I. PENDAHULUAN
1.1.
Latar Belakang Perubahan iklim global merupakan isu dunia yang kini menjadi perhatian
banyak kalangan baik di dalam negeri maupun di dunia internasional. Selaras dengan isu tersebut, perhatian masyarakat internasional terhadap perkembangan masalah deforestasi dan degradasi hutan semakin menguat. Perhatian masyarakat internasional terlihat dari berkembangnya forum-forum internasional dengan beragam kebijakan dan program yang pada intinya bertujuan untuk mencegah, mengurangi dan memperbaiki kerusakan hutan dan lingkungan sebagai upaya mengurangi, memperlambat dan bahkan menstabilkan laju perubahan iklim global pada threshold yang aman bagi umat manusia sedunia. Menghindari deforestasi dan degradasi hutan merupakan salah satu bagian untuk mengurangi emisi CO2. Hal ini karena hutan memiliki pengaruh penting pada iklim (Contreras-Hermosilla et al, 2007). Berkurangnya tutupan hutan secara langsung mempengaruhi tingkat CO2 (carbon dioxide) di atmosfir, yang diatur melalui penyerapan alamiah tanaman dan pepohonan. Jika jumlah tanaman dan pepohonan yang hidup berkurang (akibat deforestasi), maka jumlah CO2 yang diserap akan berkurang (Ross, 1998 dalam Alimov, 2002). Berdasarkan
Forest
Resources
Assessment,
Food
and
Agriculture
Organisation (2005), total luas hutan dunia pada tahun 2005 ditaksir berada di bawah 4 miliar hektar atau 30% dari total luas lahan dunia atau 0.6 ha hutan per kapita. Deforestasi, terutama akibat konversi hutan untuk lahan pertanian berlanjut dengan laju yang sangat tinggi sebesar 13 juta ha per tahun. Pada waktu yang bersamaan, penanaman hutan, restorasi lanskap (landscape restoration) dan ekspansi alamiah hutan secara signifikan menurunkan kehilangan hutan bersih (net
2 loss of forest area). Kehilangan hutan global pada periode 2000-2005 ditaksir sebesar 7.3 juta ha per tahun, menurun dari 8.9 juta ha per tahun pada periode 19902000. Amerika Selatan menderita kehilangan hutan terbesar, yang pada periode tahun 2000-2005 sekitar 4.3 juta ha per tahun, diikuti oleh Afrika, yang kehilangan sebesar 4.0 ha per tahun. Negara-negara Amerika Utara, Amerika Tengah dan Oceania masing-masing kehilangan hutan sekitar 350 000 ha per tahun, sementara Asia, yang kehilangan hutan sebesar 800 000 ha per ha tahun 1990an, dilaporkan mengalami penambahan hutan sebanyak 1 juta ha per tahun pada periode 2000 – 2005, terutama akibat aforestasi skala besar di Cina. Luas hutan di Eropa terus meningkat meskipun pada tingkat yang lebih rendah dibanding tahun 1990an. Indonesia berada pada urutan ketiga setelah Brasilia dan Zaire dalam kekayaan hutan tropis, yakni memiliki 10% dari hutan tropis yang tersisa di dunia (Sunderlin dan Resosudarmo, 1997). Berdasarkan hasil penafsiran citra landsat liputan 2005/2006 menunjukkan bahwa luas lahan berhutan di Indonesia adalah 98.5 juta ha atau 52.4 %, dan luas lahan tidak berhutan adalah 85.8 juta ha atau 45.7%; tidak tersedia data (karena tertutup awan) adalah 3.6 juta ha (1.9%). Dari total luas lahan berhutan tersebut, luas lahan berhutan yang terbesar berada di Papua seluas 33.2 juta ha, kemudian disusul di Kalimantan 30.4 juta ha, dan Sumatra 15.8 juta ha. Sedangkan luas lahan berhutan terkecil berada di Bali-Nusa seluas 2.5 juta ha, kemudian disusul di Jawa 3.1 juta ha, Maluku 4.7 juta ha, dan Sulawesi 8.7 juta ha (Tabel 1). Dari hasil perhitungan berdasarkan hasil penafsiran citra landsat diketahui bahwa laju deforestasi pada periode 1990 – 1996 mencapai 1.9 juta ha namun kemudian meningkat tajam menjadi 3.5 juta ha pada periode 1996 – 2000. Pada
