II. TINJAUAN PUSTAKA
2.1. Ketimpangan Pembangunan Kota dan Desa Orang desa termasuk kelompok yang rendah pendapatannya. Bekerja di bidang pertanian ternyata kurang menarik, karena pendapatannya lebih rendah apabila dibandingkan bekerja di bidang non pertanian. Pada tahun 2003 pendapatan tenaga kerja pertanian sebesar Rp 1 694 619,- per tahun, sementara non pertanian sebesar Rp 7 340 531,- per tahun.
Hal ini berarti bekerja pada bidang pertanian,
pendapatannya hanya sekitar 25 % dari pendapatan apabila bekerja di bidang non pertanian. Bekerja di kota ternyata lebih baik dan menjanjikan dari pada bekerja dengan lumpur di perdesaan (Suwandi 2005). Adanya ketimpangan pembangunan antara desa sebagai produsen pertanian dengan kota sebagai pusat kegiatan dan pertumbuhan ekonomi telah mendorong aliran sumberdaya dari wilayah perdesaan ke kawasan perkotaan secara tidak seimbang. Akibatnya jumlah dan persentase penduduk miskin lebih banyak terdapat di perdesaan dari pada di perkotaan. Berbagai program untuk mengatasi beberapa permasalahan kesenjangan pembangunan wilayah, sebenarnya telah dilakukan sejak Repelita (1968 – 1973). Pada waktu itu pemerintah menetapkan tiga asas dalam menetapkan lokasi proyek pembangunan yaitu efisiensi, perimbangan antar daerah dan perimbangan di dalam daerah. Program tersebut antara lain: 1). Percepatan pembangunan wilayah-wilayah unggulan/potensial berkembang, tetapi relatif tertinggal dengan menetapkan kawasan-kawasan seperti: (a) kawasan andalan (Kadal) dan (b) kawasan pembangunan ekonomi terpadu (Kapet) yang merupakan salah satu Kadal terpilih di tiap provinsi. 2). Program percepatan pembangunan yang bernuansa mendorong pembangunan kawasan perdesaan dan sentra produksi pertanian seperti: (a) kawasan sentra produksi (KSP atau Kasep); (b) pengembangan kawasan tertinggal; dan (c) proyek pengembangan ekonomi lokal. 3). Program-program sektoral dengan pendekatan wilayah seperti: (a) program Bimas dengan pengembangan kelembagaan pelayanan perdesaan dan
20
pengembangan kapasitas petaninya (dilakukan lebih dari 35 tahun); (b) perwilayahan komoditas unggulan; (c) pengembangan sentra industri kecil; (d) pengembangan ekonomi masyarakat pesisir (PEMP); (e) program pengembangan kecamatan (PPK); dan (f) program kemiskinan.
2.2. Pembangunan Perdesaan Menurut Undang-Undang No. 26 Tahun 2007 tentang Penataan Ruang didefinisikan kawasan perdesaan adalah wilayah yang mempunyai kegiatan utama pertanian, termasuk pengelolaan sumberdaya alam dengan susunan fungsi kawasan sebagai tempat permukiman perdesaan, pelayanan jasa pemerintahan, pelayanan sosial, dan kegiatan ekonomi. Kata kawasan sendiri dapat diartikan sebagai wilayah dengan fungsi utama adalah lindung atau budidaya, sedangkan wilayah adalah ruang yang merupakan kesatuan geografis beserta segenap unsur terkait padanya yang batas sistemnya ditentukan berdasarkan aspek administratif dan atau aspek fungsional. Menurut Suwandi (2005), desa
selama
ini
diartikan
sebagai
struktur
pemerintahan dan tidak pernah ditonjolkan desa sebagai aset nasional, aset perekonomian nasional.
Desa tiada lain adalah kawasan fungsional dengan ciri
kegiatan utama adalah sektor pertanian.
Pembangunan perdesaan dan politik
perberasan nasional, yang dilakukan sejak Repelita I, ternyata mematikan desa sebagai desa industri. Coba perhatikan hilangnya kelembagaan lokal dan pemrosesan beras oleh rakyat, tranportasi beras dari desa ke kota, semua itu proses industri menjadi pupus dengan dibangunnya secara sentralistik BULOG. Sikap mencari nilai tambah yang menjadi ciri industri hilang dari perdesaan. Desa sebagai aset perekonomian menjadi mandul, berubah menjadi aparat pelaksana proyek pemerintah. Di era 90-an yang menggaungkan agribisnis, yang mengharapkan bisa menggugah masyarakat desa/petani berbisnis besar yang beroreintasi pasar, tidak bisa juga merubah sikap petani yang sama sekali tidak mencirikan suatu ciri pelaku industri. Petani adalah produsen, produknya adalah produk kotor yang bisnisnya sekedar sampai ke pengepul. Tidak peduli produk itu mau diapakan, mudahnya mendapatkan uang merupakan target satu-satunya yang dikuasai. Itulah agribisnisnya.
21
Adanya krisis multi dimensi menyebabkan konsep pengembangan kawasan agropolitan
dilirik kembali setelah perekonomian
nasional terpuruk.
Konsep
pengembangan kawasan agropolitan untuk negara-negara berkembang di Asia, telah dianjurkan Friedmann dan Douglass pada tahun 1975.
Menurut Suwandi
(2005), sektor industri yang diyakini dapat mengejar ketinggalan bangsa dan negara, seperti yang dilakukan Indonesia, ternyata gagal menumbuhkan dasar perekonomian yang kuat. Di lain pihak recovery pembangunan pertanian yang terputus oleh adanya prioritas pembangunan industrialisasi, jauh lebih susah daripada membangun baru sistem pertanian
pada konsep pengembangan wilayah transmigrasi atau
pengembangan wilayah yang bersifat resourses base yang lain.
Perombakan
akumulasi kesalahan pada proses pembangunan pertanian yang lalu tidak dapat otomatis menyelasaikan masalah lemahnya nilai tukar produk pertanian ke produk industri manufaktur, sehingga dapat me-recover keunggulan kompetitif dan komparatif produk pertanian yang dihasilkan. Dewasa ini pengembangan kawasan agropolitan bukan saja harus disiapkan sebagai suatu revolusi mental petani dan pejabat saja, tetapi juga harus didukung oleh komitmen nasional yang konsisten untuk jangka panjang. Pengembangan kawasan agropolitan di Indonesia, yang diuji coba mulai tahun 2002 merupakan salah satu upaya dalam merealisasikan pembangunan ekonomi berbasis pertanian pada kawasan pertanian terpilih dengan pendekatan pertanian industri. Kawasan pertanian yang terpilih ini dapat merupakan kawasan atau sentra produksi pertanian berbasis tanaman pangan atau berbasis hortikultura atau berbasis perkebunan atau berbasis perternakan atau komoditas campuran. Pradhan (2003) menyatakan bahwa pembangunan perdesaan hanya dapat berkesinambungan apabila fasilitas prasarana dan sarana yang tersedia dapat menstimulasi serta mendorong aktivitas produksi dan pasar di wilayah perdesaan. Perdesaan sebagai pemasok hasil produksi pertanian dalam bentuk produk-produk primer harus didorong menjadi desa-desa yang mampu menghasilkan bahan olahan atau industri hasil pertanian sehingga menjadi kawasan pertumbuhan ekonomi lokal.
22
Menurut Pranoto (2002) untuk mencapai tujuan pembangunan perdesaan diperlukan integrasi kegiatan-kegiatan pokok yang meliputi: 1). Pembangunan sarana dan prasarana. 2). Pembangunan sistem agribisnis. 3). Pengembangan industri kecil dan rumah tangga. 4). Penguatan lembaga dan organisasi ekonomi masyarakat. 5). Pengembangan jaringan produksi dan pemasaran. 6). Penguasaan teknologi tepat guna. 7). Pengelolaan dan pemanfaatan sumberdaya alam yang berkelanjutan dan peningkatan kehidupan sosial ekonomi kelompok keluarga miskin secara terpadu. 8). Menyempurnakan struktur organisasi pemerintah desa dan lembagalembaga ekonomi lainnya. Menurut Kurnia (1999) upaya untuk melakukan modernisasi dan penguatan ekonomi perdesaan adalah melalui dukungan penyediaan infrastruktur perdesaan seperti jalan, listrik, air bersih, dan prasarana kegiatan ekonomi lainnya. Miyoshi (1997) mengemukakan pernyataan Friedmann dan Douglass, bahwa strategi pembangunan perdesaan yang cocok supaya memperhatikan: 1). Sektor pertanian harus dipandang sebagai leading sektor, 2). Kesenjangan pendapatan dan kondisi kehidupan antara kota dan desa harus dikurangi, 3). Dikembangkan small scale production untuk pemasaran lokal harus dilindungi melawan kompetisi dari pengusaha besar. Menurut Tong Wu (2002) strategi pembangunan dapat mencakup: 1). Redistribusi dengan pertumbuhan. 2). Substitusi export. 3). Penciptaan lapangan kerja dan pembangunan perdesaan. Pembangunan berkelanjutan atau sustainable development merupakan gagasan atau konsep pembangunan yang sudah sejak lama dicanangkan baik oleh sekelompok masyarakat tertentu, negara, maupun oleh Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB).
23
Konsep tersebut dipicu oleh kekhawatiran manusia terhadap kelestarian tempat dimana mereka tinggal, disamping upaya mencari kemungkinan tempat tinggal lain di luar planet bumi. Namun demikian, yang lebih penting bagi manusia adalah bagaimana melestarikan tempat tinggal yang ada saat ini sehingga generasi penerus atau anak cucu kita dapat menikmatinya. Menurut WCED (1987), definisi pembangunan berkelanjutan adalah sebagai berikut: ”Humanity has the ability to make development sustainable to ensure that it meets the needs of the present without compromising the ability of future generations to meet their own needs”. Pembangunan berkelanjutan dapat didefinisikan sebagai “upaya sadar dan terencana yang memadukan lingkup hidup termasuk sumberdaya ke dalam proses pembangunan untuk menjamin kemampuan, kesejahteraan, dan mutu hidup generasi masa kini dan generasi masa depan”. Dalam definisi tersebut, dapat dipahami bahwa konsep pembangunan berkelanjutan didirikan atau didukung oleh tiga pilar, yaitu ekonomi, sosial, dan lingkungan. Ketiga pendekatan tersebut bukanlah pendekatan yang berdiri sendiri, tetapi saling terkait dan mempengaruhi satu sama lain (Munasinghe 1993). Tantangan pembangunan berkelanjutan adalah menemukan cara untuk meningkatkan kesejahteraan sambil menggunakan sumberdaya alam secara bijaksana. Oleh karena itu, kebijakan pembangunan harus memberi perhatian untuk perlunya menata kembali landasan sistem pengelolaan asset-aset di wilayah baik di perkotaan maupun di perdesaan. Penataan kembali tersebut lebih berupa integrasi kepada pemanfaatan ganda, yaitu ekonomi dan lingkungan/ekosistem, dan keberhasilannya dapat dilihat dan dirumuskan dengan melihat indikator-indikator antara lain: kontribusi terhadap keberlanjutan lingkungan lokal, kontribusi terhadap keberlanjutan penggunaan sumberdaya alam, kontribusi terhadap peningkatan lapangan kerja, kontribusi terhadap keberlanjutan ekonomi makro, efektivitas biaya, dan kontribusi terhadap kemandiran teknis.
