BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Etika kerja menjadi isu yang sering dibahas dalam dunia bisnis saat ini. Skandal Enron dan WorldCom menjadi contoh bahwa aktivitas bisnis yang beretika buruk dapat mengakibatkan kehancuran bagi perusahaan tersebut. Mulki et al. (2008) menyatakan perusahaan yang telah diketahui memiliki etika yang buruk membawa dampak buruk seperti ditinggalkan oleh konsumen. Hal itu dikarenakan reputasi yang buruk. Selain itu, praktekpraktek bisnis beretika buruk juga bersifat ilegal sehingga berkonsekuensi pada meningkatnya utang perusahaan, resiko finansial dan biaya. Praktek bisnis beretika buruk juga membawa dampak negatif pada aspek perilaku organisasional. Mulki et al. (2008) menjelaskan iklim kerja yang beretika buruk dapat meningkatkan tingkat stres dan keinginan berpindah pegawai serta menurunkan kepuasan kerja dan kinerja pegawai. Selain bersifat pencegahan dari perilaku tidak sehat, etika juga dapat meningkatkan kinerja sebagaimana disebutkan oleh (2003). Di antara kalangan perekrut pegawai sejak awal 1990-an, telah dilaporkan bahwa etika kerja berpengaruh positif lebih tinggi daripada kemampuan untuk merekrut pegawai (Flynn, 1994). Penelitian Yousef (2001) dan Peterson (2003) juga menunjukkan bahwa etika kerja berkorelasi positif dengan komitmen organisasional. Hal-hal tersebut membuat urgensi bagi perusahaan untuk menerapkan etika kerja sangat tinggi. Etika kerja dalam perusahaan memiliki peran yang sangat penting dalam membentuk suatu perusahaan yang kokoh dan memiliki daya saing yang tinggi serta mempunyai kemampuan menciptakan nilai (value-creation) yang tinggi.
Nilai etika dapat diklasifikasikan baik sebagai sekuler maupun religius. Nilai etika yang sekuler mencoba membuat sistem moral yang independen dari Tuhan dan agamaagama. Dalam hal motif untuk menerapkan etika, berbagai penjelasan telah diberikan. Salah satu penjelasan adalah bahwa orang-orang yang beretika mengejar kebahagiaan atau kesempurnaan. Selain itu, karena adanya tekanan oleh kekuasaan politik atau sarana sosial yang memaksa orang untuk mengikuti kode etik tertentu. Adapun nilai etika yang religius berasal dari pengetahuan yang dipercaya diturunkan oleh Tuhan kepada manusia (Jalil et al., 2010). Pengambilan nilai etika yang religius untuk diterapkan di dunia kerja pun sudah banyak dilakukan, terutama sejak risalah yang dicetuskan oleh Max Weber tentang etika kerja Protestan. Ketika Max Weber menerbitkan esainya yang sangat fenomenal yaitu The Protestant Work Ethic and the Spirit of Capitalism, para peneliti memberikan perhatian lebih pada etika kerja dan peran agama dalam memajukan pertumbuhan ekonomi dan akumulasi kekayaan. Risalah Weber membuat orang-orang memiliki keyakinan agama dapat menyelesaikan permasalahan produktivitas dan meningkatkan pengembangan ekonomi (Yousef, 2001). Sejauh ini, penelitian tentang area subyek etika bisnis dilakukan berdasarkan pengalaman di Amerika dan beberapa negara Eropa (Rizk, 2008). Tidak mengherankan jika mayoritas penelitian tentang etika kerja (Furnham, 1990; Furnham dan Rajamanickam, 1992) mengambil dasar dari etika kerja Protestan/Protestant Work Ethics (PWE) yang dianjurkan oleh Max Weber (Yousef, 2001). Negara-negara Eropa khususnya mengikuti aturan yang dianjurkan oleh Etika Kerja Protestan (Yousef, 2001). Weber seperti yang dikutip dalam Arslan (2000) tidak hanya mempromosikan etika kerja Protestan, melainkan juga menilai bahwa agama Islam tidak bisa menghasilkan nilainilai seperti etika Protestan yang bersemangat kapitalisme karena sejumlah alasan. Pertama, sufisme dipandang sebagai karakter dari dunia lain karena penghindaran atas urusan duniawi
