6
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Perubahan Iklim Global Perubahan iklim menjadi fenomena yang hangat dibicarakan pada beberapa tahun belakangan. Secara umum iklim didefinisikan sebagai kondisi rata-rata suhu udara, curah hujan, tekanan udara, arah angin, kelembaban udara serta parameter iklim lainnya dalam jangka waktu yang panjang antara 30 sampai 100 tahun (intercentenial). Jadi berbeda dengan cuaca yang merupakan kondisi sesaat, iklim adalah rata-rata kondisi cuaca dalam jangka waktu yang sangat panjang. Perubahan iklim adalah terjadinya perubahan kondisi rata-rata parameter iklim. Perubahan ini tidak terjadi dalam waktu singkat (mendadak), tetapi secara perlahan dalam kurun waktu yang cukup panjang antara 50 sampai 100 tahun. Perubahan iklim merupakan fenomena global yang dipicu oleh kegiatan manusia terutama yang berkaitan dengan penggunaan bahan bakar fosil dan kegiatan alih guna lahan. Kegiatan tersebut menghasilkan gas-gas yang mempunyai efek rumah kaca yang terakumulasi di atmosfer. Gas-gas yang mampu menghasilkan efek rumah kaca tersebut (disebut gas rumah kaca/GRK) diantaranya karbondioksida (CO2 ),
nitroksida
(N 2 O),
methana
(CH4 ),
sulfurheksafluorida
(SF6 ),
perflurokarbon (PFC) dan hidrofluorokarbon (HFC). GRK dihasilkan dari berbagai kegiatan manusia. Di Indonesia, hal ini dapat dibedakan atas beberapa hal, yaitu pemanfaatan energi yang berlebihan, kerusakan hutan, serta pertanian dan peternakan (Panjiwibowo et al., 2003). Efek rumah kaca (ERK) merupakan suatu fenomena dimana gelombang pendek radiasi matahari menembus atmosfer dan berubah menjadi gelombang panjang mencapai permukaan bumi. Setelah mencapai permukaan bumi, sebagian gelombang tersebut dipantulkan kembali ke atmosfer. Namun tidak seluruh gelombang panjang yang dipantulkan itu dilepaskan ke angkasa luar. Sebagian gelombang panjang dipantulkan kembali oleh lapisan gas rumah kaca di atmosfer ke permukaan bumi. efek rumah kaca telah terjadi sejak adanya atmosfer bumi dan efek inilah yang telah memungkinkan suhu bumi menjadi lebih hangat dan
7
layak dihuni. Para ahli mengatakan tanpa adanya atmosfer dan efek rumah kaca, suhu bumi akan 33 o C lebih dingin dibandingkan saat ini (Panjiwibowo et al., 2003). Pemanasan global tidak terjadi secara seketika, tetapi terjadi secara berangsur-angsur. Namun demikian, dampaknya sudah mulai kita rasakan pada saat ini. Ketika revolusi industri dimulai pada sekitar tahun 1850, konsentrasi salah satu GRK (CO2 ) di atmosfer sekitar 290 ppmv (part per million by volume), saat ini (150 tahun kemudian) telah mencapai sekitar 350 ppmv. Jika pola konsumsi, gaya hidup dan pertumbuhan penduduk tidak berubah, 100 tahun yang akan datang konsentrasi CO2 diperkirakan akan meningkat menjadi 580 ppmv atau dua kali lipat jaman pra industri. Konsekuensinya adalah suhu rata-rata bumi akan meningkat
hingga 4.5
o
C dengan dampak terhadap berbagai sektor
kehidupan manusia yang luar biasa besarnya (Murdiyarso, 2003). Dampak pemanasan global, khususnya baiknya permukaan air laut dirasakan secara meluas oleh negara-negara kepulauan seperti Indone sia. Peningkatan suhu air laut, dikombinasikan dengan mencairnya es di kutub telah mengakibatkan naiknya permukaan air laut. Selama abad 20, permukaan air laut telah mengalami peningkatan sebesar 0.17 meter dan akan meningkat menjadi sekitar 0.18-0.59 meter (UNFCCC, 2007). Dampak lain sebagai akibat dari pemanasan global adalah peningkatan baik dari segi jenis, frekuensi, intensitas fenomena alam ekstrim seperti siklon tropis, banjir, kekeringan dan timbulnya hujan yang sangat lebat. 2.2 Proyokol Kyoto dan Mekanisme Perdagangan Karbon Dampak perubahan iklim secara perlahan mulai mempengaruhi kehidupan di berbagai belahan dunia. Berbagai upaya dilakukan untuk menstabilkan konsentrasi GRK di atmosfer. Kesepakatan berbagai negara maju untuk mengurangi emisi kemudian diwujudkan dengan Protokol Kyoto. Protokol ini merupakan dasar bagi negara- negara industri untuk mengurangi emisi gas rumah kaca gabungan mereka, paling sedikit 5 % dari tingkat emisi tahun 1990 menjelang periode 2008 sampai 2012. Di dalam protokol tersebut juga diatur mengenai mekanisme kerjasama antar negara maju dan negara berkembang dalam
