II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Kota dan Kota Pantai Kota adalah suatu bentukan lanskap buatan manusia yang terbentuk akibat aktivitas manusia dalam mengelola kepentingan hidupnya. Kota adalah sebuah pusat populasi yang besar dan padat dari aktivitas manusia, sosial, politik, dan kebudayaan (Simond 1983). Pada skala lebih luas, bentuk kota secara keseluruhan mencerminkan posisinya secara geografis dan karakteristik tempatnya. Pertumbuhan dan perkembangan kota dewasa ini semakin meningkat. Modernitas kehidupan kota menyebabkan peningkatan kebutuhan manusia akan fasilitas dan prasarana yang memudahkan mereka melakukan aktivitas, terutama untuk pemuasan ekonomi. Sebagai contoh, di kota pantai, pemanfaatan sumberdaya alam pesisir dan kelautan biasanya menggunakan wilayah pesisir sebagai ruang untuk melakukan aktivitas ekonomi sehingga pembangunan memusat di daerah pesisir tersebut. Peningkatan jumlah penduduk juga terjadi dan mengakibatkan pengunaan lahan untuk pemukiman, ekonomi, dan industri semakin bergeser ke arah pesisir. Hal ini mengakibatkan terjadinya perubahan pada lanskap kota pantai. Perubahan kualitas lanskap kota pantai dipengaruhi oleh faktor-faktor yang sama seperti faktor-foktor penentu perubahan pada lanskap kota pada umumnya, yaitu aktivitas manusia terutama dalam bidang ekonomi. Selain itu, faktor alami seperti perubahan global cuaca dan iklim turut menyumbang kontribusi terhadap perubahan tersebut, seperti naiknya permukaan air laut serta naiknya temperatur daratan dan air laut. Dampak naiknya permukaan air laut terhadap kota pantai misalnya kerusakan setelah banjir, erosi tepi pantai, intrusi air garam yang dapat mencemari air tanah, dan perubahan pola sedimentasi. Kenaikan permukaan air laut membuat proporsi daratan berkurang, sehingga luas kota pantai semakin menyempit. Sedangkan dampak kenaikan temperatur sejalan dengan naiknya kelembaban menimbulkan stres panas pada daratan dan lautan, masalah kesehatan manusia, merusak ekosistem, mengurangi jumlah flora dan fauna serta mikroorganisme (Awuor, Orindi, dan Adwera 2008).
6
2.2 Sejarah Perkembangan Kota Pantai Berakhirnya zaman es diiringi oleh naiknya permukaan air laut pada ±14.000 tahun lalu. Hal ini didukung oleh adanya penemuan sejumlah titik pemukiman purba milik manusia purba Indonesia sebelum mereka bermigrasi menyebrang selat sempit menuju lokasi selanjutnya. Titik-titik inilah yang menjadi awal mula pemukiman tepi pantai di Indonesia. Pergantian zaman terus berlangsung menuju zaman Holosen ± 6000 tahun lalu bersamaan dengan semakin naiknya permukaan air laut. Akibatnya lokasi pemukiman ini semakin bergeser ke tempat yang lebih tinggi, juga memasuki daerah hilir sungai. Namun, pemukiman tepi pantai masih belum dianggap penting karena statusnya hanya pemukiman sementara. Fungsi daerah pantai saat itu hanya untuk tempat berlabuh dan berniaga sehingga tidak nyaman untuk dihuni. Sementara itu, pemukiman di daratan yang jauh dari tepi pantai (pedalaman) lebih cepat berkembang dan menjadi penting dengan adanya pertanian. Sebagai bandar perniagaan, lokasi ini menghubungkan kota-kota kerajaan di pedalaman dengan perdagangan Asia Tenggara. Keadaan ini berlangsung sampai memasuki masa puncak zaman kerajaan Hindu, disusul kemudian oleh perkembangan hubungan maritim yang lebih baik di awal penyebaran Islam, yang ikut memberi pengaruh dalam mengembangkan pemukiman tepi pantai sebagai bandar, pusat pendidikan (pesantren) dan pasar yang lebih penting dari ibukota kerajaan. Masa penyebaran dan pemantapan pengaruh kerajaan Islam saat itu dapat dianggap sebagai masa gemilang perkembangan kota pantai berikut kegiatannya seiring meningkatnya kegiatan pelayaran dan perdagangan antar pulau (Hantoro 2001). Ruang kota diletakkan dan dibangun di sisi muara dekat dengan perairan terlindung. Karakter seperti ini banyak ditemukan di hampir seluruh kota pantai di Indonesia. Dalam perkembangan
kota-kota di
Indonesia
selanjutnya terjadi
pergeseran pusat-pusat perdagangan dari pegunungan ke pantai. Perpindahan itu sering terjadi karena dinamika politik, di pedalaman sebagai akibat perkembangan politik di tingkat internal yang menyebabkan keinginan untuk memisahkan diri, maupun serangan dari kerajaan-kerajaan lainnya (Ardhana 2004).
