1
BAB II TINJAUAN PUSTAKA TINJAUAN PUSTAKA
2.1
Rabies
2.1.1
Pengertian Rabies Rabies atau dikenal juga dengan istilah penyakit anjing gila adalah penyakit
infeksi akut yang bersifat zoonosis pada susunan saraf pusat yang disebabkan oleh virus rabies yang masuk ke keluarga Rhabdoviridae dengan genus Lysavirus dan ditularkan melalui gigitan hewan penular rabies terutama anjing, kucing dan kera (Depkes RI, 2000b). Virus rabies mempunyai 6 (enam) tipe, yaitu : Tipe 1 : Strain challenge virus standard sebagai prototype, Tipe 2 : Strain lagos sebagai prototype, Tipe 3 : Strain mokola sebagai prototype, Tipe 4 : Strain duvenhage, Tipe 5 : European bat lyssavirus, Tipe 6 : Australian bat lyssavirus (Dinkes Provinsi Bali, 2010). Sumber penular penyakit rabies adalah anjing sebagai penular utama, disamping itu dapat juga ditularkan oleh kucing dan kera. Di luar negeri, disamping ketiga hewan di atas, dapat juga ditularkan melalui gigitan binatang seperti : srigala, kelelawar, skunk dan raccoon (Dinkes Provinsi Bali, 2010). Rabies di Indonesia terutama disebabkan oleh gigitan anjing pembawa virus lyssa yang bersifat neurotrop. Rabies bersifat zoonosis artinya penyakit tersebut dapat menular dari hewan ke manusia dan menyebabkan kematian pada manusia dengan CFR (Case Fatality Rate) 100%. Virus rabies dikeluarkan bersama air liur hewan yang terinfeksi dan disebarkan
7
8
melalui luka gigitan atau jilatan (Evalina, 2009). Berdasarkan siklusnya, ada dua bentuk rabies, yakni rabies di lingkungan pemukiman (urban rabies) dan rabies di alam bebas atau hutan (sylvatic rabies) (Dharmojono, 2001).
2.1.2
Sejarah Rabies Rabies merupakan penyakit hewan yang sangat terkenal, bahkan sudah
dikenal sejak ribuan tahun sebelum masehi. Prasasti rabies yang berisikan aturan denda bagi pemilik anjing, yang positif rabies menggigit manusia hingga mati telah dibuat pada zaman kekuasaan raja Hamurabi (2300 SM). Rabies pada anjing dan kucing telah digambarkan oleh Democritus (500 SM) dan Aristoteles (322 SM), Celcus (100 tahun sesudah masehi) untuk pertama kalinya memperkenalkan hubungan antara gejala takut air (hidrofobia) pada manusia dengan rabies pada hewan (Atmawinata, 2006). Di Indonesia rabies telah ditemukan sejak 1889, pada seekor kerbau di Bekasi (Dharmojono, 2001). Secara kronologis tahun kejadian penyakit rabies mulai di Jawa Barat (1948), Sumatera Barat, Jawa Tengah dan Jawa Timur (1953), Sumatera Utara (1956), Sulawesi Selatan dan Sulawesi Utara (1958), Sumatera Selatan (1959), D.I.Aceh (1970), Jambi dan Yogyakarta (1971), Bengkulu, DKI Jakarta dan Sulawesi Tenggara (1972), Kalimantan Timur (1974), Riau (1975), Kalimantan Tengah (1978), Kalimantan Selatan (1983) dan P. Flores (1997) (Dunia Veteriner, 2003).
2.1.3
Masa Inkubasi dan Patogenesis Masa inkubasi adalah waktu antara penggigitan sampai timbulnya gejala
penyakit. Masa inkubasi rabies pada hewan berkisar antara 3 sampai 6 minggu
9
setelah gigitan hewan rabies (Depkes RI, 2008). Pada manusia 2 sampai 8 minggu dan paling lama 1 tahun. Masa inkubasi tergantung dari lokasi gigitan (akan semakin pendek jika gigitan semakin dekat dengan kepala), bila gigitan terdapat di banyak tempat, umur, virulensi (banyaknya virus yang masuk melalui gigitan / jilatan), banyaknya saraf pada luka gigitan (C.Bell, Palmer, & M.Payne, 1995; Depkes RI, 2008; Mahendrasari, 2009). Setelah virus rabies masuk melalui luka gigitan, maka selama 2 minggu virus tetap tinggal pada tempat masuk dan didekatnya, kemudian bergerak mencapai ujung-ujung serabut saraf posterior tanpa menunjukkan perubahan-perubahan fungsinya. Sesampainya di otak virus kemudian memperbanyak diri dan menyebar luas pada semua bagian neuron, terutama mempunyai predileksi khusus terhadap selsel sistem limbik, hipotalamus dan batang otak (Depkes RI, 2000b). Setelah memperbanyak diri dalam neuron-neuron sentral, virus kemudian kearah perifer dalam serabut saraf eferen dan pada saraf volunter maupun saraf otonom. Dengan demikian virus menyerang hampir tiap organ dan jaringan didalam tubuh, dan berkembang biak dalam jaringan-jaringannya, seperti kelenjar ludah, ginjal, dan sebagainya (Depkes RI, 2000b).