yang materialistis. Weber percaya sufisme merupakan hambatan untuk pengembangan semangat kapitalistik karena mendorong gaya hidup fatalistik. Kedua, semangat penaklukan dianggap sebagai antitesis dari semangat produktif kapitalis. Hal tersebut dikarenakan perang berkaitan erat dengan perusakan dan pembunuhan. Ketiga, Weber berpendapat bahwa sebagian besar dari kerajaan Islam bersifat despotik, yakni membatasi hak kepemilikan dan akumulasi modal. Hal tersebut dianggap dapat menciptakan kemalasan di antara masyarakat. Peninjauan pada literatur-literatur yaitu Alquran dan hadis untuk menemukan konsep etika kerja Islam menjelaskan bahwa argumen tersebut tidak dapat dibenarkan. Islam menyediakan fondasi ideologis untuk berbagai macam atribut personal yang dapat mewujudkan kemajuan ekonomi (Ali, 1992). Keyakinan bahwa Islam dapat menjadi pedoman bagi kemajuan ekonomi karena Islam merupakan cara pandang yang lengkap dan komprehensif (Manan dan Kamaluddin, 2010). Islam dapat didefinisikan sebagai agama yang diturunkan Allah (pencipta) kepada Muhammad SAW yang mengatur hubungan antara manusia dengan pencipta, manusia dengan dirinya sendiri, dan manusia dengan sesamanya (An-Nabhani, 2001). Bagi muslim, sumber bagi prinsip dan ajaran Islam adalah Alquran dan Hadis. Alquran berisi perkataan Allah yang disampaikan kepada Nabi Muhammad SAW secara mutawatir. Mutawatir dapat diartikan sebagai disampaikan oleh lebih dari 40 orang di tiap generasi dan tidak terdapat kemungkinan mereka semua bersepakat untuk berdusta. Hal tersebut membuat muslim pada saat ini pun yakin bahwa Alquran yang ada pada saat ini masih orisinil dan sama seperti yang Nabi Muhammad SAW terima pada 1400 tahun silam. Hadis adalah perkataan, perilaku dan diamnya Nabi Muhammad SAW. Penjagaan keabsahan hadis sangat ketat. Jalur periwayatan hadis dapat ditelusuri hingga sampai pada Nabi Muhammad SAW. Bahkan, hadis yang diketahui diriwayatkan oleh orang yang pernah berbohong tidak dapat diterima sebagai pedoman. Hal ini membuat validitas dan realibilitas Alquran dan hadis terbukti, dapat
dipertanggungjawabkan secara ilmiah, dan dijadikan pedoman walaupun telah berumur seribu tahun lebih. Penggalian aturan‐aturan Islam dilakukan melalui proses yang dilalui dengan serangkaian prosedur yang ketat dan hati‐hati untuk menurunkan aturan yang sesuai bagi penyelesaian masalah yang ada (Manan dan Kamaluddin, 2010). Bagi muslim, aturan‐aturan Islam mengikat mereka untuk melaksanakannya dalam perilaku dan perbuatan. Kuat lemahnya dorongan manusia untuk melakukan aktivitas tidak terlepas dari motivasi (alquwwah) yang menjadi landasan manusia dalam melakukan perbuatan (Abdurrahman, 2010). Ismail (2002) menguraikan motivasi yang mendorong manusia untuk melakukan aktivitasnya antara lain pertama, motivasi materi atau kebendaan (al quwwah al madiyyah), yang meliputi tubuh manusia dan alat yang diperlukan untuk memenuhi kebutuhan jasmaninya. Kedua, motivasi emosional atau nonmateri (al quwwah al ma’nawiyah), yang berupa kondisi kejiwaan yang senantiasa dicari dan ingin