BAB I PENDAHULUAN 1.1
Latar Belakang Isu etika dalam dunia bisnis dan profesi mulai semakin menjadi perhatian
publik saat ini. Terungkapnya kasus-kasus pelanggaran etika yang terjadi berdampak pada menurunnya kepercayaan terhadap akuntan maupun auditor. O’Leary dan Cotter (2000) menyebutkan bahwa etika merupakan salah satu isu yang selalu berada di garis depan untuk dibahas dalam setiap diskusi yang berhubungan dengan profesionalisme dunia akuntansi dan auditing. Kasus-kasus penyimpangan dan pelanggaran etika tersebut seharusnya dapat dihindari apabila setiap akuntan mempunyai pemahaman, pengetahuan, dan kesadaran untuk mengimplementasikan nilai-nilai moral dan etika dengan baik dalam pekerjaan profesionalnya. Perilaku etis yang dimiliki oleh para akuntan professional sangatlah penting dalam penentuan status dan kredibilitas profesi di bidang akuntansi (Chan dan Leung, 2006). Profesi akuntansi berada dalam posisi yang rentan terhadap pelanggaran etika. Seorang akuntan harus memusatkan perhatian pada reputasi jangka panjang dan tidak hanya memikirkan keuntungan jangka pendek. Profesi akuntan dianggap sebagai salah satu profesi yang memainkan peran krusial dalam perekonomian global. Informasi yang dihasilkan akan menjadi dasar utama setiap kebijakan ekonomi yang akan diambil oleh pihak berkepentingan.
1
Merdikawati (2012) menyebutkan salah satu cara untuk mengembalikan kepercayaan masyarakat terhadap akuntan adalah dengan melakukan whistleblowing. Whistleblowing adalah tindakan pelaporan yang dilakukan pekerja suatu organisasi kepada media, kekuasaan internal atau eksternal mengenai pelanggaran, tindakan yang bertentangan dengan hukum, dan tidak etis yang terjadi di lingkungan kerja. Tindakan whistleblowing merupakan bagian dari sistem pengendalian internal (internal control system) dalam mencegah praktik penyimpangan dan fraud serta memperkuat penerapan praktik good governance sebuah organisasi. Profesi akuntansi pada umumnya didorong untuk melakukan internal whistleblowing (Elias, 2008). Seorang pelapor kecurangan (whistleblower) harus memiliki keberanian dan keyakinan dalam mengungkap kecurangan dalam lingkungan kerjanya. Hal ini berdampak terhadap apa yang akan dihadapinya di masa yang akan datang. Banyak orang yang takut untuk melaporkan kejahatan yang mereka saksikan atau yang mereka terlibat di dalamnya. Selain alasan berurusan dengan penegak hukum, permasalahan whistleblower dapat merambat kepada nasib keluarga bahkan nyawa sang pelapor. Beberapa nama whistleblower yang terkenal yaitu
Cynthia
Cooper,
Sherron
Watkins,
dan
Coleen
Rowley.
Mereka
mengungkapkan kecurangan dalam organisasi mereka dengan mengambil risiko sebelum
diterbitkannya
peraturan
yang
memberikan
perlindungan
kepada
whistleblower, yaitu Sarbanes Oxley Act.
2
Peranan whistleblower dalam mengungkapkan kecurangan di Indonesia sendiri masih sangat sedikit karena risiko tinggi yang akan dihadapi di depan mata seorang whistleblower. Minimnya perlindungan hukum di Indonesia membuat seorang whistleblower berfikir panjang untuk melaporkan pelanggaran yang terjadi karena dirinya dapat terancam dan bahkan laporan tersebut dapat menjadi bumerang yang dapat mencelakai dirinya sendiri. Hal inilah yang membuat banyak orang masih enggan untuk menjadi whistleblower. Dengan adanya kebijakan perusahaan untuk melindungi whistleblower, maka perusahaan secara efektif akan mendorong partisipasi karyawan untuk melaporkan adanya pelanggaran tanpa dihantui rasa takut akan risiko dan ancaman bagi dirinya dan keluarganya. Komite Nasional Kebijakan Governance (KNKG) di Indonesia menerbitkan Pedoman Sistem Pelaporan dan Pelanggran (SPP) atau Whistleblowing System (WBS) pada 10 November 2008 yang diharapkan dapat meningkatkan partisipasi karyawan dalam melaporkan kecurangan. Di Indonesia sendiri penerapan sistem whistleblower