TINJAUAN PUSTAKA
Keragaman Iklim Keragaman iklim merupakan perubahan nilai rerata atau varian dari unsurunsur iklim seperti radiasi matahari, suhu, curah hujan, kelembaban, angin dan sebagainya dalam rentang waktu tertentu. Perubahan tersebut dapat berupa kejadian iklim ekstrim pada seluruh ruang dan waktu dari masing-masing unsur iklim, sehingga menyebabkan kondisi iklim yang tidak sama untuk
setiap
tahunnya (Meehl et al. 2000). Hal tersebut merupakan proses internal natural atau variasi natural, atau akibat adanya campur tangan manusia pada sistem iklim. Keragaman iklim dapat bersifat intra-seasonal (periode lebih pendek dari tiga bulan) maupun inter-annual (periode dua tahun atau lebih) (IPPC 2002). Keragaman iklim inter-annual antara lain adalah ENSO (El Nino and Southern Oscillation) atau yang lebih dikenal dengan fenomena El Nino dan La Nina (Pulhin et al. 2008). Kejadian El Nino biasanya berasosiasi dengan kejadian kemarau panjang atau kekeringan karena terjadinya penurunan curah hujan jauh dari normal khususnya pada musim kemarau. Sebaliknya kejadian La Nina seringkali berasosiasi dengan kejadian banjir karena terjadinya peningkatan curah hujan jauh dari normal. Oleh karena itu, apabila sifat dari fenomena ini tidak dipahami baik dari segi waktu pembentukannya, intensitas, serta lama berlangsungnya, dapat menimbulkan dampak ekonomi yang cukup besar. Kejadian El Nino tahun 19971998 misalnya, telah menyebabkan terjadinya penurunan curah hujan sebesar 33% pada musim kemarau dibandingkan rata-rata curah hujan selama 30 tahun terakhir (Boer 2002). Besar kecilnya dampak keragaman iklim pada suatu sistem tergantung pada sensitivitas, kemampuan adaptif dan kerentanan dari sistem tersebut terhadap keragaman iklim. Dampak tersebut dapat bersifat langsung, misalnya: berubahnya hasil tanaman sebagai respon terhadap perubahan kondisi iklim rata-rata dan keragaman suhu, atau tidak langsung, misalnya: kerusakan yang diakibatkan oleh meningkatnya frekuensi kejadian banjir pada daerah pantai akibat meningkatnya permukaan air laut. Kemampuan adaptif merupakan kemampuan dari sistem
6
tersebut menyesuaikan diri atau beradaptasi terhadap keragaman iklim sehingga potensi kerusakan akibat keragaman iklim dapat berkurang (IPCC 2001 dalam Boer et al. 2003). Pada ekosistem pertanian, keragaman iklim menyebabkan terjadinya perubahan biodiversitas serangga hama sebagai akibat dari peningkatan suhu, perubahan curah hujan dan peningkatan frekuensi serta intensitas dari beberapa kejadian iklim ekstrim sehingga menyebabkan terjadinya peningkatan frekuensi kejadian hama dan penyakit (IPPC 2002). La Nina dapat menyebabkan kondisi iklim mikro terutama kelembaban nisbi menjadi lebih menguntungkan bagi perkembangan
wereng batang cokelat. Selain itu, keragaman iklim dapat
menimbulkan intensitas kejadian hama dan penyakit menjadi lebih tinggi sebagai akibat dari kurangnya efektivitas pestisida pada saat aplikasi (Budianto 2003; Rosenzweig & Hillel 2008 ).