24
2.3. Konsep Kawasan Agropolitan Menurut Departemen Pertanian (2002) agropolitan berasal dari kata agro berarti pertanian dan politan berarti kota, yaitu kota pertanian yang tumbuh dan berkembang yang mampu memacu berkembangnya sistem dan usaha agribisnis sehingga dapat melayani, mendorong, dan menarik kegiatan pembangunan pertanian (agribisnis) di wilayah sekitarnya. Agropolitan dapat juga diartikan sebagai kota pertanian atau kota di daerah lahan pertanian. Agropolitan jika diartikan dalam bahasa Indonesia adalah Kota Tani. Friedmann dan Douglass (1976) menyarankan kawasan agropolitan (kota pertanian dan desa-desa penyangganya/sentra produksi pertanian) sebagai aktivitas pembangunan berpenduduk antara 50 000 sampai 150 000 orang. Barangkali luasan dan besaran penduduk ini, secara administrasi setara dengan 1 (satu)
Wilayah
Pengembangan Partial (WPP) pemukiman transmigrasi, sedangkan di Pulau Jawa berkisar 1 (satu) sampai 5 (lima) kecamatan. Sebagai contoh di luar Pulau Jawa pada kawasan pertanian di Kabupaten Agam yang sekarang dirintis sebagai kawasan agropolitan dengan komoditas unggulan sapi penggemukan, terdiri atas 5 (lima) kecamatan yang jumlah penduduknya sekitar 56 000 jiwa. Di Pulau Jawa pada kawasan Kecamatan Pacet Cianjur penduduknya sebanyak 171 000 jiwa. Menurut Friedmann dan Doglass tersebut, kawasan agropolitan terdiri atas distrik-distrik agropolitan dan distrik agropolitan didefinisikan sebagai kawasan pertanian perdesaan yang memiliki kepadatan penduduk rata-rata 200 jiwa/km2. Dalam distrik agropolitan akan dijumpai kota-kota tani yang berpenduduk 10 000-25 000 jiwa. Agropolitan merupakan salah satu bentuk rencana untuk penataan kota di perdesaan yang aktivitasnya di sektor pertanian. Agropolitan merupakan gagasan yang baru diperkenalkan di Indonesia oleh Departemen Pertanian pada tahun 2002, namun sampai saat ini perhatian pembangunan masih tetap berorientasi dan didominasi oleh kota-kota besar. Dalam rangka pembangunan perdesaan yang setara kota dimana sektor pertanian yang mendominasi aktifitas masyarakat di perdesaan, maka solusi penataan pembangunannya seyogyanya difokuskan pada sektor pertanian.
25
Agropolitan menjadi sangat relevan dengan wilayah perdesaan karena pada umumnya sektor pertanian dan pengelolaan sumberdaya alam memang merupakan mata pencaharian utama dari sebagian besar masyarakat
perdesaan. Otoritas
perencanaan dan pengambilan keputusan sebaiknya didesentralisasikan
sehingga
masyarakat yang tinggal di perdesaan akan mempunyai tanggung jawab penuh terhadap perkembangan dan pembangunan daerahnya sendiri (Rustiadi et al. 2006). Menurut Rustiadi et al. (2006) pengembangan kawasan agropolitan di Indonesia lebih cocok dilakukan pada skala kecamatan (district scale) karena pada skala kecamatan, akan memungkinkan hal-hal sebagai berikut: 1). Akses lebih mudah bagi rumah tangga atau masyarakat perdesaan untuk menjangkau kota. 2). Cukup luas untuk meningkatkan/mengembangkan wilayah pertumbuhan ekonomi (scope of economic growth) dan cukup luas dalam upaya pengembangan diversifikasi produk dalam rangka mengatasi keterbatasanketerbatasan pemanfaatan desa sebagai unit ekonomi. 3). Pengetahuan lokal (local knowledge) akan mudah diinkorporasikan dalam proses perencanaan. Namun demikian, sebagai unit wilayah fungsional, agropolitan selain dapat berada dalam satu wilayah kecamatan, pengembangan kawasan agropolitan dapat juga berada dalam beberapa kecamatan dalam satu wilayah kabupaten, atau beberapa kecamatan dalam lintas wilayah beberapa kabupaten, atau beberapa kabupaten dalam satu provinsi atau lintas provinsi tergantung kemampuan dan kesiapan wilayah pengembangan tersebut. Menurut Rustiadi et al. (2006) pengembangan kawasan agropolitan adalah bertujuan
meningkatkan pendapatan dan kesejahteraan
masyarakat
melalui
percepatan pembangunan wilayah dan peningkatan keterkaitan desa dan kota dengan mendorong berkembangnya sistem dan usaha agribisnis yang berdayasaing. Sasaran pengembangan kawasan agropolitan adalah untuk mengembangkan kawasan pertanian yang berpotensi menjadi kawasan agropolitan, melalui:
26
1). Pemberdayaan masyarakat pelaku agribisnis agar mampu meningkatkan produksi, produktivitas komoditi pertanian serta produk-produk olahan pertanian, yang dilakukan dengan pengembangan sistem dan usaha agribisnis yang efisien. 2). Penguatan kelembagaan petani. 3). Pengembangan kelembagaan agribisnis (penyedia agroinput, pengelolaan hasil, pemasaran, dan penyedia jasa). 4). Pengembangan kelembagaan penyuluhan pembangunan terpadu. 5). Pengembangan iklim yang kondusif bagi usaha dan investasi.
2.4. Pengembangan Kawasan Agropolitan Pengembangan kawasan agropolitan dirancang dan dilaksanakan dengan jalan mensinergikan berbagai potensi yang ada di masyarakat, pengusaha, dan pemerintah. Tanggung jawab keberhasilan dan pengembangan kawasan agropolitan terletak dari kemampuan pemerintah daerah dalam hal ini Pemerintah Kabupaten/Kota untuk dapat
bertumbuh
sebagai
inisiator
dan
motivator
dalam
menggali
dan
mengembangkan semua potensi yang ada di mayarakat, sedangkan pemerintah provinsi dan pusat lebih berperan dalam membantu fasilitasi yang diperlukan untuk dapat berlangsung dengan kegiatan pengembangan agropolitan. Menurut Suwandi (2005) keberhasilan pengembangan kawasan agropolitan sangat ditentukan oleh 3 (tiga) kegiatan yaitu: 1). Sosialisasi Kegiatan ini sangat penting agar masyarakat mengerti dan memahami kawasan agropolitan.
Pemahaman ini diperlukan agar masyarakat dapat
berperan aktif secara optimal.
Sosialisasi juga diperlukan untuk jajaran
pemerintah kabupaten/kota baik pihak eksekutif, legislatif, dan yudikatif agar fasilitasi pengembangan kawasan dapat lebih tajam dengan skala prioritas yang didasarkan dengan kemampuan dan kebutuhan yang ada.
27
2). Rencana induk pengembangan kawasan agropolitan (master plan) Master plan merupakan dasar fasilitasi dalam mengembangkan kawasan agropolitan oleh berbagai pihak baik pemerintah (kabupaten/kota, provinsi, pusat), pengusaha, dan masyarakat
sendiri.
Oleh karena itu proses
menyiapkan master plan harus melibatkan para pakar, praktisi, dan masyarakat kawasan. Master plan dirancang untuk keperluan jangka panjang (15 – 25 tahun). Oleh karena itu aspek legalitas sangat diperlukan untuk terjaminnya keberlanjutan dari program ini. 3). Manajemen pengembangan kawasan agropolitan Pengembangan kawasan agropolitan
yang kemudian disepekati sebagai
”Gerakan” mengandung arti bahwa berbagai pihak (pemerintah, masyarakat, dan
dunia
usaha)
mempunyai
kepentingan
untuk
bersama-sama
bertanggungjawab sesuai dengan fungsi dan peran mereka masing-masing. Keberagaman kondisi pemerintah daerah (kabupaten/kota, provinsi) baik dilihat dari struktur pemerintah daerah yang dikembangkan, maupun kemampun pemerintah daerah dan masyarakat sehingga mendorong untuk dikembangkan manajemen pengembangan kawasan yang disesuaikan dengan kondisi dan kebutuhan daerah setempat. Pada tahap awal, khususnya dalam kegiatan sosialisasi dan penyiapan master plan, manajemen pengembangan kawasan dengan cara pembentukan kelompok kerja (tingkat kabupaten/kota, provinsi, dan pusat) masih dinilai cukup efektif. Namun dalam kondisi di mana operasionalisasi program sudah semakin intensif dan
keterlibatan
berbagai pihak semakain kompleks, maka perlu disiapkan suatu manajemen khusus dengan mengembangkan suatu unit sebagai ”tim kerja” yang diberi otoritas untuk bertindak sebagai ”POSKO” (Pos Simpul Koordinasi). Berdasarkan pengembangan
permasalahan
kawasan
pembangunan
agropolitan
merupakan
perdesaan alternatif
yang solusi
terjadi, untuk
pengembangan wilayah perdesaan. Kawasan agropolitan di sini diartikan sebagai sistem fungsional desa-desa yang ditunjukkan dari adanya hirarki keruangan desa yakni dengan adanya pusat agropolitan dan desa-desa di sekitarnya membentuk
28
kawasan agropolitan.
Kawasan tersebut terkait dengan sistem pusat-pusat
permukiman nasional da sistem permukiman pada tingkat provinsi (RTRW Provinsi) dan Kabupaten (RTRW Kabupaten). Kawasan agropolitan ini juga dicirikan dengan kawasan pertanian yang tumbuh dan berkembang karena berjalannya system dan usaha agribisnis di pusat agropolitan yang diharapkan dapat melayani dan mendorong kegiatan-kegiatan pembangunan pertanian (agribisnis) di wilayah sekitarnya. Model agribisnis dan konsep pengembangan kawasan agropolitan dapat dilihat seperti Gambar 3.
Produksi Tanaman Komoditas Unggulan
Peternakan Komoditas Unggulan
Komoditas Unggulan Segar Produk Olahan (Industri Kecil/Rumah Tangga)
Pasar Sub Terminal Agribisnis
Bahan Organik Kotoran Perikanan (Pembenihan & Pembesaran)
Gambar 3 Contoh model agribisnis di kawasan agropolitan
29
Suatu wilayah dapat menjadi suatu kawasan agropolitan bila dapat memenuhi persyaratan sebagai berikut: 1). Memiliki sumberdaya lahan dengan agroklimat yang sesuai untuk mengembangkan komoditi pertanian yang dapat dipasarkan atau telah mempunyai pasar (selanjutnya disebut komoditi unggulan), serta berpotensi atau telah berkembang diversifikasi usaha dari komoditi unggulannya. Pengembangan kawasan tersebut tidak saja menyangkut kegiatan budidaya pertanian (on farm) tetapi juga kegiatan off farm-nya, yatu mulai pengadaan sarana dan prasarana pertanian (seperti bibit, obat-obatan, pupuk, alat dan mesin pertanian, kegiatan pengolahan hasil pertanian (seperti: pembuatan produk olahan, produk makanan ringan/kripik, dodol, dan lain sebagainya) sampai dengan kegiatan pemasaran hasil pertanian (seperti bakulan, warung, jual beli hasil pertanian, pasar lelang, terminal/sub terminal agribisnis, dan lain sebagainya), dan juga kegiatan penunjangnya (seperti pasar hasil dan agrowisata). 2). Memiliki berbagai sarana dan prasarana agribisnis yang memadai untuk mendukung pengembangan sistem dan usaha agribisnis, yaitu: (a) Pasar, baik pasar untuk hasil-hasil pertanian, pasar sarana pertanian, alat dan mesin pertanian, maupun pasar jasa pelayanan termasuk pasar lelang, gudang tempat penyimpanan dan prosessing hasil pertanian sebelum dipasarkan. (b) Lembaga keuangan (perbankan dan non perbankan) sebagai sumber modal untuk kegiatan agribisnis. (c) Memiliki kelembagaan petani (kelompok, koperasi, assosiasi) yang harus berfungsi pula sebagai sentra pembelajaran dan pengembangan agribisnis (SPPA).
