8
BAB II TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Tinjauan Pustaka 2.1.1 Pengertian Sumberdaya Sumberdaya didefinisikan sebagai sesuatu yang dipandang memiliki nilai ekonomi. Dapat juga dikatakan bahwa sumberdaya adalah komponen dari ekosistem yang menyediakan barang dan jasa yang bermanfaat bagi kebutuhan manusia. Grima dan Berkes (1989) mendefinisikan sumber daya sebagai aset untuk pemenuhan kepuasan dan utilitas manusia. Rees (1990) lebih jauh mengatakan bahwa sesuatu untuk dapat dikatakan sebagai sumberdaya harus memiliki dua kriteria, yakni: a. Harus ada pengetahuan, teknologi atau keterampilan (skill) untuk memanfaatkannya. b. Harus ada permintaan (demand) terhadap sumber daya tersebut. Haggest (1980) dalam Johara (1999) mengklasifikasikan sumberdaya alam menjadi: a.
Sumberdaya yang terbaharui (renewable resources) seperti: air, hutan, dan sebagainya
b.
Sumberdaya
menghabis,
yaitu
yang
tidak
dapat
diperbaharui
(nonrenewable resources), seperti: bensin, batu bara, besi, dan sebagainya. c.
Sumberdaya alam lainnya seperti: pemandangan alam untuk pariwisata, iklim, dan sebagainya. Sedangkan menurut Spencer dan Thomas (1988) dalam Johara (1999),
sumberdaya adalah setiap hasil, benda, atau sifat/keadaan, yang dapat dihargai bilamana produksinya, prosesnya, dan penggunaannya dapat dipahami.
9
2.1.2 Pengertian Tanah Menurut Risnarto (2007), tanah sebagaimana yang tampak sehari-hari ternyata mempunyai pengertian yang bermacam-macam tergantung sudut pandang dan kepentingan. Ada yang mengenal tanah sebagai benda/barang atau material, tubuh bumi (soil), sebagai tempat/lokasi (land) dan ruang hidup (space). Pengertian tanah sebagai material berkaitan dengan kegunaan fisik sebagai bahan galian atau barang tambang. Pengertian sebagai soil, berkaitan dengan kegunaan sebagai wahana tumbuh dan berproduksinya sesuatu komoditi tanaman. Pengertian sebagai land berkaitan dengan tempat bermukim dan berusaha bidang pertanian maupun non-pertanian. Sedangkan sebagai space berkaitan dengan ruang dimana manusia hidup dan berada, yang dikenal sebagai ruang geografi dengan entity utama posisi, luas, jarak, accessibility. Tanah dalam arti land mempunyai aspek ruang dan aspek hukum. Aspek ruang berkaitan tempat pemukiman dan kegiatan manusia di atasnya maupun di bawahnya, sedangkan aspek hukum berkaitan dengan hak memiliki dan menggunakan. Aspek-aspek itulah yang terbawa dan melekat menjadi hak bagi pemilik sebidang tanah sebagai subyek hak dan tanah sebagai obyek hak. Hubungan saling terkait itu dikenal dengan istilah pertanahan. Pertanahan merujuk pada sistem yang saling terkait antara suatu subjek hak atas tanah (perorangan/individu, kelompok masyarakat atau badan hukum pemerintah dan swasta) dengan suatu objek hak atas tanah pada lokasi, luas dan batas-batas tertentu melalui hubungan penguasaan pemilikan dan penggunaan pemanfaatan. Kekuatan hubungan itu, diindikasi dari tingkat hubungan secara juridis dalam bentuk jenis hak atas tanah yang dipunyai maupun hubungan secara fisik dalam bentuk penggunaan dan pengambilan manfaat. Kekuatan hubungan itulah yang menjadikan tanah mempunyai nilai hak kepemilikan (property right), di samping pembentuk nilai tanah yang lain, seperti accessibility, transferability, utility dan amenity (Risnarto, 2007). Peter Butt (2001) dalam Risnarto (2007) mengemukakan bahwa Common Law konsep tanah mempunyai tiga area dimensi ruang “land is an area of threedimensioned space, its position identified by natural or imaginary points located by reference to the earth’s surface. This three dimensional space may include the earth’s surface, or may be the wholly above it or wholly below it. It may have
10
physical contents or it may be void, for any three-dimensional quantum of the space – even airspace - can be “land”. If it has contents that are fixed in position, those fixed contents are part of the “land”. But the “land” is more than those fixed contents.The contents of the space may be physically severed, destroyed or consumed, but the space itself – and so the “land” – remains. In this sense, the land is indestructible. It is also immovable”. Berbeda dengan yang dikemukakan oleh Notohadiprawiro (1996), tanah adalah gejala alam permukaan daratan yang membentuk suatu mintakat atau (zone) yang disebut pedosfer dan tersusun atas massa galir (loose) berupa campuran pecahan dan lapukan bahan mineral dengan rombakan bahan organik1. Menurut Notohadiprawiro (1994) terdapat enam perspektif untuk memahami hakekat tanah, yaitu2: 1.
Tanah selaku suatu ujud; memadukan bidang-bidang kajian klasik geologi bahan induk, tanah dan bentuk lahan, proses pelapukan, pembentukan bahan tanah, pembentukan tanah, dan mikromorfologi tanah.
2.
Tanah selaku reaktor: memadukan bidang-bidang kajian klasik fisika tanah, kimia tanah, mineralogi tanah (termasuk mineralogi lempung), biokimia tanah dan bahan organik tanah.
3.
Tanah selaku ekosistem; memadukan bidang-bidang klasik kajian biologi tanah (termasuk mikrobiologi tanah), bioteknologi tanah, interaksi biologi dalam tanah, dan daur energi dan bahan dalam persinambung (continuum) tanah-tumbuhan-atmosfer.
4.
Tanah selaku komponen lahan; memadukan pembicaraan mengenai tanah sebagai subsistem lahan, interaksi tanah dengan komponen lahan yang lain, dan implikasi tanah dari pengharkatan lahan dan tata guna lahan.
1
Notohadiprawiro, Tejoyuwono. 1994. Memperbaharui Paradigma Ilmu Tanah dalam http://www.googlescholar.com. Diakses pada tanggal 3 April 2010.
2
ibid. 1996. Pendayagunaan pengelolaan Tanah untuk Proteksi lingkungan (Seminar Sehari Sekolah Tinggi Teknik Lingkungan Tentang Inovasi Teknologi Lingkungan Menyongsong Era Globalisasi. Yogyakarta, 18 September 1996) dalam http://www.googlescholar.com. Diakses pada tanggal 3 April 2010.
11
5.
Tanah selaku sumberdaya; memadukan bidang-bidang kajian klasik geografi tanah,
klasifikasi
tanah,
pengharkatan
tanah
(termasuk
kesuburan,
produktivitas, kapabilitas, dan kesehatan tanah), dan ekonomi lahan. 6.
Tanah dalam lingkungan manusia; memadukan pembicaraan tentang tanah untuk penyingkiran limbah, fungsi saniter tanah, dan pengendalian tanah dalam pengendalian hayati atas penyakit dan hama tular tanah (soil-borne).
2.1.3 Nilai Tanah Chapin (1995) dalam Johara (1999) menggolongkan nilai tanah menjadi 3 yaitu: 1.
Nilai keuntungan yang dihubungkan dengan tujuan ekonomi, dan yang dapat dicapai dengan jual-beli tanah di pasaran bebas.
2.
Nilai kepentingan umum, yang berhubungan dengan pengaturan untuk masyarakat umum dalam perbaikan kehidupan masyarakat.
3.
