, 2012: 4), b) Memeriksa Sah atau Tidaknya Penghentian Penyidikan atau Penghentian Penuntutan Wewenang lain yang masih dalam ruang lingkup wewenang Praperadilan adalah memeriksa dan memutus sah atau tidaknya penghentian penyidikan yang dilakukan pejabat penyidik atau tentang sah atau tidaknya penghentian penuntutan yang dilakukan penuntut umum. Kewenangan Praperadilan ini muncul bila ada pihak-pihak yang memintanya. Pihak-pihak yang dimaksud adalah pihak ketiga yang berkepentingan, penyidik, dan penuntut umum (Rusli Muhammad, 2007: 95). Dalam hal ini terdapat beberapa alsan, yaitu ( Andi Sofyan dan Abd. Asis, 2014: 189): (1) Ne bis in idem yaitu apa yang dipersangkakan kepada tersangak merupaka tindak pidana yang telah perah dituntut dan diadili, dan putusan sudah memperoleh kekuatan hukum tetap;
16
(2) Kadaluwarsa untuk menuntut sebagaimana diatur dalam Kitab Udang-Undang Hukum Pidana (KUHP). c) Memeriksa Tuntutan Ganti Kerugian Pasal 95 mengatur tentang ganti kerugian yang diajukan oleh tersangka, keluarganya atau penasihat hukumnya kepada praperadilan. Tuntutan ganti kerugian diajukan berdasarkan alasan karena penangkapan atau penahanan yang tidak sah, atau oleh karena penggeledahan dan penyitaan yang bertentangan dengan ketentuan hukum dan undang-undang, adanya kekeliruan terhadap orang yag tiangkap, ditahan dan diperiksa (M.Yahya Harahap, 2012: 6). d) Memeriksa Permintaan Rehabilitasi Praperadilan berwenang memeriksa dan memutus permintaan rehabilitai yang diajukan tersangka, keluarganya atau penasihat hukumnya atas penangkapan atau penahanan tanpa dasar hukum yang ditentukan undang-undang. Atau rehabilitasi atas kekeliruan mengenai orang atau hukum yag diterapkan, yang perkaranya tidak diajukan ke sidang pengadilan (M.Yahya Harahap, 2012: 6). e) Praperadilan Terhadap Tindakan Penyitaan Sehubungan dengan permasalahan hukum ini dapat dijelaskan pendapat berikut. Pada dasarnya, setiap upaya (enforcement) dalam penegekan hukum mengandung nilai Hak Asasi Manusia (HAM). Oleh karena itu, harus dilindunngi dengan seksama dan hati-hati, sehingga perampasan atasnya harus sesuai denga “acara yang berlaku” (due process) dan “hukum yang berlaku” (due to law) (M.Yahya Harahap, 2012: 6). Memeriksa tindakan penyitaan yaitu hanya berkena dengan penyitaan yang dilakukan terhadap barang pihak
17
ketiga dan barang ini termasuk sebagai alat atau barang bukti, maka yang berhak mengajukan ketidakabsahan penyitaan kepada praperadilan adalah pemilik barang tersebut (Andi Sofyan dan Abd. Asis, 2014: 189). 3) Pihak yang Berhak Mengajukan Permohonan Praperadilan Mengenai pengajuan permohonan pemeriksaan praperadilan dapat diuraikan sebagai berikut : a) Pihak yang Berhak Mengajukan Permohonan Mengajukan
permohonan
praperadilan
harus
dikemukakan sesuai dengan alasan yang menjadi dasar permintaan pengajuan praperadilan. Dengan demikian, dikelompokkan alasan yang menjadi dasar pengajuan pemeriksaan Praperadilan dan sekaligus dikaitkan dengan pihak yang berhak mengajukan permintaan. (1) Tersangka, Keluarganya, atau Kuasanya Berdasarkan ketentuan pasal 79 KUHAP yang berhak mngajukan permintaan pemeriksaan tentang sah atau tidaknya penangkapan atau penahanan, bukan hannya tersangka saja, tetapi dapat diajukan oleh keluarga atau penasihat hukumnya. Dalam Pasal 79 KUHAP hanya meliputi pengajuan pemeriksaan tentang sah atau tidaknya penangkapan atau penahanan. Ke dalamnya tidak termasuk pengajuan permintaan tentang sah
atau
tidaknya
penggeledahan
dan
penyitaan
termasukjuga dalam kandungan Pasal 79 KUHAP dihubungkan dengan Pasal 83 ayat (3) huruf d KUHAP, sehingga mengenai sah atau tidaknya penggeledahan dan penyitaan dapat diajukan oleh tersangka, keluarganya atau penasihat hukumnya atau orang terhadap siapa dilakukan penggeldahan ataupun dalam hal melakukan penyitaan.
