PARTISIPASI MASYARAKAT KAMPUNG KOTA UNTUK MENINGKATKAN KUALITAS LINGKUNGAN PERMUKIMAN (KASUS: PERMUKIMAN KAMPUNG KOTA DI BANDUNG)
SRI HANDAYANI
SEKOLAH PASCA SARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2008
xvi
PERNYATAAN MENGENAI DISERTASI DAN SUMBER INFORMASI
Dengan ini saya menyatakan bahwa disertasi dengan judul:
PARTISIPASI MASYARAKAT KAMPUNG KOTA UNTUK MENINGKATKAN KUALITAS LINGKUNGAN PERMUKIMAN (Kasus: Permukiman Kampung Kota Di Bandung) adalah karya saya sendiri dengan arahan Komisi Pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apapun pada Perguruan Tinggi manapun. Bahan rujukan dan sumber informasi yang berasal atau dikutip pada karya yang diterbitkan maupun yang tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka pada bagian akhir disertasi ini.
Bogor, Februari 2008
Sri Handayani NIM P016010041
i
ABSTRACT Sri Handayani. 2008. Participation of Urban Village Community in Improving Settlement Quality Environment (Case: Urban Village Settlement in Bandung City). Under a Team of Advisors with Basita Ginting as Chairman; Prabowo Tjitropranoto; Margono Slamet as Member of the Advisory Commitee Most low-income comers and urban settlers live in urban villages, some of which are squats and slums. Remaining their growth uncontrolled will result in low community health, high vulnerability to fire hazard, irregular order of land use, and high risk to flood. Eviction does not really solve the problem. It tends to take aside humanity, not to mention evictee’s tendency to squat other locations as a result of it. It is imperative that the condition be revised in avoidance of deteriorating environment. An effective model of empowerment is required to build urban villager’s awareness in constructing quality environment as a prerequisite for quality life. The society potency should be explored so that its members participate optimally in improving the quality of their settlement. This in turn will achieve quality settlement and quality life for the settlers themselves. This research aim at (1) Identifying the physical characteristics of urban village settlement and identifying the capital social, (2) Explain and analyzing the perception on environmental quality and the motivation to increase environment facility condition, (3) Identifying level of requirement of house and settelemnt. (4) Analyzing the characteristics of community participation in improving environment quality and Analyzing the factors which may influence community participation in improving settlement quality, (5) Arranging a right empowerment strategy for the community to develop the quality of its settlement. Conducted in several urban villages in Bandung, the research selects four (4) loci as area samples. They are Arjuna sub-district, Cikawao sub-district, Kebon Pisang sub-district, and Cibangkong sub-district. The data was collected along April 2006 through August 2006, using closed-questionnaire interview and observation. The quantitative data is examined by Spearman’s rank correlation test, which is further tested with regression analysis and path analysis. The research shows: some individual characteristics and the physical characteristics of urban village settlement which influence modal social. The factors are educational level, occupation, outcome, availability and condition of facilities and basic facilities of settlement area. Some factors which directly result in the participation to improve environment quality are the perception on environment quality and the motivation to increase environment facility condition. Considering the aforementioned results, the endeavor to improve settlement quality should be emphasized on correcting society perception on environment quality which will generate society motivation to make better environment quality, by which the participation to increase environment quality grows. Keywords: urban village settlement, participation, environment quality.