Nilai sosial, yang merupakan hal yang mendasar bagi kehidupan (misalnya sebidang tanah yang dipelihara, peninggalan, pusaka, dan sebagainya), dengan pelestarian, tradisi, kepercayaan dan sebagainya. Sedangkan menurut pernyataan Adiwibowo (2009), dalam Undang-
Undang No.5 Tahun 1960 tentang peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria dimuat empat macam hak untuk memakai suatu bidang tanah tertentu dalam rangka untuk memenuhi kebutuhan tertentu, yaitu Hak Milik, Hak Guna Usaha, Hak Guna Bangunan, dan Hak Pakai. Satu hal pokok yang perlu dipahami adalah konsepsi tentang Hak Milik dan Hak Pakai. Menurut Harsono (1992) dalam Adiwibowo (2009) “Hak Milik bukan nama asli Indonesia, tetapi sifat-sifat hak menguasai tanah yang diberi nama sebutan hak milik itu sudah dikenal dalam hukum adat. Hubungan tersebut bukan sekedar hubungan lugas yang memberi kewenangan dipakainya suatu bidang tanah tertentu, tetapi juga mengandung hubungan psikologis-emosional antara pemegang hak dengan tanah yang bersangkutan sedemikian rupa sehingga tanah tersebut dirasakan sebagai kepunyaannya”. Hak Pakai ini dalam UUPA diberi nama sebutan hak milik. Hak ini tidak terbatas jangka waktu berlakunya dan diperuntukkan khusus bagi warga negara Indonesia, baik untuk tanah yang diusahakan maupun untuk keperluan
12
membangun sesuatu di atasnya. Walau Hak Milik bukan nama asli Indonesia, namun sifat-sifat hak menguasai tanah yang diberi nama sebutan Hak Milik tersebut sudah dikenal dalam hukum adat, sebagai perkembangan pengusaan dan pengusahaan atau penggunaan warga masyarakat hukum adat pemegang hak ulayat. Hak Pakai yang bukan Hak Milik ini sudah dikenal lama dalam hukum adat dengan berbagai sebutan dalam bahasa setempat (Harsono, 1992 dalam Adiwibowo, 2009). Adapun dalam Hak Guna Usaha, Hak Guna Bangunan dan Hak Pakai, hubungan antara pemegang hak dengan tanah yang dihaki lebih bersifat lugas. Di mata pemegang Hak, ketiga jenis hak ini lebih dipandang sebagai faktor ekonomi untuk memenuhi suatu kebutuhan tertentu. 2.1.4
Pengelolaan Tanah Menurut pengertian umum, yang tanah melulu dikaitkan dengan pertanian,
pengelolaan tanah ialah tindakan atau seni menggunakan tanah untuk produksi tanaman sinambung yang menguntungkan. Produksi tersebut dapat melibatkan segala tindakan mengolah dan menggarap tanah serta budidaya pertanaman berupa pemeliharaan dan perbaikan keadaan fisik tanah, bahan organik tanah, hara tersediakan, kegiatan biologi tanah dan konservasi tanah dan air (American Society of Agricultural Engineers, 1967 dalam Notohadiprawiro, 1997).3 Tanah sebagai sumberdaya pada dasarnya diperlukan bagi semua kegiatan kehidupan dan penghidupan. Tanah sebagai salah satu sumberdaya alam memiliki nilai ekonomis serta memiliki nilai sosial politik dan pertahanan keamanan yang tinggi (Nasoetion, 2002). Sebagai sumberdaya, tanah mempunyai ciri-ciri khas yang unik dibandingkan dengan sumberdaya lain (Harsono, 1992 dalam Utomo, 1992). Ciri-ciri ini antara lain adalah bahwa sebidang tanah selalu berorientasi pada lokasi atau letaknya yang tertentu, karena letak sebidang tanah tidak dapat dipindahkan ke tempat lain. Kondisi fisik dua bidang tanah dapat sama, tetapi lokasinya tetap berbeda.
3
Notohadiprawiro, Tejoyuwono. 1997. Keselamatan Sumberdaya Tanah dalam Kebijakan Pertumbuhan Ekonomi di Indonesia dalam http://www.googlescholar.com. Diakses pada tanggal 3 april 2010.
13
Ciri khas lainnya adalah bahwa sebagai ruang, tanah merupakan sumberdaya yang tidak habis, namun jumlahnya tetap, tidak bertambah. Kalau kebutuhan akan ruang termasuk kebutuhan untuk memanfaatkan potensi kesuburan tanah dalam usaha di bidang pertanian juga memerlukan tanah sebagai ruang bertambah, maka yang dapat dilakukan adalah peningkatan efisiensi dan intensitas penggunaan tanah yang bersangkutan. Untuk tanah pertanian hal ini dilakukan dengan kegiatan intensifikasi pertanian, dalam arti meningkatkan pemberian masukan teknologi pada luas tanah yang sama. Sedangkan dalam penggunaan non pertanian, misalnya untuk bangunan, jalan, dan struktur-struktur fisik lainnya, dilakukan dengan pendirian bangunan-bangunan bertingkat, tidak saja di atas permukaan tanah, tetapi juga dengan pemanfaatan ruang di bawah tanah (Harsono, 1992 dalam Utomo, 1992). Menurut Harsono (1992) dalam Utomo et. al (1992) penggunaan tanah pada garis besarnya dapat dibedakan menjadi dua golongan: a.
Penggunaan tanah dalam kaitan dengan pemanfaatan potensi alaminya, misalnya kesuburan tanah, kandungan mineral, atau karena terdapatnya endapan bahan galian pertambangan di bawah permukaannya.
b.
Penggunaan tanah dalam kaitan dengan pemanfaatannya sebagai ruang pembangunan, yang secara langsung tidak memanfaatkan potensi alami dari tanah, tetapi lebih ditentukan oleh adanya hubungan-hubungan tata ruang dengan penggunaan-penggunaan lain yang telah ada, di antaranya ketersediaan prasarana dan fasilitas umum lainnya.
2.1.5
Tata Ruang dan Tata Guna Lahan Suatu rencana tata guna lahan merupakan ekspresi kehendak lingkungan
masyarakat mengenai bagaimana seharusnya pola tata guna lahan suatu lingkungan pada masa yang akan datang. Dalam rencana itu ditentukan daerahdaerah yang akan digunakan bagi berbagai jenis kepadatan dan intensitas kategori penggunaan, misalnya penggunaan untuk permukiman, perdagangan, industri dan berbagai kebutuhan umum. Ditentukan pula asas dan standar yang harus diterapkan pada pembangunan atau pelestarian di daerah itu. (Sutarto, 2007)
14
Terdapat empat kategori alat perencanaan tata guna lahan menurut Catanese et.al (1992) dalam Sutarto (2007) untuk melaksanakan rencana, yaitu: 1. Penyediaan Fasilitas Umum: fasilitas umum diselenggarakan terutama melalui program perbaikan modal dan dengan cara melestarikan atau secara dini menguasai lahan umum dan daerah milik jalan (damija). 2. Peraturan Pembangunan: ordonansi yang mengatur pendaerahan (zoning) peraturan tentang pengaplingan dan ketentuanketentuan hukum lain mengenai pembangunan merupakan jaminan agar kegiatan pembangunan oleh sektor swasta mematuhi standar tertentu dan dilakukan ditempat yang tidak menyimpang dari rencana tata guna lahan. 3. Himbauan, Kepemimpinan dan Koordinasi: sekalipun agak lebih informal daripada program perbaikan modal atau peraturanperaturan pembangunan, hal ini dapat menjadi amat efektif untuk menjamin agar gagasan-gagasan, data, peta-peta, informasi dan riset mengenai pertumbuhan dan perkembangan masyarakat dapat masuk dalam proses pembuatan keputusan kalangan developer swasta dan juga berbagai jawatan dan departemen yang melayani kepentingan umum. 4. Rencana Tata Guna Lahan: rencana saja sebenarnya sudah merupakan alat untuk melaksanakan kebijakan-kebijakan serta saran-saran yang dikandungnya selama semua itu terbuka dan tidak basi sebagai arahan yang secara terus-menerus untuk acuan pengambilan keputusan baik bagi kalangan pemerintah maupun swasta. Suatu cara untuk melaksanakan hal itu ialah dengan meninjau, menyusun dan mensahkan kembali rencana itu dari waktu ke waktu. Penggunaan lahan sangat terkait dengan tata guna lahan. Menurut Johara (1992), tata guna tanah (land use) adalah pengaturan penggunaan tanah. Kebijaksanaan tentang penatagunaan tanah yang merupakan penjabaran dari pasal 14 UUPA yang menyebutkan dalam penjelasannya bahwa "untuk mencapai apa yang menjadi cita-cita Bangsa dan Negara dalam bidang pertanahan perlu adanya rencana (planning) mengenai peruntukan, penggunaan, dan persediaan bumi, air, dan ruang angkasa untuk berbagai kepentingan hidup rakyat dan negara". Pemerintah membuat rencana umum persediaan, peruntukan dan penggunaan bumi, air, ruang angkasa serta kekayaan alam yang terkandung di dalamnya.