dimiliki oleh seseorang. Ketiga, motivasi spiritual (al quwwah arruhiyyah) yang berupa kesadaran seseorang, bahwa dirinya mempunyai hubungan dengan Allah. Dengan demikian, perbuatan muslim pada dasarnya terikat dengan aturan‐aturan dari Allah sebagai pencipta dan pengatur (An-Nabhani, 2001). Perbuatan ini meliputi seluruh aktivitasnya, termasuk ketika muslim menjalankan pekerjaannya. Konseptualisasi ajaran Islam untuk menjadi pedoman bagi muslim pada dunia pekerjaan dapat disebut sebagai etika kerja Islam. Hal ini termasuk usaha, dedikasi, kerjasama, tanggung jawab, hubungan sosial, dan kreativitas (Rahman et al., 2006). Dalam konteks pandangan Weber mengenai Islam, Ahmad (1976, dalam Yousef, 2001) menyatakan bahwa etika kerja Islami tidak menolak kehidupan atau memiliki pandangan hidup yang fatalistis sebagaimana disebutkan oleh Weber, melainkan mengajarkan untuk bermotivasi tinggi dalam meraih kecukupan dalam hidup. Jika etika kerja islami
diterapkan pada dunia kerja, pegawai yang mempercayai Islam dan mengikuti etika kerja Islami cenderung lebih puas dengan pekerjaan mereka dan berkomitmen kepada organisasi. Hal tersebut tentu akan membuat lebih sedikit intensi untuk meninggalkan organisasi. Pegawai yang bekerja dengan menerapkan etika kerja Islami akan merasakan kesenangan dan motivasi yang datang dari dalam individu tersebut. Mereka akan terlihat lebih baik dalam bekerja dan lebih puas dengan pekerjaan mereka. Hal ini dikarenakan etika kerja Islami mengajarkan tentang perilaku dan juga teknik untuk melakukan kerja sebaik mungkin (Haroon et al., 2012). Pengaruh etika kerja islami pada kepuasan kerja, komitmen organisasional serta keinginan berpindah sangat menarik untuk diteliti lebih lanjut. Hal ini menarik karena ketiga konstruk tersebut merupakan konstruk yang sangat berpengaruh pada kinerja pegawai (Rokhman, 2010). Kepuasan kerja dapat didefinisikan sebagai perasaan positif atau menyenangkan sebagai respon dari pekerjaan atau pengalaman kerja seseorang (Dunnette dan Locke, 1976). Sikap ini dibutuhkan dalam konteks lingkungan kerja karena berpengaruh positif pada kinerja pegawai (Rousseau dalam Ram, 2012). Pengaruh etika kerja Islami pada kepuasan kerja dapat dilihat dari lima dimensi dari kepuasan kerja yang telah dijelaskan Smith et al. (1969, dalam Brown dan Lent, 2012). Dimensi kepuasan kerja yang dijelaskan oleh Smith et al. (1969, dalam Brown dan Lent, 2012) yaitu pekerjaan itu sendiri, supervisi, pemberian upah, promosi dan mitra kerja. Banyak ajaran dari etika kerja Islam yang diperkirakan dapat mempengaruhi dimensi pekerjaan itu sendiri. Islam mengajarkan untuk bersungguh-sungguh dalam melakukan pekerjaan. Nabi SAW bersabda “Sesungguhnya Allah SWT mencintai seorang mu'min yang bekerja dengan giat” (HR. Imam Tabrani, dalam Al-Mu'jam Al-Aushth VII) dan “Sesungguhnya Allah SWT mencintai seorang hamba yang apabila ia bekerja, dia itqan (baca ; menyempurnakan)
pekerjaannya” (HR. Thabrani). Pedoman ini besar kemungkinan membuat pegawai yang