3 periode 2000 – 2003 laju deforestasi menurun tajam menjadi 1.1 juta ha namun kemudian meningkat kembali menjadi 1.2 juta ha pada periode 2003 – 2006 (Pusat Inventarisasi dan Perpetaan Kehutanan, 2008). Perhitungan laju deforestasi periode 2006 - 2009 sedang dalam penyelesaian namun diperkirakan tidak banyak berubah jika tidak terdapat perubahan signifikan dalam kebijakan pemanfaatan sumberdaya hutan. Panayotou (1993) menyatakan permasalahannya adalah pembuat kebijakan biasanya mempertimbangkan manfaat jangka pendek (shortterm benefits) dari konversi hutan dan bukan biaya jangka panjang (long-term costs). Permasalahan yang diidentidikasi dan diatasi hanya merupakan symptoms masalah bukan akar masalah (underlying causes) dan pengabaian biaya dan manfaat jangka panjang mencegah upaya perumusan kebijakan yang efektif. Tabel 1. Luas Lahan Berhutan dalam Kawasan Hutan dan Areal Penggunaan Lain di Indonesia, 2006 No.
1. 2. 3. 4. 5. 6. 7.
Pulau/Kepulauan
Sumatra Jawa Kalimantan Sulawesi Bali-Nusa Maluku Papua Total
Kawasan Hutan (juta ha) 14.3 2.2 27.4 7.8 1.4 4.5 32.6 90.2
Luas Lahan Berhutan Areal Total Penggunaan Lain (juta ha) (juta ha) 1.5 15.8 1.0 3.2 3.1 30.5 1.0 8.7 1.0 2.5 0.2 4.7 0.6 33.2 8.4 98.6
(%) 16.1 3.2 30.9 8.8 2.5 4.8 33.7 100.0
Sumber: Pusat Inventarisasi dan Perpetaan Kehutanan, 2008
Dampak deforestasi dan degradasi hutan terhadap perubahan iklim global merupakan eksternalitas lintas batas (transboundary externality). Perbedaan utama antara eksternalitas domestik dan lintas batas adalah eksternalitas domestik dapat diinternalkan oleh pemerintah yang bersangkutan, karena bukan merupakan kasus rembesan global (Hanley et al, 1997 dalam Alimov, 2002). Sedangkan eksternalitas
4 lintas batas, sebaliknya, pemerintah dari negara pencemar tidak memiliki insentif untuk menanggung seluruh biaya pengurangan pencemaran, karena hanya menikmati sebagian dari manfaat global yang dihasilkan. Jika dilakukan, maka negara-negara lain akan menjadi free-rider, menikmati manfaat pengurangan pencemaran oleh pencemar tanpa kontribusi menurunkan. Solusi yang didasarkan pada prinsip membayar (polluter pays principle) tidak dapat diterapkan tanpa kekuasaan supranasional (Alimov, 2002). Implikasinya, masalah deforestasi dan degradasi hutan harus diatasi melalui komunitas internasional. Sebagai upaya komunitas internasional, Konferensi Tingkat Tinggi (KTT) Bumi Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) diselenggarakan pada tahun 1992 di Rio de Janeiro, Brasil. Konferensi ini berhasil mengidentifikasi deforestation, desertification, ozone depletion, atmospheric CO2 emissions dan biodiversity sebagai isu lingkungan global serta menghasilkan kerangka kelembagaan UNFCCC (United Nations Framework Convention on Climate Change). Pada 1995, konferensi UNFCCC ke 3 diselenggarakan di Kyoto, Jepang. Terkait dengan isu atmospheric CO2 emissions, dalam konferensi ini COP (Convention on Parties) negara-negara maju (annex 1) menghasilkan Kyoto Protocol antara lain menetapkan target pengurangan emisi karbon bagi negara-negara maju melalui CDM (Clean Development Mechanism). Pada tahun 2007, konferensi UNFCCCC ke 13 diselenggarakan di Bali, Indonesia. Terkait dengan isu deforestation dan desertification, dalam konferensi ini COP negara-negara berkembang (non-annex 1) mengusulkan REDD (Reducing Emission from Deforestation and Forest Degradation in Developing Countries). Pada tahun 2009, konferensi ke 15 diselenggarakan di Kopenhagen (Denmark). Dalam konferensi ini, Indonesia melalui kerangka REDD mendeklarasikan target