Iklim dan Kehidupan Serangga Serangga seperti mahluk hidup lainnya perkembangannya dipengaruhi oleh faktor iklim baik secara langsung maupun tidak langsung di antaranya curah hujan, temperatur, kelembaban relatif udara dan fotoperiodisitas. Besarnya pengaruh ini berbeda untuk tiap spesies serangga dan dampak secara langsung dapat terlihat pada siklus hidup, keperidian, lama hidup, serta kemampuan diapause serangga (Ganaha et al. 2007; Lastuvka 2009). Keragaman iklim dapat mempengaruhi pertumbuhan populasi dan penyebaran serangga sehingga dalam kurun waktu singkat dapat menimbulkan ledakan populasi serangga
hama
tertentu (Wiyono 2007; Dale 1994; Sunjaya 1970 dalam Koesmaryono 1985). Suhu Suhu merupakan salah satu faktor pembatas dalam pertumbuhan dan perkembangan serangga, seperti siklus hidup, dan kelangsungan hidup serangga. Kisaran suhu yang sesuai bagi pertumbuhan serangga berhubungan erat dengan karakteristik tempat suatu spesies hidup. Oleh karena itu, dalam hal adaptasi lingkungan pada tempat yang berbeda karakteristik tempatnya,
suhu akan
berpengaruh terhadap laju pertumbuhan suatu spesies (Gutierrez et al. 2008). Tjasyono (2004) mengemukakan bahwa serangga dapat tahan terhadap
7
kesenjangan suhu yang besar, misalnya beberapa larva nyamuk, kutu air, dan kumbang air dapat berada di dalam air secara normal pada suhu 38-49 oC. Lebih lanjut Leather dan Awmack (1998) menjelaskan bahwa respon serangga pada suhu rendah maupun suhu tinggi tidak sama untuk semua spesies serangga. Suhu untuk perkembangan awal serangga biasanya lebih rendah dibandingkan dengan suhu untuk reproduksi. Baco (1984) merangkum hasil penelitian Suenaga (1963) mengenai perkembangan siklus hidup hama wereng cokelat bahwa kisaran suhu untuk aktivitas normal imago wereng batang cokelat adalah 10-32 oC pada betina makroptera dan 9-30 oC pada jantan makroptera. Kisaran suhu untuk aktivitas normal instar IV dan V wereng batang cokelat adalah pada suhu 12-31oC. Sementara itu, menurut Khan et al. (1991) siklus hidup larva instar IV penggerek batang padi pada suhu tinggi (29-35 oC) dapat dengan cepat berubah menjadi larva stadia V pada kondisi lingkungan dan makanan yang cukup. Laju perkembangan pupa Chilo suppressalis meningkat secara linear dari kisaran suhu 15-30 oC, tetapi akan menurun jika suhu melebihi 35 oC. Pada kondisi tersebut pupa akan mengalami kematian atau menghasilkan ngengat yang bentuk fisiknya berubah. Kelembaban Kelembaban dapat mempengaruhi perkembangbiakan, pertumbuhan, dan keaktifan serangga baik secara langsung maupun tidak langsung. Kemampuan serangga bertahan terhadap keadaan kelembaban udara sekitarnya sangat berbeda menurut jenisnya. Dalam hal ini kisaran toleransi terhadap kelembaban udara berbeda untuk setiap spesies maupun stadia perkembangannya, tetapi kisaran toleransi ini tidak jelas seperti pada suhu. Namun bagi serangga pada umumnya kisaran toleransi terhadap kelembaban udara yang optimum terletak di dekat titik maksimum, antara 73-100% (Andrewartha & Birch 1974). Kelembaban udara dapat meningkatkan fekunditas dan fertilitas serangga. Sebagai contoh, hasil penelitian IRRI tentang kelembaban relatif udara pada wereng batang cokelat di Filipina menunjukkan bahwa hama tersebut akan tertekan perkembangannya pada kelembaban 50-60%, dan sangat sesuai pada kelembaban 80% (Mochida et al. 1986). Selanjutnya, Leather dan Awmack
8
(1998) menjelaskan bahwa laju oviposisi ngengat Helicoverpa armigera akan meningkat seiring dengan meningkatnya kelembaban dan persentase telur yang menetas lebih tinggi pada kondisi kelembaban rendah. Akan tetapi hal tersebut tidak berpengaruh pada kualitas generasi berikutnya, hanya pada jumlah telur yang menetas. Hujan Hujan mempunyai arti penting dalam kehidupan serangga, dan dapat memberikan pengaruh secara langsung maupun tidak langsung pada pertumbuhan serangga. Dampak secara langsung misalnya, hujan deras dapat mencuci kutudaun dari tanaman inangnya, sedangkan dampak secara tidak langsung, dapat meningkatkan kelembaban udara sehingga mendukung pertumbuhan populasi hama (Dale 1994). Kelimpahan populasi serangga sangat berpengaruh pada variasi musim hujan. Kurangnya hari hujan dapat menimbulkan kekeringan dan kematian pada serangga, tetapi jika curah hujan tinggi, maka populasi hama tersebut akan menurun akibat tercuci oleh hujan (Speight et al. 1999; Koesmaryono 1985; Mochida et al. 1986).