7
Pedagang Eropa yang datang ke kota pantai Indonesia melakukan pemaksaan sistem perdagangan monopoli dengan cara kekerasan, sehingga berakibat berubahnya pola sosial dan perkembangan kota pantai. Salah satu contoh yang menandai pergeseran pola perkembangan kota pantai adalah pendirian benteng di tempat strategis. Kota dengan dataran pantai luas dianggap lebih aman dengan kelengkapan benteng sebagai pertahanan daripada kota berbukit. Selain itu, di pulau-pulau kecil, sistem pertahanan benteng yang dibangun di bukit juga diterapkan untuk menghadapi serangan dari laut (Hantoro 2001). Kagiatan pembangunan kota pantai semakin diperluas ke arah luar lingkungan benteng dengan cara membuka lahan pertanian dan perkebunan. Sebagai dampak penjajahan yang dilakukan Eropa, sebagian kota-kota pantai besar (coastal megacities) di Indonesia memiliki ciri kota Eropa dalam perkembangannya dengan beberapa penyesuaian pada arsitektur dan tata ruang sesuai karakter lingkungannya. Di sejumlah kota pantai (Tabel 1), beberapa berdataran sempit, perluasan mulai merambah bukit, yang dicirikan dengan adanya pendirian tempat ibadah dan tempat tinggal, sementara bandar dan kegiatan perniagaan masih berpusat di sekitar muara (Kota Sibolga, Semarang, Manado, Kupang, dan Ambon) (Hantoro 2001). Indonesia yang berbentuk kepulauan menjadikan kota-kota pantainya lebih berkembang saat itu. Penjajahan dan pendudukan kolonial Belanda dalam kurun waktu sangat lama memperkuat ciri khas kota pantai Indonesia. Sedangkan masa pendudukan Jepang tidak memberikan pengaruh kuat terhadap kota pantai Indonesia selain pembangunan beberapa benteng sebagai upaya pertahanan. Selama dua dekade setelah kemerdekaan Indonesia, karakter kota kolonial pada kota-kota pantai masih melekat kuat. Baru pada akhir abad 20 mulai terjadi perubahan signifikan pada tata ruang kota-kota pantai. Banyak terjadi salah pengelolaan ruang kota yang jauh melampaui batas daya dukung kota sehingga terjadi degradasi kualitas lingkungan kota.
8
Tabel 1. Identifikasi Kota-Kota Pantai di Indonesia No. 1. 2.