8
pembangunan berkelanjutan yaitu mekanisme pembangunan bersih (CDM). CDM dimaksudkan untuk memberi kesempatan kepada negara berkembang yang tidak wajib mereduksi emisi agar dapat berperan dalam pengurangan GRK (Murdiyarso, 2003). Peran CDM bukan hanya dalam mitigasi GRK. Seperti yang tertera dalam Artikel 12 dari Protokol Kyoto, tujuan CDM adalah: 1. Membantu negara berkembang yang tidak termasuk dalam negara Annex I untuk melaksanakan pembangunan yang berkelanjutan serta menyumbang pencapaian tujuan utama Konvensi Perubahan Iklim, yaitu menstabilkan konsentrasi gas rumah kaca dunia pada tingkat yang tidak akan mengganggu sistem iklim global. 2. Membantu negara- negara Annex I atau negara maju dalam memenuhi target penurunan jumlah emisi negaranya. Mekanisme CDM memungkinkan negara Annex I untuk menurunkan emisi GRK secara lebih murah dibandingkan dengan mitigasi di dalam negerinya sendiri (domestic action). Oleh karenanya, CDM beserta dengan dua mekanisme lainnya dikenal sebagai mekanisme fleksibilitas (flexibility mechanisms). Dalam pelaksanaan CDM, komoditi yang diperjualbelikan adalah reduksi emisi GRK tersertifikasi yang biasa dikenal sebagai CER (Certified Emission Reduction). CER ini diperhitungkan sebagai upaya negara Annex I dalam memitigasi emisi GRK dan nilai CER ini setara dengan nilai penurunan emisi yang dilakukan secara domestik dan karenanya dapat diperhitungkan dalam pemenuhan target penurunan emisi GRK negara Annex I seperti yang disepakati dalam Annex B Protokol Kyoto. Dalam sektor kehutanan, kegiatan yang diizinkan untuk diajukan dalam proyek CDM adalah kegiatan aforestasi dan reforestasi, sementara pencegahan terhadap deforestasi tidak dapat diajukan dalam skema CDM. CDM Kehutanan bukan dimaksudkan untuk menurunkan emisi pada sumbernya tetapi untuk menyerap GRK dari atmosfer. Hingga saat ini, CDM Kehutanan dibatasi hanya digunakan dalam Periode Komitmen I (2008 sampai 2012).
9
Dimaksudkan dengan aforetasi adalah kegiatan penanaman hutan kembali pada lahan yang sudah tidak berhutan sejak 50 tahun yang lalu. Sedangkan reforestasi adalah aktivitas langsung yang dilakukan oleh manusia dalam mengubah area bukan hutan menjadi area hutan melalui penanaman, pembibitan, dan/atau aktivitas lainnya yang mempromosikan sumber-sumber pembibitan alam, di area yang pada awalnya merupakan wilayah hutan namun mengalami perubahan menjadi wilayah bukan hutan. Dalam periode komitmen pertama, aktivitas reforestasi dibatasi pada area tidak berhutan pada 31 Desember 1989. 2.3 Beberapa Contoh Proyek Pengikatan Karbon dan Studi Penyerapan Karbon oleh Hutan Tanaman Di Indonesia telah dilaksanakan proyek “Peragaan Pengelolaan Hutan Tanaman Pengikat Karbon di Indonesia” sebagai hasil kerjasama antara Balitbang Kehutanan dan JICA. Proyek ini akan berlangsung selama 5 tahun dan dilaksanakan di BKPH Leuwiliang dan BKPH Parung Panjang. Beberapa studi tentang penyerapan karbon telah dilakukan di Indonesia. Pengelolaan hutan tanaman jenis Pinus merkusii di KPH Bogor, Perum Perhutani Unit III Jawa Barat mampu menyerap karbon sebesar 5.49 ton/ha ekuivalen dengan
karbondioksida
20.10
ton/ha
(Handayani,
2003).