15
Berdasarkan rencana umum yang meliputi seluruh wilayah Indonesia, pemerintah daerah dapat mengatur persediaan, peruntukan dan penggunaan tanah di wilayahnya sesuai dengan kondisi daerahnya masing-masing. TAP MPR RI No. IV/MPR/1978 juga mengatur tentang perlunya menata kembali penggunaan, penguasaan, dan pemilikan tanah untuk mewujudkan keadilan sosial. Hal yang sama ditetapkan lagi dalam TAP MPR RI No. II/MPR/1988. Terakhir, dengan TAP MPR RI No. II/MPR/1993 secara eksplisit disebutkan tentang pentingnya pembatasan pemilikan dan penguasaan tanah ini antara lain sebagai berikut: “penataan penggunaan tanah perlu memerhatikan hakhak rakyat atas tanah, fungsi sosial atas tanah, batas maksimum pemilikan tanah pertanian dan perkotaan serta mencegah penelantaran tanah, termasuk berbagai upaya untuk mencegah pemusatan penguasaan yang merugikan kepentingan rakyat.” 4 Menurut Peraturan Pemerintah No.16 Tahun 2004 pada tanggal 10 Mei 2004 tentang Penatagunaan Tanah. Diberlakukannya Peraturan Pemerintah No.16 Tahun 2004 berarti menjawab perintah sebagaimana termaktub pada Pasal 14 juncto 15 Undang-Undang No. 5 Tahun 1960 bahwa pengaturan tentang kewajiban pemerintah untuk menyusun perencanaan penggunaan, penguasaan, dan pemilikan tanah dalam suatu peraturan pemerintah terjawab setelah melewati kurun waktu 44 tahun. Merujuk pada peraturan pemerintah tersebut, yang dimaksud dengan tata guna tanah diatur dalam Pasal 1 angka 1, yakni: “sama dengan pola pengelolaan tata guna tanah yang meliputi penguasaan, penggunaan dan pemanfaatan tanah yang berwujud konsolidasi pemanfaatan tanah melalui pengaturan kelembagaan yang terkait dengan pemanfaatan tanah sebagai satu kesatuan sistem untuk kepentingan masyarakat secara adil”. Apabila ditelaah dengan seksama dari tiga dokumen tersebut, ada empat unsur esensial dalam penataguaan tanah, yaitu:
4
Makalah pada seminar nasional “Pembatasan Penguasaan dan Pemilikan Tanah Perkotaan” dalam Tanah dalam Perspektif Hak Ekonomi, Sosial, dan Budaya. 2 Oktober 1993. Yogyakarta: kerjasama fakultas hukum UGM – Badan Pertanahan Nasional.
16
(a)
Adanya serangkaian kegiatan/aktivitas, yaitu pengumpulan data lapangan tentang
penggunaan,
penguasaan,
kemampuan
fisik,
pembuatan
rencana/pola penggunaan tanah, penguasaan dan keterpaduan yang dilakukan secara integral da koordinasi dengan instansi lain. (b)
Dilakukan secara berencana dalam arti harus sesuai dengan prinsip: lestari, optimal, serasi, dan seimbang.
(c)
Adanya tujuan yang hendak dicapai, yaitu sejalan dengan tujuan pembangunan untuk sebesar-besar kemakmuran rakyat.
(d)
Harus terkait lagsung dengan peletakan proyek pembangunan dengan memperhatikan DSP (daftar skala prioritas). Sementara Pasal 3 Peraturan Pemerintah No. 16 Tahun 2004 menyebutkan
secara tegas empat tujuan penatagunaan tanah, yakni: a.
“mengatur penguasaan, penggunaan dan pemanfaatan tanah bagi berbagai kebutuhan kegiatan pembangunan yang sesuai dengan Rencana Tata Ruang Wilayah;
b.
mewujudkan penguasaan, penggunaan dan pemanfaatan tanah agar sesuai dengan arahan fungsi kawasan dalam Rencana Tata Ruang Wilayah;
c.
mewujudkan tertib pertanahan yang meliputi penguasaan, penggunaan dan pemanfaatan tanah termasuk pemeliharaan tanah serta pengendalian pemanfaatan tanah;
d.
menjamin
kepastian
hukum
untuk
menguasai,
menggunakan
dan
memanfaatkan tanah bagi masyarakat yang mempunyai hubungan hukum dengan tanah sesuai dengan Rencana Tata Ruang Wilayah yang telah ditetapkan.” Pembuatan rencana tata guna tanah diupayakan sejalan dengan asas ini, agar kesejahteraan dan kemakmuran rakyat dapat tercapai. Ada tiga asas dalam tata guna tanah, yaitu: a.
Prinsip penggunaan aneka (Principle of Multiple Use) Diupayakan agar perencanaan harus dapat memenuhi beberapa kepentingan sekaligus pada kesatuan tanah tertentu.
17
b.
Prinsip penggunaan maksimal (Principle of Maximum Production): perencanaan harus diarahkan untuk memperoleh hasil fisik yang setinggitingginya untuk memenuhi kebutuhan yang mendesak.
c.
Prinsip penggunaan yang optimal (Principle of Optimalization Use): perencanaan harus diarahkan agar memberikan keuntungan yang sebesarbesarnya
bagi
penggunaan
tanpa
merusak
kelestarian
kemampuan
lingkungan. Prinsip ketiga merupakan prinsip yang pokok dalam rangka pencapaian masyarakat yang adil dan makmur. Prinsip keserasian dan keseimbangan agar suatu ruang atas tanah dapat diupayakan oleh pengambil kebijakan agar dapat menampung berbagai kepentingan, baik perorangan, masyarakat, maupun negara untuk dapat dicegah timbulnya konflik. Rencana tata guna tanah tidak hanya berarti menggunakan tanah secara terencana untuk sektor tertentu saja, melainkan untuk seluruh sektor kegiatan pembangunan. Jelasnya merupakan usaha untuk menata letak proyek-proyek pembangunan baik yang diprakarsai oleh pemerintah maupun oleh swadaya masyarakat sesuai dengan kebijaksanaan pembangunan. Sumardjono (2008) menyatakan intervensi pemerintah berupa pengaturan penatagunaan tanah ditujukan untuk menyediakan tanah bagi kepentingan umum yang tidak dapat disediakan oleh orang perseorangan. Tujuan lain adalah untuk meningkatkan efisiensi, misalnya dengan cara mengarahkan pengembangan tanah untuk tujuan yang lebih bermanfaat, membatasi perkembangan kota yang tidak teratur, serta mencegah berkurangnya tanah-tanah perdesaan. Selain itu, pengaturan penatagunaan tanah juga ditujukan untuk menyediakan tanah bagi semua golongan dalam masyarakat dan menjaga agar manfaat pengembangannya dapat dinikmati oleh seluruh lapisan masyarakat.5 Spasial
merupakan
sumber
daya
yang
free
access
atau
open
access/common goods/commons property dan unrestricted demand yang membawa konsekuensi semua orang yang berkepentingan untuk memperoleh akses sebatas yang diperlukan. Ruang termasuk sumber daya karena dalam tiga dimensi ruang mencakup pijakan tanah (permukaan bumi), bagian atas lapisan 5
Peraturan Pemerintah (PP) No. 16/2004 tentang Penatagunaan Tanah terbit pada 10 Mei 2004.
18
tanah sampai atmosfer, lautan serta bagian di dalam lapisan tubuh bumi. Demikian luasnya cakupan ruang, diperlukan adanya penjabaran yang jelas karena muncul motif ekonomi baik perorangan, kelompok atau komunitas tertentu untuk mengambil manfaat secara subyektif. Salah satu pandangan misalnya yang dikemukakan Baland dan Platteau (1996) dalam Muchsin dan Koeswahyono (2008) menyatakan bahwa motif kepentingan pribadi bersifat ekonomis lebih superior atas milik bersama (common property), sehingga keduanya menyarankan agar dilakukan pengaturan agar pemanfaatan hak milik bersama menjadi efisien. Undang-Undang
No.
24
tahun
1992
tentang
Penataan
Ruang
mengamanatkan bahwa penataan ruang diselenggarakan dengan berasaskan kepada pemanfaatan ruang bagi semua keperluan secara terpadu, berkelanjutan, keterbukaan, persamaan, keadilan, dan perlindungan hukum. Tata guna tanah sebagai bagian dari konsep tata ruang memerlukan perencanaan yang komprehensif (menyeluruh) dengan berbagai pertimbangan tradeoffs agar diperoleh sejumlah values, goals, and assumption. Perencanaan tata ruang merupakan kegiatan menentukan berbagai kebutuhan manusia dengan cara memanfaatkan rencana lokasi berbagai kegiatan dalam ruang agar memenuhi sumber daya yang tersedia. Antara tata guna tanah dengan tata ruang mempunyai hubungan yang sangat erat dalam perencanaan tata kota. Penataan ruang wilayah, mengandung komitmen untuk menerapkan penataan secara konsekuen dan konsisten dalam rangka kebijakan pertanahan yang berlandaskan Undang-Undang No.5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria. Pasal 33 ayat (1) sampai (5) Undang-Undang No. 26 Tahun 2007 tentang Penataan Ruang (Lembaran Negara Tahun 2007 No. 68) menegaskan secara lebih jelas mengenai korelasi penatagunaan tanah dengan penataan ruang dengan uraian lengkap sebagai berikut: (1)
Pemanfaatan ruang mengacu pada fungsi ruang yang ditetapkan dalam rencana tata ruang dilaksanakan dengan mengembangkan penatagunaan tanah, penatagunaan air, penatagunaan udara dan penatagunaan sumber daya alam lain;
19
(2)
Dalam rangka pengembangan penatagunaan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diselenggarakan kegiatan penyusunan dan penetapan neraca penatagunaan tanah, neraca penatagunaan sumber daya air, neraca penatagunaan sumber daya alam lain;
(3)
Penatagunaan tanah pada ruang yang direncanakan untuk pembangunan prasarana dan sarana bagi kepentingan umum memberikan hak prioritas pertama bagi Pemerintah dan Pemerintah Daerah untuk menerima pengalihan hak atas tanah dari pemegang hak atas tanah;
(4)
Dalam pemanfaatan ruang pada ruang yang berfungsi lindung, diberikan prioritas pertama bagi Pemerintah dan Pemerintah Daerah untuk menerima pengalihan hak atas tanah dari pemegang hak atas tanah jika yang bersangkutan akan melepaskan.