menerapkannya bekerja keras dan ada dorongan lain dalam dirinya yaitu semangat untuk mendapatkan ridho Allah SWT. Sehingga ketika pekerjaan yang berat sekalipun tidak mudah membuat mereka stres. Hal ini diharapkan dapat membuat kepuasan pegawai pada pekerjaan mereka tinggi. Dimensi supervisi diperkirakan dipengaruhi oleh etika kerja Islami dengan ajaran untuk menghargai hak-hak yang dimiliki oleh atasan dan kesabaran yang terkandung dalam etika kerja Islami. Nabi Muhammad SAW bersabda pada hadis yang diriwayatkan oleh Imam As-Suyuthi dalam kitab Shahih al-Jami’ ash-Shaghir, “Bukan termasuk golongan umatku, orang yang tidak menyayangi yang lebih kecil (lebih muda) dan tidak memahami hak-hak orang yang lebih besar”. Hadis ini memperlihatkan bahwa Islam mengajarkan pemeluknya untuk menghargai hak-hak yang dimiliki oleh atasan. Dengan menerapkan hadis ini pegawai kemungkinan akan lebih memahami perilaku-perilaku dari atasan dan puas dengan sikap yang ditunjukkan oleh atasannya. Jika atasan mereka melakukan hal yang tidak menyenangkan, Islam mengajarkan untuk meminta pertolongan kepada Allah dengan sabar dan shalat. Ajaran untuk terus bekerja dengan kemampuan terbaik, sabar dan mudah bersyukur akan sangat membantu karyawan untuk mudah puas dengan kesempatan promosi yang ada di perusahaan mereka. Mereka akan sabar menunggu, bersyukur dengan segala yang telah diraih dan berfokus pada perbaikan kinerja. Islam pada banyak ayat Alquran dan hadis mengajarkan untuk mencintai sesama manusia, berkasih sayang, saling percaya, saling tolong menolong, tidak mudah berprasangka buruk, saling menghormati dan perbuatan-perbuatan baik lainnya. Hal ini secara logis akan mudah mempererat hubungan antara teman-teman di tempat kerja dan menciptakan atmosfer kerja yang positif. Hal ini berdampak pada dimensi suasana tempat kerja.
Komitmen organisasional merupakan suatu dimensi perilaku yang penting dan dapat digunakan untuk mengevaluasi seberapa besar dedikasi karyawan pada organisasi. Allen dan Meyer (1990) mendefinisikan komitmen organisasional sebagai keadaan psikologi yang mengikat individu pada organisasi dan menurunkan tingkat perpindahan karyawan. Dalam penelitian mereka berikutnya, Meyer dan Allen (1991) mendefinisikan komitmen organisasional sebagai derajat seberapa jauh pekerja mengidentifikasikan dirinya dengan organisasi dan keterlibatannya dalam organisasi. Meyer dan Allen (1991) menawarkan model yang berisi tiga komponen dari komitmen antara lain komitmen afektif, komitmen kontinuan dan komitmen normatif. Mereka menyatakan bahwa ketiga komponen komitmen ini secara konseptual maupun empiris terpisah satu sama lain. Walaupun masing-masing komponen mewakili keterkaitan individu dengan organisasi, namun bentuk keterikatannya bervariasi. Penyebab dan dampaknya pun berbeda-beda (Meyer et al., 1993). Definisi komitmen afektif adalah keterikatan karyawan dengan organisasi secara emosional, yang menggambarkan pula identifikasi dan keterlibatan mereka dengan organisasi (Meyer dan Allen, 1997). Pegawai yang memiliki komitmen secara afektif komit kepada perusahaan karena mereka ingin. Banyak anteseden komitmen afektif telah diidentifikasi, yang terutama meliputi variabel demografi, sikap individu (nilai kerja) dan berbagai aspek kepuasan kerja serta karakteristik organisasi (Meyer et al., 2002). Dari penelitian tersebut dapat ditemukan pengaruh etika kerja Islami pada komitmen afektif. Etika kerja Islami mempengaruhi sikap individu atau nilai kerja pegawai. Ajaran Islam yang mengarahkan muslim untuk senantiasa berdedikasi pada pekerjaan, taat kepada pemimpin dan organisasi (jamaah) dapat meningkatkan keterlibatan pegawai pada organisasi mereka atas dasar keinginan pribadi pegawai.