Ojo
(2003)
mengemukakan bahwa hutan jati pada KU VIII (umur 70-80 tahun) mempunyai potensi simpanan karbon sebesar 64.39 ton/ha. Sementara itu, tegakan Acacia mangium di KPH Parung Panjang mempunyai potensi menyerap karbon sebesar 9.5 ton/ha, 20.18 ton/ha, 30.74 ton/ha, dan 53.45 ton/ha pada umur masing- masing 3, 5, 8, dan 10 tahun (Djummakking, 2003). Hendri (2001) menduga biomas pohon jati di KPH Cepu dengan cara destruktif. Penebangan dilakukan terhadap 24 pohon contoh dan menghasilkan persamaan alometrik biomas pohon di atas tanah adalah: Y = 0.20091 D 2.30 , dengan nilai R2 = 0.954
Studi lain tentang penyerapan karbon yang pernah dilakukan adalah di BKPH Maribaya dan BKPH Tenjo, KPH Bogor. Potensi tanaman Acacia mangium dalam menyerap karbon di kedua BKPH tersebut adalah 18.04 ton/ha, 19.16 ton/ha, 14.67 ton/ha, dan 19.54 ton/ha per tahun masing- masing pada umur
10
3, 5, 8, dan 10 tahun (Heriansyah, 2005). Hasil- hasil studi tersebut menunjukkan bahwa Potensi hutan tanaman dalam menyerap CO2 dari atmosfer bervariasi menurut jenis, tingkat umur, dan kerapatan tanaman. Pada jenis pertanaman teh, Hariyadi (2005) mengemukakan bahwa semakin tua tanaman teh, kandungan karbon semakin meningkat, dengan peningkatan cadangan karbon tertinggi terjadi antara umur 10 sampai 15 tahun sebesar 0.13 ton C/ha/tahun atau 17.1 %/tahun. Beberapa kajian tentang penyerapan karbon di hutan alam juga telah dilakukan. Murdiyarso dan Wasrin (1995) melaporkan bahwa hutan di Indonesia diperkirakan mempunyai kandungan karbon berkisar antara 161-300 Mg C/ha dalam biomas atas tanah. Penelitian di Thailand menyatakan bahwa pada berbagai macam tipe hutan mempunyai kandungan karbon dalam biomas atas tanah yang bervariasi dari 72 sampai 182 Mg C/ha (Boonpragob, 1998). Kandungan karbon hutan di Malaysia berkisar antara 100-160 Mg C/ha yang disimpan di vegetasi dan 90-780 Mg C/ha yang disimpan di dalam tanah (Bakar, 2000). 2.4 Siklus Karbon Siklus karbon di dalam biosfer meliputi dua bagian siklus penting, di darat dan di laut. Keduanya dihubungkan oleh atmosfer yang berfungsi sebagai fase antara. Hutan mempunyai peranan penting sebagai salah satu reservoir karbon di darat. Hutan tropis dengan luasan sekitar 17.6 × 106 km2 mengandung karbon sebesar 428 Pg (1Pg = petagram = 1 milyar ton) yang disimpan dalam vegetasi dan tanah (Watson et. al., 2000). Brown et. al. (1996) melaporkan bahwa di kawasan tropis Asia, dapat diperkirakan bahwa penanaman hutan, agroforestry, regenerasi dan kegiatan-kegiatan menghindari deforestasi mempunyai potensi menyerap karbon yang bervariasi dari 7.50, 2.03, 3.8-7.7 dan 3.3-5.8 Pg antara tahun 1995 sampai 2050. Tempat penyimpanan karbon adalah biomas (meliputi batang, daun, ranting, bunga, buah dan akar), bahan organik mati (necromass) dan tanah. Atmosfer berperan sebagai media perantara dalam siklus karbon. Aliran C biotik antara atmosfer dan hutan adalah fiksasi netto C melalui proses fotosintesis dan respirasi. Fotosintesis disebut juga asimilasi zat karbon, dimana zat-zat CO2 di udara dan di air diubah menjadi molekul C6 H12 O6 dengan bantuan cahaya
