7
TINJAUAN PUSTAKA Permukiman Kampung Kota Permukiman Kampung kota adalah bagian dari kota yang memiliki ciri-ciri tersendiri bila dibandingkan dengan kawasan kota lainnya. Secara harfiah kampung kota adalah lingkungan permukiman desa yang terletak di dalam wilayah kota. Kampung kota adalah lingkungan permukiman yang khas Indonesia dan ditandai oleh ciri kehidupan yang terjalin dalam ikatan kekeluargaan yang erat. Permukiman kampung kota sudah menggejala sejak pemerintahan Hindia Belanda. Menurut Wiryomartono (1999) definisi yang tepat untuk kampung kota adalah permukiman pribumi yang masih meneruskan tradisi kampung halamannya, sekalipun tinggal di kota. Permukiman kampung kota merupakan permukiman yang tumbuh di kawasan urban tanpa perencanaan infrastruktur dan jaringan ekonomi kota. Apabila dikaji berdasarkan strukturnya, kampung kota merupakan salah satu elemen pembentuk kota. Secara fisik kondisi kampung kota saat ini pada umumnya buruk. Hal ini terutama dipicu masalah kepadatan dan tidak terorganisirnya struktur fisik lingkungan kampung kota tersebut. Ketiadaan struktur formal teritorialitas ini sering dikaitkan dengan permukiman ilegal. Dengan kata lain tidak terstrukturnya permukiman kampung kota dikarenakan tidak adanya penataan ruang yang didukung oleh infrastruktur yang terprogram secara formal. Ciri-ciri permukiman kampung kota Permukiman kampung kota sering kali disebut sebagai permukiman sektor informal karena banyak dihuni oleh orang-orang dengan pekerjaan yang bergerak di bidang informal. Lingkungan permukiman kampung kota sebagai suatu lingkungan fisik arsitektural sering digambarkan sebagai lingkungan yang miskin struktur, tidak teratur, dan terkesan kumuh. Hal itu terjadi, karena selain permukiman ini seringkali tidak tersentuh pola kebijakan tata ruang kota, sehingga akses masyarakat terhadap berbagai kepentingannya kurang terakomodasi. Di sisi lain kesadaran masyarakat dan latar belakang masyarakat itu sendiri seringkali
kurang memahami pentingnya
lingkungan permukiman yang berkualitas bagi mereka, baik secara fisik maupun sosial. Ciri-ciri permukiman kampung kota yang lebih sering disorot karena dianggap menimbulkan permasalahan bagi kawasan kota antara lain:
8
a. Tingginya kepadatan penduduk menyebabkan kurangnya ruang untuk fungsi sosial Hal ini mengakibatkan rendahnya ketersediaan ruang terbuka bagi sarana berinteraksi antar warga. Akibatnya tidak jarang fasilitas umum beralih fungsi menjadi pendukung fungsi sosial yang diperlukan masyarakat. b. Tingkat ketersediaan fasilitas umum dan fasilitas sosial yang rendah. Kurangnya fasilitas sosial karena kepadatan penduduk yang tinggi mengakibatkan diversifikasi fungsi gang/jalan di kampung kota yang sekaligus menjadi tempat untuk meletakkan properti dan tempat bersosialisasi warga masyarakat. c. Kurangnya infrastruktur Tingginya kepadatan bangunan di kampung-kampung perkotaan tidak jarang mengakibatkan minimnya lahan yang tersedia bagi sarana infrastruktur. Kondisi ini merupakan salah satu ciri rendahnya kualitas suatu lingkungan permukiman d. Tataguna lahan yang tidak teratur Pemanfaatan lahan hendaknya direalisasikan sesuai rencana peruntukannya. Hal ini merupakan strategi untuk mencapai keteraturan tata guna lahan. Pemanfaatan lahan secara tidak teratur dapat mengakibatkan tumpang tindihnya fungsi lahan yang pada akhirnya akan mempengaruhi keberlanjutan fungsi ruang secara luas. e. Kondisi rumah yang kurang sehat Hunian yang kurang memadai mengakibatkan kondisi yang tidak sehat bagi penghuninya. Jendela-jendela tidak lagi berfungsi sebagai bukaan untuk memasukkan sinar matahai dan udara ke dalam hunian tetapi beralih fungsi sebagai tempat jemuran karena hunian tidak lagi memiliki lahan kosong. Sebagai suatu komunitas, kampung kota dapat mempertahankan kelestariannya karena berinteraksi dengan struktur bagian kota lainnya dengan fungsi-fungsi spesifik yang terdapat di dalamnya. Kampung kota berfungsi sebagai perantara kehidupan kota dengan keluarga yang hidup di kampung, yang dilakukan antara lain dengan pertukaran sumber daya antara komunitas dengan masyarakat kota pada umumnya Menurut Wiryomartono (1999) terdapat dua pokok masalah dan potensi yang berkaitan dengan kehidupan bermukim masyarakat kampung kota yaitu: Pertama, Kenyataan umum menunjukkan bahwa masyarakat kampung kota pada umumnya adalah para penduduk asli ketika daerah tersebut masih belum masuk pada struktur kota modern, dan migrasi dari desa yang mengalami modernisasi
9
pertanian. Penduduk pada kawasan kampung kota memiliki kemampuan adaptasi yang lebih tinggi terhadap segala bentuk dan struktur ruang hidup. Hal ini merupakan potensi untuk menghasilkan bentuk ruang tinggal yang tidak platonis. Dengan demikian proses pembangunan struktur fisiknya pun tidak dapat dilakukan dengan massal tetapi lahir spontan untuk nilai aksesibilitas yang efektif. Secara arsitektural, lingkungan tempat tinggal di permukiman kampung kota merupakan suatu kesatuan dalam ketidak teraturan. Dari keadaan tersebut dibutuhkan metode perencanaan dan perancangan lingkungan binaan untuk bermukim secara partisipatif. Metode partisipatif pada masyarakat kampung kota bukanlah sekedar kebutuhan untuk menciptakan rasa saling memiliki tetapi secara eksistensial mampu membangun pengertian bahwa mereka hidup dalam satu Labenswelt (dunia hidup) yang menjadi home mereka selama mungkin. Kedua, sejak modernisasi pertanian di pedesaan terus berlangsung, Indonesia menghadapi suatu abad yang dampak dan pengaruhnya sama seperti yang terjadi di Eropa Barat dan Amerika Utara yaitu globalisasi ekonomi/telekomunikasi. Masyarakat kampung-kota yang semula tradisional agraris dalam kebiasaan hidupnya, tidak lagi bisa bertahan dari proses perubahan karena ada dan berlangsungnya modernitas. Perubahan-perubahan ini bukan hanya dapat dianggap sebagai krisis, tetapi juga peluang yang akan mampu membentuk kerjasama sosial ekonomi dan kultural antara sektor modern dan sektor informal (kampung-kota). Kampung-kota itu sendiri merupakan bagian dari kota, walaupun dengan ciri-ciri tersendiri bila dibandingkan dengan kota lain yang lebih formal dan terorganisir ruang hidupnya. Sebagai subsistem dari kota, kampung kota dengan sifat komunitasnya adalah:
Sistem perantara antara makro sistem masyarakat dengan mikro sistem keluarga
Terdiri dari penduduk yang dapat diidentifikasi dengan jelas, karena memiliki rasa kebersamaan dan kesadaran sebagai warga suatu kesatuan
Mengembangkan dan memiliki suatu keteraturan sosial dan spatial, yang ditumbuhkan dari komunitas itu sendiri (disamping ketentuan oleh kota).
Menunjukkan differensiasi dalam fungsi-fungsi, sehingga bukan merupakan wilayah hunian saja namun di dalamnya terdapat warung, bengkel, salon, dsb.
Menyesuaikan diri dengan lingkungan yang lebih luas melalui pertukaran sumber daya.
10
Menciptakan dan memelihara berbagai bentuk organisasi dan kelembagaan, yang akhirnya memenuhi kebutuhan makrosistem masyarakat dan mikrosistem keluarga. Kampung kota selama ini selalu disebut sebagai permukiman sektor informal
karena banyak dihuni oleh masyarakat dengan penghasilan tidak tetap. Namun dugaan ini tidak sepenuhnya benar karena saat ini pegawai negeri, dan wiraswasta ekonomi kecil (home industry), merupakan populasi yang tak dapat diabaikan jumlahnya. Penyebab terjadinya penurunan kualitas permukiman kampung kota LPM ITB (1998) mengidentifikasi bahwa faktor penyebab timbulnya penurunan kualitas permukiman kampung di kota Bandung adalah: 1) Terbatasnya kemampuan ekonomi masyarakat. Masyarakat
berpendapatan
rendah
menggunakan
lahan
untuk
kegiatan
permukiman dan usaha yang kurang mempertimbangkan aspek legalitas tanah sehingga menimbulkan ketidakteraturan penggunaan lahan yang diperburuk oleh rendahnya kualitas prasarana akibat terbatasnya kemampuan masyarakat. 2) Dampak kegiatan eksternal dan internal kawasan. Buruknya sistem drainase, alami maupun buatan, mendorong terbentuknya kekumuhan yang diperparah oleh pembuangan limbah yang relatif tinggi dan rendahnya kemampuan penduduk dalam mengantisipasi permasalahan lingkungan. Faktor kegiatan eksternal, seperti industri-industri besar yang menghasilkan limbah dalam jumlah besar dan kurang terkelola, memperberat beban fisik lingkungan 3) Dampak faktor eksternal. Permukiman kumuh timbul akibat pertumbuhan pesat penduduk dan kegiatannya yang tidak mampu ditampung oleh sumberdaya yang ada 4) Keterbatasan sumber daya lahan. Kekumuhan disebabkan oleh keterbatasan lahan dalam menampung permukiman, ini terjadi khususnya di tepi sungai. Permukiman kumuh ini membatasi fungsi sungai sebagai bagian sistem drainase Kurniasih (2007) membagi penurunan kualitas lingkungan permukiman dengan a. Sebab kumuh, adalah kondisi kemunduruan atau kerusakan lingkungan hidup dilihat dari: (1) segi fisik, yaitu gangguan yang ditimbulkan oleh unsur-unsur alam seperti air dan udara; (2) masyarakat atau sosial: yaitu gangguan yang ditimbulkan
11
oleh manusia sendiri seperti kepadatan bangunan, lalulintas, sampah dan sejenisnya b. Akibat kumuh: kumuh adalah akibat perkembangan dari gejala-gejala yang antara lain: (1) kondisi perumahan yang buruk, (2) penduduk yang terlalu padat, (3) fasilitas lingkungan yang kurang memadai, (4) tingkah laku menyimpang, (5) budaya kumuh, (6) apatis dan isolasi. Sebab dan akibat kumuh ini memunculkan lingkungan permukiman kumuh, yaitu kawasan dimana rumah dan kondisi hunian masyarakat di kawasan tersebut sangat buruk. Rumah maupun sarana dan prasarana lingkungan yang ada tidak sesuai dengan standar yang berlaku, baik standar kebutuhan, kepadatan bangunan, persyaratan rumah sehat, kebutuhan sarana air bersih, sanitasi maupun persyaratan kelengkapan prasarana jalan, ruang terbuka, serta kelengkapan fasilitas sosial lainnya.
Rumah dan Permukiman Menurut Undang-undang RI No. 4 Tahun 1992. Rumah adalah struktur fisik yang terdiri dari ruangan, halaman dan area sekitarnya yang digunakan sebagai tempat tinggal dan sarana pembinaan keluarga. World Health Organization (WHO) merumuskan definisi rumah sebagai struktur fisik atau bangunan untuk tempat berlindung dimana lingkungan berguna untuk kesehatan jasmani dan rohani serta keadaan sosialnya baik, untuk kesehatan keluarga dan individu (Komisi WHO Mengenai Kesehatan Lingkungan, 2001) Dari pengertian di atas dapat dikatakan bahwa rumah bukan hanya bangunan fisik yang merupakan tempat berlindung dan beristirahat untuk memenuhi kebutuhan fisiologis manusia namun rumah juga adalah sebuah tempat dimana kebutuhankebutuhan dasar pada hirarki yang lebih tinggi dapat dipenuhi. Rumah sesungguhnya merupakan sarana pembinaan keluarga untuk menumbuhkan kehidupan yang sehat secara fisik, mental dan sosial seperti yang diungkapkan oleh Hayward (1987) yang dikutip Budihardjo (1998) mengenai konsep tentang rumah, yaitu: (a) Rumah sebagai pengejawantahan diri: rumah sebagi simbol dan pencerminan tata nilai selera pribadi penghuni, (b) Rumah sebagai wadah keakraban: rasa memiliki, kebersamaan, kehangatan, kasih dan rasa aman tercakup dalam konsep ini, (c) Rumah sebagai tempat menyendiri dan menyepi: rumah disini merupakan tempat melepaskan diri dari
12
dunia luar, dari tekanan dan ketegangan kegiatan rutin, (d) Rumah sebagai akar dan kesinambungan: dalam konsep ini rumah atau kampung halaman dilihat sebagai tempat untuk kembali pada akar dan menumbuhkan rasa kesinambungan dalam untaian proses ke masa depan, (e) Rumah sebagai wadah kegiatan utama sehari-hari, (f) Rumah sebagai pusat jaringan sosial dan (g) Rumah sebagai struktur fisik Fungsi rumah sebagai wadah untuk pemenuhan kebutuhan dasar manusia, menurut Budiharjo (1998) dalam bukunya Arsitektur Perumahan Perkotaan, memiliki tiga fungsi utama, yaitu: (1) Rumah sebagai tempat tinggal, dimana seseorang bermukim untuk mencari ketenangan, lahir maupun batin; (2). Rumah sebagai mediator antara manusia dengan dunia yang memungkinkan terjadinya suatu dialektika antara manusia dengan dunianya. Dari keramaian dunia, manusia menarik diri ke dalam rumahnya dan tinggal dalam ketenangan, untuk kemudian keluar lagi menuju dunia luar, bekerja, dan berkarya. (3) Rumah sebagai arsenal, dimana manusia mendapatkan kekuatannya kembali, setelah melalukan pekerjaan yang melelahkan. Dalam rumah manusia makan, minum, dan tidur untuk memperoleh kembali kekuatannya. Johan Silas (2002) mengatakan bahwa fungsi rumah yang diangankan sejak jaman nenek moyang manusia, masih tetap sama yaitu sebagai terminal peralihan antara kehidupan alami dengan kehidupan privat. Selanjutnya dikatakan bahwa rumah yang baik akan melindungi penghuninya secara badaniah dan rohaniah. Namun demikian rumah juga perlu menjadi perangsang timbulnya gagasan hidup (inspirator) menuju ke keadaan yang lebih baik Sejalan dengan perkembangan sosial kultural manusia, rumah sebagai suatu objek individual tidak terpisahkan dari permukiman/perumahan sebagai objek komunitas. Pengertian permukiman secara jelas dan rinci dapat ditemukan dalam Undang-undang Nomor 4 tahun 1992 tentang Perumahan dan Permukiman yang mengatakan bahwa Permukiman mengandung pengertian sebagai bagian dari lingkungan hidup di luar kawasan lindung, baik berupa kawasan perkotaan maupun perdesaan yang berfungsi sebagai lingkungan tempat tinggal atau lingkungan hunian dan tempat kegiatan yang mendukung perikehidupan dan penghidupan. Dalam permukiman perlu ada prasarana dan sarana lingkungan serta utilitas lingkungan untuk mendukung berjalannya fungsi permukiman dengan optimal.