5 pengurangan emisi CO2 sebesar 26% hingga tahun 2020, dan menetapkan subsekor kehutanan berkontribusi menurunkan emisi sebesar 14%. Upaya mewujudkan target tersebut akan berdampak terhadap peningkatan kinerja perekonomian, khususnya produksi tanaman pangan, perkebunan, kehutanan dan pertambangan. Kenyataan menunjukkan peningkatan produksi tanaman pangan, perkebunan dan kehutanan pada umumnya masih bergantung pada perluasan areal dibanding peningkatan produktivitas lahan per ha. Khususnya tanaman pangan (padi), hasil penelitian menunjukkan selama 20 tahun terakhir produktivitasnya hampir tidak mengalami peningkatan sehingga menjustifikasi bahwa kenaikan produksi padi disebabkan oleh penambahan areal (Jayawinata, 2005). Sedangkan areal pertambangan yang potensial umumnya berada dalam kawasan hutan primer, bahkan merupakan kawasan hutan yang dilindungi.
1.2.
Perumusan Masalah Kenyataan menunjukkan bahwa perekonomian dunia sedang berubah yakni
melangkah menghadapi setidaknya tiga fenomena perubahan. Pertama adalah fenomena perubahan yang ditandai oleh semakin terintegrasinya pasar modal dan keuangan serta perdagangan global. Perubahan kondisi moneter internasional (international monetary changes) ditransmisikan ke dalam perekonomian suatu negara melalui sistem finansial dan perdagangan internasional. Dalam kasus yang ekstrim, hubungan ketergantungan tersebut ditunjukkan oleh adanya krisis di suatu negara merembet ke negara lain. Krisis European Exchange Rate Mechanism (ERM) tahun 1992-1993, yang dipicu oleh penarikan mata uang Inggris (Poundsterling) dan Italia (Lira) dari sistem mata uang Euro, diikuti oleh krisis mata uang dan perbankan di Swedia, Norwegia dan Finlandia (Sugema, 2000).
6 Krisis hutang menjadi krisis mata uang dan kemudian menjadi krisis perbankan di Meksiko merembat ke Argentina dan Brasilia. Krisis mata uang Thailand, Baht, merambat menjadi krisis mata uang Rupiah (Indonesia), Ringgit (Malaysia), Won (Korea Selatan), dan pada tingkat tertentu, peso (Filipina) (Sugema, 2000). Krisis kredit macet perumahan berisiko tinggi (subprime mortgage) di Amerika Serikat menyebabkan krisis keuangan global dan pertumbuhan ekonomi dunia yang negatif (kecuali Cina, India dan Indonesia). Krisis ekonomi yang terjadi di Yunani tahun 2010 telah merambat ke Portugal, dan diperkirakan akan menyusul ke Spanyol. Krisis yang terjadi di negara-negara lain dapat mempengaruhi perekonomian Indonesia jika krisis yang terjadi berpengaruh signifikan di negara-negara partner utama dagang Indonesia seperti Uni Eropa, dan pengaruhnya akan semakin besar jika krisis juga merambat ke Amerika Serikat dan Jepang, yang juga merupakan partner utama dagang Indonesia. Kedua adalah fenomena perubahan yang ditandai oleh lompatan kenaikan harga minyak mentah dunia (MMD). Lompatan kenaikan harga MMD disajikan pada Gambar 1. Pada Gambar 1 terlihat bahwa harga MMD terus mengalami lompatan kenaikan. Lompatan kenaikan harga MMD yang pertama terjadi pada pertengahan tahun 1970-an dari sekitar USD 3 per barrel menjadi sekitar USD 10 per barrel. Lompatan kenaikan harga MMD yang kedua terjadi pada awal tahun 1980-an dari sekitar USD 15 per barrel menjadi sekitar USD 40 per barrel. Pada pertengahan tahun 1980-an, harga MMD mengalami penurunan menjadi sekitar USD 20 per barrel sebelum meningkat kembali pada awal tahun 1990-an menjadi sekitar USD 30 per barrel dan menurun menjadi sekitar USD 10 per barrel menjelang akhir tahun 1990-an. Lompatan ketiga mulai terjadi tahun 2000-an. Sejak tahun 2000 harga MMD cenderung terus meningkat. Pada awal tahun 2000
7 harga MMD meningkat kembali menjadi sekitar USD 30 per barrel dan sempat menurun menjadi sekitar USD 20 per barrel sebelum akhirnya terus meningkat hingga menjadi sekitar USD 90 per barrel pada akhir tahun 2000-an.