11
matahari dan klorofil. Fotosintesis didefinisikan sebaga i proses pembentukan gula dari dua bahan baku sederhana yaitu karbondioksida dan air dengan bantuan klorofil dan cahaya matahari sebagai sumber energi (Gardner et al., 1991 dalam Hariyadi, 2005). Secara umum produksi berbagai macam gula pada proses fotosintesis diwakili oleh persamaan sebagai berikut: 6CO2 +
12 H2O
C6 H12O6 + 6H2O + O2 Cahaya dengan pigmen
Proses fotosintesis di atas hanya menggunakan sebagian kecil radiasi matahari yang diterima oleh tumbuhan tingkat tinggi, karena sebagian besar radiasi tersebut segera ditransformasi ke dalam bentuk panas (Packham dan Harding, 1982). Karbohidrat stabil yang pertama diproduksi dalam proses fotosintesis adalah glukosa yang biasanya dikonversi ke dalam bentuk pati sebagai produk yang disimpan sementara. Siklus karbon di daratan dapat dikontrol oleh proses fotosintesis, respirasi dan dekomposisi. Siklus karbon tersebut berbeda-beda tergantung tipe ekosistem serta faktor lingkungan seperti suhu, curah hujan, radiasi matahari dan kecepatan angin (Forseth dan Norman, 1993). Siklus
karbon
mempunyai
empat
reservoir
karbon
utama
yang
dihubungkan oleh jalur pertukaran. Reservoir-reservoir tersebut adalah atmosfer, biosfer terestrial (biasanya termasuk pula freshwater system dan material nonhayati organik seperti karbon tanah (soil carbon)), lautan (termasuk karbon anorganik terlarut dan biota laut hayati dan non-hayati), dan sedimen (termasuk bahan bakar fosil). Pertukaran karbon antar reservoir, terjadi karena proses-proses kimia, fisika, geologi, dan biologi yang bermaca- macam. Secara umum, siklus karbon disampaikan dalam Gambar 3. Pertukaran karbon secara alami antara atmosfer, lautan dan ekosistem daratan telah berubah karena adanya pengaruh dari aktivitas manusia dan perubahan dalam penggunaan lahan (Hairiah et. al., 2001). Sejak masa revolusi industri sampai pada tahun 1998, peningkatan kadar CO2 telah mencapai 28 % selama sekitar 150 tahun.
12
Gambar 3. Siklus Karbon Keterangan gambar: Angka dengan warna hitam menyatakan berapa banyak karbon tersimpan dalam berbagai reservoir, dalam milyar ton ("GtC" berarti Giga Ton Karbon). Angka dengan warna biru menyatakan berapa banyak karbon berpindah antar reservoir setiap tahun. Sedimen, sebagaimana yang diberikan dalam diagram, tidak termasuk 70 juta GtC batuan karbonat dan kerogen.
Hairiah et al. (2001) mengemukakan bahwa siklus karbon dalam sistem agroforestry, kebanyakan CO2 di udara dipergunakan oleh tanaman selama fotosintesis dan memasuki ekosistem melalui serasah tanaman yang jatuh dan akumulasi C dalam biomas (tajuk) tanaman. Separuh dari jumlah C yang diserap dari udara bebas tersebut diangkut ke bagian akar berupa karbohidrat dan masuk ke dalam tanah melaui akar-akar yang mati. Siklus C dalam sistem agroforestry disajikan selengkapnya dalam Gambar 4.
