BAB II TINJAUAN PUSTAKA
2.1.
Pengertian Desa Suatu hal yang cukup penting dan sering menimbulkan masalah di dalam
penanganan desa adalah adanya keragaman pengertian tentang desa. Menurut Ma’rif (Suprapta, 2006), secara morfologis desa merupakan wilayah yang diperuntukkan bagi kegiatan agraris dan sisanya untuk bangunan-bangunan yang terpencar dalam jumlah penduduk kecil dan kepadatan rendah. Secara ekonomi merupakan wilayah dengan ciri kegiatan agraris yang mendominasi kehidupan masyarakatnya, secara sosial desa merupakan wilayah dengan ciri kehidupan sosial dan hubungan kekeluargaann yang erat dan masih terpaku pada adat istiadat dan secara demografis desa adalah wilayah dengan penduduk sekitar 2.500 jiwa (Ma‘rif dalam Suprapta, 2006). Menurut Bintarto (Koestoer, 1997) desa merupakan hasil perpaduan antara kegiatan sekelompok manusia dengan lingkungannya, yang ditandai oleh permukiman yang tidak padat, sarana transportasi yang langka serta penggunaan tanah persawahan. Ciri-ciri lainnya yaitu berupa unsur-unsur sosial pembentuk desa yaitu penduduk dan tata kehidupan dimana ikatan tali kekeluargaan di desa sangat erat yang ditandai dengan dominannya perilaku gotong royong masyarakat. Sedangkan menurut Dirjen Bangdes (Daljoeni, 1994) ciri-ciri wilayah desa antara lain: (1) perbandingan lahan dengan manusia (man-land ratio) cukup besar lahan di pedesaan relatif lebih luas
Universitas Sumatera Utara
daripada jumlah penduduk sehingga kepadatan penduduk masih rendah (2) lapangan kerja yang dominan agraris (3) hubungan antar warga desa sangat akrab (4) tradisi lama masih berlaku. Menurut Landis dalam Rahardjo (1999), definisi desa dipilah menjadi 3 (tiga) yakni: (1) Desa merupakan suatu lingkungan yang penduduknya < 2.500 orang. (2) Desa merupakan suatu lingkungan yang penduduknya mempunyai hubungan yang akrab dan serba informal diantara sesama warganya. (3) Desa merupakan lingkungan yang penduduknya tergantung pada sektor pertanian. Kawasan pedesaan adalah kawasan yang mempunyai kegiatan utama pertanian, termasuk pengelolaan sumber daya alam, dengan susunan fungsi kawasan sebagai tempat permukiman perdesaan, pelayanan jasa pemerintahan, pelayanan sosial dan kegiatan ekonomi. Pusat pedesaan merupakan pusat pelayanan yang secara langsung dapat meningkatkan produksi pertanian, pelayanan sosial maupun ekonomi desa. Pelayanan dan penyediaan dapat berupa: a. Tempat pelayanan dan pengumpulan serta pemasaran hasil-hasil pertanian b. Distribusi input pertanian berupa: pupuk, peralatan, kredit dan perbaikan fasilitas c. Tempat fasilitas pengelolaan hasil untuk komsumsi maupun untuk dipasarkan. Dari segi fungsinya desa merupakan ”hinterland” atau daerah belakang yang berperan dalam produksi pertanian (tanaman pangan, peternakan, perikanan dan perkebunan) untuk memenuhi kebutuhan warga desa dan kota. Desa berfungsi sebagai penyedia bahan mentah (raw material) dan tenaga kerja.
Universitas Sumatera Utara
Dalam pembangunan desa diharapkan pembangunan dari masyarakat pada unit pemerintah yang terendah yang harus dilaksanakan dan harus dibina terus-menerus secara sistematik dan terarah sebagai bagian penting dalam usaha pembangunan negara sebagai usaha yang menyeluruh (Beratha dalam Sinaga, 2004). Wujud dari pembangunan desa adalah mengadakan berbagai program dan proyek pembangunan yang bertujuan menciptakan kemajuan desa (Purba, 2006). Pembangunan desa sebagai bagian integral dari pembangunan nasional memiliki tujuan untuk mewujudkan masyarakat Indonesia yang maju, mandiri, sejahtera dan adil. Untuk mewujudkan kondisi masyarakat yang dicita-citakan itu, pembangunan desa akan difokuskan pada penanggulangan kemiskinan, khususnya kemiskinan pedesaan (Sumodiningrat, 1999; Adisasmita, 2006). Chambers dalam Sitanggang (2007) pembangunan perdesaan adalah suatu strategi yang memungkinkan kelompok masyarakat tertentu, laki-laki dan wanita miskin di desa, memperoleh yang mereka inginkan dan perlukan bagi dirinya maupun anak-anaknya Ndraha dalam Sinaga (2004) keberhasilan suatu desa dapat dilihat dari: a. Kondisi kehidupan yang dapat diperbaiki dan ditingkatkan yang berarti: a) Pemerintah berhasil membangun berbagai fasilitas kehidupan masyarakat di pedesaan sebagai modal dan sarana penggerak desa, meliputi prasarana produksi, prasarana sosial dan b) Pemerintah berhasil menggerakkan masyarakat dengan berbagai cara dan sarana sehingga mampu berswadaya dalam pembangunan desa. b. Masyarakat telah mampu berkembang sendiri dan hidup dalam suasana sejahtera dengan lingkungannnya berkat pemanfaatan sumber daya secara lokal dan optimal. 2.2.