Dampak Perubahan Iklim terhadap Serangga Selama dekade belakangan ini, keragaman dan perubahan iklim telah menimbulkan dampak yang sangat besar terhadap keanekaragaman hayati dan fungsi ekosistem. Dampak yang paling besar pengaruhnya adalah pada ekosistem pertanian yang menyebabkan terjadinya perubahan populasi dan status hama dan penyakit akibat peningkatan suhu dan perubahan curah hujan (Holzkamper et al. 2011). Lebih lanjut Moraal et al. (2011) menjelaskan bahwa berdasarkan analisis data perkembangan hama tahun 1946-2006, diketahui bahwa hampir semua populasi hama hutan menunjukkan perubahan sebagai akibat dari perubahan dalam pengelolaan hutan, pergeseran komposisi hutan, perubahan iklim dan kedatangan hama baru. Perubahan iklim menurut Patterson et al. (1999) dapat mempengaruhi distribusi dan derajat infestasi serangga hama melalui dampak secara langsung pada siklus hidup serangga dan secara tidak langsung melalui pengaruh iklim pada tanaman inang, predator, parasitoid dan patogen serangga. Dampak terhadap
9
siklus hidup serangga termasuk di antaranya: lama hidup, fekunditas, diapause, penyebaran, kematian dan adaptasi genetik. Lebih lanjut Hulle et al. (2010) menyebutkan bahwa dampak secara langsung pemanasan global terhadap serangga adalah terjadinya perubahan fisiologi serangga sehingga dapat mempengaruhi interaksi antar spesies. Selain itu, dampak secara tidak langsung yang ditimbulkan adalah terjadinya perubahan habitat serangga. Berdasarkan penelitian yang dilakukan Chen dan McCarl (2001) diketahui bahwa salah satu faktor yang menyebabkan terjadinya ledakan populasi dan migrasi hama merupakan pengaruh dari menurunnya efektivitas pestisida sebagai dampak dari perubahan iklim. Perubahan iklim tersebut dapat berupa peningkatan suhu dan durasi curah hujan yang tidak menentu. Disamping itu, Cannon (1998) menjelaskan bahwa
serangga hama umumnya akan menjadi lebih berlimpah
populasinya seiring dengan meningkatnya suhu melalui sejumlah proses yang saling terkait, termasuk di antaranya perubahan siklus hidup serangga. Sebagai contoh, suhu merupakan faktor utama yang menentukan dalam penyebaran hama kutudaun (aphid). Peningkatan suhu sebesar 2 oC di Inggris dapat menyebabkan peningkatan populasi sebesar 18-23 ekor/individu aphid dalam satu siklus hidup sehingga berpotensi dalam meningkatkan ukuran populasi (Cannon 1998; Hulle et al. 2010). Disamping dapat meningkatkan jumlah populasi hama, sebagian besar ledakan populasi serangga hama disebabkan oleh adanya perubahan iklim dan peningkatan konsentrasi CO2 di atmosfer (Gray 2008). Selain itu, perubahan iklim juga dapat meningkatkan fragmentasi habitat dan menyebabkan kepunahan organisme dalam skala kecil maupun besar (Cormont et al. 2011). Bioekologi Wereng Batang Cokelat (Nilaparvata lugens Stal) Wereng batang cokelat (WBC) termasuk ordo Hemiptera, subordo Auchenorrhynca, dan famili Delphacidae. Hama ini menyerang tanaman padi sebagai tanaman inang utama dan inang lainnya dari famili Graminae. Hama WBC mudah beradaptasi dengan lingkungannya dan termasuk mudah beradaptasi dengan varietas tahan. Menurut Baehaki (1985) WBC merupakan hama bertipe strategi-r dengan ciri: 1) populasi hama dapat menemukan habitatnya dengan cepat, 2) berkembang biak dengan cepat dan mampu mempergunakan sumber
