BAB II TINJAUAN PUSTAKA
2.1. Perkembangan Desa, Otonomi dan Desentralisasi Desa Istilah desa berasal dari bahasa India, swadesi yang berarti tempat asal, tempat tinggal, negeri asal, atau tanah leluhur yang merujuk pada kesatuan hidup dengan suatu norma dan memiliki batas wilayah yang jelas (Yuliati dan Poernomo, 2003). Menurut Wasistiono (dalam Hargono, 2010) dalam sejarah perkembangan manusia, Desa dipandang sebagai suatu bentuk organisasi kekuasaan yang pertama sebelum lahirnya organisasi kekuasaan yang lebih besar seperti kerajaan, kekaisaran dan negara-negara modern sebagaimana yang dikenal dewasa ini. Ditinjau dari sudut pandang bidang ekonomi, desa berfungsi sebagai lumbung bahan mentah (raw material) dan tenaga kerja (man power) yang tidak kecil artinya. Desa-desa di Jawa banyak berfungsi sebagai desa agraris yang menunjukkan perkembangan baru, yaitu timbulnya industri-industri kecil di daerah pedesaan yang merupakan “rural industries”. Salah satu peran pokok desa terletak pada bidang ekonomi. Daerah pedesaan merupakan tempat produksi pangan dan produksi komoditi ekspor. Peranan pentingnya menyangkut produksi pangan yang akan menentukan tingkat kerawanan dalam rangka pembinaan ketahanan nasional. Oleh karena itu, peranan masyarakat pedesaan dalam mencapai sasaran swasembada pangan adalah penting sekali. Masyarakat desa perkebunan adalah produsen komoditi untuk ekspor (Wasistiono, 2007).
Universitas Sumatera Utara
Secara Sosiologis, masyarakat desa memiliki karakteristik tertentu yang membedakannya
dengan
kelompok
masyarakat
lainnya.
Boeke
(dalam
Wasistiono, 2007) memberikan gambaran bahwa yang dimaksud dengan Desa adalah persekutuan hukum pribumi yang terkecil dengan kekuasaan sendiri dan kekayaan atau pendapatan sendiri. Persekutuan hukum pribumi terkecil dapat diartikan sebagai persekutuan hukum adat yang tumbuh dengan sendirinya di dalam masyarakat pribumi dan mempunyai dasar tradisional, dan juga persekutuan hukum, dimana hanya penduduk pribumi atau setidak tidaknya sebagian besar daripada penduduk pribumi menjadi anggotanya. Jika dipandang dari sudut politik dan administrasi pemerintahan, maka desa dipahami sebagai suatu daerah kesatuan hukum dimana bertempat tinggal suatu masyarakat yang berkuasa (memiliki wewenang) mengadakan pemerintahan sendiri (Wasistiono dalam Hargono, 2010). Pengertian ini menekankan adanya otonomi untuk membangun tata kehidupan desa bagi kepentingan penduduk, yang mana kepentingan dan kebutuhan masyarakat desa, hanya dapat diketahui dan disediakan oleh masyarakat desa dan bukan pihak luar. Kesatuan masyarakat hukum tersebut mengurus kehidupan mereka secara mandiri (otonom), dan wewenang untuk mengurus dirinya sendiri itu dimiliki semenjak kesatuan masyarakat hukum itu terbentuk tanpa diberikan oleh orang atau pihak lain. Dari sinilah asalnya mengapa ‘Desa’ disebut memiliki otonomi asli, yang berbeda dengan ‘daerah otonom’ lainya seperti Daerah Kabupaten atau Daerah Provinsi yang memperoleh otonominya dari Pemerintah Pusat atau Pemerintah Nasional (Hargono, 2010).
Universitas Sumatera Utara
Setelah Indonesia merdeka, maka para founding fathers kita menyusun UUD 1945 dan meletakkan kedudukan hukum Desa pada pasal 18, yang berbunyi sebagai berikut : “ Pembagian Daerah Indonesia atas daerah besar dan derah kecil dengan bentuk dan susunan pemerintahannya ditetapkan dengan undang-undang dengan memandang dan mengingat dasar permusyawaratan dalam system pemerintahan negara dan hak-hak asal usul yang bersifat istimewa” Pada tahun 1979 dilahirkan sebuah Undang-Undang Nasional tentang Pemerintahan Desa yang efektif yaitu Undang-undang Nomor 5 tahun 1979 yang ditetapkan pada tanggal 1 Desember 1979. Kedudukan pemerintahan desa dapat diketahui dari bunyi pasal 1 huruf a UU Nomor 5 Tahun 1979 yang menyebutkan : “Desa adalah suatu wilayah yang ditempati oleh sejumlah penduduk sebagai kesatuan masyarakat termasuk di dalamnya kesatuan masyarakat hukum yang mempunyai organisasi pemerintah terendah langsung di bawah camat dan berhak menyelenggarakan rumah tangganya sendiri dalam ikatan Negara Kesatuan Republik Indonesia.” UU Nomor 5 Tahun 1979 sama sekali tidak memberikan hak kepada pemerintahan desa atau Kepala Desa untuk menyelenggarakan pemerintahan desa, yang peraturan peraturannya bersumber dari otonomi desa. Akan tetapi pemerintahan
desa
menurut
UU
ini
hanya
berhak
menyelenggarakan
pemerintahan umum yang bersumber dari pemerintah pusat dan pemerintahan daerah yang otonom di atasnya. Kedudukan desa tidak lebih dari wilayah administratif seperti wilayah administratif kelurahan dalam kawasan kota. UU Nomor 5 Tahun 1979 merupakan produk hukum Pemerintahan Orde Baru yang
Universitas Sumatera Utara
dipandang sangat condong menopang Orde Baru dengan politik stabilitas dan sentralisasinya, sehingga menghambat demokratisasi desa. Kebijakan pengaturan tentang Desa pada masa Orde Baru, sejauh mungkin diatur secara seragam dan sentralistis, dengan tujuan untuk kepentingan politik pemerintah. Hal ini secara jelas disebutkan dalam konsideran menimbang dalam UUNomor 5 Tahun 1979, bahwa : “….. sesuai dengan sifat Negara Kesatuan Republik Indonesia, maka kedudukan Desa sejauh mungkin diseragamkan, dengan mengindahkan keragaman keadaan Desa dan ketentuan adat istiadat yang masih berlaku”. Namun upaya penyeragaman ini menghambat tumbuhnya kreativitas dan partisipasi masyarakat dalam memenuhi kehidupan dan penghidupannya secara mandiri, sehingga akhirnya hanya membuatnya tertinggal disbanding masyarakat lainnya. Pengaturan terhadap pemerintahan desa yang kurang berdasar pada karakteristik masyarakatnya, hanya akan menimbulkan ketidakberdayaan dan ketergantungan. Dengan bergulirnya reformasi maka dilakukan pembenahan mendasar dari sentralisasi menuju desentralisasi. Dalam kaitannya dengan adanya reformasi pemerintahan Desa, UU Nomor 5 Tahun 1974 tentang Pokok-Pokok Pemerintahan di Daerah dan UU Nomor 5 Tahun 1979 tentang Pemerintahan Desa, segera diganti dengan UU Nomor 22 Tahun 1999 tentang Pemerintahan Desa. Dalam pasal 1 huruf (o) UU Nomor 5 Tahun 1979 disebutkan bahwa : Desa atau yang disebut dengan nama lain, selanjutnya disebut Desa, adalah kesatuan masyarakat hokum yang memiliki kewenangan untuk mengatur dan mengurus kepentingan masyarakat setempat, berdasarkan asal usul dan adat
Universitas Sumatera Utara
istiadat setempat yang diakui dalam system Pemerintahan Nasional dan berada di Daerah Kabupaten”. UU Nomor 22 Tahun 1999 menegaskan bahwa desa tidak lagi merupakan wilayah administratif. Kedudukan pemerintahan desa adalah subsistem dari system penyelenggaraan pemerintahan di Indonesia, sehingga desa memiliki kewenangan, tugas dan kewajiban untuk mengatur dan mengurus kepentingan masyarakatnya sendiri. Artinya desa tidak dapat berdiri sendiri, dan harus senantiasa melihat dinamika di atasnya. Walaupun Desa tidak lagi menjadi bawahan atau unsur pelaksanaan daerah, melainkan menjadi daerah yang istimewa dan bersifat mandiri yang berada dalam wilayah Kabupaten, dimana setiap warga desanya berhak berbicara atas kepentingan sendiri sesuai kondisi sosial budaya yang hidup di lingkungan masyarakatnya, tetapi yang lebih penting adalah