18
(2) Penuntut Umum dan Pihak Ketiga yang Berkepentingan Menurut Pasal 80 KUHAP, penuntut umum atau pihak ketiga yang berkepenitngan, dapat mengajukan permintaan pemeriksaaan tentang sah atau tidaknya penghentian penyidikan. Mengenai pihak ketiga yang berkepentingan dalam tindakan penghentian penyidikan ialah saksi yang langsung menjadi korban dalam peristiwa pidana yang bersangkutan. Saksi korban yang berhak mengajukan permintaan pemeriksaan tentang sah atau tidaknya penghentian penyidikan ke Praperadilan (M.Yahya Harahap, 2012: 9). (3) Penyidik atau Pihak Ketiga yang Berkepentingan Penghentian penyidikan penuntut umum ataupun pihak ketiga yang mempunyai kepentingan yang dapat mengajukan permintaan pemeriksaan tentang sah atau tidaknya penghentian penyidikan, hal ini berkebalikan dengan pengajuan permintaan pemeriksaan mengenai sah atau tidaknya penghenntian penuntutan yang hanya boleh diajukan oleh penyidi ataupun pihak ketiga yang mempunyai kepentingan yang dapat mengajukan. (4) Tersangka, Ahli Warisnya, atau Kuasanya Menurut Pasal 95 ayat (2) KUHAP, Tersangka, Ahli Waris, ganti
atau Peasihat Hukum dapat mengajukan
kerugian
penangkapan
kepada
atau
Praperadilan
penahanan
yang
atas tidak
alasan sah,
penggeledahan ataupun penyitaan tanpa alasan yang sah, kekeliruan mengenai orang ataupun hukum yang diterapkan yang perkaranya tidak diajukan ke sidang pengadilan. (5) Tersangka atau Pihak Ketiga yang Berkepentingan Menuntut Ganti Rugi
19
Pasal 81 KUHAP, Tersangka ataupun pihak ketiga yang mempunyai kepentigan dapat mengajukan suatu ganti kerugian kepada Praperadilan dengan alasan sahnya
penghentian
penyidikan
ataupun
sahnya
peghentian penuntutan. Mengenai penghentian pnyidikan ataupun
penghentian
penuntutan,
tersangka
dapat
mengajukan tuntutan ganti kerugian kepada Praperadilan atas dasar: (a) Jika
penghentian
itu
tidak
diajukan
ke
praperadilan; dan (b) Jika penghentian diajukan ke Praperadilan dan menyatakan penghentian tersebut sah. b) Pengeritan Pihak Ketiga yang Berkepentingan Ditinjau mengenai ilmu yurisprudensi perkataan “pihak ketiga yang berkepentingan” dalam Pasal 80 KUHAP, dikategorikan istilah yang mengandung “pengertian luas” (broad term) atau “kurang jelas pengertiannya” (unplain meaning). Cara yang dianggap mampu memberi pengertian yang tepat dan aktual, mengaitkannya dengan unsur “kehendak pembuat undang-undang” (legislative purpose) dan “kehendak publik” (public purpose). Jika tujuan memPraperadilan penghentian penyidikan atau penuntutan untuk “mengoreksi”
ataupun
“mengawasi”
kemungkinan
kekeliruan maupun kesewenangan atas penghentian itu secara horizontal, cukup alasan untuk berpandapat bahwa kehendak pembuat undang-undag dan kehendak publik atas penerapan pihak ketiga yang berkepentingan, meliputi masyarakat
luas
yang
diwakili
Lembaga
Swadaya
Masyarakat (LSM) atau organisasi kemasyarakatan. 4) Proses Tata Cara Pemeriksaan Praperadilan
20
Tata cara dan proses pemeriksaan sidang Praperadilan diatur oleh KUHAP dalam BAB X, Bagian Kesatu, mulai dari Pasal 79 KUHAP sampai dengan Pasal 83 KUHAP. Apapun yang hendak diajukan kepada Praperadilam, tidak terlepas dari tubuh Pengadilan Negeri. Semua permintaan yang diajukan kepada Praperadilan, melalui Ketua Pengadilan Negeri. Sehubunga dengan hal itu pengajuan permintaan pemeriksaan Praperadilan, dapat diuraikan seperti berikut ini: a) Permohonan Ditujukan Kepada Ketua Pengadilan Negeri Semua permohonan yang hendak diajukan untuk diperiksa leh Praperadilan ditujukan kepada Ketua Pengadilan Negeri yang meliputi daerah hukum tempat dimana penangapan, penahanan, penggeledahan, ataupun penyitaan itu dilakukan. Atau diajukan kepada Ketua Pengadilan Negeri temat di maa penyidik atau penuntut umum
yang
menghenntikan
atau
penuntutan
berkedudukan. b) Permohonan Diregister Dalam Perkara Praperadilan Setelah panitera menerima Permohonan, deregister alam perkara Praperaddilan segala permohonan yang ditunjukan ke Praperadilan, dipisahkan registrasinya dari perkara pidana biasa. Administrasi yustisial Praperadilan dibuat tersendiri terpisah dari administrasi perkara biasa. c) Ketua Pengadilan Negeri Segera Menunjuk Hakim (Tuggal) dan Panitera Berdasarkan ketentuan Pasal 82 ayat (1) huruf a KUHAP, yang menegaskan bahwa dalam waktu 3 (tiga) hari setelah diterima permintaan, hakim yang ditunjuk menetapkan hari sidang. Agar yang dituntut pasal tersebut dapat dilaksanakan secara tepat seteah pencatatan dalam register, panitera memintakan kepada Ketua Pengadilan
21
Negeri untuk segera menunjuk dan menetapkan hakim dan
panitera
yang
akann
bertindak
memeriksa
permohonan. Atau kalau Ketua Pengadilan Negeri telah menetapkan satuan tugas yang khusus secara permanen, segera melimpahkan permintaan itu kepada pejabat satun tugas tersebut. d) Penetapan Hari Sidang dan Pemanggilan para Pihak Setelah Ketua Pengadilan Negeri menunjukk Hakim dan Paitera, maka segera bersidang, sebab menurut ketentuan Pasal 82 ayat (1) huruf c KUHAP, bahwa pemeriksaan tersebut dilakukkan secara cepat dan selambat-lambatnya 7 (tujuh) hari lamanya seorang Hakim harus sudah menjatuhkan putusan. e) Pemeriksaan Dilakukan Dengan Hakim Tunggal Hakim yang duduk dalam pemeriksaan sidang Praperadilan
merupakan
permohonan
yang
Hakim
diajjukann
tunggal.
