1
BAB I. PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang Perubahan iklim merupakan fenomena global meningkatnya konsentrasi Gas Rumah Kaca (GRK) di atmosfer akibat berbagai aktivitas manusia di permukaan bumi, seperti penggunaan bahan bakar fosil, pertambahan populasi yang mendorong perubahan tata guna lahan, serta kegiatan pertanian dan peternakan (Djajadilaga et al. 2009). Daratan Asia Tropis memiliki tingkat keanekaragaman hayati yang tinggi, dengan kekayaan alam yang melimpah. Sekitar 3,7 juta ha hutan alam di wilayah Asia Pasifik mengalami kerusakan setiap tahunnya dan hal ini berisiko mengubah stabilitas ekosistem, masyarakat, ekonomi dan merusak fungsi planet bumi sebagai penunjang kehidupan. Hutan memiliki peran penting dalam mengurangi emisi gas rumah kaca dan menstabilkan iklim. Kerusakan hutan diperkirakan menghasilkan emisi CO2 global setara dengan sektor transportasi, atau sekitar 17 persen dari emisi total dunia (RECOFTC, 2010). Widjaja (2002), mengatakan bahwa pada tahun 1994 tingkat emisi CO2 di Indonesia sudah lebih tinggi dari tingkat penyerapannya. Indonesia sudah menjadi net emitter sekitar 383,881 Gg pada tahun 1994, dibandingkan pada tahun 1990 Indonesia masih sebagai net sink dimana tingkat penyerapan lebih tinggi dari tingkat emisi. Berapapun kecilnya Indonesia sudah memberikan kontribusi bagi meningkatnya konsentrasi gas-gas rumah kaca secara global di atmosfer.
2
Banyak pihak yang beranggapan bahwa melakukan mitigasi secara permanen melalui penghematan pemanfaatan bahan bakar fosil, teknologi bersih, dan penggunaan energi terbarukan, lebih penting daripada melalui upaya penyimpanan karbon (carbon sink). Hal ini dikarenakan hutan hanya menyimpan karbon untuk waktu yang terbatas (stock). Ketika terjadi penebangan hutan, kebakaran atau perubahan tata guna lahan, karbon tersebut akan dilepaskan kembali ke atmosfer. Namun hal ini cukup sulit untuk dilaksanakan melihat kemajuan industri, teknologi dan gaya hidup saat ini semakin pesat yang menuntut pemanfaatan energi semakin besar. Sehingga peranan hutan sebagai penyerap karbon mulai menjadi sorotan pada saat bumi dihadapkan pada persoalan efek rumah kaca sebagai pemicu pemanasan global tersebut. Dalam konteks Indonesia, menurut data resmi Statistik Kehutanan Indonesia tahun 2010, kerusakan hutan tahun 2009 mencapai sekitar 0,83 juta ha. Angka kerusakan ini terus menurun dibanding dengan angka kerusakan hutan tahuntahun sebelumnya dengan rentan periode waktu tahun 1990-1996 kerusakan hutan mencapai 3,15 juta ha/th, tahun 2000-2003 mencapai 1,08 juta ha/th, tahun 20032006 mencapai 1,17 juta ha/th, sampai pada tahun 2006-2009 kerusakan hutan menurun mencapai mencapai luasan 0,83 juta ha/th. Upaya keras penurunan tingkat kerusakan hutan tersebut dipertegas dengan komitmen pemerintah dalam upaya penurunan emisi. Menindaklanjuti komitmen tersebut, pemerintah telah menerbitkan Perpres No 61 tahun 2011 tentang Rencana Aksi Nasional Penurunan Emisi Gas Rumah Kaca sebagai dokumen kerja yang berisi upaya-upaya untuk menurunkan emisi gas rumah kaca di
3