2.1.6
Pengertian Struktur Agraria Sitorus (2002) dalam Adly (2009) menjelaskan bahwa lingkup agraria
mengandung pengertian yang luas dari sekedar “tanah pertanian” atau “pertanian”, yaitu suatu bentang alam yang mencakup keseluruhan kekayaan alami (fisik dan hayati) dan kehidupan sosial yang terdapat di dalamnya. Lingkup agraria itu sendiri terdiri dari dua unsur, yaitu obyek agraria atau dapat disebut juga sebagai sumber-sumber agraria dalam bentuk fisik. Sumber-sumber agraria ini sangat erat kaitannya dengan ruang fisik tertentu yang tidak dapat dipindahkan ataupun dimusnahkan. Oleh karena itu, sumber-sumber agraria sangat erat kaitannya dengan akumulasi kekuasaan (politik, ekonomi, sosial). Pasal 1 (ayat 2, 4, 5, 6) UUPA 1960, Sitorus (2002) dalam Adly (2009) menyimpulkan sumber-sumber agraria sebagai berikut: (a) tanah atau “permukaan bumi” yang merupakan modal alami utama dalam kegiatan pertanian dan peternakan; (b) perairan, baik di darat maupun di laut yang meliputi kegiatan perikanan (sungai, danau maupun laut); (c) hutan, meliputi kesatuan flora dan fauna dalam suatu kawasan tertentu dan merupakan modal alami utama dalam kegiatan ekonomi komunitas-komunitas; (d) bahan tambang, mencakup beragam bahan tambang/mineral yang terkandung di dalam “tubuh bumi”; (e) Udara, dalam arti ruang di atas bumi dan air.
20
Kemudian unsur kedua adalah subyek agraria, yaitu pihak-pihak yang memiliki kepentingan terhadap sumber-sumber agraria tersebut. Secara garis besar, subyek agraria dapat dibedakan menjadi tiga, yaitu komunitas (mencakup unsur-unsur individu, kesatuan dari unit-unit rumah tangga dan kelompok), pemerintah (sebagai representasi negara mencakup Pemerintah Pusat, Pemerintah Daerah dan Pemerintah Desa) dan swasta (private sector mencakup unsur-unsur perusahaan kecil, menengah dan besar). Ketiga kategori ini memiliki ikatan dengan
sumber-sumber
agraria
melalui
institusi
penguasaan/pemilikan/pemanfaatan (tenure institutions). Sitorus (2002) dalam Adly (2009) membagi analisis agraria ke dalam dua bentuk. Pertama, ketiga subyek agraria memiliki hubungan teknis dengan obyek agraria dalam bentuk kerja pemanfaatan berdasar hak penguasaan (land tenure) tertentu; kedua, ketiga subyek agraria satu sama lain berhubungan atau berinteraksi secara sosial dalam rangka penguasaan dan pemanfaatan obyek agraria tertentu. Proporsi pertama menggambarkan hubungan teknis yang menunjukan cara kerja subyek agraria dalam pengolahan dan pemanfaatan obyek agraria
untuk
memenuhi
kebutuhannya.
Sedangkan
proporsi
kedua
menggambarkan hubungan sosial agraris yang menunjukan cara kerja subyek agraria yang saling berinteraksi dalam rangka pemanfaatan obyek agraria, dengan kata lain hubungan ini berpangkal pada perbedaan akses dalam hal penguasaan/pemilikan/dan pemanfaatan lahan. Menurut Wiradi (1984) dalam Adly (2009), kata ”penguasaan” menunjuk pada penguasaan efektif, sedangkan ”pemilikan” tanah menunjuk pada penguasaan formal. Penguasaan formal dapat dijelaskan dengan adanya undangundang yang mengatur mengenai penguasaan tanah. Penguasaan tanah belum tentu dan tidak harus disertai dengan pemilikan. Penguasaan tanah dapat berupa hubungan “pemilik dengan pemilik”, “pemilik dengan pembagi- hasil”, “pemilik dengan penyewa”, “pemilik dengan pemakai” dan lain-lain (Sihaloho, 2004). Kata “pengusahaan” menunjuk pada pemanfaatan sebidang tanah secara produktif (Wiradi, 1984 dalam Adly, 2009). Hubungan-hubungan sosial agraria antar subyek agraria kemudian membentuk sebuah struktur agraria yang digambarkan dalam hubungan segitiga antar subyek agraria (Gambar 1).
21
Komunitas
Sumber-sumber agraria
Swasta
Pemerintah
Gambar 1. Lingkup Hubungan-hubungan Agraria Sumber: Sitorus (2002)
Keterangan: Hubungan teknis agraria (kerja) Hubungan sosial agraria 1. Sistem Gadai, merupakan bentuk kelembagaan penguasaan tanah dimana pemilik menyerahkan tanah untuk menerima pembayaran sejumlah unang secara tunai atau dengan bentuk pembayaran berupa sekian kuintal gabah atau sekian gram emas perhiasan atau sekian ekor kerbau atau sapi, dengan ketentuan pemilik tetap berhak atas pengembalian tanahnya dengan jalan menebus, maka hak pengusahaan tanahnya ada pada pemegang gadai. Pengembalian tanah dilakukan setelah tanah selesai dipanen. 2. Sistem sewa adalah penyerahan sementara hak penguasaan tanah kepada orang lain, sesuai dengan perjanjian yang dibuat bersama oleh pemilik dan penyewa. 3. Sistem bagi hasil adalah penyerahan sementara hak atas tanah kepada orang lain untuk diusahakan, dengan penggarap akan menanggung beban tenaga kerja seluruhnya dan menerima sebagian dari hasil tanahnya. A. Tipe-tipe Pertanian 1. Penggembalaan berpindah Dalam industri peternakan ini, hewan digiring secara periodik ke padang rumput. Terdapat beberapa tipe penggembalaan berpindah yaitu, penggembalaan di pegunungan, sistem transhumance, dan pastoral humadism. Hak untuk menggunakan daerah padang rumput berada ditangan suku, sedangkan hewan dimiliki oleh masing-masing keluarga.
22
2. Perladangan berpindah Perladangan berpindah ialah suatu jenis pertanian dengan lahan yang ditanami berpindah secara berkala, sehingga lahan yang telah dipanen sebelumnya dibiarkan bera dan menjadi hutan. Ini merupakan cara tradisional dalam pemanfaatan lahan dan masih dapat dijumpai di wilayah hutan tropik basah. Perladangan berpindah dalam pengertian yang lebih sempit berarti perpindahan lahan yang ditanami maupun pemukiman. Namun akhir-akhir ini terdapat kecenderungan untuk memindahkan lahan yang ditanami saja sedangkan pemukimannya tetap, karena makin padatnya penduduk dan pengaruh kebijaksanaan pemerintah. Pekerjaan dilakukan oleh keluarga dan diatur berdasarkan pembagian kerja menurut adat istiadat. Biasanya kaum pria membuka lahan sedangkan kaum wanita bertanggung jawab untuk menanami, mengolah dan yang lebih maju. 3. Pertanian feodalistik Disini feodalisme tidak dilihat dari aspek sejarah perkembangan masyarakat tetapi lebih sebagai suatu bentuk stratifikasi sosial yang ditandai dengan perbedaan kekayaan, pendapatan, kekuasaan dan martabat. Antara minoritas yang terdiri dari pemilik lahan yang besar dan mayoritas yang terdiri dari mereka yang tidak memiliki lahan atau memiliki lahan sempit, terdapat hak dan kewajiban yang saling mengikat, namun sangat tidak seimbang. 4. Feodalisme persewaan Penggunaan lahan, pajak atau kekuasaan ekonomi merupakan dasar bagi para pemilik lahan (tuan tanah) untuk menguasai petani dan mereka yang tidak memiliki lahan. Yang penting bagi pembentukan struktur pertanian ini ialah konsentrasi pemilikan lahan dan air di tangan beberapa tuan tanah yang minatnya terhadap lahan sebenarnya sangat kurang. Mereka membagi lahan menjadi bagian-bagian kecil untuk ditanami oleh petani penggarap.
