Perspektif Vol. 10 No. 2 /Des 2011. Hlm 58 - 69 ISSN: 1412-8004
STRATEGI PERBAIKAN VARIETAS KAPAS MENGHADAPI PERUBAHAN IKLIM GLOBAL EMY SULISTYOWATI
Balai Penelitian Tanaman Tembakau dan Serat Indonesian Tobacco and Fibre Crops Research Institute Jl. Raya Karangploso, Kotak Pos 199 Malang 65152 E-mail:
[email protected]
Diterima : 14 September 2011 ; Disetujui : 21 Nopember 2011
ABSTRAK Perubahan iklim telah menjadi ancaman yang serius bagi pertanian di masa depan karena pengaruhnya terhadap keanekaragaman hayati dan ekosistem. Fenomena perubahan iklim global dihadapi oleh seluruh negara di dunia, dan oleh karenanya beberapa persiapan untuk adaptasi, antisipasi, dan mitigasi dalam menghadapinya juga harus dilaksanakan secara terencana. Tanaman kapas termasuk salah satu komoditas perkebunan yang sangat peka terhadap perubahan iklim. Adaptasi terhadap perubahan iklim terutama cekaman keterbatasan air antara lain dengan pemanfaatan varietas genjah. Untuk antisipasi pengaruh perubahan iklim perlu dirakit varietasvarietas baru yang toleran terhadap kekeringan, kelebihan curah hujan, dan kelimpahan konsentrasi CO2 di udara. Dua varietas unggul, Kanesia 14 dan Kanesia 15, telah dilepas untuk mengantisipasi cekaman keterbatasan air. Untuk mengantisipasi musim penghujan yang panjang, program pemuliaan kapas telah menghasilkan galur-galur unggul berdaun okra. Antisipasi terhadap kelimpahan konsentrasi CO 2 di udara dapat dilakukan dengan merakit varietas kapas transgenik yang mengekspresikan gen-gen penyandi proses fotosintesis yang efisien dari kelompok tanaman C3. Perakitan varietas sebagai pendekatan mitigasi terhadap perubahan iklim akan diarahkan untuk menghasilkan varietas yang toleran terhadap salinitas, karena perubahan iklim antara lain akan menyebabkan perluasan lahan salin. Kata kunci: Kapas, perubahan iklim, perakitan varietas, adaptasi, antisipasi, mitigasi ABSTRACT
Strategy on Cotton Varietal Improvement Facing Global Climate Change Global climate change has been a serious challenge to agriculture in future due to its influence on natural
58
genetic diversity and ecosystem. The phenomenon of global climate change has to be faced by the world, and therefore organized preparation of adaptation, anticipation, and mitigation scenarios has to be set up. Cotton is very susceptible to climate change, because climatic factors affect cotton growth and yield. Adaptation to drought can be approached by selecting early maturing cotton varieties. Anticipation scenario for facing the effect of global climate change is done by developing new cotton varieties tolerant to drought, excessive rain, and CO2 concentration in the air. Two high yielding varieties, Kanesia 14 and Kanesia 15, have been released to anticipate the drought stress. To anticipate lengthy rainy season, the cotton breeding has obtained promising okra-leave cotton lines. Moreover, anticipation of excessive CO2 concentration in the air will be approached by engineering transgenic cotton varieties expressing efficient photosynthetic genes of C3 plants. Mitigation of climate change will be met by developing new cotton varieties tolerant to salinity, because global climate change will increase saline areas. Keywords : Climate change, varieties development, adaptation, anticipation, mitigation
PENDAHULUAN Kapas merupakan salah satu serat alam yang besar peranannya dalam industri tekstil nasional. Industri tekstil di dalam negeri berkembang sangat pesat dan termasuk dalam kelompok lima besar negara-negara penghasil tekstil dunia, dengan kapasitas industri mencapai 7,8 juta mata pintal. Industri tekstil merupakan penyumbang devisa negara yang cukup signifikan dari ekspor. Industri (TPT) juga mampu menyerap tenaga kerja yang cukup Volume 10 Nomor 2, Des 2011 : 58 - 69
banyak, mencapai 1,7 juta orang, belum termasuk tenaga kerja yang diserap dalam sektor pertanian dan perdagangan. Sampai saat ini produksi kapas dalam negeri berkisar antara 1,60 -2,50 juta ton atau kurang dari 0,5% kebutuhan nasional, sehingga ketergantungan akan serat kapas impor tidak pernah berkurang, malahan semakin meningkat seiring dengan makin pesatnya pertumbuhan industri tekstil dan produk tekstil berkisar antara 4,54-7,62 juta ton. Fokus program perbaikan varietas kapas adalah peningkatan produktivitas dan mutu serat serta ketahanan terhadap cekaman biotik dan abiotik, sehingga daya saing usahatani kapas akan meningkat. Perbaikan mutu serat yang sesuai dengan permintaan industri tekstil nasional akan meningkatkan nilai akhir produk TPT yang dihasilkan. Tujuan program perbaikan tersebut dimanifestasikan dalam perakitan varietas kapas unggul nasional. Penggunaan varietas unggul merupakan komponen teknologi kunci yang paling mudah diadopsi petani, dan sangat menentukan keberhasilan usahatani kapas (van Esbroeck and Bowman, 1998). Pemanfaatan varietas unggul kapas, yang memiliki ketahanan terhadap cekaman abiotik (kekeringan) maupun biotik (hama dan penyakit) dan memiliki tingkat produksi tinggi baik di lahan kering maupun di lahan sawah sesudah padi, akan mampu meningkatkan daya saing dan sekaligus juga meningkatkan produktivitas kapas. Salah satu pendekatan yang dilakukan untuk meningkatkan produktivitas adalah dengan meningkatkan ketahanan terhadap hama utama terutama hama wereng kapas Amrasca biguttula dan hama penggerek buah Helicoverpa armigera. Target produktivitas kapas di atas 2,5 t/ha akan meningkatkan pendapatan petani sebesar 15-20%. Peningkatan produksi kapas nasional hingga 5% dari kebutuhan sektor industri TPT akan mampu mengurangi volume impor serat kapas sebesar 4% per tahun atau setara dengan US $24 juta. Perubahan iklim merupakan tantangan yang serius bagi pertanian di masa depan karena mengancam keanekaragaman hayati dan ekosistem. Perubahan iklim menyebabkan perubahan habitat yang akhirnya mengarah kepada pergeseran keberadaan spesies, perubahan keanekaragaman tanaman pangan