ii
RINGKASAN Sri Handayani. 2008. Partisipasi Masyarakat Kampung Kota Untuk Meningkatkan Kualitas Lingkungan Permukiman (Kasus: Permukiman Kampung Kota Di Bandung). Komisi Pembimbing: Basita Ginting (Ketua), Prabowo Tjitropranoto dan Margono Slamet (Anggota) Pendatang dan penduduk kota yang berpenghasilan rendah sebagian besar tinggal di permukiman kampung kota. Penggusuran tidak sepenuhnya menyelesaikan masalah, selain tidak manusiawi, para pemukim kembali menyerobot tempat lain sehingga hilang satu tumbuh yang baru. Dikhawatirkan apabila kondisi ini tidak segera diperbaiki maka kawasan kampung kota akan semakin memburuk kualitasnya. Dalam kaitan dengan hal tersebut perlu dicari model pemberdayaan yang efektif agar masyarakat permukiman kampung kota memahami kualitas lingkungan yang baik dan dapat mendukung terbentuknya kehidupan yang lebih berkualitas, baik kualitas hidup maupun kualitas lingkungan. Tujuan penelitian adalah untuk: (1) Mengidentifikasi karakteristik fisik permukiman kampung kota dan menganalisis modal sosial masyarakatnya; (2) Mengidentifikasi persepsi masyarakat tentang kualitas lingkungan dan menganalisis motivasi masyarakat untuk meningkatkan kualitas lingkungan permukiman, (3) Mengidentifikasi tingkat kebutuhan akan rumah dan permukiman pada masyarakat permukiman kampung kota; (4) Mengidentifikasi bentuk-bentuk partisipasi masyarakat untuk meningkatkan kualitas lingkungan pemukiman kampung kota dan menganalisis faktor apa saja yang mempengaruhinya; dan (5) Menyusun strategi pemberdayaan yang sesuai dengan masyarakat kampung kota sehinga dapat meningkatkan kualitas lingkungan permukimannya. Penelitian dilakukan di empat kelurahan di Kota Bandung. Pemilihan sampel lokasi dilakukan secara purposif dengan melihat keberadaan faktor-faktor penyebab menurunnya kualitas lingkungan. Lokasi terpilih adalah Kel. Arjuna, Kel. Cikawao, Kel. Kebon Pisang dan Kel. Cibangkong. Pengambilan sampel responden dilakukan secara random. Jumlah sampel penelitian ditentukan berdasarkan Metode Slovin dengan kesalahan sampling yang dapat diterima sebesar 5% sehingga jumlah keseluruhan sampel adalah 240 KK yang diambil secara random dari masing-masing lokasi penelitian yaitu sebanyak 60 KK. Data dikumpulkan antara bulan April sampai dengan Agustus 2006 dengan menggunakan angket tertutup, wawancara mendalam, FGD dan observasi. Penelitian berbentuk explanatory research yang bertujuan untuk menjelaskan hubungan dan pengaruh antar variabel penelitian melalui pengujian hipotesis dengan uji statistik. Pendekatan kualitatif dilakukan dalam upaya menjelaskan substansi hasil uji statistik yang didapat. Hasil studi menunjukkan bahwa karakteristik fisik permukiman kampung kota ditandai dengan: (a) minimnya ketersediaan sarana prasarana permukiman dan (b) rendahnya kualitas kondisi sarana prasarana permukiman yang tersedia. Modal sosial masyarakat kampung kota dicirikan dengan: (a) rasa saling percaya antar warga berada pada kategori tinggi yang ditandai dengan saling bantu antar tetangga yang intensif; (b) relasi mutual yang tinggi ditandai dengan hubungan ketetanggaan yang erat; (c) nilai dan norma berada pada kategori cukup, namun ketaatan pada aturan masih rendah yang ditandai dengan buruknya perilaku warga dalam iii
memperlakukan sarana prasarana lingkungan; (d) peran tokoh masyarakat dan organisasi kemasyarakatan untuk meningkatkan kualitas linkgungan berada pada kategori cukup yang ditandai dengan ikut sertanya masyarakat pada kegiatankegiatan yang diprakarsai oleh tokoh atau organisasi masyarakat. Persepsi tentang kualitas lingkungan yang buruk, ditandai dengan persepsi yang tidak tepat/tidak sesuai dengan standar kualitas rumah dan lingkungan permukiman yang sehat dan layak huni. Motivasi meningkatkan kualitas lingkungan tinggi, namun terkendala oleh kemampuan yang rendah. Kebutuhan akan rumah pada masyarakat kampung kota berada pada kategori pemenuhan kebutuhan untuk: (a) fisiologis (survival needs or phisiological); (b) rasa aman (safety and security needs) dan (c) kebutuhan sosial (social needs or affiliation needs). Partisipasi masyarakat untuk meningkatkan kualitas
lingkungan dicirikan dengan: (a) sikap proaktif masyarakat masih rendah yang ditandai dengan buruknya perlakuan warga terhadap sarana prasarana lingkungan permukiman; (b) partisipasi dalam kegiatan meningkatkan kualitas lingkungan berada pada kategori cukup yang ditandai dengan ikut sertanya masyarakat pada kegiatan-kegiatan untuk meningkatkan kualitas lingkungan yang diprakarsai oleh tokoh masyarakat atau organisasi masyarakat. Faktor-faktor yang berpengaruh langsung terhadap partisipasi adalah: (a) persepsi tentang kualitas lingkungan, (b) motivasi meningkatkan kualitas lingkungan dan (c) peran tokoh masyarakat/organisasi masyarakat untuk menggerakkan masyarakat dalam kegiatan-kegiatan peningkatan kualitas lingkungan. Untuk meningkatkan aspek-aspek tersebut diperlukan inovasi sosial yang berbasis masyarakat sehingga dapat merubah diri dari kondisi tidak tahu (kurang pengetahuan), tidak mau (kurang motivasi) dan tidak mampu (tidak terampil) menuju masyarakat yang tahu, mau dan mampu untuk meningkatkan kualitas diri, rumah dan lingkungan permukiman kampungnya. Strategi proses penyadaran masyarakat menggunakan penyuluhan permukiman dengan asas tribina (tridaya): bina warga untuk memberdayakan warga guna mencapai solusi sosial, bina lingkungan untuk solusi arsitektural dan bina usaha untuk memberdayakan masyarakat guna mencnapai kebedayaan dalam hal finansial. Kata kunci: Permukiman kampung kota, partisipasi, kualitas lingkungan.