10
makanan dengan baik sebelum serangga lain ikut berkompetisi, 3) mempunyai sifat menyebar dengan cepat ke habitat baru sebelum habitat lama tidak berguna lagi, dan 4) hama ini mempunyai potensi biotik yang tinggi, dapat memanfaatkan makanan yang banyak dalam waktu singkat sehingga terjadi ledakan populasi dan mengakibatkan kerugian yang tidak sedikit. Telur WBC biasanya diletakkan secara berkelompok dalam jaringan tanaman, terutama pada pelepah daun. Jumlah dan letak telur sangat bervariasi. Apabila kepadatan populasi tinggi, telur dapat ditemukan pada bagian atas tanaman (Baco 1984). Satu kelompok terdiri atas 3-21 butir telur. Bentuknya lonjong agak melngkung berdiameter 0.067-0.133 mm dengan panjang antara 0.83-1.00 mm. satu ekor WBC betina tidak meletakkan telur hanya pada satu rumpun, tetapi pada beberapa rumpun dengan berpindah-pindah (Baehaki 1987). Di daerah tropis masa inkubasi telur berkisar antara 7-11 hari, stadia nimfa antara 10-15 hari. Pra-oviposisi 3-4 hari baik untuk brakhiptera maupun makroptera (Dale 1994; Pathak & Khan 1994). Telur menetas antara 7-11 hari dengan ratarata 9 hari (Baehaki 1987). Nimfa dan serangga dewasa biasanya terdapat pada pangkal batang tanaman padi di atas permukaan air. tetapi apabila populasi sangat tinggi dapat ditemukan juga pada daun bendera dan pangkal malai (Subroto et al. 1992). Pada umumnya persentase telur pada musim kemarau lebih rendah dibandingkan dengan musim hujan. Hal tersebut diduga karena tingginya faktor mortalitas terutama parasit dan predatornya (Subroto et al. 1992). Nilaparvata lugens mempunyai 5 instar pada stadia nimfanya. Masing-masing instar ini dapat dibedakan berdasarkan bentuk dari mesonotum dan metanotumnya serta panjang tubuhnya (Baco 1984). Serangga muda yang menetas dari telur disebut nimfa dan makanannya serupa dengan induknya. Nimfa WBC mengalami lima kali pergantian kulit dan rata-rata waktu yang diperlukan untuk menyelesaikan stadium nimfa adalah 12.8 hari (Baco 1984). Lamanya waktu untuk menyelesaikan stadium nimfa beragam, tergantung dari bentuk dewasa yang akan muncul. Nimfa dapat berkembang menjadi dua
bentuk wereng dewasa. Bentuk pertama adalah
makroptera (bersayap panjang) yaitu WBC yang mempunyai sayap depan dan
11
sayap belakang normal. Bentuk kedua adalah brakhiptera (bersayap kerdil) yaitu WBC dewasa yang mempunyai sayap depan dan sayap belakang tumbuh tidak normal, terutama sayap belakang sangat rudimenter (Baehaki 1987). Adanya dua bentuk sayap pada imago WBC menunjukkan bahwa WBC brakhiptera
berfungsi
untuk
berkembang
biak
di
tempat
asal