Kelembagaan petani di samping sebagai pusat
pembelajaran (pelatihan), juga diharapkan kelembagaan petani/petani maju dengan petani di sekitarnya merupakan inti plasma dalam usaha agribisnis.
30
(d) Balai Penyuluhan Pertanian (BPP) yang berfungsi sabagai Klinik Konsultasi Agribisnis (KKA) yakni dengan sebagai sumber informasi agribisnis,
tempat
percontohan
usaha
agribisnis,
dan
pusat
pemberdayaan masyarakat dalam pengembangan usaha agribisnis yang lebih efisien
dan menguntungkan.
Dalam pengembangan kawasan
agropolitan ini BPP perlu diarahkan menjadi Balai Penyuluhan Pembangunan Terpadu dimana BPP ini merupakan basis penyuluhan bagi para penyuluh dan petugas yang terkait dengan pembangunan kawasan agropolitan dan penyuluh swakarsa seperti kontrakan/petani maju, tokoh, masyarakat, dan lain sebagainya. (e) Percobaan/pengkajian teknologi agribisnis, untuk mengembangkan teknologi tepat guna yang cocok untuk daerah kawasan agropolitan. (f) Jaringan jalan yang memadai dan aksessibilitas dangan daerah lainnya serta sarana
irigasi, yang ke semuanya untuk mendukung usaha
pertanian (agribisnis) yang lebih efisien. 3. Memiliki sarana dan prasarana umum yang memadai, seperti transportasi, jaringan listrik, telekomunikasi, air bersih, dan lain-lain. 4. Memiliki sarana dan prasarana kesejahteraan sosial/masyarakat yang memadai seperti kesehatan, pendidikan, kesenian, rekreasi, perpustakaan swalayan, dan lain-lain. 5. Kelestarian lingkungan hidup baik kelestarian sumberdaya alam, kelestarian soial budaya maupun keharmonisan hubungan kota dan desa terjamin. Berdasarkan persyaratan di atas, bila kawasan agropolitan merupakan suatu sistem, maka sistem tersebut terdiri atas subsistem sumberdaya manusia, pertanian dan komoditas unggulan, subsistem sarana dan prasarana agribisnis, sarana dan prasarana umum, prasarana kesejahteraan sosial, dan subsistem kelestarian laingkungan (Deptan 2004).
31
Menurut Deptan (2004) suatu kawasan agropolitan yang sudah berkembang mempunyai ciri-ciri sebagai berikut: 1). Sebagian besar masyarakat di kawasan tersebut memperoleh pendapatan dari kegiatan pertanian (agribisnis). 2). Sebagian besar kegiatan di kawasan tersebut didominasi oleh kegiatan pertanian atau agribisnis, termasuk di dalamnya usaha industri (pengolahan) pertanian, perdagangan hasil-hasil pertanian (termasuk) perdagangan untuk kegiatan ekspor, perdagangan agribisnis hulu (sarana pertanian dan permodalan), agrowisata, dan jasa pelayanan. 3). Hubungan antara kota dan daerah-daerah hinterland atau daerah-daerah sekitarnya di kawasan agropolitan bersifat interdependensi/timbal balik yang harmonis, dan saling membutuhkan. Dimana kawasan pertanian mengembangkan usaha budidaya (on farm) dan produk olahan skala rumah tangga
(off
farm),
sebaliknya
kota
menyediakan
fasilitas
untuk
berkembangnya usaha budidaya dan agribisnis seperti penyediaan sarana pertanian, modal, teknologi, informasi pengolahan hasil dan penampungan (pemasaran) hasil produksi/produk pertanian. 4). Kehidupan masyarakat di kawasan agropolitan mirip dengan susasana kota karena keadaan sarana yang ada di kawasan agropolitan tidak jauh berbeda dengan di kota.
2.5. Pengembangan Komoditas Peternakan Usaha peternakan adalah suatu usaha yang melakukan kegiatan untuk memproduksi hasil peternakan (daging, telur, dan susu) serta hasil ikutannya dengan tujuan sebagian atau seluruh hasilnya untuk dijual/ditukar yang berguna bagi kepentingan manusia (Pambudy 1999). Menurut Saragih (2000), kegiatan usaha budidaya peternakan merupakan bagian dari sistem agribisnis peternakan yang mencakup empat subsistem, yaitu: subsistem agribisnis hulu (upstream off-farm agribusiness); subsistem agribisnis budidaya peternakan (on-farm agribusiness);
32
subsistem agribisnis hilir (downstream off-farm agribusiness); dan subsistem jasa penunjang (supporting institution). Produksi daging, susu, dan telur secara nasional pada tahun 2007 adalah sebagai berikut: 2 069 500 ton daging; 567 700 ton susu; dan 1 382 100 ton telur (Direktorat Jenderal Peternakan 2008). Dengan meningkatnya jumlah penduduk Indonesia, permintaan akan produk peternakan semakin meningkat yang ditunjukkan dengan banyaknya impor daging sebesar 70 626 ton pada tahun 2006. Impor daging yang paling banyak berupa daging sapi sebesar 25 949 ton atau lebih dari sepertiga impor daging Indonesia (Direktorat Jenderal Peternakan 2007). Secara nasional kebutuhan daging, susu, dan telur sebagian besar dipenuhi dari usaha peternakan rakyat. Usaha peternakan rakyat dicirikan oleh: 1). Skala usaha kecil. 2). Bersifat subsistem. 3). Dilakukan sebagai usaha keluarga sering sebagai usaha sambilan. 4). Menggunakan tenaga kerja sederhana sehingga produktivitasnya rendah. 5). Bersifat padat karya. Dengan demikian kondisi ini memiliki posisi lemah dan rentan terhadap perubahan (Dermawan dan Yusmichard 1995). Ada 2 (dua) faktor penyebab lambannya perkembangan peternakan sapi potong di Indonesia (Soehadji, 1995), yaitu: 1). Sentra produksi utama sapi potong di Pulau Jawa dengan porsi 45 % dari total populasi nasional ternyata masih belum optimal, karena: a) Ternak dipelihara menyebar menurut rumah tangga peternakan (RTP) di seluruh perdesaan. b) Ternak diberi pakan hijauan pekarangan dan limbah pertanian. c) Teknologi budidaya rendah. d) Tujuan pemeliharaan adalah menjadikan sapi potong sebagai sumber tenaga kerja. e) Budidaya sapi potong untuk menghasilkan daging dengan orientasi pasar rendah.
33
2). Sentra produksi sapi potong kedua yaitu di Kawasan Timur Indonesia (KTI) dengan porsi 16 % dari populasi nasional memiliki padang penggembalaan yang luas namun padang penggembalaan tersebut dihadapkan pada musim kering yang panjang (9 bulan) dan tampilan (performance) ternaknya sebagai berikut: a) Kematian anak tinggi. b) Kondisi sapi kurus. c) Angka kelahiran rendah. Produktivitas sapi potong di Indonesia masih sangat memprihatinkan karena produksinya masih jauh dari target untuk memenuhi kebutuhan dalam negeri. Ada beberapa faktor yang menyebabkan volume produksi daging masih rendah, antara lain: 1). Populasi rendah, yang dikarenakan pada umumnya peternak memelihara sapi potong dalam skala kecil dan lahan terbatas serta modal yang terbatas pula dan usaha sapi potong merupakan bagian kecil dari seluruh usaha pertanian dan pendapatan total keluarga. 2). Tingkat produksi rendah, karena bibit yang tidak/kurang berkualitas dan keterbatasan jumlah pakan yang tersedia serta tujuan pemeliharaan yang ganda yaitu sebagai hewan potongan dan hewan kerja (Sugeng 2002). Menurut Sitomorang dan Gede (2003) untuk meningkatkan produktivitas sapi potong perlu dilakukan pemuliaan yang terarah melalui kawin alam maupun inseminasi buatan (IB) tergantung dari kondisi lokal setempat.
Pada sistem
perkawinan alam produksi anak sapi potong (net calf crop) dapat ditingkatkan dengan meningkatkan kualitas pakan pejantan dan betina selama kebuntingan, penyapihan dini, mengoptimalkan ratio jantan dan betina, pemilihan pejantan untuk menghindari distokia dan pengontrolan penyakit. Untuk pemanfaatan teknologi IB, penggunaan semen beku (dingin) dapat digunakan untuk meningkatkan kinerja IB tersebut. Menurut Pambudy (1999), sejalan dengan perkembangan pembangunan bidang peternakan, kegiatan budidaya peternakan dilaksanakan melalui tiga evolusi pendekatan yaitu pendekatan teknis, pendekatan terpadu, dan pendekatan agribisnis.
34
2.5.1. Pendekatan Teknis Pendekatan teknis dilakukan dengan tujuan peningkatan populasi ternak, sehingga dapat memenuhi tuntutan kebutuhan pembangunan peternakan dengan upaya: (a) Meningkatkan kelahiran melalui inseminasi buatan (IB). (b) Menekan
kematian
pemberantasan, dan
melalui
penolakan,
pencegahan,
penyidikan,
pengendalian penyakit ternak dan kesehatan
masyarakat veteriner. (c) Pengendalian dan pencegahan pemotongan ternak betina produktif. (d) Mengendalikan ekspor ternak. (e) Mengimpor ternak unggul serta meningkatkan mutu ternak dalam negeri. (f) Distribusi bibit ternak betina serta jantan (Pambudy et al. 2001).
2.5.2. Pendekatan Terpadu Pengalaman menunjukkan bahwa berbagai upaya pendekatan teknis yang dilakukan ternyata tidak mampu memenuhi tuntutan kebutuhan pembangunan. Untuk mencapai tujuan peningkatan populasi ternak dan pendapatan peternak maka diterapkan pendekatan terpadu dengan cara melakukan pembinaan secara masif melalui tiga penerapan teknologi, yaitu: teknologi produksi, ekonomi, dan sosial (Pambudy 1999). Penerapan teknologi produksi dilakukan dengan program Panca Usaha yaitu: perbaikan mutu bibit, pakan, penanganan kesehatan hewan, pemeliharaan, dan reproduksi.
Sebagai pendukung penerapan teknologi produksi diterapkan pula
teknologi ekonomi berupa perbaikan pascapanen dan pemasaran sehingga Panca Usaha menjadi Sapta Usaha, sedangkan penerapan teknologi sosial dilakukan dengan
mengorganisir peternak dalam kelompok tani dan koperasi.
salah satu
program yang dilahirkan melalui pendekatan terpadu adalah Panca Usaha Ternak Potong (PUTP).