Sumber: Energy Information Administration Gambar 1. Perkembangan Harga Minyak Mentah Dunia, 1970 - 2008
Ketiga adalah isu perubahan iklim global. Isu perubahan iklim dicirikan oleh empat tuntutan peubahan, yaitu: (1) perbaikan teknologi yang ramah lingkungan, (2) peningkatan produktivitas lahan, (3) pembatasan pemanfaatan hutan alam, khususnya di negara-negara berkembang, dan (4) peningkatan perluasan areal hutan tanaman pada areal-areal yang terdegradasi, atau bahkan konversi lahan nonhutan menjadi hutan. Tuntutan perbaikan teknologi ramah lingkungan ditekankan untuk seluruh aktivitas ekonomi. Dalam kasus energi muncul teknologi pemrosesan nabati sebagai energi pengganti (fosil), intensifikasi pengembangan teknologi pemanfaatan
8 aliran air dan sinar matahari sebagai penghasil energi alternatif. Dalam kasus pengelolaan hutan alam muncul teknologi ramah lingkungan, RIL (Reduced Impact Logging). Tiga fenomena perubahan tersebut berinteraksi menentukan besaran harga dan output perekonomian. Konsekuensinya, masing-masing negara harus melaksanakan langkah-langkah penyesuaian (adjustment) pada seluruh lini sektor ekonomi. Dengan kata lain, perekonomian dunia sedang mengalami proses-proses penyesuaian bukan saja berkaitan dengan pasar dunia yang semakin terintegrasi dan lompatan kenaikan harga MMD namun juga berkaitan dengan isu perubahan iklim. Bagaimana dampak perubahan yang terjadi terhadap masa depan perekonomian belum banyak dipahami. Hal ini menyarankan pentingnya memahami bukan hanya pengaruh kebijakan makroekonomi dan perubahan faktor eksternal seperti suku bunga, nilai tukar, kebijakan tarif dan non-tarif, serta harga MMD terhadap pertumbuhan ekonomi, namun penting juga memahami dampak pertumbuhan ekonomi terhadap perubahan iklim, termasuk deforestasi dan degradasi hutan. Kinerja makroekonomi Indonesia periode 1990 – 2006 dengan krisis ekonomi yang terjadi pada periode 1997 – 1999 memberikan bukti empiris adanya keterkaitan antara perubahan faktor eksternal, kinerja makroekonomi, dan deforestasi dan degradasi hutan.
Gambar 2 menyajikan pertumbuhan Produk
Domestik Bruto (PDB) periode 1990 – 2006. Dari Gambar 2 terlihat bahwa pada periode 1990 – 1996 ekonomi Indonesia mengalami pertumbuhan tinggi yaitu di atas 7% per tahun. Namun pada pertengahan tahun 1997 (Juli), krisis moneter regional menguncang perekonomian Indonesia dan menyebabkan pertumbuhan ekonomi Indonesia tahun 1997 menurun drastis menjadi 4.7%. Setahun kemudian yakni tahun 1998, ekonomi Indonesia mengalami pertumbuhan negatif sebesar
9 13.1%. Pada tahun 1999, ekonomi Indonesia mengalami perbaikan dan tumbuh sebesar 0.8% yang kemudian tahun 2000 meningkat menjadi 4.9%. Pada tahun 2003, ekonomi Indonesia mengalami pertumbuhan sebesar 4.7% dan kemudian meningkat menjadi 5.5% tahun 2006.