Kemudian, komitmen kontinuan dapat didefinisikan sebagai keterikatan yang terbentuk berdasarkan pertimbangan biaya atau harga yang akan ditanggung karyawan apabila meninggalkan organisasi (Meyer dan Allen, 1997). Komitmen individu pada organisasi dikarenakan mereka merasa akan kehilangan manfaat finansial yang tinggi jika meninggalkan organisasinya, termasuk manfaat ekonomi (tunjangan pensiun) dan manfaat sosial (persahabatan dengan rekan kerja). Dalam komitmen jenis ini, pegawai memiliki komitmen pada organisasinya karena mereka membutuhkannya. Mereka menghitung untung rugi dalam mengambil keputusan (Meyer dan Allen, 1991). Dikarenakan komitmen kontinuan berasal dari kebutuhan pegawai akan organisasi dan perhitungan untung rugi, dapat dikatakan bahwa etika kerja Islami akan berpengaruh negatif pada komitmen kontinuan. Hal ini disebabkan oleh ajaran Islam yang mengajarkan bahwa muslim harus yakin bahwa karunia hanya berasal dari Allah SWT dan bersifat amat luas, dalam artian bisa didapatkan tidak hanya dari organisasi di tempat dia bekerja. Hal ini membuat pegawai yang memiliki etika kerja Islami tidak bergantung pada organisasi. Islam pun mengajarkan bahwa bekerja adalah ibadah dan balasannya tidak hanya di dunia melainkan juga akherat. Pegawai yang memiliki etika kerja Islami yakin bahwa jika pekerjaan yang dilakukannya sesuai dengan kehendak Allah SWT, mereka pasti akan mendapatkan imbalan dari Allah SWT. Sehingga mereka tidak menghitung untung rugi finansial semata. Komitmen normatif memiliki definisi yaitu keterikatan yang bersumber dari perasaan berkewajiban dan keharusan yang dimiliki karyawan untuk terus tinggal di dalam organisasinya (Meyer dan Allen, 1997). Pegawai yang memiliki komitmen dengan tipe normatif komit kepada perusahaan karena mereka merasa memiliki utang budi pada perusahaan.
Islam mengajarkan para pemeluknya untuk bertanggungjawab pada pekerjaan yang diembannya, dan berterimakasih pada orang yang telah memberi kebaikan. Nabi Muhammad SAW bersabda, “Sebaik-baik kalian adalah orang yang paling baik dalam pengembalian (utang)” (HR. Bukhari, II/843, bab Husnul Qadha’ no. 2263). Utang dalam konteks ini dapat diartikan sebagai gaji yang telah diterima dan harus dikembalikan dengan kinerja yang paling baik. Ajaran ini mengarahkan pegawai merasa wajib dan harus untuk terus tinggal dan memberikan kinerja terbaiknya. Sager et al. (1998) mendefinisikan keinginan berpindah sebagai keputusan mental yang mengintervensi sikap individu terkait pekerjaan dan keputusan terkait tetap pada suatu pekerjaan atau meninggalkannya. Keinginan berpindah mengacu pada tiga unsur dalam proses kognisi untuk berpindah, antara lain pemikiran tentang berhenti, niat untuk mencari pekerjaan lain di tempat lain dan niat untuk berhenti (Miller et al. dalam Rokhman dan Omar, 2008). Harnoto (2002) mengindikasikan terjadinya keinginan berpindah dengan beberapa hal, antara lain absensi yang meningkat, mulai malas kerja, naiknya keberanian untuk melanggar tata tertib kerja, keberanian untuk menentang atau protes kepada atasan maupun keseriusan untuk menyelesaikan semua tanggung jawab karyawan yang sangat berbeda dari biasanya. Jika dilihat dari indikasi terjadinya keinginan berpindah, banyak ajaran Islam yang melarang praktik-praktik tersebut. Perkataan Nabi seperti “Sesungguhnya Allah SWT mencintai seorang mu'min yang bekerja dengan giat” dan “Sesungguhnya Allah SWT mencintai seorang hamba yang apabila ia bekerja, dia itqan (baca ; menyempurnakan) pekerjaannya” (HR. Imam Tabrani, dalam AlMu'jam Al-Aushth VII) dapat mencegah pegawai untuk bertindak malas, melanggar tata