kepada
Semua
Paperadilan,
diperiksa dan diputus oleh Hakim tunggal, hal ini dipertegas dengan adanya Pasal 78 ayat (2) yang berbunyi: “Praperadilan dipimpin oleh hakim tunggal yang ditunjuk oleh Ketua Pengadilan Negeri dan dibantu oleh seorang panitera”(M.Yahya Harahap, 2012: 13). f) Putusan Perapradilan Surat putusan harus disatukan dengan Berita Acara sebagaimana diatur dalam Pasal 82 ayat (1) huruf c KUHAP dan benntuk putusan berupa “penetapan” sebagaimana diatur dalam Pasal 83 ayat (3) huruf a dan Pasal 96 ayat (1) KUHAP. Mengenai isi dari suuatu putusan ataupun penetapan Praperadilan pada garis besarnya diatur dalam Pasal 82 ayat (2) dan (3) KUHAP. Di samping peneptapan Praperadilan memuat alasan dasar
22
pertimbangan hukum, juga harus memuat amar yang harus dicantumkan dalam penetapan disesuaikan dengan alasan permintaan pemeriksaan. Alasan permintaan yang menjadi dasar isi amar penetapan. Amar yang tidak sejalan dengan alasan permintaan keluar dari jalur yang ditentukann undang-undang.
Kalau
begitu
amar
penetapan
Praperadilan, bisa berupa pernyataan yang berisi: (1) Sah atau tidaknya penangkapan atau penahanan; (2) Sah atau tidaknya penyidikan atau penuntutan; (3) Diterima atau Ditolak Permintaan Ganti Kerugian atau Rehhabilitasi (4) Perintah
pembebasan
dari
Tahanan
Perintah
melanjutkan Penyidikan atau Penuntutan b. Tinjauan Tentang Penyidikan 1) Pengertian Penyidikan Pentingnya penyidikan opsporing dalam bahasa Belanda, investigation penyidikan dalam bahasa inggris, penyiasatan atau siasat penyebutan penyidikan dalam bahasa Malaysia adalah tidak lain untuk melindungi hak seorang yang diduga sebagai
pelaku
tindak
pidana
(http://www.hukumonline.com/klinik/detail/lt51a4a954b6d2d/s oal-penyidik--penyelidik--penyidikan--dan-penyelidikan diakses pada tanggal 9 November 2015 Pukul 03.01 WIB). Maka harus ada bukti permulaan yang cukup untuk melakukan penangkapan. Penyidikan sebagai rangkaian dari proses penyelidikan, dengan maksud untuk menemukan titik terang siapa pelaku atau tersangkanya. Penyidikan dalam ketentuan Pasal 1 angka 2
KUHAP
adalah serangkaian tindakan
penyidik dalam hal dan menurut cara yang diatur dalam undang-undang ini untuk mencari serta mengumpulkan bukti yang terjadi dan guna menemukan tersangkanya. Tindakan
23
penyidikan merupakan cara untuk mengumpulkan bukti-bukti awal untuk mencari tersangka yang diduga melakukan tindak pidana dan saksi-saksi yang mengetahui tentang tindak pidana tersebut. Tujuan penyidikan adalah untuk menunjuk siapa yang telah melakukan kejahatan dan memberikan pembuktianpembuktian mengenai masalah yang telah dilakukannya. Untuk mencapai maksud tersebut maka penyidik akan menghimpun keterangan dengan fakta atau peristiwa-peristiwa tertentu (M. Husein Harun, 1991: 58). Menurut Lilik Mulyadi, dari batasan pengertian (begripsbepaling) sesuai tersebut dengan konteks Pasal 1 angka 2 KUHAP, dengan kongkret dan factual dimensi penyidikan tersebut dimulai ketika terjadinya tindak pidana sehingga melalui proses penyidikan hendaknya diperoleh keterangan tentang aspek-aspek sebagai berikut (Lilik Mulyadi, 2007: 55) : a) Tindak pidana yang telah dilakukan. b) Tempat tindak pidana dilakukan (locus delicti). c) Cara tindak pidana dilakukan. d) Dengan alat apa tindak pidana dilakukan. e) Latar belakang sampai tindak pidana tersebut dilakukan. f) Siapa pelakunya. 2) Proses Penyidikan Dalam
KUHAP
dapat
diketahui
bahwa
proses
penyidikan yang dilakukan oleh penyidik dapat digambarkan sebagai berikut . a) Diawali Dengan Adanya Bahan Masukkan Tindak Pidana Sumber bahan masukkan suatu tindak pidana ke dalam proses
Peradilan
pidana
berupa
pengethuan
atau
persangkaan telah terjadinya suatu perbuatan pidana dapat diperoleh penyidik dari berbagai summber, yaitu dari: (1) Laporan;
24
(2) Pengaduan; (3) Tertangkap tangan; (4) Diketahui sendiri oleh aparat penegak hukum dari hasil penyelidikan. Penyidik mempunyai kewajiban untuk segera melakukan tindakan penyidikan apabila mengetahui, menerima aorann, atau pengaduan tentagn terjadinya suatu peristiwa yang patut diduga sebagai suatu perbuatan pidana, sebagaimana disebutkan dalam Pasal 106 KUHAP. b) Melakukkan Tindakan Pertama di Tempat Kejadian Yang dimaksud dengan “tempat kejadian” adalah tempat yang mana telah dilakukan ssuatu tindak pidana. Menurut, P.A.F. Lamintang dalam bukunya menjelaskan bahwa: “yang dimaksud denga melakukan tindakan pertama di tempat kejadian itu adalah melakukan segala macam tindakan yang oleh penyidik telah dipandang perlu untuk menyelamatkan nyawa korban atau harta kekayaan orang, menangkap pelakunya apabila pelaku tersebut masih berada dalam jangkuan penyidik utuk segera ditangkap, menutup tempat kejadian bagi siapa pun yang kehadirannya disitu tidak diperlukan untuk menyelamatkan nyawa korban, menemukan dan mengummpulkan atau mengambil barangbarang bukti serta berkas-berkas yang dapat membantu penyidik untuk mendaatkan petunjuk-petunjuk tentag identitas pelaku atau dari pelaku-pelakunya, menemukan adanya saksi-saksi yang diharapkan dapat membantu penyidiik utuk memecahkan persoalan yang sedang ia hadapi dan memisahkan saksi-saksi tersebut agar mereka tidak dapat berbicara satu dengan yang lainnya ” (P.A.F. Lamintang, 1997: 76). c) Pemanggilan dan Pemeriksaan Tersangka dan Saksi Dalam ketentuan Pasal
