II. TINJAUAN PUSTAKA
2.1. Perubahan Iklim dan Dampaknya Pada Sektor Pertanian Perubahan iklim didefinisikan sebagai perubahan pada iklim yang dipengaruhi aktivitas manusia baik secara langsung maupun tidak langsung yang mengubah komposisi atmosfer dan yang akan memperbesar keragaman iklim teramati pada periode yang cukup panjang (Trenberth, Hougton dan Meira Filho, 1995 diacu dalam Handoko et al. 2008). Perubahan iklim alamiah terjadi secara gradual dalam rentang waktu yang cukup panjang, namun sejak revolusi industri, telah terjadi peningkatan konsentrasi gas rumah kaca yang cukup signifikan yang pada akhirnya menyebabkan pemanasan global. Selain meningkatkan suhu udara, pemanasan global juga menyebabkan : (a) peningkatan frekuensi kejadian iklim ekstrim atau anomali iklim seperti El-Nino dan La-Nina, serta penurunan atau peningkatan suhu secara ekstrim; (b) perubahan dan ketidakmenentuan (uncertainty) curah hujan dan musim; (c) peningkatan permukaan air laut dan robb (gelombang pasang laut). Banyak bukti menunjukkan bahwa secara global kejadian iklim esktrim semakin sering terjadi. Meningkatnya kejadian iklim ekstrim salah satunya ditandai oleh makin seringnya muncul berbagai bencana. Bencana (hazard) merupakan kejadian yang berpotensi menimbulkan kerusakan yang serius, misalnya badai tropis, kemarau panjang, banjir, atau kondisi yang dapat menimbulkan peledakan penyakit tertentu (Boer 2008a). Bencana angin kencang yang selama ini jarang melanda wilayah pertanian di Jawa, sekarang jenis bencana ini sudah mulai sering terjadi. Berdasarkan data OFDA/CRED International Disaster Database, selama periode 1907-2006 bencana alam yang masuk ke dalam kategori bencana global mencapai 345 kejadian. Sekitar 60% dari bencana ini merupakan bencana terkait iklim. Dalam periode ini, bentuk becana alam terkait iklim yang pertama kali terjadi baru pada awal tahun 1950an. Kemudian setelah tahun 1980an, jumlah bencana alam terkait iklim yang masuk ke dalam kategori bencana global meningkat tajam (Gambar 3). Bentuk bencana iklim yang paling sering terjadi ialah bencana banjir kemudian diikuti oleh tanah longsor, penyakit yang dibawa oleh air dan vektor, angin
15
kencang, kebakaran dan kekeringan. Pada tingkat global frekuensi dan intensitas kejadian bencana iklim juga meningkat secara konsisten dari waktu ke waktu (Sivakumar 2005).
108
100
Frequency
12 10 8 6
80 60 38
40
27
20
4
10
9
8
2
W at er o
rV ec t
2005
2000
1995
1990
1985
1980
1975
1970
1965
1960
1955
Fl
0
La nd
2
oo ds or Bo sli rn de ed s D W i in se d as st es or m /C yc lo ne Fo re st Fi re Dr ou Hi gh gh t Ti de /S ur ge
0
1950
Number of Climate-Related. Hazards
120
14
Gambar 3. Jumlah bencana terkait iklim menurut jenis (kanan) dan menurut tahun (kiri). Sumber: Diolah dari basis data OFDA/CRED International Disaster Database (Sumber : Boer dan Perdinan 2008c) Indikator perubahan iklim berupa kenaikan suhu udara akan berdampak terhadap peningkatan
transpirasi,
peningkatan konsumsi
air, percepatan
pematangan buah/biji sehingga mempengaruhi mutu hasil, perkembangan organisme pengganggu tanaman (OPT), serta pergeseran pola dan jenis tanaman. Kenaikan muka air laut akan berdampak pada penciutan lahan pertanian di sepanjang pantai akibat genangan air laut dan peningkatan salinitas tanah disekitar pantai. Perubahan pola hujan berdampak terhadap pergeseran masa tanam atau awal musim. Kejadian iklim ekstrim berupa peningkatan curah hujan pada musim hujan (MH) (banjir) dan penurunan curah hujan pada musim kering (MK) (kekeringan) berdampak pada penciutan luas area tanam/panen akibat banjir dan kekeringan. Kejadian iklim esktrim di Indonesia seringkali berasosiasi dengan fenomena ENSO (El-Nino and Southern Oscillation) yang pada umumnya membawa dampak yang merugikan. Dampak kejadian El-Nino terhadap keragaman hujan di Indonesia beragam menurut lokasi. Pengaruh El-Nino kuat pada wilayah yang pengaruh sistem monsoon kuat, lemah pada wilayah yang pengaruh sistem equatorial kuat, dan tidak jelas pada wilayah yang pengaruh lokal
16
kuat. Pengaruh El-Nino lebih kuat pada musim kemarau dari pada musim hujan. Pengaruh El-Nino pada keragaman hujan memiliki beberapa pola: (1) akhir musim kemarau mundur dari normal, (2) awal masuk musim hujan mundur dari normal, (3) curah hujan musim kemarau turun tajam dibanding normal, dan (4) deret hari kering semakin panjang, khususnya di daerah Indonesia bagian timur. Hasil penelitian Boer dan Las (2003) menunjukkan bahwa wilayah yang terkena bencana iklim (banjir, kemarau panjang, angin besar) sudah semakin luas dengan tingkat kehilangan produksi yang semakin tinggi. Meningkatnya suhu juga diperkirakan akan menurunkan tingkat produktivitas komoditas pangan seperti padi. Penelitian KP3I (Boer 2008b) menggambarkan bahwa peningkatan suhu akibat naiknya konsentrasi CO2 akan menurunkan hasil tanaman. Jika diasumsikan tidak ada konversi sawah dan indeks penanaman tidak mengalami peningkatan, maka pada tahun 2025 produksi padi di tingkat kabupaten diperkirakan akan mengalami penurunan antara 12,500 hingga 72,500 ton. Menurut Cline (2007) diacu dalam Boer (2010b), penurunan produktivitas komoditas pertanian di Indonesia pada tahun 2080 akibat pemanasan global berkisar antara 15-25%. Tschirley (2007) menunjukkan bahwa pemanasan global akan menurunkan produktivitas tanaman pangan secara signifikan khususnya di daerah tropis. Penurunan dapat mencapai lebih dari 20% apabila suhu naik melebihi 4oC. Namun demikian peningkatan suhu sebesar 2oC tetap akan berdampak negatif berupa penurunan hasil tanaman pangan, yaitu sekitar 10% untuk jagung dan 5% untuk padi (Gambar 4). Hasil penelitian Handoko et al. (2008) memperlihatkan bahwa kenaikan suhu 2oC akan menyebabkan penurunan produksi gabah hingga 36.9%. Apabila curah hujan turun sebesar 246 mm/tahun maka diperkirakan produksi gabah turun 4.6%. Jika kedua faktor tersebut digabungkan, maka diperkirakan akan terjadi penurunan produksi padi sekitar 38% (Tabel 1).
17
Jagung
Perubhan Hasil (%)
Padi
Perubahan Suhu (oC)
Gambar 4.
Perubahan Suhu (oC)
Perkiraan penurunan hasil tanaman padi dan jagung di daerah tropis akibat pemanasan global dan perubahan iklim (Sumber : Tschirley 2007).
Tabel 1. Dampak perubahan iklim terhadap produksi komoditas strategis (%) dalam kondisi BAU (Sumber : Handoko et al. 2008). Komoditas Padi Jagung Kedelai Tebu/gula Kelapa sawit
Suhu naik 2oC -36,9 -440,0 -285,7 -300,0 -314,2
CH turun 246 mm/th -4,6 -20,0 -65,2 -17,1 -21,4
Kombinasi keduanya -38,0 -450,0 -952,0 -328,0 -343,0
Menurut Handoko et al. (2008) dampak kenaikan suhu udara terhadap tanaman padi sawah melalui tiga faktor, yaitu : 1) penurunan luas areal panen akibat kekurangan air irigasi karena meningkatnya evapotranspirasi, 2) penurunan produktivitas karena umur tanaman menjadi lebih pendek (cepat matang) dan 3) meningkatnya laju respirasi tanaman. Penurunan luas areal panen padi sawah akibat peningkatan suhu udara pada tahun 2050 diperkirakan mencapai 3.3% di Jawa dan 4.1% di luar Jawa dari luas panen padi saat ini. Dampak yang paling besar dirasakan oleh sektor pertanian khususnya tanaman pangan akibat variabilitas dan perubahan iklim adalah perubahan curah hujan dan pergeseran musim. Hasil analisis iklim 30 tahun terakhir menunjukkan bahwa awal musim kemarau lebih cepat 1-6 dasarian, awal musim hujan mundur
18
1-3 dasarian, penurunan curah hujan pada musim kemarau dan peningkatan variabilitas curah hujan pada musim hujan (Las 2007). Sementara luas areal tanaman padi yang mengalami gagal penen akibat kekeringan tahun 2000, 2004 dan 2008, berturut-turut: 97.221 ha, 190.307 ha dan 423.284 ha. Jumlah kehilangan hasil akibat kekeringan pada tiga tahun yang sama tercatat 201.148 ton, 410.034 ton dan 984.188 ton (GKG) (Pasaribu 2009b). Besarnya dampak yang ditimbulkan oleh fenomena El-Nino pada wilayah pertanaman padi sangat erat kaitannya dengan pola tanam dan perilaku petani (Boer 2002c). Berdasarkan berbagai dampak tersebut, Boer et al. (2011a) secara garis besar mensarikan bahwa berdasarkan prosesnya, dampak perubahan iklim dapat dibedakan menjadi langsung, tidak langsung dan konteks yang lebih luas (broader context). Dampak perubahan iklim secara langsung terjadi pada sumberdaya pertanian, yaitu terjadinya degradasi dan penciutan sumberdaya lahan, dinamika dan anomali ketersediaan air dan kerusakan sumberdaya genetik/biodiversity. Sistem produksi pangan juga terkena dampak langsung perubahan iklim. Penurunan produktivitas akan berpengaruh terhadap produksi yang pada akhirnya akan menyebabkan terganggunya sistim ketahanan pangan dan menyebabkan kemiskinan. Dampak tidak langsung sebagian besar disebabkan adanya dampak komitmen atau kewajiban melaksanakan mitigasi, seperti yang tertuang dalam RAN-GRK,
perpres
61
tahun
2011
yang
berpengaruh
terhadap
produktivitas/produksi, ketahanan pangan, pengembangan bioenergi dan sosial ekonomi. Dampak INPRES NO. 10 tahun 2011 berupa penundaan ijin pembukaan hutan produksi dan lahan gambut akan berdampak terhadap program perluasan areal baru serta dampak lainnya. Dalam konteks yang lebih luas, perubahan iklim terkait dengan kebijakan baik nasional maupun internasional, harga pangan dan sebagainya (Tim Road Map 2011). Berdasarkan sifatnya, dampak perubahan iklim global terhadap sektor pertanian dibedakan menjadi tiga yaitu: 1) dampak yang bersifat kontinu berupa kenaikan suhu udara, perubahan hujan dan kenaikan salinitas air tanah untuk wilayah pertanian dekat pantai akan menurunkan produktivitas tanaman dan perubahan panjang musim yang merubah pola tanam dan indeks penanaman. 2) dampak yang bersifat diskontinu seperti meningkatnya gagal panen akibat meningkatnya frekuensi dan intensitas kejadian iklim ekstrim
19
(banjir, kekeringan, angin kencang dll) dan meningkatnya gagal panen akibat munculnya serangan atau ledakan hama penyakit baru tanaman. 3) dampak yang bersifat permanen berupa berkurangnya luas kawasan pertanian di kawasan pantai akibat kenaikan muka air laut. 2.2. Kekeringan dan Dampaknya Terhadap Produksi Padi Kekeringan adalah keadaan kekurangan pasokan air pada suatu daerah dalam masa yang berkepanjangan (beberapa bulan hingga bertahun-tahun). Biasanya kejadian ini muncul bila suatu wilayah secara terus-menerus mengalami curah hujan di bawah rata-rata. Definisi lain menyebutkan bahwa kekeringan adalah hubungan antara ketersediaan air yang jauh di bawah kebutuhan air baik untuk kebutuhan hidup, pertanian, kegiatan ekonomi dan lingkungan. US Weather Bureau diacu dalam Chow (1964) mendefinisikan kekeringan sebagai kondisi kekurangan curah hujan yang begitu banyak dan lama sehingga mengakibatkan adanya pengaruh terhadap tempat hidup tanaman dan hewan dan mengakibatkan berkurangnya suplai air baik untuk kebutuhan domestik maupun untuk pertumbuhan tanaman, terutama pada daerah yang secara normal cukup untuk kebutuhan-kebutuhan tersebut. Kekeringan dapat menjadi bencana alam apabila mulai menyebabkan suatu wilayah kehilangan sumber pendapatan akibat gangguan pada pertanian dan ekosistem yang ditimbulkannya. Dampak ekonomi dan ekologi kekeringan merupakan suatu proses sehingga batasan kekeringan dalam setiap bidang dapat berbeda-beda. Kekeringan juga berkonotasi beragam di berbagai belahan dunia. Di Bali, suatu periode dikatakan kering apabila tidak hujan selama 6 hari berturutturut. Di Libya, suatu wilayah dianggap kering hanya jika tidak terjadi hujan selama 2 tahun. Di Mesir, Sungai Nil dianggap kering jika tidak terjadi banjir sepanjang tahun. Dengan demikian penggambaran kekeringan merupakan suatu hal yang spesifik lokasi dan spesifik waktu. Namun demikian, suatu kekeringan yang singkat tetapi intensif dapat pula menyebabkan kerusakan yang signifikan. Menurut Irianto (2005) secara faktual kekeringan lebih menakutkan dibandingkan banjir dalam hal besaran: luas wilayah, durasi kejadian, biaya dan waktu pemulihannya. Namun seringkali penanggulangannya belum terencana dengan