tertib dan tidak mengerjakan pekerjaan dengan sempurna. Ajaran Islam yang mengajarkan para pemeluknya untuk setia pada organisasi (jamaah), senantiasa
bersabar, bersyukur serta berprasangka baik pada Allah SWT dan sesama akan membuat pegawai yang menerapkan etika kerja Islami akan lebih resisten pada halhal yang dapat membuat mereka berpindah dari organisasi. Faktor-faktor di atas membuat etika kerja Islami diprediksi akan berpengaruh negatif pada niat mereka untuk berpindah organisasi. Dari pemaparan di atas dapat ditemukan manfaat etika kerja Islami pada perilaku organisasional pegawai. Hal ini membuat etika kerja Islami sangat menarik untuk diteliti. Urgensi penelitian ini semakin bertambah mengingat ada pandangan yang salah dari para pakar tentang etika kerja Islami dan kurangnya akses kepada ajaran Islam yang berkaitan dengan bisnis dan organisasi (Rokhman dan Omar, 2008). Penelitian ini juga bertujuan untuk mencari solusi dari permasalahan yang sangat krusial di negeri ini yaitu rendahnya integritas dari sumberdaya manusia yang ada di sektor publik. Rendahnya integritas ini menjadi akar masalah dari berbagai hal yang menghambat negeri ini untuk mencapai cita-cita yang diamanatkan oleh The Founding Fathers Republik Indonesia yang tertulis dalam Pancasila. Ada beberapa aspek yang dapat menjelaskan rendahnya integritas baik di tingkat nasional maupun lokal. Pertama, Indonesia masih belum bisa mewujudkan pemerintahan yang bersih dan bebas dari kolusi, korupsi dan nepotisme. Hal ini ditunjukan dari data Transparency International pada tahun 2013, Indeks Persepsi Korupsi (IPK) Indonesia masih rendah yaitu 3,2 dari 10. Hal ini menunjukkan masih rendahnya upaya penanganan korupsi di Indonesia. Selain itu, data yang dirilis oleh Indonesia Corruption Watch (ICW) menunjukkan bahwa di tahun 2011 terdapat 1053 tersangka kasus korupsi. Pegawai negeri sipil adalah kelompok terbesar pelaku tindak pidana korupsi dengan 239 tersangka, diikuti oleh direktur atau pimpinan perusahaan sebanyak 190 orang, serta anggota DPR/DPRD sejumlah 99 orang (Republik Indonesia, 2010).
Kedua, pemerintah belum dapat menyediakan pelayanan publik yang berkualitas sesuai dengan tantangan yang dihadapi, yaitu perkembangan kebutuhan masyarakat yang semakin tinggi dan persaingan global yang semakin ketat terutama menjelang Masyarakat Ekonomi ASEAN pada tahun 2015. Hasil survei integritas yang dilakukan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) pada tahun 2009 menguatkan hal tersebut. Survei tersebut mengukur mengukur karakteristik kualitas dalam pelayanan publik, seperti ada atau tidaknya suap, Standard Operating Procedures (SOP), kesesuaian proses pelayanan dengan SOP yang ada, keterbukaan informasi, keadilan dan kecepatan dalam pemberian pelayanan dan kemudahan masyarakat melakukan pengaduan. Hasil survei menunjukkan bahwa kualitas pelayanan publik Indonesia baru mencapai skor 6,64 dari skala 10 untuk instansi pusat. Pada tahun 2008, skor untuk unit pelayanan publik di daerah sebesar 6,69 (Republik Indonesia, 