112 ayat
(1)
KUHAP
disebutkan bahwa pemanggilan dilakukan dengan: (1) Surat pemanggilan yang sah (ditandatangani oleh penyidik yang berwenang) dengan menyebut alasan pemanggilan secara jelas. 25
(2) Memperhatikan tenggang waktu yang wajar antara diterimanya panggilan dan hari pemeriksaan. Orang yang dipanggil apakah akan didengar keterangannya sebagai tersangka atau saksi wajib datang. Apabila tidak datang akann dipanggil sekali lagi dengan perintah kepada petugas atau penyelidik untuk membawanya. Jika tidak dapat datang dengan alasan yang patut dan wajar, penyidik datang ke tempat kediamanya (Pasal 112 ayat (2) dan Pasal 113 KUHAP). Hal-hal yang harus diperhatikan dalam pemeriksaan tersangka : (1) Tersangka didengar keterangannya tanpa adanya tekanan dan siapapun dan/atau dalam bentuk apa pun (Pasal 117 ayat (1) KUHAP). (2) Sesudah ditanyakan kepada tersangka, ternyata ia menghendaki didengarnya saksi a de charge, maka penyidik wajib memanggil dan memeriksa saksi tersebut (Pasal 116 ayat (3) KUHAP). (3) Keterangan
apa
pun
yang
diberikan
tersangka
sehubungan dengan tindak pidana yang dipersangkakan kepadanya,
penyidik
harus
mencatat
keterangan
tersangka dalam berita acara pemeriksaan, apabila dalam pemeriksaan tersebut telah selsai dan disetujui maka berita acara pemeriksaan harus ditandatangani oleh penyidik dan tersangka (Pasal 117 ayat (2) dan Pasal 118 ayat (1) KUHAP). (4) Jika
tersangka
tidak
mau
membubuhkan
tanda
tannganya hendaklah dicatatkan kedalam berita acara pemeriksaan dan disebutkan alasannya (Pasal 118 ayat (2) KUHAP).
26
(5) Pemeriksaan terhadap tersangka yang berdiam atau bertempat tinggal di luar daerah hukum penyidik yang melakukan penyidikan, dapat dibebbankan kepada penyidik di tempat atau tempat tinggal tersangka (Pasal 119 KUHAP). Adapaun tata cara pemeriksaan saksi oleh penyidik sebagai berikut : (1) Saksi tidak disumpah kecuali dengan alasan saksi tersebut tidak dapat hadir dalam persidangan (Pasal 116 ayat (1) KUHAP). (2) Diperiksa secara tersendiri, tapi dapat dipertemukan satu dengan lainnya (Pasal 116 ayat (2) KUHAP). (3) Pemeriksaan dilakukan tanpa tekanan oleh siapapun, tetapi saksi harus memberikan keterangan dengan sejujurnya dan sebenarnya (Pasal 117 ayat (1) KUHAP) . (4) Keterangan dari pemeriksaan saksi dicatatkan kedalam berita acara pemeriksaan dan jika telah selesai ditandatangani oleh penyidik dan saksi jika menyetujui, apabila saksi tidak mau menandatangani berita acara peemeriksaan tersebut penyidik mencatatya kedalam berita acara dengan menyebutkan alasan yang kuat (Pasal 118 KUHAP). (5) Saksi diluar daerah hukum, penyidik, pemeriksaannya dapat diberikan terhadap penyidik ditempat kediaman saksi (Pasal 119 KUHAP). d) Melakukan Upaya Paksa yang Diperlukan Yang dimaksud dengan upaya paksa adalah segala bentuk tindakan yang dipaksakan oleh aparat penegak hukum pidana terhadap kebebasan bergerak seseorang atau untuk memiliki ataupun menguasai suatu barang atau
27
kemerdekaan pribadiya agar tidak menddapat gangguan terhadap pribadinya. KUHAP telah menentukan adanya beberapa tindakan atau upaya paksa yang dapat dilakukan sehubungan dengan tindak pidana yang yang dilakukan oleh seseorang, berbagai upaya paksa tersebut diatur KUHAP dalam BAB V Pasal 16 hingga Pasal 49 yakni : (1) Penangkapan. (2) Penahanan. (3) Penggeledahan. (4) Penyitaan. (5) Pemeriksaan surat. e) Pembuatan Berita Acara Penyidikan Setelah pemeriksaan yang dipandang perlu itu cukup, maka penyidik dengan kekuaan sumpahnya membuatkan berita acara dengan persyaratan sebagai berikut (Pasal 112 KUHAP). (1) Diberi tanggal berita acara. (2) Memuat tindak pidana yang dipersangkakan. (3) Nama, tempat tinggal dari tersangka dan saksi. (4) Keterangan saksi dan/atau keterangan tersangka. (5) Catatan mengenai akta. (6) Segala sesuatu yang dianggap perlu untuk kepentingan penyelesaian perkara itu pada tahap penuntutan dan pengadilan. f) Penyerahan Berkas Perkara Kepada Penuntut Umum Apabila pennyidikan telah selesai, penyidik wajib segera menyerahkan berkas perkara kepada penuntut umum. Penyerahan meliputi dua tahap yaitu : (1) Penyidik hanya menyerahkan berkas perkara.