23
Penyewa harus tunduk kepada kemauan tuan tanah tentang pertanian. Karena sempitnya lahan yang mereka sewa keadaan ekonomi mereka umumnya sangat kritis dan seringkali mereka kehilangan kebebasan terhadap tuan tanah akibat terlibat hutang. Tuan tanah berusaha untuk memperoleh pendapatan yang tinggi dengan cara menaikkan sewa sambil mengeluarkan upaya sedikit dan tidak berusaha agar penyewa menanam lebih intensif. Bagi mereka lahan adalah kekayaan untuk disewakan dan sekaligus memberikan martabat dan kekuasaan karena ketergantungan penyewa juga mencakup kehidupan pribadinya dan memaksa penyewa untuk patuh dalam segala keadaan. 5. Latifundia (hacienda) Latifundia ialah pemilikan lahan yang luar biasa luasnya. Sekarang hanya ada di Amerika Latin. Bentuk yang paling banyak dilaksanakan ialah latifundia (hacienda) yang berasal dari undang-undang kolonial yang memperbolehkan berlangsungnya kerja paksa atau pemberian hadiah lahan bagi jasa kemiliteran. Hacienda adalah kesatuan sosial dan ekonomi yang sama dengan suatu negara kecil, hidup secara swasembada dan memenuhi kebutuhan ekonomi sendiri (autarki) berada di bawah “pelindung” (patron). Hacienda bukanlah suatu pertanian, melainkan lebih menyerupai sebidang lahan yang mempunyai beberapa bentuk organisasi pekerja dan pemanfaatan lahan secara simultan, misalnya perkebunan dan pertanian bagi hasil. 6. Pertanian keluarga Dalam pertanian keluarga hak milik dan hak pakai berada di tangan masing-masing keluarga. Pengelolaan dan pekerjaan dilakukan oleh keluarga yang memiliki lahan pertanian, dan dengan demikian tidak terikat kepada kelompok sosial yang lebih besar. Tipe ini terdapat di eropa, di pemukiman orang Eropa maupun di banyak bagian dunia lainnya. Lahan adalah faktor pemersatu dalam sistem sosial pedesaan sekaligus sebagai landasan kehidupan, faktor produksi, kemakmuran dan tempat tinggal. Sesuai dengan tradisi, lahan tidak dijual, melainkan dimanfaatkan dan kemuadian diwariskan kepada generasi berikutnya. Tujuan ekonominya
24
ialah memenuhi kebutuhan sosial dan ekonomi semua orang yang tinggal di kawasan pertanian tersebut. Sebagai tujuan jangka panjang yang berlangsung dari generasi ke generasi, pertanian harus dilakukan sedemikian rupa sehingga kesuburan tanah dan lingkungan tidak rusak. 7. Pertanian kapitalistik Sebuah perkebunan merupakan sebuah pertanian berskala besar yang mengutamakan penanaman tanaman tahunan, misalnya pohon, semak atau perdu, seringkali dengan sistem penanaman satu jenis (monokultur). 8. Pertanian kolektif Dalam struktur pertanian yang sangat beraneka ragam ini dapat dibedakan beberapa tipe dasar. Di dalam pertanian yang sosialistik sarana produksi telah diserahkan kepada rakyat dan produksi direncanakan oleh negara. Pertanian yang komunistik bukan hanya merupakan sistem ekonomi tetapi lebih merupakan pandangan hidup secara keseluruhan, berdasarkan politik, etika atau agama. 9. Pertanian sosialistik Berdasarkan ideologi yang sosialistik pemikiran pribadi atas lahan mengarah pada pemerataan. Karena itu sosialisasi sarana produksi merupakan unsur utama dalam struktur pertanian ini yang sangat dipengaruhi oleh ideologi politik. Yang termasuk disini ialah konsepsi bahwa pertanian kecil telah ketinggalan oleh kemajuan teknik dan karena itu harus digabungkan dengan unit-unit ekonomi yang besar. Komponen ketiga ialah perencanaan yang ketat oleh pemerintah mengenai produksi pertanian. Tujuan jangka panjang sebenarnya, yaitu menghapuskan perbedaan antar pola kehidupan perindustrian dan pertanian, masih belum tercapai sekarang ini. 10. Pertanian komunistik Pertanian yang komunistik dapat didasarkan pada suatu sindrom politik atau etika keagamaan. Berbeda dengan kolkhoz, komune pada rakyat Cina mempunyai suatu bentuk kolektif yang meliputi semua sektor kehidupan dan ekonomi, dengan kata lain tidak terbatas pada pertanian saja. Tata
25
kerja diatur secara ketat menyerupai militer dengan penuh disiplin. Kebutuhan dasar diatur atas dasar persamaan hak dan dipenuhi oleh upah dasar dalam bentuk uang kontan dan natura berupa makanan pokok maupun pembebanan biaya pendidikan, pelayanan kesehatan dan sebagainya. Disamping itu juga diberikan bonus untuk meningkatkan produktivitas dan tersedianya kesempatan bagi pertanian swasta beskala kecil. Dengan demikian pada dasarnya masyarakat tidak terdiri dari kelaskelas, tetapi bonus dan pertanian keluarga maupun adanya berbagai jabatan mendorong terbentuknya strata sosial. Walaupun demikian, perbedaan pendapat bukan lagi karena perbedaan antara perorangan dan/ atau keluarga, tetapi lebih banyak antarkomune karena perbedaan produksi dan kondisi pemasaran. Perbedaan yang cukup berarti ini, dalam banyak hal, tidak dapat langsung diketahui. B. Kelembagaan Penguasaan Tanah dan Perubahannya 1. Sistem Gogolan Dengan berlakunya UUPA, sebenarnya secara hukum status tanah gogolan sudah tidak diakui lagi, karena hak atas tanah itu diberikan kepada penggarapnya yang terakhir, dengan status hak milik. 2. Sistem Gadai Yang dimaksud dengan gadai menurut Iman Sudiyat dalam Wiradi (2009) ialah menyerahkan tanah untuk menerima pembayaran sejumlah uang secara tunai, dengan ketentuan si penjual tetap berhak atas pengembalian tanahnya dengan jalan menebusnya kembali. Sedang yang dimaksud dengan hak gadai ialah penyerahan hak atas sebidang tanah kepada orang lain dengan pembayaran berupa sekian kuintal gabah atau sekian gram emas perhiasan atau sekian ekor kerbau atau sapi, dengan ketentuan pemilik tanah yang telah menyerahkan hak atas tanahnya itu kepada orang lain dapat memperoleh haknya kembali dengan jalan menebusnya. Selama pemilik tanah belum dapat menebus, maka hak penguasaan tanahnya ada pada pemegang gadai.
26
3. Sistem Sewa Sistem sewa yang dimaksud dalam tulisan ini ialah penyerahan sementara hak penguasaan tanah kepada orang lain, sesuai dengan perjanjian yang dibuat bersama oleh pemilik dan penyewa. 4. Sistem Bagi Hasil Bagi hasil yang dimaksud ialah penyerahan sementara hak atas tanah kepada orang lain untuk diusahakan, dengan perjanjian si penggarap akan menanggung beban tenaga kerja keseluruhan, dan menerima sebagian dari hasil tanahnya. Dengan cara bagi hasil ini maka si pemilik tanah turut menanggung risiko kegagalan. Inilah yang membedakannya dari sistem sewa-menyewa. C. Kelembagaan Hubungan Kerja dan Perubahannya a. Sistem Pengupahan Dalam hubungan kerja antara majikan atau penggarap dengan buruh, ditentukan sistem upah yang akan dipakai, besar dan bentuk upah, jam kerja perhari kerja, satuan kegiatan, upah per hari kerja, dan upah per satuan kegiatan. Kesepakan bersama antara majikan dan buruh tani cukup dilakukan secara lisan saja. Terdapat dua macam upah, yaitu upah borongan dan upah harian. Pembayaran upah borongan didasarkan pada satuan hasil kerja. Pembayaran upah harian didasarkan pada jumlah hari buruh tani bekerja. b. Sistem Upah Borongan Jenis pekerjaan yang oleh petani diupahkan dengan sistem borongan ialah jenis pekerjaan panen, mengolah tanah, dan tanam. Akan tetapi karena masalah panen dalam masyarakat tani mempunyai arti tersendiri, maka pembahasan mengenai masalah panen akan dipisahkan dari masalah sistem borongan, meskipun kalau dilihat dari cara pengupahannya termasuk ke dalam sistem borongan.