Sumber: Badan Pusat Statistik Gambar 2. Pertumbuhan Produk Domestik Bruto Indonesia, 1990-2006
Diketahui bahwa pada periode 1990 – 1996 di mana pertumbuhan ekonomi mencapai 7% (Gambar 2), laju deforestasi mencapai 1.9 juta ha (Gambar 3). Laju deforestasi kemudian meningkat tajam menjadi 3.5 juta ha pada periode 1996 – 2000 (Gambar 3), yang merupakan periode tahun di mana krisis ekonomi terjadi (1997 – 1999) (Gambar 2). Namun laju deforestasi kemudian menurun tajam menjadi 1.1 juta pada periode 2000 – 2003 (Gambar 3). Pada periode 2000 – 2003, kinerja makroekonomi mengalami perbaikan dan PDB mengalami pertumbuhan sekitar 4% (Gambar 2). Pada periode 2003 – 2006, laju deforestasi kembali meningkat menjadi 1.2 juta ha (Gambar 3) dan pertumbuhan ekonomi pada periode tersebut mencapai sekitar 5% (Gambar 2).
10
Sumber: Pusat Inventarisasi dan Perpetaan Kehutanan Gambar 3. Perkembangan Laju Deforestasi di Indonesia, 1990 - 2006
Perkembangan degradasi hutan akibat tebang pilih ditunjukkan oleh luas logged over area (LOA) hutan primer. Luas LOA hutan primer bergantung pada luas konsesi hutan alam yang diusahakan. Semakin luas konsesi hutan alam yang diusahakan semakin luas LOA yang akan ditimbulkan. Logged over area hutan primer terdegradasi dengan kategori berat dalam arti potensi hutannya tidak layak lagi diusahakan umumnya ditinggalkan oleh pemegang konsensi. Pada umumnya perusahaan hutan alam tidak meninggalkan areal kosensi hutannya selama potensi hutannya masih layak diusahakan kecuali izinnya dicabut pemerintah karena melanggar peraturtan. Dari Gambar 4 diketahui bahwa pada tahun 1990, luas konsesi hutan alam mencapai 58.8 juta ha dengan produksi kayu bulat sebesar 25.8 juta m3 tapi tahun 1996 menurun menjadi 54.0 juta ha dengan produksi kayu bulat sebesar 25.3 juta m3. Pada tahun 2000 luas konsensi hutan alam menurun tajam menjadi 39.1 juta ha dengan produksi kayu bulat sebesar 3.4 juta m3. Penurunan produksi kayu bulat pada tahun 2000 di samping disebabkan oleh penurunan luas konsesi juga disebabkan oleh kebijakan softlanding, yang berlaku hingga sekarang. Pada tahun
11 2003 luas konsensi hutan alam kemudian menurun lagi menjadi 27.8 juta dengan produksi kayu bulat sebesar 3.7 juta m3. Pada tahun 2006 luas konsesi hutan alam meningkat sedikit dari tahun 2003 menjadi 28.7 juta ha dengan produksi kayu bulat sebesar 5.4 juta m3. Peningkatan luas konsesi ini menunjukkan terdapat areal konsesi tidak terkelola yang masih produktif yang kemudian dialihkan kepada pemegang konsesi yang bersedia mengambilalih pengelolaan hutannya. Penurunan luas konsesi hutan alam berarti peningkatan luas konsesi tidak terkelola. Peningkatan luas konsesi tidak terkelola menyebabkan hutan menjadi open access, yang pada gilirannya menyebabkan hutan semakin terdegradasi. Luas konsesi tidak terkelola dapat dikategorikan ke dalam dua kelompok, yaitu: (1) luas konsesi tidak terkelola yang masih produktif, dan (2) luas konsesi tidak terkelola yang tidak produktif atau LOA yang terdegradasi berat. Dengan menggunakan nilai dasar tahun 1990, dari Gambar 4 diketahui bahwa luas konsesi tidak terkelola tahun 1996 mencapai 4.8 juta ha tapi kemudian meningkat menjadi 19.7 juta ha tahun 2000. Periode 1996 – 2000 merupakan periode terjadinya krisis (1997 1999). Pada tahun 2003 luas konsesi tidak terkelola meningkat lagi menjadi 31.0 juta ha dan kemudian menurun menjadi 30.1 juta ha tahun 2006 (Gambar 4). Selama periode krisis (1997 – 1999) (Gambar 2), terlihat bahwa luas konsesi hutan menurun tajam atau luas konsensi hutan tidak terkelola meningkat tajam (Gambar 4). Peningkatan luas konsesi hutan tidak terkelola menyebabkan luas hutan open access semakin meningkat. Peningkatan luas hutan open access mendorong peningkatan laju deforestasi (Gambar 3) dan degradasi hutan. Dengan kata lain, kondisi krisis menurunkan output konsesi hutan dan penurunan outputnya berkontribusi terhadap penurunan pertumbuhan ekonomi. Oleh karenanya pertumbuhan ekonomi Indonesia menjadi lebih tinggi jika tanpa PDB
12 (Produk Domestik Bruto) kehutanan dan industri kayu dan hasil hutan lainnya (HHL), karena keduanya mengalami pertumbuhan yang negatif, terutama setelah tahun 2004 (Gambar 5).