20
baik akibat kurangnya data dan informasi secara spasial dan temporal tentang wilayah-wilayah endemik kekeringan. Berdasarkan penyebab kejadiannya, kekeringan dibedakan menjadi dua, yaitu (i) secara alamiah dan (ii) karena ulah manusia (antropogenik). Secara alamiah, kekeringan diklasifikasikan menjadi 4 jenis, yaitu : 1) kekeringan meteorologis, 2) kekeringan hidrologis, kekeringan agronomis, dan 4) kekeringan sosial ekonomi. Kekeringan meteorologis berkaitan dengan tingkat curah hujan di bawah normal dalam satu musim. Pengukuran kekeringan meteorologis merupakan indikasi pertama adanya kekeringan. Kekeringan Hidrologis berkaitan dengan kekurangan pasokan air permukaan dan air tanah. Kekeringan ini diukur berdasarkan elevasi muka air sungai, waduk, danau dan elevasi muka air tanah. Ada tenggang waktu mulai berkurangnya hujan sampai menurunnya elevasi muka air sungai, waduk, danau dan elevasi muka air tanah. Kekeringan hidrologis bukan merupakan indikasi awal adanya kekeringan. Kekeringan agronomis berhubungan dengan kekurangan lengas tanah (kandungan air dalam tanah) sehingga tidak mampu memenuhi kebutuhan tanaman tertentu pada periode waktu tertentu pada wilayah yang luas. Kekeringan pertanian ini terjadi setelah gejala kekeringan meteorologi.Kekeringan Sosial Ekonomi berkaitan dengan kondisi dimana pasokan komoditi ekonomi kurang dari kebutuhan normal akibat terjadinya kekeringan meteorologi, hidrologi, dan agronomis. Kekeringan Antropogenik adalah kekeringan yang disebabkan karena ketidak-taatan pada aturan terjadi. Kekeringan antropogenik ini disebabkan karena: 1) kebutuhan air lebih besar dari pasokan yang direncanakan akibat ketidaktaatan pengguna terhadap pola tanam/penggunaan air, serta 2) kerusakan kawasan tangkapan air, sumber-sumber air akibat perbuatan manusia (www.bakornaspb.go.id). Kekeringan berkaitan dengan menurunnya tingkat curah hujan di bawah normal dalam satu musim. Pengukuran kekeringan meteorologis merupakan indikasi pertama adanya kekeringan. Tahap kekeringan selanjutnya adalah terjadinya kekurangan pasokan air permukaan dan air tanah. Kekeringan ini diukur berdasarkan elevasi muka air sungai, waduk, danau dan elevasi muka air tanah. Ada tenggang waktu mulai berkurangnya hujan sampai menurunnya elevasi muka air sungai, waduk, danau dan elevasi muka air tanah. Kekeringan hidrologis
21
bukan merupakan indikasi awal adanya kekeringan. Kekeringan pada lahan pertanian ditandai dengan kekurangan lengas tanah (kandungan air dalam tanah) sehingga tidak mampu memenuhi kebutuhan tanaman tertentu pada phase tertentu pada wilayah yang luas yang menyebabkan tanaman menjadi rusak/mengering. Dampak dari bahaya kekeringan ini seringkali secara gradual/lambat, sehingga jika tidak dimonitor secara terus menerus akan mengakibatkan bencana berupa hilangnya bahan pangan akibat tanaman pangan dan ternak mati, petani kehilangan mata pencaharian, banyak orang kelaparan dan mati, sehingga berdampak urbanisasi (www.bakornaspb.go.id). Chow (1964) mengatakan bahwa kekeringan merupakan bentuk kejadian alam yang salah satunya dapat disebabkan oleh anomali iklim El-Nino. Dari data historis, kekeringan di Indonesia sangat berkaitan erat dengan fenomena ENSO (El-Nino Southern Oscillation). Pengamatan dari tahun 1844, dari 43 kejadian kekeringan di Indonesia, hanya enam kejadian yang tidak berkaitan dengan kejadian El‐Nino (www.bakornaspb.go.id). Data curah hujan di Pulau Sumatera, Jawa, Kalimantan, Sulawesi dan Bali, memberikan gambaran bahwa di Indonesia pernah terjadi kemarau panjang pada tahun 1903, 1914, 1925, 1929, 1935, 1948, 1961, 1963, 1965, 1967, 1972, 1977, 1982, 1987, 1991, 1994 dan 1997. Sementara itu penyimpangan iklim El-Nino terjadi pada tahun 1951, 1953, 1957, 1958, 1963, 1965, 1969, 1972, 1977, 1982, 1983, 1987, 1991, 1992, 1993, 1994, 1997. Selama kurun waktu tersebut, dari 17 kali kejadian kemarau panjang, 11 kali diantaranya bersamaan dengan kejadian El-Nino. Hal ini menunjukkan bahwa kekeringan dapat terjadi ketika terjadi penyimpangan iklim El-Nino atau ketika tidak terjadi penyimpangan iklim El-Nino. Namun, kejadian penyimpangan iklim El-Nino dapat memperparah tingkat kekeringan di Indonesia. Banyak tanaman pangan yang mengalami cekaman air (water stress) sehingga menyebabkan gagal panen. Pada wilayah yang secara faktual lebih basah seperti Jawa Barat dan Jawa Tengah mengalami kekeringan dan fuso relatif tinggi. Musim kemarau yang panjang akan menyebabkan kekeringan karena cadangan air tanah akan habis akibat penguapan (evaporasi), transpirasi, ataupun penggunaan lain oleh manusia. Penyebab kekeringan yang utama adalah curah hujan yang berkaitan dengan jumlah uap air di atmosfer. Jika salah satu dari
22
komponen tersebut berkurang, maka hasilnya adalah kekeringan. Aktivitas manusia secara langsung dapat memperburuk dan menjadi faktor pemicu seperti pada pertanian, irigasi berlebihan, deforestasi. Erosi berdampak negatif dalam hal kemampuan tanah untuk menangkap dan menahan air. Dalam bidang pertanian, dari berbagai bencana yang terkait iklim, bencana kekeringan merupakan salah satu bencana yang paling dominan dan menimbulkan kerugian cukup besar. Kekeringan terjadi karena air yang tersedia tidak cukup untuk memenuhi kebutuhan atau jumlah yang diharapkan. Ditinjau dari aspek klimatologi pertanian, kekeringan merupakan gangguan terhadap keseimbangan hubungan antara tanaman dan air tanah yang mengakibatkan persediaan air dalam tanah tidak mampu mencukupi kebutuhan air tanaman. Di Indonesia, bencana kekeringan yang melanda kawasan pertanian semakin sering terjadi dan cakupan wilayah yang terkena cenderung semakin luas (Badan Litbang Pertanian 1996, Sumaryanto dan Friyatno 1999). Berdasarkan peta rawan kekeringan menurut kabupaten (Gambar 5) sebagian besar pulau Jawa, sebagian Sulawesi Selatan dan sebagian Kalimantan Selatan merupakan daerahdaerah yang rawan dan sangat rawan terhadap kekeringan. Menurut Boer (2010b) jumlah kepala keluarga miskin di kabupaten yang rawan bencana pada umumnya lebih dari 45%. UNDP (2007) melaporkan bahwa antara tahun 1844 hingga 1960, masalah kekeringan rata-rata empat tahun sekali, tetapi antara 1961 hingga 2006 rata-rata kejadiannya menjadi setiap tiga tahun. Kejadian El Niño yang terjadi pada 1997-1998 merupakan yang terburuk selama 50 tahun terakhir, dan tahun 1998 tercatat sebagai tahun terpanas pada abad 20.
Gambar 5.
Distribusi wilayah rawan kekeringan menurut kabupaten (Sumber: Boer 2010b)
23
Untuk wilayah pertanaman padi di Indonesia, dampak kekeringan pada tahun El-Nino meningkat secara signifikan, khususnya di daerah Jawa Barat, Lampung, Sumatera Selatan dan Sulawesi Selatan. Wilayah-wilayah ini merupakan sentra padi di Indonesia. Rata-rata luas wilayah pertanaman padi yang terkena dampak kekeringan pada tahun El Nino di setiap Kabupaten (1989-2006) dengan luasan lebih dari 2000 Ha cukup besar (Boer 2008b) (Gambar 6).
Gambar 6.
Rata-rata wilayah pertanaman padi yang terkena dampak kekeringan pada tahun El Nino di setiap Kabupaten (1989-2006) (Sumber : Boer 2008b).
Tingkat kerawanan lahan pertanian terhadap kekeringan bervariasi antarwilayah (Tabel 2). Dari 5.14 juta ha lahan sawah yang dievaluasi, 74 ribu ha di antaranya sangat rentan dan sekitar satu juta ha rentan terhadap kekeringan (Wahyunto 2005). Tabel 2. Luas lahan sawah yang rentan terhadap kekeringan (Ha) Wilayah/ Sangat rentan Rentan Luas baku provinsi Sawah Jawa Barat 30,863 971,474 Banten 26,588 192,904 Jawa Tengah 2,322 142,575 1,053,882 DI Yogyakarta 3,652 69,063 Jawa Timur 1,580 70,802 1,313,726 Bali 14,758 85,525 Nusa Tenggara 38,546 105,687 214,576 Lampung 29,378 168,887 278,135 Sumatera Selatan 184,993 439,668 Sumatera Utara 2,055 342,159 524,649 Jumlah 73,881 1,090,964 5,143,602 (Sumber : Wahyunto 2005)
24
Pramudia (2008) melakukan penelitian tentang delineasi wilayah rawan kekeringan di DAS Cimanuk, Propinsi Jawa Barat dengan mengkombinasikan aspek klimatologis, hidrologis dan agronomis. Wilayah pertanian yang sangat rawan kekeringan umumnya terjadi di lahan kering yang merupakan DAS kritis dan memiliki tingkat sensitivitas yang tinggi terhadap anomali iklim global. Sementara wilayah pertanian yang agak rawan kekeringan umumnya terjadi di lahan sawah irigasi yang jauh dari sumber irigasi utama, atau lahan tadah hujan yang memiliki irigasi non-teknis, dan memiliki tingkat sensitivitas yang rendah terhadap anomali iklim global. Berdasarkan analisis ini, kabupaten Indramayu, khususnya bagian selatan termasuk dalam wilayah pertanian yang sangat rawan hingga agak rawan terhadap kekeringan. Berdasarkan data Ditlin 1989-2010, pada tahun El Niño luas tanaman padi yang terkena kekeringan mencapai 300-850 ribu ha (Gambar 7). Kerusakan tanaman padi akibat kekeringan lebih parah dibandingkan banjir karena berlangsung pada daerah yang lebih luas dan waktu yang lebih lama. Banjir mempunyai karakterisik kejadian yang lebih lokal dengan waktu kejadian yang lebih pendek.
Gambar 7. Luas areal pertanaman padi yang dilanda kekeringan di Indonesia dalam periode 1989-2010 (Sumber : Road Map 2011). Menurut Dinas Pertanian Tanaman Pangan Propinsi Jawa Barat (2006), wilayah Jawa Barat pada MT 2003 yang sangat rawan terhadap kekeringan pada umumnya adalah : 1) daerah irigasi yang tidak ada fasilitas waduknya (misalnya bendung Rentang yang mengairi wilayah Cirebon dan Indramayu), 2) areal sawah
25
yang tidak direkomendasikan untuk tanaman gadu atau areal sawah irigasi yang ada di wilayah “tail end” ujung ekor, 3) areal sawah tadah hujan dan 4) areal sawah yang infra struktur irigasinya mengalami kerusakan. Menurut Drektorat Perlindungan Tanaman (Ditlin 2009), dampak kekeringan antara lain dapat berupa : menurunnya persediaan air permukaan dan air tanah, terganggunya pola tanam, pertanaman yang mengalami puso berpotensi meningkat, musim hujan pertama pasca kekeringan berdasarkan pengalaman dapat meningkatkan serangan OPT utama (tikus, wereng, penggerek batang, dan belalang kembara) dan kebakaran lahan pertanian dan hutan berpotensi meningkat. Di Indonesia, frekuensi kejadian kemarau panjang atau kekeringan dalam periode 1844 dan 1960 hanya 1 kali dalam 4 tahun, kemudian dalam periode 1961-2006 frekuensinya meningkat menjadi 1 kali dalam 2-3 tahun (Boer et al. 2007). Kejadian iklim ekstrim berupa kekeringan seringkali menjadi penyebab utama turunnya produksi pangan. di Indonesia. Pada musim kemarau 1994, wilayah Jawa yang masih merupakan penyumbang padi terbesar (59%), merupakan wilayah yang paling terkena dampak kekeringan. Luas wilayah di pulau Jawa yang terkena kekeringan mencapai 290.457 ha (79% dari luas total seluruh Indonesia). Diurut dari yang terbesar, propinsi Jawa Barat berada pada urutan yang pertama kemudian diikuti oleh propinsi Jawa Tengah dan Jawa Timur (Kahar 1995). Propinsi Jawa Timur yang secara historis jauh lebih kering dari Jawa Barat, luas wilayah yang terkena kekeringan hanya 1/4 nya Jawa Barat (Kahar 1995). Menurut Boer (2008b) hal ini diduga karena tingkat kewaspadaan petani pada daerah ini terhadap bahaya kekeringan lebih tinggi dibanding dengan petani di Jawa Barat terutama terhadap risiko menanam padi pada musim gadu. Padahal, sebagian besar areal sawah di Jawa Barat berada di jalur pantura yang curah hujannya relatif rendah dengan bulan kering lebih dari 6 bulan. Hal tersebut disebabkan karena sebagian besar sawah di jalur pantura diairi oleh irigasi teknis, sehingga kurang memperhatikan pola dan tingkah curah hujan. Oleh karena itu, kajian yang mendalam tentang tingkat kerawanan dan endemik suatu wilayah terhadap kekeringan perlu dilakukan.