Pengertian Kota
Universitas Sumatera Utara
Istilah kota berasal dari sejarah perkotaan di Eropa kuno. Pada zaman Yunani Kuno kota-kota yang pada saat itu dianggap sebagai republik kecil, letaknya terpencarpencar di wilayah pegunungan yang dinamakan “polis”. Kota-kota pada waktu itu berupa benteng pasukan pendudukan Romawi di negeri-negeri Eropa yang disebut “urbis” dan lahan di luar kota di atas parit-parit yang mengelilingi benteng disebut “sub urbis”. Dari istilah-istilah ini kemudian muncul istilah “urban” dan “sub urban”, sedangkan pedesaan di luar kota penduduknya adalah petani disebut “Ru” dan dari sinilah timbul istilah “rural”. Sementara itu suatu benteng dinamakan kota apabila menjadi pusat perdagangan dan pertukangan yang memungkin berfungsinya pasar dalam kota (Daldjoeni, 2003). Daerah urban (urban area) adalah suatu daerah dengan tingkat kepadatan penduduk yang relatif tinggi daripada daerah lain . Daerah urban dicirikan dengan kegiatan permukiman yang dominan di sektor non-agraris dan menjadi pusat kegiatan perekonomian (yaitu produksi, distribusi dan konsumsi) baik untuk daerah itu sendiri maupun untuk daerah sekitarnya (hinterland). Kepadatan penduduk merupakan ciri yang lain dari kota. Menurut Adisasmita (2010) kota diartikan sebagai suatu permukaan wilayah di mana terdapat pemusatan (konsentrasi) penduduk dan berbagai jenis kegiatan ekonomi, sosial budaya dan administrasi pemerintah. Dickinson (Jayadinata, 1999), kota adalah suatu permukiman yang bangunan rumahnya rapat, dan penduduknya bernafkah bukan pertanian dan kota dapat dikenali dari jumlah penduduknya. Di
Universitas Sumatera Utara
Indonesia menurut data statistik suatu daerah dapat disebut kota apabila jumlah penduduknya minimal 20.000 jiwa serta kota dapat dicirikan adanya prasarana perkotaan seperti bangunan pemerintah, rumah sakit, pasar, sekolah, ruang terbuka yang teratur (open space), taman, jaringan, jalan beraspal, listrik dan tempat hiburan. Bintarto (1989), dari segi geografis kota dapat diartikan sebagai suatu sistem jaringan kehidupan manusia yang ditandai dengan kepadatan penduduk yang tinggi dan diwarnai dengan strata sosial-ekonomi yang hetrogen dan coraknya yang materialistis atau dapat pula diartikan sebagai bentang budaya yang ditimbulkan oleh unsur-unsur alami dan non alami dengan gejala-gejala pemusatan penduduk yang cukup besar dengan corak kehidupan yang bersifat heterogen dan materialistis dibandingkan daerah belakang (hinterland). Sejalan dengan pendapat diatas, Sujarto (1997) secara umum membatasi pengertian kota dilihat dari beberpa aspek yaitu: secara demografis merupakan pemusatan penduduk yang tinggi dengan tingkat kepadatan yang tinggi dibandingkan dengan wilayah sekitarnya; secara sosiologi selalu dikaitkan dengan batasan adanya sifat heterogen dari penduduknya serta budaya urban yang telah mengurangi budaya desa; secara ekonomis suatu kota dicirikan dengan proporsi lapangan pekerjaan yang dominan di sektor non pertanian seperti industri, pelayanan dan jasa, transportasi dan perdagangan; secara fisik suatu kota dicirikan dengan adanya dominasi wilayah terbangun (built up area) dan struktur binaan; secara geografis kota diartikan dengan suatu pusat kegiatan yang dikaitkan dengan suatu lokasi strategis; secara administrasi pemerintahan suatu kota dapat diartikan sebagai wilayah wewenang yang dibatasi oleh
Universitas Sumatera Utara
suatu wilayah hukum yang ditetapkan berdasarkan peraturan perundang-undangan yang berlaku. Menurut Nas (1990), kota diartikan sebagai suatu tempat pertemuan yang berorientasi keluar. Sebelum kota menjadi tempat permukiman yang tetap, pada mulanya ia sebagai tempat orang pulang balik sebagai tempat berjumpa secara teratur, dan mempunyai daya tarik (magnit) pada penghuni luar kota untuk mengadakan kontak, memberikan dorongan untuk kegiatan rohaniah dan perdagangan serta kegiatan yang lain. Berdasarkan pengertian kegiatan ekonomi bahwa kota adalah memiliki kegiatan industri dan jasa, maka banyak kota sebenarnya masih