bagaimana
mengkoordinasikan
keanekaragaman
tersebut
dalam
pemerintahan nasional. Perkembangan Desa di Indonesia selanjutnya adalah pada saat diterbitkannya UU Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah. Desa memang tidak diatur dalam suatu undang-undang tersendiri, karena sesuai amanat UUD 1945 secara eksplisit tidak disebutkan kedudukan pemerintahan desa dalam susunan system pemerintahan Negara Indonesia. Dengan demikian agar urusan yang diserahkan kepada desa dapat dilaksanakan secara efektif dan efisien guna mencapai tujuan pemberdayaan pemerintah dan masyarakat desa, maka perlu dilakukan suatu upaya yang sistemastis dalam menentukan urusan dan kewenangan yang diserahkan. Upaya sistematis dimaksud tentu saja harus berdasarkan prinsip-prinsip pengaturan
Universitas Sumatera Utara
tentang desa dan mempertimbangkan faktor-faktor lainnya, misalnya dukungan supradesa (Pemerintah Kabupaten/Kota), sarana dan prasarana, pembiayaan, personil (kualitas dan kuantitas SDM), serta aspek sosial budaya masyarakat desa. Dalam Peraturan Pemerintah RI Nomor 72 Tahun 2005 tentang Desa, dinyatakan bahwa Desa (atau dengan sebutan lain) adalah kesatuan masyarakat hukum yang memiliki batas-batas wilayah yang berwenang untuk mengatur dan mengurus kepentingan masyarakat setempat, berdasarkan asal-usul dan adat istiadat setempat yang diakui dan dihormati dalam sistem pemerintahan Negara Kesatuan RI. Landasan pemikiran dalam pengaturan mengenai desa tersebut adalah keanekaragaman, partisipasi, otonomi asli, demokrasi dan pemberdayaan masyarakat. Landasan pemikiran tersebut merupakan wujud pemberian dukungan dan dorongan kepada desa dalam rangka meningkatkan peran sertanya dalam pelaksanaan penyelenggaraan pemerintah di Indonesia dan juga mencerminkan Pemerintah Desa sebagai kesatuan pemerintahan terkecil dan terdekat dengan masyarakat yang dipandang memiliki kedudukan yang sangat strategis serta sekaligus diharapkan dapat meningkatkan pelayanan dan pemberdayaan masyarakat secara langsung dan cepat. Untuk meningkatkan peran serta Pemerintah Desa yang dapat dibentuk di wilayah Kabupaten sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku, maka kepada desa diberikan urusan pemerintah yang menjadi kewenangannya dalam menjalankan roda pemerintahannya. UU Nomor 32 Tahun 2004 Pasal 200 mengatur bahwa “Pemerintahan desa terdiri dari Pemerintah Desa dan Badan Permusyawaratan Desa’.
Universitas Sumatera Utara
Berdasarkan Pasal 206 diatas, khususnya pada butir b, maka sebagai upaya untuk lebih memberdayakan Pemerintah Desa dalam melaksanakan pembangunan dan meningkatkan pelayanan masyarakat di desa, pemerintah Kabupaten/Kota dapat menyerahkan pengaturan sebagai urusan pemerintahan yang menjadi kewenangan Kepala Desa. Oleh karena itu, penyerahan sebagai urusan tersebut harus dilakukan dengan semangat pemberdayaan, dan urusan/kewenangan yang diserahkan adalah yang dapat mendorong peningkatan pembangunan dan layanan publik di desa, bukan urusan dan kewenangan yang akan menjadi beban bagi Pemerintah Desa. Selain daripada itu pada pasal 215 ayat (1) UU Nomor 32 Tahun 2004 secara tegas menyebutkan bahwa pembangunan kawasan pedesaan yang dilakukan oleh Kabupaten/kota dan atau pihak ketiga, harus mengikutsertakan Pemerintah Desa dan Badan Permusyawaratan Desa. Pembiayaan atau keuangan merupakan faktor essensial dalam mendukung penyelenggaraan otonomi desa, sebagaimana juga pada penyelenggaraan otonomi daerah. Untuk mengatur dan mengurus rumah tangganya sendiri, Desa membutuhkan dana atau biaya yang memadai sebagai dukungan pelaksanaan kewenangan yang dimilikinya. Fungsi desa telah didudukkan sebagai komponen pelaksana pembangunan yang sangat penting. Pada pasal 215 ayat (1) UU Nomor 32 Tahun 2004 secara tegas menyebutkan bahwa pembangunan kawasan pedesaan yang dilakukan oleh Kabupaten/kota dan atau pihak ketiga, harus mengikutsertakan pemerintah desa dan Badan Permusyawaratan Desa. Dengan dikeluarkannya PP Nomor 72 tahun 2005 tentang desa, maka semakin jelas kedudukan desa dalam pemerintahan NKRI, termasuk didalamnya tentang kewajiban yang tak bisa ditawar-tawar oleh
Universitas Sumatera Utara
Pemerintah Kabupaten untuk merumuskan dan membuat peraturan daerah tentang Alokasi Dana Desa (ADD) sebagai bagian dari kewenangan fiskal desa untuk mengatur dan mengelola keuangannya. Pengelolaan keuangan desa pun menjadi wewenang desa yang mesti terjabarkan dalam peraturan desa (Perdes) tentang anggaran pendapatan dan belanja desa (APBDes). Dengan sumber pendapatan yang berasal dari pendapatan asli desa seperti dari hasil usaha desa, hasil kekayaan desa, hasil swadaya dan partisipasi, hasil gotong royong, dan lain-lain pendapatan asli desa yang sah. Selanjutnya bagi hasil pajak daerah Kabupaten/Kota paling sedikit 10% (sepuluh per seratus) untuk desa dan dari retribusi Kabupaten/Kota sebagian diperuntukkan bagi desa, dan bagian dari dana perimbangan keuangan pusat dan daerah yang diterima oleh Kabupaten/Kota untuk Desa paling sedikit 10%, yang pembagiannya untuk setiap Desa secara proporsional yang merupakan Alokasi Dana Desa (ADD). Kemudian pendapatan itu bisa bersumber lagi dari bantuan keuangan dari Pemerintah, Pemerintah Provinsi, dan Pemerintah Kabupaten/Kota dalam rangka pelaksanaan urusan pemerintahan, serta hibah dan sumbangan dari pihak ketiga yang tidak mengikat. Selanjutnya regulasi juga membolehkan desa untuk mendirikan badan usaha milik desa sesuai dengan kebutuhan dan potensi desa. Artinya desa sesungguhnya telah didorong, diupayakan dan diharapkan menjadi mandiri dan berdikari. Apalagi bergulirnya dana-dana perimbangan tersebut melalui Alokasi Dana Desa (ADD) harusnya menjadikan desa benar-benar sejahtera.
Universitas Sumatera Utara
PP Nomor 72 Tahun 2005 tentang Desa, Pasal 68 ayat (1) dan penjelasannya menyebutkan : (1) Sumber pendapatan Desa terdiri atas : a. Pendapatan Asli Desa, terdiri dari hasil usaha desa, hasil kekayaan desa, hasil swadaya dan partisipasi, hasil gotong royong, dan lain-lain pendapatan asli desa yang sah. b. Bagi hasil pajak daerah Kabupaten/Kota paling sedikit 10% (sepuluh per seratus)
untuk
desa
dan
dari
retribusi
Kabupaten/Kota
sebagian
diperuntukkan bagi desa. Penjelasan Dari bagi hasil pajak daerah Kabupaten/Kota paling sedikit 10% (sepuluh perseratus)
diberikan
langsung
kepada
Desa.
Dan
retribusi
Kabupaten/Kotasebagian diperuntukkan bagi desa yang dialokasikan secara professional. c.
Bagian dari dana perimbangan keuangan pusat dan daerah yang diterima oleh Kabupaten/Kota untuk Desa paling sedikit 10% (sepuluh per seratus), yang pembagiannya untuk setiap Desa secara proporsional yang merupakan Alokasi Dana Desa Penjelasan Yang dimaksud dengan “bagian dari dana perimbangan keuangan pusat dan daerah” adalah terdiri dari dana bagi hasil pajak dan sumberdaya alam ditambah dana alokasi umum setelah dikurangi belanja pegawai. Dana dari Kabupaten/Kota diberikan langsung kepada Desa untuk dikelola oleh Pemerintah Desa, dengan ketentuan 30% (tigapuluh per seratus) digunakan
Universitas Sumatera Utara
untuk biaya operasional pemerintah desa dan BPD, sedangkan 70% (tujuh puluh per seratus) digunakan untuk kegiatan pemberdayaan masyarakat. d.