Indonesia. Dari semua sektor terkait, kehutanan mendapatkan porsi terbesar. Tanggung jawab Kementerian Kehutanan dalam penurunan emisi meliputi kelompok bidang kehutanan dan lahan gambut. Rencana aksi bidang tersebut diarahkan kepada pengendalian kebakaran hutan dan lahan, pengelolaan sistem jaringan dan tata air, rehabilitasi hutan dan lahan, pembangunan Hutan Tanaman Industri (HTI), pembangunan Hutan Rakyat (HR), pemberantasan illegal logging, pencegahan deforestasi, dan pemberdayaan masyarakat (Rochmayanto, 2012). Sebagai salah satu aktivitas dari aksi ini, hutan rakyat diharapkan mampu memberikan kontribusi dalam hal penurunan emisi. Hal ini didukung dengan perkembangan luas hutan rakyat di Indonesia yang cukup besar, yaitu 3.589.343 ha (Ditjen RLPS 2009). Namun demikian fungsi hutan rakyat yang selama ini dipahami adalah kemampuannya dalam menghasilkan kayu komersial dan dapat meningkatkan pendapatan masyarakat dalam hal ini petani. Fungsi hutan rakyat dalam konteks mitigasi perubahan iklim masih belum banyak dipahami oleh berbagai pihak. Dengan demikian penting adanya program-program dalam rangka meningkatkan pengetahuan petani dalam memahami mitigasi perubahan iklim yang kompleks. Kemampuan hutan dalam menyerap karbon (carbon sequestration) selain bermanfaat secara ekologis, juga memberi manfaat secara ekonomis. Dalam hal ini stok karbon yang tersimpan dalam hutan dapat dijual pada pasar karbon global. Sehingga berpotensi dalam upaya peningkatan kesejahteraan masyarakat tani hutan melalui peningkatan pendapatan dengan menjual stok karbon hutan
4
tersebut. Hutan rakyat dipandang cukup berpeluang untuk terlibat dalam perdagangan karbon, melihat fakta di lapangan, hutan rakyat relatif aman dari gangguan baik itu gangguan alam (tanah longsor, kebakaran hutan) maupun berupa kerusakan akibat ulah manusia sendiri, karena jelas kepemilikannya dan adanya pemeliharaan yang cukup intensif. Maraknya isu peningkatan emisi GRK yang dihasilkan oleh aktivitas industri negara-negara maju yang mengakibatkan perubahan iklim global, mendorong perkembangan pasar karbon global. Negara-negara maju yang emisi karbonnya di atas ambang batas yang semestinya, diwajibkan untuk menurunkan emisinya melalui berbagai mekanisme, yang salah satunya adalah dengan membeli kredit karbon. Berbagai mekanisme perdagangan karbon yang diterbitkan baik dari pihak organisasi, pemerintah, maupun swasta dalam upaya penurunan emisi gas rumah kaca, dengan perangkat aturan-aturan yang harus dipatuhi oleh semua pihak yang melakukan transaksi jual beli kredit karbon. Studi Bank Dunia tahun 2006 untuk International Emission Trading Association (IETA), menunjukkan bahwa proyek berbasis perdagangan emisi meningkat dengan cepat, mendekati 107 juta ton pada tahun 2004, meningkat 38% pada tahun berikutnya. Pangsa volume pengurangan emisi dibeli oleh berbagai negara dari Januari 2004 sampai April 2005 yang menyatakan bahwa sebagian besar permintaan CDM adalah dari Uni Eropa dan Jepang (Konferensi PBB tentang Perdagangan dan Pembangunan, 2006). Penjual karbon terbesar dari proyek pengurangan emisi adalah Asia (45% dari Januari 2004 sampai April 2005). Amerika Latin posisi kedua dengan 35% dari volume disediakan. Proyek
5