perkembangbiakannya (breeding site) dan tetap tinggal di tempat itu. Fungsi wereng makroptera adalah untuk migrasi ke tempat yang jauh dari tempat perkembangbiakan semula, mencari tempat baru, dan pada generasi pertama akan membentuk wereng brakhiptera. Munculnya betina makroptera pada setiap kombinasi populasi terjadi pada generasi kedua pada saat kepadatan cukup tinggi dan rusaknya tanaman. Imago makroptera lebih banyak muncul pada tanaman tua daripada tanaman muda, dan kemunculan makroptera lebih banyak pada tanaman setengah rusak daripada tanaman sehat (Baehaki & Widiarta 2009). Dinamika Populasi Wereng Batang Cokelat Studi sebaran spasial dan pengambilan sampel beruntun yang dilakukan oleh Untung et al. (1988) menemukan bahwa distribusi spasial WBC pada awal pertumbuhan tanaman padi adalah secara acak (random). Setelah mengalami perkembangan populasi, bentuk distribusinya menjadi mengelompok, atau mengikuti distribusi binomial negatif. Hasil penelitian Baehaki dan Widiarta (2009) di Sukamandi menunjukkan bahwa, populasi WBC yang datang pertama kali ke pertanaman adalah bentuk makroptera sebagai wereng imigran. Satu pasang wereng makroptera, pada generasi pertama dapat menghasilkan wereng dewasa 174.5 ekor dan pada generasi kedua mencapai 3,700 ekor. Cepatnya perkembangan populasi WBC disebabkan oleh tingginya fekunditas yang mencapai 805-908 telur/betina pada generasi ketiga. Setelah telur menetas, WBC berkembang biak secara eksponensial untuk satu atau dua generasi pada tanaman padi fase vegetatif, tergantung pada saat migrasinya. Apabila migrasi terjadi pada umur 2 atau 3 minggu setelah tanam, maka WBC dapat berkembang biak sebanyak dua generasi. Puncak populasi nimfa generasi pertama (G1) dan kedua (G2) berturut-turut muncul pada umur 5-6 minggu setelah tanam dan 10-11 minggu setelah tanam. Apabila migrasi terjadi setelah tanaman berumur 5-6 minggu setelah tanam, puncak generasi nimfa hanya
12
dijumpai satu kali, yaitu pada umur 9-10 minggu setelah tanam. Pada keadaan lain kepadatan populasi tertinggi terjadi pada fase pembungaan tanaman padi yaitu pada umur 9-11 minggu setelah tanam. Apabila kepadatan populasi mencapai 300-500 ekor per rumpun, tanaman akan segera mati kekeringan (hopper burn) (Ditlin 1986). Bioekologi Penggerek Batang Padi Spesies penggerek batang padi yang paling dominan dan selalu muncul pada setiap musim tanam di Pantai Utara Jawa Barat adalah penggerek batang padi kuning dan putih. Kedua spesies hama tersebut berkembang secara terus-menerus sepanjang tahun. Dominasi kedua spesies hama tersebut sering berubah-ubah, misalnya tahun 1995 di kawasan Pantai Utara Jawa Barat populasi penggerek batang padi putih rendah sekali, sedangkan populasi penggerek batang padi kuning meningkat 30%. Sejak saat itu penggerek batang padi kuning lebih mendominasi dengan populasi lebih dari 90%. Gejala kerusakan tanaman padi yang disebabkan oleh penggerek batang padi kuning hampir sama dengan yang disebabkan oleh penggerek batang padi putih (Suharto & Usyati 2009). Penggerek Batang Padi Kuning Telur yang dihasilkan imago betina diletakkan berkelompok berkisar antara 50-150 butir/kelompok, ditutupi rambut halus berwarna cokelat kekuningan. Telur diletakkan pada malam hari antara pukul 19.00-21.00 selama 3-5 malam sejak malam pertama (Dale 1994). Telur