dalam taraf perkembangan. Hal ini berarti bahwa tata kehidupan perkotaan belum sepenuhnya dianut, yang dapat dilihat dari struktur kehidupan penduduknya maupun perwujudan fisiknya (Sinulingga, 2005). Proboatmodjo (1993) menjelaskan bahwa kota yang berpenduduk lebih dari 20.000 jiwa sering menggambarkan ciri kekotaan yang lebih dominan, fungsinya lebih luas dan menunjukkan interaksi lebih luas dibandingkan dengan kota yang berpenduduk kurang dari 20.000 jiwa. Di Indonesia, jumlah penduduk merupakan ukuran besar kecilnya kota yang termasuk kota kecil adalah kota yang berpenduduk antara 5.000 sampai dengan 50.000 orang, kota sedang yaitu kota yang berpenduduk antara 50.000 sampai dengan 500.000 orang. Sedangkan kota besar adalah kota yang berpenduduk 500.000 ke atas. Kota yang memliki penduduk 1ebih dari satu juta disebut kota Metropolitan; yaitu suatu
Universitas Sumatera Utara
wilayah yang memiliki ciri sebagai suatu pusat perdagangan, industri, budaya dan pemerintahan yang dikelilingi oleh daerah semi urban (sub urban), kawasan perumahan atau kota-kota kecil yang digunakan sebagai tempat tinggal. Menurut Branch (1996) kota merupakan area terbangun dengan fasilitas infrastrukturnya seperti jalan, lingkungan permukiman yang terpusat pada suatu area dengan kepadatan tertentu, tersedianya kebutuhan sarana dan pelayanan pendukung yang lebih lengkap dibandingkan yang dibutuhkan di daerah pedesaan. Dengan demikian untuk memahami pengertian yang lebih luas dengan pengertian sebagai suatu permukiman yang lebih besar dengan kriteria luas areal yang terbatas, bersifat non-agraris, kepadatan penduduknya relatif tinggi, dan lain-lain tidak selamanya tepat untuk menggambarkan suatu ciri kota tertentu yang hanya diukur secara kuantitatif, sebab kota juga merupakan tempat terkonsentrasinya berbagai kegiatan yang tidak saja ekonomis melainkan politik, sosial, hukum, budaya dan lain-lain dalam satu tata ruang tertentu. Dalam kenyataannya memang wilayah perkotaan seringkali melewati batasbatas administrasinya, keberadaan pusat kota telah mendorong terjadinya perubahan pada wilayah sekitarnya menjadi berbagai macam penggunaan lahan terutama untuk perumahan. Pertumbuhan perumahan kearah luar kota/pinggiran tersebut memungkinkan terjadinya kegiatan-kegiatan dan keterhubungan sehingga terjadi adanya interaksi. Kesempatan memperoleh mata pencaharian tambahan di kota dimungkinkan dengan adanya letak yang berdekatan dengan kota.
Universitas Sumatera Utara
Sesuatu kota selalu mengalami perkembangan dari waktu ke waktu. Perkembangan dalam hal ini menyangkut aspek-aspek politik, sosial, budaya, teknologi, ekonomi, dan fisik. Dari semua aspek perkembangan tersebut akan terlihat langsung pada perkembangan fisik yang terkait dengan penggunaan lahan kekotaan, khususnya perubahan arealnya. Chapin dalam Condro (1996) perubahan penggunaan lahan kekotaan pada dasarnya berkaitan dengan sistem aktivitas antara manusia dengan institusi yaitu masyarakat (individu dan rumah tangga), swasta dan lembaga pemerintah yang masing-masing berbeda dalam kepentingannya. Orientasi kepentingan masyarakat memanfaatkan lahan terletak pada pemenuhan kebutuhan pribadi untuk kebutuhan sosial ekonominya. Kegiatan-kegiatan yang dilakukan meliputi kegiatan untuk memenuhi kebutuhan rumah tangga, sosial, interaksi sosial dan rekreasi. Kesemuanya berkaitan dengan hak pribadi dalam pemilikan lahan. Orientasi kepentingan swasta memanfaatkan lahan terletak pada keuntungan yang diperoleh dari nilai ekonominya. Kegiatan-kegiatan yang dilakukan meliputi kegiatan produksi barang dan kegiatan jasa. Dengan demikian hukum ekonomi akan berlaku disini, dimana swasta akan mencari lokasi yang dirasa paling menguntungkan dan biasanya pada posisi di pusat- pusat kegiatan. Sedangkan lembaga pemerintah berorientasi pada optimalisasi pelayanan umum. Kegiatan-kegiatan yang dilakukan meliputi kegiatan untuk kesejahteraan. Tujuan yang diharapkan adalah terpenuhinya kebutuhan masyarakat dalam memanfaatkan pelayanan umum tersebut.