26
Permasalahan yang terjadi pada bencana kekeringan menurut Dinas Pertanian Tanaman Pangan Propinsi Jawa Barat (2006) pada umumnya adalah karena : 1) ketidakdisiplinan pola tanam, 2) kerusakan infrastruktur, sarana/prasarana saluran irigasi, 3) sulitnya memprediksi iklim/cuaca pada musim kemarau dan 4) masih kurangnya kesadaran petani terhadap gerakan hemat air. Terkait dengan pola tanam, menurut Boer (2010a) pola tanam yang umum diikuti oleh petani di Jawa dan hampir seluruh wilayah Indonesia adalah padi-padi-bera dan pada beberapa wilayah dengan sistem irigasi yang baik bisa tiga kali tanam padi. Padi pertama ditanam pada musim hujan yaitu November-Januari (MT1), padi kedua pada awal masuk musim kemarau yaitu Maret-Mei (MT2). Padi yang biasanya terkena kekeringan adalah padi yang ditanam pada musim kemarau. 2.3. Karakteristik Usahatani Serta Dampak Anomali Iklim Terhadap Produksi Padi di Kabupaten Indramayu Karakteristik Usaha Tani Usaha Tani padi merupakan sistim usahatani yang paling dominan di Kabupaten Indramayu. Lebih dari 50% wilayahnya (118,513 ha dari 200,014 ha) merupakan lawan persawahan. Letak wilayah persawahan menyebar dari utaraselatan. Di bagian Utara luas lahan persawahan sekitar 19%, wilayah tengah 59% dan Selatan 22%.
Lahan pertanian di Indramayu mengandalkan dua sumber
pengairan utama, yaitu air irigasi dan air hujan. Sekitar 87% dari lahan persawahan merupakan lahan beririgasi yang hampir semuanya terletak di wilayah bagian utara dan tengah. Untuk wilayah selatan sebagian besar merupakan wilayah tadah hujan. Pola tanam antara wilayah utara, tengah dan selatan relatif berbeda. Pada wilayah utara pola tanam adalah (i) padi-padi-bera, (ii) padipalawija/sayuran-bera dan (iii) sayuran-padi-bera. Pola tanam ke tiga didahului oleh sayuran dimana penanaman dilakukan awal musim hujan yaitu sebelum hujan tinggi. Setelah masuk musim hujan baru dilakukan penanaman padi. Pada wilayah tengah bentuk pola tanam umum (i) padi-padi-padi, (ii) padi-padipalawija/sayuran, (iii) padi-sayuran-padi dan (iv) padi-padi-bera. Untuk wilayah selatan, pola tanam umum ialah (i) padi gogo-palawija/sayuran-bera, ii) padi-padibera, (iii) padi-palawija/sayuran-bera dan (iv) padi gogo/sayuran-padi-bera.
27
Berdasarkan penggolongan air, wilayah bagian utara termasuk wilayah golongan air III, IV dan V, sedangkan untuk wilayah tengah golongan I dan II. Pada wilayah golongan air I dan II penanaman padi memungkinkan sampai 3 kali dalam setahun (Gambar 8). Penggolongan air 10
11
Musim Hujan
Musim Kemarau 1 (MK1)
MK2
Bulan
Bulan
Bulan
12
1
2
3
4
5
6
7
8
9
I II III IV V
Catatan:
merupakan tanggal penanaman padi pertama (MH) dan kedua (MK) paling terakhir. = Padi I, = Padi II, dan = tanaman III.
Gambar 8. Sistem penggolongan air dan pola tanam di Indramayu (Sumber: Boer et al. 2002c) Pada tahun ekstrim kering jadwal penggolongan bisa bergeser sehingga mempengaruhi penggolongan lainnya. Petani yang ada di wilayah utara relatif responsif dan umumnya mengikuti jadwal penanaman rekomendasi yang disampaikan oleh penyuluh, sedangkan di wilayah tengah kurang disiplin karena lahannya berada dekat saluran utama dan secara umum jarang mengalami kekurangan air. Rata-rata hasil padi pada wilayah Utara, Tengah dan Selatan masing-masing sekitar 5.3, 6.0 dan 5.6 t/ha (Boer et al. 2011). Berdasarkan letaknya menurut ketinggian atau posisinya di DAS, Kabupaten Indramayu dapat dikelompokkan menjadi kecamatan yang berada di bagian atas dan di bagian bawah. Permasalahan yang dihadapi oleh petani di kedua wilayah ini terkait dengan permasalahan sarana irigasi relatif sama, yaitu permasalahan infrastruktur irigasi yang banyak terdapat kerusakan, pendangkalan saluran karena erosi dan terdapatnya sejumlah pintu air yang rusak. Perbedaannya adalah letak kedua kawasan dimana kawasan pertama terletak lebih dekat ke hulu DAS dibanding kawasan kedua sehingga air mengalir terlebih dahulu melalui kawasan pertama sebelum mencapai kawasan kedua. Kondisi ini memberikan pengaruh utamanya dalam jumlah debit air, ketika musim penghujan dimana debit air melimpah maka kawasan pertama dapat menampung air menurut kebutuhan mereka dan membiarkan sisa aliran air mengalir mengikuti DAS, sedangkan
28
kawasan kedua karena letaknya yang berada di hilir sungai menyebabkan daerah mereka menjadi lokasi genangan air yang mengakibatkan banjir. Sementara, pada musim kemarau, aliran air yang melewati kawasan pertama belum banyak melalui daerah dangkalan, penyempitan dan pintu air yang rusak sehingga ketersediaan air masih mencukupi untuk kebutuhan pengairan lahan pertanian. Berbeda dengan kawasan kedua yang karena letaknya lebih dekat ke hilir menyebabkan tidak banyak air tersisa yang mengalir ke daerah mereka sehingga mengakibatkan kondisi kekeringan. Secara garis besar, keseluruhan karakteristik alam lingkungan, infrastruktur irigasi dan interaksi keduanya menyebabkan kawasan pertama menjadi kawasan yang relatif aman dari banjir dan kekeringan. Sebaliknya, kawasan kedua, sangat rentan terhadap banjir dan kekeringan. Kondisi ini menyebabkan banyaknya lahan persawahan yang rusak di kedua wilayah pun berbeda (Boer et al. 2011b). Khusus untuk lahan tadah hujan, faktor sosial ekonomi yang paling menentukan adalah tekanan jumlah penduduk yang berpengaruh terhadap luas garapan dan tingkat pendapatan petani atau akses ke pasar (Pane et al. 2008). Berdasarkan hubungan kedua faktor tersebut Piggin et al (1998) diacu dalam Pane et al. (2008) membuat klasifikasi tipologi sistim produksi pertanian pada lahan sawah tadah hujan (Gambar 9). Diantara keempat tipe sistem produksi pertanian, Tipe I dan Tipe II perlu kehati-hatian atau analisis yang mendalam dalam
Tinggi
TIPE II Pemilikan lahan sempit orientasi pertanian subsistem, intensif tenaga kerja
TIPE III Pemilikan lahan sempit diversifikasi usaha tani, komersial dan mekanisasi
Rendah
Tekanan jumlah penduduk
menentukan prioritas penelitian dan anjuran teknologi.
TIPE I Pemilikan lahan luas, orientasi pertanian subsisten
TIPE IV Pemilikan lahan luas, spesialisasi tanaman palawija, komersial, mekanisasi Tinggi
Rendah
Tingkat pendapatan atau akses ke pasar
Gambar 9.
Tipologi sistim produksi pertanian pada lahan sawah tadah hujan (modifikasi dari Piggin et al. 1998 diacu dalam Pane et al. 2008).
29
Pola hujan bulanan di Kabupaten Indramayu adalah monsunal yaitu mengalami satu kali musim kemarau (April-September) dan satu kali musim hujan (Oktober-Maret). Berdasarkan pola hujan bulanan tersebut maka waktu tanam padi di Indramayu adalah sama dengan waktu terjadinya musim hujan, sedangkan waktu tanam palawija terjadi pada akhir musim hujan hingga awal musim kemarau (Gambar 10).
Gambar 10. Kombinasi curah hujan bulanan dengan pola tanam padi dan palawija pada lahan irigasi teknis, setengah teknis dan tadah hujan di Kabupaten Indramayu (Boer et al. 2011c). Menurut Hidayati et al. (2010), musim hujan di Kabupaten Indramayu umumnya dimulai pada akhir bulan November dan berakhir pada akhir Maret. Pada tahun El Nino, awal musim hujan dapat mundur sampai awal Januari sedangkan pada tahun La-Nina awal musim hujan umumnya terjadi lebih awal (bisa terjadi pada pertengahan Oktober). Lama musim hujan pada umumnya berkisar antara 4 sampai 5 bulan.
Pengaruh Anomali Iklim Terhadap Usahatani Padi di Kabupaten Indramayu Berdasarkan data produksi padi seluruh Indonesia (Departemen Pertanian, 2010), Propinsi Jawa Barat menyumbang 17.6% dari seluruh produksi padi nasional. Persentase sebesar 17.6% tersebut, 11.7% nya diantaranya berasal dari Kabupaten Indramayu. Jadi Kabupaten Indramayu berkontribusi paling besar terhadap produksi padi di seluruh Propinsi Jawa Barat. Hal ini juga disampaikan oleh Boer et al. (2011b) bahwa pada tahun 2010 lalu, tercatat produksi padi
30
Indramayu mencapai 1,321,315.07 ton dengan produktivitasnya mencapai 6.450 ton/ha. Komoditi beras di Kabupaten Indramayu memiliki stok cukup potensial, bahkan selama ini menjadi sentra pangan terbesar di Jawa Barat sekaligus penopang pangan DKI Jakarta. Namun di sisi lain, Kabupaten Indramayu sangat rentan terhadap kejadian iklim ekstrim, terutama kekeringan. Kekeringan menjadi penyebab utama gagal panen (Boer et al. 2011a). Di Kabupaten Indramayu, apabila waktu sudah memasuki bulan-bulan musim hujan dan kemudian terjadi hujan 1-2 hari berturut-turut biasanya petani sudah menganggap musim hujan sudah mulai dan kegiatan penanaman mulai dilakukan. Namun, pada kondisi tertentu, hujan yang terjadi tersebut seakan-akan bersifat tipuan (false rain), karena kemudian ternyata diikuti oleh hari-hari tanpa hujan yang berlangsung dalam kurun waktu yang cukup panjang yaitu lebih dari dua dasarian dan diluar batas toleransi tanaman, atau yang disebut dengan long dry spell. Akibat dari kondisi ini, petani yang sudah terlanjur tanam seringkali akan terkena kekeringan. Bibit disiapkan terlalu cepat akibat adanya hujan tipuan yang sebenarnya belum merupakan indikasi masuknya awal musim hujan. Pada waktu musim hujan sudah masuk, bibit sudah terlalu tua sehingga tidak bisa digunakan lagi. Kejadian kekeringan umumnya terjadi awal bulan Juni setelah penanaman padi MT2. Kondisi ini biasanya terjadi pada saat fenomena El-Nino dan kekeringan yang terjadi sebagai akibat curah hujan bersifat di bawah normal (BN), sehingga ketersediaan air tidak mencukupi untuk mendukung pertumbuhan tanaman selanjutnya. Kejadian kekeringan semacam ini tidak hanya terjadi di sawah tadah hujan tetapi juga di sawah beririgasi, khususnya yang berada di wilayah irigasi bagian ujung (Golongan III dan IV). Sebagai contoh MT 1997/1998 dan 2002/2003. Penurunan hujan bulan Juni-September jauh di bawah normal akibat dari berlangsungnya fenomena El-Nino telah menimbulkan luas tanaman padi terkena kekeringan yang sangat tinggi (Gambar 11). Kajian yang dilakukan di Indramayu (Boer 2003a) menunjukkan bahwa El-Nino berpengaruh besar terhadap produksi padi karena beberapa hal. Pertama, El-Nino berpengaruh terhadap masuknya awal musim hujan sehingga penanaman padi pada musim hujan yang biasanya dilakukan bulan November menjadi
31
mundur sampai Januari atau Februari. Akibatnya tanaman padi kedua juga mengalami keterlambatan sehingga risiko terkena kekeringan menjadi tinggi karena hujan pada akhir pertumbuhan tanaman sudah mengalami penurunan yang besar (sudah masuk musim kemarau). Kedua, El-Nino menyebabkan hujan pada musim kemarau turun jauh dari normal sehingga air yang tersedia tidak cukup untuk mendukung pertumbuhan tanaman. Ketiga, El-Nino menyebabkan awal musim kemarau terjadi lebih awal dari biasanya sehingga tanaman padi kedua mengalami cekaman kekeringan. 500
400
Normal 300
300
Terkena Kekeringan: 47,995 ha
200
200
100
100
0
0 10 11 12 1
1996
Gambar 11.