2010). Ketiga, kapasitas dan akuntabilitas kinerja pemerintah dianggap masih lemah. Berdasarkan penilaian government effectiveness yang dilakukan Bank Dunia, Indonesia memperoleh skor -0,43 pada tahun 2004, -0,37 pada tahun 2006 dan -0,29 pada tahun 2008. Skor tersebut memiliki skala -2,5 sebagai skor terburuk dan 2,5 menunjukkan skor terbaik. Skor Indonesia menunjukkan kapasitas dan efektivitas kelembagaan pemerintahan di Indonesia masih tertinggal jika dibandingan dengan negara-negara di ASEAN. Hal ini mencerminkan masih adanya permasalahan dalam penyelenggaraan pemerintah, seperti kualitas birokrasi, pelayanan publik dan kompetensi aparat pemerintah. Hasil tersebut dikuatkan oleh penilaian terhadap Laporan Akuntabilitas Kinerja Instansi Pemerintah (LAKIP) pada tahun 2009 yang menunjukkan bahwa hanya 24% instansi pemerintah yang dinilai akuntabel (Republik Indonesia, 2010). Universitas Gadjah Mada (UGM) adalah universitas badan hukum milik negara sebagaimana tercantum pada Peraturan Pemerintah Nomor 153 Tahun 2000 tentang
Penetapan Universitas Gadjah Mada sebagai Badan Hukum Milik Negara. Sebagai instansi pemerintah, UGM juga juga menjalani audit keuangan oleh Badan Pemeriksa Keuangan (BPK). Walaupun, keterbatasan kemampuan BPK membuat proses pengauditan diwakilkan kepada kantor akuntansi publik bersertifikasi. Dalam hal ini, UGM telah membuktikan kredibilitas dan integritasnya. Sejak tahun 2007, UGM telah mendapatkan predikat Wajar Tanpa Pengecualian (WTP). Opini WTP ini artinya laporan keuangan UGM sudah memenuhi standar yang menjadi acuan pedoman penyusunan laporan keuangan, sesuai dengan aturan dan mengikuti standar yang seharusnya dijalankan (Keswara, 2013). Fakultas Ekonomika dan Bisnis (FEB) UGM sebagai salah satu fakultas di UGM juga turut serta berpartisipasi aktif dalam meningkatkan kredibilitas dan integritas UGM. Hal ini dapat dilihat dari keberhasilan FEB UGM meraih akreditasi dari The Association to Advance Collegiate Schools of Business (AACSB). Artikel Special Report yang ditayangkan pada website resmi FEB UGM menyebutkan bahwa FEB UGM adalah fakultas pertama di Indonesia bersama dengan 711 fakultas lain di seluruh dunia yang berhasil mendapatkan akreditas tersebut. Dari 15.727 anggota AACSB di seluruh dunia, hanya 5% yang terakreditasi. Sedikitnya organisasi yang berhasil memperoleh akreditasi AACSB dikarenakan proses dan kualifikasi yang sangat ketat. Sejak bergabung menjadi anggota AACSB pada tahun 2006, paling tidak FEB UGM telah melewati 16 tahapan untuk mencapai akreditasi tersebut. Keberhasilan melewati proses kualifikasi yang sangat ketat tersebut menjadi bukti dari kualitas FEB UGM telah diakui oleh dunia. Dibutuhkan komitmen organisasional dan etika kerja yang tinggi dari seluruh sumberdaya manusia di FEB UGM untuk mensukseskan prestasi tersebut. Hal tersebut menjadikan FEB UGM dapat menjadi acuan yang sangat baik bagi seluruh institusi publik yang ada di Indonesia. Hasil dari penelitian tentang etika kerja Islami di FEB UGM dapat menjadi sumber inspirasi yang berharga dalam upaya peningkatan
kualitas organisasi-organisasi di Indonesia terutama institusi publik. Penelitian dalam area ini akan menunjukkan apakah etika kerja Islami berpengaruh pada aspek-aspek yang berkaitan erat dengan kinerja pegawai di organisasi sarat prestasi, FEB UGM.