dan tanaman obat. Tanaman kapas termasuk salah satu komoditas perkebunan yang sangat peka terhadap perubahan iklim yaitu sangat peka terhadap kekeringan dan kelebihan air, walaupun tanaman kapas lebih tahan terhadap kekeringan dibanding kelebihan air. Tanaman kapas tahan terhadap kelebihan air hanya dalam waktu yang singkat. Hujan yang terus menerus menyebabkan tanaman rebah dan apabila terjadi saat pembungaan maka banyak kuncup bunga yang gugur. Pemanasan global adalah meningkatnya suhu rata-rata permukaan bumi akibat peningkatan jumlah emisi gas rumah kaca di atmosfer. Pengaruh gas rumah kaca merupakan salah satu penyebab terjadinya fenomena ’ElNino’ dan ’La-Nina’. Pemanasan global merupakan pemicu terjadinya perubahan iklim. Adapun dampak pemanasan global antara lain adalah (1) mencairnya lapisan es terutama di kutub Utara dan Selatan yang mengakibatkan naiknya permukaan air laut, yang berakibat tenggelamnya daerah pesisir dan pulau-pulau kecil, (2) terjadinya pergeseran musim yaitu musim kemarau panjang (El-Nino) yang mengakibatkan kekeringan dan meningkatnya potensi kebakaran hutan atau musim hujan akan berlangsung cepat dengan intensitas curah hujan yang tinggi sehingga mengakibatkan banjir dan tanah longsor (La-Nina), (3) terjadinya krisis persediaan makanan akibat tingginya potensi gagal panen dan krisis air bersih, (4) meluasnya penyebaran penyakit tropis (malaria, demam berdarah, dan diare), dan (5) hilangnya jutaan spesies flora dan fauna karena tidak dapat beradaptasi dengan perubahan suhu di bumi. Program perbaikan varietas kapas telah dilaksanakan sejak tahun 1983. Selama lebih dari 25 tahun, telah dihasilkan 15 varietas unggul kapas nasional serie Kanesia. Upaya perbaikan varietas terus dilakukan, karena tantangan dalam pengembangan kapas nasional terus bertambah. Berkaitan dengan fenomena perubahan iklim global yang harus dihadapi oleh seluruh negara di dunia termasuk Indonesia, beberapa persiapan untuk menghadapinya juga harus dilaksanakan secara terencana. Makalah ini menyajikan arah dan program perbaikan varietas kapas untuk mampu bertahan di bawah tekanan lingkungan
Strategi Perbaikan Varietas Kapas Menghadapi Perubahan Iklim Global (EMY SULISTYOWATI)
59
yang semakin tidak menguntungkan karena fenomena perubahan iklim global.
PENGARUH FAKTOR IKLIM TERHADAP KOMODITAS KAPAS Perubahan iklim adalah perubahan variabel iklim, khususnya suhu udara dan curah hujan yang terjadi secara berangsur-angsur dalam jangka waktu yang panjang antara 50 sampai 100 tahun. Faktor pemicu terjadinya perubahan iklim adalah peningkatan konsentrasi Gas Rumah Kaca (GRK), antara lain CO2, CH4 (methan), NO2, SF6, dan PFC akibat aktivitas manusia yang menyebabkan peningkatan radiasi yang terperangkap dalam atmosfer. Dampak perubahan iklim dapat dikelompokkan menjadi dua kategori, yaitu berdasarkan pengaruhnya terhadap biofisika dan sosial-ekonomi. Kategori biofisika terdiri atas dampak terhadap proses fisiologis, perubahan pada sumberdaya air dan tanah, serangan gulma dan hama, meningkatnya permukaan dan tingkat salinitas air laut, dan peningkatan suhu permukaan laut. Sedangkan dampak sosial ekonomi terdiri atas penurunan hasil dan produksi komoditas pertanian, menurunnya kontribusi pertanian terhadap pendapatan nasional, fluktuasi harga komoditas, perubahan distribusi pasar secara geografis, meningkatnya kejadian kelaparan dan keterbatasan pangan, meningkatnya migrasi, dan kerusuhan (FAO, 2007). Pengaruh iklim yang lain yaitu naiknya suhu permukaan bumi, meningkatnya penguapan udara, berubahnya pola curah hujan dan tekanan udara. Selain itu juga meningkatnya konsentrasi CO2 dan suhu, serta menurunnya curah hujan yang juga bersifat eratik. Mendelsohn and Schlesinger (1999) menyatakan bahwa produktivitas tanaman sangat dipengaruhi oleh suhu. Semakin meningkatnya suhu bumi, maka tanaman akan mempercepat siklus kehidupannya sehingga produksi akan menurun. Hal ini disebabkan suhu udara yang semakin tinggi mengakibatkan evaporasi air tanah semakin cepat dan demikian juga transpirasi oleh tanaman. Hasil penelitian di Brasilia oleh Rodrigues dan Silva et al. (2010) menunjukkan bahwa peningkatan suhu udara
60
dan anomali intensitas hujan sebagai konsekuensi perubahan iklim sangat menekan produksi kapas. Suhu berpengaruh terhadap tanaman kapas mulai awal perkecambahan biji sampai dengan perkembangan buah dan serat, karena pengaruhnya berkaitan erat dengan proses biologi dan biokimia dari semua proses pertumbuhan (Reddy et al., 2004; 2005), Secara umum, suhu berpengaruh terhadap disrupsi membran, pertukaran gas dalam proses fotosintesis, fotorespirasi, konduksi stomata, transpirasi, dan proses translokasi. Masing-masing tahap pertumbuhan memiliki suhu optimal, sehingga penurunan ataupun kenaikan suhu akan menyebabkan pengaruh yang cukup nyata. Suhu optimal untuk perkecambahan dan pertumbuhan kecambah kapas berkisar antara 28-30oC. Burke (2001) menyebutkan bahwa apabila suhu pada saat perkecambahan benih lebih tinggi dari suhu tersebut, maka tanaman kapas akan mengaktifkan sistim termotolerance yang disebut dengan acquired thermotolerance system yang akan melindungi perkecambahan sampai dengan suhu 37,7-40o C. Pertumbuhan akar kapas akan berlangsung normal pada suhu 30-35oC, dan suhu 32-40o C akan mengganggu distribusi akar yang berakibat perkembangan akar kurang dalam. Burke dan Upchurch (1995) menambahkan bahwa gangguan suhu pada sistem perakaran akan menurunkan konduktivitas hidrolik perakaran itu sendiri, menekan penyerapan nutrisi yang berakibat pada gangguan pada regulasi sintesa dan distribusi hormon. Suhu optimal untuk perkembangan daun kapas adalah 26oC (Reddy et al., 1997b). Suhu optimum untuk perkembangan cabang generatif, kuncup bunga, dan buah adalah 30oC. Suhu lebih tinggi dari 30oC menyebabkan cabang generatif lebih pendek. Sedangkan pada suhu lebih dari 40oC, inisiasi pembentukan kuncup bunga kapas akan terhenti secara total, sedangkan cabang vegetatif akan semakin memanjang (Reddy et al., 1992a, c). Arevalo et al. (2005) menjelaskan bahwa suhu udara yang tinggi dalam waktu lebih dari dua minggu menurunkan kandungan klorofil dan enzim-