Provinsi Daerah Istimewa Aceh Sumatera Utara
Kota Pantai Banda Aceh, Lhokseumawe, Langsa, Sabang Medan, Tebingtinggi, Sibolga, Tanjung Balai, Gunung Sitoli 3. Sumatera Barat Pariaman, Padang 4. Riau Dumai 5. Riau Kepulauan Batam, Tanjung Pinang 6. Jambi 7. Sumatera Selatan Palembang 8. Bangka Belitung Pangkal Pinang 9. Bengkulu Bengkulu 10. Lampung Bandar Lampung 11. Daerah Khusus Ibukota Jakarta Jakarta Utara 12. Jawa Barat Cirebon 13. Banten Cilegon 14. Jawa Tengah Tegal, Semarang, Pekalongan 15. Daerah Istimewa Yogyakarta 16. Jawa Timur Probolinggo, Surabaya, Pasuruan 17. Kalimantan Barat Singkawang, Pontianak 18. Kalimantan Tengah 19. Kalimantan Selatan 20. Kalimantan Timur Bontang, Samarinda, Balikpapan, Tarakan 21. Sulawesi Utara Manado, Bitung, Tomohon 22. Gorontalo Gorontalo 23. Sulawesi Tengah Palu 24. Sulawesi Tenggara Kendari, Bau Bau 25. Sulawesi Selatan Pare Pare, Makassar, Palopo 26. Sulawesi Barat 27. Bali Denpasar 28. Nusa Tenggara Barat Mataram, Bima 29. Nusa Tenggara Timur Kupang 30. Maluku Ambon, Tual 31. Maluku Utara Ternate, Tidore Kepulauan 32. Papua Barat Sorong 33. Papua Timur Jayapura (Sumber: hasil identifikasi pada Peta Kepulauan Indonesia)
2.3 Ruang Terbuka Hijau Kota dan Fungsinya RTH Kawasan Perkotaan adalah bagian dari ruang terbuka suatu kawasan perkotaan yang diisi oleh tumbuhan dan tanaman guna mendukung manfaat ekologi, sosial, budaya, ekonomi, dan estetika (Permendagri No. 1 Tahun 2007). Tujuan dibentuk dan disediakannya RTH di wilayah perkotaan adalah untuk meningkatkan mutu lingkungan hidup perkotaan dan sebagai pengaman sarana lingkungan perkotaan serta untuk menciptakan keserasian lingkungan alam dan lingkungan binaan yang berguna bagi kepentingan masyarakat.
9
Fungsi RTH di wilayah perkotaan (Permendagri No. 1 Tahun 2007), antara lain: (1) Pengamanan keberadaan kawasan lindung perkotaan; (2) Pengendali pencemaran dan kerusakan tanah, air, dan udara; (3) Tempat perlindungan plasma nutfah dan keanekaragaman hayati; (4) Pengendali tata air; (5) Sarana estetika kota. 2.4 Lanskap Pantai dan Pesisir, serta Karakteristiknya Pantai merupakan daerah di tepian perairan laut yang dipengaruhi oleh air pasang tertinggi dan air surut terendah. Pantai menjadi daerah pertemuan antara daratan dan laut yang bersifat dinamis (Anonim 2009). Berikut merupakan pembagian zona di daerah pantai (Gambar 2). Kompleksitas antara tenaga geomorfologis, gelombang, dan angin, memberikan pengaruh yang sangat kuat dalam membentuk relief pantai, dan seringkali menyebabkan perubahan yang relatif cepat pada daerah tersebut (Ariani 2000).