35
2.5.3. Pendekatan Agribisnis Menurut Djajalogawa dan Pambudy (2003), agribisnis peternakan diartikan sebagai suatu kegiatan bidang usaha peternakan yang menangani seluruh aspek siklus produksi secara seimbang dalam suatu paket kebijakan yang utuh melalui pengelolaan pengadaan, penyediaan dan penyaluran sarana produksi, kegiatan budidaya, pengelolaan pemasaran dengan melibatkan semua stakeholders (pemangku kepentingan) dengan tujuan untuk mendapatkan keuntungan yang seimbang dan proporsional bagi kedua belah pihak (petani-peternak dan perusahaan swasta). Sistem agribisnis peternakan merupakan kegiatan yang mengintegrasikan pembangunan sektor pertanian secara simultan (dalam arti luas) dengan industri dan jasa dalam suatu kluster industri peternakan yang mencakup empat subsistem. Keempat subsistem tersebut menurut Saragih (2000) adalah sebagai berikut: 1). Subsistem agribisnis hulu (upstream off-farm agribusiness), yaitu kegiatan ekonomi (produksi dan perdagangan) yang menghasilkan sapronak seperti bibit, pakan, industri obat-obatan, inseminasi buatan, dan lain-lain. 2). Subsistem agribisnis peternakan (on-farm agribusiness) yaitu, kegiatan ekonomi yang selama ini kita sebut sebagai usaha ternak. 3). Subsistem agribisnis hilir (downstream off-farm agribusiness), yaitu kegiatan ekonomi yang mengolah dan memperdagangkan hasil usaha ternak.
Ke dalam subsistem ini termasuk industri pemotongan ternak,
industri pengalengan dan pengolahan daging, industri pengolahan kulit. 4). Subsistem jasa penunjang (supporting institution), yaitu kegiatan yang menyediakan jasa agribisnis ternak, seperti: perbankan, asuransi, koperasi, transportasi, penyuluhan, poskeswan, kebijakan pemerintah, lembaga pendidikan serta penelitian, dan lain-lain. Agribisnis merupakan sistem terpadu yang meliputi 4 (empat) bagian subsistem (Irawan dan Pranadji 2002) yaitu: 1). Subsistem pengadaan dan distribusi sarana/prasarana produksi yang akan dipergunakan sebagai input produksi pada subsistem budidaya.
36
2). Subsistem produksi atau usahatani, yang akan menghasilkan produk pertanian primer, misalnya: daging, telur, susu, dan lain-lain. 3). Subsistem pengolahan hasil dan pemasaran. 4). Subsistem pelayanan pendukung, berupa fasilitas jalan, kredit, kebijakan pemerintah. Dengan demikian dapat diartikan secara substansial pengertian sistem agribisnis dari kedua teori tersebut tidak ada perbedaan. Menurut Departemen Pertanian (2001) sebagai suatu sistem, keempat subsistem agribisnis peternakan beserta usaha-usaha di dalamnya berkembang secara simultan dan harmonis, sebagaimana disajikan pada Gambar 4. Subsistem Agribisnis Hulu
Subsistem Agribisnis Budidaya
Subsistem Agribisnis Hilir
Sistem produksi dan distribusi sarana dan alat-alat peternakan:
Sistem kegiatan produksi peternakan primer, penanganan dan pemasaran produkproduk primer: - Pengolahan lahan - Antisipasi iklim/cuaca - Pencegahan penyakit - Pemberantasan penyakit - Pembelian sapronak - Manajemen - Kegiatan produksi
Sistem pengumpulan produk primer peternakan, Pengolahan produk, Distribusi dan pemasaran produk (segar, beku, kaleng, dan sebagainya) sampai ke konsumen akhir
- Bibit/induk/semen - Pakan/konsentrat - Obat ternak - Lahan - Kandang - Tenaga kerja
Subsistem Lembaga Penunjang - Prasarana (jalan, pasar, kelompok peternak, koperasi, dan lembaga keuangan). - Sarana (transportasi, informasi, kredit, peralatan, dan lain-lain). - Kebijakan (RUTR, makro, mikro, dan lain-lain). - Penyuluhan. Gambar 4 Lingkup pembangunan agribisnis peternakan
37
2.5.3.1. Subsistem Agribisnis Hulu Subsistem agribisnis hulu (upstream off-farm agribusness) dari sistem agribisnis peternakan mencakup kegiatan ekonomi (produksi dan perdagangan) yang menghasilkan sarana produksi peternakan, seperti: bibit ternak, pakan, industri obatobatan, dan lain-lain. Kegiatan pada subsistem ini memiliki peranan penting dalam pengembangan sistem agribisnis peternakan, terutama ketersediaan bibit ternak. Salah satu contoh untuk peternakan sapi potong, skala usaha atau jumlah pemilikan induk sapi untuk pembibitan umumnya kecil, berkisar antara 1 – 3 ekor per peternak. Kecilnya usaha ini karena merupakan usaha rumah tangga, dengan modal, tenaga kerja, dan manajemen seluruhnya atau sebagian besar berasal dari keluarga peternak yang serba terbatas.
Kecilnya pemilikan ternak mengakibatkan usaha
pembibitan umumnya hanya sebagai usaha sampingan (Santoso 2001). Ada dua macam teknik reproduksi yang sudah dikembangkan di Indonesia untuk menghasilkan bibit ternak, yaitu inseminasi buatan (IB) dan kawin alam. Di antara kedua teknik reproduksi tersebut, IB semakin popular di kalangan masyarakat peternak.
Hal ini disebabkan oleh tingginya permintaan akan ternak bakalan,
terutama peranakan bangsa sapi yang produktivitasnya tinggi, seperti Simmental, Brahman, Limousin, dan Hereford. Menurut Hadi dan Ilham (2002) ada beberapa permasalahan dalam industri pembibitan sapi potong di Indonesia, antara lain: 1). Angka pelayanan kawin per kebuntingan (service per conception = S/C) masih cukup tinggi mencapai 2.6. 2). Masih terbatasnya fasilitas pelayanan IB yang tersedia baik ketersediaan semen beku, tenaga inseminator, dan masalah transportasi. 3). Jarak beranak (calving interval) masih terlalu panjang. 4). Tingginya tingkat kematian (mortality rate) pedet para sapih, bahkan ada yang mencapai 50 %. Rendahnya produktivitas sapi pembibitan seperti ini menyebabkan kebutuhan sapi bakalan bermutu belum dapat terpenuhi. Hal ini sekaligus mencerminkan masih lemahnya program perbaikan mutu genetik, yang mengharuskan kita tetap mengimpor sapi bakalan dalam jumlah yang cukup besar.
38
2.5.3.2. Subsistem Agribisnis Budidaya Pada subsistem agribisnis budidaya (on-farm agribusness) ada dua kegiatan utama, yaitu kegiatan pembibitan (reproduksi) dan penggemukan. Kegiatan budidaya sapi potong untuk tujuan penggemukan sudah banyak dilakukan, baik dalam skala usaha kecil (petani) maupun dalam bentuk perusahaan besar. Jenis sapi potong yang banyak dikembangkan oleh peternak dalam skala kecil di Indonesia termasuk ke dalam kelompok sapi tropis. Beberapa bangsa sapi tropis yang sudah cukup populer dan banyak dikembangkan sampai saat ini adalah: Sapi Bali, Sapi Madura, Sapi Ongole, dan Sapi American Brahman (Santoso 2001). Menurut Sugeng (1998) kelompok sapi tropis secara umum memiliki ciri-ciri mencolok yang sangat mudah dibedakan dengan kelompok sapi subtropis (Eropa). Bangsa-bangsa sapi tropis memiliki ciri-ciri sebagai berikut: 1. Pada umumnya sapi memiliki ponok. 2. Pada bagian ujung telinga meruncing. 3. Kepala panjang dengan dahi sempit. 4. Kulit longgar dan tipis, kurang dari 5 – 6 mm, kelenjar keringat besar. 5. Timbunan lemak, baik yang ada di bawah maupun di dalam kulit, dan ototototnya rendah. 6. Garis punggung pada bagian tengah berbentuk cekung dan pada bagian tingginya miring. 7. Bahunya pendek, halus, dan rata. 8. Kakinya panjang sehingga gerakannya lincah. 9. Lambat dewasa karena pertumbuhannya lambat, berat maksimal baru bisa dicapai pada umur 5 tahun. 10. Bentuk tubuh sempit dan kecil, berat timbangan sekitar 250 – 650 kg. 11. Ambingnya kecil sehingga produksi susunya rendah. 12. Tahan terhadap suhu panas dan kehausan, kadar air kotorannya rendah. 13. Toleran terhadap berbagai jenis pakan yang kandungan serat kasarnya tinggi dan pakan sederhana. 14. Pada umumnya badannya tahan terhadap gigitan nyamuk dan caplak.
39
Menurut Hadi dan Ilham (2002) jenis sapi potong yang banyak dikembangkan oleh perusahaan penggemukan dalam skala usaha besar adalah jenis sapi Subtropis, seperti: Simmental, Limousin, Carolise, dan Hereford.
Jenis sapi ini memiliki
beberapa keunggulan antara lain: 1). Pertambahan berat badan (PBB) per harinya tinggi. 2). Tingkat konversi pakan tinggi. 3). Komposisi karkas tinggi dengan komponen tulang lebih rendah. Faktor yang penting untuk diperhatikan dalam usaha budidaya sapi potong adalah manajemen pemberian pakan. Pemberian pakan pada sapi potong dibedakan dua golongan, yaitu pakan perawatan (untuk mempertahankan hidup dan kesehatan) serta pakan produksi (untuk pertumbuhan dan pertambahan berat badan (Santoso 2001). Jenis pakan sapi potong terdiri atas hijauan dan konsentrat. Pakan hijauan yang merupakan sumber serat kasar, umumnya berasal dari rumput segar (rumput Gajah, Raja, dan lain-lain), rumput alam yang tumbuh di lahan-lahan terbuka, dan limbah pertanian seperti jerami padi, jagung, dan kacang-kacangan. Pakan konsentrat terbuat dari bahan padat energi, seperti: bekatul, jagung, ubi kayu, ampas ketela pohon, dan ampas tahu (Sugeng 1998).
2.5.3.3. Subsistem Agribisnis Hilir Subsistem agribisnis hilir (downstream off-farm agribusiness) dari sistem agribisnis
peternakan
adalah
kegiatan
ekonomi
yang
mengolah
dan
memperdagangkan hasil usaha ternak. Ke dalam subsistem ini termasuk industri pemotongan ternak, industri pengalengan dan pengolahan daging, industri pengolahan kulit, dan lain-lain. Pengembangan teknologi proses dan produk pada subsistem hilir diarahkan untuk peningkatan efisiensi, pengembangan diversifikasi teknologi prosesing untuk menghasilkan diversifikasi produk, meminumkan waste dan pollutan, serta pengembangan teknologi produk. Berikut ini pada Gambar 5, disajikan pohon industri ternak, yang memberikan kontribusi terhadap perbaikan mutu lingkungan
40
dengan produk pupuk organik. Produk tersebut dibuat dari limbah ternak, yaitu feses dan urin.
Daging
Ternak
- Daging Segar - Pengalengan Daging - Pabrik Sosis - Pabrik Baso, dsb.
Telur
- Telur Segar - Telur Asin, dsb.
Susu
- Pabrik Susu, Cream - Skim, Susu Segar, dsb.