iv
@ Hak cipta milik Institut Pertanian Bogor (IPB) tahun 2007 Hak Cipta dilindungi Undang-undang 1. Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan atau menyebutkan sumber. a. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan, penelitian, penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik atau tinjauan suatu masalah. b. Pengutipan tidak mengindahkan kepentingan yang wajar IPB 2. Dilarang mengumumkan dan memperbanyak sebagian atau seluruh karya tulis dalam bentuk apapun.
v
PARTISIPASI MASYARAKAT KAMPUNG KOTA UNTUK MENINGKATKAN KUALITAS LINGKUNGAN PERMUKIMAN (KASUS: PERMUKIMAN KAMPUNG KOTA DI BANDUNG)
SRI HANDAYANI
Disertasi Sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Doktor pada Program Mayor Ilmu Penyuluhan Pembangunan
SEKOLAH PASCA SARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2008 vi
Penguji pada Ujian Tertutup
Dr. Ir. Rillus Kinseng
Penguji pada Ujian Terbuka
1. Prof. Dr. Moh. Ali, MA., MPd. 2. Prof. Dr. Sediono MP. Tjondronegoro
vii
Judul Disertasi
:
Partisipasi Masyarakat Kampung Kota Dalam Meningkatkan Kualitas Lingkungan Permukiman (Kasus: Permukiman Kampung Kota di Bandung)
Nama
:
Sri Handayani
NRP
:
P 016010041
Program Studi
:
Ilmu Penyuluhan Pembangunan (PPN) Disetujui Komisi Pembimbing
Dr. Ir. Basita Ginting Sugihen, MA Ketua Komisi
Prof. Dr. H. R. Margono Slamet Anggota Komisi
Dr. H. Prabowo Tjitropranoto, MSc Anggota Komisi
Diketahui Ketua Departemen Komunikasi dan Pengembangan Masyarakat
Dekan Sekolah Pascasarjana
Dr. Ir. Lala M. Kolopaking, MS
Prof. Dr. Ir. Khairil A. Notodiputro, MS.
Tanggal Ujian: 29 Januari 2008
Tanggal lulus: viii
RIWAYAT HIDUP Penulis dilahirkan di Bandung sebagai anak ke 5 dari pasangan Dimyati (almarhum) dan Chajati (almarhumah). Pendidikan SD – SMA ditempuh di Bandung. Tahun 1991 lulus sebagai sarjana Jurusan Pendidikan Arsitektur IKIP Bandung. Kesempatan untuk melanjutkan studi di perguruan tinggi yang sama diperoleh pada tahun 1996 pada Program Studi Administrasi Pendidikan yang diselesaikan pada bulan Februari 1999. Pada bulan September 2001 penulis diterima sebagai mahasiswa di Sekolah Pasca Sarjana IPB pada PS. Ilmu Penyuluhan Pembangunan dan memperoleh beasiswa pendidikan dari Depertemen Pendidikan Nasional (BPPS Dikti) pada tahun 2002. Penulis bekerja sebagai dosen pada tahun 1992 di Politeknik Industri dan Niaga Bandung dan kemudian mengabdi di almamaternya Universitas Pendidikan Indonesia pada Jurusan Pendidikan Teknik Arsitektur hingga saat ini. Bidang Keahlian yang ditekuni penulis adalah Arsitektur Lingkungan dan Permukiman. Selama mengikuti pendidikan S3 penulis menekuni bidang ilmu yang terkait dengan penyuluhan pembangunan yang sekaligus juga terkait dengan arsitektur lingkungan dan permukiman. Hal tersebut mengantarkannya mendapatkan hibah penelitian dari Dirjen Dikti. Beberapa diantaranya adalah: Sikap dan Perilaku Masyarakat Kampung Kota di Bandung (Penelitian Fundamental Dikti 2006); Desain Gang Kampung Kota yang Mengakomodasi Aktivitas Sosial Kultural Masyarakatnya (Penelitian Fundamental Dikti 2007); dan Transformasi Penanganan Permukiman Kumuh: Upaya Perbaikan Kualitas Hidup dan Lingkungan (Hibah Bersaing Dikti 2007). Artikel yang berjudul Partisipasi Masyarakat Permukiman Kampung Kota dalam Meningkatkan Kualitas Lingkungan akan diterbitkan pada jurnal Invotec bulan Aril 2008 merupakan karya ilmiah yang merupakan bagian dari disertasi penulis.