28
(2) Penyidik menyerahkan tanggung jawab atas tersangka dan juga barang bukti kepada penuntut umum dalam hal penyidikan sudah dianggap selesai.
3) Aparat yang Berhak Melakukan Penyidikan Dalam
pasal
6
KUHAP,
ditentukan
instansi
dan
kepangkatan seorang pejabat penyidik yang melakukan tugas. Dari pasal tersebut M. Yahya Harahap menjelaskan bahwa penyidik terbagi menjadi 2 bagian sesuai dengan syaratsyaratnya yang ditentukan, yaitu (M.Yahya Harahap, 1988: 99) : a) Pejabat Penyidik Polisi (1) Menurut ketentuan pasal 6 ayat (1) huruf a, salah satu instansi yang diberi kewenangan untuk melakukan penyidikan
ialah
pejabat
polisi
Negara.
Peraturan
kepangkatan pejabat penyidik kepolisian tersebut telah ditetapkan pada tanggal 1 Agustus 1983, berupa PP No. 27 Tahun 1983. Syarat kepangkatan pejabat penyidik diatur dalam BAB 2 PP No. 27 Tahun 1983 UndangUndang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Kitab UndangUndang Hukum Acara Pidana (KUHAP) (2) Undang-Undang
Nomor
48
Tahun
2009
tentang
Kekuasaan Kehakiman (3) Peraturan Kepala Kepolisian Republik Indonesia Nomor 21 Tahun 2011 tentang Sistem Informasi Penyidikan (4) Peraturan Kepala Kepolisian Republik Indonesia Nomor 14 Tahun 2012 tentang Manajemen Penyidikan Tindak Pidana Police investigators are an integral part of the function and position of the Indonesian National Police (POLRI) as the state apparatus under the power of a president. The
29
investigation function runs most tasks of POLRI, particularly in the field of law enforcement. Article 13 of Law No. 2 in 2002 on the Indonesian National Police (POLRI) confirms that its main tasks are: a. maintaining security and public order; b. enforcing the law; and c. providing protection and service to the community, and also maintaining security and public order. The police investigation function carries out by the detective unit that is tied by laws and legislation, it has the authority to perform inquiry, investigation and coordination and supervision on Government Officer Investigators. (“Reconstruction of Indonesian Criminal Justice System in the Perspective of the Judicial Power Independence”. International Journal of Business, Economics and Law. Vol 6, Issue No. 4, April 2015. Semarang : Diponegoro University) Penyidik dari polisi merupakan bagian dari fungsi dan posisi Kepolisian Negara Republik Indonesia (POLRI) sebagai aparatur negara di bawah kekuasaan presiden. Fungsi penyidikan berjalan sebagai tugas utama POLRI, khususnya di bidang penegakan hukum. Pasal 13 UU No. 2 tahun 2002 tentang Kepolisian Negara Republik Indonesia (POLRI) menegaskan bahwa tugas utamanya adalah: a. menjaga keamanan dan ketertiban umum; b. menegakkan hukum; dan c.
memberikan
perlindungan
dan
pelayanan
kepada
masyarakat, dan juga menjaga keamanan dan ketertiban umum. Fungsi penyidik polisi oleh unit Reserse Kriminal yang terikat oleh hukum dan undang-undang, memiliki kewenangan untuk melakukan penyelidikan, penyidikan dan koordinasi dan pengawasan terhadap Pemerintah. Memperhatikan ketentuan kepangkatan yang diatur dalam BAB 2 peraturan pemerintah dimaksud, syarat kepangkatan dan pengangkatan pejabat penyidik kepolisian, dapat diperinci sebagai berikut: (a) Pejabat penyidik penuh, syarat-syaratnya: (i) Sekurang-kurangnya berpangkat Pembantu Letnan Dua Polisi 30
(ii) Atau yang berpangkat bintara di bawah Pembantu Letnan Dua apabila dalam suatu sektor kepolisian tidak ada pejabat penyidik yang berpangkat Pembantu Letnan Dua, (iii) Ditunjuk dan diangkat oleh Kepala Kepolisian R.I. (b) Penyidik Pembantu, syarat-syaratnya: (i) Sekurang-kurangnya berpangkat Sersan Dua Polisi (ii) Atau pegawai negeri sipil dalam lingkungan Kepolisian
Negara
dengan
syarat
sekurang-
kurangnya berpangkat Pengatur Muda (golongan II/a), (iii) Diangkat oleh Kepala R.I. atas usul komandan atau pimpinan kesatuan masing-masing. Sebab di kalangan anggota Polri sendiri, yang memiliki syarat kepangkatan dan keahlian tertentu mungkin masih sangat langka. Itu sebab utama yang menjadi motivasi keperluan penyidik pembantu dapat diangkat dari kalangan pegawai negeri.(“Penghentian Penyidikan oleh Penyidik Polri dan Upaya Hukumnya”. Jurnal Yustitia. Volume 10, No.1, Nopember. 2010. Madura: Universitas Madura) b) Penyidik Pegawai Negeri Sipil Penyidik pegawai negeri sipil ini diatur dalam pasal 6 ayat (1) huruf b KUHAP Yaitu pegawai negeri sipil yang mempunyai fungsi dan wewenang sebagai penyidik. Pada dasarnya wewenang yang mereka miliki bersumber pada ketentuan undang-undang pidana khusus, yang telah menetapkan sendiri pemberian wewenang penyidikan pada salah satu pasalnya. Sesuai dengan pembatasan wewenang yang disebutkan dalam pasal 7 ayat (2) yang berbunyi: Penyidik pegawai negeri sipil sebagaimana yang dimaksud