13
Prasarana lingkungan pemukiman adalah kelengkapan dasar fisik lingkungan yang memungkinkan lingkungan pemukiman dapat berfungsi sebagaimana mestinya. Prasarana utama ini meliputi jaringan jalan, jaringan pembuangan air limbah dan sampah, jaringan saluran air hujan, jaringan pengadaan air bersih, jaringan listrik, telepon, gas, dan sebagainya. Jaringan primer prasarana lingkungan adalah jaringan utama yang menghubungkan antara kawasan pemukiman atau antara kawasan pemukiman dengan kawasan lainnya. Jaringan sekunder prasarana lingkungan adalah jaringan cabang dari jaringan primer yang melayani kebutuhan di dalam satu satuan lingkungan pemukiman. Sarana lingkungan pemukiman adalah fasilitas penunjang yang berfungsi untuk penyelenggaraan dan pengembangan kehidupan ekonomi, sosial dan budaya. Contoh sarana lingkungan pemukiman adalah fasilitas pusat perbelanjaan, pelayanan umum, pendidikan dan kesehatan, tempat peribadatan, rekreasi dan olah raga, pertamanan, pemakaman. Utilitas lingkungan umum mengacu pada sarana penunjang untuk pelayanan lingkungan pemukiman, meliputi jaringan air bersih, listrik, telepon, gas, transportasi, dan pemadam kebakaran. Utilitas umum membutuhkan pengelolaan profesional dan berkelanjutan oleh suatu badan usaha. Sehubungan dengan bahasan mengenai rumah dan fungsi rumah, maka permukiman sebagai tempat dimana rumah-rumah berada, memiliki tiga fungsi utama yaitu: (1) tempat perlindungan secara fisik (phisical shelter), (2) setting (tempat) yang membentuk hubungan antara struktur di dalam (keluarga) dan ketetanggaan dimana setiap anggota keluarga dan komunitas melakukan aktivitas keseharian, dan (3) suatu pengelompokkan keluarga ke dalam komunitas yang lebih besar. Bagi komunitas, perumahan merepresentasikan aspirasi kolektif
yang
dipengaruhi oleh proses sosial ekonomi. Rumah juga dapat mengeskpresikan gaya hidup penghuni yang dipengaruhi oleh aspek
psikologis sosial, ekonomi, dan
keseimbangan estetik. Atas dasar itu, maka kualitas rumah dan permukiman menjadi sangat penting dalam mewadahi kebutuhan dan aspirasi penghuni dalam fungsinya memenuhi kebutuhan fisik, mental dan sosial penghuni dan warganya dengan baik. Apabila pengertian permukiman dikaji sesuai dengan konteks yang dibahas dalam penelitian ini maka permukiman dapat diimplementasikan sebagai suatu tempat
14
bermukim manusia yang menunjukkan suatu tujuan tertentu. Dengan demikian permukiman seharusnya memberikan kenyamanan kepada penghuninya termasuk orang yang datang ke tempat tersebut.
Standar rumah dan perumahan sehat/layak huni Rumah sehat/layak huni Rumah dan permukiman yang sehat merupakan salah satu sarana untuk mencapai derajat kesehatan yang optimum. Untuk memperoleh rumah yang sehat ditentukan oleh tersedianya sarana sanitasi rumah dan perumahan. Sanitasi tersebut antara lain ventilasi, suhu, kelembaban, kepadatan hunian, penerangan alami, konstruksi bangunan, sarana pembuangan sampah, sarana pembuangan kotoran manusia, dan penyediaan air bersih (Azwar, 1990) Menurut American Public Health Association (APHA) rumah dikatakan sehat apabila: (1) memenuhi kebutuhan fisik dasar seperti temperatur lebih rendah dari udara di luar rumah, penerangan yang memadai, ventilasi yang nyaman, dan kebisingan antara 44 – 45 dbA; (2) memenuhi kebutuhan kejiwaan; (3) melindungi penghuninya dari penularan penyakit menular yaitu memiliki penyediaan air bersih, sarana pembuangan sampah dan saluran pembuangan air limbah, dan memenuhi syarat kesehatan, serta (4) melindungi penghuninya dari kemungkinan terjadinya kecelakaan dan bahaya kebakaran seperti fondasi rumah yang kokoh, tangga yang tidak curam, bahaya kebakaran karena arus pendek listrik, keracunan, bahkan dari ancaman kecelekaaan lalulintas. Komponen yang harus dimiliki rumah sehat menurut Ditjen Cipta Karya, (1997) adalah: (1) fondasi yang kuat untuk meneruskan beban bangunan ke tanah dasar, memberi kestabilan bangunan dan merupakan konstruksi penghubung antara bangunan dengan tanah; (2) lantai kedap air dan tidak lembab, tinggi minimum 10 cm dari pekarangan dan 25 cm dari badan jalan, bahan kedap air untuk rumah panggung dapat terbuat dari papan atau anyaman bambu; (3) memiliki jendela dan pintu yang berfungsi sebagai ventilasi dan masuknya sinar matahari dengan luas minimum 10% luas lantai; (4) dinding rumah kedap air yang berfungsi untuk mendukung atau menyangga atap, menahan angin dan air hujan, melindungi dari panas dan debu dari luar serta menjaga kerahasiaan (privacy) penghuninya; (5) langit-langit untuk menahan
15
dan menyerap panas terik matahari minimum 2,4 m. dari lantai, bisa dari bahan papan anyaman bambu, tripleks atau gipsum serta (6) atap rumah yang berfungsi sebagai penahan panas sinar matahari serta melindungi masuknya debu, angin dan air hujan. Johan Silas (2002) menyebutkan bawah sebuah rumah disebut layak huni bila ada keterpaduan yang serasi antara: (1) perkembangan rumah dan penghuninya, artinya rumah bukan hasil akhir yang tetap tetapi proses yang berkembang, (2) rumah dan lingkungan (alam) sekitarnya, artinya lingkungan rumah dan lingkungan sekitarnya terjaga selalu baik, (3) perkembangan rumah dan perkembangan kota, artinya kota yang dituntut makin global dan urbanized memberi manfaat positif bagi kemajuan warga kota di rumah masing-masing, (4) perkembangan antar kelompok warga dengan standar layak sesuai keadaan dan tuntutan masing-masing kelompok, artinya tiap kelompok warga punya kesempatan sama untuk berkembang sesuai dengan tuntutan yang ditetapkan sendiri. (5) standar fisik dan dukungan untuk maju bagi penghuni, artinya standar fisik rumah tidak sepenting dan menentukan seperti peningkatan produktivitas yang diberikannya terhadap mobilitas penghuninya. Kaidah perancangan rumah layak huni menurut Johan Silas (2002) perlu memperhatikan hal-hal: (1) Terdapat fleksibilitas penataan ruang, terutama bagi masyarakat berpenghasilan rendah, sehingga rumah tidak harus selalu disekat-sekat dan terbuka peluang penggunaan ganda dan over lapping, (2) Memilih bahan bangunan yang mudah diperoleh setempat dan sudah akrab dipakai oleh warga dengan kesulitan konstruksi yang mudah diatasi oleh keahlian setempat, (3) Penataan ruang yang dilakukan fleksibel dan multi guna serta tidak terkotak-kotak kecil berguna untuk menjamin kedinamisan gerak dan berbagai aktivitas lain dari penghuni serta untuk memberi keleluasaan aliran udara dan cahaya tinggi. Selanjutnya pola penataan ruang yang terbuka ini juga akan memberi kesan luas sehingga tercapai rasa psikologis yang melegakan penghuni guna merangsang produktivitas kehidupan yang tinggi. (4) Tampilan bangunan harus serasi dengan tampilan bangunan yang lazim berlaku di sekitarnya. Prinsip bangunan tropis dengan teritis yang lebar, teduh, dan angin mudah lewat serta tidak tempias oleh terpaan hujan lebat merupakan dasar yang harus diperhatikan secara sungguh-sungguh. Perlu pula memberi muatan lokal yang diambil dari prinsip dan unsur arsitektur tradisional setempat.
16
Permukiman sehat/layak huni Menurut Komisi WHO Mengenai Kesehatan dan Lingkungan (2001), permukiman atau perumahan yang sehat adalah konsep dari perumahan sebagai faktor yang dapat meningkatkan standar kesehatan penghuninya. Konsep tersebut melibatkan pendekatan sosiologis dan teknis pengelolaan faktor resiko dan berorientasi pada lokasi bangunan, kualifikasi, adaptasi, manajemen, penggunaan dan pemeliharaan rumah dan lingkungan di sekitarnya, serta mencakup unsur-unsur apakah permukiman/perumahan tersebut memiliki penyediaan air minum dan sarana yang memadai untuk memasak, mencuci, menyimpan makanan, serta pembuangan kotoran manusia maupun limbah lainnya. Johan Silas (2002) menyebutkan kaidah perencanaan kawasan perumahan dan permukiman yang layak perlu memperhatikan dan mempertimbangkan hal-hal berikut: (1) penggunaan lahan yang efektif dan efisien dan terkait dengan kegiatan ekonomi dalam arti luas, (2) orientasi bangunan/gedung perlu memperhatikan arah angin di samping posisi dan pergerakan matahari. Jalan dan lorong terutama disearahkan dengan aliran angin sebagai koridor angin yang menjaga kesejukan lingkungan, (3) jalan mobil hanya disediakan sebatas kebutuhan nyata untuk keamanan dan keadaan darurat. Parkir mobil sebaiknya terpusat sehingga jalan/lorong dijadikan sebagai taman komunal, (4) tersedia fasilitas perumahan yang diadakan dan diselenggarakan secara komunal, termasuk ruang terbuka hijau serta rekreasi memakai akses utama melalui berjalan kaki dari perumahan yang ada. Sistem sarana dan prasarana harus terkait dengan sistem kota yang lebih besar. Prasarana lingkungan permukiman adalah kelengkapan dasar fisik lingkungan yang memungkinkan lingkungan permukiman dapat berfungsi sebagaimana mestinya. Prasarana utama meliputi jaringan jalan, jaringan air hujan, jaringan pengadaan air bersih, jaringan listrik, telepon, gas dan sebagainya. Sarana lingkungan permukiman adalah fasilitas penunjang yang berfungsi untuk penyelenggaraan dan pengembangan kehidupan ekonomi, sosial dan budaya. Contoh sarana lingkungan permukiman adalah fasilitas pusat perbelanjaan, pelayanan umum, pendidikan dan kesehatan, tempat peribadatan, rekreasi dan olahraga, pertamanan, pemakaman. Menurut Sastra (2006) kata permukiman merupakan sebuah istilah yang tidak hanya berasal dari satu kata saja. Permukiman terdiri atas dua kata yang mempunyai
17
arti yang berbeda, yaitu: (1) Isi yang menunjuk kepada manusia sebagai penghuni maupun masyarakat di lingkungan sekitarnya dan (2) Wadah yang menunjuk pada fisik hunian terdiri dari alam dan elemen-elemen buatan manusia. Kesatuan antara manusia sebagai penghuni (isi) dengan lingkungan hunian membentuk suatu komunitas yang secara bersamaan membentuk permukiman. Menurut Sastra (2005), elemen permukiman terdiri dari beberapa unsur yaitu alam, manusia, masyarakat, bangunan/ rumah, dan jaringan/networks.
Alam. Alam disini meliputi kondisi geologi, topografi, tanah, air, tetumbuhan, hewan dan iklim
Manusia. Di dalam satu wilayah permukiman, manusia merupakan pelaku utama kehidupan di samping makhluk hidup lain seperti hewan, tumbuhan dan lainnya. Sebagai
makhluk yang paling
sempurna dalam kehidupannya
manusia
membutuhkan berbagai hal yang dapat menunjang kelangsungan hidupnya, baik itu kebutuhan biologis (ruang, udara, temperatur dan lain-lain), perasaan dan persepsi, kebutuhan emosional serta kebutuhan akan nilai-nilai moral.