Volume 10 Nomor 2, Des 2011 : 58 - 69
enzim yang berpengaruh terhadap efektivitas fotosintesis. Pengaruh suhu terhadap perkembangan generatif kapas juga sangat kompleks. Suhu yang tinggi berpengaruh buruk terhadap perkembangan buah. Reddy et al. (1992c) menyebutkan bahwa perkembangan berat buah sangat optimum bila suhu harian berkisar antara 30-32oC, dan apabila suhu lebih rendah atau bahkan lebih tinggi maka berat buah akan menurun. Perkembangan buah sangat sensitif terhadap pengaruh suhu dibandingkan dengan perkembangan organ vegetatif. Suhu yang tinggi selama fase perkembangan bunga berpengaruh terhadap proses reproduksi sehingga menekan jumlah buah kapas yang terbentuk. Oosterhuis (1999; 2002) menambahkan bahwa suhu tinggi antara lain menurunkan viabilitas tepungsari, dan rendahnya produksi karbohidrat oleh tanaman, yang berakibat tingginya keguguran buah, malformasi buah, ukuran buah yang mengecil yang berakibat berkurangnya persentase serat, dan menurunnya produksi. Aksesi kapas memiliki suhu optimal untuk fotosintesis, tumbuh, dan berproduksi yang sangat bervariasi (Polley, 2002). Pembentuk utama serat kapas adalah karbohidrat. Bila terjadi kekurangan ketersediaan karbohidrat sebagai akibat penurunan efisiensi fotosintesis, maka hal ini akan dimanifestasikan oleh tanaman kapas dengan produksi kapas berbiji dan kandungan serat yang lebih rendah. Oosterhuis (1999) juga menyebutkan bahwa akibat lainnya adalah buah yang terbentuk lebih kecil, jumlah biji lebih sedikit, dan jumlah serat per biji juga lebih sedikit. Haigler et al. (2005) menyatakan bahwa pengaruh suhu dan cekaman kekeringan yang tinggi selama fase pengisian buah menurunkan panjang serat dan menyebabkan serat yang kasar (mikroner tinggi). Bradow et al. (2001) mengatakan bahwa sebagai akibat dari perubahan kecepatan deposisi dinding sel serat dan perkembangan melintang dari serat secara individual. Secara umum disimpulkan oleh Singh et al. (2007) bahwa mutu serat berkorelasi dengan suhu. Panjang serat berkorelasi negatif, sedangkan parameterparameter kekuatan, kedewasaan, dan kehalusan serat berkorelasi positif dengan suhu.
Pemanasan global akan diikuti oleh perubahan iklim, seperti meningkatnya curah hujan di beberapa belahan dunia sehingga menimbulkan banjir dan erosi, serta musim kering yang berkepanjangan disebabkan kenaikan suhu pada belahan bumi yang lain. Memasuki musim hujan dengan curah hujan di atas normal tentu akan berdampak pada pertumbuhan dan produksi tanaman kapas. Pertumbuhan vegetatif akan berlebihan pada kondisi banyak hujan dan lingkungan tanaman yang lembab. Disamping itu akan mengakibatkan gugurnya kuncup bunga dan buah muda, bila hujan yang turun terus menerus. Meningkatnya intensitas hujan selama pertumbuhan akan meningkatkan pertumbuhan gulma di sekitar tanaman. Selain itu, pertumbuhan tanaman lebih subur sehingga tanaman mudah rebah apabila terdapat angin kencang sebagai pengaruh tambahan dari intensitas hujan yang tinggi. Pada prinsipnya, perubahan curah hujan dapat berdampak terhadap serangga hama, parasitoid, predator, patogen serangga dan penyakit dalam dinamika yang kompleks. Curah hujan yang tinggi menyebabkan tanaman tumbuh dengan membentuk jaringan yang lebih sekulen dan lebih banyak membentuk bagian tanaman vegetatif, sehingga lebih disukai oleh serangga hama pemakan daun. Pada umumnya, telur-telur serangga hama yang diletakkan pada permukaan tanaman akan mengalami mortalitas yang cukup tinggi karena dapat tercuci oleh curah hujan. Akan tetapi, untuk serangga hama wereng kapas Amrasca biguttulla, adanya curah hujan yang tinggi dan kondisi tanaman yang lebih sekulen akan menyebabkan perkembangannya lebih cepat. Patogen serangga dapat berkembang biak secara baik pada kondisi kelembapan tinggi, sehingga infeksi serangga karena patogen ini akan meningkat. Aspek lain yang dipengaruhi oleh perubahan iklim adalah kandungan CO2 dalam udara. CO2 di udara dimanfaatkan oleh tumbuhan pada reaksi fotosintesis. Reaksi ini sangat efisien pada tanaman C4 (misalnya tebu dan jagung), dibandingkan tanaman C3 (antara lain kapas). Perubahan iklim memicu peningkatan konsentrasi CO2 dalam udara. Beberapa hasil penelitian telah menyimpulkan
Strategi Perbaikan Varietas Kapas Menghadapi Perubahan Iklim Global (EMY SULISTYOWATI)
61
bahwa konsentrasi CO2 yang tinggi dapat menyebabkan perubahan anatomis, misalnya struktur anatomi daun (Kriedemann et al., 1976), yang antara lain berpengaruh langsung terhadap ukuran daun dan pengaruh tak langsung pada kecepatan fotosintesis (Kramer, 1981). Sebaliknya juga dilaporkan adanya pengaruh negatif terhadap peningkatan konsentrasi CO2. Tanaman kapas yang tumbuh pada kondisi kandungan CO2 tinggi menunjukkan penumpukan zat tepung pada daun yang mampu mengakibatkan kerusakan pada grana atau disrupsi kloroplas (Farquhar dan Sharkey, 1982). Kerusakan tersebut secara visual antara lain terjadinya klorosis, bintik-bintik nekrosis, dan senescence awal. Pengaruh positif kenaikan konsentrasi CO2 udara adalah meningkatnya pertumbuhan biomasa di atas tanah, luas daun, dan produksi kapas (Kimball et al., 2002; Reddy et al., 2000; Paul et al., 2002). Hal ini berkaitan dengan meningkatnya kecepatan fotosintesis, rasio C/N, dan efisiensi penggunaan N dan air (Masle, 2000; Lin dan Wang, 2002; Wu et al., 2006; Chen et al., 2005). Peningkatan efisiensi fotosintesis secara langsung akan meningkatkan produktivitas yang dilakukan dengan meningkatkan kapasitas tanaman untuk menangkap sinar matahari. Kimbal (1986) melaporkan bahwa kenaikan konsentrasi CO2 dari 330 sampai 660 ul/l meningkatkan produksi kapas sebesar 95%.