2
3
4
5
6
1997
7
8
9
500 2002/03
400
400
Normal 300
300
Terkena Kekeringan: 7,896 ha
200
200
100
100
0
Curah Hujan (mm)
400
Curah Hujan (mm)
500 1996/97
Curah Hujan (mm)
Curah Hujan (mm)
500
0 10 11 12 1
2002
2
3
4
5
6
7
8
9
2003
Hubungan antara kejadian hujan bawah normal (BN) pada musim tanam gadu dengan kejadian kekeringan Tahun 1997 dan 2003 di Indramayu (Boer et al. 2008a)
Mundurnya awal musim hujan akibat berlangsungnya fenomena El Nino, menyebabkan awal musim penanaman padi pertama mundur dari biasanya. Akibatnya musim penanaman padi kedua juga akan mundur, masuk ke musim kemarau (Gambar 12). Berdasarkan data historis, mundurnya awal musim hujan akibat berlangsungnya fenomena El-Nino menyebabkan kumulatif luas tanam selama musim hujan (MH) menurun. Penurunan ini biasanya dikompensasi dengan meningkatkan luas tanam pada musim kemarau (MK) yang berisiko tinggi untuk terkena kekeringan. Kondisi sebaliknya pada fenomena La-Nina (Boer 2010b).
32
Gambar 12. Pola tanam padi petani dan risiko terkena kekeringan (Sumber : Boer 2010b) 2.4. Adaptasi Terhadap Kejadian Iklim Ekstrim Adaptasi adalah berbagai tindakan penyesuaian diri terhadap kejadian yang diakibatkan oleh fenomena perubahan iklim/pemanasan global (Las 2007). Besar kecilnya kerugian atau kerusakan yang dirasakan akibat perubahan iklim sangat dipengaruhi oleh kemampuan dalam melakukan adaptasi terhadap perubahan iklim tersebut. Menurut Boer (2008a) kemampuan adaptasi (Adaptive Capacity) merupakan kemampuan untuk mendesain atau melaksanakan strategi adaptasi atau bereaksi terhadap bencana atau kondisi yang kurang menguntungkan sehingga dapat mengurangi kemungkinan terjadinya bencana tersebut atau mengurangi besarnya kerusakan yang ditimbulkan oleh kondisi iklim yang tidak menguntungkan tersebut. Oleh karena itu, kemampuan adaptasi sangat terkait erat dengan tingkat kerentanan (vulnerability) dan sensitivitas (sensitivity). Sensitivitas (sensitivity) merujuk kepada tingkat yang menggambarkan sejauh mana atau sebesar apa suatu sistem dapat dipengaruhi oleh berbagai sifat iklim. Kerentanan (vulnerability) merupakan resultan dari sensitifitas dan kemampuan adaptif atau menunjukkan kemampuan sistem mengatasi dampak merusak dari perubahan iklim (Boer 2008a). Berdasarkan kajian IPCC (2007) pemanasan global dan perubahan iklim pada wilayah tropis diperkirakan akan menurunkan produktivitas tanaman pangan secara signifikan apabila tidak dilakukan langkah-langkah adaptasi.
33
Menurut
Las
(2007)
adaptasi
di
sektor
pertanian
melibatkan
infrastruktur/sarana, tata ruang, sistem produksi, sosial ekonomi dan sebagainya. Untuk mengurangi dampak perubahan iklim terhadap infrastruktur atau sarana usaha tani, sistem produksi, dan sosial-ekonomi, maka strategi pendekatan adaptasi yang dilakukan antara lain : teknologi prediksi iklim, pengembangan sistem jaringan iklim, pengembangan sistem peringatan dini, pengembangan sekolah lapang pertanian, penyesuaian pola tanam/kalender tanam (waktu, rotasi, jenis tanam), pengembangan varietas adaptif (VUB rendah emisi gas rumah kaca, VUB toleran kegaraman, VUB tahan kering (dan umur genjah), VUB tahan genangan), serta pengembangan teknologi pengelolaan lahan/ tanah, air dan Iklim. Contoh varietas padi tahan kekeringan adalah Silugonggo dan Dodokan. Secara teoritis sikap petani adalah ingin menghindari risiko (risk-averse behavior). Sifat ini muncul apabila suatu kejadian mempunyai dampak ekonomi sangat buruk sehingga mengganggu posisi finansial petani. Untuk itu petani telah menerapkan berbagai strategi. Menurut Hadi (2000), ada lima strategi yang dapat dilakukan petani, yaitu : 1) Strategi finansial, sebagai contoh menyimpan dana cadangan (tabungan) dalam jumlah cukup besar, melakukan investasi pada kegiatan berdaya hasil tinggi atau membuat proyeksi arus tunai berdasarkan estimasi yang realistis tentang harga, produksi dan biaya produksi. 2) Strategi pemasaran, misalnya penetapan dan penguncian harga oleh penjual dan pembeli untuk waktu mendatang, kontrak penjualan atau menyebar pemasaran menurut waktu. Strategi pemasaran ini disebut juga sebagai penyimpanan hasil pertanian (crop storage). Petani padi di Indonesia juga banyak yang menerapkan strategi ini. 3) Strategi produksi, sebagai contoh diversifikasi dengan melakukan lebih dari satu jenis usahatani atau kegiatan non-usahatani. Memilih jenis kegiatan yang cukup fleksibel dari segi waktu, biaya dan produk, atau menerapkan management yang baik dengan membuat prediksi pendapatan yang stabil. Hasil berbagai penelitian Pusat Sosial Ekonomi Pertanian menunjukkan bahwa petani Indonesia umumnya melakukan diversifikasi berupa usahatani lain atau kegiatan non-usahatani.
34
4) Kredit informal, sebagai contoh meminjam uang atau barang kebutuhan pokok dari pedagang atau pemilik modal perseorangan. Hasil berbagai penelitian Pusat Sosial Ekonomi Pertanian juga menunjukkan bahwa petani Indonesia pada umumnya menerapkan strategi ini. 5) Membeli asuransi pertanian formal berupa polis dari lembaga asuransi untuk menutup semua atau sebagian kerugian yang diperkirakan akan terjadi. Strategi ini pada umumnya diterapkan di negara-negara maju seperti AS, Perancis dan Jepang, serta beberapa negara sedang berkembang seperti Filipina, Thailand, India dan Sri Langka. Empat strategi pertama dapat digolongkan sebagai asuransi sendiri (self insurance) atau asuransi informal (informal insurance), sedangkan strategi kelima disebut sebagai asuransi formal (formal insurance). Pasaribu (2008) melakukan penelitian di Propinsi Jawa Tengah dan Propinsi Nusa Tenggara Timur (NTT) untuk mengetahui bentuk dan pola adaptasi petani terhadap perubahan iklim. Hasil penelitian menunjukkan bahwa untuk petani di Propinsi Jawa Tengah, bentuk dan pola adaptasinya, antara lain : (a) membangun long storage sebagai penampung air, (b) peningkatan kerjasama kelompok tani (gotong royong) melalui kelembagaan P3A yang dibantu oleh Pemerintah Daerah setempat, (c) mengubah pola tanam termasuk penanaman serentak disertai dengan pola tanam pada lahan irigasi teknis dengan pola budidaya hemat air (pola SRI) dan pada lahan non irigasi teknis dengan budidaya gogo rancah (pemanfaatan air dangkal). Untuk petani di Propinsi NTT, adaptasi dilakukan antara lain dengan 3 strategi, yaitu : (a) bertahan (menanam tanaman secara berulang dengan pertimbangan aspek ekonomi dan pasrah kepada keadaan, (b) agresif (mengganti jenis tanaman, mengubah pola tanam, menerapkan inovasi pemanenan air dengan embung dan sumur, serta menunggu informasi curah hujan) dan (c) antisipatif ( menyiapkan input yang cukup, mengalihkan usaha dari on-farm ke off-farm, serta memanfaatkan pengetahuan spesifik lokal). Berdasarkan penelitian tersebut, Pasaribu (2008) menyimpulkan secara garis besar ada dua faktor utama yang mempengaruhi kapasitas adaptasi petani terhadap perubahan iklim. Pertama adalah faktor di luar kegiatan usaha tani, seperti : kondisi topografi, dukungan kebijakan pemerintah yang masih kurang,
35
rendahnya akses terhadap informasi iklim, kurangnya tenaga penyuluh atau pendamping yang membantu menginterpretasikan informasi iklim yang ada, faktor sosial budaya serta kelembagaan. Kedua adalah faktor yang terkait dengan pelaksanaan usaha tani, seperti : belum memadainya sarana dan prasarana usaha tani, keterbatasan modal usaha tani yang menyulitkan petani menerapkan teknologi tertentu terkait dengan antisipasi perubahan iklim. Di Kabupaten Indramayu, petani telah memiliki beberapa cara untuk mengurangi risiko iklim. Hasil penelitian Boer (2008b) di Indramayu menunjukkan bahwa pada musim hujan, petani pada umumnya melakukan teknik gogo rancah, ngipuk dan rendengan. Gogo rancah (penyebaran benih secara langsung/direct seeded) yaitu penanaman bibit padi secara langsung tanpa dilakukan penyemaian. Cara ini dilakukan ketika curah hujan rendah tetapi sering. Cara lain yang dilakukan adalah ngipuk (dry seeded). Cara ini dilakukan ketika curah hujan tinggi namun jarang. Sebelum melakukan penanaman bibit disemai terlebih dahulu pada sebagian petak sawah dalam keadaan kering sebelum musim hujan tiba. Setelah musim hujan tiba, bibit yang telah disemai dipindahkan ke seluruh petak sawah. Rendengan (transplanting system) dilakukan ketika curah hujan tinggi dan sering. Sebelum melakukan penanaman, bibit disemai terlebih dahulu pada sebagian petak sawah dalam keadaan basah beberapa waktu sebelum musim hujan tiba. Setelah musim hujan tiba, bibit yang telah disemai dipindahkan ke seluruh petak sawah. Pada musim kering, teknik yang dilakukan antara lain : padi gadu, sistim culik, tanam selain padi dan bera. Padi gadu dilakukan ketika curah hujan cukup tinggi dan berlangsung lama lebih dari 3 bulan. Sistim culik adalah melakukan persiapan pembibitan. Cara ini dilakukan jika curah hujan cukup tinggi tetapi tidak berlangsung sampai 3 bulan. Ketika petani akan panen untuk masa tanam pertama, terlebih dahulu dilakukan panen muda pada sebagian kecil petak sawah untuk ditanami bibit yang akan ditanam pada masa tanam kedua. Sehingga setelah panen, bibit yang telah disemai terlebih dahulu dapat langsung ditanam. Khusus untuk kejadian El-Nino, bentuk respon petani padi di Indramayu terhadap prakiraan El-Nino terdiri dari beberapa cara yaitu: (i) tetap tidak merubah pola tanamnya, yaitu tetap tanam padi, (ii) tidak melakukan penanaman padi sama
36
sekali (diberakan), (iii) merubah tanaman dari padi menjadi non-padi yang butuh air lebih sedikit, dan (iv) merubah bentuk kegiatan dari usahatani padi ke usaha lainnya misalnya menambang garam. Sampai saat ini bentuk respon yang masih umum ialah mengabaikan hasil hasil ramalan sehingga setiap El-Nino terjadi, wilayah ini selalu mengalami kekeringan yang meluas (Boer 2003b). Hal ini seiring dengan hasil penelitian Zubaida (2004) yang menyebutkan bahwa petani di Kabupaten Indramayu secara umum belum melakukan adaptasi sebelum tanam agar terhindar dari gagal panen akibat iklim ekstrim, padahal mereka telah mengetahui
ada
teknologi-teknologi
yang
dapat
dimanfaatkan
dalam
mengadaptasi kejadian iklim ekstrim seperti mengganti varietas, mengatur pola tanam dan waktu tanam. Perkiraan kerugian petani akibat kejadian iklim ekstrim berdasarkan tanaman yang gagal panen adalah Rp. 1890000 (untuk tanaman usia 10 HST), Rp. 2890000 (untuk tanaman usia lebih dari 20 HST) dan Rp. 3350000 (untuk tanaman usia lebih dari 30 HST) (Zubaida 2004). Secara umum, mekanisme adaptasi yang dilakukan petani dalam menghadapi gagal panen akibat kejadian iklim ekstrim adalah menghemat pengeluaran, meningkatkan pendapatan dari usaha lain, dan mencari pinjaman jika dalam keadaan darurat. Pinjaman biasanya dilakukan antar kerabat dekat seperti keluarga, teman atau tetangga, sedangkan untuk pinjaman modal untuk usaha tani biasanya berasal dari bank. Kendala yang dihadapi dalam beradaptasi pada umumnya adalah masalah ekonomi, seperti kurangnya kepastian pendapatan dari usaha lain atau terbatasnya dana bantuan. Membangun kemampuan adaptasi merupakan proses untuk memperkuat kemampuan sistem untuk menyesuaikan diri terhadap keragaman iklim saat ini dan mendatang serta goncangan iklim.