Masyarakat. Masyarakat merupakan kesatuan sekelompok orang (keluarga) dalam suatu permukiman yang membentuk suatu komunitas tertentu. Hal-hal yang berkaitan dengan permasalahan yang terjadi di dalam masyarakat yang mendiami suatu wilayah permukiman adalah: (1) Kepadatan dan komposisi penduduk, (2) Kelompok sosial, (3) Adat dan kebudayaan, (4) Pengembangan ekonomi, (5) Pendidikan, (6) Kesehatan dan (7) Hukum dan administrasi
Bangunan/Rumah. Bangunan (rumah) merupakan wadah bagi manusia (keluarga). Oleh karena itu dalam perencanaan dan pengembangannya perlu mendapatkan perhatian khusus agar sesuai dengan rencana kegiatan yang berlangsung di tempat tersebut. Pada prinsipnya bangunan yang bisa digunakan sepanjang operasional kehidupan manusia bisa dikategorikan sesuai dengan fungsi masing-masing yaitu: (1) Rumah pelayanan masyarakat (misalnya sekolah, rumah sakit, dan lain-lain), (2) Fasilitas rekreasi (fasilitas hiburan), (3) Pusat perbelanjaan (perdagangan) dan pemerintahan, (4) Industri dan (5) Pusat transportasi
Jaringan/Networks. Jaringan atau Networks merupakan sistem buatan maupun alam yang menyediakan fasilitas untuk operasional suatu wilayah permukiman. Untuk sistem buatan, tingkat pemenuhannya bersifat relatif, di mana antara
18
wilayah permukiman yang satu dengan yang lain tidak harus sama. Sebagai contoh di daerah pegungunan air bersih dapat dengan mudah diperoleh sehingga tidak membutuhkan jaringan air bersih. Di perkotaan, jaringan air bersih mutlak diperlukan karena air dari sumur biasanya sudah tercemar limbah. Sistem buatan yang keberadaannya diperlukan di dalam wilayah permukiman antara lain adalah: (1) Sistem jaringan air bersih, (2) Sistem jaringan listrik, (3) Sistem transportasi, (4) Sistem komunikasi, (5) Drainase dan air kotor dan (6) Tata letak fisik. Di dalam membuat perencanaan suatu permukiman dibutuhkan berbagai kajian yang tidak hanya terhadap faktor fisik saja, tetapi juga harus mempertimbangkan faktor manusia sebagai pelaku kehidupan yang utama. Karena esensi permukiman meliputi manusia serta tempatnya maka perlu untuk memahami hubungan antara elemen-elemen permukiman dengan manusia yang saling mempengaruhi keberadaan satu dengan lainnya. Dari pembahasan tersebut dapat disimpulkan bahwa untuk merencanakan pengembangan sebuah permukiman diperlukan pemahaman terhadap elemen-elemen pendukung permukiman tersebut yaitu:
Pemahaman atas hubungan antara alam sebagai media untuk berlangsungnya operasional permukiman tersebut, manusia sebagai pelaku utama dalam kehidupan dan masyarakat sebagai sekumpulan komunitas keluarga serta rumah sebagai tempat tinggal maupun jaringan sebagai sistem buatan yang menunjang operasional berlangsungnya kehidupan
Realitas hubungan. Alam sebagai wadah Æ ada manusia Æ membentuk kelompok sosial yang berfungsi sebagai masyarakat. Kelompok sosial membutuhkan perlindungan Æ membuat bangunan Æ menjadi lingkungan besar dan kompleks Æ terbentuk jaringan/networks Æ terbentuk permukiman (human settlements) Kebutuhan Akan Rumah Rumah sebagai salah satu kebutuhan dasar merupakan pengejawantahan dari
manusia baik sebagai pribadi maupun sebagai kesatuan dengan sesama dan lingkungannya. Dalam hubungan ini alam merupakan tempat berada dan sekaligus sarana yang menghidupi dan menyediakan bahan-bahan yang dibutuhkan untuk kelestarian dan pengembangan diri manusia yang bukan saja secara fisik dilengkapi tetapi juga secara rohani dikembangkan dan dibentuk menjadi insan berkepribadian.
19
Kebutuhan (need) akan rumah merupakan kebutuhan pokok yang bersifat objektif. Berdasarkan hal ini maka rumah dipandang sebagai produk yang diperlukan semua orang dalam upaya melangsungkan kehidupannya. Produk rumah di sini apabila dilihat dalam skala kebutuhan menurut Maslow merupakan kebutuhan yang paling dasar terkait dengan perlindungan biologis. Perasaan membutuhkan (felt need) menunjukkan kebutuhan akan rumah. Adanya perasaan seperti ini menunjukkan adanya peningkatan dalam kebutuhan akan rumah/permukiman atau peningkatan kualitas rumah lebih dari yang saat ini telah ditempati sehingga tingkat kebutuhannya bukan lagi sebagai kebutuhan dasar saja namun sudah mulai meningkat kepada kebutuhan yang lebih tinggi, misalnya rumah sebagai sarana aktualisasi diri, atau bahkan sebagai obyek investasi. Kebutuhan dan pemuasan untuk mengekspresi pribadi ini oleh psikolog Abraham Maslow diuraikan menjadi lima tahapan yang disebut hirarki dari kebutuhan manusia (hierarchy of human need’s). Budihardjo (1998) dengan mengacu pada hirarki kebutuhan manusia menurut Maslow menggolongkan tingkatan kebutuhan akan rumah berdasar kategori: (1) rumah memberikan perlindungan terhadap gangguan alam dan binatang, berfungsi sebagai tempat istirahat, tidur, dan pemenuhan fungsi badani; (2) rumah harus bisa menciptakan rasa aman sebagai tempat menjalankan kegiatan ritual, penyimpanan harta milik yang berharga, menjamin hak pribadi; (3) dalam hal kebutuhan sosial, rumah memberikan peluang untuk interaksi dan aktivitas komunikasi yang akrab dengan lingkungan sekitar: teman, tetangga, keluarga; (4) rumah memberikan peluang untuk tumbuhnya harga diri; (5) rumah untuk kebutuhan aktualisasi diri yang diejawantahkan dalam bentuk pewadahan aktivitas dan pemberian makna bagi kehidupan yang mempribadi dimana rumah tidak lagi cukup sebagai tempat untuk hidup tetapi sudah harus menyumbang pengembangan pribadi bagi penghuninya. Menurut Sastra (2006) dengan mengacu pada hirarki kebutuhan manusia menurut Maslow penggolongkan tingkat kebutuhan manusia terhadap hunian adalah: 1. Survival needs or Psycologial needs Tingkat kebutuhan ini merupakan kebutuhan dasar yang harus dipenuhi pertama kali. Rumah merupakan sarana menunjang keselamatan hidup manusia, agar dapat selamat dan tetap hidup, terlindung dari gangguan iklim dan makhluk hidup lain.
20
2. Safety and Security Needs Kebutuhan terhadap keselamatan dan keamanan yang ada pada tingkat berikutnya ini terkait dengan keselamatan dari kecelakaan anggota badan serta hak milik. 3. Social Needs or Affiliation Needs Pada tingkatan ini hunian merupakan sarana agar dapat diakui sebagai anggota dalam golongan tertentu. Hunian di sini berperan sebagai identitas seseorang untuk diakui dalam golongan masyarakat. 4. Self Esteem Needs Kebutuhan berikutnya terkait dengan aspek psikologis. Manusia butuh dihargai dan diakui eksistensinya. Terkait dengan hal ini hunian merupakan sarana untuk mendapatkan pengakuan atas jati dirinya dari masyarakat dan lingkungan sekitarnya. Pada tingkatan ini, rumah sudah bukan tergolong kebutuhan primer lagi, tetapi sudah meningkat kepada kebutuhan yang lebih tinggi yang harus dipenuhi setelah kebutuhan pokok terpenuhi. Misalnya rumah mewah dan bagus dapat memberikan kebanggaan dan kepuasaan kepada pemiliknya 5. Self actualization needs Tingkatan yang paling tinggi dari kebutuhan manusia ini terkait dengan aspek psikologis seperti halnya esteem need. Hanya saja pada tingkat ini hunian tidak saja merupakan sarana peningkatan kebanggaan dan harga diri tetapi juga agar dapat dinikmati (misalnya dinikmati secara visual) pada lingkungan sekitarnya. Dilihat dari tingkatan ini tuntutan masyarakat akan hunian antara masyarakat berpenghasilan rendah dengan yang lebih mampu secara finansial berbeda. Pada masyarakat menengah ke atas tingkat kebutuhan terhadap hunian berada pada tingkat 3 ke atas yang berbeda dengan kebutuhan masyarakat berpenghasilan rendah yang masih berada pada tingkat 1, 2 atau 3. Perumahan bagi masyarakat berpenghasilan rendah Di kota warga yang paling tidak terpenuhi kebutuhan fasilitas perumahan dan pemukimannya adalah mereka yang berpenghasilan rendah yang tidak mampu mengeluarkan biaya bagi pengembangan/pemeliharaan rumah dan pemukimannya agar layak huni sehingga mereka hanya mampu mengakses rumah dan permukiman kampung kota. Semakin kecil bagian penghasilan yang dapat disisihkan guna pembiayaan rumah dan fasilitas permukiman, semakin kumuh kondisinya.
21
Clarence Schubert (1979) seperti dikutip oleh Budihardjo (1998), menyatakan bahwa sepertiga dari penduduk kota besar di kawasan Asia termasuk Indonesia, tergolong dalam kelompok masyarakat berpenghasilan rendah yang hidup di lingkungan permukiman ‘marginal’. Kelompok ini tumbuh kurang lebih dua kali lebih besar dari tingkat pertumbuhan penduduk kota dan empat kali tingkat pertumbuhan penduduk secara keseluruhan. Pertumbuhan permukiman kampung kota sebagai salah satu wujud permukiman marginal akan tumbuh membengkak di masa mendatang. Menurut Jo Santoso (2002) bagi masyarakat berpenghasilan rendah, rumah harus memenuhi syarat sebagai berikut:
lokasi harus dekat dengan tempat kerja atau di tempat yang berpeluang untuk mendapatkan pekerjaan, minimal pekerjaan di sektor informal
kualitas fisik hunian dan lingkungan tidak penting sejauh mereka masih memungkinkan untuk menyelenggarakan kehidupan mereka
hak-hak penguasaan atas tanah dan bangunan, khususnya hak milik tidak penting, yang penting bagi mereka adalah tidak diusir atau digusur Selanjutnya Santoso (2002) mengatakan bahwa rumah bagi masyarakat
berpenghasilan rendah merupakan hasil dari suatu proses keputusan yang mempertimbangkan berbagai kebutuhan, kepentingan, kemampuan dan keterbatasan, pribadi dan lingkungan (sosial, ekonomi, dan fisik). Rumah bukanlah soal membangun tetapi rumah adalah persoalan mengelola kehidupan di mana berbagai kebutuhan, kepentingan, kemampuan dan kelemahan dioptimalkan terhadap sumber daya yang serba terbatas yang dimiliki pribadi dan peluang yang disediakan oleh lingkungan. Proses ini tidak hanya terjadi di satu rumah tangga tetapi melibatkan seluruh lingkungan yang membentuk nilai sosial rumah dan permukiman. Drakakis Smith (1978) seperti dikutip Budihardjo (1998) mengajukan pokokpokok pikiran tentang hubungan antara prioritas perumahan dengan tingkat penghasilan masyarakat di negara berkembang. Masyarakat berpenghasilan rendah menempatkan pemilihan lokasi dekat lapangan kerja sebagai prioritas utama, kemudian menyusul kejelasan status pemilikan dan terakhir penyediaan fasilitas sosial dan kenyamanan. Untuk kelompok atas, urutan prioritasnya adalah kebalikannya, dimana kenyamanan dan ketersediaan fasilitas sosial menduduki prioritas utama, kemudian baru status kepemilikan, dan terakhir lokasi dekat lapangan kerja.
22
FASILITAS SOSIAL & KENYAMANAN
PRIORITAS
STATUS KEPEMILIKAN LOKASI DEKAT TEMPAT KERJA PENGHASILAN
Gambar 1
Prioritas perumahan
Dalam kaitan dengan perumahan untuk masyarakat berpenghasilan rendah, FC Turner dalam bukunya Housing by People (1976) menyebut tiga aktor pembangunan perumahan yaitu pemerintah (public sector), swasta (private sector) dan masyarakat (popular/community sector). Namun untuk kasus di Indonesia, Eko Budihardjo (1998) mengusulkan kerangka pembangunan perumahan seperti dalam gambar berikut:
PEMBANGUNAN PERUMAHAN
SEKTOR FORMAL
SUMBER DAYA
PEMERINTAH Perumnas
AKTOR PEMBANGUNAN
SWASTA Real estate/ Developer
HIBRIDA
Yayasan Koperasi Instansi Org. Profesi
Menengah
9
9
9
Sedang
9
9
9
Rendah
9
Sangat rendah
Sumber: Budihardjo, 1998
Gambar 2
MASYARAKAT Masyarakat banyak
9
Atas SASARAN KELOMPOK PENGHASILAN
SEKTOR INFORMAL
Mass Housing
9
9
9
9
Small Scale Housing
Housing by the masses
Diagram Pembangunan Perumahan
Berkaitan dengan penelitian ini yang membahas tentang permukiman kampung kota yang mayoritas warga penghuninya berpenghasilan rendah, maka persepsi
23
tentang fungsi dan keberadaan rumah bagi mereka perlu dipahami dengan benar agar dapat memberikan solusi penanganan bagi peningkatan kualitas lingkungan permukiman kampung yang sesuai dengan kondisi masyarakatnya
Modal Sosial Konsep modal sosial pertama kali muncul pada tahun 1916, dalam tulisan Lyda Judson Hanifan yang berjudul The Rural School Community Centre. Dalam tulisan tersebut seperti dikutip Sabra (2003), Hanifan mengatakan bahwa modal sosial bukanlah modal dalam arti biasa seperti harta kekayaan atau uang, tetapi lebih mengandung arti kiasan. Namun demikian modal sosial ini merupakan aset atau modal nyata yang penting dalam kehidupan bermasyarakat. Selanjutnya dikatakan bahwa yang termasuk ke dalam modal sosial diantaranya adalah: kemauan baik, rasa bersahabat, saling simpati serta hubungan sosial dan kerjasama yang erat antara individu dan keluarga yang membentuk suatu kelompok sosial. Munculnya konsep modal sosial berawal dari pemikiran bahwa anggota masyarakat tidak mungkin mengatasi berbagai masalah yang dihadapinya secara sendiri-sendiri. Diperlukan kebersamaan dan kerjasama yang baik dari segenap anggota masyarakat yang berkepentingan untuk mengatasi masalah mereka. Konsep modal sosial terus berkembang dengan banyak variasi dan banyak tafsir terutama dengan munculnya kajian-kajian berharga dari Robert D. Putnam, Francis Fukuyama, James Coleman, Eva Cox, Cohen dan Prusak. Berikut adalah berbagai tafsiran dari para ahli tersebut tentang modal sosial: Tabel 1. Konsep Modal Sosial menurut beberapa ahli Eva Cox
Piere Bourdieu
Konsep Modal Sosial Suatu rangkaian proses hubungan antar manusia yang ditopang oleh jaringan, norma-norma dan kepercayaan sosial yang memungkinkan efisien dan efektifnya koordinasi dan kerjasama untuk kepentingan dan kebajikan bersama Merupakan wujud nyata dari suatu institusi kelompok yang merupakan jaringan koneksi yang bersifat dinamis dan bukan alami yang dapat menghasilkan hubungan sosial secara langsung dan tidak langsung dalam jangka pendek maupun jangka panjang. Hubungan ini dapat dilakukan dalam hubungan antar keluarga, tetangga, teman kerja, maupun masyarakat dalam arti luas. Modal sosial merupakan kumpulan sumber daya yang dimiliki setiap anggota dalam suatu kelompok yang digunakan secara bersamasama.