2.1.4
Tanda – Tanda Penyakit Rabies pada Hewan dan Manusia Gejala yang terlihat pada umumnya adalah berupa manifestasi peradangan
otak (encephalitis) yang akut baik pada hewan maupun manusia. Pada manusia keinginan untuk menyerang orang lain pada umumnya tidak ada (Hiswani, 2003). Tanda klinis pada anjing dikenal dalam tiga bentuk yaitu: a. Bentuk ganas (furious rabies) masa eksitasi panjang, kebanyakan akan mati dalam 2 sampai 5 hari setelah tanda-tanda rabies terlihat.
10
b. Bentuk diam atau dungu (dumb rabies) disini terjadi kelumpuhan (paralisa) sangat cepat menjalar keseluruh anggota tubuh dan masa eksitasi pendek. c. Bentuk asymptomatis disini memperlihatkan kejadian dimana hewan tibatiba mati dengan tidak menunjukan gejala-gejala sakit (Hiswani, 2003). Selain dari ketiga bentuk tanda klinis rabies pada anjing dan kucing bisa dijumpai tanda-tanda lain yang sering terlihat sebagai berikut: a. Pada fase prodromal hewan mencari tempat-tempat yang dingin dan menyendiri, tetapi dapat lebih menjadi agresif dan nervous. Reflek cornea berkurang/hilang, pupil meluas dan cornea kering. b. Pada fase eksitasi hewan akan menyerang siapa saja yang ada disekitarnya dan memakan barang yang aneh-aneh. Dengan berlanjutnya penyakit, mata mejadi keruh dan selalu terbuka. c. Pada fase paralisa cornea kering, mata terbuka dan kotor, semua reflek hilang dan mati (Hiswani, 2003). Tanda klinis pada hewan pemamah biak dapat dilibat seperti gelisah, gugup, liar dan adanya rasa gatal pada seluruh tubuh, kelumpuhan pada kaki belakang dan akhirnya hewan mati. Pada hari pertama atau kedua gejala klinis terlihat biasanya temperatur normal, anorexia, eskpresi wajah berubah dari biasa, sering menguak dan ini merupakan tanda yang spesifik bagi hewan yang menderita rabies (Hiswani, 2003).
2.1.5
Tanda-Tanda Rabies Pada Manusia
1. Stadium Prodromal Gejala-gejala awal berupa demam, malaise, mual dan rasa nyeri ditenggorokan selama beberapa hari (Depkes RI, 2000b; Hendrawan, 2010).
11
2. Stadium Sensoris Penderita merasa nyeri, rasa panas disertai kesemutan pada tempat bekas luka, kemudian disusul dengan gejala cemas, dan reaksi yang berlebihan terhadap rangsang sensorik (Depkes RI, 2000b; Hendrawan, 2010). 3. Stadium Eksitasi Tonus otot-otot dan aktivitas simpatik menjadi meninggi dengan gejala hiperhidrosis, hipersalivasi, hiperlakrimasi dan pupil dilatasi. Bersamaan dengan stadium eksitasi ini penyakit mencapai puncaknya, yang sangat khas pada stadium ini ialah adanya macam-macam fobi, yang sangat terkenal diantaranya ialah hidrofobi. Pada stadium tindak-tanduk penderita tidak rasional kadang-kadang maniakal disertai dengan saat-saat responsif. Gejalagejala eksitasi ini dapat terus berlangsung sampai penderita meninggal, tetapi pada saat dekat kematian justru lebih sering terjadi otot-otot melemah, hingga terjadi paresis flaksid otot-otot (Depkes RI, 2000b; Hendrawan, 2010). 4. Stadium Paralis Sebagian besar penderita rabies meninggal dalam stadium eksitasi. Kadangkadang ditemukan juga kasus tanpa gejala-gejala eksitasi, melainkan paresis otot-otot yang bersifat progresif. Hal ini karena gangguan sumsum tulang belakang, yang memperlihatkan gejala paresis otot-otot pernafasan (Depkes RI, 2000b; Hendrawan, 2010).