Universitas Sumatera Utara
Sementara pendapat Sujarto (1997) yang lebih menonjolkan faktor manusia menyebutkan bahwa faktor- faktor perkembangan dan pertumbuhan yang bekerja pada suatu kota dapat mengembangkan dan menumbuhkan kota pada suatu arah tertentu. Sebenarnya hanya ada tiga faktor utama yang sangat menentukan pola perkembangan dan pertumbuhan kota yaitu faktor manusia, faktor kegiatan manusia tersebut dan faktor pola pergerakan antara pusat kegiatan manusia yang satu dengan pusat kegiatan manusia yang lainnya. Secara terperinci dapat diterangkan bahwa faktor manusia akan menyangkut segi-segi perkembangan penduduk kota baik karena kelahiran maupun karena migrasi ke kota, segi-segi perkembangan tenaga kerja, perkembangan status sosial dan perkembangan kemampuan pengetahuan dan teknologi. Faktor kegiatan manusia menyangkut segi-segi kegiatan kerja, kegiatan fungsional, kegiatan perekonomian kota dan kegiatan hubungan regional yang lebih luas sedangkan faktor pola pergerakan adalah sebagai akibat dari perkembangan yang disebabkan oleh kedua faktor perkembangan penduduk yang disertai dengan perkembangan fungsi kegiatannya akan menuntut pola perhubungan antara pusat-pusat kegiatan tersebut. Kemudian ketiga faktor ini secara fisik akan termanifestasikan kepada perubahan akan tuntutan kebutuhan ruang. Tuntutan kebutuhan ruang ini yang akan tercermin kepada perkembangan dan perubahan tata guna lahan kota yang mana kemudian faktor persyaratan fisik akan sangat menentukan perkembangan dan pertumbuhan kota itu selanjutnya. Perkembangan kota tidak hanya ditentukan oleh faktor internalnya, tetapi juga faktor eksternal sangat menentukan. Semakin meluas dan membesarnya fungsi dan
Universitas Sumatera Utara
peranan kota menimbulkan perkembangan di dalam hubungan antara kota yang satu dengan kota lainnya serta hubungan antara suatu kota dengan daerah sekitarnya. Sifat saling ketergantungannya antara kota yang satu dengan kota yang lainnya atau antara suatu kota dengan daerah sekitarnya semakin berkembang, kemajuan teknologi pergerakan semakin meningkat. Dengan demikian faktor-faktor yang berpengaruh terhadap perkembangan dan pertumbuhan kota tidak hanya terbatas kepada dinamika kota itu sendiri tetapi juga oleh perubahan serta dinamika dari jangkauan yang lebih luas.
2.3.
Interaksi Desa Kota Kawasan perdesaan dan perkotaan pada dasarnya merupakan lanskap wilayah
yang saling berhubungan melalui keterkaitan kekuatan ekonomi, sosial, politik dan lingkungan yang sangat kompleks. Kawasan perdesaan semakin diperhitungkan keberadaannya dalam konstelasi kota-kota. Demikian pula, kota-kota melalui perkembangan transportasi dan perkembangan komunikasi yang cepat, mengalami perubahan morfologi. Perubahan morfologi yang terjadi tidak lagi diungkapkan dalam gambaran dari suatu metropolis dengan satu simpul urban yang dikelilingi oleh kawasan perdesaan, namun lebih merupakan sistem keterkaitan desa-kota yang kompleks dan terdesentralisasi (Sugiana, 2005). Interaksi adalah terjadinya kontak atau hubungan antara dua wilayah atau lebih dan dari hasil kontak itu dapat timbul sesuatu kenyataan yang baru dalam wujud tertentu, maka apa yang sedang atau yang sudah terjadi. Menurut Bintarto (1989), Interaksi dapat dilihat sebagai suatu proses sosial, proses ekonomi, proses budaya
Universitas Sumatera Utara
ataupun proses politik dan sejenisnya dan lambat ataupun cepat dapat menimbulkan suatu realita atau kenyataan. Serta adanya interaksi desa dan kota dapat terjadi karena pelbagai faktor atau unsur yang ada dalam desa, dalam kota dan diantara desa dan kota. Adanya kemajuan masyarakat desa, perluasan jaringan jalan desa-kota, integrasi atau pengaruh kota terhadap desa, kebutuhan timbal balik desa-kota telah memacu interaksi desa-kota secara bertahap dan efektif. Menurut Roucek dalam Suprapta (2006) interaksi merupakan suatu proses yang sifatnya timbal balik dan mempunyai pengaruh terhadap perilaku dari pihakpihak yang bersangkutan melalui kontak langsung. Sedangkan Short dalam Suprapta (2006), mengatakan bahwa interaksi merupakan sistem perkotaan dan tatanan dari kota-kota kecil melalui aliran manusia, barang