di negara-negara OECD, yang mencakup proyek Joint Implementation di Selandia Baru dan kegiatan sukarela di AS, pada peringkat ketiga sebesar 14%, sedangkan negara dengan ekonomi transisi peringkat keempat sebesar 6% (Sada, 2007). Salah satu mekanisme perdagangan karbon yang melibatkan partisipasi negara berkembang adalah Clean Development Mechanism (CDM) di bawah payung Protokol Kyoto. Dalam mekanisme ini, memberi peluang bagi negaranegara berkembang yang masih memiliki hutan sebagai carbon sink untuk ikut terlibat dalam pasar perdagangan karbon. Indonesia adalah salah satu negara berkembang yang meratifikasi Protokol Kyoto pada tanggal 3 Desember 2004. Meskipun CDM merupakan proyek transfer penyerapan kredit karbon dari negara-negara berkembang kepada negara-negara industri, CDM memiliki banyak tahapan kegiatan dalam prakteknya. Hal ini dikarenakan aturan CDM yang sangat ketat. Proyek CDM hanya memungkinkan proyek aforestasi dan reforestasi, dan memiliki pedoman yang kaku tentang bagaimana pemantauan dan verifikasi cadangan karbon di lapangan. Selain itu, proyek CDM memerlukan biaya transaksi yang tinggi dalam hal membayar pihak ketiga untuk verifikasi stok karbon dan dalam hal mencari calon investor untuk membeli kredit karbon dalam proyek CDM tersebut. Studi oleh Murphy (2006) dalam Jindral et al. (2007) memperkirakan bahwa rata-rata proyek CDM membutuhkan tambahan biaya sebesar $ 200.000 yang harus dikeluarkan agar disetujui sebagai proyek CDM. Karena setiap proyek juga harus disetujui oleh negara tuan rumah, keterlambatan dalam mendapatkan persetujuan ini lebih lanjut karena biaya transaksi yang tinggi. Sebagai akibatnya, sangat sulit dan mahal bagi proyek-proyek kehutanan
6
masyarakat untuk menjual penyerapan karbon kredit melalui CDM (Jindral et al., 2007 ). Sebaliknya, pasar karbon sukarela (voluntary carbon market), seperti Chicago Climate Exchange (CCX) yang merupakan pasar karbon sukarela terbesar dunia, menawarkan alternatif menarik. Aturan untuk menjual kredit karbon lebih sederhana, mengikut sertakan proyek-proyek pencegahan deforestasi, dan proyek paling kecil dan menengah tidak perlu menyewa pengukur pihak ketiga. Tidak seperti CDM, proyek CCX ini
melakukan proses pendaftaran
sederhana dengan tidak ada persyaratan yang berbeda bagi negara tuan rumah. CCX merupakan salah satu pasar karbon sukarela yang memungkinkan perdagangan kredit karbon dari penggunaan lahan dan proyek-proyek kehutanan. CCX menawarkan kesempatan yang layak bagi proyek-proyek kehutanan masyarakat untuk menjual kredit karbon mereka di mana tidak dilakukan dalam Mekanisme Pembangunan Bersih (CDM) Protokol Kyoto. Melihat fenomena berkembangnya pasar karbon sukarela dengan aturan yang sederhana tersebut, maka keberadaan hutan rakyat cukup berpeluang untuk ikut berpartisipasi dalam pengurangan emisi GRK di atmosfer melalui proyek perdagangan karbon. Namun masih kurangnya perhatian terhadap potensi kandungan karbon di hutan rakyat, maka kiranya sangat perlu penelitianpenelitian guna mengetahui potensi kandungan karbon di hutan rakyat agar bisa terlibat dalam pasar perdagangan karbon. Demikian halnya dengan penelitian ini yang dilakukan pada hutan rakyat yang ada di Kelurahan Labuan yang diharapkan dapat terlibat dalam perdagangan karbon global.