diletakkan pada daun, pelepah daun dan kadang-kadang pada pangkal batang (Pathak & Khan 1994). Keperidian satu ekor betina adalah 100-600 butir tiap betina, stadium telur antara 6-7 hari. Pada saat telur menetas, larva keluar melalui 2-3 lubang yang dibuat pada bagian bawah telur menembus permukaan daun (Kanno 1984). Larva yang baru muncul (instar 1) biasanya bergerak menuju bagian ujung daun dan menggantung dengan benang halus atau membuat tabung kecil, terayun oleh angin dan jatuh ke bagian tanaman lain atau permukaan air (Balitpa 2009b). Larvanya berwarna putih kekuningan sampai kehijauan dengan panjang maksimum 25 mm. Stadium larva antara 28-35 hari, dan terdiri atas 5-7 instar (Dale 1994). Selama hidupnya larva dapat berpindah dari satu tunas ke tunas lainnya dengan cara membuat gulungan ujung daun, menjatuhkan diri ke
13
permukaan air dan memencar ke rumpun yang lain. Larva instar akhir tinggal di dalam batang sampai stadium pupa (Balitpa 2009b). Sebelum menjadi pupa, larva membuat lubang keluar pada pangkal batang dekat permukaan air atau tanah, yang ditutupi membran tipis untuk jalan keluar setelah menjadi imago. Pupa berwarna kekuning-kuningan atau agak putih. Kokon berupa selaput benang berwarna putih dengan panjang 12-15 mm. Lama stadium pupa antara 6-23 hari (Pathak & Khan 1994). Ngengat jantan mempunyai bintik-bintik gelap pada sayap depan, sedangkan ngengat betina berwarna kuning dengan bintik hitam di bagian tengah sayap depan. Panjang ngengat jantan 14 mm dan betina 17 mm. Ngengat aktif pada malam hari dan tertarik cahaya, imago dapat terbang dengan jangkauan mencapai 6-10 km. Lama hidup ngengat antara 5-10 hari dengan siklus hidup 39-58 hari (Khan et al. 1991; Balitpa 2009b). Karakteristik penggerek batang padi kuning adalah kelompok telur diletakkan pada daun bagian ujung, hanya seekor larva dalam satu tunas, pupa berada di dalam pangkal tunas di bawah permukaan tanah, tanaman inang utama adalah padi dan tanaman padi liar. Perubahan kepadatan populasi penggerek batang padi kuning di lapangan sangat dipengaruhi oleh keadaan iklim (curah hujan, suhu, kelembaban), varietas padi yang ditanam, dan musuh alami yaitu parasitoid, predator, dan patogen (Dale 1994; Balitpa 2009b). Penggerek Batang Padi Putih Telur yang diletakkan penggerek batang padi putih berkisar antara 70-260 butir/kelompok, diletakkan dipermukaan atas daun atau pelepah, mirip telur penggerek batang padi kuning. Kelompok telur ditutupi rambut halus, berwarna cokelat kekuning-kuningan, stadium telur 4-9 hari. Larvanya mirip dengan penggerek batang padi kuning, panjang maksimal 21 mm, berwarna putih kekuningan. Larva yang sudah berkembang penuh pada saat menjelang musim hujan berakhir dan setelah panen akan mengalami diapause pada batang padi tua dan tunggul padi. Lamanya diapause tergantung pada lamanya musim kemarau. Setelah turun hujan mencapai 10 mm dan saat tanah lembab, larva yang berdiapause akan menjadi pupa dan selanjutnya menjadi ngengat. Stadium larva 19-31 hari, saat diapause dapat berlangsung 3 bulan (Dale 1994).