sudah diberlakukan di beberapa lembaga negara, misalnya Kementrian Keuangan, Direktorat Jendral Pajak, dan Lembaga Kebijakan Pengadaan Barang/Jasa Pemerintah yang telah membuat sistem berbasis web. Perusahaan-perusahaan publik yang telah memiliki dan menerapkan whistleblowing system antara lain adalah PT Jasa Marga, PT Telkom, Pertamina, United Tractors, dan Astra Group. Penelitian yang dilakukan Chiu (2002) terhadap 254 mahasiswa MBA di China menunjukan bahwa anggapan whistleblowing sebagai perilaku etis memiliki hubungan signifikan terhadap keinginan seseorang untuk melakukan whistleblowing. 3
Penelitian mengenai whistleblowing telah banyak dilakukan di negara-negara Barat yang mempunyai dimensi budaya yang berbeda. Elias (2008) menguji pengaruh komitmen professional dan antisipasi sosial terhadap whistleblowing. Hasil penelitian yang dilakukan pada mahasiswa pengauditan di US menunjukkan bahwa komitmen profesional dan antisipasi sosial berpengaruh positif terhadap keputusan dalam melakukan whistleblowing. Liyanarachchi dan Newdick (2009) menguji pengaruh tingkat penalaran moral mahasiswa akuntansi di New Zealand dan kekuatan retaliasi terhadap kecenderungan mereka untuk melaporkan kecurangan. Hasil penelitian menujukkan bahwa penalaran moral dan kekuatan retaliasi secara signifikan berpengaruh positif terhadap kecenderungan untuk melakukan whistleblowing. Penelitian di Indonesia mengenai whistleblowing juga sudah dilakukan beberapa kali namun masih relatif sedikit. Misalnya Sugiyanto, dkk (2011) melakukan penelitian mengenai hubungan orientasi etika, komitmen profesional, sensitivitas etis dengan perspektif mahasiswa akuntansi mengenai whistleblowing dengan menggunakan mahasiswa akuntansi di kota Makassar sebagai responden. Banda (2012) menguji pengaruh penalaran moral, sikap, normatif subjektif, dan persepsi kontrol perilaku terhadap niat melakukan whistleblowing. Hasil penelitian menunjukkan bahwa penalaran moral dan persepsi kontrol perilaku tidak berpengaruh terhadap niat melakukan whistleblowing, sedangkan sikap dan norma subjektif berpengaruh terhadap niat melakukan whistleblowing. Septianti (2013) dalam penelitiannya menunjukkan bahwa status manajerial, locus of control, komitmen organisasional, personal cost, dan status pelanggar tidak berpengaruh signifikan 4
terhadap niat melakukan whistleblowing, sedangkan keseriusan pelanggaran dan suku bangsa berpengaruh signifikan terhadap niat untuk melakukan whistleblowing. Thorne (2000) melakukan penelitian dengan membandingkan penalaran moral (moral reasoning) mahasiswa akuntansi dengan prakitisi akuntan. Penelitian tersebut dilakukan dengan tujuan membuktikan apakah pengukuran penalaran moral akuntan dapat diwakili dengan melakukan penelitian terhadap mahasiswa akuntansi. Hasil dari penelitian tersebut menunjukkan bahwa penalaran moral mahasiswa akuntansi dianggap dapat mewakili penilaian penalaran moral praktisi akuntan. Penalaran moral berperan penting bagi pengembangan prinsip moral. Dengan penalaran moral diharapkan seorang individu yang menghadapi dilema-dilema moral secara reflektif mampu mengembangkan prinsip-prinsip moral pribadi sehingga dapat bertindak sesuai dasar moral yang diyakini dan bukan merupakan tekanan sosial. Penelitian Saat et al. (2010) menguji perbedaan tingkat penalaran moral pada mahasiswa yang mengambil mata kuliah etika bisnis dengan mahasiswa yang tidak mendapatkan mata kuliah etika bisnis. Hasil penelitian pada mahasiswa akuntansi di Malaysia tersebut menunjukkan adanya kenaikan pada skor penalaran moral mahasiswa yang menempuh mata kuliah etika bisnis. Sedangkan mahasiswa yang tidak mendapatkan mata kuliah etika bisnis tidak menunjukkan perbedaan signifikan pada skor penalaran moral mereka pada saat awal semester dan akhir semester. Namun hasil berbeda ditunjukkan pada beberapa penelitian yang menyimpulkan pendidikan etika tidak mempunyai pengaruh pada perkembangan penalaran moral. Buell (2009) dalam penelitiannya mengenai pengaruh pendidikan etika, gender, dan 5