dan gagasan. Aliran ini merupakan dinamika sistem perkotaan dan merupakan daerah sistem pergerakan manusia dalam melakukan aktivitasnya yang berupa perjalanan ke tempat kerja, perjalanan belanja, kunjungan keluarga maupun perjalanan untuk rekreasi, tetapi alasan pergerakan pada umumnya adalah alasan ekonomi, penduduk cenderung bergerak apabila terdapat prospek pekerjaan dan gaji yang lebih baik disamping itu ada alasan dalam bentuk sosial, seperti kurangnya pelayanan sosial yang miskin dan kurang kebebasan individu. Adapun pergerakan penduduk dalam pertumbuhan ekonomi dapat dilihat pada tabel dibawah ini. Tabel 2.1. Pergerakan Penduduk dalam Pertumbuhan Ekonomi Bentuk pergerakan yang dominan Desa – Kota Inter – Urban Urban – rural
Tahap pertumbuhan ekonomi Awal Industrialisasi Iindustrialisasi Post industrialisasi
Universitas Sumatera Utara
Sumber: Short dalam Suprapta (2006) Tabel 2.2. Faktor Pendorong – Penarik Penduduk Desa-Kota Pendorong Pengangguran Pelayanan sosial miskin Kehidupan sosial yang miskin Kurangnya kebebasan
Penarik Kesempatan kerja Pelayanan sosial bagus Kehidupan sosial yang bagus Longgarnya kebebasan
Sumber: Short dalam Suprapta (2006) Menurut Douglass (1996), bahwa peran kota dalam pembangunan desa di identifikasikan menjadi 7 (tujuh) fungsi kota yang paling esensial yaitu: 1. Pusat perbelanjaan 2. Pusat pelayanan yang berjenjang lebih tinggi 3. Pusat pemasaran berbagai produk yang dihasilkan wilayah pedesaan 4. Pusat untuk penyediaan dan pendukung pertanian 5. Pusat pengelolaan pasca panen 6. Penyerap tenaga kerja pedesaan yang bersifat bukan pertanian 7. Pusat informasi dan belajar yang bersifat praktis dan inovatif. Selanjutnya Douglass (1996) menjelaskan bahwa peran kota merupakan hasil hubungan yang saling ketergantungan antara desa dan kota, seperti pada tabel dibawah ini. Tabel 2.3. Keterkaitan Desa Kota Desa Produksi pertanian Intensifikasi pertanian - Infrastruktur pedesaan - Insentif produksi
Kota Pusat Transportasi/perdagangan Pelayanan pendukung pertanian - Input produksi - Pelayanan privat
Universitas Sumatera Utara
- Pendidikan dan kapasitas menyerap inovasi Pendapatan & permintaan Pedesaan untuk barang & Jasa non pertanian Sumber: Douglass, (1996)
- Informasi terhadap metode produksi - Budaya modern - Gaya hidup yang konsumtif Pasar perbelanjaan non pertanian
Adanya interaksi desa kota dapat dilihat dari homogenitas kehidupan desa yang semakin berkurang, berubahnya mata pencaharian penduduk dari sektor pertanian ke sektor industri dan jasa, berubahnya fungsi lahan pertanian untuk perumahan dan industri, meningkatnya laju migrasi desa-kota dan komuter, meningkatnya tingkat pendidikan dan kesejahteraan masyarakat, serta berubahnya fungsi desa sebagai sumber bahan makanan dan sayuran. Adanya interaksi desa-kota (rural-urban) bisa kita lihat dari berubahnya mata pencaharian penduduk dari sektor pertanian ke sektor ekonomi, perdagangan, jasa dan industri sangat terlihat sekali di Kecamatan perbatasan Kabupaten Deli Serdang. Bisa juga interaksi desa-kota kita tunjukkan dari laju komuter, gejala ini bisa kita lihat pada arus lalu lintas pada ruas-ruas jalan di daerah perbatasan wilayah Kecamatan Kabupaten Deli Serdang dengan Kota Medan pada jam-jam sebelum dan sesudah bekerja. Terbatasnya luas lahan di Kota Medan, menyebabkan kebutuhan akan perumahan masih belum bisa mencukupi. Kondisi ini menyebabkan masyarakat Kota Medan cenderung untuk membangun perumahan di daerah pinggiran kota. Hal ini bisa kita lihat dari banyaknya masyarakat Kota Medan yang membangun pemukiman di perbatasan Kecamatan Kabupaten Deli Serdang.
Universitas Sumatera Utara
Kondisi lahan dipinggiran kota yang relatif masih kosong dan harga masih relatif murah dibanding pusat kota, mendorong perkembangan kota terutama penggunaan lahan permukiman tersebar secara sporadis dibagian wilayah pinggiran kota. Faktor penyebab meningkatnya mobilitas tenaga kerja ke daerah perkotaan, antara lain adanya kekuatan sentrifugal (centrifugal force), yakni kekuatan yang mendorong seseorang untuk meninggalkan daerah asalnya karena desakan ekonomi dan fasilitas pendidikan yang serba terbatas.
2.4.