ADAPTASI TANAMAN KAPAS MENGHADAPI PERUBAHAN IKLIM GLOBAL Menghadapi perubahan iklim global, dimaksud dengan upaya adaptasi adalah menyesuaikan berbagai kegiatan terhadap perubahan iklim terutama upaya-upaya yang bertujuan untuk meminimalisir dampak yang terjadi, mengantisipasi resiko, sekaligus mengurangi biaya yang harus dikeluarkan akibat perubahan iklim. Reilly dan Schimmelpfennig (1999) menyatakan bahwa secara umum tindakan adaptasi terhadap perubahan iklim terdiri atas perubahan waktu tanam, perubahan komoditas
62
atau varietas, penyesuaian system pengairan dan saprodi. Berkaitan dengan pengembangan kapas, perubahan iklim berdampak pada terjadinya cekaman kekeringan atau curah hujan yang berlebihan selama pertumbuhan tanaman kapas. Oleh karenanya, upaya adaptasi harus ditempuh untuk menghadapi kedua dampak yang mungkin terjadi tersebut di atas. Untuk menghadapi cekaman air, Edmisten et al. (2007) menyatakan bahwa upaya adaptasi menghadapi cekaman kekeringan antara lain dengan pemilihan varietas genjah, pengurangan populasi terutama untuk lahan pengembangan yang berpasir, dan penerapan monitoring hama yang lebih intensif terutama untuk hama penggerek buah. Adaptasi varietas dilakukan dengan cara sistim tanam pindah, persiapan bibit kapas dilakukan 4 minggu sebelum tanam. Menghemat waktu selama 4 minggu, maka keberadaan tanaman di lapang diperpendek dan akan mengurangi resiko tercekam oleh keterbatasan air. Varietas unggul nasional yang telah dilepas, Kanesia 1 – Kanesia 15, memiliki umur panen lebih dari 120 hari dan memiliki sifat pertumbuhan indeterminate. Sumberdaya genetik kapas yang memiliki umur genjah biasanya memiliki tipe pertumbuhan determinate, dengan umur panen kurang dari 120 hari. Adaptasi terhadap pengaruh perubahan iklim berupa curah hujan yang tinggi dilakukan dengan penyesuaian teknik budidaya (CEEPA, 2006; Riajaya dan Sulistyowati, 2010). Strategi pemupukan terutama Nitrogen harus ditunda atau diatur, karena curah hujan yang tinggi pada awal pertumbuhan tanaman akan memacu pertumbuhan vegetatif. Penyesuaian aplikasi pemupukan N dilakukan dengan meningkatkan frekuensi pemupukan dari yang biasanya dua kali bisa menjadi tiga kali agar pertumbuhan vegetatif terkendali. Pemupukan berimbang (Fosfat dan Kalium) sangat disarankan dengan pemberian tetap di awal pertumbuhan. Jarak tanam sebaiknya diperlebar untuk antisipasi tanaman tumbuh rimbun pada kelembapan yang tinggi. Untuk mengatisipasi aliran permukaan yang tinggi, maka penanaman dengan sistim gulud tinggi sangat dianjurkan.
Volume 10 Nomor 2, Des 2011 : 58 - 69
Selain adaptasi tanaman tersebut di atas, perlu juga diupayakan pengelolaan sumber air dengan benar. Pembangunan dam ataupun embung sangat diperlukan untuk mengantisipasi curah hujan tinggi. Sedangkan untuk menghadapi musim kemarau yang lebih panjang, perlu diupayakan pengelolaan sistem irigasi yang efisien.
PERAKITAN VARIETAS KAPAS SEBAGAI STRATEGI ANTISIPASI PERUBAHAN IKLIM GLOBAL Upaya antisipasi adalah upaya untuk menyiapkan strategi adaptasi dan mitigasi yang menyangkut aspek sumberdaya pertanian, infrastruktur, sistim produksi, dan sosial ekonominya. Untuk mengantisipasi musim kemarau panjang yang akan memberikan cekaman kekeringan pada tanaman kapas, maka diperlukan upaya teknis antara lain dengan perbaikan infrastruktur pengairan melalui pengadaan sumur-sumur dangkal ataupun dalam, serta perbaikan saluran irigasi. Selain itu limpahan permukaan air hujan yang sampai saat ini belum dimanfaatkan dan banyak yang terbuang dan mengalir begitu saja tanpa upaya untuk mengalirkannya ke suatu penampungan, perlu diantisipasi dengan upaya-upaya memanen hujan dengan membangun embung atau penampung air berbahan karet pada lahan yang terbatas. Selain upaya teknis tersebut di atas, juga perlu dirakit varietas baru yang toleran antara lain terhadap kekeringan, kelebihan curah hujan, dan kelimpahan CO2. Program perbaikan varietas kapas telah mengantisipasi fenomena pemanasan global tersebut dengan pendekatan konvensional maupun bioteknologi . Perakitan Varietas Kapas Tahan Cekaman Keterbatasan Air atau Kelebihan Air Upaya perbaikan ketahanan varietas kapas terhadap kekeringan didahului dengan evaluasi ketahanan sumberdaya genetik kapas terhadap keterbatasan air, baik secara langsung di lapang ataupun dengan metode simulasi menggunakan cekaman yang diakibatkan oleh pemberian PEG 6000 (Sulistyowati, 2008). Khan et al. (2008) menyatakan bahwa varietas kapas
tahan kering antara lain ditunjukkan dengan indeks kerusakan sel yang rendah akibat suhu yang tinggi dan konduksi stomata yang tinggi. Sumberdaya genetik yang berpotensi sebagai donor gen ketahanan terhadap kekeringan antara lain adalah MCU 9, Auburn 200, Reba, Reba BTK 12 Thailand, ISA 205 A dan ALA 73-2M, dan aksesi tersebut telah digunakan dalam perakitan dua varietas tahan keterbatasan air yaitu Kanesia 14 dan Kanesia 15 (Sumartini et al., 2008). Kanesia 14 dan Kanesia 15 merupakan dua varietas baru yang dihasilkan dari program pengembangan varietas kapas tahan terhadap keterbatasan air. Pendekatan yang dilakukan dalam program tersebut adalah metode pengumpulan dan piramida gen dari aksesi-aksesi yang memiliki toleransi tinggi terhadap keterbatasan air, dan yang toleran terhadap hama pengisap Amrasca biguttula. Pada Kanesia 14, sifat produksi tinggi dari Reba B-50 dan Reba BTK-12 berkumpul dengan gen-gen penyandi ketahanan terhadap keterbatasan air dari aksesi-aksesi MCU 9 dan Auburn 200, dan sifat toleransi terhadap A. biguttula yaitu melalui ketahanan mekanis akibat adanya bulu yang lebat pada daun dan batang yang didonorkan oleh Reba, Reba BTK 12 Thailand, MCU 9, dan Auburn 200. Kanesia 15 merupakan hasil piramida gen ketahanan terhadap keterbatasan air, produktivitas dan mutu serat tinggi yang dimiliki oleh ISA 205 A dengan gen toleransi terhadap A. biguttula yang didonorkan oleh ALA 73-2M. Selain kedua varietas unggul yang memiliki toleransi yang tinggi terhadap keterbatasan air tersebut di atas, 19 galur yang toleran terhadap keterbatasan air juga sedang diseleksi untuk memperoleh galur unggulan. Galur-galur tersebut dibentuk melalui proses persilangan yang dilaksanakan tahun 1997 dan 2003 dengan menggunakan sumberdaya genetik tahan cekaman kekeringan ALA 73-2M, Pusa 1, Quebracho, Mysore Vijaya, dan Laxmi. Diharapkan galur terpilih dapat dilepas pada tahun 2015. Selain pendekatan pemuliaan melalui hibridisasi, pendekatan bioteknologi juga akan dilaksanakan untuk pengembangan varietas kapas tahan keterbatasan air. Banyak informasi berkaitan dengan gen-gen penyandi sifat