Bantuan keuangan dari Pemerintah, Pemerintah Propinsi, dan Pemerintah Kabupaten/Kota dalam rangka pelaksanaan urusan pemerintahan. Penjelasan Bantuan dari Pemerintah diutamakan untuk tunjangan penghasilan Kepala Desa dan Perangkat Desa. Bantuan dari Propinsi dan Kabupaten/Kota digunakan untuk percepatan atau akselerasi pembangunan Desa.
e.
Hibah dan sumbangan dari pihak ketiga yang tidak mengikat. Penjelasan Yang dimaksud dengan “sumbangan dari pihak ketiga” dapat berbentuk hadiah, donasi, wakaf, dan atau lain-lain sumbangan, serta pemberian sumbangan dimaksud tidak mengurangi kewajiban pihak penyumbang. Yang dimaksud dengan “wakaf” dalam ketentuan ini adalah perbuatan hukum wakaf untuk memisahkan dan/atau menyerahkan sebagian harta benda miliknya untuk dimanfaatkan selamanya atau untuk jangka waktu tertentu sesuai dengan kepentingannya guna keperluan ibadah dan/atau kesejahteraan umum menurut syariah. Berdasarkan hal tersebut di atas, khususnya tentang pendapatan asli desa
sangat terbatas, kas desa yang bersumber dari pendapatan asli desa sangat minim, bahkan tidak ada. Padahal desa menjalankan fungsi pemerintahan yang tidak jauh berbeda dengan sub system pemerintahan lainnya. Untuk mengantisipasi hal tersebut maka pemerintah melalui UU Nomor 34 sebagai perubahan atas UU Nomor 18 Tahun 1997 tentang Pajak dan Retribusi Daerah yang ditindak lanjuti
Universitas Sumatera Utara
dengan PP Nomor 65 dan 66 Tahun 2001, menetapkan 10% diperuntukkan bagi Desa di Kabupaten. Kemudian bagian hasil pajak Provinsi dan Kabupaten, dan Dana Perimbangan dapat pula ditetapkan 10%, sedang Dana Alokasi Umum Kabupaten/Kota setelah dikurang belanja pegawai 10% dari DAU. Perimbangan Dana Kabupaten/Kota kepada Pemerintah Desa merupakan kelanjutan proses desentralisasi
fiskal
dari
pemerintahan
pusat
kepada
pemerintahan
Kabupaten/Kota. Dalam implementasinya, desentralisasi keuangan ke tingkat desa tersebut terkadang diserahkan secara sepihak oleh pemerintah daerah. Pada akhirnya sering perimbangan dana ini berhenti pada level jargon maupun retorika politik, faktor kepedulian pemerintah kabupaten terhadap desa lebih nampak daripada wujud integritas dan kesadaran terhadap “rule of law”. Dalam konteks ketidakpastian regulasi dan formulasi perimbangan dana perimbangan kabupaten ke desa inilah urgensi mendorong desentralisasi keuangan di desa harus terus dilakukan (Wasistiono dalam Hartono, 2010). Desentralisasi dan otonomi merupakan dua istilah yang memiliki makna berbeda namun dalam prakteknya sering dianggap sama. Turner dan Hulme (1997) menyimpulkan bahwa desentralisasi diartikan sebagai pelimpahan kewenangan (transfer ot authority) dalam menjalankan berbagai urusan publik dari pemerintah pusat ke individu atau ke agensi lain yang lebih dekat dalam memberikan pelayanan publik. Berdasarkan basis pendelegasian (basis for delegation) desentralisasi dapat dilakukan berdasarkan territorial (kewilayahan) atau fungsional. Desentralisasi dapat bersifat desentralisasi penuh (devolution).
Universitas Sumatera Utara
Peraturan perundangan – undangan telah menegaskan adanya pemberian kewenangan kepada pemerintah desa untuk mengatur dan mengurus kepentingan masyarakatnya sendiri, pengertian kewenangan pemerintahan desa untuk mengatur dan mengurus kepentingan masyarakat sendiri diatas, menjadi substansi desentralisasi di tingkat desa. Desentralisalasi desa dapat diartikan secara fungsional yaitu pendelegasian untuk menjalankan fungsi pelayanan publik dan secara teritotial merupakan kewenangan untuk mengatur masyarakat dalam batas kewilayahan tertentu. Dengan demikian desentralisasi desa pada intinya merupakan pelimpahan kewenangan kepada desa untuk mengurs dirinya sendiri (Hamid, 2010). Otonomi berasal dari bahasa yunani autos dan nomos yang berarti pemerintahan sendiri. Dalam wacana administrasi publik daerah otonomi disebut sebagai local self government yang berbeda dengan istilah daerah saja yang disebut sebagai local state government (Nugroho, 2000).
Selain itu otonomi
daerah adalah kewenangan daerah otonom untuk mengatur dan mengurus kepentingan masyarakat setempat menurut prakarsa sendiri berdasarkan aspirasi masyarakat (Suparmoko, 2001). Sebuah daerah otonom memiliki hak dan kewajiban untuk mengatur dan mengurus rumah tangganya sendiri sesuai dengan peraturan perundangan yang berlaku. Pemahaman ini merupakan dasar adanya self governing community (penjelasan umum PP Nomor 76 tahun 2001). Konsekuensi desentralisasi dan otonomi desa adalah adanya pelimpahan fungsi dan kewenangan pemerintahan supra desa ke desa. Secara umum fungsi dan kewenangan tersebut adalah menjalankan roda pemerintahan di desa dalam rangka memberikan pelayanan publik (Hamid, 2010).
Universitas Sumatera Utara
Pilihan pada model kebijakan ADD ini dalam perspektif konvensional analisis kebijakan publik merupakan upaya mereplikasi kebijakan serupa, sebagaimana model relasi keuangan pemerintah pusat dengan daerah. Sedangkan dalam perspektif kritis pemahaman substansi kebijakan secara mendalam, ADD adalah manifestasi kabupaten dalam memenuhi hak-hak dasar desa dalam memberikan pelayanan publik. Untuk mencapainya, harus ada konsistensi pemerintah dalam menjalankan desentralisasi keuangan. Kalau pemerintah propinsi dan kabupaten mendapat perimbangan dana dari pemerintah pusat, seharusnya pemerintah desa juga mendapatkan perlakuan yang sama (Dunn, 2003). Dari aspek kebijakan, desa pada dasarnya memiliki hak untuk memperoleh bagian dari bagian daerah Kabupaten. Skema anggaran yang dikembangkan di tingkat Kabupaten secara umum, masih belum terlihat adanya realisasi kongkrit dari pembagian tersebut. Serapan dana untuk kegiatan rutin hanya menyisakan 2025% untuk dana pembangunan, menunjukkan bahwa masih diperlukan usaha untuk mewujudkan suatu dana perimbangan daerah dengan desa. Realisasi dana perimbangan desa akan sangat ditentukan oleh sejauhmana kabupaten dan desa bisa memperjelas apa yang akan dilayani di masing-masing level. Dana perimbangan desa dari setiap desa ditetapkan dengan mempertimbangkan porsi dari desa yang bersangkutan, tidak ditetapkan melalui pembagian sama rata, melainkan bagian desa dihitung dengan porsi kebutuhan dan potensi desa tersebut. Kebutuhan desa diperhitungkan dari variabel : jumlah penduduk, luas wilayah, kondisi geografis, potensi alam, tingkat pendapatan masyarakat, dan jumlah mereka yang berada di bawah garis kemiskinan. Sedangkan potensi desa
Universitas Sumatera Utara
adalah gambaran mengenai peluang penerimaan desa, baik dari sektor pertanian maupun dari sektor lainnya. Perhitungan ini sendiri diharapkan merupakan perhitungan yang melibatkan atau bahkan dilakukan sendiri oleh masyarakat desa. Pelaksanaan konsep desentralisasi fiskal di tingkat pemerintah desa ini harus sejalan dengan pengembangan sistem perencanaan partisipatif, dimana proses perencanaan didorong kearah penyederhanaan jenis perencanaan, pentingnya pengembangan desentralisasi fiskal yang terdiri dari pelimpahan kewenangan dan transfer fiskal, penyederhanaan mekanisme perencanaan, penataan fungsi dan peranan kelembagaan serta berbagai pihak yang berkepentingan (stakeholder) dalam proses perencanaan. Tanpa adanya sinergi antara desentralisasi fiskal dengan perencanaan partisipatif, dalam pengertian perimbangan keuangan, tidak diletakkan dalam kerangka perencanaan partisipatif akan menyebabkan tidak terwujudnya tujuan peningkatan penyediaan barang dan jasa publik serta peningkatan manfaat yang diterima oleh masyarakat desa. Begitu pula ruang partisipasi yang ada tidak akan dapat dioptimalkan oleh pemerintah dan masyarakat desa, sehingga tujuan umum desentralisasi dalambentuk pelimpahan kewenangan dan transfer fiskal tidak akan dapat dicapai. Pengembangan sistem perencanaan yang partisipatif yang diimplementasikan dalam bentuk tersebut diatas diharapkan dapat meningkatkan proses pembelajaran social dan pemberdayaan pemerintah dan masyarakat desa (Hartono, 2010).