Tingkat Kesejahteraan Masyarakat Menurut Todaro (1998), ada tiga komponen yang dapat diukur dari hakekat
pembangunan. Ketiga komponen itu adalah kecukupan (sustenance), jati diri (selfesteem) serta kebebasan (freedom). Ketiga hal inilah yang merupakan tujuan pokok yang harus dicapai oleh setiap orang dan masyarakat dalam proses pembangunan. Ketiganya berkaitan secara langsung dengan kebutuhan-kebutuhan manusia yang mendasar, yang terwujud dalam berbagai macam manifestasi (bentuk) di hampir semua masyarakat dan budaya sepanjang zaman. Selain bertujuan untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat, pembangunan juga berupaya menumbuhkan aspirasi dan tuntutan masyarakat untuk mewujudkan kehidupan yang lebih baik. Salah satu akibat dari pembangunan yang hanya menerapkan paradigma pertumbuhan semata, adalah munculnya kesenjangan antara kaya dan miskin, serta pengangguran yang merajalela.
Universitas Sumatera Utara
Tantangan utama pembangunan adalah untuk memperbaiki kehidupan. Kualitas kehidupan yang lebih baik memang mensyaratkan adanya pendapatan yang tinggi. Namun kiranya pendapatan bukanlah satu-satunya ukuran kesejahteraan. Banyak hal lain yang tidak kalah pentingnya yang harus diperjuangkan, mulai dari pendidikan, peningkatan standar kesehatan dan nutrisi, pemberantasan kemiskinan, perbaikan kondisi lingkungan hidup, pemerataan kesempatan, pemerataan kebebasan individual dan penyegaran kehidupan budaya. Tingkat kesejahteraan masyarakat dapat dilihat dari berbagai komponen yang dapat menggambarkan apakah masyarakat tersebut sudah berada pada kehidupan yang sejahtera atau belum. Komponen yang dapat dilihat antara lain keadaan perumahan di mana mereka tinggal, tingkat pendidikan, dan kesehatan. Badan Pusat Statistik (2000) menyatakan bahwa komponen kesejahteraan yang dapat dipakai sebagai indikator kesejahteraan masyarakat adalah kependudukan, tingkat kesehatan dan gizi masyarakat, pendapatan masyarakat, tingkat pendidikan, ketenagakerjaan, taraf dan pola konsumsi masyarakat, keadaan perumahan dan lingkungan, dan keadaan sosial budaya. Di samping komponen yang dikemukakan di atas, ada komponen lain yang mempengaruhi tingkat kesejahteraan masyarakat misalnya luas kepemilikan lahan (Djohar, 1999). Hal ini dimungkinkan karena dilihat dari segi ekonomi, lahan/tanah merupakan earning asset yang dapat digunakan untuk menghasilkan pendapatan, sedangkan dilihat dari segi sosial, lahan/tanah dapat menentukan status sosial seseorang terutama di daerah pedesaan.
Universitas Sumatera Utara
2.5.
Dampak Interaksi terhadap Tingkat Kesejahteraan Interaksi antar wilayah terjadi karena adanya keterkaitan sistem jaringan
transportasi, sosial, teknologi, politik, ekonomi dan institusi lainnya. Struktur transportasi
mempunyai
peranan
yang
sangat
penting
dalam
menunjang
pengembangan wilayah serta perangsang kegiatan ekonomi. Adanya jaringan jalan dapat mempermudah pergerakan antara unit-unit simpul, sehingga dapat memperlancar arus barang dan jasa. Lancarnya arus interaksi barang dan jasa akan meningkatkan intensitas interaksi. Selanjutnya semakin tinggi intensitas interaksi, maka semakin maju tingkat ekonomi masyarakat. Tujuan pengembangan wilayah yang bersifat universal ialah peningkatan taraf hidup atau mewujudkan kesejahteraan masyarakat yang semakin lama semakin baik. Orang dikatakan sejahtera kalau dia dengan kekuatan sendiri dapat memenuhi kebutuhan hidup, baik yang bersifat fisiologis atau biologis maupun kebutuhan sosial psikologis, dengan kualitas, kuantitas dan intensitas yang memadai. Suatu wilayah dapat dikembangkan apabila memiliki sumberdaya alam yang dilengkapi dengan sumber daya manusia dengan tingkat pendidikan, tingkat kebudayaan, teknologi dan modal yang cukup memadai untuk dapat mengolah dan memanfaatkan sumberdaya alam yang tersedia guna kemakmuran dan kesejahteraan rakyatnya. Menyadari bahwa pembangunan selalu membawa dampak, baik positif maupun negatif, maka diperlukan indikator-indikator untuk mengukur kinerja pembangunan. Selama ini tingkat pendapatan perkapita banyak digunakan untuk mengukur kinerja
Universitas Sumatera Utara
pembangunan, terutama pembangunan perekonomian suatu negara, namun hal itu tidak cukup memberikan gambaran yang nyata tentang tingkat kesejahteraan masyarakat. Bintarto (1989) mengungkapkan bahwa biasanya yang menjadi indikator dalam mengukur tingkat kesejahteraan adalah tingkat pendapatan per kapita, Produk Nasional Bruto (Gross National Product), pertumbuhan ekonomi, keadaa nutrisi, kesehatan, pendidikan dan kriteria-kriteria sosial untuk kesejahteraan.
2.6.