24
James Coleman
Francis Fukuyama Putnam
Cohen dan Prusak
Varian entitas terdiri dari beberapa struktur sosial yang memfasilitasi tindakan dari para pelakunya dalam bentuk personal atau korporasi dalam suatu struktur sosial. Struktur relasi dan jaringan inilah yang menciptakan berbagai ragam kewajiban sosial, menciptakan iklim saling percaya, membawa saluran informasi dan menetapkan norma-norma dan sangsi sosial bagi para anggotanya. Segala sesuatu yang membuat masyarakat bersekutu untuk mencapai tujuan bersama atas dasar kebersamaan dan didalamnya diikat oleh nilai-nilai dan norma-norma yang tumbuh dan dipatuhi. Kemampuan warga untuk mengatasi masalah publik dalam iklim demokratis. Modal sosial dapat berupa kepercayaan, norma dan jaringan kerja yang merupakan fasilitas bersama dan dapat dimanfaatkan oleh masyarakat secara luas. Stok dari hubungan yang aktif antar masyarakat yang diikat oleh kepercayaan (trust), kesaling pengertian (mutual understanding) dan nilai-nilai bersama (shared value) yang mengikat anggota kelompok untuk membuat kemungkinan aksi bersama dapat dilakukan secara efektif dan efisien.
Dari tabel di atas terlihat bahwa masing-masing tokoh yang mempopulerkan konsep modal sosial memiliki perbedaan penekanan terhadap unsur-unsur yang membentuknya. Namun demikian perbedaan tersebut intinya adalah konsep modal sosial yang memberikan penekakan pada kebersamaan masyarakat untuk mencapai tujuan memperbaiki kualitas kehidupan dan senantiasa melakukan perubahan dan penyesuaian secara terus menerus. Dalam proses perubahan dan upaya untuk mencapai tujuan, masyarakat senantiasa terikat pada nilai-nilai dan unsur yang merupakan ruh modal sosial seperti: sikap yang partisipatif, sikap yang saling memperhatikan, saling memberi dan menerima, saling percaya dan diperkuat oleh nilai-nilai dan norma yang mendukungnya. Unsur lain yang memegang peran penting dalam modal sosial adalah kemauan masyarakat atau kelompok untuk secara terus menerus proaktif baik dalam mempertahankan nilai, membentuk jaringan-jaringan kerjasama maupun dengan penciptaan kreasi dan ide-ide baru. Unsur-unsur Modal Sosial
Saling percaya antar warga (Trust) dan Relasi Mutual (Resiprocity) Trust atau perasaan saling percaya adalah suatu bentuk keinginan individu atau
kelompok untuk mengambil resiko dalam hubungan-hubungan sosialnya, yang didasari oleh perasaan yakin bahwa pihak yang lain akan melakukan sesuatu seperti yang diharapkan dan akan senantiasa bertindak dalam suatu pola tindakan yang saling mendukung, atau stidak-tidaknya pihak lain tidak akan bertindak merugikan diri dan
25
kelompoknya. Trust adalah sikap saling percaya di masyarakat yang memungkinkan masyarakat tersebut saling bersatu dengan yang lain dan memberikan kontribusi pada peningkatan modal sosial. Berbagai tindakan kolektif yang didasari atas rasa saling percaya yang tinggi, akan meningkatkan partisipasi masyarakat dalam berbagai ragam bentuk dan dimensi terutama dalam konteks membangun kemajuan bersama. Sebaliknya, kehancuran rasa saling percaya dalam masyarakat akan mengundang hadirnya berbagai problematik sosial yang serius. Masyarakat yang kurang memiliki perasaan saling percaya akan sulit menghindari berbagai situasi kerawanan sosial dan ekonomi yang mengancam. Semangat kolektifitas akan tenggelam dan partisipasi masyarakat untuk membangun bagi kepentingan kehidupan yang lebih baik akan hilang. Lambat laun akan mendatangkan biaya tinggi bagi pembangunan karena masyarakat cenderung bersikap apatis dan hanya menunggu apa yang akan diberikan pemerintah. Jika rasa saling percaya telah luntur, maka yang akan terjadi adalah sikap-sikap yang menyimpang dari nilai dan norma yang berlaku. Kriminalitas akan meningkat, tindakan-tindakan destruktif dan anarkis mudah mencuat, kekerasan dan kerusuhan massa akan cepat tersulut, masyarakat cenderung pasif, mementingkan diri sendiri, dan pada akhirnya muncul perasaan terisolasi dan alienasi diri. Pada situasi yang disebut terakhir ini, masyarakat akan mudah terkena berbagai penyakit kejiwaan seperti kecemasan, sikap putus asa yang memungkinkan melahirkan tindakan-tindakan yang negatif baik bagi dirinya, masyarakat, maupun negara. Pada tingkat berikutnya, kepercayaanlah yang menumbuhkan relasi mutual (resiprokal/resiprositas), yang merupakan kecenderungan saling tukar kebaikan antar individu dalam suatu kelompok atau antar kelompok itu sendiri. Pola pertukaran ini bukanlah sesuatu yang dilakukan secara resiprokal seketika seperti dalam proses jual beli, melainkan suatu kombinasi jangka pendek dan jangka panjang dalam nuansa altruism (semangat untuk membantu dan mementingkan kepentingan orang lain). Sesesorang atau banyak orang dari suatu kelompok memiliki semangat membantu yang lain tanpa mengharapkan imbalan seketika. Pada masyarakat dan pada kelompok sosial yang terbentuk, yang di dalamnya memiliki bobot resiprositas kuat akan melahirkan masyarakat yang memiliki tingkat modal sosial yang tinggi. Hal ini terrefleksikan dalam tingkat kepedulian sosial yang
26
tinggi untuk saling membantu. Pada masyarakat yang demikian, jika terdapat kemiskinan, maka akan lebih mudah diatasi. Keuntungan lain, masyarakat tersebut akan lebih mudah mambangun diri, kelompok, serta lingkungan sosial dan fisiknya.
Norma-norma dan Nilai Sosial. Norma sosial adalah sekumpulan aturan yang diharapkan, dipatuhi, dan diikuti
oleh anggota masyarakat pada suatu entitas sosial tertentu. Norma-norma sosial sangat berperan dalam mengontrol bentuk-bentuk prilaku yang tumbuh dalam masyarakat. Norma-norma ini biasanya terinstusionalisasi dan mengandung sanksi sosial yang dapat mencegah individu berbuat sesuatu yang menyimpang dari kebiasaan yang berlaku di masyarakatnya. Aturan-aturan kolektif tersebut biasanya tidak tertulis tapi dipahami oleh setiap anggota masyarakatnya dan menentukan pola tingkah laku yang diharapkan dalam konteks hubungan sosial. Aturan-aturan kolektif ini misalnya, bagaimana cara menghormati orang yang lebih tua, menghormati pendapat orang lain, norma untuk hidup sehat, norma untuk tidak mencurangi orang lain, norma untuk selalu bersama-sama dan sejenisnya, merupakan contoh-contoh norma sosial. Jika di dalam suatu komunitas, asosiasi, kelompok atau grup, norma tersebut tumbuh, dipertahankan dan kuat akan memperkuat masyarakat itu sendiri. Itulah alasan rasional mengapa norma merupakan salah satu unsur modal sosial yang akan merangsang berlangsungnya kohesifitas sosial yang hidup dan kuat. Nilai sosial adalah sesuatu ide yang telah turun temurun dianggap benar dan penting oleh anggota kelompok masyarakat. Misalnya, nilai harmoni, prestasi, kerja keras, kompetisi dan lainnya merupakan contoh-contoh nilai yang sangat umun dikenal dalam kehidupan masyarakat. Nilai senantiasa memiliki kandungan konsekuensi yang ambivalen. Nilai harmoni misalnya, yang oleh banyak pihak dianggap sebagai pemicu keindahan dan kerukunan hubungan sosial yang tercipta, tetapi di sisi lain dipercaya pula untuk senantiasa menghasilkan suatu kenyataan yang menghalangi kompetisi dan produktifitas. Pada kelompok masyarakat yang mengutamakan nilai-nilai harmoni biasanya akan senantiasa ditandai oleh suatu suasana yang rukun, indah, namun, terutama dalam kaitannya dengan diskusi pemecahan masalah terkdadang menjadi tidak produktif. Modal sosial yang kuat juga sangat ditentukan oleh konfigurasi nilai yang tercipta
27
pada suatu kelompok masyarakat. Jika suatu masyarakat memberi bobot tinggi pada nilai-nilai kompetisi, pencapaian, keterusterangan dan kejujuran maka masyarakat tersebut cenderung jauh lebih cepat berkembang dan maju dibandingkan pada kelompok masyarakat yang senantiasa menghindari keterusterangan, kompetisi dan pencapaian. Nilai senantiasa berperan penting dalam kehidupan manusia. Pada setiap kebudayaan, biasanya terdapat nilai-nilai tertentu yang mendominasi ide yang berkembang. Dominasi ide tertentu dalam masyarakat akan membentuk dan mempengaruhi aturan-aturan bertindak masyarakatnya (the rules of conduct) dan aturan-aturan bertingkah laku (the rules of behavior) yang secara bersama-sama, menurut istilah sosiologi, membentuk pola-pola kultural (cultural pattern).
Partisipasi dalam suatu jaringan dan sikap proaktif Partisipasi sosial adalah keterlibatan anggota komunitas dalam jaringan
sosialnya. Fakta memperlihatkan bahwa modal sosial tidak dibangun hanya oleh satu individu, melainkan terletak pada kecenderungan yang tumbuh dalam suatu kelompok untuk bersosialisasi sebagai bagian penting dari nilai-nilai yang melekat. Kekuatan modal sosial bergantung pada kapasitas yang ada dalam kelompok masyarakat untuk membangun sejumlah asosiasi berikut jaringannya. Karena itu, salah satu kunci keberhasilan membangun modal sosial terletak pada kemampuan dan partisipasi sekelompok orang dalam suatu jaringan hubungan sosial. Masyarakat selalu berhubungan sosial dengan masyarakat lain melalui berbagai variasi hubungan yang saling berdampingan dan dilakukan atas prinsip kesukarelaan (voluntary), kesamaan (equality), kebebasan (freedom), dan keadaban (civility). Kemampuan anggota kelompok/masyarakat untuk selalu menyatukan diri dalam suatu pola hubungan yang sinergetis, akan memberi pengaruh besar dalam menentukan kuat tidaknya modal sosial suatu kelompok. Jaringan hubungan sosial biasanya akan diwarnai oleh suatu tipologi khas yang sejalan dengan karakteristik dan orientasi kelompok. Pada kelompok sosial yang biasanya terbentuk secara tradisional atas dasar kesamaan garis keturunan (lineage), pengalaman-pengalaman sosial turun temurun (repeated social experiences), dan kesamaan kepercayaan pada dimensi ketuhanan (religious beliefs), cenderung memiliki kohesifitas tinggi tetapi dengan rentang jaringan maupun kepercayaan (trust)
28
yang terbangun sangat sempit . Sebaliknya, pada kelompok yang dibangun atas dasar kesamaan orientasi dan tujuan dan dengan ciri pengelolaan organisasi lebih modern, akan memiliki tingkat partisipasi anggota yang lebih baik dan memiliki rentang jaringan yang lebih luas. Pada tipologi kelompok yang disebut terakhir akan lebih banyak menghadirkan dampak positif baik bagi kemajuan kelompok maupun kontribusinya pada pembangunan masyarakat secara luas. Sikap Proaktif adalah sikap yang ditampilkan oleh individu anggota komunitas untuk selalu terlibat dengan ide-ide baru pemecahan masalah dalam partisipasi sosial mereka.