Universitas Sumatera Utara
2.2. Fungsi dan Kewenangan Pemerintah Desa Pada prinsipnya fungsi pemerintah dalam ekonomi dikelompokkan menjadi tiga yaitu: a. Fungsi alokasi (allocation function) b. Fungsi distribusi (distribution function) c. Fungsi stabilisasi (stabilization function) (Musgrave and Musgrave, 1989:6). Fungsi alokasi adalah fungsi pemerintah dalam mengediakan barang publik atau pengadaan barang dan jasa yang gagal disediakan oleh mekanisme pasar. System pasar tidak dapat menyediakan barang/ jasa tertentu karena manfaat dari adanya barang tersebut tidak hanya dirasakan secara pribadi akan tetapi dinikmati orang lain. Contoh barang dan jasa yang tidak dapat disediakan melalui sistem pasar adalah jalan, pembersihan udara dan sebagainya. Fungsi distribusi adalah fungsi pemerintah dalam rangka mendistribusikan pendapatan dan kesejahteraan kapada masyarakat secara berkeadilan. Fungsi stabilisasi adalah fungsi pemerintah dalam rangka mencapai atau mempertahankan kondisi tertentu, seperti terciptanya kesempatan kerja yang tinggi, stabilnya tingkat harga pada level yang rasional atau mencapai tingkat pertumbuhan ekonomi yang diinginkan (Guritno, 1993). Skala mikro ketiga fungsi tersebut dapat dijalankan pemerintah desa dalam perekonomian desa, untuk itu pemerintah desa memerlukan berbagai kewenangan. Kewenangan yang dimiliki oleh pemerintahan desa secara formal merupakan kewenangan yang ditegaskan dalam peraturan perundang-undangan. Berdasarkan PP Nomor 72 tahun 2005 tentang desa bab III pasal 7 bahwa terdapat empat hal yang menjadi kewenangan desa yaitu :
Universitas Sumatera Utara
a. Urusan pemerintahan yang sudah ada berdasarkan hak asal usul desa. b. Urusan pemerintahan yang menjadi kewenangan Kabupaten/ Kota yang diserahkan pengaturannya kepada desa. c. Tugas pembantuan dari Pemerintah Pusat, Pemerintah Provinsi Dan Pemerintah Kabupaten / Kota. Untuk tugas ini harus disertai dengan pembiayaan sarana dan prasarana serta sumber daya manusia. d. Urusan pemerintahan lainnya yang oleh peraturan perundang-undangan diserahkan Kepada Desa.
2.3. Tranfer Keuangan dan Pembiayaan Pemerintahan Desa Sesuai dengan asas money follow function, kewenangan yang dilimpahkan kepada Pemerintah Desa harus disertai pendanaan untuk menjalankan kewenangan tersebut. Pada tahun anggaran 1969/1970 Pemerintah Pusat mulai menganggarkan dana untuk desa melalui instruksi Presiden (Inpres) bantuan Pembangunan Desa. Inpres ini bertujuan untuk mendorong peningkatan gotong royong dan swadaya masyarakat dalam pembangunan desa. Inpres diberikan ke daerah berdasarkan jumlah desa dikalikan jumlah subsidi per desa (Mahi Dan Ardiansyah, 2002). Pada tahun anggaran 1994/1995 terdapat jenis baru untuk pendanaan pembangunan desa yaitu melalui IDT (Inpres Desa Tertinggal). Inpres ini dimaksudkan untuk memberikan bantuan khusus (special assistance) kepada daerah-daerah
yang
dikategorikan
tertinggal
dalam
hal
pembangunan
dibandingkan daerah lain. Target utama anggaran ini adalah untuk menekan jumlah penduduk miskin di desa. Walaupun masih sedikit laporan yang secara
Universitas Sumatera Utara
khusus mengkaji keberhasilan pembiayaan Pemerintah Pusat ke Desa melalui berbagai jenis inpres tersebut, namun seperti halnya keberadaan transfer Pemerintah Pusat ke daerah pada masa lalu menyisakan dua persoalan utama, yaitu tidak sesuainya berbagai jenis inpres tersebut dengan kebutuhan daerah dan meningkatkan kesenjangan fiskal antar daerah (Mahi dan Ardiyansyah, 2002). Berdasarkan pengalaman transfer pemerintah pada masa – masa sebelum lahir Perundang - Undangan Otonomi Daerah, maka melalui konsep desentralisasi fiskal Undang - Undang Nomor 25 tahun 1999, transfer dana dari Pemerintah lebih menekankan peranan bantuan yang bersifat umum (general Purpose grant). Dalam hubungannya dengan pembiayaan di Daerah, perlu diketahui sumber pendapatannya yang pasti agar terdapat kepastian pula mengenai pelaksanaan dan kelangsungan kegiatan Pemerintahan di Daerah. Seperti telah seringkali di singgung sesuai dengan undang-undang Nomor 25 Tahun 1999 tentang Perimbangan Keuangan antara Pemerintah Pusat dan Daerah, bahwa pada prinsipnya pendapatan daerah dapat dikelompokkan menjadi: (1) Pendapatan Asli Daerah, (2) Dana Perimbangan Pemerintah Pusat dan Daerah, (3) Pinjaman Daerah. Sedangkan perimbangan keunagan antara Pemerintah Provinsi dan Kabupaten terdiri dari : (1) Dana Bagi Hasil, (2) Dana Alokasi Umum, (3) Dana Alokasi Khusus. Jika ini di bandingkan dengan Pemerintahan Desa maka transfer Keuangan antara Pemerintah Kabupaten dengan Pemerintah Desa juga terjadi. Hal ini tertuang dalam Peraturan Pemerintah Nomor 72 tahun 2005 pasal 68 mengatur sumber pembiayaan pemerintahan desa berasal dari lima komponen yaitu : 1. Pendapatan asli desa ( PADes ).
Universitas Sumatera Utara
2. Bagi Hasil Pajak Daerah Kabupaten / Kota paling sedikit 10% untuk Desa dan dari retribusi Kabupaten / Kota sebagian diperuntukkan bagi Desa. 3. Bagian dari dana perimbangan keuangan pusat dan daerah yang diterima oleh Kabupaten / Kota untuk desa paling sedikit 10% yang pembagiannya untuk setiap desa secara proporsional yang merupakan alokasi dana desa. 4. Bantuan keuangan dari Pemerintah Pusat, Pemerintah Provinsi Dan Pemerintah Kabupaten Kota dalam rangka urusan pemerintah. 5. Hibah dan sumbangan dari pihak ketiga yang tidak mengikat. Berdasarkan pasal 68 Peraturan Pemerintah nomor 72 tahun 2005 tentang desa diketahui bahwa hubungan keuangan antara Pemerintahan Kabupaten Dengan Pemerintahan Desa berupa bagi hasil pendapatan (revenue sharing) yang berasal dari pajak dan retribusi daerah dan bantuan (grants) yang berasal dari dana perimbangan yang diterima Kabupaten. Pendapatan desa dari dana perimbangan belum ada pengaturannya, padahal bagi desa sumber penerimaan ini sangat penting. Tujuan adanya dana bantuan dari Pemerintah Kabupaten ke Pemerintah Desa pada prinsipnya sama dengan tujuan dana bantuan antara Pemerintah Pusat ke Kabupaten. Menurut (Simanjuntak dan Hidayanto, 2002) pada prinsipnya ada tiga tujuan adanya transfer dana bantuan antar tingkat pemerintah : 1. Meminimumkan ketimpangan fiskal vertikal yaitu mengurangi perbedaan kemampuan fiskal antara pemerintah yang pusat dengan pemerintah daerah. 2. Meminimumkan ketimpangan fiskal horizontal yaitu mengurangi perbedaan kemampuan fiskal antara Pemerintah Desa.