Pembangunan kemampuan adaptasi
bertujuan untuk memperlebar selang toleransi dari suatu sistem yang diprioritaskan terhadap bencana iklim, dan kemudian membangun kemampuan sistem tersebut untuk beradaptasi terhadap perubahan iklim dan keragamannya. Apabila kemampuan adaptasi tidak dibangun maka risiko sistem tersebut untuk terkena dampak perubahan iklim akan semakin besar. Proses untuk meningkatkan kemampuan adaptasi akan memerlukan
kemampuan untuk belajar dari
pengalaman masa lalu dalam menghadapi keragaman iklim dan menggunakan
37
pengalaman tersebut untuk membangun kemampuan beradaptasi terhadap keragaman iklim masa datang, termasuk terhadap goncangan iklim.
2.5. Hubungan Curah Hujan dan Produksi Padi Tanah, iklim dan air merupakan lingkungan tumbuh tanaman padi. Penguasaan tentang lingkungan tumbuh padi ini sangat penting untuk menentukan cara budidaya yang paling tepat dan menguntungkan (Fagi dan Las 1988). Salah satu unsur iklim yang sangat berperan terhadap ketersediaan air bagi tanaman adalah curah hujan. Tinggi rendahnya produksi padi tidak bisa dipisahkan dengan ketersediaan air bagi tanaman. Hal ini juga diungkapkan Taslim (1988) yang menyatakan bahwa potensi hasil tanaman padi erat hubungannya dengan jaminan ketersediaan air selama musim tanam. Di Indonesia, faktor penentu musim tanam adalah ketersediaan air yang dipengaruhi oleh curah hujan. Meskipun penerimaan hujan tahunan tinggi, bahkan di beberapa wilayah telah tersedia fasilitas jaringan irigasi, namun demikian periode tanam pada sebagian besar wilayah produksi tanaman pangan tetap tergantung pada kondisi penerimaan hujan musiman (Hidayati et al. 2010). Artinya, curah hujan merupakan indikator yang cukup kuat untuk mengetahui fluktuasi produksi padi. Tanaman padi membutuhkan 600 – 1200 mm air selama 90 – 120 hari dari tanam hingga panen (De Datta 1981). Jagung memerlukan 300 hingga 400 mm air selama 90 hingga 125 hari pada periode tanam (Mink, Dorosh & Perry 1987). Oleh karena kebutuhan air yang lebih sedikit, maka palawija menjadi alternatif komoditas yang ditanam petani pada saat akhir musim hujan, di mana ketersediaan air sudah tidak mencukupi untuk kebutuhan tanaman padi. Fase tanaman yang paling rentan terhadap kekurangan air adalah awal fase vegetatif, fase pembungaan dan fase pengisian bulir/polong (Biswas & Choudhuri 1984; Mapegau 2006). Pada tanaman padi, kekurangan air pada fase reproduktif memberikan dampak penurunan produksi yang lebih besar dibandingkan kekurangan air pada masa vegetatif (Biswas & Choudhuri 1984). Vergara (1976) menyatakan bahwa peranan ketersediaan air sangat penting (kritis) pada awal pertumbuhan dan pada fase pembungaan (Gambar 13). Kekurangan air pada fase ini akan berdampak besar terhadap pertumbuhan
38
tanaman, sebaliknya bila terjadi pada akhir fase vegetatif dan pada fase akhir pemasakan. Peranan ketersediaan air juga penting pada saat pembentukan anakan dan pada awal fase pemasakan (pengisian biji). Vegetatif
Reproduktif
Gambar 13. Peranan ketersediaan air pada setiap stadia tumbuh tanaman (Sumber : Vergara 1976) Penelitian Rushayati et al. (1989) menunjukkan bahwa tanaman yang diberi cekaman air (kadar air 50% kapasitas lapang) selama sepuluh hari pada awal fase pertumbuhan vegetatif memberikan hasil yang sangat rendah, demikian juga halnya apabila perlakuan ini diberikan pada fase primordia. Penurunan hasil yang terjadi akibat cekaman kekeringan pada awal fase pertumbuhan vegetatif terutama melalui pengurangan jumlah anakan dan luas daun sedangkan pada fase primordia melalui penurunan jumlah gabah, peningkatan jumlah gabah hampa dan penurunan bobot 100 biji. Selanjutnya Castillo et al. (1992) menemukan bahwa tidak terjadinya hujan selama lebih dari 15 hari berturut-turut pada fase tepat sebelum atau segera setelah pembentukan malai dapat menurunkan hasil antara 18% sampai 38%. Lebih jauh Dikshit et al. (1987) menemukan bahwa penurunan hasil akibat kejadian deret hari kering selama 16 hari selama masa pertumbuhan bisa mencapai 91%, tergantung waktu terjadinya. Berdasarkan perhitungan neraca air harian di Jawa Barat, tidak terjadinya hujan lebih dari 15 hari berturut-turut menurunkan kandungan air tanah dari kapasitas lapang sampai di bawah 50% kapasitas lapang (Hasan 1997). Menurut McCaskill dan Kariada (1992) dan Niewolt (1989), terjadinya deret hari kering selama 7 hari atau lebih mempunyai dampak yang serius terhadap hasil tanaman di daerah tropis.
39
Pengaruh mundurnya awal musim hujan akibat dari berlangsungnya fenomena El-Nino dan dampaknya terhadap penurunan produksi padi musim hujan (MH) sudah dianalisis oleh Naylor et al. (2007). Anomali produksi padi Januari-April (APJ-A) dapat diduga dari awal musim hujan (AMH) dalam bentuk persamaan : 1. Jw. Barat/Jw. Tengah: APJ-A = -349 + 31 AMH – 0.3 AWM2; R2 = 56% 2. Jw. Timur/Bali: APJ-A = -3029 + 67 AMH – 0.3 AWM2; R2 = 71% Dengan menggunakan persamaan (2), penurunan produksi padi JanuariApril dengan mundurnya awal musim hujan satu bulan dari normal setara dengan penurunan produksi sekitar 6.5% untuk Jawa Barat dan Jawa Tengah dan 11% untuk Jawa Timur dan Bali. Awal MH dihitung dari jumlah hari setelah tanggal 1 Agustus. Awal musim hujan sudah masuk apabila kumulatif tinggi hujan sejak tanggal 1 Agustus sudah mencapai 200 mm. Tahun 1982 dan 1997 merupakan tahun El-Nino kuat yang menyebabkan awal musim hujan mundur sampai 2-3 bulan (Gambar 14).
Gambar 14. Hubungan anomali produksi padi Januari-April dengan awal MH (Sumber : Naylor et al. 2007) 2.6. Model Simulasi Tanaman DSSAT Model dapat diartikan sebagai penyederhanaan suatu sistim, sedangkan sistim adalah gambaran suatu proses atau beberapa proses (beberapa subsistim) yang teratur. Menurut Handoko (1994), meskipun terlihat rumit, namun sistim tersebut tetap merupakan suatu keteraturan. Model simulasi tanaman merupakan model yang dapat menggambarkan proses-proses pertumbuhan dan perkembangan tanaman yang dipengaruhi oleh faktor iklim, tanah dan tanaman. Dalam aplikasinya, model simulasi tanaman mengintegrasikan beberapa disiplin ilmu, seperti agrometeorologi, sifat fisik dan
40
kimia tanah, pemuliaan tanaman dan agronomi dalam bentuk persamaan matematika untuk memprediksi pertumbuhan, perkembangan dan hasil tanaman (Hoogenboom 2000). Menurut Boer (1997), model-model simulasi tanaman yang berdasarkan pada faktor-faktor tanaman, tanah dan cuaca merupakan alat yang efektif dalam pertanian. Model-model ini dapat digunakan untuk merencanakan alternatif strategi untuk penanaman, penggunaan tanah dan pengelolaan air, untuk mengevaluasi tanaman, varietas dan teknologi budidaya, untuk menganilisis tingkat risiko iklim terhadap pertumbuhan tanaman sehingga dapat digunakan perluasan wilayah penanaman dan pemilihan sistim usaha tani yang sesuai dengan lokasi, untuk memformulasikan hipotesis dan rancangan percobaan untuk penelitian, untuk menduga hasil tanaman dan sebagainya. Studi tentang pemanfaatan model simulasi untuk tujuan analisis dampak dan perubahan iklim lebih banyak menggunakan model deterministik. Salah satu model deterministik yang digunakan di banyak negara adalah DSSAT (Decision Support System for Agrotechnology Transfer). DSSAT adalah suatu perangkat lunak untuk melakukan simulasi tanaman yang dikembangkan oleh IBSNAT (International Benchmark Site Network for Agrotechnology Transfer) di Hawaii University. DSSAT merupakan aplikasi perangkat lunak program yang terdiri dari model simulasi tanaman. Didukung oleh program manajemen basis data untuk tanah, cuaca, pengelolaan tanaman dan data eksperimental. Model simulasi tanaman di DSSAT mensimulasikan pertumbuhan, perkembangan dan hasil sebagai fungsi dari tanah-tanaman-atmosfer. Data minimum yang dibutuhkan model DSSAT (Jones et al. 1998) adalah : 1) posisi lintang dan bujur, data iklim harian : radiasi matahari, suhu udara minimum dan maksimum serta curah hujan, 2) tanah : kedalaman lapisan tanah atas dan bawah, tekstur, bobot isi (bulk density), carbon organik, pH dan kejenuhan aluminium, 3) manajemen : tanggal tanam, jarak tanam, kedalaman tanam, varietas, irigasi (untuk lahan irigasi) dan pupuk. Diagram database selengkapnya disajikan dalam Gambar 15.
41
Gambar 15.
Diagram database, aplikasi, dan komponen perangkat lunak pendukung dan penggunaan model tanaman untuk aplikasi dalamDSSAT v3.5 (Sumber : Jones et al. 2003).
Tsuji et al (1994) menjelaskan kegunaan DSSAT antara lain : 1) dapat menganalisis sensitivitas model yang digunakan dengan mengganti input parameter tanah, iklim dan tanaman tanpa merubah susunan file percobaan yang divalidasi, 2) dapat mengevaluasi variabilitas dan dampak perubahan strategi skenario iklim, 3) dapat menggambarkan dinamika pertumbuhan tanaman, keseimbangan penggunaan pupuk, dan proses konservasi tanah yang erat kaitannya dengan proses pergerakan air baik melalui run off, infiltrasi dan perkolasi. Selain itu, model DSSAT juga mampu mensimulasi proses pertumbuhan dan perkembangan tanaman secara kontinu antar musim. Di sisi lain, ada beberapa kelemahan model DSSAT, yaitu : 1) tidak merumuskan pengaruh pupuk P (Phospor) dan K (Kalium), serta hama dan penyakit tanaman, 2) subyektivitas dalam merancang percobaan. Ulangan tidak dapat didiskripsikan dengan jelas, serta 3) keragaman output sangat rendah karena ulangan yang diberikan dengan input perlakuan yang sama pada periode penanaman yang sama akan memberikan hasil yang sama. Di Indonesia, model simulasi tanaman juga telah dikembangkan oleh para peneliti. Model yang banyak berkembang adalah model pertumbuhan tanaman padi. Prinsip model pertumbuhan tanaman padi adalah merupakan fungsi konversi dari CO2 menjadi karbohidrat yang didistribusikan untuk pertumbuhan
42
komponen-komponen tanaman. Besarnya CO2 yang dikonversi menjadi karbohidrat ditentukan oleh konsentrasi CO2 dan intensitas radiasi serta tingkat cekaman hara (N, P dan K). Banyaknya karbohidrat yang berubah menjadi bahan kering ditentukan oleh laju respirasi. Validasi model DSSAT untuk tanaman padi IR 64 telah dilakukan oleh Surmaini (2006) dengan membandingkan data hasil penelitian Balai Penelitian Tanaman Padi mengenai pengaruh berbagai tingkat pemupukan N terhadap produksi padi di beberapa lokasi yaitu Geritan-Pati, Binangun-Cilacap, MuaraBogor dan Sukamandi, dan diperoleh nilai koefisien korelasi yang cukup tinggi yaitu sebesar 0.9267.