Strategi Perbaikan Varietas Kapas Menghadapi Perubahan Iklim Global (EMY SULISTYOWATI)
63
ketahanan terhadap keterbatasan air, antara lain gen-gen yang aktif dalam biosintesis poliamina memiliki peranan penting dalam produksi senyawa putrecine yang memiliki fungsi sebagai osmoprotectant. Voloudakis et al. (2002) menjelaskan bahwa gen-gen yang berkorelasi dengan ketahanan terhadap cekaman air, pada kapas antara lain adalah trehalose-6-P synthase, Heat-shock protein cadmodulin-binding (HSPBC) homolog, late embryogenesis abundant (LEA) 14A dan 5D, NAD(P)H oxydase, dan ubiquitin. Penggunaan teknologi transgenik yang telah berkembang dengan baik sekarang ini, membuka peluang untuk merakit varietas baru kapas tahan terhadap kekeringan. Adapun gen yang telah digunakan sebagai transgen untuk mengembangkan tanaman transgenik tahan kekeringan dan berpeluang untuk diadaptasikan untuk pengembangan varietas kapas transgenik tahan cekaman air, antara lain adalah SAdenosylmethionine decarboxylase atau SAMDC (Kumar and Minocha, 1998), dan AtDREB1A (Dubouzet et al., 2003). Upaya isolasi gen P5CS dan DREB sedang dilakukan dari tanaman tahan kekeringan yang banyak tersebar di daerahdaerah kering di Indonesia yaitu widuri (Calotropis-gigantea). Perubahan iklim juga dapat berdampak pada terjadinya musim hujan yang berkepanjangan sehingga akan merusak produksi kapas. Cabangbang dan Manguiat (1989) menyatakan bahwa jumlah curah hujan dibandingkan dengan aspek jumlah hari hujan sangat menekan komponen hasil dan hasil kapas berbiji. Jumlah hari hujan berkorelasi negatif dengan berat buah dan hasil kapas berbiji, dan total curah hujan sangat menekan hasil terutama yang terjadi pada dua bulan terakhir dari masa pertumbuhan kapas. Salah satu upaya untuk mengantisipasi musim penghujan yang panjang dan dapat menyebabkan kegagalan pengembangan kapas adalah dengan merakit varietas kapas berdaun okra, karena varietas kapas berdaun okra toleran terhadap kelembapan udara yang relatif tinggi sepanjang tahun dan penyinaran matahari yang rendah selama musim hujan. Hal ini disebabkan karena bentuk daunnya yang menjari sehingga dapat meneruskan sinar matahari ke cabang-
64
cabang di bagian bawah dan sekaligus mengurangi kelembapan di sekitar tanaman serta mengurangi gugurnya kuncup bunga dan buah kapas. Tanaman kapas berdaun okra memiliki struktur kanopi dan intersepsi cahaya yang lebih terbuka (Wells et al., 1986). Tanaman kapas berdaun okra mempunyai luas daun yang lebih kecil dibanding kapas berdaun normal, sehingga total penetrasi sinar matahari dan insektisida dalam kanopi tanaman lebih besar, serangan penyakit busuk buah dan hama kutu putih lebih rendah dibandingkan kapas berdaun normal. Pettigrew et al. (1993) menambahkan bahwa pada kapas berdaun okra, kecepatan pertukaran CO2 dan efisiensi penggunaan air lebih besar. Gonias et al. (2007) menyatakan bahwa tidak terdapat perbedaan jumlah buah, produksi dan kandungan serat di antara kapas berdaun okra dan kapas berdaun normal. Kapas berdaun okra cenderung memiliki ukuran buah yang lebih besar. Pada kapas berdaun okra terjadi perbaikan intersepsi cahaya matahari yang berdampak pada peningkatan produksi bahan kering dan hasil kapas berbiji. Hasil persilangan tahun 1998 dengan menggunakan sumberdaya genetik kapas berdaun okra telah menghasilkan dua galur unggul, yaitu galur okra 98040/3 dan 98048/2 mempunyai potensi hasil yang lebih tinggi dibanding kapas berdaun normal (Kanesia 8 dan Kanesia 13) pada populasi rapat dibandingkan pada populasi normal (Riajaya et al., 2009). Perakitan Varietas Kapas dengan Efisiensi Fotosintesis Tinggi Pemanasan global mengakibatkan peningkatan konsentrasi CO2 di udara. Tumbuhan memanfaatkan CO2 dari udara untuk proses fotosintesis. CO2 di udara dimanfaatkan oleh tumbuhan pada reaksi fotosintesis. Reaksi ini sangat efisien pada tanaman C4 (misalnya jagung dan tebu), dibandingkan tanaman C3 (antara lain kapas). Tanaman C4 menunjukkan kecepatan fotosintesis yang tinggi pada kondisi intensitas matahari dan suhu tinggi, karena CO2 langsung dikirim kepada rubisco sehingga menekan terjadinya fotorespirasi. Selain itu, tanaman C4 memiliki efisiensi penggunaan air yang tinggi. Oleh karena itu, untuk mengantisipasi
Volume 10 Nomor 2, Des 2011 : 58 - 69
melimpahnya CO2 tersebut di atas, maka diperlukan pendekatan bioteknologi untuk memanfaatkan fenomena tersebut. Kapas merupakan tanaman C3 yang kapasitas fotosintesisnya dipengaruhi oleh aktivitas gen Rubisco. Rubisco merupakan keluarga gen yang terdiri atas 8 sub-unit polipeptida besar yang disandi di dalam genom kloroplas dan 8 subunit polipeptida kecil yang disandi di dalam genom intisel, yang beberapa diantaranya berfungsi sebagai aktivase rubisco. Enzim aktivase rubisco ini tidak stabil pada suhu lebih tinggi dari 30oC (Salvucci dan CraftsBrandner, 2004). Dengan demikian, peningkatan efisiensi Rubisco dalam fiksasi CO2 akan berpengaruh terhadap peningkatan produk fotosintesis. Efisiensi Rubisco sangat dipengaruhi oleh suhu, karena suhu yang menyebabkan enzim rubisco activase menjadi tidak stabil (Deridder dan Salvucci, 2007; Sage et al., 2008). Peningkatan aktivitas Rubisco dapat dilakukan dengan cara overexpression Rubisco activase (Parry et al., 2003).