2.1.6
Pencegahan Rabies Kasus zoonosis yaitu penyakit menular dari hewan ke manusia, cara
penanganannya dan pencegahannya ditujukan pada hewan penularnya. Pada
12
manusia, vaksin rutin diberikan kepada orang-orang yang pekerja dengan resiko tinggi, seperti dokter hewan, pawang binatang, peneliti khusus hewan dan lainnya. Selain itu pencegahan rabies pada hewan dapat dilakukan dengan cara : 1. Memelihara anjing dan hewan lainnya dengan baik dan benar. Jika tidak dipelihara dengan baik dapat diserahkan ke Dinas Peternakan atau para pecinta hewan. 2. Mendaftarkan anjing ke Kantor Kelurahan/Desa atau Petugas Dinas Peternakan setempat. 3. Pada hewan virus rabies dapat ditangkal dengan vaksinasi secara rutin 1-2 kali setahun tergantung vaksin yang digunakan, ke Dinas Peternakan, Pos Kesehatan Hewan atau Dokter Hewan Praktek. 4. Semua anjing/kucing yang potensial terkena, divaksin setelah umur 12 minggu, lalu 12 bulan setelahnya, dilanjutkan dengan tiap 3 tahun dengan vaksin untuk 3 tahun, untuk kucing harus vaksin inaktif. 5. Penangkapan/eliminasi anjing, kucing, dan hewan lain yang berkeliaran di tempat umum dan dianggap membahayakan manusia. 6. Pengamanan dan pelaporan terhadap kasus gigitan anjing, kucing, dan hewan yang dicurigai menderita rabies. 7. Penyuluhan kepada masyarakat tentang penyakit rabies. 8. Menempatkan hewan didalam kandang, memperhatikan serta menjaga kebersihan dan kesehatan hewan. 9. Setiap hewan yang berisiko rabies harus diikat/dikandangkan dan tidak membiarkan anjing bebas berkeliaran. 10. Menggunakan rantai pada leher anjing dengan panjang tidak lebih dari 2 meter bila tidak dikandang atau saat diajak keluar halaman rumah.
13
11. Tidak menyentuh atau memberi makan hewan yang ditemui di jalan 12. Daerah yang sudah bebas rabies, harus mencegah masuknya anjing, kucing atau hewan sejenisnya dari daerah yang tertular rabies. 13. Pada area terkontaminasi dilakukan desinfeksi dari pemutih pakaian untuk menginaktifkan virus dengan cepat (Mahendrasari, 2009).
2.1.7
Cara Penanganan Setiap ada kasus gigitan hewan menular rabies harus ditangani dengan cepat
dan sesegera mungkin. Untuk mengurangi/mematikan virus rabies yang masuk pada luka gigitan, usaha yang paling efektif ialah mencuci luka gigitan dengan air (sebaiknya air mengalir) dan sabun atau detergent selama 10-15 menit, kemudian diberi antiseptik (alkohol 70 %, betadine, obat merah dan lain-lain). Lalu korban secepatnya dibawa ke Puskesmas atau Rumah Sakit terdekat untuk mendapat perawatan lebih lanjut (Depkes RI, 2000b).
2.2
Vaksinasi Rabies dan Manfaatnya Terhadap Anjing, Kucing dan Kera Vaksin rabies telah dikenal sejak tahun 1879 dibuat pertama kali oleh Victor
Galtier. Manfaat dari vaksin rabies adalah untuk mengendalikan penyakit rabies, mengusahakan agar hewan yang peka terhadap rabies kebal terhadap serangan virus rabies. Untuk mencapai hal tersebut, sebagian besar populasi hewan harus dikebalkan melalui vaksinasi Untuk mencapai keberhasilan vaksinasi dibutuhkan vaksin yang berkualitas baik, tersedia dalam jumlah cukup dan tepat waktu pendistribusiannya (Hiswani, 2003) . Vaksin yang digunakan diprioritaskan memiliki daya proteksi lama yaitu 2-3 tahun (Soedarmono, 2009).