13
Gambar 4. Siklus Karbon di Dalam Ekosistem Agroforestry (Hairiah et. al., 2002) 2.5 Karbon Tanah Tanah adalah pool karbon utama dari keseluruhan bioma. Secara umum tanah menyimpan lebih banyak karbon dibandingkan vegetasi, tetapi khusus di daerak tropis hanya berlaku pada daerah rawa gambut dan lahan tidak berhutan (Hairiah et. al., 2001). Post et. al. (1990) mengemukakan bahwa pada skala global, tanah menyimpan sekitar 1400 x 1015 g karbon dan merupakan dua kali lipat biomas hidup ataupun karbon atmosfer. Eswaran et. al. (1993) melaporkan bahwa tanah merupakan pool karbon yang penting didunia yang meliputi 1500– 2000 Pg dan 800–1000 Pg sebagai karbon inorganik tanah dalam bentuk karbonat. Ada 3 pool utama pemasok C ke dalam tanah adalah: (a) tajuk tanaman pohon dan tanaman semusim yang masuk sebagai serasah dan sisa panen; (b) akar tanaman, melalui akar-akar yang mati, ujung-ujung akar, eksudasi akar dan respirasi akar; (c) biota (Hairiah et. al., 2002). Serasah dan akar-akar mati yang masuk ke dalam tanah akan segera dirombak oleh biota heterotrop, dan selanjutnya memasuki pool bahan organik tanah. Sedangkan kehilangan C dari dalam tanah dapat melalui respirasi tanah, respirasi tanaman, terangkut panen, dipergunakan oleh biota dan erosi. Pada tanah di iklim tropik, umumnya memiliki
14
bahan organik yang lebih banyak daripada tanah di iklim temperate, yaitu ± 32 % dari total masa organik C tersimpan dalam tanah tropik (Bouwman, 1990). Pembukaan hutan menjadi areal pertanian akan meningkatkan laju dekomposisi bahan organik tanah. Perubahan ekosistem hutan menjadi areal pertanian juga mengakibatkan penurunan produksi C-organik dan jumlah C yang masuk kedalam tanah sehingga terjadi penurunan karbon tanah secara drastis pada tahun-tahun awal konversi. Lahan padang rumput dan hutan mengalami kehilangan karbon organik tanah 20–50 % kandungan awalnya setelah diolah selama 40 – 50 tahun. Kehilangan karbon organik tanah masa lalu sering berkaitan dengan tingkat produksi yang rendah, pengolahan tanah yang intensif, penggunakan pupuk dan amelioran organik yang kurang memadai dan kurangnya perlindungan tanah dari erosi dan proses degradasi lahan yang lain (Cole et. al., 1996). Kandungan karbon tanah secara umum akan menurun sejalan dengan kedalaman tanah. Kecenderungan ini disebabkan oleh masukan bahan organik yang terutama disimpan di permukaan tanah atau topsoil. Hendri (2001) melaporkan bahwa kandungan karbon tanah di KPH Cepu pada kedalaman 60 cm lebih rendah bila dibandingkan dengan kandungan karbon pada kedalaman 20 cm. Van Noordwijk et. al. (1997) melaporkan kecenderungan yang sama yakni kandungan karbon tanah bagian atas (topsoil) lebih tinggi dibandingkan bagian bawah (subsoil) di daerah dataran rendah Sumatera. Adapun variabel- variabel yang berpengaruh pada kandungan karbon tanah antara lain: kedalaman tanah, kerapatan massa tanah (bulk density) dan konsentrasi karbon organik (Eggleston et. al., 2006) 2.6 Biomas Biomas atau standing crop adalah berat bahan organik per unit area yang ada dalam ekosistem pada paruh waktu tertentu. Biomas umumnya dinyatakan dalam satuan berat kering (dry weight) dan kadang dinyatakan dalam ash free dry weight (Chapman, 1976). Sementara Brown (1997) menyatakan bahwa biomas adalah jumlah total materi organik pohon yang hidup di atas tanah yang diekspresikan sebagai berat kering tanaman per unit areal.