PERAKITAN VARIETAS KAPAS SEBAGAI STRATEGI MITIGASI PERUBAHAN IKLIM GLOBAL Mitigasi atau pencegahan adalah usaha untuk mengurangi efek rumah kaca sehingga dapat memperlambat laju pemanasan global. Secara umum, tindakan mitigasi untuk menghadapi pengaruh perubahan iklim global terdiri atas gerakan-gerakan untuk membudayakan gemar menanam pohon dan menggunakan tanaman hidup sebagai pagar rumah, menghijaukan kembali terutama daerahdaerah yang pohonnya ditebangi, mengurangi pembakaran terutama dalam upaya pembukaan lahan, dan menghemat energi. Berkaitan dengan pengembangan tanaman kapas, mitigasi terhadap perubahan iklim global dapat didekati dengan teknologi budidaya yang dapat menghemat penggunaan sumberdaya, aplikasi pemupukan yang dapat mengurangi emisi terutama N2O, atau melalui pengusahaan kapas organik. Pertanian organik didefinisikan sebagai usahatani yang menggunakan standar tertentu untuk menghasilkan produk bermutu
tinggi dalam jumlah optimum dengan mengaplikasikan teknologi yang mampu mengesampingkan penggunaan input agro-kimia dan meminimalkan kerusakan lingkungan (IFOAM, 1996). Beberapa prinsip dasar pertanian organik antara lain (1) meningkatkan siklus biologi dalam sistem usahatani mencakup mikroorganisme, flora, dan fauna dalam tanah, tanaman, dan hewan, (2) menjaga dan meningkatkan kesuburan tanah dan ketersediaan air dalam jangka panjang, (3) menggunakan sumberdaya yang bisa diperbarui dan materi yang bisa didaur ulang, (4) meminimalkan semua bentuk polutan, dan (5) menjaga keragaman genetik dalam sistem pertanian (Soil Association, 2005). Jadi dengan pertanian organik, pemanfaatan dan konservasi sumberdaya alam dilaksanakan secara terpadu dengan cara mengurangi penggunaan bahan kimia seperti pupuk dan pestisida, yang berpotensi mencemari tanah, air, dan udara. Salah satu dampak dari perubahan iklim global adalah naiknya permukaan air laut yang akan menyebabkan meningkatnya salinitas lahan pertanian terutama di daerah pesisir pantai. Salinitas pada padi sangat erat kaitannya dengan keracunan logam, terutama Fe dan Al. Tanaman kapas relatif toleran terhadap salinitas, tetapi produktivitas akan menurun 40% karena perkecambahan benih yang terganggu mengakibatkan pertumbuhan yang abnormal (Qayyum and Malik, 1988). Untuk memperoleh informasi sumberdaya genetik kapas tahan salinitas telah dilakukan evaluasi aksesi-aksesi kapas. Adapun beberapa aksesi kapas yang toleran terhadap salinitas adalah : KPX 22, NH 38, Ngwe Chi 1, Dora 11, DP-NF3, BRI 1, dan DPX7062-5228 (Sulistyowati et al., 2010). Perakitan varietas untuk ketahanan terhadap salinitas belum dimulai. Aksesi-aksesi kapas yang toleran terhadap salinitas tersebut di atas merupakan materi genetik yang sangat berguna untuk pengembangan varietas kapas unggul tahan salinitas. Melalui proses persilangan yang dilanjutkan dengan seleksi, maka gen-gen penyandi toleransi terhadap salinitas dapat diintrogresikan ke dalam genom varietas unggul kapas yang telah dilepas. Dengan demikian, varietas baru yang akan dihasilkan akan
Strategi Perbaikan Varietas Kapas Menghadapi Perubahan Iklim Global (EMY SULISTYOWATI)
65
mengekspresikan piramida gen-gen penting antara lain produktivitas tinggi, toleransi terhadap hama, dan ketahanan terhadap salinitas.