14
2.3
Manfaat Vaksin Anti Rabies (VAR) dan Serum Anti Rabies (SAR) serta Efek samping dari pemberian SAR pada Manusia Vaksin anti rabies merupakan vaksinasi untuk memberikan perlindungan
kekebalan terhadap virus rabies. Untuk memperoleh kualitas vaksin yang efektif dan efisien, ada beberapa persyaratan yang harus dipenuhi, baik vaksin yang digunakan bagi hewan maupun bagi manusia, yakni :
Vaksin harus dijamin aman dalam
pemakaian, vaksin harus memiliki potensi daya lindung yang tinggi, vaksin harus mampu memberikan perlindungan kekebalan yang lama, vaksin arus mudah dalam cara aplikasinya, vaksin harus stabil dan menghasilkan waktu kadaluwarsa yang lama, dan vaksin harus selalu tersedia dan mudah didapat sewaktu-waktu dibutuhkan (Depkes RI, 2000b). Pemberian Vaksin Anti Rabies (VAR) disertai Serum Anti Rabies (SAR) harus didasarkan atas tindakan tajam. Terhadap luka resiko rendah diberi VAR saja. Yang termasuk luka yang tidak berbahaya adalah jilatan pada kulit luka, garukan atau lecet (erosi, ekskoriasi), luka kecil disekitar tangan, badan dan kaki (Depkes RI, 2000b). Terhadap luka resiko tinggi, selain VAR juga diberi SAR. Yang termasuk luka berbahaya adalah jilatan/luka pada mukosa, luka diatas daerah bahu (muka, kepala, leher), luka pada jari tangan/kaki, genetalia, luka yang lebar/dalam dan luka yang banyak (multipel). Pada pemberian suntikan VAR biasanya akan timbul reaksi lokal yang tidak berarti seperti kemerahan, gatal-gatal dan pembengkakan. Efek samping dari pemberian SAR yaitu terjadi serum sickness dengan gejala panas dan urtica dan terjadi syok anafilatik (Depkes RI, 2000b).
15
2.4
Upaya Pencegahan Rabies Partisipasi masyarakat merupakan peran serta masyarakat dalam pencegahan
penyakit rabies. Partisipasi masyarakat dalam hal ini partisipasi pemilik hewan penular rabies menunjukkan bukti bahwa pemilik hewan penular rabies merasa terlibat dan merasa menjadi bagian dari pembangunan. Hal ini akan sangat berdampak positif terhadap keberhasilan pelaksanaan suatu program pembangunan (Depkes RI, 2003). Partisipasi masyarakat atau sering disebut peran serta masyarakat, diartikan sebagai adanya motivasi dan keterlibatan masyarakat secara aktif dan terorganinsasi dalam seluruh tahap pembangunan, mulai dari persiapan, perencanaan,
pelaksanaan,
pengendalian,
monitoring
dan
evaluasi
serta
pengembangan (Depkes RI, 2001). Tahap-tahap partisipasi masyarakat dikelompokkan menjadi 4 yaitu partisipasi dalam tahap pengenalan dan penentuan prioritas masalah, partisipasi dalam tahap penentuan cara pemecahan masalah, partisipasi dalam tahap pelaksanaan termasuk penyediaan sumber daya, partisipasi dalam dalam tahap penilaian dan pemantapan (Depkes RI, 2001). Dalam Sistem Kesehatan Nasional (SKN), bentuk partisipasi masyarakat terdiri dari partisipasi perorangan dan keluarga, partisipasi masyarakat umum, partisipasi masyarakat penyelenggara, serta partisipasi masyarakat profesi kesehatan. Sejalan dengan itu masyarakat mempunyai kewajiban untuk melakukan upaya pemeliharaan kesehatannya sendiri, keluarga maupun lingkungan. Bahkan diharapkan ikut berperan secara aktif dalam pembangunan kesehatan (Depkes RI, 2007). Menurut Notoatmodjo, partisipasi masyarakat adalah ikut sertanya seluruh anggota masyarakat dalam memecahkan permasalahan-permasalahan masyarakat tersebut. Partisipasi masyarakat di bidang kesehatan berarti keikutsertaan seluruh
16
anggota masyarakat dalam memecahkan masalah kesehatan mereka sendiri. Di dalam hal ini, masyarakat sendirilah yang aktif memikirkan, merencanakan, melaksanakan, dan mengevaluasikan program-program kesehatan masyarakatnya. Institusi kesehatan hanya sekadar memotivasi dan membimbingnya (Notoatmodjo, 2007) Menurut Notoatmodjo dalam Malahayati (2009) menyatakan bahwa syaratsyarat tumbuhnya partisipasi dapat dikelompokkan menjadi tiga golongan