7
1.2 Rumusan Masalah Hutan rakyat memiliki potensi sebagai cadangan karbon dan dapat berperan dalam mitigasi perubahan iklim di sektor kehutanan. Hutan rakyat selain berimplikasi pada pendapatan rakyat, secara ekologis juga memiliki peranan dalam mengurangi emisi dan dampak perubahan iklim. Jenis tanaman kehutanan yang umumnya diusahakan pada hutan rakyat adalah jenis-jenis tanaman komersial, seperti halnya hutan rakyat yang dibangun di Kelurahan Labuan, Kecamatan Wakorumba Utara, Kabupaten Buton Utara, Propinsi Sulawesi Tenggara, masyarakat memilih untuk menanam jati pada lahan milik mereka. Jati merupakan jenis tanaman lokal yang dominan baik di hutan alam maupun dibudidayakan pada hutan rakyat di Sulawesi tenggara. Jati (Tectona grandis L.f.) dikenal sebagai kayu komersial berkualitas tinggi. Saat ini jati telah dikenal secara luas dan dikembangkan oleh pemerintah, swasta, dan petani. Tanaman ini telah banyak dikembangkan, bahkan di beberapa tempat menjadi bagian yang tidak terpisahkan dari kehidupan tradisional masyarakat. Di Indonesia, tanaman jati secara khusus berpotensi meningkatkan pendapatan dan kesejahteraan petani, pedagang, dan industri pengolahan. Secara umum berperan dalam pembangunan daerah dan nasional. Tanaman jati memiliki masa tebang yang panjang sehingga memiliki fungsi lingkungan dalam pengaturan tata air (hidrologi) dan iklim lokal.
8
Berdasakan latar belakang dan rumusan masalah tersebut, maka dalam penelitian ini ada beberapa pertanyaan masalah yang hendak dijawab. Berikut adalah pertanyaan masalah dalam penelitian ini: 1.
Bagaimana proporsi kandungan biomassa dan karbon pada bagian-bagian (organ) tanaman jati (Tectona grandis) di hutan rakyat?
2.
Bagaimana bentuk persamaan allometrik untuk mengestimasi potensi biomassa dan karbon tanaman jati yang dibuat dalam penelitian ini?
3.
Apakah terdapat perbedaan antara hasil estimasi biomassa dan karbon tanamann jati dari model persamaan biomassa dan karbon pohon yang dikembangkan dalam penelitian ini dengan model persamaan biomassa dan karbon pohon jati yang dikembangkan sebelumnya?
4.
Bagaimana peluang jati yang tumbuh di hutan rakyat dalam perdagangan karbon?
1.3 Tujuan Penelitian Tujuan penelitian ini adalah sebagai berikut: 1.
Membuat model persamaan allometrik biomassa dan karbon tanaman jati di hutan rakyat.
2.
Untuk mengetahui proporsi simpanan biomassa dan karbon pada bagianbagian (organ) tanaman jati yang tumbuh di hutan rakyat.
3.
Untuk mengetahui simpanan biomassa dan karbon pada tanaman jati di hutan rakyat dari berbagai persamaan allometrik yang telah ada.
4.
Untuk mengkaji peluang hutan rakyat jenis jati dalam perdagangan karbon.
9
1.4 Manfaat Penelitian Penelitian tentang inventarisasi biomassa dan karbon jati yang dilakukan di hutan rakyat ini diharapkan dapat memberi manfaat baik dari aspek akademis maupun manfaat terhadap lingkungan. Beberapa manfaat yang diharapkan dapat diperoleh dari penelitian ini adalah sebagai berikut: 1.
Diperoleh persamaan allometrik biomassa dan karbon tanaman jati di hutan rakyat.
2.
Dapat mengetahui potensi simpanan biomassa dan karbon pada organ tanaman jati di hutan rakyat.
3.
Dapat mengetahui potensnsi biomassa dan kandungan karbon yang tersimpan pada tanaman jati di hutan rakyat.
4.
Memberikan informasi mengenai peran masyarakat terhadap mitigasi perubahan iklim global dan peluang masyarakat dalam sistem perdagangan karbon global.
5.
Dapat dijadikan acuan dalam melakukan estimasi potensi biomassa dan kandungan karbon tanaman.
6.
Sebagai masukan kepada pemerintah setempat akan pentingnya dukungan kepada masyarakat dalam membangun dan mengembangkan hutan rakyat sebagai langkah meningkatkan kesejahteraan hidup masyarakat dan upaya mitigasi perubahan iklim global.