Universitas Sumatera Utara
3. Sebagai insentif bagi Pemerintah Daerah yang memberikan pelayanan dengan manfaat yang menyebar. Insentif ini juga dapat diberikan berdasarkan pertimbangan
lain
misalnya
prestasi
Pemerintah
Daerah
dalam
mengupayakan penerimaan dari sumber daya yang dimiliki prestasi atas penyelenggaran pelayanan publik. Simanjuntak dan Hidayanto dalam Hamid (2010) menyebutkan bahwa perumusan alokasi dana bantuan harus memiliki sifat kecukupan, fleksibel dan stabil. Kecukupan artinya alokasi dana dapat menutupi kebutuhan dana Pemerintah Daerah. Fleksibel artinya besar dana alokasi disesuaikan dengan kemampuan Pemerintah Pusat sedangkan stabil artinya bahwa adanya kepastian bagi Pemerintah Daerah dalam mendapatkan alokasi dana. Berdasarkan praktek ada tiga cara dalam menentukan jumlah alokasi dan transfer, yaitu : 1. Proporsi tertentu dari penerimaan pemerintah atau persentase tertentu dari penerimaan pemerintah. 2. Secara adhoc dialokasikan seperti halnya pengalokasian keperluan belanja lainnya. 3. Menggunakan formulasi tertentu misalnya dikaitkan dengan proporsi dari pengeluaran spesifik atau karakteristik daerah penerima bantuan. Pendistribusian transfer dana antar tingkat pemerintah, yaitu dana bantuan pemerintah Kabupaten ke Pemerintahan Desa pada prinsipnya sama dengan pendistribusian dana bantuan dari Pemerintah Pusat ke Daerah. Hasil studi Ma (1997) di berbagai Negara, menyimpulkan setidaknya ada empat model
Universitas Sumatera Utara
pendistribusian yang dipraktekkan (Yansekardias, 2001: 24-28). Model tersebut antara lain : 1. Model kesenjangan fiskal (fiskal gap). Pendistribusian transfer didasarkan atas perbedaan antara kebutuhan dan kemampuan fiskal, sehingga merupakan model transfer yang paling baik. Model ini memerlukan persyaratan ketersediaan data khususnya yang terkait dengan pengeluaran. Persyaratan ini belum banyak dipenuhi di Negara – Negara berkembang, karena keterbatasan data yang dimiliki pemerintah. 2.
Model kapasitas fiskal (fiscal capacity) Transfer dengan model ini didasarkan atas kemampuan atau kapasitas
fiskal (fiscal capacity) daerah dan mengabaikan prebedaan kebutuhan fiskal antar daerah. Menurut model ini daerah yang memiliki kapasitas fiskal dibawah ratarata nasional akan mendapat dana transfer yang lebih besar, sehingga disimpulkan tujuannya adalah pemerataan kemampuan fiskal antar daerah. 3.
Model transfer berdasarkan indikator kebutuhan Model ini didasarkan atas pemikiran agar setiap daerah mampu memenuhi
kebutuhan pelayanan publik minimum yang telah ditentukan. Indikatornya sangat tergantung dari berbagai sudut pandang seperti tujuan pemerintah, faktor sejarah, dan politik. Indikator – indikator yang digunakan antara lain tingkat pendapatan perkapita, kepadatan penduduk, luas daerah, tingkat kemiskinan, tingkat pengangguran, tingkat kematian bayi, tingkat harapan hidup, tingkat putus sekolah, infrastruktur yang tersedia, tingkat pembangunan dan sebagainya.
Universitas Sumatera Utara
4.
Model transfer berdasarkan kesamaan basis pajak perkapita Model ini didasarkan atas rasio total transfer terhadap jumlah penduduk
serta dapat digunakan untuk mengurangi kesenjangan kapasitas fiskal antar daerah. Walaupun tidak dapat menjamin kondisi tersebut berlangsung dalam kurun waktu lama.
2.4. Alokasi Dana Desa Alokasi Dana Desa (ADD) diderivasi dari formulasi DAU dengan beberapa proposisi tambahan. Dalam beberapa hal tujuan keadilan dalam transfer dana, mendorong semangat desentralisasi, tidak diskriminatif, transparan, sederhana dan mendorong kemajuan desa penerima menarik untuk diterima sebagai landasan. Alokasi Dana Desa merupakan salah satu bentuk hubungan keuangan antar tingkat pemerintahan yaitu hubungan keuangan antara pemerintahan Kabupaten dengan pemerintahan desa. Untuk dapat merumuskan hubungan keuangan yang sesuai maka diperlukan pemahaman mengenai kewenangan yang dimiliki pemerintah desa. Penjabaran kewenangan desa merupakan implementasi program desentralisasi dan otonomi. Dengan adanya desentralisasi dan otonomi desa maka desa memerlukan pembiayaan untuk menjalankan kewenangan yang dilimpahkan kepadanya. Alokasi Dana Desa atau ADD adalah bagian keuangan Desa yang diperoleh dari Bagi Hasil Pajak Daerah dan Bagian dari Dana Perimbangan Keuangan Pusat dan Daerah yang diterima oleh Kabupaten. Menurut Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 37 Tahun 2007 tentang Pedoman Pengelolaan
Universitas Sumatera Utara
Keuangan Desa pada Pasal 18 bahwa Alokasi Dana Desa berasal dari APBD Kabupaten/Kota yang bersumber dari bagian Dana Perimbangan Keuangan Pusat dan Daerah yang diterima oleh Kabupaten/Kota untuk Desa paling sedikit 10% (sepuluh persen). Tujuan Alokasi Dana Desa adalah : 1. Meningkatkan penyelenggaraan pemerintah Desa dalam melaksanakan pelayanan
pemerintahan,
pembangunan
dan
kemasyarakatan
sesuai
kewenangannya. 2. Meningkatkan kemampuan lembaga kemasyarakatan di Desa dalam perencanaan, pelaksanaan dan pengendalian pembangunan secara partisipatif sesuai dengan potensi desa. 3. Mendorong peningkatan swadaya gotong royong masyarakat. Sumber Pendapatan Desa yang telah dimiliki dan dikelola oleh Desa tidak dibenarkan diambil alih oleh Pemerintah atau Pemerintah Daerah. Bagian dari dana perimbangan keuangan Pusat dan Daerah yang diterima oleh Pemerintah Kabupaten diterjemahkan sebagai ADD. Tujuan ADD semata-mata bukan hanya pemerataan, tetapi haruslah keadilan (berdasarkan karakter kebutuhan desa). Sehingga besarnya dana yang diterima setiap desa akan sangat bervariasi sesuai dengan karakter kebutuhan desanya. Terdapat tiga kata kunci yaitu pemerataan, keadilan dan karakter kebutuhan desa yang terdiri dari tujuh faktor yaitu : a. Kemiskinan (jumlah penduduk miskin), b. Pendidikan dasar, c. Kesehatan,
Universitas Sumatera Utara
d. Keterjangkauan desa (diproksikan ke jarak desa ke ibukota Kabupaten/Kota dan Kecamatan), e. jumlah penduduk, f. Luas wilayah, dan Lebih lanjut Surat Edaran Menteri Dalam Negeri Nomor 140/640/SJ, tanggal 22 Maret 2007 perihal “Pedoman Alokasi Dana Desa dari Pemerintah Kabupaten/Kota kepada Pemerintah Desa” memberikan formulasi sebagai acuan bagi daerah dalam menghitung Alokasi Dana Desa. Rumus yang dipergunakan berdasarkan asas merata dan adil. Asas merata adalah besarnya bagian ADD yang sama untuk setiap desa, atau Alokasi Dana Desa Minimal (ADDM), sedangkan asas adil untuk setiap desa berdasarkan nilai bobot desa yang dihitung dengan rumus dan variabel tertentu (misalnya Variabel Kemiskinan, Keterjangkauan, Pendidikan, Kesehatan, dan lain-lain) atau disebut sebagai Alokasi Dana Desa Proporsional (ADDP). Penetapan besarnya Alokasi Dana Desa (ADD) dari Pemerintah Kabupaten/Kota kepada Pemerintah Desa didasarkan atas beberapa ketentuan sebagai berikut : 1. Dari bagi hasil pajak daerah kabupaten/Kota paling sedikit 10% untuk desa diwilayah Kabupaten/Kota yang bersangkutan sebagaimana UU Nomor 34 Tahun 2000 tentang perubahan Atas UU Nomor 18 Tahun 1997 tentang Pajak Daerah dan Retribusi Daerah. 2. Dari retribusi Kabupaten/Kota yakni hasil penerimaan jenis retribusi tertentu daerah Kabupaten/Kota sebagian diperuntukan bagi desa, sebagaimana
Universitas Sumatera Utara
diamanatkan dalam UU Nomor 34 tahun 2000 tentang Perubahan atas UU Nomor 18 Tahun 1997 tentang Pajak Daerah dan Retribusi Daerah. 3. Bantuan keuangan kepada desa yang merupakan bagian dari Dana Pemerintah Keuangan pusat dan Daerah yang diterima oleh Kabupaten/kota antara 5% sampai dengan 10%. Persentase yang dimaksud tersebut diatas tidak termasuk Dana Alokasi Khusus. Dasar pemberian Alokasi Dana Desa (ADD) adalah amanat Pasal 212 ayat (3) UU Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Desa, yang ditindaklanjuti dengan PP Nomor 72 Tahun 2005 tentang Desa, khususnya pasal 68 ayat (1). Sedangkan perhitungan besaran ADD didasarkan pada Surat Menteri Dalam Negeri tanggal 22 Maret 2003 Nomor 140/640/SJ perihal Pedoman Alokasi Dana Desa dari Pemerintah Kabupaten/Kota kepada Pemerintah Desa. Ada beberapa hal yang harus dipenuhi dalam perhitungan besarnya ADD untuk tiap desa, yaitu : 1. Rumus ADD dipergunakan untuk menghitung besarnya ADD untuk setiap Desa. 2. Ketersediaan data untuk perhitungan ADD merupakan prasarat pertama. 3. Rumus yang digunakan harus berdasarkan asas merata dan adil. Asas merata adalah besarnya bagian ADD harus sama untuk setiap desa (ADDM = Alokasi Dana Desa Minimal), dengan prosentase 60% dari ADD. Asas adil adalah besarnya bagian ADD yang dibagi secara proporsional untuk setiap desa berdasarkan Nilai Bobot Desa (BDx) yang dihitung dengan rumus dan variable tertentu (ADDP = Alokasi Dana Desa Proporsional) dengan prosentase 40% dari ADD.