umur terhadap tingkat moral maturity mahasiswa akuntansi mendapatkan hasil bahwa kemampuan penalaran moral mahasiswa yang sudah menyelesaikan mata kuliah etika bisnis tidak lebih tinggi dan bahkan lebih rendah dibanding penalaran moral yang tidak mengambil mata kuliah etika bisnis. Perbedaan dengan penelitian yang dilakukan oleh peneliti terletak pada variabel dependen yang akan diuji, yaitu niat melakukan
tindakan
pelaporan
kecurangan
(whistleblowing
intention)
dan
membandingkan penalaran moral serta whistleblowing intention mahasiswa yang sudah menyelesaikan mata kuliah etika bisnis dan mahasiswa yang belum mengambil mata kuliah etika bisnis. Paham kolektivisme sering dikaitkan dengan budaya masyarakat Timur. Kolektivisme memandang bahwa individu pada dasarnya tidak memiliki hak atas dirinya sendiri. Pengorbanan individu dipandang sebagai sebuah kewajaran dan bahkan kewajiban demi kelompoknya. Pada negara dengan tingkat kolektivisme yang tinggi, individu mempunyai kepedulian terhadap individu lain dalam kelompok serta mengharapkan orang lain untuk peduli terhadap dirinya secara timbal balik. Hofstede (1991) menempatkan Indonesia sebagai bangsa dengan nilai budaya kolektivisme yang tinggi bila dibandingkan dengan India, Jepang, Malaysia, Filipina, dan negaranegara Arab. Penelitian yang dilakukan Park et al. (2005) menyebutkan efek dari sifat kolektivisme secara kesuluruhan tidak konsisten dalam mempengaruhi niat untuk melakukan whistleblowing. Hasil dari penelitian tersebut menunjukkan bahwa individu dengan sifat kolektivisme horizontal memiliki kemungkinan untuk 6
melakukan whistleblowing. Sebaliknya, sifat kolektivisme vertikal tidak berpengaruh signifikan terhadap niat melakukan whistleblowing. Park et al. (2008) juga melakukan penelitian pada mahasiswa Korea Selatan, Turki, dan Inggris mengenai sikap mereka terhadap whistleblowing. Hasilnya menunjukkan bahwa terdapat perbedaan sikap antara mahasiswa di negara yang berbeda terhadap whistleblowing. Hal tersebut menunjukkan bahwa hasil yang berbeda dapat terjadi pada sampel/obyek penelitian yang berbeda. Hofstede dan Hofstede (2005) dalam penelitiannya menunjukkan Indonesia sebagai negara yang kolektivis. Hal ini diukur pada penelitian yang dilakukan pada karyawan IBM pada 74 negara, termasuk Indonesia. Hasil penelitian tersebut menunjukkan Indonesia memiliki skor Individualsm Index (IDV) sebesar 14 (skala 1100), yang mana merupakan salah satu negara dengan indeks terkecil di dunia. Jika dibandingkan dengan negara-negara di Asia, skor individualisme Indonesia menduduki peringkat ke 23, dan dibandingkan dengan seluruh negara yang diteliti Hofstede & Hofstede, Indonesia menduduki peringkat 43 (Hofstede dan Hofstede, 2005). Skor ini menunjukkan bahwa masyarakat Indonesia lebih merupakan masyarakat kolektivis dibandingkan dengan individualis. Kolektivisme diadopsikan dalam kehidupan organisasi melalui budaya perusahaan. Beberapa perusahaan di Indonesia, seperti PT Semen Gresik Tbk., Pupuk Kaltim, PT PLN, dan PT Telkom mengidentikkan kolektivisme dengan kebersamaan yang dinyatakan dalam corporate culture statement mereka. Kolektivisme dapat dilihat sebagai potensi untuk meningkatkan keefektifan kerjasama dan meraih 7
kesuksesan bersama. Efek dari perilaku kolektivis terhadap niat untuk melaporkan kecurangan di lingkungan kerja masih belum mempunyai bukti empiris yang memadai (Park et al., 2005). Penelitian yang dilakukan oleh Tavakoli (2003) dengan membandingkan manager yang bekerja di negara Amerika dan Kroasia menyimpulkan bahwa perbedaan budaya yang terdapat di kedua negara mempengaruhi individu untuk melakukan
whistleblowing.