Bulu
- Wool - Kerajinan
Kulit
- Kerupuk Kulit - Kerajinan
Darah
- Tepung Darah
Feses
- Pupuk Organik
Urin
- Pupuk Organik
Tulang, Kuku, dan Tanduk
Gambar 5 Pohon industri ternak
- Tepung Tulang - Kerajinan
41
Menurut Ilham et al. (2002) saluran tataniaga ternak
menunjukkan bahwa
sebagian besar konsumen akhir adalah konsumen produk peternakan dalam bentuk segar (telur, susu, dan daging segar). Pola umum saluran tataniaga ternak dapat dilihat pada Gambar 6.
Peternak Peternak
Peternak, Pejagal atau Pemotong
Pengecer
Konsumen
Pedagang
Gambar 6 Pola umum saluran tataniaga ternak
Konsumen membeli hasil ternak (daging, susu, dan telur) dengan harga eceran jika membeli dari pengecer, atau harga produsen jika membeli dari pejagal atau distributor. Kelompok konsumen terdiri atas: konsumen rumah tangga, rumah makan atau restoran, hotel, penjual baso, dan lain-lain.
2.5.3.4. Subsistem Lembaga Penunjang Agribisnis Subsistem lembaga penunjang agribisnis (supporting institution) merupakan subsistem yang sangat berperan terhadap ketiga subsistem agribisnis lainnya. Subsistem ini akan memberikan dukungan secara kelembagaan dalam pengembangan sistem agribisnis secara keseluruhan. Ada beberapa lembaga yang berperan di dalam subsistem lembaga penunjang untuk pengembangan sistem agribisnis peternakan, seperti: perbankan, asuransi, koperasi, transportasi, penyuluhan, poskeswan, kebijakan pemerintah, lembaga pendidikan, penelitian, dan lain-lain.
42
Koperasi merupakan salah satu lembaga yang perlu mendapat perhatian dalam upaya pengembangan sistem agribisnis peternakan, mengingan peternak sebagai pelaku mayoritas dan utama dalam sistem ini memiliki kemampuan yang lemah dalam hal permodalan, akses informasi, dan teknologi.
Koperasi dapat menjadi
media bagi peternak untuk secara bersama-sama membangun usahanya secara terintegrasi dari subsistem hulu sampai subsistem hilir, agar peternak dapat memperoleh nilai tambah yang lebih baik. Untuk saat ini, koperasi yang bergerak di kalangan peternak memang belum berkembang sebaik koperasi yang bergerak di kalangan peternak sapi perah, misalnya Gabungan Koperasi Susu Indonesia (GKSI). Menurut Karim (2002) dari aspek permodalan, pihak perbankan masih menganggap bahwa usaha kegiatan agribisnis sapi potong sebagai usaha yang belum mendapat prioritas untuk mendapatkan bantuan kredit usaha. Hal ini dikarenakan, pihak perbankan masih menganggap bahwa agribisnis sapi potong berisiko tinggi (high risk) dan rendah dalam hal pendapatan (low return). Namun menurut Thohari (2003) ada beberapa sumber pembiayaan yang dapat dimanfaatkan untuk mendukung pengembangan agribisnis peternakan, antara lain: Kredit Taskin, Modal Ventura, Pemanfaatan Laba BUMN, Pegadaian, Kredit BNI, Kredit Komersial Perbankan (Kupedes dari BRI, Swamitra dari Bukopin, Kredit Usaha Kecil dari: BNI, Bank Danamon, BII, Bank Mandiri, Kredit BCA, Kredit Pengusaha Kecil dan Mikro (KPKM) dari Bank Niaga, Kredit Modal Kerja dari Bank Agro Niaga, dan pemanfaatan Lembaga Keuangan Mikro (LKM) di perdesaan.
2.6. Pembangunan Usaha Peternakan secara Berkelanjutan Konsep pembangunan
berkelanjutan akhir-akhir ini menjadi suatu konsep
pembangunan yang diterima oleh semua negara di dunia untuk mengelola sumberdaya alam agar tidak mengalami kehancuran dan kepunahan. Konsep ini berlaku untuk seluruh sektor pembangunan termasuk pembangunan sektor peternakan.
Konsep pembangunan berkelanjutan bersifat multi disiplin karena
banyaknya aspek pembangunan yang harus dipertimbangkan, antara lain aspek ekologi, ekonomi, sosial-budaya, hukum, dan kelembagaan.
Walaupun banyak
43
pendapat akhli yang lain memberikan persyaratan pembangunan berkelanjutan dengan aspek-aspek yang hampir sama tetapi dengan cara dan pendekatan yang berbeda. Konsep pembangunan berkelanjutan pertama kali diperkenalkan oleh the World Commission on Environment and Development (WCED) pada tahun 1987 dengan laporannya berjudul ”Our Common Future” (Kay dan Alder 1999). Laporan ini dibuat oleh sekelompok ahli yang diketuai oleh Gro Harlem Brutland, sehingga laporan tersebut sering disebut sebagai laporan Brutland (The Brutland Report). Dalam laporan tersebut terkandung definisi pembangun berkelanjutan yaitu pembangunan yang dapat memenuhi kebutuhan saat ini tanpa membatasi peluang generasi mendatang untuk memenuhi kebutuhannya. dengan pengertian tersebut, Beller (1990) mengemukakan prinsip ”justice of fairness” yang bermakna manusia dari berbagai generasi yang berbeda mempunyai tugas dan tanggung jawab satu terhadap yang lainnya seperti layaknya berada di dalam satu generasi. Dalam konsep pembangunan berkelanjutan akan ada perpaduan antara dua kata yang kontradiktif yaitu pembangunan (development) yang menuntut perubahan dan pemanfaatan sumberdaya alam, dan berkelanjutan (sustainabilitas) yang berkonotasi tidak boleh mengubah di dalam proses pembangunan yang berkelanjutan. Persekutuan antara kedua kepentingan
ini
pada dasarnya
mengembalikan
developmentalis dan environmentalis back to basic yaitu oikos dimana kepentingan ekonomi dan lingkungan hidup disetarakan (Saragih dan Sipayung 2002). Kay dan Alder (1999) mengemukakan adanya tiga tema yang terkandung dalam definisi pembangunan berkelanjutan tersebut, yaitu: integritas lingkungan, efisiensi ekonomi, dan keadilan kesejahteraan (equity). Pendapat ini sejalan dengan yang dikemukakan oleh Munasinghe (1993) bahwa pembangunan dikatakan berkelanjutan jika memenuhi tiga dimensi, yaitu: secara ekonomi dapat efisien serta layak, secara sosial berkeadilan, dan secara ekologis lestari (ramah lingkungan).
Makna dari
pembangunan berkelanjutan dari dimensi ekologi memberikan penekanan pada pentingnya menjamin dan meneruskan kepada generasi mendatang sejumlah kuantitas modal alam (natural capital) yang dapat menyediakan suatu hasil
44
keberlanjutan secara ekonomis dan jasa lingkungan termasuk keindahan alam. Konsep lain yang masih berkaitan dengan hal tersebut adalah konsep pemanfaatan sumberdaya yang berkelanjutan (sustainable use of resources) yang bermakna bahwa pemanenan, ekstraksi, ataupun pemanfaatan sumberdaya tidak boleh melebihi jumlah yang dapat diproduksi atau dihasilkan dalam kurun waktu yang sama. Persyaratan agar pembangunan berkelanjutan dapat terwujud menurut Kay dan Alder (1999) yaitu: 1. Integrasi antara konservasi dan pengembangan. 2. Kepuasan atas kebutuhan dasar manusia. 3. Peluang untuk memenuhi kebutuhan manusia yang bersifat non materi. 4. Berkembang ke arah keadilan sosial dan kesejahteraan. 5. Menghargai dan mendukung keragaman budaya. 6. Memberikan
peluang
penentuan
identitas
diri
secara
sosial
dan
menumbuhkan sikap ketidak-tergantungan diri, dan 7. Menjaga integritas ekologis. Menurut Munasinghe (1993) bahwa pembangunan berkelanjutan mencakup tiga penekanan, yaitu: 1. Pembangunan ekonomi untuk meningkatkan kualitas kehidupan manusia. 2. Pembangunan yang sesuai dengan lingkungan. 3. Pembangunan yang sesuai dengan keadilan kesejahteraan, yaitu keadilan penyebaran keuntungan dari pembangunan yang mencakup: a) intersocietal equity misalnya antar kelompok dalam masyarakat, menghargai hak khusus masyarakat lokal, dan lain-lain. b) intergenerational equity yaitu tidak membatasi peluang atau pilihan bagi generasi mendatang. c) international equity yaitu memenuhi kewajiban (obligasi) terhadap bangsa lain dan terhadap masyarakat internasional mengingat adanya kenyataan saling ketergantungan secara global. Menurut Suryana et al. (1998) bahwa konsep berkelanjutan di bidang pertanian mengandung pengertian, bahwa pengembangan produk pertanian harus tetap
45
memelihara kelestarian sumberdaya alam dan lingkungan hidup guna menjaga keberlanjutan pertanian dalam jangka panjang lintas generasi (inter-generational sustainability), antara lain dengan mengembangkan sistem usaha tani konservasi, penerapan pengendalian hama terpadu (PHT), dan kepatuhan pada prosedur analisis mengenai dampak lingkungan (AMDAL) pertanian.
Sedangkan Departemen
Pertanian (2001) mengemukakan bahwa dalam pengembangan usaha-usaha agribisnis termasuk usaha budidaya peternakan perlu menerapkan prinsip berkelanjutan. Prinsip ini mengandung ciri bahwa dalam pengembangan usaha budidaya peternakan harus memiliki kemampuan merespon perubahan pasar, inovasi teknologi yang terus menerus, menggunakan teknologi yang ramah lingkungan, dan mengupayakan pelestarian sumberdaya alam serta lingkungan hidup. Konsep ramah lingkungan dalam usaha budidaya peternakan dapat dilakukan karena limbah utama peternakan berupa kotoran ternak telah diteliti banyak mengandung unsur N, P, dan K serta tidak mengandung logam berat dan antibiotik (Sarwono dan Arianto 2002) yang dapat mensuplai unsur hara yang dibutuhkan tanah dan memperbaiki struktur tanah agar menjadi lebih baik.
Di samping itu
kotoran ternak mengandung gas methan yang dapat digunakan sebagai bahan energi. Pembuatan biogas merupakan proses biologis. Bahan dasar kotoran ternak yang berupa bahan organik akan berfungsi sebagai sumber karbon yang merupakan sumber kegiatan dan pertumbuhan bakteri. Dalam keadaan tanpa oksigen, bahan organik akan diubah oleh bakteri untuk menghasilkan campuran gas methan (CH 4 ), karbondioksida (CO 2 ), dan sedikit gas lain.
Campuran gas-gas tersebut disebut
biogas (Santosa 2001) Berikut ini pada Gambar 7, disajikan budidaya peternakan ramah lingkungan yang memberikan kontribusi terhadap peningkatan pendapatan dan perbaikan mutu lingkungan serta menghasilkan produk pupuk organik, dan produk peternakan, seperti: daging segar, susu segar, telur, produk susu dan daging olahan. Proses pembuatan pupuk organik dari kotoran ternak dibuat dengan komposisi sebagai berikut: kotoran ternak 87.5 %, abu organik/sekam 10 %, serbuk gergaji 5 %, kalsit 2 %, dan stardek 0.1 %. RPH Cakung di Jakarta sudah membuat pilot project pembuatan pupuk organik dari limbah yang dihasilkan oleh RPH. Dari 5 m3 limbah
46
yang dihasilkan per hari dapat diolah menjadi pupuk organik sebanyak 1.25 m3 atau 0.75 ton (750 kg) per hari yang terjual dengan harga Rp 150,- per kilogram (SEMAI 1998).