Universitas Sumatera Utara
Dalam pengalokasian dana tersebut sudah pasti akan dapat terjadi ketimpangan fiskal antardesa, dan hal tersebut akan menyebabkan tidak dapat tercapainya keadilan dalam pengalokasian tersebut. Kebijakan ADD memang menjadi instrumen bagi terselenggarannya pemerintahan desa secara partisipatif. Hal ini karena ADD terintegrasi ke dalam APBdes dan tahap perencanaan, penetapan dan implementasi program yang tertuang dalam APBdes menghendaki partisipasi warga. Namun demikian ADD juga menjadi arena bagi elemen-elemen penyelenggara pemerintahan desa untuk mengusung kebijakan dan program yang responsif bagi kepentingan masyarakat. Fakta telah menunjukkan bahwa berbagai program yang diusung Desa menjadi sangat dekat dengan aspirasi masyarakatnya dan mendapat dukungan dana swadaya dan gotongroyong yang signifikan. Tidak kalah penting prgram itu juga diawasi pelaksanaannya sehingga mendorong akuntabilitas dan transparasi di dalam melaksanakan pekerjaannya. ADD juga menjadi alat yang mempercepat proses kemandirian masyarakat desa untuk menyelesaikan berbagai masalah yang sebenarnya bisa mereka pecahkan sendiri di wilayahnya. Dengan adanya ADD warga dapat belajar menangani projek secara swakelola dan akhirnya mereka semakin percaya diri untuk mandiri membangun desanya (Hargono, 2010).
2.5. Ruang Lingkup Yuridis Alokasi Dana Desa (ADD) Pemahaman tentang eksistensi Alokasi Dana Desa (ADD), dapat ditelusuri dari uraian pasal telah dikemukakan oleh Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah, dimana secara implisit, dapat dicermati melalui pasal 212 ayat (3) yang menyatakan bahwa sumber pendapatan desa terdiri dari :
Universitas Sumatera Utara
a. Pendapatan Asli Desa. b. Bagi Hasil Pajak Daerah & Retribusi Daerah Kabupaten/Kota. c. Bagian dari Dana Perimbangan Keuangan Pusat & Daerah yang diterima Kabupaten/Kota. d. Bantuan
dari
Pemerintah,
Pemerintah
Provinsi
dan
Pemerintah
Kabupaten/Kota. e. Hibah dan Sumbangan dari Pihak ketiga Memperhatikan substansi yang terkandung dalam susunan ayat (3) di atas, dapat dimengerti bahwa terdapat hubungan keuangan antara Pemerintah Desa terhadap Pemerintah Kabupaten/Kota dalam 3 (tiga) bentuk yang meliputi : a. Bagi Hasil Pajak & Retribusi Daerah Kabupaten/Kota. b. Bagian dari Dana Perimbangan yang diterima oleh Kabupeten/Kota dari Pemerintah Pusat. c. Bantuan dari Pemerintah Kabupaten/Kota. Menurut Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 37 Tahun 2007 tentang Pedoman Pengelolaan Keuangan Desa pada Pasal 18 bahwa Alokasi Dana Desa berasal dari APBD Kabupaten/Kota yang bersumber dari bagian Dana Perimbangan Keuangan Pusat dan Daerah yang diterima oleh Kabupaten/Kota untuk Desa paling sedikit 10% (sepuluh persen). Surat Edaran Menteri Dalam Negeri Nomor : 140/640/sj Tanggal 22 Maret 2005 perihal Pedoman Alokasi Dana Desa dari Pemerintah Kabupaten/Kota kepada pemerintah desa.
Universitas Sumatera Utara
2.6. Keadilan (equity) Alokasi Dana Desa Rahardjo (2011) menyebutkan ada tiga fungsi pokok Pemerintah secara khusus di bidang ekonomi yakni : (1) Efisiensi, (2) Stabilitas, (3) Keadilan. Tindakan pemerintah yang menyangkut efisiensi berupa segala upaya untuk memperbaiki kesalahan pasar seperti misalnya monopoli dan dampak eksternalitas negatif. Dalam menjaga stabilitas, ini berkaitan dengan makro ekonomi. Dengan kebijakan fiskal dan moneter yang merupakan keijakan makro ekonomi, pemerintah dapat mempengaruhi jumlah output, angkatan kerja, dan pola harga (inflasi) dalam suatu perekonomian. Tindakan pemerintah yang menyangkut keadilan berkaitan dengan mendorong tersedianya lapangan kerja, mengentaskan kemiskinan,
memberikan
banyuan
kepada
kelompok
masyarakat
yang
membutuhkan. Dengan kata lain keadilan merupakan kebijakan pemerintah yang memperlakukan semua orang/ warga negaranya dan semua pihak dalam masyarakat secara sama, tidak berat sebelah dan tidak pilih kasih. Dalam prinsip pemberian bantuan Alokai Dana Desa (ADD) prinsip keadilan ini dimaksudkan bahwa Pemerintah Daerah/ Kabupaten mengalokasikan ADD tidak sama bagi setiap desa. Akan tetapi pemerintah membagi Alokasi Dana Desa secara proporsional untuk setiap desa sesuai dengan variable yang telah di tetapkan. Variable yang telah ditetapkan tersebut antara lain adalah jumlah penduduk, kemiskinan, keterjangkauan, pendidikan dasar, kesehatan dan lain-lain. Jadi dengan fungsi keadilan ini maka setiap desa akan memperoleh bantuan alokasi dana desa tidak sama setiap desa, karena desa memiliki jumlah penduduk yang berbeda, jumlah penduduk miskin yang berbeda, jumlah masyarakat yang memiliki pendidikan dasar yang berbeda serta potensi desa
Universitas Sumatera Utara
yang berbeda sehingga menyebabkan terjadinya perbedaan Alokai Dana Desa yang diterima masing-masing desa. Seperti halnya Dana Alokasi Umum (DAU) yang berdasarkan prinsip keadilan dalam pembagiannya, untuk meratakan pendapatan antar daerah, Dana Alokasi Desa (ADD) juga memiliki tujuan untuk meratakan pendapatan antar desa. Akan tetapi secara konseptual prinsip keadilan ini berkaitan dengan besaran jumlah dana Alokasi Dana Desa yang diterima masing-masing desa. Saat ini alokasi dana untuk desa dirasa masih terlalu kecil dan pendistribusiannya masih bias sehingga kurang memberikan rasa keadilan. Selama ini alokasi dana untuk desa dibagi berdasarkan anggaran yang ada di Kabupaten. Dan dalam penerapannya terkadang tidak menggunkan kriteria-kriteria yang dipertimbangkan seperti jumlah penduduk, dan sebagainya. Ini memungkinkan pembagian alokasi dana ke desa bisa dianggap adil untuk Kabupaten tersebut namun tidak adil bila dilihat secara nasional atau bahkan mungkin pembagian alokasi dana ke desa bisa dianggap belum adil untuk kabupaten apalagi bila dilihat secara nasional. Hal ini dimungkinkan karena formula dari pemerintah pusat mengenai Alokasi Dana Desa baik yang diatur dalam Peraturan Pemerintah Nomor 72 Tahun 2005 tentang Desa belum memberikan formula yang baku dan multitafsir sesuai dengan kebijakan daerah. Sebenarnya pemerintah pusat telah mengeluarkan suatu pedoman formula namun hanya dituangkan dalam Surat Menteri Dalam Negeri Nomor 140/640/SJ tahun 2005 tentang Pedoman Alokasi Dana Desa dari Pemerintah Kabupaten/ Kota ke Pemerintah Desa, yang menggunakan sistem pembobotan desa berdasarkan variabel seperti kemiskinan, pendidikan dasar dan kesehatan.