15
Biomas dapat dibedakan ke dalam dua kategori, yaitu biomas di atas tanah (above ground biomass) dan biomas bawah tanah (below ground biomass) (Clintron dan Novelli, 1984 dalam Kusmana et. al., 1992). Biomas bawah tanah dapat dihitung dengan berdasarkan biomas atas tanah dikali dengan rasio akartajuk. MacDicken (1997) menyatakan bahwa estimasi kadar biomas di bawah tanah suatu pohon tidak kurang dari 15 % dari biomas di atas tanah. Van Noordwijk et. al. (2002) melaporkan bahwa nilai rasio tajuk-akar pada pertanaman kopi bernilai 2:1, sementara pada hutan tropis bernilai 4:1. Sementara itu, nilai rasio akar-tajuk untuk hutan sekunder dalam ekosistem tropis adalah sebesar 0.1 (Hamburg, 2000). Biomas bertambah seiring dengan pertumbuhan tanaman. Dalam proses pertumbuhannya, tanaman melakukan proses fotosintesis. Dalam proses fotosintesis, tumbuhan merubah CO2 dan air menjadi karbohidrat sederhana. Selanjutnya melalui proses metabolisme, senyawa karbohidrat tersebut kemudian diubah menjadi lipid, asam nukleat, protein dan molekul organik lainnya. Molekul organik tersebut selanjutnya diubah menjadi daun, batang, akar, buah, jaringan dan sistem organ lainnya. White dan Plashett (1981) menyebutkan bahwa biomas bagian-bagian pohon didistribusikan sebesar 60–65% pada bagian batang, 5 % pada bagian tajuk, 10–15 % pada bagian daun dan cabang, 5–10% pada bagian tunggak,dan 5 % pada bagian akar. Brown (1997) mengemukakan bahwa hampir 50 % dari bioma s vegetasi tersusun atas unsur karbon, dimana unsur tersebut dapat dilepas ke atmosfer dalam bentuk CO2 apabila hutan dibakar atau ditebang habis. Menurut Hygreen dan Bowyer (1993), satu potong kayu akan memiliki 49 % C, 6 % H, 44 % O dan 0.1 % abu. Laju peningkatan biomas pohon akan dipengaruhi oleh faktor iklim seperti curah hujan dan suhu. Di samping itu, umur tegakan, sejarah perkembangan vegetasi, komposisi dan struktur tegakan turut mempengaruhi biomas tegakan hutan. Hasil kajian berbagai penelitian telah menunjukkan hubungan antara biomas dengan curah hujan menunjukkan penurunan biomas sejalan dengan penurunan curah hujan (Soerianegara, 1965; Nascimento dan Laurance, 2002; Fearside et. al., 1999). Hujan selain berfungsi sebagai sumber air juga berfungsi
16
sebagai sumber hara. Whitmore (1986) menyatakan bahwa banyak nitrogen yang terfiksasi selama terjadi badai dan turun ke bumi bersama dengan hujan. Hara lain yang banyak masuk ke dalam ekosistem melalui curah hujan adalah K, Ca, dan Mg (Kenworty dalam Whitmore, 1986). Namun demikian, curah hujan yang tinggi akan menyebabkan tanah-tanah yang tidak tertutupi oleh vegetasi rentan sekali terhadap pencucian yang akan mengurangi kesuburan tanah dengan cepat (Resosoedarmo et. al., 1986). Hal ini akan mengakibatkan produktivitas vegetasi menjadi rendah, sehingga produksi biomas juga akan menurun. Pendugaan biomas bisa didekati dengan dua cara (Brown, 1997). Pendekatan pertama dilakukan dengan berdasarkan pendugaan volume kulit sampai batang bebas cabang, kemudian diubah menjadi kerapatan biomas (ton/ha) dengan mengalikan dengan faktor ekspansi biomas. Pendekatan kedua dilakukan dengan menggunakan persamaan regresi biomas berdasarkan diameter batang