Usaha Peternakan (Sapi, Domba, Kambing, Ayam, dsb)
Budidaya Ternak
Feses (Kotoran Ternak)
Bio Gas
Pengomposan Daging, Susu, Telur, dan Produk Peternakan Olahan (Sosis, Dendeng, Abon, Yoghurt, Skeam, Keju, Telur Asin, dsb)
Limbah
Pupuk Organik
Pertanian Organik
Peningkatan Pendapatan Petani/Peternak
Gambar 7 Usaha agribisnis peternakan yang ramah lingkungan
47
Penggunaan pupuk organik pada lahan pertanian mampu memperbaiki struktur tanah sehingga aerasi di dalamnya menjadi lancar dan dapat mengikat unsur Al, Mg, dan Fe, sehingga unsur pospornya menjadi bebas dan dapat dimanfaatkan oleh tanaman. Di samping itu, penggunaan pupuk organik dapat meningkatkan cita rasa dari produk pertanian menjadi lebih enak, biaya produksi menjadi lebih rendah, lebih tahan terhadap serangan hama, dan aman untuk dikonsumsi.
Dengan demikian,
produk pertanian organik memiliki harga jual lebih yang lebih tinggi dari pada produk pertanian yang menggunakan pupuk anorganik. Hal ini berarti, limbah yang dihasilkan oleh kegiatan peternakan jika diolah menjadi pupuk organik tidak akan mencemari lingkungan, akan tetapi justru memberikan manfaat terhadap perbaikan mutu lingkungan dan peningkatan pendapatan peternak (Hardjowigeno 1992). Untuk menjamin keberlanjutan pengembangan sistem budidaya peternakan jangka panjang dan lintas generasi, maka penerapan konsep pembangunan berkelanjutan perlu dilakukan sebagai bentuk tanggung jawab dari generasi sekarang terhadap hak-hak generasi yang akan datang.
Penerapan konsep pembangunan
berkelanjutan dalam suatu kegiatan pembangunan menjadi lebih komprehensif untuk menjelaskan pengertian dari suatu kegiatan dikatakan berkelanjutan.
Dengan
demikian sistem budidaya peternakan dikatakan berkelanjutan jika memenuhi kriteria dari masing-masing dimensi dari konsep pembangunan berkelanjutan, yaitu: dimensi ekologi, ekonomi, sosial-budaya, teknologi, hukum, dan kelembagaan. Suatu sistem budidaya peternakan dikatakan memenuhi dimensi ekologis dalam konsep pembangunan berkelanjutan jika sistem tersebut tidak melakukan eksploitasi berlebih terhadap sumberdaya peternakan, tidak terjadi pembuangan limbah yang melampaui kapasitas asimilasi lingkungan yang menimbulkan pencemaran, serta penerapan sistem manajemen lingkungan dalam melakukan kegiatan usaha. Dengan demikian, atribut yang dapat digunakan untuk mencerminkan keberlanjutan dimensi ini adalah tingkat pemanfaatan limbah peternakan untuk pupuk organik dan limbah pertanian untuk pakan ternak, ketersediaan tempat pembuangan akhir (TPA), instalasi pengelolaan limbah di rumah potong hewan (RPH), rencana tata ruang wilayah (RTRW) yang sesuai dan dipatuhi, dan lain-lain.
48
Suatu sistem budidaya peternakan dikatakan memenuhi dimensi ekonomi dalam konsep pembangunan berkelanjutan jika sistem tersebut mampu menghasilkan ternak dan produk peternakan secara berkesinambungan, sehingga terjadi peningkatan dinamika ekonomi daerah yang ditandai dengan peningkatan pendapatan peternak, penyerapan tenaga kerja, dan tumbuhnya berbagai kegiatan usaha pendukung. Dengan demikian, atribut ekonomi yang dapat mencerminkan keberlanjutan dari dimensi ini adalah kelayakan usaha dari aspek finansial, tingkat pendapatan peternak, kontribusi terhadap pendapatan asli daerah (PAD), besarnya keuntungan dari usaha peternakan, dan lain-lain. Suatu sistem budidaya peternakan dikatakan memenuhi dimensi sosial-budaya dalam konsep pembangunan berkelanjutan jika sistem tersebut dapat mendukung pemenuhan kebutuhan dasar (pangan, sandang, perumahan, kesehatan, dan pendidikan), terjadi pemerataan, terbukanya kesempatan berusaha secara adil, serta terdapat akuntabilitas serta partisipasi masyarakat. Dengan demikian atribut sosialbudaya yang dapat mencerminkan keberlanjutan dari dimensi ini antara lain adalah pemahaman masyarakat yang tinggi terhadap lingkungan, bekerja dalam kelompok, tingkat pendidikan yang tinggi, alternatif usaha selain beternak, frekuensi pertemuan warga yang tinggi dan lain-lain.
Karena kondisi yang demikian akan mampu
mendorong ke arah keadilan sosial dan mencegah terjadinya konflik kepentingan. Di samping itu partisipasi, komitmen, spirit, dan tingkah laku masyarakat sangat menetukan keberhasilan dari setiap program pembangunan.
Oleh karena itu
pengelolaan sumberdaya yang berbasis pada masyarakat lokal harus dapat dipertahankan. Keberlanjutan dari dimensi teknologi dicerminkan oleh seberapa jauh pengembangan dan penggunaan teknologi dapat meningkatkan produktivitas dan nilai tambah usaha dan meminumkan kemungkinan dampak yang dapat merugikan sumberdaya alam dan lingkungan. Penerapan teknologi inseminasi buatan (IB) dan kesehatan hewan, teknologi pengolahan limbah, teknologi pakan, teknologi pengolahan hasil, teknologi informasi, dan transportasi dapat digunakan untuk menilai keberlanjutan dimensi ini.
49
Untuk menilai keberlanjutan dari dimensi hukum dan kelembagaan ditentukan dengan cara melihat seberapa jauh perangkat hukum dan kelembagaan beserta penegakan dan kepatuhannya yang dapat mendorong keberlanjutan sistem budidaya peternakan. Tersedianya peraturan perundangan yang memadai, aturan adat dan agama/kepercayaan yang masih diakui oleh masyarakat, penyuluhan hukum, adanya aparat penegak hukum dan tokoh adat yang disegani adalah merupakan contoh atribut yang dapat mendorong keberlanjutan sistem budidaya peternakan. Selain itu penting juga untuk dilihat atribut transparansi, keadilan, dan demokrasi dalam pembuatan dan pelaksanaan kebijakan yang juga akan berpengaruh terhadap keberlanjutan dari sistem ini. Namun kunci dari semua atribut ini tentunya adalah kepatuhan masyarakat terhadap peraturan perundangan dan aturan adat yang berlaku. Dari uraian sebelumnya, semakin jelas bahwa tujuan pembangunan sistem budidaya peternakan dengan menerapkan konsep pembangunan berkelanjutan barsifat multidimensi (multi objective) yaitu mewujudkan kelestarian (sustainability) sistem budidaya peternakan baik secara ekologis, ekonomi, sosial budidaya, teknologi maupun hukum, dan kelembagaan.
Implikasinya memang lebih menantang dan
kompleks jika dibandingkan dengan sistem konvensional yang hanya mengejar satu tujuan yakni pertumbuhan ekonomi. Akan tetapi jika berhasil membangun sistem ini dan terwujud kelima dimensi (tujuan) pembangunan berkelanjutan secara seimbang sesuai dengan kondisi biofisik dan sosio kultural suatu daerah/kawasan, maka kita dapat menyaksikan kehidupan manusia yang lebih sejahtera dan damai dalam lingkungan hidup yang lebih ramah, sehat, bersih, dan indah (Mersyah 2005).
2.7. Usaha Peternakan Sapi Potong Terpadu Konsep pengembangan peternakan sapi potong terpadu yang melibatkan ternak dan tanaman (tanaman pangan dan tanaman perkebunan) telah dikembangkan di beberapa negara Asia, seperti: Thailand, Filipina, Vietnam, RRC, dan Indonesia. Di Indonesia integrasi antara ternak dan tanaman sudah diterapkan oleh petani di perdesaan,
namun sistem pengelolaannya
masih
memperhitungkan nilai ekonomi (Diwyanto et al. 2002).
bersifat
tradisional tanpa
50
Sistem usahatani terpadu yang didasarkan penelitian dan pengkajian mulai diperkenalkan sekitar tahun 1970-an oleh Lembaga Pusat Penelitian Pertanian (LP3) di Bogor. Penelitian ini diberi nama ”on station multiple cropping” mengacu pada pola International Rice Research Institute = IRRI (Manwan 1989). Sejak saat itu kajian dan inovasi penerapan pertanian terpadu terus dikembangkan seperti: pola tanam (cropping pattern), pola usahatani (cropping system), sistem usahatani (farming system), dan terakhir adalah sistem tanaman ternak terjemahan dari crop livestock system (CLS). Selain CLS masih ada beberapa pola sejenis antara lain pertanian dengan perikanan dan lainnya (Diwyanto et al. 2002). Dalam sistem usahatani ternak, interaksi terjadi akan mendorong terjadinya efisiensi produksi, pencapaian produksi yang optimal, peningkatan diversifikasi usaha dan
peningkatan
dayasaing
produk
pertanian
yang
dihasilkan,
sekaligus
mempertahankan dan melestarikan sumberdaya lahan (Diwyanto dan Handiwirawan 2004). Sudaryanto (2006) menyatakan bahwa, pengembangan integrasi tanaman padi dan sapi potong bertujuan: (1) mendukung upaya peningkatan kandungan bahan organik lahan melalui penyediaan pupuk organik; (2) meningkatkan produktivitas padi sawah dan penyediaan daging; (3) peningkatan populasi ternak sapi dan pendapatan petani.
Menurut Diwyanto (2001), ada 8 (delapan) keuntungan
penerapan integrasi usaha tanaman dan ternak, yaitu: (1) diversifikasi penggunaan sumberdaya produksi; (2) mengurangi terjadinya resiko;
(3) efisiensi penggunaan
tenaga kerja; (4) efisiensi penggunaan komponen produksi;
(5) mengurangi
ketergantungan sumberdaya lain dari luar usaha; (6) sistem ekologi lebih lestari, tidak menimbulkan polusi; (7) meningkatkan output; dan (8) megembangkan rumah tangga petani yang lebih stabil. Sistem integrasi ternak dangan tanaman merupakan salah satu kegiatan pertanian organik (organic farming) berbasis teknologi, dengan memanfaatkan sumberdaya lokal yang didaur ulang secara efektif. Sistem ini melibatkan paling tidak tiga jenis kegiatan usahatani yang saling berkaitan, yaitu: (1) budidaya ternak sapi potong, (2) budidaya tanaman pangan atau perkebunan, dan (3) pengolahan limbah pertanian dan ternak.
Ruang lingkup budidaya ternak mencakup pengandangan
51
ternak, sistem pemberian pakan, pengolahan hasil ternak dan limbah, serta pemanfaatan kompos
untuk tanaman pertanian.