1.2 Rumusan Masalah Terdapat beberapa kesalahpahaman mengenai etika kerja Islami pada penelitian tentang etika kerja yang dilakukan di negara-negara barat. Misalnya, Weber membuat pernyataan yang keliru tentang etika kerja islami. Dia menganggap agama Islam belum mengembangkan nilai-nilai seperti etika Protestan yang bersemangat kapitalisme karena sejumlah alasan (Arslan, 2000). Penelitian yang dapat mengklarifikasi berbagai persepsi yang salah tentang etika kerja Islami ini pun masih sangat sedikit. Hal ini karena para pakar manajemen tidak memiliki akses yang cukup kepada kekayaan sastra dalam Islam yang berkaitan dengan bisnis dan organisasi (Ali, 1988). Urgensi untuk membuat penelitian yang meneliti apakah ada dampak positif yang dapat dihasilkan etika kerja islami kepada peningkatan produktivitas dan pengembangan ekonomi sangat tinggi. Aspek organizational outcome yang dipengaruhi oleh etika kerja adalah kepuasan kerja (Yousef, 2001; Koh and Boo, 2001), komitmen organisasional (Yousef, 2001; Peterson, 2003) dan keinginan berpindah (Sager et al., 1998). Masalah yang akan dibahas dalam penelitian ini adalah pengaruh etika kerja islami pada kepuasan kerja, komitmen organisasional dan keinginan berpindah. Komitmen organisasional sebagaimana dikatakan oleh Meyer dan Allen (1990) terdiri dari tiga komponen yang secara konseptual maupun empiris terpisah satu sama lain. Komponen tersebut antara lain komitmen afektif, komitmen kontinuan dan komitmen normatif. Dikarenakan penelitian dari Meyer et al. (1993) menunjukkan masing-masing komponen mewakili keterkaitan antara individu dengan organisasi serta penyebab dan dampaknya berbeda-beda maka pada penelitian ini akan diuji
pengaruh etika kerja Islami pada komitmen afektif, komitmen kontinuan dan komitmen normatif. Hasil dari penelitian ini membuktikan pengaruh etika kerja islami pada organizational outcome.
1.3 Pertanyaan Penelitian Berdasarkan latar belakang masalah yang telah dipaparkan, maka penelitian ini dilakukan untuk menguji mengenai pengaruh variabel etika kerja Islami sebagai variabel independen pada kepuasan kerja, komitmen organisasional serta keinginan berpindah sebagai variabel dependen. Perumusan masalah yang dapat disusun adalah sebagai berikut: 1. Apakah etika kerja Islami berpengaruh pada kepuasan kerja? 2. Apakah etika kerja Islami berpengaruh pada komitmen afektif? 3. Apakah etika kerja Islami berpengaruh pada komitmen kontinuan? 4. Apakah etika kerja Islami berpengaruh pada komitmen normatif? 5. Apakah etika kerja Islami berpengaruh pada keinginan berpindah?
1.4 Tujuan Penelitian Tujuan dari penelitian ini adalah : 1. Menganalisis pengaruh etika kerja Islami pada kepuasan kerja. 2. Menganalisis pengaruh etika kerja Islami pada komitmen afektif. 3. Menganalisis pengaruh etika kerja Islami pada komitmen kontinuan. 4. Menganalisis pengaruh etika kerja Islami pada komitmen normatif. 5. Menganalisis pengaruh etika kerja Islami pada keinginan berpindah.
1.5 Manfaat Penelitian
Manfaat untuk akademisi, antara lain: 1. Menjawab pertanyaan dan memperjelas pengaruh etika kerja islami pada komitmen organisasional, kepuasan kerja dan keinginan berpindah. 2. Dasar pemahaman lebih lanjut dari teori yang telah diperoleh sehingga mengerti dan memahami pengaruh etika kerja islami pada kepuasan kerja, komitmen organisasional dan keinginan berpindah. 3. Bahan masukan untuk perbaikan penelitian tentang etika kerja Islami bagi penelitian yang sudah ada maupun yang akan diteliti.
Manfaat untuk praktisi, antara lain: 1. Bahan masukan bagi karyawan, manajemen perusahaan swasta dan publik, pemerintah dan berbagai pengamat bahwa penting atau tidaknya etika kerja islami pada etika kerja islami, dengan berbagai aspek yang dapat berkontribusi pada pengembangan kredibilitas, integritas, produktivitas dan ekonomi yang berfokus pada komitmen organisasional, kepuasan kerja, keinginan berpindah. 2. Bahan referensi bagi masyarakat pada umumnya yang dapat digunakan sebagai sumber informasi maupun untuk melanjutkan penelitian ini.