31
pada pasal 6 ayat (1) huruf b mempunyai wewenang sesuai dengan undang-undang yang menjadi landasan hukumnya masing-masing dan dalam pelakasanaan tugasnya berada di bawah koordinasi dan pengawasan penyidik Polri. Berikut kedudukan dan wewenang penyidik pegawai negeri sipil: (a) Penyidik pegawai negeri sipil kedudukannya berada di bawah: (i) Koordinasi penyidik Polri, dan (ii) Di bawah pengawasan penyidik Polri. (b) Penyidik Polri memberikan petunjuk kepada penyidik pegawai negeri sipil tertentu, dan memberikan bantuan penyidikan yang diperlukan (pasal 107 ayat (1)). (c) Penyidik pegawai negeri tertentu, harus melaporkan kepada penyidik Polri tentang adanya suatu tindak pidana yang sedang di disidiknya (pasal 107 ayat (2)). (d) Apabila penyidik pegawai negeri sipil telah selesai, hasil penyidikan harus diserahkan kepada penuntut umum melalui penyidik Polri (pasal 107 ayat (3)) (e) Apabila penyidik pegawai negeri sipil mengehntikan penyidikan yang telah dilaporkannya pada penyidik Polri maka penghentian penyidikan itu harus diberitahukan kepada penyidik Polri dan penuntut umum (pasal 109 ayat (3)). c. Tinjauan Tentang Penghentian Penyidikan 1) Pengertian dan Pengaturan Penghentian Penyidikan Undang-undang
memberi
wewenang
penghentian
penyidikan kepada penyidik, yakni penyidik berwenang bertindak menghentikan penyidikan yang telah dimulainya. Hal ini ditegaskan pasal 109 ayat (2) KUHAP yang memberi wewenang kepada penyidik untuk menghentikan penyidikan yang sedang berjalan. Undang-undang telah menyebutkan
32
secara limitatif alasan yang dapat dipergunakan penyidik sebagai dasar penghentian penyidikan. Penyebutan atau penggarisan
alasan-alasan
tersebut,
guna
menghindari
kecenderungan negatif pada diri pejabat penyidik. Dengan penegasan ini, undang-undang mengharapkan supaya di dalam mempergunakan wewenang penghentian penyidikan, penyidik mengujinya kepada alasan-alasan yang telah ditentukan. Tidak semuanya tanpa alasan yang dapat dipertanggungjawabkan menurut hukum, serta sekaligus pula akan memberi landasan perujukan bagi pihak-pihak yang merasa keberatan atas sah tidaknya penghentian penyidikan menurut hukum. Demikian juga bagi praperadilan, penegasan alasan-alasan penghentian tersebut merupakan landasan dalam pemeriksaan sidang praperadilan, jika ada permintaan pemeriksaan atas tidaknya penghentian penyidikan. 2) Alasan Penghentian Penyidikan Dalam hal penghentian penyidikan dapat dilakukan hanya atas dasar bilamana dalam penyidikan tersebut terjadi hal-hal sebagai berikut : a) Tidak Adanya Bukti yang Cukup. Apabila penyidik tidak memperoleh cukup bukti untuk menuntut tersangka atau bukti yang diperoleh penyidik tidak memadai untuk membuktikan kesalahan tersangka jika diajukan ke depan sidang pengadilan. Ditinjau dari segi pemberian wewenang ini membina sikap mental
penyidik
untuk
tidak
secara
serampangan
mengajukan begitu saja segala hasil penyidikan yang telah dilakukannya. Diharapkan lebih selektif mengajukan setiap kasus yang mereka periksa, apakah cukup bukti atau tidak sebelum perkara dilimpahkan ke tangan penuntut
33
umum. Jangan lagi seperti yang dialami selama ini, ada atau tidak ada bukti penyidik tidak peduli. b) Peristiwa yang Disangkakan Bukan Tindak Pidana. Apabila dari hasil penyidikan dan pemeriksaan, penyidik berpendapat apa yang disangkakan terhadap tersangka bukan merupakan perbuatan pelanggaran dan kejahatan, dalam hal ini berwenang menghentikan penyidikan. Artinya jika apa yang disangkakan bukan kejahatan maupun pelanggaran pidana yang termasuk kompetensi peradilan umum, jadi tidak merupakan pelanggaran dan kejahatan seperti yang diatur dalam KUHP atau dalam peraturan perundang-undangan tindak pidana khusus yang termasuk dalam ruang lingkup wewenang
peradilan
umum,
penyidikan
beralasan
dihentikan. Bahkan merupakan keharusan bagi penyidik untuk menghentikan pemeriksaan penyidikan. Dapat diakui, kadang-kadang sangat sulit menarik garis yang tegas tentang apakah suatu tindakan yang dilakukan seorang, termasuk dalam ruang lingkup tindak pidana pelanggaran dan kejahatan. Kesulitan ini sering dijumpai dalam peristiwa-peristiwa yang dekat hubungannya dengan ruang lingkup hukum perdata. c) Penghentian Penyidikan Demi Hukum. Penghentian penyidikan atas dasar alasan demi hukum pada pokoknya sesuai dengan alasan-alasan hapusnya hak menuntut dan hilangnya hak menjalankan pidana yang diatur dalam BAB VIII KUHP, sebagaimana yang dirumuskan dalam ketentuan pasal 76, 77, 78 dan seterusnya, antara lain:
34