2.7. Asuransi Pertanian di Indonesia Saat ini dampak dari kejadian cuaca/iklim terhadap pelayanan finansial sebagian besar disebabkan oleh kejadian ekstrim. Sebagaimana diungkapkan oleh Wellington (2005) bahwa perubahan iklim membawa keuntungan sekaligus risiko bagi industri dan perusahaan. Perbedaan kerentanan ada yang disebabkan oleh lokasi geografis, distribusi penduduk, dan kekayaan nasional. Di negara-negara berkembang, jumlah kematian sangat tinggi akibat cuaca/iklim ekstrim, namun biaya untuk sektor keuangan relatif kecil karena penetrasi asuransi rendah. Sebaliknya di negara-negara maju, yang kehilangan kehidupan mungkin jauh lebih sedikit tetapi cukup banyak tersedia biaya untuk asuransi industri. Swiss Re (2000b) diacu dalam IPCC (2001) mengkompilasi data 40 kejadian bencana terburuk antara 1970 dan 1999 yang menunjukkan bahwa dari 40 kejadian bencana terburuk tersebut, 16 diantaranya terkait dengan iklim dan 13 diantaranya terjadi di Asia. Laporan ketiga kajian IPCC menggarisbawahi tentang pentingnya asuransi dan komponen jasa keuangan lainnya karena mewakili mekanisme penyebaran risiko melalui biaya yang didistribusikan yang berhubungan dengan kejadian cuaca, antar sektor dan melalui masyarakat. Sektor jasa keuangan juga berperan sentral dalam kegiatan adaptasi dan mitigasi dan merupakan sumber utama data global dan regional terkait dengan kejadian iklim (IPCC 2001). Mills (2006) menyajikan dalam laporannya beberapa bentuk solusi asuransi iklim, termasuk
43
diantaranya adalah program efisiensi energi, desain bangunan hijau (green building design) dan perdagangan emisi karbon. Hasil penelitian Osgood et al. (2007b) menunjukkan bahwa asuransi formal ini juga telah dikembangkan di negara-negara berkembang/miskin seperti India, Ethiophia, Tanzania, Malawi dan Kenya. Menurut Hadi (2000), asuransi formal bisa merupakan alternatif strategi yang diperlukan bagi petani. Asuransi ditawarkan sebagai salah satu dari skim pendanaan untuk membagi risiko seperti kegagalan panen. Asuransi pertanian penting sebagai bentuk proteksi atas kemungkinan kerugian akibat bencana alam (banjir, kekeringan, angin puting beliung) atau kerugian lainnya akibat anomali cuaca dan perubahan iklim (Sanim 2009). Di negara-negara maju, asuransi formal pertanian telah digunakan secara luas untuk mengantisipasi dampak buruk dari kegagalan panen. Hasil penelitian Ramaswami (1993) dalam Hadi (2000) menunjukkan bahwa asuransi formal pertanian dapat memperkecil risiko turunnya pendapatan petani sehingga kebutuhan konsumsi keluarga tetap terpenuhi secara normal sepanjang waktu. Selain itu dapat meningkatkan kapasitas petani untuk mendapatkan kredit karena dapat digunakan sebagai kolateral kepada pihak pemberi pinjaman (Lee et al. 1980). Asuransi pertanian sudah muncul sejak jaman dahulu, baik yang dilakukan oleh pihak swasta maupun pemerintah. Asuransi pertanian untuk bencana musim hujan ditemukan tahun 1979 di Jerman. Di Amerika Serikat penerapan asuransi pertanian pertama kali tahun 1880 dan produk yang diasuransikan adalah tembakau. Asuransi pertanian ini berkembang dengan baik di AS, Jepang, Uni Eropa dan Taiwan. Di India, Bangladesh dan Filipina agak lambat berkembang (Sanim 2009). Di Indonesia, Departemen Pertanian pernah mencoba membangun sistem asuransi formal pertanian dengan terlebih dahulu membentuk Kelompok Kerja (POKJA) “Persiapan dan Pengembangan Asuransi Panen” dengan Surat Keputusan Menteri Pertanian (SK Mentan) nomor 369/Kpts/01/5/1982. Tugas POKJA tersebut antara lain : (1) mempelajari kemungkinan penerapan sistem asuransi panen (crop insurance) di Indonesia, (2) menjajagi, mengusahakan dan memanfaatkan bantuan dari negara lain, (3) menyiapkan rancangan/kerangka
44
bentuk sistim asuransi panen khususnya untuk tanaman padi, (4) melakukan uji coba mengenai sistem asuransi panen, dan (5) memberikan rekomendasi dan mengajukan rencana pembangunan sistim asuransi panen kepada pemerintah. POKJA tersebut belum berjalan dengan baik sehingga pada tahun 1984 dibentuk lagi POKJA berdasarkan SK Mentan nomor BM 110/98/Kpts/2/1984 tanggal 2 Februari 1984 yang tugasnya sama dengan POKJA tahun 1982. POKJA ini juga belum berjalan dengan baik sehingga pada tahun 1985 dibentuk lagi POKJA dengan tugas yang masih sama dengan sebelumnya. POKJA ini juga belum berhasil melaksanakan tugasnya. Anggota POKJA 1982, 1984 dan 1985 terdiri dari berbagai instansi pemerintah terkait kecuali badan litbang pertanian. Baru pada tahun 1999, Badan Litbang Pertanian (dalam hal ini diwakili oleh Pusat Penelitian Sosial Ekonomi Pertanian) dilibatkan dalam TIM Pengembangan Asuransi Pertanian berdasarkan Surat Penunjukkan Menteri Pertanian nomor KP.440/178/Mentan/VI/99 tanggal 10 Juni 1999. Tugas-tugas tim tersebut masih sama dengan tugas tim POKJA sebelumnya, namun telah melibatkan pihak asuransi (PT Pasaraya Life Insurance dan Koperasi Asuransi Indonesia) (Hadi, 2000). Tim ini berhasil menyusun proposal sistem asuransi pertanian, dimana asuransi panen (crop insurance) untuk padi dan asuransi jiwa (life insurance) menjadi satu paket asuransi. Pihak yang direncanakan menyediakan asuransi adalah sebuah konsorsium antara perusahaan swasta bidang asuransi dan pemerintah. Program asuransi ini telah berjalan pada tahun 2000 dalam bentuk Pilot Project di bawah koordinasi Direktorat Jenderal Sarana dan Prasarana Departemen Pertanian. Berdasarkan
kajian
Pasaribu
(2009a)
asuransi
pertanian
telah
diperkenalkan untuk jangkauan yang terbatas sejak tahun 2000 (oleh lembaga kredit asuransi Bumida, sebuah perusahaan asuransi umum nasional bekerjasama dengan BPD Sumut, sebuah bank lokal di Propinsi Sumatera Utara dan difasilitasi oleh Departemen Pertanian). Pada tahun 2004- 2005 peternak diarahkan untuk program penggemukan domba/sapi yang dilakukan di Kabupaten Jembrana Provinsi Bali tetapi bangkrut karena keuangan. Tahun 2006, Departemen Pertanian secara resmi kembali mencoba memperkenalkan asuransi pertanian, tetapi sayangnya sektor swasta belum tertarik. Pada tahun 2008, Departemen
45
Pertanian berinisiatif untuk menanggung risiko (kerugian sapi) dalam program skema asuransi pertanian. Program ini diperkenalkan untuk menanggung semua risiko untuk ternak dan tanaman padi dengan tingkat premi masing-masing 3.5% dari nilai pembelian/tahun dan 3.5% dari biaya produksi/ha/musim tanam. Program ini berlangsung di Jawa dan hanya untuk aplikasi asuransi pertanian. Penelitian tentang asuransi pertanian ini terus dikembangkan oleh Pasaribu (2009b) dengan melaksanakan pilot project di desa Pamatang Panombeian dan desa Marjandi Pisang, Kecamatan Panombeian, Kabupaten Simalungun, Provinsi Sumatera Utara dan desa Riang Gede, Kecamatan Panebel, Kabupaten Tabanan, Povinsi Bali. Data tentang kesediaan para petani mengikuti pilot project asuransi di dua lokasi desa penelitian di Kabupaten Simalungan menunjukkan bahwa 90 persen responden menyatakan kesediaannya dan 10 persen sisanya menyatakan tidak bersedia dan masih ragu-ragu. Dalam kaitan dengan premi asuransi, 35.71 persen petani menyatakan bersedia menanggung seluruh premi, sementara 64.29 persen lainnya hanya sanggup menanggung sebagian. Dasar penetapan klaim yang diharapkan para petani adalah 27.50 persen menginginkan atas dasar modal yang dikeluarkan dan 72.50 persen berdasarkan nilai produksi. Cara penyampaian klaim yang diusulkan, sebagian besar (79.41%) memilih dengan cara berkelompok dan 20.59 persen responden lainnya menginginkan secara individu. Harapan para petani di dua desa lokasi ini menginginkan pelaksanaan pilot project dapat dilakukan sejak MH 2010 (60%); MK-I 2010 (7%) dan MK-II 2010 (33%). Sementara respon petani di lokasi penelitian Kabupaten Tabanan menurut Pasaribu (2009b) menunjukkan bahwa 72.5 persen menyatakan kesediaan untuk mengikuti pilot project asuransi, 10 persen responden lainnya menyatakan tidak bersedia dan sebagian lagi (17.5%) masih ragu-ragu. Di lokasi desa Kabupaten Tabanan, 35.3 persen petani bersedia membayar seluruh premi dan 64.7 persen menyatakan hanya bersedia menanggung 50 persen. Penetapan klaim yang diinginkan agar didasarkan pada besaran modal yang dikeluarkan (55.9%) dan sisanya (44.1%) berdasarkan perkiraan nilai produksi. Cara penyampaian klaim yang diusulkan sebagian besar menyatakan melalui kelompok 61.8 persen dan sisanya secara individu. Sebagian besar petani responden menginginkan penerapan pilot project asuransi usahatani padi pada MH 2009/2010. Dari studi
46
yang telah dilakukan, menurut Pasaribu (2009a) hal yang perlu mendapat perhatian adalah bahwa aspek hukum yang tersedia masih sangat minim. Oleh karena itu, hal ini merupakan peluang yang baik untuk mengembangkan penelitian tentang asuransi yang memperhitungkan parameter iklim yang diharapkan dapat memberikan wacana baru bagi sistim asuransi di Indonesia. Perkembangan terakhir menunjukkan bahwa Kementerian Pertanian (2012)
melalui
Surat
Keputusan
Menteri
Pertanian
Nomor
1136/Kpts/OT.160/4/2012 telah membentuk Tim Pokja Asuransi Komoditas Pertanian yang mempunyai tugas melakukan : 1.
Identifikasi permasalahan dan upaya pemecahannya dalam asuransi komoditas pertanian.
2.
Perumusan model asuransi komoditas pertanian.
3.
Pemantauan dan evaluasi atas pelaksanaan perlindungan usaha komoditas pertanian. Kementerian Pertanian bekerjasama dengan BUMN pertanian dan BUMN
asuransi serta kelompok tani pada Bulan Oktober 2012 melaksanakan skim asuransi usahatani padi sebagai pilot studi pada 3000 ha sawah beririgasi di tiga lokasi (Sumatera Selatan, Jawa Barat, dan Jawa Timur, masing-masing 1000 ha). Namun, model yang dipakai masih model “tradisional” untuk menjamin usahatani padi dari risiko gagal panen karena banjir, kekeringan dan atau serangan OPT. Nilai premi Rp. 180000/ha/MT dengan nilai pertanggungan jika gagal panen (puso dengan kriteria tertentu) Rp. 6 juta/ha. Sebesar 80% premi dibayar pemerintah dalam bentuk subsidi yang diambil dari dana program Gerakan Peningkatan Produksi Pangan Berbasis Korporasi (GP3K) yakni Rp. 144 ribu, sementara petani membayar sisanya (20%, sebesar Rp. 36 ribu) (Pasaribu 2012).