Sumber: Direktorat Bina Pengembangan Hutan Alam Gambar 4. Perkembangan Luas Areal Hak Pengusahaan Hutan Alam di Indonesia, 1990 – 2006 Di subsektor kehutanan, pengurangan emisi CO2 dapat diwujudkan dengan mempertahankan dan mengkonservasi hutan alam yang tersisa dan/atau meningkatkan hutan tanaman yang ada dengan mereboisasi kawasan hutan yang terdegradasi.
Target
pengurangan
CO2
dengan
mempertahankan
dan
mengkonservasi hutan alam akan mengurangi ekspansi areal, termasuk ekspansi areal pertanian seperti untuk pangan, perkebunan dan juga kehutanan 1 , dan karenanya juga akan mengurangi kontribusinya terhadap pertumbuhan ekonomi. Kaimowitz dan Angelsen (1998) menyatakan terdapat kesepakatan yang luas bahwa ekspansi areal penananam (cropped area) serta penggembalaan (pasture) merupakan sumber utama deforestasi. Ekspansi penggembalaan, terutama 1
Sesuai INPRES No. 10/2011, moratorium izin baru pemanfaatan hutan alam (primer) dikecualikan untuk permohonan yang telah menperoleh persetujuan prinsip dari Menteri Kehutanan; pelaksanaan pembangunan nasional yang vital, yaitu: geothermal, minyak dan gas bumi, ketenagalistrikan, lahan untuk padi dan tebu; perpanjangan izin sepanjang izin di bidang usahanya masih berlaku; dan restorasi ekosistem.
13 penting di negara-negara Amerika Latin. Tetapi sebaliknya tidak terdapat kesepakatan yang luas mengenai pembalakan hutan (logging), meskipun pembalakan hutan kelihatan sebagai sumber langsung deforestasi dalam konteks tertentu dan memainkan peran tidak langsung dalam konteks yang lain.
Sumber: Badan Pusat Statistik Gambar 5. Pertumbuhan Produk Domestik Bruto Indonesia, Kehutanan dan Industri Kayu dan Hasil Hutan Lainnya Harga Konstan 2000, 2002 – 2007
Ekspansi areal atau deforestasi dan degradasi hutan alam tidak terlepas dari pengaruh kebijakan makroekonomi dan faktor eksternal. Berkaitan dengan faktor
14 eksternal hutan, Wunder dan Verbist (2003) menyatakan bahwa hipotesis kunci penelitian pengaruh eksternal hutan (tropis) adalah bahwa apa yang terjadi pada hutan lebih disebabkan oleh kejadian di luar hutan dibanding di dalam hutan sendiri. Dengan kata lain, dampak sektor lain sering lebih penting dibanding misalnya dampak undang-undang bidang kehutanan, proyek penanaman pohon secara partisipatif atau program pendidikan lingkungan. Secara tersirat pandangan Wunder dan Verbist ini lebih menonjolkan besarnya pengaruh luar sehingga praktek pengelolaan hutan secara berkelanjutan tidak dapat dipraktekkan secara konsisten (atau berdampak kecil). Berbeda dengan Wunder dan Verbist, penelitian ini mendasarkan pada pertanyaan: bagaimana memodelkan mekanisme transmisi pengaruh eksternal hutan dan menganalisis secara simultan dampak deforestasi dan degradasi hutan yang ditimbulkan? Untuk menghindari kompleksitas permasalahan, pengaruh eksternal hutan dalam penelitian ini dibatasi terdiri dari: (1) kebijakan makroekonomi, dan (2) faktor eksternal. Perumusan masalah penelitian secara rinci dinyatakan dalam bentuk dua pertanyaan: 1. Bagaimana dan seberapa besar kebijakan makroekonomi mempengaruhi deforestasi dan degradasi hutan, serta kebijakan mana yang signifikan mempengaruhi? 2. Bagaimana dan seberapa besar perubahan faktor eksternal mempengaruhi deforestasi dan degradasi hutan, serta faktor eksternal mana yang signifikan mempengaruhi?