yaitu
adanya kesempatan untuk membangun dalam pembangunan, adanya kemampuan untuk memanfaatkan kesempatan dan adanya kemampuan untuk berpartisipasi. Untuk meningkatkan partisipasi, maka kesempatan, kemampuan dan kemauan berpartisipasi dalam pembangunan perlu ditingkatkan. Partisipasi Pemilik Hewan Penular Rabies dalam program pencegahan penyakit rabies antara lain memberikan vaksinasi pada anjing peliharaan, mengikat anjing dengan rantai yang panjangnya tidak lebih dari 2 meter, ketika dibawa keluar rumah anjing diikat dengan rantai yang panjangnya tidak lebih dari 2 meter serta membrangus moncongnya dan melaporkan anggota keluarga ke pelayanan kesehatan terdekat bila terjadi kasus gigitan hewan penular rabies (Malahayati, 2009). Adapun sistem pemeliharaan anjing yang benar yaitu 1. Anjing sebaiknya dirantai jangan berkeliaran di luar rumah. Anjing dirantai ± 2 meter jika rumah tidak berpagar dan anjing diberangus / dibrongsong jika dibawa keluar rumah. 2. Anjing yang dipelihara untuk tujuan tertentu hendaknya dimasukkan dalam kandang atau di pekarangan rumah yang berpagar agar tidak mengganggu orang / pejalan kaki.
17
3. Anjing harus diberi makanan dan perawatan kesehatan yang baik supaya tidak menyebabkan penyakit yang berbahaya seperti rabies. 4. Anjing divaksin secara teratur satu tahun sekali (hubungi petugas peternakan setempat atau petugas Dinas Pertanian dan Peternakan Kabupaten). 5. Anjing liar yang tidak ada pemiliknya sebaiknya dibunuh / dimusnahkan (Dikantara, 2011). Suatu program dapat dikatakan tidak berhasil jika tidak melibatkan masyarakat itu sendiri. Oleh karena itu, penting sekali dipertimbangkan untuk meningkatkan partisipasi masyarakat dalam setiap program pembangunan khususnya pemilik hewan penular rabies dalam program pencegahan penyakit rabies (Depkes RI, 2003). Peran serta masyarakat dan kerjasama yang sinergis antar instansi pemerintah sangat diharapkan. Ini semua untuk mewujudkan Indonesia menuju bebas rabies tahun 2015 (Karyono,2010).
2.4.1
Pokok Kegiatan yang Dilaksanakan oleh Direktorat Kesehatan Hewan Departemen Pertanian dalam Pencegahan dan Pemberantasan Penyakit Rabies Adapun kegiatan yang dilakukan oleh Dinas Peternakan yaitu
1. Hindari kejadian penggigitan a. Anjing dipelihara diikat dengan rantai yang panjangnya tidak boleh lebih dari 2 meter b. Anjing peliharaan diikat dengan rantai yang panjangnya tidak boleh lebih dari 2 meter dan moncongnya diberangus ketika hendak dibawa keluar rumah.
18
c. Anjing peliharaan tidak boleh dibiarkan lepas berkeliaran. 2. Vaksinasi rabies pada anjing, kucing, kera/monyet peliharaan secara teratur setiap tahun 3. Memberantas, memusnahkan atau mengeliminasi anjing liar atau yang berkeliaran dengan menggunakan umpan yang diberi racun 4. Dilakukan penangkapan anjing liar di tempat umum selanjutnya dilakukan pembunuhan (Deptan, 2006).
2.4.2
Pokok-pokok kegiatan yang dilaksanakan oleh Direktorat Jenderal PPM & PL Departemen Kesehatan dalam Pencegahan dan Pemberantasan Penyakit Rabies Adapun kegitan yang dilakukan oleh Dinas Kesehatan yaitu
1. Vaksinasi Anti Rabies (VAR) pada kasus gigitan hewan tersangka rabies melalui pemberian Vaksisinasi Anti Rabies (VAR) dan Serum Anti Rabies (SAR) di Puskesmas dan Rumah Sakit. 2. Pencucian luka gigitan hewan-hewan tersangka rabies dengan sabun atau detergen lain untuk mengurangi masuknya kuman ke dalam tubuh. 3. Melaksanakan follow up pengobatan melalui kunjungan petugas Puskesmas ke tempat penderita (Depkes RI, 2000a). 4. Melakukan pelacakan kasus gigitan tambahan melalui Penyelidikan Epidemiologi (Pe). 5. Melakukan rujukan penderita rabies ke Rumah Sakit guna perawatan intensif (Depkes RI, 2000a).