Salah satu unsur penting modal sosial adalah keinginan yang kuat dari
anggota kelompok untuk tidak saja berpartisipasi tetapi senantiasa mencari jalan bagi keterlibatan mereka dalam suatu kegiatan masyarakat. Premisnya, bahwa seseorang atau kelompok yang senantiasa kreatif, aktif, dan sekaligus peduli,
cenderung
melibatkan diri dan secara bersama-sama mencari kesempatan-kesempatan yang dapat memperkaya, tidak saja dari sisi material tetapi juga kekayaan hubungan-hubungan sosial, yang menguntungkan kelompok dan tanpa merugikan orang lain, Mereka cenderung tidak menyukai bantuan yang sifatnya dilayani, melainkan lebih memberi pilihan untuk lebih banyak melayani secara proaktif. Prilaku proaktif yang memiliki kandungan modal sosial dapat dilihat melalui tindakan-tindakan dari yang paling sederhana sampai yang berdimensi dalam dan luas. Suatu masyarakat yang terbiasa proaktif untuk memungut sampah yang berserakan di ruang-ruang publik, membersihkan lingkungan tempat tinggal, melakukan inisiatif untuk menjaga keamanan bersama, merupakan bentuk tindakan yang didalamnya terkandung semangat keaktifan dan kepedulian. Begitu pula dengan inisiatif untuk mengunjungi keluarga, teman, mencari informasi yang memperkaya ide, pengetahuan dan beragam bentuk inisiatif individu yang kemudian menjadi inisiatif kelompok, merupakan wujud proaktivitas yang bernuansa modal sosial. Partisipasi Masyarakat dalam Peningkatan kualitas permukiman Surbakti (1984) mengemukakan bahwa konsep partisipasi sebagai ikut ambil bagian dalam menemukan hal-hal yang menyangkut atau mempengaruhi hidupnya. Asumsi dasar konsep ini adalah, pertama, seorang lebih mengenal dunianya sendiri daripada orang lain, seseorang lebih tahu apa yang baik bagi dirinya daripada orang lain. Kedua, seseorang berhak ikut serta menentukan hal-hal yang akan mempengaruhi
29
hidupnya dalam masyarakat. Ini berarti warga masyarakat sendirilah yang harus merumuskan program-program yang mereka pandang baik untuk mereka. Hal ini juga berarti bahwa warga masyarakat akan merupakan subyek pembangunan, setidaktidaknya pada tingkat terbawah masyarakat. Oleh karena itu partisipasi bisa berfungsi ganda, yaitu sebagai: 1) alat untuk menyelenggarakan pembangunan, dan 2) tujuan pembangunan itu sendiri. Slamet (2003) mengatakan bahwa konsep partisipasi masyarakat dalam pembangunan dirumuskan sebagai ikut sertanya masyarakat dalam pembangunan, ikut dalam kegiatan-kegitan pembangunan, dan ikut serta memanfaatkan dan menikmati hasil-hasil pembangunan. Hal ini bersesuaian dengan rumusan partisipasi yang dikemukakan oleh Rogers, yang mengatakan bahwa partisipasi adalah tingkat keterlibatan anggota sistem sosial dalam proses pengambilan keputusan. Tetapi bila dicermati, partisipasi tidak terbatas hanya keterlibatan dalam mengambil keputusan. Namun pengetiannya lebih luas, meliputi proses perencanaan, pengambilan keputusan, pelaksanaan, evaluasi serta menikmati hasil pembangunan itu sendiri. Korten (1998) mengatakan bahwa partisipasi adalah suatu tindakan yang mendasar untuk bekerjasama. Kerjasama tersebut memerlukan waktu dan usaha agar menjadi mantap dan hanya bisa berhasil baik dan terus menerus maju bila ada kepercaaan bersama. Kepercayaan tidak datang dengan gampang karena erat kaitannya dengan latar belakang individu masing-masing. Sastropoetro (1988) menyebutkan beberapa unsur partisipasi sebagai: 1. Kepercayaan diri masyarakat 2. Adanya solidaritas dan integritas sosial dari masyarakat 3. Tanggung jawab sosial dan komitmen masyarakat 4. Kemauan dan kemampuan untuk mengubah atau memperbaiki keadaan dan membangun atas dasar kekuatan sendiri 5. Peranan dari pemimpin formal maupun non formal dalam menggerakkan masayarakat 6. Prakarsa masyarakat atau perorangan dijadikan milik bersama 7. Adanya kepekaan dan tanggapan masyarakat terhadap masalah, kebutuhan dan kepentingan bersama, adanya musyawarah untuk mufakat dan menolong diri sendiri (self help).
30
Dari uraian tentang partisipasi yang dikemukakan oleh beberapa pakar seperti tersebut di atas dapat dikemukakan hal-hal penting yang merupakan eksistensi suatu partisipasi yaitu: (1) Adanya keterlibatan mental dan emosional dari seseorang yang berpartisipasi. (2) Adanya kesediaan dari seseorang untuk memberi konstribusi. (3) Suatu partisipasi menyangkut kegiatan-kegiatan dalam suatu kehidupan kelompok atau suatu komunitas dalam masyarakat. (4) Partisipasi diikuti oleh adanya rasa tanggung jawab terhadap aktivitas yang dilakukan seseorang Pentingnya Partisipasi Masyarakat dan Jenis Partisipasi Masyarakat Menurut White (Sastropoetro, 1988) terdapat 10 alasan yang menjadikan partisipasi masyarakat menjadi penting yaitu: (1) hasil kerja yang dicapai lebih banyak, (2) pelayanan dapat diberikan lebih murah, (3) katalisator untuk pembangunan selanjutnya, (4) menimbulkan rasa tanggung jawab, (5) menjamin terlibatnya masyarakat sesuai kebutuhan, (6) menghimpun dan memanfaatkan berbagai pengetahuan masyarakat, (8) membebaskan orang dari ketergantungan kepada keahlian orang lain, (9) memiliki nilai dasar yang sangat berarti untuk peserta karena menyangkut harga dirinya (10) menyadarkan masyarakat akan penyebab kemiskinan sehingga menimbulkan kesadaran untuk mengatasinya. Slamet (2003) menggolongkan partisipasi ke dalam 5 jenis yaitu: 1. Ikut memberi input proses pembangunan, menerima imbalan atas input tersebut dan ikut menikmati hasilnya. 2. Ikut memberi input dan menikmati hasilnya 3. Ikut memberi input dan menerima imbalan tanpa ikut menikmati hasil pembangunan secara langsung 4. Menikmati/memanfaatkan hasil pembangunan tanpa ikut memberi input 5. Memberi input tanpa menerima imbalan dan tidak menikmati hasilnya. Partisipasi meliputi proses perencanaan, pengambilan keputusan, pelaksanaan, evaluasi serta menikmati hasil pembangunan itu sendiri. Sehingga ada empat tahap partisipasi yang meliputi : 1. tahap penumbuhan ide untuk membangun dan perencanaan, 2. tahap pengambilan keputusan,
31
3. tahap pelaksanaan dan evaluasi 4. tahap pembagian keuntungan ekonomis atau benefit ceries : Tahap pertama: Jika program atau ide dan prakarsa untuk membangun tumbuh dari kesadaran masyaraat sendiri atau karena didorong oleh tuntutan situasi dan kondisi yang menghimpitnya saat itu dan bukan diturunkan dari atas, maka peran serta aktif masyarakat akan lebih baik. Dan jika dalam proses perencanaannya masyarakat ikut dilibatkan maka dipastikan seluruh anggota masyarakat merasa dihargai sebagai manusia yang memiliki potensi atau kemampuan sehingga mereka lebih mudah berperan serta aktif dalam melaksanakan dan melestarikan program pembangunan. Tahap Kedua: Setiap orang merasa dihargai jika diajak berkompromi, memberikan pemikiran dalam membuat keputusan. Keikutsertaan anggota dalam pengambilan keputusan secara psikososial telah memaksa mereka untuk turut bertanggung jawab dalam melaksanakan pembangunan. Tahap Ketiga: Masyarakat harus dilibatkan dalam pelaksanaan pembangunan. Tujuannya adalah (1) agar masyarakat dapat mengetahui dengan baik cara-cara melaksanakan
program
sehingga
nanti
dapat
mandiri
melanjutkan
dan
meningkatkannya; (2) menghilangkan kebergantungan masyarakat terhadap pihak luar. Masyarakat juga diikutkan dalam pengevaluasian agar mampu menilai dirinya sendiri, dengan mengungkapkan apa yang dilihat dan diketahui, apa saja kelebihan dan kekurangan, manfaat, hambatan, faktor pelancar dalam operasionalisasi program. Tahap keempat. Ditekankan pada pemanfaatan program pembangunan yang diberikan secara merata kepada seluruh anggota masyarakat. Bukan hanya untuk sebagian besar atau segelintir orang tertentu saja. Penerapan keempat tahap ini tidak mudah karena keterbatasan pengetahuan dan keterampilan masyarakat dalam perencanaan, pengambilan keputusan, evaluasi dan menghitung manfaat secara ekonomis. Jenis-jenis partisipasi yang dikemukakan terdahulu dapat dikelompokkan dalam tahap perencanaan, pelaksanaan dan pengelolaan. Pada tahap perencanaan, partisipasi diwujudkan dalam bentuk mengikuti rapat, mengajukan usul, menyepakati dan mengambil keputusan serta menyebarluaskan hasil rapat/keputusan kepada warga masyarakat lain. Pada tahap pelaksanaan, partisipasi diwujudkan dalam bentuk pelibatan sebagai tenaga kerja baik sebagai mandor maupun buruh bangunan,
32
mengawasi pekerjaan termasuk memberikan kritik untuk meluruskan pekerjaan, serta memberikan bantuan lain (uang, makanan/minuman, peralatan dan lahan). Sedangkan pada tahap pengelolaan, partisipasi diwujudkan dalam mengikuti kegiatan serta memberi iuran pemeliharaan prasarana dan sarana lingkungan. Ciri-ciri Partisipasi dan Syarat terwujudnya partisipasi masyarakat Partisipasi masyarakat selalu memiliki ciri-ciri sebagai berikut: •
Bersifat proaktif dan bukan reaktif, artinya masyarakat ikut menalar baru bertindak
•
Ada kesepakatan yang dilakukan oleh semua pihak yang terlibat
•
Ada tindakan yang mengisi kesepakatan tersebut
•
Ada pembagian wewenang dan tanggung jawab dalam kedudukan yang setara. Menurut Slamet (2003) syarat agar masyarakat dapat berpartisipasi dalam
pembangunan adalah: 1) adanya kesempatan untuk membangun, 2) adanya kemampuan untuk memanfaatkan kesempatan yang ada, dan 3) adanya kemauan untuk berpartisipasi. Selanjutnya dikatakan bahwa kesempatan untuk mampu berpartisipasi meningkatan kualitas hidup itu dapat bermacam-macam bentuknya, antara lain adanya sumber daya alam yang dapat dikembangkan, adanya pasaran yang terbuka (prospek untuk mengembangkan sesuatu), tersedianya modal (uang, kredit), tersedianya sarana/prasarana, terbukanya lapangan kerja pembangunan dan lain lain. Sedangkan kemampuan memanfaatkan kesempatan adalah pengertian, pengetahuan, keterampilan, sikap mental yang menunjang dan kesehatan tubuh yang memadai. Agar partisipasi masyarakat dapat meningkat, maka kesempatan, kemampuan dan kemauan untuk berpartisipasi dalam pembangunan perlu digarap sekaligus sesuai dengan potensi dan kondisi tempat yang bersangkutan. Salah satu indikator yang digunakan untuk menilai partisipasi masyarakat dalam meningkatkan kualitas sarana permukiman adalah kondisi prasarana. Makin besar partisipasi makin baik kondisi prasarana. Kondisi prasarana dapat diukur dari berfungsi atau tidak prasarana. Namun demikian rendahnya kondisi prasarana tidak sepenuhnya disebabkan oleh kurangnya partisipasi tetapi bisa jadi oleh kesalahan perencanaan dan pelaksanaan. Ada indikasi bahwa rendahnya kinerja prasarana disebabkan oleh kurangnya kesadaran masyarakat dalam memelihara prasarana (Cipta Karya, 1987).
33
Tingkatan Partisipasi Masyarakat Deshler dan Sock (1985) secara garis besar membagi partisipasi ke dalam tiga kategori yaitu: partisipasi teknis (technical participation), patisipasi semu (pseudo participation) dan partisipasi politis atau partisipasi asli (genuine participation). Partisipasi Teknis adalah keterlibatan masyarakat dalam pengidentifikasian masalah, pengumpulan data, analisis data, dan pelaksanaan kegiatan. Pengembangan partisipasi dalam hal ini adalah sebuah taktik untuk melibatkan masyarakat dalam kegiatan-kegiatan praktis dalam konteks pengembangan masyarakat. Partisipasi Asli (Partisipasi Politis) adalah keterlibatan masyarakat di dalam proses perubahan dengan melakukan refleksi kritis dan aksi yang meliputi dimensi politis, ekonomis, ilmiah, dan ideologis, secara bersamaan. Pengembangan partisipasi dalam hal ini adalah pengembangan kekuasaan dan kontrol lebih besar terhadap suatu situasi melalui peningkatan kemampuan masyarakat dalam melakukan pilihan kegiatan dan berotonomi. Partisipasi Semu adalah partisipasi politis yang digunakan orang luar atau kelompok dominan (elite masyarakat) untuk kepentingannya sendiri, sedangkan masyarakat hanya sekedar obyek. Dalam pengertian partisipasi di atas, tidak berarti bahwa partisipasi teknis tidak penting dibandingkan dengan partisipasi politis. Keduanya bisa sda sekaligus dalam sebuah program pengembangan masyarakat dimana pemberdayaan masyarakat dalam kehidupannya secara lebih luas (sosial, budaya, politik dan ekonomi). Berdasarkan tingkat kontrol partisipasi masyarakatnya, partisipasi semu dan partisipasi asli dapat dijelaskan dalam tabel berikut: Jenis Partisipasi Partisipasi semu
Tabel 2. Jenis Partisipasi Pola hubungan kontrol antara pihak luar dengan masyarakat Penindasan (domestikasi) Kontrol sepenuhnya oleh orang luar dan kelompok dominan (elit masyarakat) untuk kepentingan mereka, bisa saja prosesnya partisipatif atau menggunakan partisipasi teknis Asistensi (paternalisme) Esensi sama dengan di atas
Perlakuan terhadap masyarakat • Manipulasi • Pemberian terapi • Pemberian informasi
• Konsultasi • Menenangkan
34
Partisipasi asli (partisipasi politis)
Kerjasama Masyarakat terlibat dalam keseluruhan proses program yang bersifat bottom up, kontrol dibagi antara orang luar dengan masyarakat, manfaat program untuk masyarakat Pemberdayaan Masyarakat sebagai pengelola program sepenuhnya, muncul kesadaran kritis, demokratisasi, solidaritas dan kepemimpinan masyarakat, partisipasi komunitas berkembang
• Kemitraan • Kontrol diwakilkan (partisipasi belum menjadi budaya di tingkat komunitas) • Kontrol diberikan kepada masyarakat
Masyarakat (Komunitas) dan Pembangunan yang berpusat pada masyarakat Komunitas menurut Roesmidi (2006) adalah permukiman kecil penduduk, bersifat mandiri, berbeda antara satu permukiman dengan lainnya yang memiliki ciri: a. memiliki kesadaran kelompok (group consiousness) yang kuat. b. tidak terlalu besar sehingga dapat saling mengenal secara pribadi tetapi tidak terlalu kecil sehingga dapat berusaha bersama secara efisien. c. bersifat homogen d. hidup mandiri (self sufficient) Istilah komunitas dalam konsep Pembangunan Masyarakat (community development) menurut Mayo (1998) adalah:
Masyarakat sebagai sebuah “tempat bersama”, yakni sebuah wilayah geografi yang sama. seperti sebuah rukun tetangga, atau sebuah kampung di perkotaan
Masyarakat sebagai “kepentingan bersama”, yakni kesamaan kepentingan berdasarkan kebudayaan dan identitas. Menurut Jim Iffe (1995) komunitas merupakan suatu bentuk organisasi sosial
yang memiliki karakteristik sebagai berikut.