Budidaya tanaman merupakan
teknologi pengolahan produk, penyimpanan dan peningkatan kualitas limbah tanaman sebagai pakan ternak.
Pengomposan adalah proses mengubah limbah
organik menjadi pupuk dengan tujuan mengurangi bahan organik yang dikandung bahan limbah, menekan timbulnya bau, membunuh gulma dan orginisme yang bersifat patogen, produknya berupa pupuk organik yang sesuai untuk diaplikasikan pada lahan pertanian (Sutanto 2002). Dalam sistem usahatani ternak, interaksi terjadi akan mendorong terjadinya efisiensi produksi, pencapaian produksi yang optimal, peningkatan diversifikasi usaha dan
peningkatan
dayasaing
produk
pertanian
yang
dihasilkan,
sekaligus
mempertahankan dan melestarikan sumberdaya lahan. Menurut Wardhani dan Musofie (2004) bahwa dalam melaksanakan usahatani peternakan terpadu dengan tanaman pangan/perkebunan maka petani akan melibatkan ternak, sumberdaya lahan, tenaga kerja, dan ketersediaan modal. Antara sub-sistem rumah tangga, ternak, dan tanaman saling terkait, terpadu, dan saling tergantung. Pola usahatani peternakan sapi potong terpadu dengan tanaman dapat dilihat pada Gambar 8. Kegiatan usahatani tanaman (pangan dan perkebunan) menghasikan hijauan pakan ternak, seperti: rumput alam dari pematang sawah, gulma yang diperoleh dari kebun, dan limbah pertanian berupa jerami padi, kacang tanah, daun jagung, daun singkong, dan daun pucuk tebu. Selain itu dari limbah agroindustri, seperti: dedak, molases, ampas tahu, tongkol jagung, ampas kecap, dan lainnya sebagai merupakan input untuk usaha ternak. Kegiatan usaha ternak menyerap tenaga kerja manusia dan sumberdaya lain yang dapat menghasilkan produk peternakan. Ternak menghasilkan pupuk organik yang dapat digunakan untuk tanaman pangan, perkebunan, tanaman pakan ternak.
Pola usahatani peternakan terpadu dengan tanaman pangan dan
perkebunan mampu memberikan nilai tambah pada masing-masing sektor usaha. Dalam pola ini petani mengurangi penggunaan input luar, tenaga kerja diusahakan berasal dari dalam keluarga, sarana produksi sedapat mugkin didapat dari produk masing-masing kegiatan yang saling terkait. Pengembangan integrasi tanaman-sapi
52
bertujuan: (1) mendukung upaya peningkatan kandungan bahan organik lahan melalui penyediaan pupuk organik, (2) meningkatkan produktivitas tanaman dan penyediaan daging, dan (3) meningkatkan populasi ternak sapi dan pendapatan petani.
PASAR
Tenaga Kerja Non-Farm Pupuk Insektisida Tenaga Kerja
RUMAH TANGGA Ternak Konsentrat Obat Hewan Manajemen, Tenaga Kerja
TANAMAN (Padi, Jagung, dan Tebu)
TERNAK
Limbah Tanaman
Pupuk, Tenaga Kerja Ternak
Gambar 8 Pola usahatani peternakan sapi potong terpadu dengan tanaman pangan/perkebunan
53
2.8. Pendekatan Sistem Menurut Eriyatno (1998) pendekatan sistem didefinisikan sebagai suatu metodologi penyelesaian masalah yang dimulai dengan secara tentatif mendifinisikan atau merumuskan tujuan dan hasilnya adalah suatu sisitem operasi yang secara efektif dapat dipergunakan untuk menyelesaikan permasalahan. Permasalahan tersebut dapat dalam bentuk perbedaan kepentingan (conflict of interest) atau keterbatasan sumberdaya (limited of resources). Pendekatan sistem memberikan penyelesaian masalah dengan metode dan alat yang mampu mengidentifikasi, manganalisis, mensimulasi, dan mendesain sistem dengan komponen-komponen yang saling terkait, yang diformulasikan secara lintasdisiplin dan komplementer untuk mencapai tujuan yang sama (Eriyatno 2002). Menurut Manetch dan Park (1977) suatu pendekatan sistem akan dapat berjalan dengan baik jika terpenuhi kondisi-kondisi berikut ini: 1. Tujuan sistem didefinisikan dengan baik dan dapat dikenali jika tidak dapat dikuantifikasikan. 2. Prosedur pembuatan keputusan dalam sistem riil adalah tersentralisasi atau cukup jelas batasannya. 3. Dalam perencanaan jangka panjang memungkinkan untuk dilakukan. Menurut Aminullah (2003) ada beberapa tahapan yang perlu dilakukan dalam pendekatan sistem untuk menyelesaikan permasalahan yang kompleks, yaitu: 1. Analisis kebutuhan, yang bertujuan untuk mengidentifikasi kebutuhan dari semua stakeholder dalam sistem. 2. Formulasi permasalahan, yang merupakan kombinasi dari semua permasalahan yang ada dalam sistem. 3. Identifikasi sistem, bertujuan untuk menentukan variabel-variabel sistem dalam rangka memenuhi kebutuhan semua stakeholders dalam sistem. 4. Pemodelan abstrak, pada tahap ini mencakup suatu proses interaktif antara analisis sistem dengan pembuat keputusan, yang menggunakan model
54
untuk mengeksploitasi dampak dari berbagai alternatif dan variabel keputusan terhadap berbagai kriteria sistem. 5. Implementasi, tujuan utamanya adalah untuk memberikan wujud fisik dari sistem yang diinginkan. 6. Operasi, pada tahap ini akan dilakukan validasi sistem dan seringkali pada tahap ini terjadi modifikasi-modifikasi tambahan karena cepatnya perubahan lingkungan dimana sistem tersebut berfungsi.
2.8.1. Sistem Secara leksikal, sistem berarti: susunan yang teratur dari pandangan, teori, asas, dan sebagainya. Dengan kata lain, sistem adalah suatu kesatuan usaha yang terdiri atas bagian-bagian yang berkaitan satu sama lain yang berusaha mencapai suatu tujuan dalam suatu lingkungan yang kompleks (Marimin 2005). Sistem adalah suatu gugus atau kumpulan dari elemen yang berinteraksi dan terorganisir untuk mencapai tujuan (Manetch
dan Park 1977),
sedangkan
O’Brien (1999),
mendefinisikan sistem sebagai suatu bentuk atau struktur yang memiliki lebih dari dua komponen yang saling berinteraksi secara fungsional. Dengan demikian, berarti setiap sistem harus memiliki komponen atau elemen yang saling berinteraksi (terkait) dan terorganisir dengan suatu tujuan atau fungsi tertentu. Menurut Eriyatno (2003) bahwa sistem merupakan totalitas himpunan hubungan yang mempunyai struktur dalam nilai posisional sereta matra dimensional terutama dimensi ruang dan waktu. Oleh karena itu, setiap pendekatan kesisteman selalu mengutamakan kajian tentang struktur sistem baik yang bersifat penjelasan maupun sebagai dukungan kebijakan. Dalam ilmu manajemen secara sederhana sistem digambarkan sebagai satu ke satuan antara input, proses, dan output. Sistem akan membentuk satu siklus yang berjalan secara terus menerus dan dikendalikan oleh suatu fungsi kontrol atau umpan balik.
Prinsip sistem ini dapat digunakan sabagai dasar untuk menyelesaikan
permasalahan yang kompleks yang sering kita hadapi atau menyusun (merangkai) berbagai elemen, sehingga menghasilkan sesuatu yang lebih bermanfaat.
Untuk
55
menyelesaikan
permasalahan
melalui
pendekatan
mengidintifikasi semua komponen yang terdapat
sistem kita
harus
dapat
dalam sistem dan menentukan
hubungan dari masing-masing komponen tersebut (Midgley 2000). Perubahan pada suatu komponen dari suatu sistem akan mempengaruhi komponen lain dan biasanya akan menghasilkan umpan balik pada periode yang sama atau pada periode berikutnya.
Perubahan tersebut dapat disebabkan oleh faktor
internal (dari dalam sistem) maupun faktor eksternal (dari luar sistem). Misalnya: jika terjadi perubahan harga input produksi (obat hewan) pada sistem budidaya peternakan karena adanya intervensi pemerintah maka akan mempengaruhi perilaku sistem.
Dalam hal ini intervensi pemerintah terhadap harga input produksi
merupakan faktor eksternal yang mempengaruhi perilaku sistem. Sistem Dinamis adalah sistem yang memiliki variabel yang dapat berubah sepanjang waktu sebagai akibat dari perubahan input dan interaksi antar elemenelemen sistem.
Dengan demikian nilai output sangat tergantung pada nilai
sebelumnya dari variabel input (Djojomartono 2000).
2.8.2. Model Model adalah suatu penggambaran abstrak dari sistem dunia nyata (riil), yang akan bertindak seperti dunia nyata untuk aspek-aspek tertentu (Aminullah 2003). Menurut Eriyatno (2003) bahwa model pada dasarnya dapat dikelompokkan menjadi 3 jenis yaitu: model ikonik (model fisik), model analog (model diagramatik), dan model simbolik (model matematik). Model yang baik akan memberikan gambaran perilaku dunia nyata sesuai dengan permasalahan dan akan meminimalkan perilaku yang tidak signifikan dari sistem yang dimodelkan. Menurut Eriyatno (2003), salah satu cara untuk menyelesaikan permasalahan yang kompleks dengan pendekatan sistem adalah menggunakan konsep model simulasi sistem dinamis. Dengan menggunakan simulasi sistem dinamis, maka model akan mengkomputasikan jalur waktu dari variabel model untuk tujuan tertentu dari input sistem dan parameter model. Karena itu model simulasi akan dapat digunakan untuk keperluan optimasi, di mana suatu kriteria model dioptimalkan terhadap input
56
atau struktur sistem alternatif. Oleh sebab itu model dapat dibangun dengan basis data (data base) atau basis pengetahuan (knowladge base). Langkah pertama dalam menyusun model sistem dinamis adalah dengan menentukan struktur model. Struktur model akan memberikan bentuk kepada sistem dan sekaligus memberi ciri yang mempengaruhi perilaku sistem. Perilaku tersebut dibentuk oleh kombinasi perilaku umpan balik (causal loop) yang menyusun struktur model.
Semua perilaku model, bagaimanapun rumitnya dapat disederhanakan
menjadi struktur dasar yaitu mekanisme dari masukan, proses, keluaran, dan umpan balik. Menurut Muhammadi et al. (2001) mekanisme tersebut akan bekerja menurut perubahan waktu atau bersifat dinamis yang dapat diamati perilakunya dalam bentuk unjuk kerja (level) dari suatu model sistem dinamis. Menurut Eriyatno (2003) untuk memahami struktur dan perilaku sistem yang akan membantu dalam pembentukan model dinamika kuantitatif formal dipergunakan diagram sebab akibat (causal loop) dan diagram alir (flow chart). Diagram sebab akibat dibuat dengan cara menentukan variabel penyebab yang signifikan dalam sistem dan menghubungkannya dengan menggunakan garis panah ke variabel akibat, dan garis panah tersebut dapat berlaku dua arah jika kedua variabel saling mempengaruhi. Pada sistem dinamis, diagram sebab akibat ini akan dipergunakan sebagai dasar untuk membuat diagram alir yang akan disimulasikan dengan menggunakan program model sistem dinamis misalnya Program Powersim.