15 1.3.
Tujuan Penelitian Secara umum penelitian ini bertujuan untuk menganalisis dampak kebijakan
makroekonomi dan faktor eksternal terhadap deforestasi dan degradasi hutan. Secara khusus penelitian ini bertujuan untuk: 1. Membangun
model
ekonometrika
sistem
persamaan
simultan
yang
mengintegrasikan faktor-faktor makroekonomi dan eksternal ke dalam aspek mikroekonomi deforestasi dan degradasi hutan. 2. Menganalisis dampak kebijakan makroekonomi dan faktor eksternal terhadap deforestasi dan degradasi hutan.
1.4.
Manfaat Penelitian Secara umum hasil penelitian ini diharapkan bermanfaat sebagai bahan
masukan kebijakan pengendalian deforestasi dan degradasi hutan. Secara khusus hasil penelitian ini diharapkan bermanfaat sebagai bahan masukan: 1. Kebijakan mitigasi dampak deforestasi dan degradasi hutan kebijakan makroekonomi dan faktor eksternal. 2. Pengembangan model ekonometrika dampak kebijakan makroekonomi dan faktor eksternal terhadap deforestasi dan degradasi hutan.
1.5.
Ruang Lingkup dan Keterbatasan Penelitian Deforestasi didefinisikan sebagai perubahan kondisi penutupan lahan dari
kelas penutupan lahan kategori hutan (berhutan) menjadi kelas penutupan lahan kategori nonhutan (tidak berhutan) (Pusat Inventarisasi dan Perpetaan Kehutanan (2008). Namun hutan yang dimaksudkan dalam penelitian ini adalah hutan alam, sehingga hutan tanaman industri (HTI) dimasukkan ke dalam kategori deforestasi. Dengan demikian areal deforestasi yang dianalisis terdiri dari: (1) areal HTI, (2)
16 areal tanaman padi, yang mewakili perluasan areal tanaman pangan, (3) areal tanaman karet, dan (4) areal tanaman sawit, yang mewakili areal tanaman perkebunan. Degradasi hutan (primer) didefinisikan sebagai perubahan tutupan hutan alam yang menyebabkan terjadinya pengurangan daya serap CO2, peningkatan erosi, dan struktur tegakan hutan alam yang (tanpa penataan kembali) tidak dapat dipanen secara lestari. Degradasi hutan dapat terjadi di semua areal kategori fungsi hutan, yaitu: hutan produksi, hutan lindung, dan hutan konservasi. Areal degradasi hutan yang dianalisis adalah areal degradasi hutan yang terjadi di hutan alam produksi areal HPH. Model dibagi ke dalam tiga blok, yaitu: (1) blok makroekonomi, (2) blok deforestasi, dan (3) blok degradasi hutan. Data untuk pendugaan model adalah data deret waktu periode 1980 – 2008. Model diduga menggunakan metode 2SLS. Pendekatan makroekonomi yang digunakan adalah pendekatan sisi permintaan agregat. Kebijakan makroekonomi yang dianalisis meliputi: (1) kebijakan moneter, yakni penawaran uang, dan (2) kebijakan fiskal, yakni pengeluaran pemerintah. Faktor eksternal yang dianalisis meliputi: (1) perubahan harga minyak mentah dunia, dan (2) suku bunga dunia (suku bunga rujukan Amerika Serikat, Federal Fund Rate). Pendapatan dibelanjakan diasumsikan eksogen. Kebijakan makroekonomi dan faktor eksternal menentukan keseimbangan suku bunga dalam blok makroekonomi. Perubahan suku bunga akibat perubahan kebijakan makroekonomi dan faktor eksternal secara langsung mempengaruhi tingkat deforestasi dan degradasi hutan, serta secara tidak langsung melalui pengaruhnya terhadap harga komoditas dalam blok deforestasi dan blok degradasi hutan, yang mana nilai tukar dan inflasi diasumsikan eksogen.