Universitas Sumatera Utara
Memang undang – undang tersebut mengamanatkan otonomi lebih pada Pemerintah Kabupaten / Kota namun tidak berarti Pemerintah Desa harus bergantung penuh terhadap Pemerintah Kabupaten / Kota, karena sesungguhnya Pemerintah Desa mempunyai kewenangan sendiri untuk mengurus wilayahnya bahkan pengelolaan keuangan dan kekayaan desa telah diatur tersendiri, seperti yang telah diatur dalam Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 4 Tahun 2007 tentang Pengelolaan Kekayaan Desa, Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 35 Tahun 2007 tentang Pelaporan dan Pertanggungjawaban Pemerintah Desa serta Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 37 Tahun 2007 tentang Pengelolaan Keuangan Desa. Sasaran utama Alokasi Dana Desa menurut peraturan Bupati Labuhanbatu Selatan nomor 10 Tahun 2009 tentang Pedoman umum Pelaksanaan Alokasi dana Desa adalah : 1. Meningkatnya efektifitas penyelenggaraan pemerintahan Desa 2. Meningkatnya pelaksanaan pembangunan desa. 3. Meningkatnya kualitas pelayanan masyarakat. 4. Meningkatnya partisipasi dan pemberdayaan masyarakat desa.
2.7. Pengelolaan Alokasi Dana Desa Keuangan Desa adalah semua hak dan kewajiban dalam rangka penyelenggaraan pemerintahan desa yang dapat dinilai dengan uang termasuk didalamnya segala bentuk kekayaan yang berhubungan dengan hak dan kewajiban desa tersebut.
Universitas Sumatera Utara
Pengelolaan Keuangan Alokasi Dana Desa (ADD) merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari Pengelolaan Keuangan Desa dalam APBDesa oleh karena itu dalam Pengelolaan Keuangan Alokasi Dana Desa (ADD) harus memenuhi Prinsip Pengelolaan Alokasi Dana Desa sebagai berikut: 1. Seluruh kegiatan yang didanai oleh Alokasi Dana Desa (ADD) direncanakan, dilaksanakan dan dievaluasi secara terbuka dengan prinsip dari, oleh dan untuk masyarakat. 2. Seluruh kegiatan harus dapat dipertanggungjawabkan secara administratif, teknis dan hukum. 3. Alokasi Dana Desa (ADD) dilaksanakan dengan menggunakan prinsip hemat, terarah dan terkendali. 4. Jenis kegiatan yang akan dibiayai melalui Alokasi Dana Desa (ADD) sangat terbuka untuk meningkatkan sarana pelayanan masyarakat berupa pemenuhan kebutuhan dasar, penguatan kelembagaan desa dan kegiatan lainnya yang dibutuhkan masyarakat desa yang diputuskan melalui musyawarah desa. 5. Alokasi Dana Desa (ADD) harus dicatat dalam Anggaran Pendapatan dan Belanja Desa dan proses penganggarannya mengikuti mekanisme yang berlaku.
2.8. Penetapan Jumlah Alokasi Desa Desa Dalam Surat Edaran Menteri dalam Negeri Nomor 140/640/SJ Tanggal 22 maret 2005 perihal Pedoman Alokasi Dana desa dari Pemerintah Kabupaten / Kota Kepada Pemerintah Desa tertulis bahwa rumus alokasi dana desa yang dipergunakan berdasarkan asas merata dan adil.
Universitas Sumatera Utara
Asas penentuan ADD adalah adil dan merata, oleh karena itu, ditetapkan bahwa dari total ADD dibagi atas : a.
60% terbagi habis secara merata untuk seluruh desa di Kabupaten/Kota dan disebut Alokasi Dana Desa Minimum (ADDM)
b.
40% dilakukan pemetaan dengan pola pikir yang telah ditentukan dan disebut Alokasi Dana Desa Proporsional (ADDP)
KEBIJAKAN ALOKASI DANA DESA
Arahan Kebiajkan Umum
Bagian Dari Dana Perimbangan Keuangan Antara Pemerintah Pusat dan Daerah Yg Diterima Kab/Kota
Dana Perimbangan - Dana Bagi Hasil - DAU - DAK
Dikurangi Alkasi Dasar Utk Belanja PNS Daerah
Minimal 10% untuk ADD bagi Seluaruh Desa
Pola Alokasi
Alokasi Dana Desa Minimal 60%dari total ADD dibagi secara Merata utk seluruh Desa
Diatur & diurus Oleh Pemerintah Desa
Alokasi Dana Desa Prprsional 40% dari total ADD dibagi untuk desa Desa tertentu Sesuai Hasil Penilaian
TOTAL ADD TIAP DESA
Gambar 2.1 Kebijakan Alokasi Dana Desa
Universitas Sumatera Utara
Rumus penentuan ADDP dilakukan sebagai berikut : ADDPx = BDX x (ADD –ADDM) Keterangan : BDX
= Nilai Bobot Desa untuk Desa X
ADD
= Total Alokasi Dana Desa untuk Kabupaten/Kota
ADDM
= Jumlah seluruh Alokasi Dana Desa Minimal
Penentuan Bobot Desa dilakukan Sebagai Berikut : a. Nilai Bobot Desa (BDX) adalah nilai desa yang ditentukan berdasarkan beberapa variable independent. Variabel independent merupakan indicator yang mempengaruhi besarnya Nilai Bobot setiap desa (BDX) yang dapat membedakan beban yang ditanggung antara satu desa dengan desa lainnya. b. Variabel independent yang digunakan untuk menentukan Nilai Bobot Desa (BDX) dibedakan atas variable utama dan variable tambahan yang ditentukan oleh Kabupaten/Kota berdasarkan karakter, budaya dan ketersediaan data daerah. c. Variabel independent utama adalah variable yang dinilai terpenting untuk menentukan nilai bobot desa. Variabel utama ditujukan untuk mengurangi kesenjangan kesejahteraan masyarakat dan pelayanan dasar umum antar desa secara bertahap dan mengatasi kemiskinan structural masyarakat di desa. Variabel independent utama meliputi: a. Kemiskinan b. Pendidikan dasar c. Kesehatan, dan d. Keterjangkauan
Universitas Sumatera Utara
d.
Variabel independent tambahan merupakan variable yang dapat ditambahkan oleh masing-masing daerah. Variabel independent tambahan meliputi: a.
Jumlah penduduk
b. Luas Wilayah c. Potensi ekonomi d. Partisipasi Masyarakat e. Jumlah unit komunitas di desa (Dusun, RW dan RT)
2.9. Sasaran dan Mekanisme Pelaksanaan Alokasi Dana Desa Berdasarkan PP Nomor 72 Tahun 2005 tentang Desa, Pasal 68 ayat 1 d penjelasan dinyatakan bahwa : a. Alokasi dana sebesar 30 % yaitu untuk belanja aparatur dan biaya operasional Pemerintahan Desa. b.
Alokasi dana sebesar 70% yaitu untuk biaya pemberdayaan masyarakat dan pembangunan infrastruktur serta peningkatan ekonomi kerakyatan. ADD adalah salah satu sumber pendapatan desa dan penggunaan ADD
terintegrasi dalam APBDesa. Mekanisme pelaksanaannya adalah dimulai dengan dibentuknya
tim
pelaksana
Desa.
Pelaksanaan
kegiatan-kegiatan
yang
pembiayaannya bersumber dari ADD dalam APBDesa, sepenuhnya dilaksanakan oleh Tim Pelaksana Desa, BPD, LKMD dan lembaga kemasyarakatan yang ada di desa ( seperti PKK,RT/RW, Karang Taruna, dll) dengan difasilitasi Camat melakukan Musrenbangdes guna membahas usulan atau masukan tentang rencana kegiatan pembangunan ditingkat desa termasuk rencana penggunaan ADD, dengan berpedoman kepada prinsip-prinsip anggaran dan P3MD (Perencanaan
Universitas Sumatera Utara
Partisipatif Pembangunan Masyarakat Desa). Penetapan recana kegiatan pembangunan yang didanai dengan ADD didasarkan pada skala prioritas pembangunan tingkat desa. Hasil pembahasannya merupakan bahan masukan untuk perencanaan dan penyusunan APBDesa. Hasil musrenbang desa dapat dikategorikan menjadi 2 kelompok yaitu : a.
Program-program yang dapat dibiayai dalam APBDesa tahun bersangkutan
b.