Keenan
(2002)
dalam
penelitiannya
yang
membandingkan manager yang bekerja di China dengan United States menunjukkan bahwa manager yang bekerja di United States lebih memiliki kecenderungan untuk melakukan whistleblowing dibandingkan manager yang bekerja di China. Budaya, lingkungan, dan hukum yang berlaku di kedua negara tersebut menjadi faktor yang mempengaruhi niat individu untuk melaporkan kecurangan. Penilitian ini bertujuan untuk menguji pengaruh penalaran moral dan kolektivisme terhadap niat untuk melakukan whistleblowing. Fokus terhadap pengukuran niat melakukan whistleblowing ini dipilih karena peneliti ingin mengetahui gambaran yang realistis mengenai tindakan apa yang akan dilakukan mahasiswa akuntansi ketika menghadapi persoalan dilema etika. Penalaran moral digunakan sebagai variabel karena masalah dilema etika merupakan bagian yang tidak dapat dipisahkan dari seorang individu sebagai bagian dari proses pengambilan keputusan. Dimensi kolektivisme terhadap niat melakukan whistleblowing di Indonesia sendiri belum pernah diteliti sehingga penelitian ini bertujuan untuk
8
menganalisis
pengaruh
dimensi
kolektivisme
terhadap
niat
melakukan
whistleblowing. Adanya perbedaan hasil penelitian mengenai ada tidaknya pengaruh pendidikan etika membuat peneliti ingin membandingkan penalaran moral dan whistleblowing intention antara mahasiswa yang sudah mengambil mata kuliah etika bisnis dengan mahasiswa yang belum mengambil mata kuliah etika bisnis. Responden yang dipilih dibagi menjadi dua kelompok yaitu mahasiswa akuntansi S1 FEB UGM yang sudah menempuh mata kuliah etika bisnis dan yang belum menempuh mata kuliah etika bisnis. 1.2
Rumusan Masalah Berdasarkan latar belakang penilitian yang telah diuraikan di atas, maka
dirumuskan pertanyaan penelitian sebagai berikut: 1. Apakah
penalaran
moral
berpengaruh
terhadap
niat
melakukan
terhadap
niat
melakukan
whistleblowing? 2. Apakah
sifat
kolektivisme
berpengaruh
whistleblowing? 3. Apakah terdapat perbedaan tingkat penalaran moral secara signifikan antara mahasiswa yang sudah menempuh mata kuliah etika bisnis dengan mahasiswa yang belum menempuh mata kuliah etika bisnis?
9
4. Apakah terdapat perbedaan tingkat whistleblowing intention secara signifikan antara mahasiswa yang sudah menempuh mata kuliah etika bisnis dengan mahasiswa yang belum menempuh mata kuliah etika bisnis? 1.3
Tujuan Penelitian Berdasarkan perumusan masalah diatas maka tujuan dari penelitian ini adalah
sebagai berikut : 1. Menganalisis dan memperoleh bukti empiris mengenai pengaruh penalaran moral terhadap niat melakukan whistleblowing. 2. Menganalisis dan memperoleh bukti empiris mengenai pengaruh sifat kolektivisme terhadap niat melakukan whistleblowing. 3. Menganalisis dan memperoleh bukti empiris mengenai perbedaan tingkat penalaran moral antara mahasiswa yang sudah menempuh mata kuliah etika bisnis dengan mahasiswa yang belum menempuh mata kuliah etika bisnis. 4. Menganalisis dan memperoleh bukti empiris mengenai perbedaan tingkat whistleblowing intention antara mahasiswa yang sudah menempuh mata kuliah etika bisnis dengan mahasiswa yang belum menempuh mata kuliah etika bisnis.
10
1.4
Manfaat Penelitian Penelitian ini diharapkan memberikan manfaat: 1. Memberikan bukti empiris mengenai pengaruh penalaran moral dan sifat kolektivisme terhadap niat melakukan whistleblowing. 2. Bagi organisasi (manajemen, karyawan, auditor internal) dapat saling membantu dalam menciptakan lingkungan kerja yang berlandaskan sikap professional demi kelangsungan perusahaan. 3. Bagi pemilik organisasi agar mampu merekrut karyawan yang memiliki pemahaman terhadap pentingnya etika profesi dalam dunia kerja. 4. Bagi akademisi dapat digunakan sebagai pengembangan kurikulum yang mengedepankan etika moral dan profesi. 5. Memberikan kontribusi untuk penelitian selanjutnya.
1.5
Sistematika Penulisan Sistematika penulisan yang akan digunakan dalam penelitian ini adalah
sebagai berikut: BAB I
PENDAHULUAN Bab ini menjelaskan latar belakang masalah, rumusan masalah, tujuan, kegunaan, dan sistematika penulisan.
BAB II
KAJIAN
LITERATUR
DAN
PENGEMBANGAN
HIPOTESIS
11
Bab ini merupakan uraian landasan teori-teori yang menjadi dasar analisis penelitian yaitu teori pengembangan moral kognitif, invidualisme-kolektivisme, dan whistleblowing. BAB III
METODA PENELITIAN Bab ini menjelaskan tentang variabel penelitian, ruang lingkup penelitian, sampel penelitian, jenis dan sumber data, metode pengumpulan data, dan metode analisis data.
BAB IV
ANALISIS DATA DAN PEMBAHASAN Bab ini menjelaskan mengenai pengujian data, pengujian hipotesis, dan pembahasan hasil survei sesuai dengan alat analisis yang digunakan.
BAB V
PENUTUP Bab ini berisi simpulan dari hasil penelitian yang telah dibahas pada bab-bab sebelumnya, keterbatasan, dan saran-saran yang dapat
dijadikan
masukan
dari
berbagai
pihak
yang
berkepentingan.
12