pohon. Persamaan yang dibangun berdasarkan diameter dikenal dengan persamaan alometrik dengan rumus dasar adalah: Y = a Db dengan Y adalah biomas pohon, D adalah diameter setinggi dada, a dan b adalah konstanta. Dalam pendugaan biomas, Chapman (1976) mengelompokkan metode pendugaan biomas di atas tanah yaitu metode destruktif (pemanenan) dan metode non destruktif (tidak langsung). Metode pemanenan terdiri dari 3 metode. Metode pertama yaitu metode pemanenan individu tanaman, diterapkan pada kondisi tingkat kerapatan tumbuhan cukup rendah dan jenis sedikit. Metode kedua adalah metode pemanenan kuadrat, dilakukan dengan memanen semua individu pohon dalam unit area contoh dan menimbangnya. Metode ketiga adalah metode memanen individu pohon yang mempunyai luas bidang dasar rata-rata. Metode ini diterapkan pada individu yang me miliki ukuran seragam. Metode tidak langsung terdiri dari metode hubungan alometrik dan metode crop meter. 2.7 Hutan Rakyat Undang-undang Kehutanan No. 41 Tahun 1999 menyebutkan bahwa hutan adalah suatu kesatuan ekosistem berupa hamparan lahan berisi sumber daya alam
17
hayati yang didominasi oleh pepohonan dalam persekutuan alam lingkungannya, yang satu dengan yang lainnya tidak dapat dipisahkan. Berdasarkan statusnya, maka terdapat 2 kelompok besar, yaitu hutan negara dan hutan hak. Hutan negara adalah hutan yang berada pada tanah yang tidak dibebani hak atas tanah, sedangkan hutan hak adalah hutan yang dibebani hak atas tanah yang biasanya disebut hutan rakyat. Menurut Peraturan Pemerintah No. 62 Tahun 1998, hutan rakyat adalah hutan yang tumbuh di atas tanah yang dibebani hak milik. Hutan rakyat menurut Kepmenhut No. 49/Kpts-II/1997 adalah hutan yang dimiliki oleh rakyat dengan ketentuan luas minimun 0.25 ha dan penutupan tajuk tanaman kayu-kayuan lebih dari 50 % dan atau pada tanaman tahun pertama sebanyak minimal 500 tanaman. Hardjosoediro (1980) dalam Awang et. al. (2002) mengemukakan bahwa hutan rakyat atau hutan milik adalah semua hutan yang ada di Indonesia yang tidak berada di atas tanah yang dikuasai pemerintah, dimiliki oleh masyarakat, proses terjadinya dapat dibuat oleh manusia, dapat juga secara alami dan dapat juga karena upaya rehabilitasi lahan kritis. Pengertian yang lebih luas tentang hutan rakyat dikemukakan oleh Awang et. al. (2002) yang menyebutkan bahwa hutan rakyat adalah hutan yang pengelolaannya dilaksanakan oleh organisasi masyarakat baik pada lahan individu, komunal (bersama), lahan adat maupun lahan yang dikuasai oleh negara. Hutan rakyat tersusun dari satuan ekosistem kehidupan mulai dari tanaman keras, non kayu, satwa, buah-buahan, satuan usaha tani semusim, peternakan, barang dan jasa serta rekreasi alam. Dengan demikian terdapat 3 kelompok komoditas dalam hutan rakyat, yaitu: a. hutan rakyat yang berbasis komoditas kayu b. hutan rakyat yang berbasis kepada komoditas non kayu c. hutan rakya t yang berbasis jasa rekreasi alam. Berdasarkan pengelompokan tersebut, hutan rakyat di Gunungkidul termasuk dalam kelompok hutan rakyat berbasis komoditas kayu. Pada prakteknya di lapangan, hutan rakyat bercirikan luas lahan yang kecil, kepemilikan individu dan dikelola secara tradisional.