Penelitian Sebelumnya Wibiseno (2002) dalam penelitiannya “Kajian perubahan penggunaan lahan
Kecamatan Mranggen Kabupaten Demak sebagai kawasan pinggiran Kota Semarang”. Hasil dari penelitian tersebut adalah Kecamatan Mranggen sebagai wilayah yang berbatasan langsung dengan kota Semarang, memiliki potensi yang besar sebagai kota baru yang mampu dipersiapkan sebagai kota penunjang, karena kawasan ini potensial sebagai kawasan permukiman namun segala aktivitas ekonomi seperti mata pencaharian dan belanja memilih pergi ke Kota Semarang. Widodo (2002) melakukan penelitian interaksi wilayah dengan judul “Interaksi Kecamatan di Wilayah pinggiran Metropolitin dengan Kota Induknya (studi kasus Kecamatan Kaliwungu dan Kecamatan Boja dengan Kota Semarang)”. Hasil dari penelitian tersebut adalah sebagai berikut: Perbaikan sarana dan prasarana jaringan jalan terutama untuk Kecamatan Boja dan peningkatan kualitas dan perkuatan sarana dan prasarana perekonomian. Serta penyediaan fasilitas sosial dan fasilitas umum yang benar-benar sesuai kebutuhan.
Universitas Sumatera Utara
Fuad (2005) melakukan studi dengan judul ‘Studi Faktor-faktor yang mempengaruhi keterkaitan desa-kota (Studi kasus desa Purwosari dan desa Pasir)’. Hasil dari studi ini adalah perlu diterapkan adanya pengembangan model keterkaitan desa kota dan model jaringannya, perlu adanya peningkatan aspek efek penetesan kebawah yang bisa dirasakan oleh rumah tangga pedesaan dengan membuka akses ke fasilitas pelayanan umum dan pelayanan sosial serta perlu adanya peran dan fungsi lapangan pekerjaan pertanian yang masih efektif, bukan justru mengubah lahan pertanian produktif menjadi lahan aktifitas diluar pertanian Suprapta (2006) dengan judul penelitian ‘Ketergantungan Wilayah Kecamatan Mranggen terhadap Kota Semarang’. Tujuan yang dicapai dalam penelitian ini adalah menganalisis pola interaksi wilayah perbatasan Kecamatan Mranggen dengan Kota Semarang. Hasil penelitian secara keseluruhan terhadap keterkaitan pemanfaatan sosial menunjukkan bahwa Kecamatan Mranggen masih sangat tergantung terhadap Kota Semarang yang mempunyai kelengkapan fasilitas yang lebih baik. Hal ini terlihat dari banyaknya responden (77,22%) yang memilih Kota Semarang sebagai tujuan pendidikan SLTA dan 80,76% untuk tujuan Perguruan Tinggi. Begitu juga untuk pelayanan kesehatan, khususnya Rumah Sakit yaitu sebesar 55,19% menyatakan memilih Kota Semarang sebagai tujuannya. Pada keterkaitan fisik didapatkan hasil bahwa secara umum akses yang menghubungkan Kecamatan Mranggen dengan Kota Semarang dalam kondisi baik, begitu juga dengan kondisi jalan yang menghubungkan antar desa ke Desa Mranggen kecuali jalan yang menghubungkan Desa Batursari dengan Desa Mranggen. Kondisi jalan yang buruk memberikan implikasi pada
Universitas Sumatera Utara
terhambatnya produktivitas masyarakat. Sedangkan pada keterkaitan ekonomi adanya hubungan timbal balik yang kuat antar kedua wilayah yang antara lain diindikasikan dengan adanya aliran komoditas pertanian dan non pertanian yang mengalir secara dua arah. Kurniawan dan Pandria (2008) dalam penelitiannya “Pengaruh Pergerakan Penduduk Terhadap Keterkaitan Desa-Kota Kecamatan Karangawen dan Kecamatan Grobogan”, hasil temuan studi di Kecamatan Karangawen menunjukkan bahwa pendapatan rumah tangga komuter mengalami kenaikan dan pemanfaatannya lebih banyak untuk konsumsi produktif dengan konsentrasi lebih ke arah lokal. Perputaran uang yang terjadi dari hasil konsumsi yang dilakukan rumah tangga komuter akan meningkatkan akumulasi kapital yang seterusnya dapat meningkatkan pertumbuhan ekonomi wilayah perdesaan. Dalam kaitannya dengan aspek lahan, komutasi yang terjadi secara umum menunjukkan perubahan ke arah positif dilihat dari adanya sedikit peningkatan penggunaan alat-alat pertanian untuk pengolahan lahan pertanian. Pengaruh terhadap aliran tenaga kerja dari adanya komutasi saat ini dapat mengurangi pengangguran di desa, akan tetapi dengan karakteristik komutasi wilayah studi Kecamatan Karangawen dimana cenderung lebih banyak sumber daya manusia berkualitas yang terserap ke kota, akan menjadikan desa semakin kekurangan sumber daya manusia berkualitas. Sementara itu, di Kecamatan Grobogan menunjukkan bahwa adanya aliran uang dalam bentuk balas jasa faktor produksi tenaga kerja dari kota menyebabkan terjadinya peningkatan ekonomi pada rumah tangga migran. Namun hal tersebut