PENUTUP Perubahan iklim secara global dan pengaruhnya sangat besar terhadap produksi kapas. Sebagai negara agraris, Indonesia harus berupaya untuk menghadapi ancaman perubahan iklim global tersebut, antara lain dengan menetapkan upaya strategis dalam rangka antisipasi, adaptasi, dan mitigasi. Kapas merupakan komoditas yang sangat mudah dipengaruhi oleh perubahan iklim. Upaya untuk menyusun teknologi strategis menghadapi ancaman perubahan iklim terhadap keberhasilan pengembangan kapas perlu ditindaklanjuti. Upaya ini tidak saja pada level pengambil kebijakan, tetapi juga pada level petani karena petani sebagai pelaku usaha pertanianlah yang akan menghadapi ancaman perubahan iklim secara langsung. Untuk itu diperlukan tindakan kebersamaan yang terkoordinasi dengan baik di antara semua instansi terkait dalam pelaksanaan program tersebut. Berkaitan dengan pengembangan kapas ke depan, tindakan adaptasi, antisipasi, dan mitigasi diperlukan untuk menghadapi perubahan iklim global. Pengembangan varietas kapas berumur genjah yang didukung dengan teknologi budidaya yang efisien merupakan upaya adaptasi yang paling sesuai terhadap cekaman kekeringan. Sedangkan strategi antisipasi pengembangan kapas menghadapi perubahan iklim global dapat dilakukan melalui perakitan varietas baru yang toleran antara lain terhadap kekeringan, kelebihan curah hujan, dan kelimpahan CO2, baik melalui pendekatan konvensional maupun bioteknologi. Upaya mitigasi pengembangan kapas menghadapi perubahan iklim global dapat ditempuh dengan perakitan varietas untuk ketahanan terhadap salinitas, teknologi budidaya yang dapat menghemat penggunaan sumber-daya, aplikasi pemupukan yang dapat mengurangi emisi terutama N2O, atau melalui pengusahaan kapas organik.
66
DAFTAR PUSTAKA Arevalo, L.M., A.R. Fayetteville, D.M. Oosterhuis, R.S. Brown, and D.L. Coker. 2005. Physiological Response of Cotton to High Night Temperatures. Beltwide Cotton Conferences, New Orleans, Louisiana – January 4 - 7, 2005. Bradow, J.M., R.M. Johnson, P.J. Bauer, and G.F. Sassenrath‐Cole. 2001. Variability in Micronaire: Sources and Significance. In C.P. Dugger and D.A. Richter (Eds.). Proceeding of the Beltwide Cotton Conferences. National Cotton Council of America, Memphis, TN., p. 477–478. Burke, J.J. 2001. Opportunities for Improving Cotton’s Tolerance to High Temperature. In C.P. Dugger and D.A. Richter (Eds.) Proceeding of the Beltwide Cotton Conferences, National Cotton Council of America, Memphis, TN., p. 1453. Burke, J.J. and D.R. Upchurch. 1995. Cotton Rooting Patterns in Relation to Soil Temperatures and the Thermal Kinetic Window. Agronomy Journal, 87: 1210– 1216. Cabangbang, R.P. and P.H. Manguiat. 1989. Cotton Cultivar Responses to High Rainfall and Low Solar Radiation Environment. Philippine Journal of Crop Science, 14(2): 55-59 CEEPA. 2006. Climate Change and Crop Water Use and Productivity in Egypt. Climate Change and African Agriculture. Centre for Environmental Economics and Policy in Africa (CEEPA). Policy Note No. 29, August 2006, 7 pp. Chen, F.J., G. Wu, F. Ge, M.N. Parajulee, and R.B. Shrestha. 2005. Effects of Elevated CO2 and Transgenic Bt Cotton on Plant Chemistry, Performance, and Feeding of an Insect Herbivore, The Cotton Bollworm. Entomology Experimentale Application, 115: 341–350. Deridder, B.P. and M.E. Salvucci. 2007. Modulation of Rubisco Active Gene Expression during Heat Stress in Cotton (Gossypium Hirsutum L.) Involves Post-
Volume 10 Nomor 2, Des 2011 : 58 - 69
Transcriptional Mechanisms. Plant Science, 172: 246-254. Dubouzet, J.G., Y. Sakuma, Y. Ito, M. Kasuga, E.G. Dubouzet, S. Miura, M. Seki, K. Shinozaki, and K. Yamaguchi-Shinozaki. 2003. OsDREB Genes in Rice, Oryza sativa L., Encode Transcription Activators that Function in Drought, High, Salt, and Cold Responsive Gene Expression. Plant Journal, 33:751-763. Edmisten, K., J. Crawford, and M. Bader. 2007. Drought Management for Cotton Production. North Carolina Cooperative Extension. North Carolina State University, Raleigh, NC., 9 pp. FAO. 2007. Adaptation to Climate Change in Agriculture Forestry and Fisheries: Perspective, Framework, and Priorities. Food and Agriculture Organization of the United Nations Viale Delle Terme Di Caracalla - 00100 Rome, Italy. Farquhar, G.D. and T.D. Sharkey. 1982 Stomatal Conductance and Photosynthesis. Annual Review of Plant Physiology, 33: 317-345 Gonias, E.D., D.M. Oosterhuis, and A.C. Bibi. 2007. Radiation Use Efficiency of Okraand Normal-Leaf Cotton Isolines. Summaries of Arkansas Cotton Research 2007. p.64-67. Haigler, C.H., D. Zhang, and C.G. Wilkerson. (2005). Biotechnological Improvement of Cotton Fiber Maturity. Physiologia Plantarum 124: 285–294. IFOAM. 1996. International Organic Standard. Online At www.ifoam.org. [5 September 2011]. Khan, A.I., I.A. Khan, and H.A. Sadaqat. 2008. Heat Tolerance is Variable in Cotton (Gossypium hirsutum L.) and Can Be Exploited for Breeding of Better Yielding Cultivars Under High Temperature Regimes. Pakistan Journal of Botany, 40(5): 2053-2058. Kimball, B.A. 1986. Influence of Elevated CO2 on Crop Yield. In H.Z. Enoch and B.A. Kimball (Eds.) Carbon Dioxide Enrichment of Greenhouse Crop. Physiology, Yield, and Economics. CRC Press, Boca Raton, Fl. 2 : 105– 115.
Kramer, P.J. 1981 Carbon Dioxide Concentration, Photosynthesis, and Dry Matter Production. Bioscience, 31: 29-33 Kriedemann, P.E., R.J. Sward, and W.J.S. Downton. 1976. Vine Response to Carbon Dioxide Enrichment during Heat Stress. Australian Journal of Plant Physiology, 3: 605-618 Kumar, A. and S.C. Minocha. 1998. Transgenic Manipulation of Polyamine Metabolism. In K. Linsey (Ed). Transgneic Research in Plants. Harwood Academic Publ. UK., p. 187-199. Mendelsohn, R. and M.E. Schlesinger. 1999. Climate Response Functions. Ambio, 28: 362–66. Oosterhuis, D.M. 1999. Yield Response to Environmental Extremes in Cotton. In C.P. Dugger and D.A. Richter (Eds.). Proceeding of The 1999 Cotton Research Meeting. National Cotton Council of America, Memphis, TN., p. 30–38 Oosterhuis, D.M. 2002. Day or Night High Temperatures: A Major Cause of Yield Variability. Cotton Grower. 46: 8–9. Parry, M.A.J.,, P.J. Andralojc, R.A.C. Mitchell, P.J. Madgwick, and A.J. Keys. 2003. Manipulation of Rubisco: the Amount, Activity, Function, and Regulation. Journal of Experimental Botany, 54(386): 1321-1333 Paul, D., H. Graham, C. Debra, A.V. David, M. Christina, P.J. David, A.H. Bruce, C.R. Hinkle, and G.D. Bert. 2002. Elevated Atmospheric Stimulates Aboveground Biomass in a Fire-Regenerated Scrub-Oak Ecosystem. Global Change Biology, 8:90– 103. Pettygrew, W.T., J.J. Heithold, and K.C. Vaughn. 1993. Gas Exchange Differences and Comparative Anatomy among Cotton Leaf-Type Isolines. Crop Science, 33: 1295-1299. Polley, H. W. (2002). Implications of Atmospheric and Climatic Change for Crop Yield and Water Use Efficiency. Crop Science, 42 : 131–140. Qayyum, M.A. and D. Malik. 1988. Farm Production Losses in Salt Affected Soils.