(Sumber: Anonim 2009)
Gambar 2. Pembagian Zona di Sekitar Pantai Shoreline (garis pantai) adalah garis batas pertemuan antara daratan dan air laut di mana posisinya tidak tetap dan dapat berpindah sesuai dengan pasang surut air laut dan erosi pantai yang terjadi. Offshore (laut lepas pantai) adalah daerah dari garis gelombang pecah ke arah laut. Breaker zone (daerah gelombang pecah) adalah daerah di mana gelombang yang datang dari laut lepas mencapai
10
ketidakstabilan dan pecah. Closure depth adalah daerah yang tidak terjadi atau dipengaruhi oleh perpindahan sedimen sejajar pantai dan tegak lurus pantai. Foreshore adalah daerah yang terbentang dari garis pantai ketika muka air rendah sampai batas atas gerakan naik gelombang pada saat air pasang tinggi. Backshore adalah daerah yang dibatasi oleh foreshore dan garis pantai yang terbentuk pada saat terjadi gelombang badai bersamaan dengan muka air tinggi. Sedangkan pesisir merupakan suatu bentang alam dan ruang alami yang menghadap ke laut terbuka, yang menjadi wilayah peralihan antara lautan dan daratan. Wilayah pesisir ke arah daratan mencakup daerah yang masih terkena pengaruh percikan air laut atau pasang surut, sedangkan wilayah pesisir ke arah laut mencakup daerah paparan benua. Wilayah pesisir adalah peralihan antara ekosistem darat dan laut yang dipengaruhi oleh perubahan di darat dan laut (UU No. 27 Tahun 2007). Apabila ditinjau dari garis pantai (coastline), maka wilayah pesisir mempunyai dua kategori batas (boundaries), yaitu batas yang sejajar dengan garis pantai (longshore) dan batas yang tegak lurus terhadap garis pantai (crosshore). Untuk kepentingan pengelolaan, penetapan longshore sejauh ini masih berbeda antara satu negara dengan negara lain (Dahuri 1996). Ekosistem wilayah pesisir saling berinteraksi di darat maupun di laut, mengakibatkan wilayah pesisir sangat rentan terhadap gangguan dan perubahan fisik yang bersifat dinamis. Beberapa karakteristik yang dimiliki wilayah pesisir secara umum, antara lain (Dahuri 1996): a) Menjadi wilayah pertemuan antara berbagai aspek kehidupan di darat, laut, dan udara, sehingga bentuk wilayah pesisir merupakan hasil keseimbangan dinamis dari proses pelapukan dan pembangunan aspek-aspek tersebut; b) Mempunyai fungsi sebagai habitat dari berbagai jenis ikan, mamalia laut, dan unggas untuk tempat pembesaran, pemijahan, dan mencari makan; c) Wilayahnya sempit, tetapi memiliki tingkat kesuburan yang tinggi dan sumber zat organik penting dalam rantai makanan dan kehidupan darat serta laut; d) Memiliki gradien perubahan sifat ekologi yang tajam dan pada kawasan yang sempit akan dijumpai kondisi ekologi yang berlainan; e) Sebagai tempat bertemunya berbagai kepentingan pembangunan (sektoral maupun regional), serta mempunyai dimensi internasional.
11
2.5 Penggunaan dan Penutupan Lahan, serta Perubahannya Penggunaan lahan dimaksudkan sebagai penggunaan lahan oleh manusia atau kegiatannya dalam hal mengubah tutupan lahan. Penggunaan lahan diartikan sebagai bentuk campur tangan manusia untuk memenuhi kebutuhan hidupnya baik materil dan spiritual. Dengan kata lain, istilah penggunaan lahan menunjukkan hasil pekerjaan manusia pada lahan tersebut (Putri 2006). Contoh penggunaan lahan adalah pertanian, hutan, kawasan rekreasi, kawasan perdagangan, pemukiman, industri, ruang terbuka, perikanan, dan sebagainya. Istilah penutupan lahan menunjukkan pada penampakan lahan secara fisik, seperti air, hutan (vegetasi), batuan, tanah, struktur buatan manusia, dan sebagainya. Penutupan lahan mengacu pada penutupan lahan yang menjadi ciri suatu area tertentu, yang umumnya merupakan pencerminan dari bentukan lahan dan iklim lokal (de Sherbinin dalam Putri 2006). Adanya degradasi lingkungan yang mempengaruhi penurunan kualitas sumberdaya lingkungannya dapat dideteksi melalui perubahan penutupan lahan yang terjadi. Manusia merupakan faktor utama pembentuk berbagai pola penggunaan dan penutupan lahan, serta terhadap perubahan-perubahannya. Pada kawasan tropis, perluasan infrastruktur perkotaan, penebangan hutan, dan perluasan pertanian menjadi daya penggerak perubahan lahan (Karger 2003). Perkembangan kota akan mempengaruhi perubahan penggunaan lahan untuk kebutuhan manusia dan perubahan penutupan lahan. 2.6 Karakteristik Lanskap Kota Karakteristik suatu lanskap merupakan suatu area yang memiliki keharmonisan (harmony) dan kesatuan (unity) di antara semua elemen lanskap. Lebih jelas kesatuannya, karakteristik yang diciptakannya akan lebih kuat (Simond 1983). Karakteristik lanskap diidentifikasikan sebagai kunci dalam menganalisis karakter visual suatu lanskap. Garis, bentuk, warna, dan tekstur merupakan elemen dasar yang sering digunakan untuk menentukan respon visual pada karakteristik lanskap (Stone 1978). Karakteristik
lanskap
ini
meliputi
penutupan
lahan
(landcover),
penggunaan lahan (landuse), dan bentukan lahan (landform) (Anderson 1979).