19
2.5
Hasil Penelitian yang Relevan Dari hasil penelitian mengenai hubungan pengetahuan dan sikap masyarakat
tentang rabies dengan tindakan pencegahan penyakit rabies di Kelurahan Lubuk Buaya Kecamatan Kota Tangah menyatakan bahwa masyarakat telah memiliki pengetahuan baik, sikap yang positif terhadap rabies dan telah melakukan tindakan pencegahan rabies dengan baik (Yunita, 2009). Penelitian tentang status vaksinasi rabies pada anjing di Kota Makassar menyatakan bahwa cakupan vaksinasi masih sangat rendah dan rendahnya cakupan vaksinasi berasosiasi dengan cara pemeliharaan (OR= 4,3) dan pengetahuan pemilik tentang rabies (OR=3) (Utami, Sumiarto, & Susetya, 2008). Penelitian yang dilakukan di Provinsi Bali tentang kepemilikan anjing, status vaksinasi, serta pencarian pengobatan pada penderita rabies menyatakan bahwa sebagian besar penderita rabies tidak memelihara anjing (anjing) 65,6%. Penderita yang memelihara anjing sebagian besar tidak memberikan VAR (63,6%), tidak dikandangkan dilepas keluar masuk rumah dibiarkan berkeliaran bebas (Kardiwinata, 2011). Penelitian serupa yang dilakukan di Kecamatan Kuta Kabupaten Badung menyatakan bahwa 60% sistem pemeliharaan anjing dilepas keluar masuk halaman rumah dan 53,3% responden tidak memberikan VAR (Sutini, 2011). Selain itu dari hasil penelitian yang dilakukan di Kabupaten Tanah Datar mengenai perilaku masyarakat pemilik anjing terhadap pemberian vaksin menyebutkan bahwa masih rendahnya perilaku masyarakat dalam pemberian vaksin anti rabies bagi anjingnya (Mustamar, 2001). Selain itu penelitian yang dilakukan Oleh Malahayati (2009) anjing yang tidak dipelihara dengan baik atau anjing liar/diliarkan merupakan suatu kondisi yang sangat kondusif untuk menjadikan suatu daerah menjadi daerah endemis rabies. Pada
20
Penelitian yang dilakukan di Sumatera Barat mengenai kasus kontrol rabies pada anjing di Kabupaten Agam Sumatera Barat menyatakan bahwa sistem pemeliharaan anjing yang dilepas keluar masuk halaman rumah akan memberikan peluang yang lebih besar terjangkit rabies dibandingkan anjing yang diikat, dalam penelitian ini dinyatakan bahwa sistem pemeliharaan yang selalu dilepas berkeliaran sepanjang waktu akan memberikan peluang kontak yang lebih besar dengan anjing liar penderita rabies. (Kamil, dkk, 2003).
2.6
Pembagian Status Daerah dan Kriterianya 1.
Daerah tertular kriterianya yaitu daerah yang dalam 2 tahun terakhir pernah ada kasus rabies pada hewan dan manusia (baik secara berurutan atau tunggal) secara klinis, epidemilogis dan dikonfirmasi secara laboratoris. Khusus untuk manusia kasusnya berasal dari daerah tersebut (bukan kasus import)(Depkes RI, 2000a).
2.
Daerah bebas kriterianya yaitu daerah yang secara historis tidak pernah ditemukan penyakit rabies, daerah yang tertular rabies tapi dalam 2 tahun terakhir tidak ada kasus secara klinis dan epidemiologis serta sudah dikonfirmasi secara laboratories (Depkes RI, 2000a).
3.
Daerah Tersangka kriterianya yaitu daerah yang dalam 2 tahun terakhir ada kasus rabies secara klinis dan epidemiologis tapi belum dibuktikan secara laboratories dan daerah yang berbatasan langsung dalam satu daratan dengan daerah tertular (Depkes RI, 2000a).