27
c. Sistem Upah Harian Jenis pekerjaan yang oleh petani diupahkan dengan sistem harian ialah mengolah tanah, tanam, menyiang, atau memelihara tanaman. d. Ceblokan/Kedokan Bagi warga desa yang tidak memiliki tanah, sistem ceblokan merupakan jaminan akan adanya pekerjaan pada waktu panen, dan bagi petani pemilik tanah bertanah luas, sistem ceblokan menjamin kebutuhannya akan tenaga kerja pada waktu mengolah tanah dan tanam tanpa mengeluarkan biaya tunai. e. Sambatan, Tukar Tenaga, dan Gotong Royong Sambatan ialah pertolongan seseorang yang berupa pekerjaan di sawah dalam usaha tani padi kepada orang lain atas permintaan. Jadi pertolongan seseorang kepada orang lain, meskipun atas permintaan, tetapi kalau bukan pekerjaan di sawah dalam usaha tani padi tidak dimasukkan dalam kategori sambatan. Dalam kegiatan sambatan, petani yang menyambat orang lain untuk melakukan pekerjaan di sawahnya harus menyediakan rokok, minum, dan makanan. Besar kecilnya porsi makanan yang harus disediakan oleh petani yang menyambat tergantung pada luas pekerjaan yang disambatkan atau lama pekerjaaan itu dapat diselesaikan. 2.1.7 Pengertian Persepsi Persepsi adalah suatu proses di mana individu mengorganisasikan dan menginterpretasikan kesan sensori mereka untuk memberi arti pada lingkungan mereka (Rakhmat, 2005). Sedangkan menurut Wood (1997) dalam Petra Christian University Library (2010) persepsi adalah sebuah proses aktif dari seleksi, pengorganisasian, dan interpretasi terhadap orang, objek, peristiwa, situasi dan aktivitas. Definisi persepsi secara sempit adalah penglihatan, bagaimana cara seseorang melihat sesuatu, sedangkan dalam arti luas adalah pandangan atau pengertian, yaitu bagaimana seseorang memandang atau mengartikan sesuatu (Leavitt, 1978: 27). Menurut Shadily dan Echols (1983) dalam Kementerian
28
Kependudukan dan Lingkungan Hidup (1987), persepsi adalah tanggapan daya memahami terhadap sesuatu. Selanjutnya Shadily (1984) dalam Kementerian Kependudukan dan Lingkungan Hidup (1987) juga memberikan pengertian tentang persepsi, yaitu persepsi adalah proses mental yang menghasilkan bayangan pada diri individu, sehingga dapat mengenal suatu obyek dengan jalan asosiasi pada sesuatu ingatan tertentu, baik secara penglihatan, indera perabaan, dan sebagainya sehingga bayangan itu dapat disadari. A.
Organisasi Persepsi Sarwono (1982: 44-45) mengemukakan persepsi sebagai kemampuan
seseorang untuk membeda-bedakan, mengelompokkan, memfokuskan, atau dapat dikatakan persepsi adalah kemampuan seseorang untuk mengorganisasikan pengamatan. Organisasi dalam persepsi mengikuti beberapa prinsip yaitu: (1) Wujud dan latar: Obyek-obyek yang kita amati di sekitar kita selalu muncul sebagai wujud dengan hal-hal lainnya sebagai latar. (2) Pola pengelompokkan: Hal-hal tertentu cenderung kita kelompokkelompokkan dalam persepsi kita, dan bagaimana cara kita mengelompokkannya itu akan menentukan bagaimana kita mengamati hal-hal tersebut. B.
Persepsi Sebagai Proses Pengambilan Keputusan dan Tindakan Bruner (1957) dalam Sarwono (2003) mengemukakan bahwa persepsi
adalah suatu proses kategorisasi. Organisme dirangsang oleh suatu masukan tertentu (obyek-obyek di luar, peristiwa, dan lain-lain) dan organisme itu berespons dengan menghubungkan masukan itu dengan salah satu kategori (golongan) obyek-obyek atau peristiwa-peristiwa. Proses menghubungkan ini adalah proses yang aktif di mana individu yang bersangkutan dengan sengaja mencari kategori yang tepat sehingga ia dapat mengenali atau memberi arti kepada masukan tersebut. Dengan demikian, persepsi juga bersifat inferensial (menarik kesimpulan). Bruner (1957) dalam Sarwono (2003) juga mengatakan bahwa persepsi bukan hanya bersifat kategorial-inferensial, melainkan juga persepsi bervariasi
29
dapat dipercaya. Di sinilah pentingnya pengambilan keputusan dalam persepsi. Menurut Bruner, persepsi yang paling sederhana pun menuntut suatu pengambilan keputusan. Keputusan menentukan kategori dan kategori menentukan arti. Selanjutnya, keputusan yang satu menyebabkan harus dibuat keputusan yang berikutnya dan yang berikutnya lagi dan seterusnya sehingga kita akan menemukan serangkaian keputusan dalam suatu persepsi. Rangkaian keputusan ini disebut proses pengurungan (bracketing process) di mana terjadi penyempitan kategori secara bertahap sampai pada akhirnya obyek yang dipersepsikan itu mendapatkan tempatnya yang tepat dalam sistem kategori seseorang. Proses pembentukan persepsi menurut Asngari (1984) diawali dari perolehan informasi kemudian orang tersebut membentuk persepsi dari pemilihan atau penyaringan. Informasi tersebut selanjutnya disusun menjadi suatu kesatuan yang bermakna dan akhirnya diinterpretasikan mengenai fakta dari keseluruhan informasi. Pada fase interpretasi ini, pengalaman masa silam memegang peranan penting guna meningkatkan pengertian dan pemahaman tehadap obyek yang diamati. Informasi yang sampai pada seseorang merupakan suatu stimulus dimana dieruskan ke syaraf sensoris, sehingga orang akan menyadari dan memahami stimulus tersebut. Pada akhirnya, orang tersebut melakukan tindakan. Persepsi merupakan suatu proses dalam pembentukan perilaku karena persepsi merupakan proses kognitif manusia dalam menafsirkan atau mengartikan sesuatu baik berupa obyek fisik maupun obyek sosial. Oleh karena itu, penelitian tentang persepsi penting dilakukan untuk dapat menjelaskan perilaku atau tindakan seseorang. C.
Faktor-faktor yang Mempengaruhi Persepsi Leavitt (1978: 29) mengatakan bahwa persepsi seseorang ditentukan oleh
kebutuhannya. Sementara itu, Asngari (1984) mengemukakan bahwa karakteristik pribadi berpengaruh pada persepsi seseorang, yaitu mencakup umur, jenis kelamin, pendidikan, pekerjaan, dan status sosial. Hal ini karena persepsi merupakan proses pengamatan serapan yang berasal dari kemampuan kognisi orang tersebut.
30
2.1.8
Kebijakan Pertanahan Dasar kebijakan pertanahan adalah pasal 33 ayat (3) UUD 1945 yang
dijabarkan lebih lanjut dalam UU No 5 tahun 1960 (UUPA). Pada pasal 2 ayat (1) UUPA ditegaskan lagi bahwa bumi, air dan ruang angkasa, termasuk kekayaan alam yang terkandung didalamnya dikuasai oleh negara sebagai organisasi kekuasaan seluruh rakyat. Selanjutnya pada ayat (2) pasal yang sama disebutkan bahwa hak menguasai dari negara memberikan wewenang untuk: 1. mengatur dan menyelenggarakan peruntukan, penggunaan, persediaan, dan pemeliharaan bumi, air dan ruang angkasa tersebut, 2. menentukan dan mengatur hubungan-hubungan hukum antara orang-orang dengan bumi, air, dan ruang angkasa, dan 3. menentukan dan mengatur hubungan-hubungan hukum antara orang-orang dan perbuatan-perbuatan hukum yang mengenai bumi, air dan ruang angkasa. 2.1.9 Pengertian Kelembagaan dan Lembaga Menurut Schmidt (1987) kelembagaan adalah seperangkat ketentuan yang mengatur masyarakat, yang telah mendefinisikan kesempatan-kesempatan yang tersedia, mendefinisikan bentuk-bentuk aktivitas yang dapat dilakukan oleh pihak tertentu terhadap pihak lainnya, hak-hak istimewa yang telah diberikan serta tanggung jawab yang harus mereka lakukan. Hak-hak tersebut mengatur hubungan antar individu dan/atau kelompok yang terlibat dalam kaitannya dengan pemanfaatan sumberdaya alam tertentu. Schmidt (1987) menyatakan kelembagaan memiliki dua makna atau pengertian. Pertama, kelembagaan sebagai pranata/norma atau ketentuan/prosedur yang mengatur hubungan masyarakat baik antar individu, antar individu dengan kelompok, atau antar kelompok dengan kelompok. Kedua kelembagaan sebagai organisasi, dalam pengertian ini organisasi yang dimaksud baik berbentuk formal (institusi/lembaga) atau non formal (kelompok masyarakat, rumah tangga). Nasution (2002) dalam Karyana (2007) mendefinisikan kelembagaan adalah suatu sistem organisasi dan kontrol terhadap sumberdaya yang sekaligus mengatur hubungan antara seseorang dengan lainnya. Namun North dalam
31
Karyana (2007) mengemukakan bahwa kelembagaan adalah aturan main dalam suatu masyarakat. Kelembagaan adalah seperangkat aturan suatu masyarakat atau organisasi yang berperan untuk memudahkan koordinasi antar orang-orang untuk memperoleh harapan mereka masing-masing serta layak dari suatu kegiatan tertentu. Sedangkan menurut Scott (2008), institutions are comprised of regulative, normative and cultural-cognitive elements that, together with associated activities and resources, provide stability and meaning to social life. Kelembagaan merupakan himpunan norma-norma pada segala tingkatan yang berkisar dari suatu kebutuhan pokok di dalam kehidupan masyarakat dalam suatu wadah organisasi tertentu (Karyana, 2007). Kartodihardjo et al. (2002) dalam Karyana (2007) mendefinisikan kelembagaan sebagai suatu sistem yang kompleks, rumit, abstrak, yang mencakup ideologi, hukum, adat istiadat, aturan, kebiasaan, yang tidak terlepas dari lingkungan. Kelembagaan mengatur apa yang tidak boleh dikerjakan oleh individu atau perorangan maupun organisasi. Oleh karena itu kelembagaan adalah instrumen yang mengatur hubungan antar individu. Selanjutnya Kartodihardjo et al. dalam Karyana (2007) mengemukakan bahwa kelembagaan adalah seperangkat ketentuan yang mengatur masyarakat, mendefinisikan kesempatankesempatan yang tersedia, mampu merumuskan kegiatan yang dapat dilakukan oleh pihak tertentu terhadap pihak lainnya, memahami hak-hak istimewa yang telah diberikan, serta tanggung jawab yang mereka emban. Kelembagaan merupakan perangkat, sementara lembaga adalah suatu bentuk atau wadah atau organisasi dan sekaligus juga mengandung pengertianpengertian yang abstrak tentang norma-norma dan peraturan tertentu yang menjadikan inti daripada lembaga tersebut (Koentjaraningrat (2004) dalam Karyana, 2007). Greene et al. (1999) dalam Karyana (2007) menyatakan bahwa lembaga dapat diartikan sebagai suatu sistem yang terdiri dari orang-orang dan hubungan yang terstruktur diantara mereka yang diciptakan untuk mencapai tujuan-tujuan tertentu.