12
Karakter bentukan lahan diperoleh melalui perkiraan foto udara, peta topografi, peta geologi, dan peta permukaan air. Karakteristik dapat dibentuk oleh material dan susunan suatu tempat, beserta elemen pembatas tempat tersebut. Apabila karakter khusus tersebut setelah perencanaan dapat diimplementasikan ke dalam suatu bentukan fisik dengan ciri khas yang mampu bertahan melalui proses waktu tertentu dan memberikan makna bagi masyarakat dan perkembangan kotanya, maka bentukan fisik tersebut memiliki keunikan dibandingkan dengan kota lainnya. 2.7
Geographic Information System dan Remote Sensing Geographic Information System (GIS) merupakan suatu perangkat alat
untuk mengumpulkan, menyimpan, menggali kembali, mentransformasi, dan menyajikan data spasial dari aspek-aspek permukaan bumi (Burrough 1986 dalam Wiradisastra dan Barus 1997). GIS sebagai suatu sistem berdasarkan komputer yang mempunyai kemampuan untuk menangani data yang bereferensi geografi yang mencakup (a) pemasukan, (b) manajemen data (penyimpanan data dan pemanggilan lagi), manipulasi dan analisis, dan (d) pengembangan produk dan pencetakan (Aronoff 1989 dalam Wiradisastra dan Barus 1997). Analisis keruangan dan pemantauan dapat dilakukan melalui GIS. Konsep dasar GIS merupakan suatu sistem yang mengorganisasi perangkat keras (hardware), perangkat lunak (software), dan data, serta dapat mendayagunakan sistem penyimpanan, pengolahan, maupun analisis data secara simultan. Fungsi GIS sebagai perangkat pengelolaan basis data, sebagai perangkat analisis keruangan, sekaligus merupakan proses komunikasi dalam pengambilan keputusan. Komponen utama GIS dapat dibagi ke dalam 4 komponen utama, yaitu (Wiradisastra dan Barus 1997): perangkat keras, perangkat lunak, organisasi (manajemen), dan pemakai (adakalanya komponen data dibuat terpisah secara tegas). GIS mendeskripsikan objek permukaan bumi, secara (Purnamawati 2008): •
Spasial, yaitu data yang berkaitan dengan koordinat geografis (lintang, bujur, dan ketinggian).
•
Atribut, yaitu data yang tidak berkaitan dengan posisi geografis.
•
Hubungan antara data spasial, atribut, dan waktu.
13
GIS merupakan alat yang dapat digunakan untuk menunjang pengelolaan sumberdaya wilayah pesisir dan pantai yang berwawasan lingkungan. Melalui GIS, analisis keruangan dan pemantauan terhadap perubahan lingkungan wilayah pesisir dengan mudah dan cepat dapat dilakukan. Sedangkan Remote Sensing (RS) atau penginderaan jauh adalah ilmu dan seni untuk memperoleh informasi tentang suatu objek daerah atau fenomena melalui analisis data yang diperoleh dengan suatu alat tanpa kontak langsung dengan objek, daerah, atau fenomena yang sedang dikaji (Lillesand dan Kiefer 1990). RS merupakan alat yang digunakan untuk mengoleksi data dan menetapkan garis dasar dari dampak yang akan terjadi. Informasi objek, daerah, dan fenomena yang telah didapatkan akan diolah dengan menganalisis unsurunsur yang terdapat di permukaan bumi ke dalam bentuk layer atau coverage data spasial untuk kemudian dimodelkan kembali (Purnamawati 2008).