Program-program yang tidak dibiayai dalam APBDesa tahun bersangkutan dan menjadi ususlan ke tingkat Kabupaten melalui musrenbang tingkat Kecamatan. Kemudian Kepala Desa mengajukan permohonan penyaluran Alokasi
Dana Desa kepada Bupati Labuhanbatu Selatan melalui Badan Pemberdayaan Masyarakat dan Pemerintahan Desa setelah dilakukan verifikasi oleh Tim Pendamping Kecamatan. Kemudian Kepala Badan Pemberdayaan Masyarakat dan Pemerintahan Desa meneruskan berkas permohonan berikut lampirannya kepada Kepala Dinas Pendapatan, Pengelolaan Kauangan dan Aset Daerah. Kemudian Kepala DPKAD menyalurkan Alokasi Dana Desa (ADD) langsung dari kas daerah ke rekening Pemerintah Desa yang bersangkutan. Program yang tertuang dalam APBDesa yang telah disetujui Bupati, dapat diimplementasikan dan dibuat Surat Pertanggung jawaban (SPJ). Selama kegiatan berlangsung, dilakukan monitoring dan evaluasi (Monev), baik oleh Tim Pendamping Kecamatan maupun oleh Tim Kabupaten. Hasil monev ini menjadi bahan untuk penyempurnaan proses pelaksanaan proyek ADD.
Universitas Sumatera Utara
Adapun mekanisme pelaksanaan ADD dapat dilihat dalam gambar dibawah ini : Tim Pelaksana Desa
Musrenbang Desa
Penyusunan dan Penyempurnaan APBDes Pelaksanaan ADD dan SPJ
Asistensi Tim ADD Kabupaten
BPM-PEMDES KABUPATEN
Monev
Desa
Pengesahan oleh Bupati
DPPKAD
Gambar 2.2. Alur Pelaksanaan ADD
Universitas Sumatera Utara
2.10. Institusi Pengelola Alokasi Dana Desa Guna menunjang efektifitas pengolahan ADD dibentuk Tim perumus ADD, tim penyuluhan dan tim koordinasi, monitoring dan evaluasi tingkat Kabupaten yang di tetapkan dengan Keputusan Bupati dan tim pendamping tingkat Kecamatan yang ditetapkan dengan Keputusan Camat serta tim pelaksana ADD di tingkat desa di tetapkan dengan Keputusan Kepala Desa.
2.11. Penelitian Terdahulu Dini Gemala (2010), melakukan penelitian yang berjudul “Hubungan Alokasi Dana Desa Dengan Pembangunan Desa di Kecamatan Stabat Kabupaten Langkat”. Dalam Penelitian ini menunjukkan bahwa Terdapat hubungan antara Alokasi Dana Desa dengan Pembangunan Desa di Kecamatan Stabat Kabupaten Langkat. Hubungan tersebut dapat dilihat dengan adanya pemberian alokasi dana desa memiliki efek yang sangat besar dari peningkatan pembangunan desa di wilayah Kecamatan Stabat Kabupaten Langkat. Dari pemberian alokasi dan desa terdapat pembangunan infrastruktur yaitu pembangunan jalan, drainase/selokan, tempat ibadah, sekolah-sekolah diperbaiki, puskesmas diperbaikan, sarana pelayanan masyarakat, selain itu peningkatan kebersihan pasar tradisional, peningkatan SDM masyarakat desa dengan` menggunakan kegiatan pelatihan keterampilan yang bertujuan untuk meningkatakan swadaya masyarakat desa. Peningkatan swadaya masyarakat desa merupakan target utama dari program otonomi daerah, hal ini sangat bermanfaat untuk peningkatan kesejahteraan masyarakat desa/kelurahan Kecamatan Stabat Kabupaten Langkat.
Universitas Sumatera Utara
Yunita Sari (2009) meneliti tentang kebutuhan dan potensi fiskal antar desa di Kabupaten Ogan Komering Ulu. Dalam penelitiannya dia menggunakan variable kebutuhan fiskal yang secara signifikan memiliki pengaruh positif terhadap pengeluaran desa di Kaupaten Ogan Ulu adalah jumlah penduduk. Dan dari hasil perhitungan diketahui rata-rata kebutuhan fiskal desa di Kabupaten Ogn Ulu adalah Rp.80.343.730. dan potensi fiskal sebesar Rp. 9.730.066, ketimpangan fiskal terjadi rata-rata Rp. 76.613.664. Edy Suandy Hamid (2010) dalam penelitiannya berjudul “Tinjauan Mengenai Formula Alokasi Dana Desa” menyatakan Bahwa Alokasi Dana Desa menggunakan formula yang berbasis pada Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah belum memberikan keadilan dan pemerataan Alokasi Dana Desa antar desa di seluruh Indonesia namun hanya memberikan keadilan dan pemerataan hanya pada desa dalam ruang lingkup kabupaten / kota tersebut. Beliau menyatakan Formula penghitungan Alokasi Dana Desa yang berbasis pada Anggaran Pendapatan Belanja Negara selayaknya dicoba untuk diterapkan guna memberikan keadilan dan pemerataan penyaluran Alokasi Dana Desa antar desa di seluruh Indonesia dan menghilangkan kesan bahwa Pemerintah Desa bergantung sepenuhnya kepada Pemerintah Kabupaten, dimana jumlah dana Alokasi Dana Desa yang disalurkan keseluruh desa di Indonesia diperhitungkan sebesar sepuluh persen dari total penerimaan dalam negeri neto. Nani Farida Susanti (2008) dalam penelitiannya tentang formula Alokasi Dana Desa Daerah Kepulauan Studi Kasus Kabupaten Karimun Provinsi Kepri Tahun 2007,
hasil
penelitiannya
menetapkan
bahwa
pembobotan
variable
yang
menghasilkan nilai rata-rata indeks Williamson terkecil. Formula ADD simulasi 3 menghasilkan adanya penurunan nilai rata-rata indeks Williamson dari 0,1725
Universitas Sumatera Utara
menjadi 0,0520, sehingga penggunaan formul ADD memberikan gambaran semakin meratanya pendistribusian ADD dan semakin mengecilnya ketimpangan antardesa. Didiek Setiabudi Hargono (2010) dalam penelitiannya tentang Efektifitas Penyaluran Alokasi Dana Desa Pada Empat desa di Kabupaten Karangasem Propinsi Bali. Hasil penelitiannya dia menyatakan analisa yang dilakukan di empat desa pada empat kecamatan yang berbeda di Kabupaten Karangasem, Bali menunjukkan bahwa penyaluran Alokasi Dana Desa di empat desa tersebut belum mencapai efektifitas yang optimal. Hal tersebut dapat dilihat dari masih adanya kesenjangan (disparitas) pembangunan ekonomi antar wilayah kecamatan dan cenderung meningkat yang tergambar dari meningkatnya nilai Indeks Williamson dari tahun 2004 hingga tahun 2008 mendekati nilai 1 (satu). Ketidakefektifan tersebut disebabkan oleh karena penentuan kuantitas Alokasi Dana Desa per desa belum menggunakan formula Alokasi Dana Desa yang ditentukan oleh pemerintah dalam Surat Menteri Dalam Negeri Nomor 140/640/SJ Tahun 2005, sehingga aspek keadilannya masih kurang terpenuhi. Tidak dipergunakannya pembobotan Desa dalam penentuan ADD Proporsional dengan mempertimbangkan tujuh
actor esensial di desa, turut
mempengaruhi disparitas tersebut
2.12. Kerangka Konseptual Pemerintah Kabupaten/Kota memberikan Alokasi Dana Desa ke setiap desa sebagai wujud nyata pemenuhan Hak Desa dalam membiayai Program Pemerintahan
Desa
dalam
melaksanakan
kegiatan
Pembangunan
dan
Pemberdayaan Masyarakat di desa. Pemberian Aloksi Dana Desa tersebut pemerintah memperhatikan karakteristik dari masing-masing desa dan mentapkan indicator pertimbangan sebagai variable independen. Kemudian indicator
Universitas Sumatera Utara
pertimbangan tersebut dimasukkan dalam rumus pembagian ADD yang ada di Surat Edaran Menteri Dalam Negeri Nomor : 140/640/sj Tanggal 22 Maret 2005 perihal Pedoman Alokasi Dana Desa dari Pemerintah Kabupaten/Kota kepada pemerintah desa. Sehingga diperoleh besaran Alokasi Dana Desa untuk masingmasing Desa.
7. Komunitas Desa 6. Luas Desa FORMULA ALOKASI DANA DESA : ADDx = ADDM + ADDP ADDP = BDx*(ADD)
5. Jumlah Penduduk 4. Keterjangkauan 3. Sarana Kesehatan 2. Pendidikan Dasar 1. Kemiskinan Karakteristik Desa
Total ADD
Desa A B
. BB
C.
DB
C
Besaran Bantuan ADD
n
Gambar. 2.3. Kerangka Konseptual
Universitas Sumatera Utara