Program Powersim akan
memberikan gambaran tentang perilaku sistem dan dengan simulasi dapat ditentukan alternatif terbaik dari sistem yang kita bangun, setelah itu dilakukan analisis untuk mendapatkan kesimpulan, dan kebijakan apa yang harus dilakukan untuk mengantisipasi/mengubah perilaku sistem yang terjadi. Perilaku model sistem dinamis ditentukan oleh keunikan dari struktur model, yang dapat dipahami dari hasil simulasi model.
Dengan simulasi model akan
didapatkan perilaku dari suatu gejala atau proses yang terjadi dalam sistem, sehingga dapat dilakukan analisis dan peramalan perilaku gejala atau proses tersebut di masa
57
depan.
Menurut Muhammadi et al. (2001) tahapan-tahapan untuk melakukan
simulasi model adalah sebagai berikut: 1. Penyusunan konsep Pada tahap ini dilakukan identifikasi variabel-variabel yang berperan dalam menimbulkan gejala atau proses.
Variabel-variabel tersebut saling
berinteraksi, saling berhubungan, dan saling berketergantungan. Kondisi ini dijadikan sebagai dasar untuk menyusun gagasan atau konsep mengenai gejala atau proses yang akan disimulasikan. 2. Pembuatan model Gagasan atau konsep yang dihasilkan pada tahap pertama selanjutnya dirumuskan sebagai model yang berbentuk uraian, gambar atau rumus. 3. Simulasi Simulasi dilakukan dengan menggunakan model yang telah dibuat. Pada model kuantitatif, simulasi dilakukan dengan memasukkan data ke dalam model, sedangkan pada model kualitatif, simulasi dilakukan dengan menelusuri dan melakukan analisis hubungan sebab akibat antar variabel dengan memasukkan data atau informasi yang dikumpulkan untuk memahami perilaku gejala atau proses model. 4. Validasi hasil simulasi Validasi bertujuan untuk mengetahui kesesuaian antara hasil simulasi dengan gejala atau proses yang ditirukan. Model dapat dinyatakan baik jika kesalahan atau simpangan hasil simulasi terhadap gejala atau proses yang terjadi di dunia nyata relatif kecil. Hasil simulasi yang sudah divalidasi digunakan untuk memahami perilaku gejala serta kecenderungan di masa depan, yang dapat dijadikan sebagai dasar pengambil keputusan untuk merumuskan suatu kebijakan di masa mendatang.
58
2.9. Kabupaten Situbondo Bappekab dan BPS Kabupaten Situbondo (2008) melaporkan bahwa Kabupaten Situbondo merupakan salah satu Kabupaten di Jawa Timur yang cukup dikenal dengan sebutan Daerah Wisata Pantai Pasir Putih yang letaknya berada di ujung Timur Pulau Jawa bagian Utara dengan posisi di antara 7035’ – 7044’ Lintang Selatan dan 113030’ – 114042’ Bujur Timur. Letak Kabupaten Situbondo Provinsi Jawa Timur, berbatasan dengan: - Sebelah Utara
: Selat Madura.
- Sebelah Timur
: Selat Bali.
- Sebelah Selatan : Kabupaten Bondowoso dan Banyuwangi. - Sebelah Barat
: Kabupaten Probolinggo.
Luas Kabupaten Situbondo adalah 1 638.50 km2 atau 163 850 ha, bentuknya memanjang dari barat ke timur lebih kurang 150 km. Pantai Utara umumnya berdataran rendah dan di sebelah Selatan berdataran tinggi dengan rataan lebar wilayah lebih kurang 11 km.
Luas wilayah menurut kecamatan, terluas adalah
Kecamatan Banyuputih 481.67 km2 disebabkan oleh luasnya hutan jati di perbatasan antara Kecamatan Banyuputih dan wilayah Banyuwangi Utara.
Sedangkan luas
wilayah yang terkecil adalah kecamatan Besuki yaitu 26.41 km2. Dari 17 kecamatan yang ada, diantaranya terdiri dari 13 kecamatan memiliki pantai, dan 4 kecamatan tidak memiliki pantai. Temperatur daerah ini lebih kurang di antara 24.7o C – 27.9o C dengan rataan curah hujan antara 994 – 1 503 mm/tahun dan daerah ini tergolong kering. Daerah ini berada pada ketinggian 0 – 1 250 m di atas permukaan laut. Jenis tanahnya antara lain Alluvial, Regosol, Latosol, Mediteran, dan Andosol. Kabupaten Situbondo terdiri dari 17 kecamatan, 4 kelurahan, 132 desa, 660 dusun, 1 220 rukun warga, dan 3 189 rukun tetangga. Jumlah penduduk tahun 2006 adalah sebanyak 636 199 jiwa, yang terdiri atas 308 443 jiwa laki-laki dan 327 756 jiwa perempuan. Jumlah fasilitas pendidikan untuk Pra Sekolah atau Taman KanakKanak: 216 buah, Sekolah Dasar: 455 buah, SLTP: 58 buah, SLTA: 13 buah, Sekolah tingkat kejuruan 11 buah, Perguruan Tinggi Swasta 3 buah, yaitu: Institut Agama
59
Islam Ibrahimy di Sukorejo, Sekolah Tinggi Keguruan dan Ilmu Pendidikan (STKIP) dan Universitas Abdurrahman Saleh (UNARS) yang keduanya berada di pusat kota Situbondo. Pelayanan kesehatan di Kabupaten Situbondo di samping diusahakan oleh pemerintah seperti RSUD, Puskesmas, Pustu dan lain-lain, juga terdapat Rumah Sakit Swasta Elisabeth milik PTPN XI yang juga melayani kepentingan umum. Banyaknya fasilitas pelayanan kesehatan yang ada, Puskesmas: 17 unit, Puskesmas Pembantu: 59 buah, dan Puskesmas Keliling: 27 unit. Kegiatan
ekonomi
masyarakat
Kabupaten
Situbondo
lebih
banyak
terkonsentrasi pada sektor pertanian (tanaman pangan, peternakan, perikanan laut/tambak, perkebunan dan kehutanan). Pertanian tanaman pangan yang banyak diusahakan adalah: padi, jagung, ubi kayu, kacang tanah, kacang hijau, dan kedelai. Tanaman perkebunan yang banyak diusahakan masyarakat adalah: tebu, kopi, tembakau, kelapa, kapas, kapuk, dan pinang.
Peternakan yang banyak diminati
adalah sapi potong, kambing, domba, ayam, dan itik. Populasi ternak tahun 2007 menunjukkan perkembangan yang positif, antara lain dapat ditunjukkan oleh kenaikan populasi sapi potong dari 137 058 ekor menjadi 137 394 ekor, kambing dari 48 507 ekor menjadi 48 601 ekor, domba dari 78 993 ekor menjadi 79 108 ekor. Potensi perikanan darat dan laut, seperti budidaya tambak, kolam, dan penangkapan ikan memberikan kontribusi yang cukup besar terhadap nilai tambah di sektor perikanan, antara lain disumbang oleh peranan budidaya tambak dan hatchery serta hasil dari perikanan laut baik yang diusahakan secara tradisional maupun modern oleh mayarakat sekitar maupun pengusaha swasta. Produksi dari sub-sektor kehutanan di antaranya berupa kayu jati yang cukup menonjol, kayu rimba, kayu bakar, lak cabang, serta getah pinus. Produk domestik regional bruto (PDRB) Kabupaten Situbondo tahun 2007 yang mempunyai
kontribusi
yang
sangat
besar
berturut-turut
adalah
pertanian,
perdagangan, industri pengolahan, jasa-jasa, angkutan, telekomunikasi, keuangan, dan persewaan. Hal ini menunjukkan bahwa daerah ini merupakan daerah agraris dan potensi pertanian (tanaman pangan, peternakan, perikanan, perkebunan, dan
60
kehutanan) di Kabupaten Situbondo merupakan sektor yang
menonjol dan
merupakan sektor unggulan yang harus tetap dipertahankan dan ditingkatkan agar pembangunan daerah ini berjalan lebih baik. Pendapatan per kapita di Situbondo tahun 2007 adalah sebesar 8 023 111 rupiah/tahun meningkat sebesar 15.14 % dibandingkan tahun sebelumnya yang hanya 6 968 048 rupiah/tahun. Disamping sangat perlu diupayakan pertumbuhan ekonomi yang tinggi di semua sektor ekonomi, penyumbang produk domestik regional bruto (PDRB) terbesar adalah pertanian dan perdagangan. Keberadaan potensi industri di Kabupaten Situbondo baik industri kecil kerajinan rumah tangga (IKKR) maupun industri besar/sedang (I B/S) cukup menggembirakan. Jumlah keseluruhan dari industri kecil dan kerajinan rumah tangga tahun 2006 yang ada sebanyak 8 839 unit atau meningkat 2.39 % dibandingkan tahun 2005 yaitu sebanyak 8 633 unit. Jumlah tenaga kerja tahun 2006 yang diserap juga meningkat dari 29 493 menjadi 30 472 atau meningkat 3.2 %. Industri besar/sedang sebanyak 94 perusahaan. Jumlah tersebut naik 5.62 % dibandingkan tahun sebelumnya yaitu sebanyak 89 perusahaan, karena dampak kondisi krisis yang belum sepenuhnya pulih. Berbagai jenis usaha industri kecil meliputi: industri makanan, minuman, perhiasan, kemasan, anyaman, genteng, bata, pandai besi, dan lainnya terbanyak berasal dari industri makanan dan minuman, genteng, bata, anyaman dan lainnya. Walaupun sektor industri terlihat menurun, tetapi tenaga kerja yang terserap cukup banyak. Hal ini menunjukkan bahwa peranan industri perlu dikembangkan, mengingat sumber daya alam sebagai bahan baku yang ada cukup memadai seperti bahan baku kerajinan dari kerang, kayu jati, genteng, bata, kapur, dan industri lainnya. Industri besar/sedang yang ada cukup banyak menyerap tenaga kerja, utamanya industri makanan dan minuman, seperti pabrik gula sebanyak 4 buah, pabrik tapioka, mebel, pemindangan, penggilingan padi, pengolahan kapas, industri mie/sohun, kecap, tahu, dan lain-lainnya. Jumlah tenaga kerja industri besar/sedang yang aktif sebanyak 6 488 unit.
61
Sarana tranportasi yang menghubungkan antar daerah baik antar desa, kecamatan, maupun antar kota dapat dilalui oleh perhubungan jalan darat dan laut. Luas jalan dapat dibedakan atas jalan negara, jalan provinsi, dan jalan kabupaten. Panjang jalan Negara di Kabupaten Situbondo sepanjang 110.30 km dengan kondisi jalan baik tergolong kelas I, jalan Provinsi sepanjang 16.980 km, sedangkan panjang jalan Kabupaten sepanjang 1 142.399 km. Banyaknya jembatan negara adalah 136 buah dan jembatan kabupaten sebanyak 201 buah.
Tersedianya sarana dan prasarana yang memadai, seperti:
tersedianya jaringan jalan, jembatan, transportasi antar nodal infrastruktur pasar dan perbankan, pendidikan, kesehatan, perumahan, air bersih, irigasi, telekomunikasi, dan sarana lainnya akan mempercepat pertumbuhan ekonomi dan pembangunan sebuah wilayah.