32
2.1.10 Konflik Agraria Konsep konflik agraria berkaitan dengan konsep politik agraria, yang mengambil pelajaran dari sejarah pedesaan bahwa fungsi tanah berbeda menurut paham sosial, politik, dan ekonomi suatu masyarakat (Budiman, 1996 dalam Tetiani, 2002). Dalam sistem feodalisme tanah berfungsi sebagai alat untuk memperoleh legitimasi adikodrati. Apabila bangsawan atau raja penguasa tanah tersebut menciptakan suasanan damai dan makmur, maka ia dianggap memiliki legitimasi untuk memerintah. Tanah juga lebih berfungsi sebagai sarana produksi untuk konsumsi para penggrapnya, bukan untuk dieksploitasi secara intensif. Sementara itu, dalam sistem kapitalisme tanah menjadi alat produksi untuk meraih laba sebesar-besarnya bagi pemiliknya. Tanah dan buruh penggarapnya dieksploitasi setinggi-tingginya oleh pemodal. Sedangkan dalam sistem sosialisme tanah tidak lagi dimiliki secara pribadi melainkan secara kolektif. Sebagai alat produksi, semua hasil dari tanah tersebut menjadi milik bersama yang akan dibagi secara adil, sehingga eksploitasi tidak terjadi. Gambar berikut ini menyatakan tentang proses terjadinya konflik agaria: pemerintah
pengusaha
masyarakat (petani)
sumber-sumber agraria
Gambar 2. Konflik Agraria Sumber: Tetiani (2002) dalam Nilamsari (2002)
: Hubungan konflik dengan ciri dominasi pemerintah dan pengusaha terhadap (masyarakat) petani dalam rangka merebut sumber agraria yang dimiliki petani : Menunjukkan hubungan selaras, dengan ciri kerja sama dalam menguasai sumber-sumber agraria yang dimiliki petani
33
: Hubungan produksi petani terhadap sumber-sumber agraria yang makin berkurang atau telah hilang : Hubungan produksi pemerintah dan pengusaha terhadap sumber-sumber agraria yang sebelumnya dikuasai petani, hubungan ini cenderung eksploitatif Keadaan empiris di atas, gejala konflik agraria menjadi ciri utama dinamika dari struktur agraria yang ada. Dengan menggunakan paradigma Marxian, pembahasan tentang konflik mengandung pandangan inheren bahwa, pertama, kepentingan menjadi unsur dari kehidupan sosial (Craib, 1994). Kedua, kehidupan sosial melahirkan konflik struktural. Ketiga, sistem sosial tidak terintegrasi dan ditimpa oleh kontradiksi-kontradiksi. Keempat, sistem-sistem sosial cenderung untuk berubah. Walaupun demikian, kenyataannya konflik dinamis, bisa selamanya saling menjauhkan, atau suatu ketika menuju akomodasi. Marx (1989) dalam Nilamsari (2002) memberikan gambaran tentang model konflik klas revolusioner dan perubahan sosial (the model of revolutionary class conflict and social change), Marx mengajukan asumsi yang sangat simpel, yaitu bahwa: organisasi ekonomi khususnya kepemilikan tanah (the ownership of property) akan menentukan organisasi yang ada dalam masyarakat. Untuk lebih memudahkan pemahaman kita tentang pandangannya Marx mengenai konflik berikut proposisi abstrak dari Marx atas beberapa kunci pemahamannya dapat dikemukakan sebagai berikut: (1) suatu sistem masyarakat dapat dibagi menjadi dua segmen, yaitu kelompok dominan dan kelompok subordinat, (2) konflik antar kedua segmen dapat terjadi dikarenakan oleh: adanya ketidakadilan dalam distribusi sumber-sumber langka, adanya kesadaran kelompok subordinat tentang kebutuhan kolektifnya, dimana kesadaran ini dipicu oleh: penciptaan perubahan sosial yang ditunjukkan untuk merusak hubungan antar anggota subordinat, penciptaan keterasingan pada kelompok subordinat, terbukanya peluang bagi kelompok subordinat untuk saling menyampaikan keluhan-keluhannya, dimana hal ini terjadi sebagai buah dari adanya konsentrasi ekologis dan pemberian pendidikan
bagi
kelompok
subordinasi,
terkembangnya
ideologi
yang
mempersatukan (unifying ideologies), dimana hal ini dikarenakan oleh adanya
34
kehadiran juru ideologi, dan rendahnya kemampuan kelompok dominan dalam mengatur proses sosialisasi dan jaring komunikasi di dalam sistem, (3) kurangnya kemampuan kelompok dominan dalam me-menifeskan kepentingan kolektifnya, (4) terjadinya deprivasi dari absolut ke relatif dalam kelompok subordinat, (5) adanya kemampuan kelompok subordinat dalam mengembangkan struktur kepemimpinan politik, (6) terjadinya polarisasi diantara segmen dominan dan subordinat. Target akhir dari konflik adalah redistribusi sumber-sumber langka. Bagi petani yang seluruh hidupnya tergantung dari hasil tanah garapan, tanah dianggap sebagai tanah pusaka (heirloom land) dan tidak sekedar simbol apalagi mata dagangan (commodity). Kedekatan petani atas tanah oleh Redfield (1985) dalam Nilamsari (2002) digambarkan sebagai suatu dunia yang dipenuhi sikap hidup tipikal. Dalam arti, tanah adalah sumber penghidupan petani yang utama walaupun bukan berarti pemilikan tanah kemudian menjadi sesuatu yang secara khusus menjadi tuntutan. Petani bisa hidup tanpa memiliki tanah karen mereka menguasai tanah tempat mereka hidup dan beraktivitas. Bagi petani, tanah dianggap sebagai sahabat, tempat mereka mendapat cukup makan. Bila kita tinjau dari model sistem sosial ekonomi – politik manapunyang ada di dunia, tanah tetap merupakan faktor produksi yang utama. Hal yang membedakan anatara sistem yang satu dengan sistem yang lainnya hanyalah bagaimana fungsi, mekanisme pengaturan dan cara pandang terhadap tanah itu sendiri. Dalam sistem feodal, tanah dimiliki secara pribadi oleh raja dan bangsawan, tapi eksploitasi tidak terlalu tinggi. Tanah lebih merupakan alat untuk meningkatkan status sosial serta legitimasi kekuasaan ketimbang alat pencetak laba. Keuntungan atas tanah dimanfaatkan baik secara pribadi (untuk konsumsi petani dan bangsawan), juga untuk tujuan kolektif (kebesaran kerajaan). Dalam sistem kapitalis, tanah dimiliki secara pribadi oleh pemodal, yang melakukan eksploitasi tinggi demi meraih keuntungan pribadi, sementara petani hanya sebagai pekerja. Oleh karena itu, tanah senantiasa menjadi rebutan yang kadangkadang memakai cara kekerasan. Dalam sistem sosialis, tanah tidak dimiliki secara pribadi, tetapi secara kolektif. Eksploitasi dapat dikatakan nihil atau nol, karena semua hasilnya dikembalikan secara kolektif kepada masyarakat.