Jumlah manusianya terbatas sehingga interaksi masyarakat dapat dikontrol. Setiap orang saling mengenal dan memiliki akses terhadap setiap orang. Struktur masyarakatnya relatif kecil, dan orang-orang dapat mengontrol satu dengan lainnya, yang memudahkan untuk dilakukannya pemberdayaan.
Kata komunitas menunjukkan adanya rasa memiliki yang berimplikasi kesetiaan.
35
Kewajiban, Sebagaimana halnya anggota dari suatu organisasi yang memiliki hak dan kewajiban, anggota komunitas juga dituntut kewajibannya.Orang-orang diharapkan memberi kontribusi terhadap kelangsungan hidup masyarakat dengan berpartisipasi secara aktif dalam kegiatan-kegiatan yang dilakukan, termasuk memberi kontribusi terhadap pemeliharaan strruktur masyarakat. Menurut Soenarno (2002) Komunitas adalah sebuah identifikasi dan interaksi
sosial yang dibangun dengan berbagai dimensi kebutuhan fungsional. Kekuatan pengikat suatu komunitas, terutama, adalah kepentingan bersama dalam memenuhi kebutuhan kehidupan sosialnya yang didasarkan atas kesamaan latar belakang budaya, ideologi, sosial-ekonomi. Disamping itu secara fisik komunitas biasanya diikat oleh batas lokasi/wilayah geografis. Masing-masing komunitas, karenanya akan memiliki cara dan mekanisme yang berbeda dalam menanggapi dan menyikapi keterbatasan yang dihadapainya serta mengembangkan kemampuan kelompoknya. Konsep komunitas yang baik menurut Ndraha (1990), yaitu jika: 1. Setiap anggota masyarakat saling berinteraksi berdasarkan hubungan pribadi 2. Memiliki otonomi, kewenangan, dan kemampuan mengurus kepentingan sendiri. 3. Memiliki viabilitas, yaitu kemampuan untuk memecahkan masalahnya sendiri. 4. Distribusi kekuasaan yang merata, setiap orang berkesempatan yang sama dan bebas menyatakan kehendaknya. 5. Kesempatan anggota untuk berpartisipasi aktif mengurus kepentingan bersama. 6. Komunitas memberi makna kepada anggotanya sejauh manakah pentingnya komunitas bagi seorang anggota. 7. Di dalam komunitas dimungkinkan adanya heterogenitas dan perbedaan pendapat. 8. Di dalam komunitas, pelayanan masyarakat ditempatkan sedekat dan secepat mungkin pada yang berkepentingan. 9. Di dalam komunitas bisa terjadi konflik, namun komunitas memiliki kemampuan managing conflict. Pembangunan Partisipatif Salah satu bentuk pembangunan yang berpusat pada rakyat adalah pembangunan partisipatoris yang merupakan model pembangunan yang melibatkan komunitas pemanfaat sebagai pelaku utama untuk secara akitf mengambil langkahlangkah penting yang dibutuhkan untuk memperbaiki hidup mereka. Pembangunan
36
partisipatoris merupakan koreksi dan sekaligus model pembangunan yang memadukan pendekatan top down dimana keputusan-keputusan dirumuskan dari atas dan pendekatan bottom up yang menekankan keputusan di tangan masyarakat yang keduanya memiliki kelemahan masing-masing. Dengan kata lain pembangunan partisipatoris tidak meniadakan peran pelaku luar, ahli, pemerintah, dan lain-lain tetapi mendudukkan mereka sebagai fasilitator dan katalis dalam suatu proses yang sepenuhnya dikendalikan oleh komunitas/masyarakat pemanfaat. Pembangunan partisipatoris memadukan dua pendekatan bottom up dan top down dengan membuang kelemahan masing-masing pendekatan dan menggabungkan kelebihnannya
sehingga
diperoleh
pendekatan
yang
dinamakan
pendekatan
parsipatoris yang mempertemukan gagasan makro yang bersifat top down dengan gagasan mikro yang bersifat bottom up. Pendekatan parsipatoris ini memungkinkan dilakukannya perencanaan program yang dikembangkan dari bawah dan masukkan dari atas. Pola pembangunan dengan pendekatan partisipatoris disebut pembangunan yang akan menghasilkan pembangunan mikro yang tidak terlepas dari konteks makro. (Parwoto, 2000). Yang perlu diperhatikan dalam pola pembangunan partisipatoris ini peran pelaku eksternal bukan untuk mengambil alih pengambilan keputusan melainkan untuk menunjukkan konsekuensi dari tiap keputusan yang diambil masyarakat, dengan kata lain menjadi fasilitator dalam proses pengambilan keputusan sehingga keputusan yang diambil akan rasional. Dalam pembangunan partisipatoris, tiap tahapan pembangunan, mulai dari pengenalan persoalan dan perumusan kebutuhan, perencanaan dan pemrograman, pelaksanaan, pengoperasian dan pemeliharaan merupakan kesepakatan-kesepakatan bersama antara pelaku pembangunan yang terlibat (masyarakat, pemerintah dan swasta) dimana seluruh proses pembangunan sekaligus merupakan proses belajar bagi tiap pihak yang terlibat. Pemerintah dalam hal ini bertindak sebagai katalis pembangunan dan masyarakat sebagai klien yang diberdayakan dan difasilitasi agar mampu berperan sebagai pelaku utama untuk memecahkan persoalan mereka melalui hasil kerja mereka sendiri. Berikut adalah tabel yang memuat ciri-ciri pendekatan partisipatif.
37
Tabel 3. Ciri-ciri Pendekatan Partisipatif
Ciri-ciri
Kelebihan
• Pelaku eksternal bersama masyarakat merumuskan persoalan yang dihadapi • Masyarakat aktif mengambil sikap dan tindakan untuk mengatasi persoalan serta menentukan cara menanganinya • Pelaku eksternal bersama masyarakat menetapkan sumber daya yang dapat dialokasikan untuk memecahkan persoalan • Pelaku eskternal bersama masyarakat memutuskan rencana dan program pelaksanaan untuk mencapai tujuan pemecahan persoalan • Pelaku eksternal lebih menekankan pada upaya untuk mendorong masyarakat mengembangkan diri sendiri untuk mampu mengambil keputusan yang rasional dan merencanakan perbaikan masa depan mereka melalui tata organisasi yang berakar dalam masyarakat Pemberdayaan
Kekurangan
• Pembangunan lebih efektif dan • Diperlukan efisien dalam penggunaan sumber perubahan daya secara terpadu baik dari sikap dari masyarakat maupun pemerintah pihak atau pihak lain yang terlibat pemerintah dan sehingga dengan alokasi yang para relatif sama dapat menjangkau profesional lebih luas dari provider menjadi • Pembangunan lebih menyentuh enabler yang masyarakat tetapi sesuai dengan seringkali rencana makro oleh sebab adanya membutuhkan masukan dari pelaku eksternal waktu yang • Masyarakat sadar akan persoalan lama yang mereka hadapi dan potensi • Tata yang di miliki administrasi • Masyarakat saling belajar dalam proyek proses pembangunan dengan pemerintah rekan-rekan seperjuangan/senasib sering tidak dan dengan para profesional mendukung • Tumbuhnya solidaritas antara • Diperlukan anggota masyarakat dan antara unsur anggota masyarakatdengan pihak pendaping lain yang • Tumbuhnya masyarakat mandiri, profesional yang mampu mengambil untuk mengisi keputusan untuk menentukan kelembahan masa depan mereka kaum awam • Tumbuhnya organisasi yang sebagai berakar pada masyarakat sebagai penyandang wadah yang menjamin proyek keberlanjutan pertumbuhan yang organik
masyarakat
dan
partisipasi
merupakan
strategi
dalam
pembangunan yang bertumpu pada rakyat (people centered development). Strategi ini menyadari pentingnya kapasitas masyarakat untuk meningkatkan kemandirian dan kekuatan internal atas sumber daya material dan non material yang penting melalui redistribusi modal atau kepemilikan.
38
Menurut Korten (1992) terdapat tiga dasar perubahan struktural dan normatif dalam pembangunan yang berpusat pada rakyat yaitu: 1. Memusatkan pemikiran dan tindakan kebijakan pemerintah pada penciptaan keadaan-keadaan yang mendorong dan mendukung usaha rakyat untuk memenuhi kebutuhan mereka sendiri pada tingkat individual, keluarga dan komunitas. 2. Mengembangkan struktur dan proses organisasi yang berfungsi menurut kaidahkaidah sistem swaorganisasi 3. Mengembangkan sistem produksi-konsumsi yang diorganisasi secara teritorial yang berlandaskan pada kaidah-kaidah kepemlikan dan pengendalian lokal. Kajian strategis pemberdayaan masyarakat, baik ekonomi, sosial, budaya maupun politik menjadi penting sebagai input untuk reformasi pembangunan yang berpusat pada rakyat yang memberikan peluang bagi masyarakat untuk membangun secara partisipatif. Dalam pembangunan partisipatif, pemberdayaan merupakan salah satu strategi yang dianggap tepat (Adimihardja dan Hikmat, 2003). Selanjutnya terkait dengan isu pembangunan masyarakat menurut Roesmidi (2006) terdapat dua bentuk intervensi sosial yang dikembangkan untuk meningkatkan taraf hidup masyarakat yakni intervensi di tingkat mikro yaitu di tingkat individu, keluarga dan kelompok dan intervensi makro di tingkat komunitas dan organisasi. Intervensi mikro lebih memusatkan pada metode bimbingan sosial perseorangan (social casework) dan bimbingan sosial kelompok (social group work). Intervensi makro mempunyai model yang lebih beragam seperti dikemukakan oleh Rothman, Tropman dan Erlich (Roesmidi, 2006). Ketiganya melihat intervensi makro yang disebut “community intervention” mencakup model intervensi “pengembangan masyarakat lokal” (locality development); “perencanaan sosial” (social policy) serta administrasi dan manajemen (administration and management). Berikut adalah tabel model praktek intervensi komunitas menurut Rothman Tropman.