2.8. Asuransi Indeks Iklim (Climate Index Insurance) Bencana-bencana yang terkait iklim, seperti banjir, kekeringan dan sebagainya merupakan faktor dominan penyebab kerugian pada usaha tani padi di Indonesia. Untuk mengatasi atau meminimalkan berbagai risiko akibat bencana terkait iklim tersebut, petani pada umumnya telah memiliki berbagai cara antara lain : mengganti tanaman dengan yang lebih tahan, meminjam uang melalui Bank,
47
koperasi atau kelompok tani, dll. Namun cara tersebut masih sangat terbatas dan tidak ada jaminan, sehingga petani akan tetap mengalami kerugian. Di negara seperti India dan Afrika, petani sudah memiliki cara untuk menstabilkan pendapatannya yaitu dengan asuransi informal, namun menurut Hadi (2000), asuransi informal ini memiliki kelemahan, yaitu : (1) bersifat individu dan tidak mengasuransikan secara penuh keluarga petani dalam suatu wilayah berisiko yang luas, dan (2) strategi petani dalam melakukan manajemen risiko tidak efektif (terlalu mahal) dan tidak dinikmati oleh semua petani. Oleh karena itu, perlu dikembangkan asuransi formal yang dapat digunakan sebagai alternatif strategi yang diperlukan oleh petani dan sangat berpeluang dikembangkan di Indonesia. Saat ini telah berkembang produk asuransi pertanian berbasis index iklim yang dikenal dengan Asuransi Indeks Iklim (Climate Index Insurance). Menurut Biro Perasuransian, Badan Pengawas Pasar Modal dan Lembaga Keuangan (BAPEPAM-LK) Departemen Keuangan (2010),
Asuransi Indeks Iklim adalah
asuransi yang memberikan penggantian atas kerugian akibat penurunan tingkat panen atau kegagalan panen yang dikaitkan dengan cuaca. Contoh: curah hujan yang berlebihan, atau curah hujan yang kurang (kekeringan). Menurut Boer (2010b), sistem ini memberikan pembayaran pada pemegang polis manakala terpenuhi kondisi cuaca/iklim yang tidak diharapkan (Indeks Iklim) tanpa harus ada bukti kegagalan panen. Asuransi ini dapat mempercepat penerimaan petani terhadap teknologi adaptasi atau integrasi informasi prakiraan musim/iklim dalam membuat keputusan. Dalam sistem asuransi iklim yang diasuransikan ialah indeks Iklimnya bukan tanaman. Pembayaran dilakukan berdasarkan apakah indeks iklim yang ditetapkan dicapai pada periode pertumbuhan tanaman yang diasuransikan. Manuamorn (2010) mensarikan beberapa pernyataan tentang asuransi indeks iklim, diantaranya adalah : (1) kebijakan pembayaran indeks asuransi berbasis pada obyektif bukan pada pengukuran dari kehilangan riil, (2) indeks memerlukan korelasi yang kuat dengan kehilangan hasil riil yang akan diproteksi, (3) Pembayaran dibuat berdasarkan realisasi dari nilai indeks mengikuti skala pembayaran yang telah disetujui. Dalam penelitian ini, indeks yang akan dikaji adalah yang terkait dengan iklim/cuaca, yaitu indeks iklim. Indeks iklim paling banyak digunakan dalam
48
bidang pertanian. Hal ini disebabkan adanya korelasi yang tinggi antara kejadian iklim dan kehilangan produksi tanaman. Beberapa parameter yang umum digunakan untuk indeks iklim adalah : curah hujan, temperatur, kecepatan angin, biomas vegetasi, kelembaban tanah, serta growing degree days. Sebagai contoh dalam bidang pertanian, menurut Manuamorn (2010), index curah hujan ditujukan untuk melindungi petani dari kekeringan. Beberapa keuntungan asuransi indeks iklim, adalah : 1) tidak ada moral hazard, tidak tergantung pada perilaku individu, 2) tidak ada anti seleksi (Adverse Selection) dalam konteks subsidi silang karena didasarkan pada banyaknya ketersediaan informasi (seperti data iklim runut waktu). Hal ini membantu menghindari situasi dimana hanya orang-orang dengan risiko tinggi saja (yang memiliki pengetahuan lebih tentang risiko mereka yang mengasuransikan), 3) biaya adminitrasi rendah, 4) struktur transparan dan 5) fleksibel, dapat digabungkan dengan fasilitas lain (IFC 2009, Manuamorn 2010, dan IRI 2011). Sementara tantangannya adalah masih terbatasnya sumberdaya manusia sebagai pengguna untuk menilai apakah indeks asuransi akan memberikan manajemen risiko yang efektif, pasar masih dalam masa pertumbuhan di negara negara berkembang dan biaya awal (start-up) dapat menjadi signifikan (IFC, 2009), masih terbatasnya alat-alat pengamatan iklim/curah hujan otomatis dan handal untuk mendapatkan data yang berkualitas, serta undang-undang (regulasi) yang mendukung. Sisi lain dari kelebihan adalah kelemahannya. Kelemahan mendasar dari indeks asuransi adalah ketidaksesuaian antara pembayaran kontrak dan kehilangan riil. Konsekuensinya petani dapat mengalami kerugian dan tidak akan menerima pembayaran, atau petani jadi dibayar tanpa harus menderita kerugian (Manuamorn 2010). Kelemahan lain dari indeks asuransi adalah membutuhkan input teknologi yang tinggi selama fase perkembangan, serta memerlukan adaptasi lokal. Sebagai contoh, dalam kasus kekeringan sebagaimana tercantum dalam polis asuransi, petani yang diasuransikan akan menerima pembayaran tepat waktu. Kompensasi dapat digunakan untuk membiayai kembali atau melunasi pinjaman penyemaian produksi dan lain-lain. Sebaliknya, jika tidak ada kekeringan, para
49
petani yang mengikuti asuransi akan menerima pendapatan dari penjualan tanaman sepadan dengan biaya investasi dan tenaga kerja. Negara-negara yang sudah mengembangkan indeks asuransi iklim/cuaca antara lain : Malawi, India, Mongolia, Philipina, Thailand, dan Kenya. Di Malawi digunakan parameter presipitasi untuk mengaplikasikan asuransi bagi petani kacang. Di India dikembangkan asuransi berdasarkan indeks yang berbasis curah hujan sejak tahun 2003 dan telah berhasil menjual polis cukup besar. Thailand lebih memfokuskan pada risiko kekeringan terhadap tanaman jagung, sedangkan Malawi mengaplikasikan indeks asuransi untuk risiko kekeringan pada tanaman tembakau. Kenya menggunakan curah hujan sebagai parameter untuk menyusun indeks asuransi untuk tanaman jagung dan gandum. Selain itu, Kenya juga telah mengaplikasikan satelit sebagai dasar menentukan indeks vegetasi yang digunakan untuk memantau kekeringan pada ternak, khususnya di wilayah bagian utara. Berbagai metode telah digunakan untuk menentukan indeks iklim. International
Research
Institute
for
Climate
and
Society
(IRI)
telah
mengembangkan suatu model untuk asuransi indeks iklim yang disebut dengan Weather Index Insurance Education Tool (WIIET). WIIET menggunakan konsep indeks cuaca untuk pengembangan asuransi indeks iklim. Penggunaan indeks cuaca ini sering digunakan untuk pertanian karena adanya korelasi yang tinggi antara peristiwa cuaca dan kerugian tanaman. Kehilangan hasil dihitung berdasarkan pendekatan kecukupan air (water satisfaction) (Gambar 16).
50
Diagram alir 1 WIIET-Pemodelan Tanaman Analisis Kecukupan Air : perlu data curah hujan dan evapotranspirasi, dll. Pembangkitan data WSI
Kontrak. Perlu data pembayaran secara runut waktu, set data curah hujan dan data kehilangan hasil.
Konversi kehilangan. Membutuhkan set data WSI. Pembangkitan data kehilangan secara runut waktu.
Pembuatan Kontrak. Membutuhkan data curah hujan, data pembayaran. Ini merupakan bagian utama dari WIIET sebagai petunjuk bagi pengguna untuk memperkirakan parameter dalam pengembangan kontrak.
Alat (tools) digunakan untuk membantu membuat kontrak “triggers” dan untuk memahami potensi keuntungan dari tanam pada periode yang berbeda dari setiap musim.
Diagram alir 2 WIIET. Desain Kontrak
Evaluasi Kontrak. Membutuhkan data pembayaran runut waktu dan data kehilangan hasil. Harga. Membutuhan data pembayaran runut waktu.
Gambar 16. Diagram alir konsep model WIIET (Sumber : IRI 2009)
Pendekatan lain yang bisa dilakukan untuk menghitung indeks iklim adalah dengan analisis “Historical Burn” (Historical Burn Analysis, HBA) yang dikembangkan oleh IRI (IRI 2012). Pendekatan ini digunakan apabila di lokasi penelitian hanya tersedia data curah hujan. Pada prinsipnya, analisis “Historical Burn” bergantung pada data masa lalu untuk memberikan kunci apa yang mungkin terjadi di masa depan. Dengan menggunakan pendekatan ini, diasumsikan bahwa tahun mendatang akan terlihat seperti salah satu dari tahun yang sudah terjadi. Oleh karena itu, data runut waktu yang panjang digunakan untuk menentukan trigger dan exit untuk indeks musim yang akan datang. Meskipun ini merupakan pendekatan yang sederhana, namun menjadi titik awal dimana indeks dapat dikembangkan lebih lanjut dan disempurnakan. Total curah hujan yang digunakan dalam penentuan indeks hujan adalah total curah hujan yang telah disesuaikan (adjusted rainfall total).
51
Dalam menggunakan analisis “Historical Burn” ada beberapa batasan yang digunakan, yaitu : 1. Index window (jendela indeks). Index window adalah periode selama musim tanam dimana kontrak asuransi indeks diaplikasikan. Biasanya, kontrak asuransi indeks dibuat mulai tanggal awal dan akhir dimana nilai indeks diukur. Indeks kekeringan, hanya akan mengindikasikan pembayaran jika curah hujan yang terukur di bawah nilai index‟s trigger selama periode yang ditentukan oleh index window. Jika curah hujan rendah di luar tanggal yang ditentukan oleh Index Window, tidak akan ada pembayaran. 2. Menentukan Pembayaran Menggunakan Trigger dan Exit : Selama Index window, perhitungan curah hujan oleh satelit atau alat ukur curah hujan dapat digunakan untuk menentukan apakah harus ada pembayaran untuk asuransi indeks kekeringan. Setiap index window memiliki apa yang disebut „trigger/pemicu‟, jika jumlah total curah hujan selama index window lebih dari trigger, tidak ada pembayaran. Setiap curah hujan total di bawah trigger akan menghasilkan pembayaran. Pembayaran akan meningkat untuk setiap milimeter (mm) dari defisit curah hujan dibawah trigger, sampai pembayaran maksimum tercapai. Titik pembayaran maksimum disebut indeks 'exit'. Ringkasnya, jika curah hujan total untuk jendela indeks lebih besar dari trigger, maka tidak ada pembayaran. Jika curah hujan antara trigger dan exits, maka akan ada pembayaran secara parsial. Jika curah hujan di bawah exits, maka akan dibayar penuh. Gambar di bawah ini mengilustrasikan bagaimana pembayaran ditentukan oleh nilai trigger dan exits (Gambar 17). 3. Mengukur Curah Hujan - Menggunakan Cap: total curah hujan yang digunakan untuk mengetahui apakah indeks harus dibayarkan adalah total curah hujan yang disesuaikan (adjusted rainfall total). Untuk menghitung jumlah curah hujan yang disesuaikan, masukkan jumlah curah hujan untuk setiap periode sepuluh hari (disebut dekad) di jendela indeks. Selanjutnya jika jumlah curah hujan untuk periode sepuluh hari kurang dari 'cap' (misalnya 25 mm), maka digunakan curah hujan total untuk periode tersebut. Namun, jika sepuluh hari total curah hujan lebih dari „cap‟, maka cap yang digunakan. Cap
52
merepresentasikan jumlah maksimum curah hujan yang dihitung untuk setiap periode sepuluh hari. Setelah penyesuaian dibuat, total dari per-sepuluh-hari curah hujan kemudian ditambahkan bersama-sama untuk menghitung total curah hujan yang disesuaikan untuk seluruh index window. 4.
Cap diterapkan agar dapat lebih merepresentasikan masa kering. Misalnya apabila terjadi sebuah badai besar, dalam waktu yang singkat akan mungkin dihasilkan nilai curah hujan yang melebihi indeks trigger; sedangkan pada hari-hari yang lain mungkin masih mengalami curah hujan yang sangat sedikit dan tanaman kering. Dalam kasus ini, tanaman tidak akan mampu mengambil air yang banyak dari badai besar tersebut sebelum air mengalir ke tempat lain. Ketika cap yang digunakan untuk mengatur total curah hujan yang terukur melalui jendela indeks, maka semua kondisi tersebut diharapkan dapat terwakili.
Gambar 17. Konsep pembayaran asuransi indeks iklim (IRI 2012) Tahapan analisis “Hitorical Burn” adalah sebagai berikut : 1.
Pilih tahun dan periode yang diasuransikan (indeks window) dan hitung curah hujan dasarian pada periode tersebut.
2.
Tentukan besarnya “cap” dan hitung curah hujan yang disesuaikan (adjusted rainfall total). Jika jumlah curah hujan untuk periode sepuluh hari kurang dari 'cap' , maka digunakan curah hujan total untuk periode tersebut. Namun, jika dalam sepuluh hari total curah hujan lebih dari „cap‟, maka cap yang digunakan.
53
3.
Hitung jumlah curah hujan dasarian yang sudah disesuaikan untuk setiap tahunnya. Susun data curah hujan ini dari atas ke bawah mulai dari curah hujan tertinggi hingga terendah.
4.
Tentukan nilai exit atau titik terendah dimana pembayaran sepenuhnya diberikan. Dalam indeks ini, Exit dirancang sehingga ada pembayaran penuh untuk tahun terburuk selama periode data. Di sini, Exit akan diatur sama dengan jumlah curah hujan pada tahun terburuk dan dibulatkan ke bilangan bulat terdekat.
5.
Tentukan trigger berdasarkan periode ulang yang dipilih. Misal untuk kasus Cikedung periode ulang yang ditawarkan untuk asuransi adalah 4 tahun sekali. Artinya selama 42 tahun periode datanya (1966-2007) ada sekitar 10 kali pembayaran. Tentukan sepuluh nilai terbawah dari data yang telah diurutkan.
6.
Pembayaran akan dilakukan secara penuh apabila selama periode yang diasuransikan dipenuhi curah hujan lebih rendah dari exit. Apabila curah hujan berada antara exit dan trigger, maka pembayaran akan dilakukan secara parsial. Apabila curah hujan lebih besar dari trigger, maka tidak ada pembayaran. Berdasarkan studi di beberapa negara, indeks asuransi iklim/cuaca telah
dikembangkan pada skala komersial dimana terdapat pemeran lokal serta penelitian dan pengembangan. Hasil penelitian Osgood di Malawi (Osgood 2007a dan 2007b) menunjukkan bahwa penggunaan indeks iklim dalam asuransi adalah mudah dan murah untuk diimplementasikan dan memberikan insentif yang baik. Bank Dunia (2005) diacu dalam IFC (2009) mensarikan beberapa hal penting terkait dengan kontrak indeks curah hujan untuk pengelolaan risiko pertanian, yaitu : Kontrak asuransi Indeks Curah Hujan didasarkan pada indeks curah hujan terstruktur untuk mencerminkan variabilitas produktivitas tanaman, dan fokus pada defisit merugikan atau curah hujan yang berlebihan yang menyebabkan hasil panen yang lebih rendah.