Strategi Perbaikan Varietas Kapas Menghadapi Perubahan Iklim Global (EMY SULISTYOWATI)
67
In Managing Soil Resources. Proceeding of 1st Nat Congo Soil Science. Lahore, p. 356-364. Reddy, V.R., Reddy, K.R., and Baker, D.N. 1992a. Temperature Effects on Growth and Development of Cotton During the Fruiting Period. Agronomy Journal, 83 : 211–217. Reddy, K.R., H.F. Hodges, and J.M. McKinion. 1992b. A Comparison of Scenarios for the Effect of Global Climate Change on Cotton Growth and Yield. Australian Journal on Plant Physiology, 24 : 707–713. Reddy, K.R., Hodges, H.F., and Reddy, V.R. 1992c. Temperature Effects on Cotton Fruit Retention. Agronomy Journal, 84 : 26–30. Reddy, K.R., H.F. Hodges, and B.A. Kimball. 2000. Crop Ecosystem Responses to Global Change: Cotton. p. 161–187. In K.R. Reddy and H.F. Hodges (Eds.) Climate Change and Global Crop Productivity. CABI Publ., New York. Reddy, K.R., , V.G. Kakani, D., Zhao, S. Koti, and W. Gao. 2004. Interactive Effects of Ultraviolet‐B Radiation and Temperature on Cotton Growth, Development, Physiology and Hyperspectral Reflectance. Photochemistry and Photobiology, 79 : 416–427. Reddy, K.R., Prasad, P.V., and Kakani, V.G. 2005. Crop Responses to Elevated Carbon Dioxide and Interactions with Temperature. In Z. Tuba (Ed.) Ecological Responses and Adaptations of Crops to Rising Atmospheric Carbon Dioxide, Food Products Press, Binghamton, NY., p. 157– 191. Reilly, J.M. and D. Schimmelpfenning. 1999. Agricultural Impact Assessment, Vulnerability, and the Scope for Adaptation. Climatic Change, 43:745–788. Riajaya, P.D., F.T. Kadarwati, dan E. Sulistyowati. 2009. Kesesuaian Beberapa Galur Kapas Berdaun Okra pada Sistem Tanam Rapat. Jurnal Penelitian Tanaman Industri, 15(3): 124-130. Riajaya, P.D. dan E. Sulistyowati, 2010. Pengembangan Strategi Adaptasi, Antisi-
68
pasi, dan Mitigasi dalam Meminimalkan Dampak Perubahan Iklim pada Tanaman. Prosiding Seminar Nasional Inovasi Perkebunan 2010, Jakarta 12-14 November 2010, p.36-42 Rodrigues da Silva, V.P., M.T Silva, and P.V. Azevedo. 2010. Impact of Climate Change on Cotton Cultivation Grown in the Rainfed System in Northeastern Region of Brazil. EMS Annual Meeting Abstracts EMS 2010-45, 2010, (Vol.7). Sage, R.F., D.A. Way, and D.S. Kubien. 2008. Rubisco, Rubisco activase, and Global Climate Change. Journal of Experimental Botany 2008 59, (7):1581-1595 Salvucci, M.E. and S.J. Crafts-Brandner, 2004. Inhibition of Photosynthesis by heat stress: The Activation State of Rubisco as a Limiting Factor in Photosynthesis. Plant Physiology. 120: 179-186. Singh, R.P., P.V. Vara-Prasad, K. Sunita, S.N. Giri, and K.R. Reddy. 2007. Influence of High Temperature and Breeding for Heat Tolerance in Cotton: A Review. Advances in Agronomy, (93): 313-385. Soil Association. 2005. The Principle Aims of Organic Agriculture and Processing. Information Sheet 11/15/2005. Sulistyowati, E. 2008. Progress on The Development of High Yielding Cotton Varieties in Indonesia. The 4th Meeting of the Asian Cotton Research and Development Network, September 23-26 at the Chinese Cotton Research Institute, Anyang, Henan, China. International Cotton Advisory Committee, 10 pp. Sulistyowati, E., S. Sumartini, dan Abdurrakhman. 2010. Toleransi 60 Aksesi Kapas terhadap Cekaman Salinitas pada Fase Vegetatif. Jurnal Penelitian Tanaman Industri, 16(1): 20-26. Sumartini, S., Abdurrachman, and E. Sulistyowati. 2008. Galur-Galur Harapan Kapas di Lahan Tadah Hujan. Jurnal Penelitian Tanaman Industri 14(3): 87-94. van Esbroeck, G.A. and D.T. Bowman, 1998. Cotton Germplasm Diversity and Its Importance to Cultivar Development. Journal of Cotton Science, 2:121-129.
Volume 10 Nomor 2, Des 2011 : 58 - 69
Voloudakis, A.E., S.A. Kosmas, S. Tsakas, E. Eliopoulos, M. Loukas, and K. Kosmidou. 2002. Expression of Drought-Related Genes and Physiological Response of Greek Cotton Varieties. Functional Plant Biology, 29: 1237-1245. Wells, R. dan W.R. Meredith, dan J.R. Williford. 1986. Canopy photosynthesis and Its Relationship to Plant Productivity in
Near-Isogenic Cotton Lines Differing in Leaf Morphology. Plant Physiology, 82:635-640. Wu, G., F.J. Chen, and F. Ge. 2006. Response of Multiple Generations of Cotton Bollworm Helicoverpa armigera Hubner, Feeding on Spring Wheat, to Elevated Cotton. Journal of Applied Entomology, 130:2–9.
Strategi Perbaikan Varietas Kapas Menghadapi Perubahan Iklim Global (EMY SULISTYOWATI)
69