39
Tabel 4. Model Praktek Intervensi Komunitas menurut Rothman Tropman
Kategori tujuan tindakan terhadap masyarakat
Asumsi mengenai struktur komunitas dan kondisi permasalahan
Strategi perubahan dasar
Karakteristik, taktik dan teknik perubahan Peran praktisi yang menonjol
Media perubahan
Orientasi terhadap struktur kekuasaan
Batasan definisi sistem klien dalam komunitas Asumsi mengenai kepentingan kelompok2 di dalam suatu komunitas Konsepsi mengenai populasi klien (konstituensi) Konsepsi mengenai peran klien
Model A (Pengembangan Masyarakat lokal) Kemandirian; pengembangan kapasitas dan mengintegrasikan masyarakat (tujuan yang dititikberatkan pada proses = process goal) Adanya anomie dan kemurungan dalam masyarakat; kesenjangan relasi dan kapasitas dalam memecahkan masalah secara demokratis; komunitas berbentuk tradisional statis Pelibatan berbagai kelompok warga dalam menentukan dan memecahkan masalah mereka sendiri Konsensus; komunikasi antar kelompok dan kelompok kepentingan dalam masyarakat (komunitas); diskkusi kelompok Sebagai enabler katalis, koordinator orang yang mengajarkan keterampilan memecahkan masalah dan nilai-nilai etis Manipulasi kelompok kecil yang berorientasi pada terselesaikannya suatu tugas (small task oriented groups) Anggota dari struktur kekuasaan bertindak sebagai kolaborator dalam suatu ventura yang bersifat umum
Keseluruhan komunitas geografis Kepentingan umum atau pemufakatan dari berbagai perbedaan
Model B (Perencanaan Sosial) Pemecahan masalah dengan memperhatikan masalah yang penting yang ada pada masyarakat (tujuan yang dititikberatkan pada tugas = task goal) Masalah sosial yang sesungguhnya; kesehatan fisik dan mental,perumahan dan rekreasional
Model C (Aksi Sosial) Pergeseran (pengalihan sumber daya dan relasi kekuasaan; perubahan institusi dasar (task ataupun process goal)
Pengumpulan data yang terkait dengan masalah dan memilih serta menentukan bentuk tindakan yang paling rasional Konsensus atau konflik
Kristalisasi dari isu dan pengorganisasian massa untuk menghadapi sasaran yang menjadi musuh mereka Konflik atau kontes; konfrontasi; aksi yang bersifat langsung, negosiasi
Pengumpulan dan penganalisis data, pengimplementasi program dan fasilitator
Aktivitas advokat, agitator, pialang, negosiator, partisan
Manipulasi organisasi formal dan data yang tersedia
Manipulasi organisasi massa dan proses-proses politik
Struktur kekuasaan sebagai pemilik dan sponsor (pendukung)
Struktur kekuasaan sebagai sasaran eksternal dari tindakan yang dilakukan mereka yang memberikan tekanan harus dilawan dengan memberikan tekanan balik Segmen dalam komunitas
Keseluruhan komunitas atau dapat pula suatu segmen dalam komunitas Pemufakatan kepengingan atau konflik
Populasi yang dirugikan; kesenjangan sosial, perampasan hal dan ketidakadilan
Konflik kepentingan yang sulit dicapai kata mufakat; kelangkaan sumber daya
Warga masyarakat
Konsumsi (pengguna jasa)
Korban
Partisipasi pada proses interaksional pemecahan masalah
Konsumen atau resipien (penerima pelayanan)
Employer, konstituen, anggota
Sumber: Roesmidi dan Risyanti, 2006
40
Sedangkan pandangan Glen seperti dikuti Roesmidi dan Risyanti (2006) untuk bentuk praktek di masyarakat didasarkan pada tujuan, partisipasi, metode dan peranan seperti berikut: Tabel 5. Bentuk Praktek di Masyarakat (community practice) menurut Glen Pengembangan Masyarakat (Community Development) Mengembangkan kemandirian masyarakat
Tujuan
Partisipasi
Metode
Peranan
Masyarakat yang mendefinisikan dan mencoba memenuhi kebutuhan mereka sendiri Masyarakat yang mendefinisikan dan mencoba memenuhi kebutuhan mereka sendiri Tenaga profesional bekerja menitikberatkan pada metode non direktif
Aksi Komunitas (Community Action)
Pendekatan Layanan Masyarakat (Community Services Approach)
Kampanye untuk kepentingan masyarakat serta kebijakan untuk masyarakat Kelompok-kelompok yang tertekan mengorganisir diri untuk meningkatkan kekuatan Kelompok-kelompok yang tertekan mengorganisir diri untuk meningkatkan kekuatan Aktifitas dan organisatoris (organizer) yang memobilisasi massa untuk aksi politis
Mengembangkan organisasi yang berorientasi dan memberikan pelayanan pada masyarakat Organisasi dan pengguna layanan sebabai rekanan partners Organisasi dan pengguna layanan sebabai rekanan partners Manajer lembaga yang memberikan layanan merestrukturisasi transaksi yang ada bersama (atau dengan mempertimbangkan kepentingan pengguna layanan
Sumber: Roesmidi dan Risyanti, 2006
Prinsip pembangunan yang berpusat pada rakyat menegaskan bahwa masyarakat harus menjadi pelaku utama dalam pembangunan. Hal ini berimplikasi pada perlunya restrukturisasi sistem pembangunan sosial pada tingkat mikro, meso dan makro agar masyarakat lokal (di tingkat mikro) dapat mengembangkan potensi tanpa mengalami hambatan yang bersumber dari faktor-faktor eksternal pada struktur meso (kelembagaan dan makro (kebijakan). Faktor eksternal pembangunan yang berpusat pada rakyat merupakan keserasian hubungan antara sistem sosial pada tingkat mikro, meso dan makro. Faktor internal pembangunan yang berpusat pada rakyat adalah peluang untuk terciptanya suatu dorongan pembangunan dari, oleh dan untuk masyarakat dalam konteks ekologis setempat dan sesuai dengan sistem sosial budaya setempat. Oleh karenanya untuk mencapai hal tersebut menurut Hikmat (2003) restrukturisasi di tingkat meso dapat berupa perubahan tugas dan fungsi pemerintah kota sedangkan restrukturisasi makro dapat berupa perubahan tugas dan fungsi pemerintah pusat atau nasional.
41
Penyuluhan sebagai Sarana Perubahan Perilaku Masyarakat Pemberdayaan masyarakat bertujuan untuk meningkatkan potensi masyarakat agar mampu meningkatkan kualitas hidup yang lebih baik bagi seluruh warga masyarakat melalui kegiatan-kegiatan swadaya. Untuk mencapai tujuan ini faktor peningkatan kualitas sumber daya manusia melalui pendidikan formal dan non formal perlu mendapat prioritas. Memberdayakan masyarakat bertujuan mendidik masyarakat agar mampu mendidik diri mereka sendiri atau membantu masyarakat agar mampu membantu diri mereka sendiri. Dengan kata lain memberdayakan masyarakat adalah mendidik masyarakat. Proses pendidikan memiliki tujuan utama merubah perilaku sehingga pemberdayaan masyarakat a memiliki tujuan akhir pada perubahan perilaku peserta didik. Margono Slamet (2003) menyatakan bahwa penyuluhan merupakan ilmu yang mempelajari bagaimana pola perilaku manusia pembangunan terbentuk, bagaimana perilaku manusia dapat berubah atau diubah sehingga mau meninggalkan kebiasaan lama dan menggantinya dengan perilaku yang baru yang berakibat kualitas kehidupan orang yang bersangkutan menjadi lebih baik. Sekaitan dengan subjek penelitian ini yaitu masyarakat penghuni kampung kota, maka penyuluhan adalah alternatif yang sesuai untuk meningkatkan partisipasi warga dalam menyikapi dengan benar lingkungan kampungnya untuk mencapai kondisi yang lebih berkualitas, baik itu kualitas hidup warga masyarakat maupun kualitas lingkungan lingkungan hidup permukiman kampung kota. Berikut adalah kajian mengenai perilaku manusia dan upaya untuk merubah perilaku ke arah yang lebih baik dengan menggunakan penyuluhan sebagai sarananya. Perilaku Manusia dalam Lingkungan Hidup Secara ekologis, lingkungan hidup dipandang sebagai satu sistem yang terdiri dari subsistem-subsistem. Manusia dalam ekologi merupakan salah satu subsistem dalam ekosistem lingkungan. Dengan demikian manusia adalah satu kesatuan terpadu dengan lingkungannya yang menjalin hubungan fungsional sedemikian rupa. Dalam hubungan fungsional manusia dan lingkungan terdapat saling ketergantungan dan saling pengaruh yang pada akhirnya akan berpengaruh pada ekosistem secara keseluruhan. Untuk mencapai keselarasan, keserasian, dan keseimbangan antar subsistem dalam ekosistem diperlukan sistem pengelolaan secara terpadu.
42
Dalam lingkungan hidup manusia bukan saja merupakan bagian dari lingkungan tetapi menjadi pusat lingkungan, karena itu seorang manusia selain dipengaruhi dan mempengaruhi lingkungannya tetapi juga dengan kemampuannya akan mewarnai lingkungannya sehingga lingkungan bukan hanya menjadi wadah manusia beraktivitas, namun juga menjadi bagian integral dari pola perilaku manusia. Menurut Skinner (Notoatmodjo, 2003), perilaku merupakan hasil hubungan antara perangsang (stimulus) dan respon. Skinner membedakan adanya dua respon: 1. Respondent response atau reflexive, yakni respon yang ditimbulkan oleh rangsangan-rangsangan tertentu disebut sebagai elicting stimuli, karena respon yang ditimbulkannya relatif tetap. 2. Operant response atau instrumental response, yakni respon yang timbul dan berkembangnya diikuti oleh perangsang tertentu. Selanjutnya Notoatmodjo (2003) membedakan perilaku manusia atas: (1) bentuk pasif, yang terjadi dalam diri manusia dan tidak secara langsung dapat dilihat oleh orang lain seperti berpikir, pengetahuan, sikap; dan (2) bentuk aktif, apabila perilaku itu jelas dapat diobservasi secara langsung. Bentuk pertama disebut covert behaviour, sedangkan yang kedua disebut overt behaviour. Menurut Lawrence Green seperti dikutip Notoatmodjo (2003) perilaku dipengaruhi oleh tiga faktor pokok: 1. Faktor predisposisi (predisposing factors), yakni faktor pencetus timbulnya perilaku seperti pikiran dan motivasi untuk berperilaku yang meliputi pengetahuan, sikap, kepercayaan, keyakinan, nilai dan persepsi yang berhubungan dengan motivasi individu untuk berperilaku. 2. Faktor-faktor yang mendukung (enabling factors) yakni faktor yang mendukung timbulnya perilaku sehingga motivasi atau pikiran menjadi kenyataan, termasuk di dalamnya adalah lingkungan fisik dan sumber-sumber yang ada di masyarakat. 3. Faktor-faktor yang memperkuat atau mendorong (reinforcing factors), yakni faktor yang merupakan sumber pembentukan perilaku yang berasal dari orang lain yang merupakan kelompok referensi dari perilaku, seperti keluarga, tetangga, pempimpin yang dituakan dan sebagainya.
43
Arti perilaku mencakup yang kasat mata seperti makan, menangis, memasak, melihat, bekerja dan perilaku yang tidak kasat mata seperti fantasi, motivasi, dan proses yang terjadi pada waktu seseorang diam atau secara fisik tidak bergerak. Kurt Lewin (Laurens, 2004) membuat rumusan bahwa perilaku (B = Behavior) merupakan fungsi dari keadaan pribadi seseorang (P = Person) dan lingkungan tempat orang itu berada (E = environment) atau B = f (P, E). Bagan dari hubungan antara perilaku seseorang dengan lingkungan dapat dilihat pada gambar berikut:
E
B
Pengaruh E dan P masing-masing terhadap B
P E B P
Pengaruh E dan P terhadap B
Sumber: Laurens, 2004
Persepsi
Gambar 3
Pengaruh lingkungan terhadap perilaku manusia
Litterer (dalam Asngari, 1984), menyatakan bahwa persepsi ialah proses memilih, menyusun atau mengorganisasikan, dan menafsirkan stimuli inderawi ke dalam berbagai pengertian, yang memungkinkan seseorang menyadari lingkungannya. Ketiga proses tersebut merupakan rangkaian peristiwa yang terjadi dengan cepat dan bersamaan. Pemilihan atau penyaringan, merupakan proses pemusatan perhatian terhadap beberapa dimensi yang relevan dari sejumlah rangsangan yang ada. Organisasi, ialah menyusun rangsangan ke dalam bentuk yang sederhana dan terpadu, sehingga mudah dimengerti. Penafsiran, ialah proses penilaian dan pengambilan kesimpulan. Pada fase ini, maka pengalaman masa lalu memegang peranan yang penting. Proses terakhir ini lebih dikenal sebagai evaluasi dan identifikasi. Rangkaian proses persepsi tersebut akan membentuk sikap dan prilaku. Menurut Myers (1988) tiap orang berbeda kebutuhan, motif, minat, dan lainlain. Karena itu persepsinya terhadap sesuatu cenderung menurut kebutuhan, minat dan latar belakang masing-masing. Persepsi dua orang mengenai suatu obyek yang sama, bisa berbeda. Yang seorang mungkin memiliki persepsi yang baik, sedang yang seorang lagi mungkin sebaliknya.
44
Hal ini sejalan dengan pernyataan Lang & Heider (1987), yang menyatakan bahwa persepsi seseorang terhadap suatu obyek bisa tepat, dan bisa pula keliru, atau mendua. Faktor terpenting untuk mengatasi kekeliruan persepsi ialah kemampuan untuk mendapat pengertian yang tepat mengenai obyek persepsi. Dari uraian tersebut di atas, dapat disimpulkan bahwa persepsi ialah tanggapan atau gambaran yang ada dalam pikiran seseorang mengenai suatu obyek atau informasi yang diterimanya. Persepsi merupakan proses penggunaan pikiran secara aktif. Persepsi masing-masing orang terhadap suatu obyek yang sama tidak selalu sama. Ada yang dapat memiliki persepsi yang tepat, dan ada yang keliru. Kekeliruan persepsi dapat diperbaiki dengan memberikan pengertian yang benar terhadap obyek persepsi. Persepsi tentang kualitas lingkungan Persepsi lingkungan adalah interpretasi tentang suatu setting/ruang oleh individu, didasarkan latar belakang budaya, nalar, dan pengalaman individu tersebut. Setiap individu akan mempunyai persepsi lingkungan yang berbeda karena latar belakang budaya, nalar dan pengalaman yang berbeda, meski dimungkinkan beberapa kelompok individu memiliki kecenderungan persepsi lingkungan yang sama atau mirip karena kemiripan latar belakang budaya, nalar dan pengalamannya. Persepsi lingkungan menyangkut apa yang disebut dengan aspek emic dan etic. Emic menggambarkan bagaimana suatu lingkungan dipersepsikan oleh kelompok di
dalam
sistem
tersebut
(bagaimana
suatu
kelompok
mempersepsikan
lingkungannya). Etic adalah bagaimana pengamat mempersepsikan lingkungan yang sama. Akan dijumpai pandangan subyektif yang berbeda tentang suatu lingkungan yang sama. Seseorang akan mempersepsikan perkampungan kumuh, kesumpekan (crowding), tekanan lingkungan ruang privat dan ruang publik secara berbeda. Setiap orang atau kelompok masyarakat akan mempunyai persepsi yang berbeda tentang lingkungan yang baik dan standar minimal suatu lingkungan. Akibat persepsi lingkungan yang berbeda itulah maka Kekumuhan lingkungan permukiman cenderung bersifat paradoks. Bagi masyarakat yang tinggal di lingkungan tersebut, kekumuhan adalah kenyataan sehari-hari yang tidak mereka masalahkan, sedangkan di pihak lain yang berkeinginan untuk menanganinya, masalah kumuh adalah suatu permasalahan yang perlu segera ditanggulangi penanganannya. Dari fenomena tersebut dapat dipetik pelajaran bahwa penanganan lingkungan permukiman
45
kumuh tidak dapat diselesaikan secara sepihak, tetapi harus sinergis melibatkan potensi dan eksistensi seluruh pihak yang berkepentingan baik pemerintah maupun masyarakat; dimana dari pihak pemerintah meliputi Pusat, Propinsi maupun Kabupaten/Kota; sedangkan dari pihak masyarakat meliputi masyarakat sendiri selaku penerima manfaat, masyarakat selaku pelaku dunia usaha maupun pelaku kunci seperti pemerhati, kelompok swadaya masyarakat, cendekiawan dan sebagainya. Lingkungan yang terpersepsikan merupakan produk atau bentuk dari persepsi lingkungan seseorang atau sekelompok orang. Persepsi lingkungan berbicara tentang proses kognisi, afeksi, serta kognasi seseorang atau sekelompok orang terhadap lingkungan. Proses kognisi meliputi proses penerimaan, pemahaman dan pemikiran tentang suatu lingkungan. Proses afeksi meliputi proses perasaan dan emosi, keinginan, serta nilai-nilai tentang lingkungan. Sementara proses kognasi meliputi munculnya tindakan, perlakuan terhadap lingkungan sebagai respons dari proses kognisi dan afeksi. Keseluruhan proses ini menghasilkan apa yang disebut lingkungan yang terpersepsikan. Setiap orang dapat mempunyai gambaran bentuk lingkungan yang berbeda, tergantung proses persepsinya masing-masing. Penegasan ini menggambarkan bahwa kemungkinan akan terjadi konflik atau perbedaan pendapat ketika mendiskusikan atau mencari keputusan tentang wujud suatu lingkungan, karena setiap orang bekerja dengan “lingkungan yang terpersepsikan” yang berbeda. Proses pemahaman lingkungan meliputi proses pemahaman yang menyeluruh dan menerus tentang suatu lingkungan oleh seseorang.