54
Indeks-indeks yang mendasari kontrak asuransi dihitung berdasarkan data curah hujan yang dikumpulkan dari stasiun cuaca yang mewakili karakteristik iklim dari daerah di mana produksi tanaman dilakukan. Pembeli Potensi dari kontrak asuransi harus dibatasi untuk daerah yang dicakup oleh stasiun cuaca referensi. Kontrak yang berbeda harus dirancang untuk daerah yang ditandai dengan kondisi iklim yang berbeda (misalnya, berbeda pola curah hujan); Periode cakupan yang dicover oleh kontrak asuransi indeks curah hujan biasanya meliputi satu siklus tanaman yang lengkap, mulai dari saat menyebar benih hingga panen. Bahaya yang dicover oleh kontrak indeks curah hujan adalah kurangnya atau kelebihan curah hujan. Sumber lainnya yang menyebabkan kerugian tidak tercakup oleh kebijakan indeks. Karena polis asuransi indeks diselesaikan berdasarkan pengukuran curah hujan, maka tidak ada kebutuhan penyesuaian kerugian berbasis lapangan. Pembayaran dapat disediakan secara tepat waktu sesegera mungkin setelah data indeks tersedia. Jumlah pertanggungan dalam kontrak dinegosiasikan antara pihak yang berkepentingan, namun biasanya ditetapkan pada tingkat yang sama dengan selisih antara biaya input dan potensi pendapatan dari tanaman dalam kondisi normal. Untuk aplikasi asuransi indeks iklim, diperlukan beberapa tahapan sebelum klaim bisa dibayarkan. Berdasar hasil penelitian Martirez (2009), tahapan yang dilakukan antara lain : 1). Desain produk, yang meliputi interview petani dan pemangku kepentingan, pengadaan data, desain index, uji coba polis serta dokumentasi pembelajaran, 2). Pemasaran produk, yang mencakup penyebaran dan penjelasan polis, umpan balik konsumen, dan pembelian polis, 3). Periode asuransi, yaitu melakukan monitoring index iklim, 4). Perhitungan dan pembayaran klaim. Setiap tahap tersebut membutuhkan waktu yang beragam, mulai dari 1 hingga 6 bulan (Gambar 18).
55
Gambar 18.
Tahapan dalam aplikasi asuransi indeks iklim (Sumber : Martirez 2009)
Selain itu, Bank Dunia (2005) diacu dalam IFC (2009) memberikan gambaran tentang beberapa keuntungan dan tantangan yang perlu mendapat perhatian dalam pengembangan asuransi indeks iklim. Beberapa keuntungan diantaranya adalah tidak terlalu rumit, rendahnya biaya administrasi dan multifungsi artinya dapat dengan mudah digabungkan dengan jasa keuangan lainnya, serta memfasilitasi pengelolaan risiko. Tantangannya adalah sumberdaya manusia sebagai pengguna untuk menilai apakah indeks asuransi akan memberikan manajemen risiko yang efektif, pasar masih dalam masa pertumbuhan di negara-negara berkembang dan biaya awal (start-up) dapat menjadi signifikan, serta undang-undang (regulasi) yang mendukung.
2.9. Keunggulan dan Kelemahan Model Asuransi Tradisional dan Asuransi Indeks Iklim Menurut Manuamorn (2010), model asuransi tradisional yang paling banyak dijumpai adalah : 1) Named-peril Crop Insurance, asuransi menutup kerusakan pada lokasi terpilih akibat bahaya yang mendadak seperti hujan es/batu (hail), kebakaran, udara beku (frost), 2) Multi-Peril Crop Insurance (MPCI), yaitu asuransi yang mencakup kehilangan hasil yang disebabkan oleh berbagai risiko. Untuk di Indonesia, berdasarkan risiko yang sering terjadi dan kondisi geografi, maka asuransi tradisional yang dijumpai adalah yang jenis kedua, yaitu MPCI.
56
Berdasarkan keunggulannya, asuransi tradisional bisa menyediakan cakupan yang menyeluruh dan teknik adaptasinya yang relatif rendah. Di sisi lain, biaya operasional yang dibutuhkan cukup tinggi (Tabel 3). Menurut Boer (2010b) biaya operasional asuransi tradisional sekitar 60%, sementara kalau asuransi indeks iklim hanya sekitar 20%. Asuransi indeks iklim juga didesain untuk mengurangi moral hazard karena ganti rugi tidak tergantung pada prosedur kehilangan hasil individu di lapangan. Selain itu keuntungan yang cukup terlihat adalah
sifatnya
yang
multifungsi
sehingga
dapat
digabungakan
atau
dikombinasikan dengan jasa keuangan lainnya. Selain keuntungan, beberapa tantangan asuransi indeks iklim juga perlu mendapat perhatian agar dalam pelaksanaan di lapangan, kendala tersebut dapat diminimalkan. Syarat utama yang perlu dipenuhi adalah sumberdaya manusia yang mampu menilai apakah indeks asuransi akan memberikan manajemen risiko yang efektif (Tabel 4).
Tabel 3. Keunggulan dan Tantangan Asuransi Tradisional Keunggulan Menyediakan komprehensif
cakupan
Tantangan yang Kehilangan penyesuaian (lost adjustment)
Tertanggung dapat mempengaruhi pembayaran Diperlukan teknik adaptasi yang ("moral hazard") rendah untuk tanaman yang berbeda Penanggung berakhir dengan risiko buruk karena informasi asimetris ("adverse selection") Biaya monitoring dan administrasi tinggi Membutuhkan biaya operasional yang besar Secara operasional sulit untuk petani kecil Tidak cocok untuk negara-negara berkembang
Sumber : Manuamorn 2010
57
Tabel 4. Keunggulan dan Tantangan Asuransi Indeks Iklim Keunggulan
Tantangan
Tidak ada moral hazard Ganti rugi tidak tergantung pada prosedur kehilangan hasil individu di lapangan.
Basis risk Tanpa korelasi yang cukup antara indeks dan kerugian aktual, asuransi indeks tidak bisa menjadi alat manajemen risiko yang efektif.
Tidak ada seleksi adverse (adverse selection) Ganti rugi didasarkan pada banyaknya informasi yang tersedia, sehingga sedikit informasi asimetri untuk dimanfaatkan
Model aktuaria precise Penanggung harus memahami statistik dan sifat yang mendasari indeks.
Biaya adminitrasi rendah Tidak memerlukan inspeksi ke lapangan. Struktur standard dan transparan Struktur kontrak sama. Availability and negotiability Standard dan transparan sehingga bisa diperdagangkan di pasar sekunder. Fungsi reasuransi Asuransi indeks dapat digunakan untuk mentransfer risiko dengan lebih mudah berdasarkan korelasi kehilangan hasil tanaman. Multifungsi Dapat digabungkan dengan jasa keuangan lainnya, memfasilitasi manajemen risiko
Pendidikan Diperlukan oleh pengguna untuk menilai apakah indeks asuransi akan memberikan manajemen risiko yang efektif Ukuran Pasar Pasar masih dalam masa pertumbuhan di negara berkembang sehingga biaya awal (start-up) menjadi signifikan. Weather Cycles Kesehatan aktuaria premi bisa dirusak oleh siklus cuaca yang mengubah probabilitas dari peristiwa tertanggung, misalnya El Niño. Iklim Mikro Curah hujan atau area-hasil indeks berbasis kontrak sulit untuk kejadian lokal yang sering. Prakiraan (Forecasts) Informasi asimetri tentang kemungkinan dari suatu peristiwa dalam waktu dekat akan membuat potensi inter-temporal adverse selection.
Sumber : Bank Dunia (2005) diacu dalam IFC (2009)
2.10. Regulasi Asuransi Indonesia Biro Perasuransian Badan Pengawas Pasar Modal dan Lembaga Keuangan (BAPEPAM-LK) Departemen Keuangan menyebutkan beberapa undang-undang yang mendukung asuransi pertanian di Indonesia, yaitu : 1) Undang-Undang No. 2 Tahun 1992 tentang Usaha Perasuransian, 2) Peraturan Pemerintah, 3) Peraturan/Keputusan Menteri Keuangan serta 4) Keputusan Direktur Jenderal
58
Lembaga Keuangan dan Peraturan/Keputusan Ketua Bapepam-LK. Secara rinci regulasi asuransi Indonesia (BAPEPAM-LK 2010) adalah sebagai berikut : 1. Undang-Undang
UU No. 2 Tahun 1992 tentang Usaha Perasuransian
2. Peraturan Pemerintah
PP No. 73 Tahun 1992 tentang Penyelenggaraan Usaha Perasuransian
PP No. 63 Tahun 1999 tentang Perubahan atas PP No. 73 tahun 1992
PP No. 39 Tahun 2008 tentang Perubahan Kedua PP No. 73 tahun 1992
PP No. 81 Tahun 2008 tentang Perubahan Ketiga PP No. 73 tahun 1992
3. Peraturan/Keputusan Menteri Keuangan
Peraturan Menteri Keuangan (PMK) No. 78/PMK.05/2007 tanggal 13 Juli 2007 tentang Penilaian Kemampuan dan Kepatutan Bagi Direksi dan Komisaris Perusahaan Perasuransian
Keputusan Menteri Keuangan (KMK) No. 422/KMK.06/2003 tanggal 30 September 2003 tentang Penyelenggaraan Usaha Perusahaan Asuransi dan Perusahaan Reasuransi
KMK No. 423/KMK.06/2003 tanggal 30 September 2003 tentang Pemeriksaan Perusahaan Perasuransian
KMK No. 424/KMK.06/2003 tanggal 30 September 2003 tentang Kesehatan Keuangan Perusahaan Asuransi dan Perusahaan Reasuransi PMK No. 135/PMK.05/2005 tanggal 27 Desember 2005 tentang Perubahan atas KMK No.424/KMK.06/2003 PMK No. 158/PMK.010/2008 tanggal 28 Oktober 2008 tentang Perubahan Kedua atas KMK No.424/KMK.06/2003 KMK No. 425/KMK.06/2003 tanggal 30 September 2003 tentang Perizinan dan Penyelenggaraan Kegiatan
Usaha Perusahaan
Asuransi dan Perusahaan Reasuransi 4. Peraturan/Keputusan Menteri Keuangan KMK No. 426/KMK.06/2003 tanggal 30 September 2003 tentang Perizinan Usaha Perusahaan Asuransi dan Perusahaan Reasuransi
59
PMK No. 74/PMK.012/2006 tanggal 31 Agustus 2006 tentang Penerapan Prinsip Mengenal Nasabah Bagi Lembaga Keuangan Non Bank PMK No. 74/PMK.010/2007 tanggal 29 Juni 2007 tentang Penyelenggaraan Pertanggungan Asuransi pada Lini Usaha Asuransi Kendaraan Bermotor PMK No. 124/PMK.010/2008 tanggal 3 September 2008 tentang Penyelenggaraan Lini Usaha Asuransi Kredit dan Suretyship Keputusan
Direktur
Jenderal
Lembaga
Keuangan
dan
Peraturan/Keputusan Ketua Bapepam-LK Keputusan Ketua Badan Pengawas Pasar Modal dan Lembaga Keuangan (Bapepam-LK) No. Kep-104/BL/2006 tanggal 31 Oktober 2006 tentang Produk Unit Link. Keputusan Direktur Jenderal Lembaga Keuangan No. Kep5443/LK/2004 tanggal 25 Oktober 2004 tentang Dukungan Reasuransi Otomatis Dalam Negeri dan Retensi Sendiri. Keputusan Ketua Bapepam-LK No. Kep-404/BL/2008 tanggal 31 Oktober 2006 tentang Penilaian Surat Utang Negara atau Surat Berharga Lain yang Diterbitkan oleh Negara dan Obligasi Peraturan Ketua Bapepam-LK No. Per-02/BL/2008 tanggal 31 Januari 2008 tentang Pedoman Perhitungan Batas Tingkat Solvabilitas Minimum Bagi Perusahaan Asuransi dan Perusahaan Reasuransi Peraturan Ketua Bapepam-LK No. Per-06/BL/2008 tanggal 19 September 2008 tentang Referensi Unsur Premi Murni serta Unsur Biaya Administrasi dan Biaya Umum Lainnya pada Lini Usaha Asuransi Kendaraan Bermotor Tahun 2008-2009
60
Beberapa undang-undang juga dijadikan dasar dalam pembentukan Pokja Asuransi Komoditas Pertanian melalui Keputusan Menteri Pertanian Nomor 1136/Kpts/OT.160/4/2012, yaitu : 1. Undang-undang Nomor 12 tahun 1992 tentang Sistem Budidaya Tanaman (Lembaran Negara Tahun 1992 Nomor 46, Tambahan Lembaran Negara Nomor 3478). 2. Undang-undang Nomor 17 Tahun 2003 tentang Keuangan Negara (Lembaran Negara Tahun 2003 Nomor 47, Tambahan Lembaran Negara Nomor 4286). 3. Undang-undang Nomor 1 Tahun 2004 tentang Perbendaharaan Negara (Lembaran Negara Tahun 2004 Nomor 5, Tambahan Lembaran Negara Nomor 4355). 4. Undang-undang Nomor 18 Tahun 2004 tentang Perkebunan (Lembaran Negara Tahun 2004 Nomor 85, Tambahan Lembaran Negara Nomor 4411). 5. Undang-undang Nomor 25 Tahun 2004 tentang Sistim Perencanaan Pembangunan Nasional (Lembaran Negara Tahun 2004 Nomor 104, Tambahan Lembaran Negara Nomor 4421). Selain itu didukung dengan Keputusan Presiden, Peraturan Presiden dan Peraturan Menteri Pertanian.