KEADAAN UMUM DAERAH PENELITIAN
Kabupaten Gunungkidul terletak pada koordinat 110o 21' – 110o 50' BT dan 07o 46' -
07o 90' LS. Ketinggian tempat bervariasi antara 0-700 meter dari
permukaan laut (m dpl). Lokasi penelitian terletak di Desa Dengok, Kecamatan Playen. 3.1 Kondisi Geofisik Desa Dengok terletak pada ketinggian 200–300 m dpl, dengan topografi datar - bergelombang. Suhu berkisar antara 24–35 o C, dengan musim hujan terjadi pada Bulan Oktober sampai Maret; dan musim kemarau Bulan April sampai September. Menurut klasifikasi iklim Schmidt dan Ferguson, Kecamatan Playen termasuk dalam kategori iklim C dengan nilai Q 33.3–60 %. Curah hujan berkisar berkisar 2000–2100 mm/tahun. Kecamatan Playen terdiri atas dataran karst, kerucut karst, eskarpmen, perbukitan lipatan paralel, bukit sisa erosi, dataran banjir, polje atau dolin, dan jalur aliran sungai. Jenis tanah di lokasi penelitian termasuk dalam ordo inceptisols. Tanah ordo ini adalah tanah-tanah pada tahap perkembangan awal dan dicirikan adanya perubahan warna, perkembangan struktur dan biasanya terdapat peningkatan liat atau bahan organik pada bagian bawah namun belum memenuhi syarat sebagai horizon argilik. Kelompok tanah ini terdiri dari beberapa famili dan mempunyai sebaran yang cukup luas. Tanah ini tersebar pada landform yang bervariasi diantaranya pada landform alluvial, struktural dan tektonik, serta marine, dengan bahan induk yang bervariasi. 3.2 Luas dan Kependudukan Desa Dengok memiliki luas 401.112 ha. Desa ini terdiri dari 6 Dusun, yaitu: Dengok I, Dengok II, Dengok III, Dengok IV, Dengok V, dan Dengok VI. Jumlah penduduk Desa Dengok sebanyak 2672 jiwa pada tahun 2003 yang terdiri 1315 laki- laki dan 1357 perempuan. Dengan jumlah keluarga sebanyak 587 KK dan rata-rata pemilikan lahan per KK adalah 0.66 Ha.
19
3.3 Potensi Hutan Rakyat Perkembangan hutan rakyat di Desa Dengok dimulai sejak tahun 1970-an. Pada permulaannya ada lokasi yang dinamai ‘Regol Baya’, yaitu tanah pemerintah/kas desa yang banyak ditumbuhi pohon Jati berumur 300-an tahun. Masyarakat sekitar mengambil dan memanfaatkan semai/anakan yang ada, kemudian menanamnya di lahan/tegalan mereka. Perkembangan hutan rakyat di Desa Dengok dipengaruhi oleh kondisi tanah yang semakin kritis, ketersediaan air yang mulai berkurang serta kondisi hutan negara yang semakin rusak. Pada tahun 90-an, kesadaran masyarakat untuk membangun hutan rakyat sudah semakin tinggi. Bagi mereka menanam tanaman keras di atas lahan mereka akan sangat menguntungkan, hal ini karena ada pepatah di masyarakat “ora ngingu gedhe dhewe” (tidak dipelihara bisa besar/tumbuh sendiri), sehingga tanpa pemeliharaan yang serius pun mereka akan memungut hasilnya kelak. Hutan rakyat di Desa Dengok meliputi kawasan dengan kategori hutan, tegalan, kebun dan pekarangan. Luas kawasan dengan kategori hutan secara keseluruhan adalah 24.08 ha. Hutan rakyat di Desa Dengok bercirikan luas lahan yang kecil, kepemilikan individu dan dikelola secara tradisional. Berdasarkan beberapa kajian yang telah dilakukan, hutan rakyat di Gunungkidul tergo long dalam tiga pola tanam, yaitu: §
pohon-pohon hanya ditanam di sepanjang batas lahan milik, sedangkan sebagian besar lahan ditanami dengan tanaman semusim, khususnya penghasil pangan
§
pohon-pohon ditanam di sepanjang batas lahan milik dan teras untuk menge ndalikan erosi, di antara teras ditanami dengan tanaman penghasil pangan atau sayur- mayur
§
seluruh bidang lahan ditanami dengan pohon-pohonan saja.
3.4 Kelembagaan Hutan Rakyat Pada awalnya kelompok tani hutan yang ada adalah kelompok penggarap lahan di hutan negara binaan dari Dinas Kehutanan Propinsi Daerah Istimewa
20
Yogyakarta. Mengingat dinamika kelompok yang ada, maka model stimulasi ditindaklanjuti melalui program-program pemberdayaan masyarakat. Pada perkembangan selanjutnya tahun 2004 melalui grand assessment program Rancang Bangun Unit Manajemen Hutan Rakyat di tingkat desa, ada kebutuhan masyarakat untuk membentuk suatu kelompok pengelola hutan. Pada tahapan selanjutnya kebutuhan tersebut dibahas dalam skala yang lebih kecil, dan disepakati adanya Paguyuban Pengelola Hutan Rakyat yang anggotanya 20 orang, dan sampai saat ini anggotanya berkembang menjadi 25 orang.