17 1.6.
Kebaruan Penelitian Penelitian dampak kebijakan makroekonomi terhadap sektor pertanian
antara lain pernah dilakukan oleh Sipayung (2000) menggunakan model ekonometrika persamaan simultan makroekonomi, dan dampak kebijakan makroekonomi terhadap ketahanan pangan oleh Jayawinata (2005) menggunakan model ekonometrika yang mengintegrasikan faktor-faktor mikroekonomi dan makroekoenomi. Penelitian dampak kebijakan makroekonomi terhadap deforestasi dan degradasi hutan umumnya menggunakan analisis deskriptif, seperti Sedjo (2005), Strand (2004), dan Sunderlin et al (2003). Wunder (2005) menganalisis dampak kebijakan makroekonomi terhadap deforestasi menggunakan persamaan tunggal dan menganalisis dampaknya secara tidak langsung melalui produksi kayu. Kaimovitz
dan Angelsen (1998) mengklasifikasi model ekonomi
deforestasi yang menggunakan suatu negara sebagai unit analisis ke dalam empat grup utama, yaitu: (1) model analitis yakni model yang tidak menyebutkan secara spesifik wilayah atau negara yang dianalisis, (2) model CGE (Computable General Equilibrium), (3) model komoditas dan perdagangan, dan (4) model regresi multinegara. Dengan demikian, model yang khusus menganalisis kasus suatu negara, seperti model yang dikembangkan dalam penelitian ini, belum pernah dilakukan. Penggunaan model CGE untuk menganalisis deforestasi, menurut Kaimovitz dan Angelsen (1998) memiliki banyak keterbatasan, dan menyarankan penggunaannya yang terbaik diperlukan ketika alternatif pendekatan tidak dapat ditemukan untuk menganalisis isunya. Selaras dengan Kaimovitz dan Angelsen (1998), model yang dibangun dalam penelitian ini diharapkan dapat mengisi upaya mencari alternatif pendekatan tersebut.
18 Menurut Kaimovitz dan Angelsen (1998), terdapat empat aspek yang mendorong deforestasi, yaitu: (1) sumber deforestasi (ekspansi areal untuk penanaman dan penggembalaan), (2) agen deforestasi (a.l. rumah tangga), (3) parameter keputusan agen (a.l. harga input dan ouput pertanian, upah, dan harga kayu), dan (4) underlying factors ( a.l. populasi, pendapatan, hutang luar negeri, perdagangan, dan politik). Rumah tangga paling sering diteliti namun perusahaan dan pemerintah (birokrasi) sebenarnya dapat dikategorikan juga sebagai agen deforestasi. Model yang dibangun dalam penelitian ini berkontribusi dalam menjelaskan keterkaitan empat aspek tersebut. Model yang dibangun merupakan model ekonometrika persamaan simultan yang mengintegrasikan faktor-faktor makroekonomi dan eksternal (underlying factors) ke dalam aspek mikroekonomi deforestasi dan degradasi hutan (sumber dan perilaku agen deforestasi dan degradasi hutan). Dengan model yang dibangun dampak deforestasi dan degradasi hutan kebijakan makroekonomi dan faktor eksternal dapat dianalisis secara simultan. Perubahan kebijakan makroekonomi dan faktor
eksternal
mempengaruhi
keseimbangan
suku
bunga.
Perubahan
keseimbangan suku bunga selanjutnya mempengaruhi secara langsung deforestasi dan degradasi hutan, serta keseimbangan harga pasar komoditas, dan akhirnya menentukan tingkat deforestasi dan degradasi hutan yang terjadi.