14
Imago keluar dari pupa dalam periode waktu yang relatif bersamaan dan meletakkan telur di persemaian. Imago berwarna putih dengan panjang betina 13 mm dan jantan 11 mm, imago tertarik cahaya. Imago aktif di lapangan selama musim hujan. Tiga dari lima generasi dihasilkan selama musim tanam padi dan tergantung pada durasi penanaman, jenis varietas, waktu panen dan penanaman padi. Generasi pertama dari menyebabkan kerusakan pada persemaian dan tanaman yang baru ditransplanting. Generasi kedua dan tiga menyebabkan kerusakan pada fase vegetatif dan generatif (Dale 1994). Karakteristik penggerek batang padi putih antara lain: kelompok telur, larva, dan pupa mirip penggerek batang padi kuning. Larva mampu berdiapause selama musim kemarau di dalam pangkal batang. Masa terbang ngengat pada awal musim hujan terjadi hampir bersamaan. Dinamika populasi penggerek batang padi putih sangat dipengaruhi oleh perubahan lingkungan terutama faktor iklim (curah hujan), irigasi, dan musuh alami (Balitpa 2009b). Hama ini hidup pada dataran rendah hingga ketinggian 200 m dari permukaan laut. Serangannya tidak terjadi pada daerah dengan intensitas curah hujan tinggi, karena larva tidak dapat hidup pada kondisi basah ekstrim (Dale 1994). Dinamika Populasi Penggerek Batang Padi Perkembangan populasi penggerek batang padi mengalami perubahan dengan adanya perubahan pola tanam padi. Perubahan pola tanam padi erat kaitannya dengan faktor iklim, khususnya curah hujan. Selain faktor iklim, faktorfaktor yang dapat memicu terjadinya peningkatan populasi penggerek batang adalah terjadinya perubahan biologi hama, dari yang tadinya berdiapause menjadi tidak berdiapause (Balitpa 2009b). Disamping itu, ledakan penggerek batang padi juga berhubungan dengan komposisi musuh alami di ekosistem padi misalnya parasitoid (Rauf 2000). Lebih lanjut Khan et al. (1991) menjelaskan bahwa perkembangan populasi penggerek batang padi dipengaruhi oleh umur tanaman, varietas tanaman dan kesuburan tanah. Ngengat penggerek batang padi lebih menyukai tanaman muda untuk meletakkan telur daripada tanaman tua. Tanaman padi yang dipupuk dengan nitrogen dosis tinggi ditemukan telur penggerek batang lebih banyak dan perkembangan larva menjadi lebih baik daripada tanaman yang tidak dipupuk.
15
Pemodelan Perkembangan Organisme Pengganggu Tumbuhan Penerapan pengelolaan hama secara terpadu mencakup upaya secara preemtif dan responsif. Upaya preemtif adalah upaya pengendalian yang didasarkan pada informasi dan pengalaman status organisme pengganggu tumbuhan (OPT) waktu sebelumnya. Upaya ini mencakup penentuan pola tanam, penentuan varietas, penentuan waktu tanam, keserentakan tanam, pemupukan, pengairan, pengaturan jarak tanam, penyiangan, penggunaan agen hayati dan teknik budidaya lainnya untuk menciptakan tanaman sehat. Upaya responsif adalah upaya pengendalian yang didasarkan pada informasi status OPT dan faktor yang berpengaruh pada musim yang sedang berlangsung, serta pertimbangan biaya manfaat dari tindakan yang perlu dilakukan. Upaya ini antara lain seperti penggunaan musuh alami, pestisida nabati, pengendalian mekanis, atraktan dan pestisida kimia (Baehaki & Widiarta 2009). Untuk melaksanakan tindakan tersebut di atas diperlukan informasi ekologis, terutama tentang perkembangan populasi atau serangan OPT dan musuh alaminya,
perkembangan
tanaman
inang,
dan
faktor-faktor
lain
yang
mempengaruhi perkembangan OPT. Informasi tersebut artinya merupakan pemahaman terhadap agroekosistem yang akan dikelola dengan melakukan analisis terhadap data historis dan ekologis atau analisis ekosistem. Hasil analisis ekosistem tersebut dapat disusun dalam suatu model prediksi kejadian serangan OPT atau model peramalan OPT, yang selanjutnya hasil aplikasi model peramalan berupa informasi peramalan OPT pada suatu daerah atau lokasi dapat dijadikan input dalam merencanakan agroekosistem atau merencanakan usahatani.