(1) Nebis in idem adalah apa yang dipersangkakan terhadap tersangka merupakan tindak pidana yang pernah dituntut dan diadili, dan putusan memperoleh kekuatan hukum tetap. (2) Tersangka meninggal dunia yaitu dalam proses penyidikan telah ditetapkannya seorang tersangka, kemudian pada saat penyidikan tetap berjalan seorang tersangka tidak sengaja meninggal dunia sehingga penghentian penyidikan demi hukum. (3) Kadaluwarsa yaitu untuk menuntut sebagaimana diatur dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) 3) Akibat Hukum Penghentian Penyidikan Adanya konsekuensi yuridis tertentu jika penyidik melakukan penghentian penyidikan terhadap suatu perkara yang sedang ditanganinya. Seseorang yang disangka telah melakukan
perbuatan
pidana,
kemudian
dihentikan
penyidikannya, diberi hak oleh undang-undang untuk dapat (P.A.F.Lamintang, 1984: 94): a) Mengajukan permintaan kepada ketua pengadilan negeri untuk
memeriksa
sah
atau
tidakknya
penghentian
penyidikan yang telah dilakukan oleh penyidik terhadap dirinya (Psal 80 KUHAP). b) Megajukan permintaan kepada ketua pengadillan negeri utukk menadapatkan ganti rugi dan atau rehabilitasi yang telah diajukan kepada pengadilan negeri tersebut (Pasal 8 KUHAP). d. Tinjauan Tentang Tindak Pidana Penipuan 1) Pengertian Tindak Pidana Penipuan Kejahatan atau tindak pidana penipuan diatur didalam Pasal 378-395 KUHP, Buku II BAB ke XXV. Perkataan penipuan dalam BAB ke XXV juga disebut istilah bedrog,”karena
35
sesungguhnya didalam BAB tersebut diatur sejumlah perbuatanperbuatan yang ditunjukan terhadap harta benda, dalam mana oleh si pelaku telah dipergunakan perbuatan-perbuatan bersifat menipu atau dipergunakan tipu muslihat”(M.Sudrajat Bassar, 1986: 81). Tindak pidana penipuan sangatlah sering terjadi di lingkungan masyarakat, untuk memenuhi kebutuhan atau keuntungan seseorang dapat melakukan suatu tindak pidana penipuan. Di Indonesia seringnya terjadi tindak pidana penipuan dikarenakan banyak Faktor-faktor yang mendukung terjadinya suatu tindakan penipuan, misalnya karena kemajuan teknologi sehingga dengan mudah melakukan tindakan penipuan, keadaan ekonomi yang kurang sehingga memaksa seseorang untuk melakukan penipuan, terlibat suatu utang dan lain sebagainya. Kejahatan penipuan di dalam bentuknya yang pokok diatur dalam Pasal 378 KUHP yang berbunyi sebagai berikut: “Barangsiapa dengan maksud untuk menguntungkan diri sendiri atau orang lain secara melawan hukum, dengan memakai nama palsu atau martabat palsu, dengan tipu muslihat, ataupun rangkaian kebohongan, menggerakan orang lain untuk menyerahkan barang atau sesuatu kepadanya, atau memberikan hutang atau menghapus piutang, diancam dengan pidana penjara paling lama empat tahun “. Perbuatan penipuan dalam pengertian bahwa seseorang telah berkata bohong atau dengan tipu muslihat untuk mendapatkan suatu keuntungan dan telah merugikan orang lain secara melawan hukum maka ia telah melakukan suatu tindak pidana yang telah diatur dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana Pasal 378 tentang Tindak Pidana Penipuan. Menurut Brigjen. Drs. H. A. K. Moch.Anwar, S.H. dalam bukunya Hukum Pidana Bagian Khusus bahwa tindak pidana penipuan atau penipuan adalah “membujuk orang lain dengan tipu muslihat, rangkaian kata-kata bohong, nama palsu, keadaan palsu agar memberikan sesuatu” serta unsus-unsur dari tindak pidana penipuan yang
36
dibagi menjadi dua yaitu unsur objektif dan subjektif (Moch.Anwar, 1989: 16). 2) Jenis-Jenis Tindak Pidana Penipuan Dalam buku II BAB XXV tindak pidana penipuan diatur dalam pasal 378-395 KUHP. Di dalam Pasal-pasal tersebut mejelesakan berbagai jenis-jenis tindak pidana penipuan dalam KUH yakni: a) Pasal 378 KUHP tentang tindak penipuan dalam bentuk pokok. b) Pasal 379 KUHP tentang tindak pidana penipuan ringan, c) Pasal 379 a KUHP mengenai tindak pidanna kebiasaan membeli barang tana membayar lunas harganya. d) Pasal 380 ayat (1) dan aya (2) KUHP mengenai tindak pidana pemalsuan nama dan tanda atas sesuatu karya ciptaan orang. e) Pasal 381 KUHP menegenai penipuan pada perasuransian. f) Pasal
382
KUHP
menimbulkan
mengatur
kerusakan
tindak
pada
idana benda
yang yang
dipertanggungkan. g) Pasal 382 bis KUHP mengatur mengenai tindak piddana persaingan curang. h) Pasal 383 KUHP mengatur tindak pidanna penipuan dalam jual-beli. i) Pasal 383 KUHP mengatur penipuan dalam penjualan beberapa salinan kongnosement. j) Pasal 384 KUHP mengenai tindak pidana jual beli dalam bentuk geprivilegeerd. k) Pasal 385 KUHP mengenai tindak pidana penipuan yang menyangkut tanah. l) Pasal 386 KUHP mengenai tindak pidana penipuan dalam penjualan bahan makanan dan obat.