Universitas Sumatera Utara
bersifat semu, karena konsumsi rumah tangga didominasi oleh pengeluaran nonproduktif dan terjadi kecenderungan aliran pemanfaatan pendapatan rumah tangga migran lebih banyak terserap menuju ke kota secara nominal. Akibatnya tidak terjadi akumulasi kapital bagi rumah tangga maupun wilayah desa yang berguna bagi proses pembangunan. Lebih lanjut, secara keseluruhan adanya aliran uang dari proses migrasi penduduk hanya memberikan perubahan yang kecil dalam aspek pemanfaatan lahan. Adanya perubahan yang terlihat hanya sebatas bertambahnya luas penguasaan lahan dalam persentase yang kecil. Sedangkan pada aspek aliran tenaga kerja terjadi kecenderungan brain drain. Desa asal terancam kehilangan tenaga kerja produktif untuk mengelola perekonomian desa, sehingga beresiko menyebabkan terhambatnya pertumbuhan wilayah desa. Penelitian-penelitian interaksi desa kota tersebut di atas hanya mendeskripsikan bagaiman pola dan sifat interaksi desa kota yang terjadi di lokasi penelitian. Sedangkan pengaruh interaksi desa kota terhadap pendapatan masyarakat yang melakukan interaksi dan yang tidak melakukan interaksi serta faktor-faktor yang mempengaruhi masyarakat dalam berinteraksi belum diteliti. Dalam penelitian ini dicoba menganalisis interaksi desa kota terhadap tingkat kesejahteraan masyarakat di Kabupaten Deli Serdang yang dilihat dari pendapatan masyarakat yang melakukan berinteraksi dan yang tidak melakukan interaksi, dan faktor-faktor yang mempengaruhi masyarakat dalam berinteraksi.
2.7.
Kerangka Pemikiran
Universitas Sumatera Utara
Kerangka pikir dalam studi penelitian ini dilatar belakangi adanya perkembangan Kecamatan di Kabupaten Deli Serdang yang bersifat pedesaan sekarang telah menjadi perkotaan. Hal ini disebabkan adanya pergeseran penduduk Kota Medan ke wilayah perbatasan, karena lahan yang ada di Kota Medan sangat langka terutama dipusat kota, ini akibat dari tingginya tingkat urbanisasi dan perkembangan permukiman secara sporadis. Kondisi tersebut sebagai faktor pendorong adanya pergeseran penduduk Kota Medan ke wilayah perbatasan, yang juga mengakibatkan kecenderungan pergeseran aktivitas perkotaan ke daerah pinggiran kota yang melewati batas administrasinya. Maka melihat perkembangan yang terjadi di wilayah Kecamatan Kabupaten Deli Serdang tersebut diindikasikan terjadi interaksi wilayah perbatasan Kecamatan Kabupaten Deli Serdang dengan Kota Medan. Beberapa hal yang nampak atau terjadi yaitu perubahan tata guna lahan dari pertanian ke non pertanian, berubahnya mata pencaharian penduduk dari sektor pertanian ke sektor non pertanian serta adanya laju commuter yang disebabkan banyaknya penduduk yang beraktivitas di Kota Medan semakin meningkat seiring pertumbuhan ekonomi kota, padahal penduduk tersebut tinggal (bermukim) di wilayah perbatasan. Sedangkan di Kota Medan semakin sulit mencari lahan kosong baik untuk perumahan maupun untuk kegiatan ekonomi. Sehingga penduduk Kota Medan cenderung mencari permukiman di daerah perbatasan dikarenakan harga lahan masih relatif murah dan masih banyak lahan yang kosong. Dengan melihat fenomena yang ada, maka studi penelitian ini bermaksud ingin melihat secara lebih dalam bagaimana pola interaksi wilayah perbatasan Kabupaten
Universitas Sumatera Utara
Deli Serdang dengan Kota Medan, dilihat dari tiga keterkaitan yaitu pendapatan, aktivitas penduduk dan faktor-faktor masyarakat melakukan interaksi sebagai upaya penduduk desa perbatasan meningkatkan kesejahteraan. Aktivitas penduduk dilihat dari tingkat interaksi desa-kota. Untuk memberi gambaran yang lebih jelas, dapat dilihat pada Gambar 2.1
Kabupaten Deli Serdang
Kota Medan
Kecamatan
Kecamatan
Interaksi
Pendapatan
Aktivitas Penduduk
Faktor-faktor
Kesejahteraan Masyarakat Kabupaten Deli Serdang Gambar 2.1. Kerangka Pemikiran Penelitian
2.8.
Hipotesis
Universitas Sumatera Utara
1. Pendapatan masyarakat Kabupaten Deli Serdang yang melakukan interaksi akan meningkatkan kesejahteraan. Jumlah penduduk dan jarak wilayah mempengaruhi tingkat interaksi antara desa dan kota dalam mendukung aktivitas penduduk.
Universitas Sumatera Utara