Lingkungan baru yang nyata
FILTER Individu dengan latar belakang budaya, pengalaman, informasi tertentu.
Gambar 4
Lingkungan yang terekam (kognisi) sementara
Test dengan informasi dari lingkungan baru
Kognisi baru
PERILAKU (adaptasi)
Model Environmental Learning
Gambar di atas menjelaskan bahwa pembentukan kognisi mengenai suatu lingkungan merupakan suatu pengetahuan, pemahaman dan pengertian yang dinamis dan berputar. Setiap menjumpai suatu lingkungan yang baru, seseorang berusaha
46
membentuk kognisinya terhadap lingkungan tersebut terdasar latar belakang pendidikan, kultur, serta pengalamannya. Proses ini menghasilkan apa yang disebut lingkungan yang terkognisikan pada tahap awal atau kognisi sementara. Kognisi sementara ini, kemudian di test dengan informasi yang muncul sebelumnya. Hasilnya merupakan suatu kognisi baru terhadap kognisi sementara yang telah muncul sebelumnya. Kognisi baru ini yang kemudian mempengaruhi pola perilaku seseorang. Secara berputar, perilaku ini kemudian kembali berpengaruh terhadap proses kognisi orang tersebut terhadap lingkungan baru yang ia kunjungi atau tempati. Konsep ini menegaskan bahwa persepsi lingkungan seseorang sangat bersifat tidak saja subyektif akan tetapi juga dinamis. Hubungan perilaku dengan lingkungan dapat digambarkan dalam urutan-urutan sebagai berikut
Gambar 5
Posisi perilaku terhadap lingkungan
Keseluruhan proses pemahaman lingkungan pada akhirnya akan menghasilkan apa yang disebut sebagai persepsi mengenai kualitas lingkungan. Kualitas lingkungan didefinisikan secara umum sebagai suatu lingkungan yang memenuhi preferensi imajinasi ideal seseorang atau sekelompok orang. Definisi ini menegaskan bahwa kualitas lingkungan seyogyanya dipahami secara subyektif, dikaitkan dengan aspekaspek psikologis dan sosio kultural masyarakat yang menghuninya. Debat mengenai kawasan permukiman kumuh/slums, sebenarnya menunjukkan perbedaan subyektif mengenai kualitas lingkungan yang tak terselesaikan antara pemerintah kota, perencana dan penghuni kawasan kumuh Meskipun kualitas lingkungan bersifat subyektif, terdapat pula unsur-unsur dasar kualitas lingkungan yang harus dijaga, terutama yang berkaitan dengan penyediaan prasarana seperti air bersih, sanitasi dan persampahan. Sampai saat ini, telah banyak disusun berbagai standar baku mutu lingkungan, yang ditujukan untuk menjamin terciptanya kualitas lingkungan yang lebih baik. Komponen-komponen
47
yang distandarkan dalam baku mutu lingkungan ini lebih bersifat obyektif dan ditekankan pada aspek-aspek fisik dan biokimia. Diharapkan apabila standar ini dapat dipenuhi, tidak saja kualitas lingkungan akan semakin baik, tetapi kelestarian lingkungan dalam arti yang luas dan berjangka panjang juga akan dapat diwujudkan. Penyuluhan untuk merubah perilaku warga untuk menjadi masyarakat aktif Perubahan Perilaku pada dasarnya merupakan esensi dari penyuluhan untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat agar dapat menolong dirinya sendiri. Penelitian ini menitikberatkan pada pentingnya perilaku yang benar dalam merespons lingkungan sehingga lingkungan tersebut bukan saja dapat meningkat kualitasnya tapi juga dapat meningkatkan kualitas kehidupan masyarakat penghuninya. Dengan kata lain bagaimana seseorang dapat mengelola lingkungannya agar dapat memberdayakan dirinya sendiri dan masyarakat di sekitarnya sehingga kualitas lingkungan dan kualitas hidup lebih meningkat. Dengan memahami secara benar tentang kualitas lingkungan yang baik dalam arti mampu mempersepsikan mana kualitas lingkungan yang baik dan mana kualitas lingkungan yang buruk, diharapkan timbul kebutuhan dalam diri subyek penelitian (dalam hal ini masyarakat di kampung kota), sehingga termotivasi untuk berperilaku dan berpartisipasi untuk meningkatkan kualitas rumah dan permukimannya. Sehubungan dengan hal tersebut, Asngari (1984) mengatakan bahwa pada dasarnya seseorang mau berpartisipasi dalam suatu kegiatan bilamana: (1) akan memperoleh manfaat atau kepuasan, dan (2) mengetahui dengan benar makna kegiatan tersebut: program, tujuan, langkah, dan proses. Kunci bagi keduanya adalah adanya informasi yang jelas sehingga diperlukan keterbukaan atau transparansi. Kebutuhan menjadi salah satu faktor yang menentukan untuk dapat memotivasi seseorang dalam berperilaku. Kebutuhan itu sendiri terbagi menjadi (1) kebutuhan yang dirasakan (felt needs) dan kebutuhan yang nyata (real needs). Seseorang akan termotivasi untuk berperilaku tertentu jika dia merasakan sesuatu itu merupakan kebutuhan yang dirasakannya. Yang menjadi persoalan adalah tidak semua kebutuhan yang dirasakan seseorang itu merupakan kebutuhan yang nyata, demikian juga sebaliknya tidak semua kebutuhan yang nyata benar-benar telah dirasakan seseorang. Dalam kaitan itu penting bagi pihak penyuluh untuk mengubah kebutuhan yang nyata
48
menjadi kebutuhan yang dirasakan oleh individu yang dijadikan sebagai sasaran penyuluhan. Berkaitan dengan masalah kebutuhan ini, Slamet (2003) menyatakan bahwa orang tidak akan sadar terhadap kebutuhannya kalau dia belum mampu mengevaluasi
kondisi dirinya sendiri. Oleh sebab itu harus ada suatu cara yang dapat menyadarkan orang dalam mengevaluasi dirinya sendiri sehingga dapat mengetahui kemampuandan kelemahannya, dan pada akhirnya dia akan mampu mengidentifikasi kebutuhannya sendiri. Selanjutnya Slamet mangatakan bahwa ilmu penyuluhan pembangunan dapat digunakan sebagai alat rekayasa pembangunan sosial sehingga berkemampuan untuk membentuk pola perilaku tertentu dalam masyarakat, dalam jangka waktu tertentu sebagai syarat untuk dapat memperbaiki kehidupan masyarakat. Penyuluhan adalah program pendidikan luar sekolah yang bertujuan untuk memberdayakan sasaran dan meningkatkan kesejahteraan masyarakat secara mandiri. Karena penyuluhan adalah program pendidikan maka dalam pelaksanaannya harus memperhatikan unsur-unsur tujuan pendidikan seperti berikut (Slamet, 2003): (1) Orang yang menjadi sasaran penyuluhan (2) Perubahan perilaku apa yang diinginkan (3) Masalah (subject matter) yang diinginkan dengan perubahan perilaku tersebut (4) Situasi lingkungan
Masyarakat aktif yang berdaya Menurut Tampubolon (2006), mendidik masyarakat dalam rangka membangun masyarakat sebaiknya menghindari metode kerja “doing for the community” yang menjadikan masyarakat pasif, kurang kreatif dan tidak berdaya bahkan mendidik masyarakat untuk bergantung pada bantuan pemerintah atau organisasi-organisasi sukarela pemberi bantuan. Mendidik masyarakat sebaiknya mengadopsi metode kerja “doing with the community” yang akan merangsang masyarakat menjadi aktif dan dinamis serta mampu mengidentifikasi mana kebutuhan yang sifatnya real needs, felt needs dan expected need.
Metode doing with the community ini sesuai dengan
gagasan Ki Hajar Dewantoro tentang kepemimpinan pendidikan di Indonesia yaitu – ing ngarso sung tulodo, ing madyo mangun karso dan tut wuri handayani – yang berfokus akan perlunya kemandirian yang partisipatif di dalam proses pembangunan
49
Masyarakat permukiman kampung kota yang lebih sering diidentikan dengan masyarakat miskin dengan tingkat pendidikan yang rendah dan pekerjaan yang banyak bergerak di sektor informal seperti yang telah diuraikan pada kajian pustaka, tidak seharusnya dibiarkan demikian adanya. Citra yang mengidentikan ciri-ciri kehidupan mereka tidak mustahil untuk diubah atau diperbaiki. seperti yang dilakukan oleh Romo Mangun pada permukiman di tepian Kali Code Jogjakarta dan Hassan Fathy di Mesir yang berhasil mengubah pola hidup masyarakat dengan pendekatan-pendekatan yang tidak menjadikan mereka sebagai obyek. Tetapi mengangkat masyarakat dengan kesadaran bahwa mereka mampu mengangkat harga dirinya dengan memposisikan mereka sendiri sebagai subyek. Model yang yang diperkenalkan Etzioni seperti yang dikutip M. Poloma (1984) untuk menjawab berbagai masalah masyarakat moderen yaitu: •
Bagaimana seseorang mengendalikan masa depannya?
•
Bagaimana masa depan itu agar lebih banyak ditentukan tindakan rasional tetapi spontan daripada ditentukan oleh nasib?
•
Bagaiman aktor individual diarahkan?
•
Sejauh mana kekuatan self-kontrolnya? Masyarakat aktif adalah masyarakat yang menguasai dunia sosial mereka yang
sangat berbeda dengan masyarakat pasif dimana para anggotanya dikendalikan oleh kekuatan-kekuatan luar atau kekuatan aktif lainnya. Orientasi masyarakat aktif memiliki tiga komponen: kesadaran pribadi, pengetahuan para aktor, dan komitmen pada satu atau lebih tujuan yang harus dicapai serta fasilitas sosial untuk mengubah tatanan sosial Masyarakat aktif adalah masyarakat yang memiliki daya atau kemampuan untuk mengendalikan masa depannya. Slamet (2003) menjelaskan bahwa masyarakat berdaya adalah masyarakat yang tahu, mengerti, paham, termotivasi, berkesempatan, memanfaatkan peluang, berenergi, mampu bekerjasama, tahu berbagai alternatif, mampu mengambil keputusan, berani mengambil resiko, mampu mencari dan menangkap informasi dan mampu bertindak sesuai situasi. Ife (1995) mengatakan bahwa pemberdayaan adalah pemberian kekuasaan yang diartikan penguasaan klien atas: (1) pilihan-pilihan personal dan kesempatan hidup: kemampuan membuat keputusan mengenai gaya hidup, tempat tinggal,
50
pekerjaan; (2) pendefinisian kebutuhan: kemampuan menentukan kebutuhan sesuai dengan aspirasi dan keinginannya, (3) idea tau gagasan: kemampuan mengekspresikan dan menyumbangkan gagasan secara bebas tanpa tekanan, (4) lembaga-lembaga: kemampuan
menjangkau,
menggunakan
dan
mempengaruhi
paranata-pranata
masyarakat seperti lembaga kesejahteraan sosial, pendidikan, kesehatan, (5) sumbersumber:
kemampuan
memobilisasi
sumber-sumber
formal,
informal
dan
kemasyarakatan, (6) aktivitas ekonomis: kemampuan seseorang memanfaatkan dan mengelola mekanisme produksi, distribusi, dan pertukaran barang serta jasa dan (7) reproduksi: kemampuan dalam kaitannya dengan proses kelahiran, perawatan anak, pendidikan dan sosialisasi. Sumarjo (1999) mengungkapkan cirri-ciri masyarakat yang berdaya yaitu: mampu memahami diri dan potensinya, mampu mengantisipasi kondisi perubahan ke depan, mampu mengarahkan dirinya sendiri, memiliki kekuatan untuk berunding, memiliki posisi tawar yang memadai dalam melakukan kerjasama yang saling menguntungkan dan bertanggungjawab atas tindakannya sendiri. Menurut Sumitro seperti dikutip Vitayala (1995) tingkat kemampuan masyarakat merupakan prasyarat penting dalam perkembangan masyarakat masa mendatang sehingga yang perlu diperhatikan adalah kemampuan: (1) mengidentifikasi dan memanfaatkan potensi alam lingkungan, (2) melihat kendala alam yang menghambat pemenuhan kebutuhan, (3) mendapatkan inovasi yang lebih lebih efisien, (4) menetralisir belenggu sosial kemasyarakatan, (5) melaksanakan fungsi manajemen dan kepemimpinan masyarakat, (6) melaksanakan fungsi manajemen dan organisasi usaha, (7) mengawinkan teknologi yang dimiliki dengan proses produksi yang akan dilaksanakan, (8) berpartisipasi melaksanakan politik dan (9) menetralisir kondisi birokrasi.