37
m) Pasal 387 KUHHP mengatur mengenai penipuan terhadap pekerjaan pembangunan atau pemborogan. n) Pasal 388 KUHP mengatur penipuan terhadap penyeraha barang untuk perang. o) Pasal 389 KUHP mengatur penipuan terhadap batas pekarangan. p) Pasal 390 KUHP mengatur menyebarkan berita bohon yang membuat harga barang kebutuhan menjaddi naik. q) Pasal 391 KUHP mengatur penipuan dengan memberikan gambaran yang tidak benar tentang surat berharga. r) Pasal 392 KUHP mengenai penipuan dengan penyusunan neraca palsu. s) Pasal 393 KUHP mengatur tentang penipuan dengan pemalsuan namafirma atau merk atas barang dagangan. t) Pasal
393
bis
KUHP
mengatur
penipuan
dalam
lingkungan pengacara. u) Pasal 394 KUHP mengatur penipuan dalam keluarga. v) Pasal 395 KUHP mengatur tentang hukuman tambahan.
38
2. Kerangka Pemikiran Putusan Praperadilan Nomor : 23/Pra.Per/2015/PN.Sby mengenai Permohonan Keabsahan Penghentian Penyidikan Kasus Penipuan yang diajukan oleh Ronny Wijaya (Korban)
Penyidikan Oleh Polisi (POLRESTABES Surabaya)
Surat Perintah Penghentian Penyidikan (SP3) oleh Polisi Surat Perintah Penghentian Penyidikan (SP3) oleh Polisi Gugatan Praperadilan Oleh Ronny Wijaya beserta Kuasa Hukumnya
1. Terlapor I ataupun Tersangka I dihentikan penyidikannya karena meninggal dunia 2. Terlapor II atau Tersangka II dihenntikan penyidikannya karena belum cukup bukti
Petitum
Pertimbangan Hakim Pengadilan Negeri Surabaya
PUTUSAN Gambar 1. Skematik Kerangka Pemikiran. Keterangan: : menunjukkan urutan komponen penting yang dinyatakan dan dideskripsikan pada penelitian : menunjukkan permasalahan hukum yang ada dalam Putusan Mahkamah Agung Nomor 57 PK/PID/2013 39
Penjelasan Kerangka Pemikiran : Kerangka pemikiran di atas menjelaskan alur pemikiran penulis dalam mengangkat, menggambarkan, menelaah, dan menjabarkan serta menemukan jawaban atas permasalahan hukum. KUHAP sendiri merupakan landasan yuridis formal dalam system peradilan pidana yang ada di Indonesia berupaya membrikan perlindungan kepada para pihak yang terlibat dalam peradilan pidana. Dari mulai tahapan penyidikan, penuntutan, hinggan pemidanaan setiap orang baik korban ataupun tersangka mendapatkan perlindungan yang diatur dalam KUHAP. Kesalahan penyidik dalam upayanya melakukan penyidikan dapat diajukan upaya Praperadilan bagi pihak-pihak yang merasa dirugikan dalam tahapan penyidikan. Kasus Praperadilan yang akan dibahas dalam penulisan hukum ini adalah Perkara Pengajuan Praperadilan Oleh Korban Terhadap Keabsahan Penghentian Penyidikan Perkara Penipuan Oleh Polrestabes Surabaya (Studi Kasus Putusan Pengadilan Negeri Surabaya Nomor: 23/Pra.Per/2015/PN.SBY). Dalam perkara penipuan ini Ronny Wijaya yang menjadi korban penipuan melaporkan Tersangka I atau Terlapor I Raden Gusti Anwar Sidiq dan Tersangka II atau Terlapor II Heri Basuki kasus ke POLRESTABES Surabaya, dalam proses penyidikan yang dilakukan oleh kepolisian Tersangka I ataupun Terlapor I Raden Gusti Anwar Sidiq meninggal dunia sehigga penyidik memutuskan untuk menghentikan penyidikan demi hukum dan kemudian kepolisian juga menghentikan penyidikan Terangka II ataupun Terlapor II dikarenakan tidak cukup bukti. Korban Ronny Wijaya yang mengetahui hal tersebut merasa tidak terima atas penyidikan yang dilakukan
POLRESTABES
Surabaya
sehingga
Korban
Ronny
Wijaya
mengajukkan permohonan Praperadilan di Pengadilan Negeri Surabaya. Dalam persidangan telah dilayangan gugatan Praperadilan hingga majelis hakim menjatuhkan putusan atas permohonan keabsahan penghentian penyidikan atas perkara penipuan. Oleh sebab itu mengnai isu hukum terkait dalam penulisan huku ini akan dibahas lebih terperinci mengenai dalil hukum pengajuan Praperadilan oleh korban terhadap keabsahan penghentian penyidikan dalam perkara penipuan oleh Kepolisian Resort Kota Besar Surabaya sesuai dengan KUHAP dan pertimbangan Hakim Pengadilan Negeri Surabaya dalam
40
mengabulkan
Permohonan
Praperadilan
terhadap
keabsahan
penghentian
penyidikan dalam perkara penipuan oleh Kepolisian Resort Kota Besar Surabaya sesuai ketentuan KUHAP.
41