35
Coser (1990) dalam Veeger (1993) seperti dikutip oleh Nilamsari (2002) mendefinisikan konflik sebagai perselisihan mengenai nilai-nilai atau tuntutantuntutan berkenaan dengan status, kuasa dan sumber-sumber kekayaan yang persediannya tidak mencukupi, dimana pihak-pihak yang sedang berselisih tidak hanya bermaksud untuk memperoleh barang yang diinginkan, melainkan juga memojokkan, merugikan atau menghancurkan lawan mereka. Dikatakan pula oleh Coser, bahwa perselisihan atau konflik dapat berlangsung antara individuindividu, kumpulan-kumpulan (collectivities) atau antara individu dengan kumpulan. Menurut Dahrendorf (1987) dalam Veeger (1993) seperti dikutip oleh Nilamsari (2002) konflik dalam masyarakat bertitik tolak dari kenyataan bahwa anggotanya dapat dikelompokkan ke dalam dua kategori, yaitu orang yang berkuasa dan mereka yang dikuasai. Dualisme ini, yang termasuk struktur dan hakikat tiap-tiap kehidupan bersama, mengakibatkan kepentingan-kepentingan yang berbeda-beda dan mungkin saling berlawanan. Pada gilirannya diferensiasi kepentingan dapat melahirkan kelompok-kelompok yang berbenturan. Konflik agraria terjadi manakala pihak-pihak yang berkonflik memiliki posisi dan motivasi yang bertentangan atas penguasaan sumber daya agraria yang sama namun mempunyai kepentingan yang berbeda atas susmber daya agraria itu. Sumber konflik agraria pada dasarnya terletak pada adanya sejumlah ketimpangan dan ketidakselarasan. Di Indonesia ketimpangan mewujud dalam bentuk: (1) ketimpangan dalam struktur pemilikan dan penguasaan tanah, (2) ketimpangan dalam hal pembentukan tanah. Ketimpangan ini tergambar dimana tanah yang seharusnya diperuntukkan bagi pertanian rakyat selalu digusur, dan tanah perkebunan besar bertambah luas, dan (3) ketimpangan dalam hal persepsi dan konsepsi mengenai struktur agraria. Ketimpangan ini terjadi karena adanya perbedaan konsep hukum positif dan hukum adat. Kesenjangan ini merupakan sumber konflik yang paling sulit diatasi karena memerlukan suatu proses konsensus yang memakan waktu. Bentuk konflik agraria secara garis besar terdiri atas dua macam, yaitu konflik horisontal dan konflik vertikal. Konflik horisontal adalah konflik yang
36
terjadi diantara pihak yang sama, misalnya konflik antar masyarakat, antar pemerintah dan antar pengusaha. Sedangkan konflik vertikal adalah konflik yang terjadi antara pihak yang berbeda, seperti konflik antara masyarakat dengan pemerintah, atau antara masyarakat dengan pengusaha. Yang menjadi basis/dasar dari konflik tersebut adalah adanya kekuasaan yang terdiri atas suatu kombinasi faktor-faktor politik, ekonomi dan sosial yang ketiganya sukar dipisahkan secara sempurna Sitorus dan Wiradi (1999) dalam Nilamsari (2002). 2.2 Kerangka Pemikiran Program Pembaharuan Agraria Nasional (PPAN) merupakan salah satu kebijakan pemerintah dalam pelaksanaan reforma agraria. Program ini merupakan bagian dari aplikasi land reform di Indonesia. Salah satu wilayah di Indonesia yang menjadi subyek dalam program tersebut adalah Kecamatan Jasinga yang meliputi sepuluh desa. Program ini adalah pemberian hak kepemilikan dan penguasaan tanah kepada masyarakat. Tanah yang diberikan adalah tanah eks HGU PT. PP Jasinga yang telah habis masa kontraknya sehingga tanah atau lahan tersebut kemudian dikelola oleh masyarakat di Kecamatan Jasinga. Tujuan dari program ini adalah untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat. Pemberian identitas bagi para petani atas kepemilikan dan penguasaan tanah diharapkan mampu memecahkan permasalahan bagi para petani yang tidak memiliki tanah. Namun dalam kenyataannya program ini menimbulkan perbedaan persepsi dari masyarakat yang menjadi subyek penerima. Penelitian mengenai Program Pembaharuan Agraria Nasional (PPAN) ini dilakukan di Desa Pangradin. Desa Pangradin terbagi menjadi dua kampung yaitu, Pangradin 1 dan Pangradin 2. Perbedaan persepsi masyarakat di Desa Pangradin 1 dan Desa Pangradin 2 menjadi kajian yang menarik untuk menjadi rumusan masalah dalam penelitian karena dipengaruhi adanya Program PPAN ini. Selain itu, peneliti juga akan membandingkan keadaan sosial dan ekonomi masyarakat Desa Pangradin terhadap Program Pembaharuan Agraria Nasional. Disamping itu pula peneliti akan melihat bagaimana pelaksanaan PPAN sehingga mengakibatkan adanya perubahan tata guna lahan di wilayah Desa Pangradin. Program Pembaharuan Agraria Nasional yang bertujuan untuk
37
meningkatkan kesejahteraan masyarakat ternyata tidak mampu untuk mencapai tujuannya, karena dalam program tersebut berlangsung sebagai bagian dari redistribusi lahan Eks HGU PT. PP Jasinga kepada masyarakat. Berikut Bagan Kerangka Pemikiran: Krisis Agraria
Kelangkaan Tanah
Keadaan Ekonomi dan Sosial Masyarakat Pangradin
Program Pembaharuan Agraria Nasional di Desa Pangradin
Tata Guna Lahan di Desa Pangradin
Persepsi Masyarakat Lokal
Gambar 3. Bagan Kerangka Pemikiran
: Hubungan Pengaruh Langsung : Fokus Penelitian 2.3
Definisi Konseptual
Definisi yang digunakan penulis dalam penelitian ini adalah: 1. Program Pembaharuan Agraria Nasional adalah landasan kebijakan bagi pemberian hak kepemilikan lahan kepada masyarakat yang bertujuan untuk
38
meningkatkan kesejahteraan masyarakat. Program ini melaksanakan distribusi tanah eks HGU PT. PP Jasinga untuk masyarakat di Desa Pangradin. 2. Persepsi adalah suatu proses dimana individu mengorganisasikan dan menginterpretasikan kesan sensori mereka untuk memberi arti pada lingkungan mereka. Pada kerangka pemikiran, peneliti akan memetakan persepsi dari masyarakat di Desa Pangradin 1 dan masyarakat di Desa Pangradin 2. 3. Keadaan ekonomi adalah kondisi masyarakat pada suatu tingkat perekonomian tertentu dalam kurun waktu tertentu pula. Peneliti akan mendeskripsikan keadaan ekonomi masyarakat Desa Pangradin dengan adanya Program Pembaharuan Agraria Nasional (PPAN). 4. Keadaan sosial adalah kondisi sosial suatu masyarakat pada waktu tertentu. Peneliti akan mendeskripsikan keadaan sosial masyarakat Desa Pangradin dan perubahan-perubahan sosial yang terjadi dengan adanya Program Pembaharuan Agraria Nasional (PPAN). 5. Tata guna lahan adalah pengaturan pola penguasaan, pemanfaatan, dan pengelolaan tanah. Dalam hal ini adalah tanah eks HGU yang didistribusikan kepada masyarakat di Desa Pangradin. 2.4
Hipotesa Pengarah
Hipotesis yang diajukan dalam penelitian ini berdasarkan perumusan masalah dan kerangka pemikiran adalah: 1. Krisis agraria menyebabkan terjadinya kelangkaan tanah 2. Terjadinya kelangkaan tanah menyebabkan reforma agraria perlu dilakukan dan dikontruksikan dalam Program Pembaharuan Agraria Nasional (PPAN) perlu dilakukan 3. Pelaksanaan Program Pembaharuan agraria Nasional (PPAN) menyebabkan perubahan pada kondisi ekonomi dan sosial masyarakat di Desa Pangradin. 4. Pelaksanaan Program Pembaharuan Agraria Nasional (PPAN) menyebabkan perubahan bagi tata guna lahan di wilayah Desa Pangradin. 5. Pelaksanaan Program Pembaharuan Agraria Nasional (PPAN) menyebabkan perbedaan persepsi pada masyarakat lokal di Desa Pangradin.