Bogor, Februari 2008 Penulis
ix
KATA PENGANTAR Alhamdulillahirrabil’alamin puji syukur hanya untuk Allah SWT yang telah memberi kesempatan dan kekuatan sehingga penulisan disertasi yang bertajuk: Partisipasi Masyarakat Kampung Kota untuk Meningkatkan Kualitas Lingkungan Permukiman (kasus permukiman kampung kota di Bandung) ini dapat menemukan bentuknya seperti yang sekarang. Terimakasih kepada Dr. Ir. Basita Ginting Sugihen selaku Ketua Komisi Pembimbing, yang telah banyak memberikan masukan dalam diskusi-diskusi untuk penyelesaian penelitian ini. Terimakasih yang tulus untuk Prof. Dr. H. R. Margono Slamet selaku anggota komisi pembimbing yang memberi ide-ide segar untuk sempurnanya penelitian ini. Kepada Dr. Prabowo Tjitropranoto, M.Sc.,
selaku
anggota komisi, ucapan terimakasih yang tak putus-putusnya atas semangat, dan motivasi yang tiada henti kepada penulis untuk tetap menyelesaikan penelitian serta masukan-masukan yang telah diberikan sehingga disertasi ini dan terwujud dengan lebih baik. Insya Allah. Kepada responden penelitian dan pejabat kelurahan beserta jajarannya serta ketua RT dan RW di lokasi penelitian, terimakasih setulusnya untuk partisipasinya membantu kelancaran proses penelitian ini. Penulis juga menyampaikan terimakasih kepada pihak-pihak yang telah membantu yang tidak dapat disebut satu per satu hingga penelitian ini dapat diselesaikan. Kepada keluarga yang telah memberikan dukungan moril, materil dan motivasi yang tidak putus-putusnya, terimakasih yang tak terhingga atas pengertian yang telah diberikan selama ini Dalam disertasi ini tentunya masih ditemui berbagai kelemahan, untuk itu penulis mengharapkan masukan dan kritik demi tercapainya kualitas penelitian yang lebih baik di masa mendatang. Penulis berharap semoga penelitian ini bermanfaat untuk pengembangan ilmu penyuluhan pembangunan, ilmu arsitektur lingkungan & perilaku, untuk masyarakat pemerhati masalah sosial dan masyarakat pada umumnya yang tertarik dengan permukiman kampung kota dan aspek yang terkait di dalamnya.
Bogor, Februari 2008 Penulis x
DAFTAR ISI Halaman ABSTRACT …………………………………………………………………….
ii
RINGKASAN …………………………………………………………………...
iii
RIWAYAT HIDUP ……………………………………………………………..
ix
KATA PENGANTAR ..........................................................................................
x
DAFTAR ISI .........................................................................................................
xi
DAFTAR TABEL .................................................................................................
xiii
DAFTAR GAMBAR ............................................................................................
xiv
DAFTAR LAMPIRAN …………………………………………………………
xv
PENDAHULUAN Latar Belakang ………….................................................................................
1
Masalah Penelitian ...........................................................................................
2
Tujuan Penelitian .............................................................................................
5
Kegunaan Penelitian ........................................................................................
5
Novelty Penelitian ...........................................................................................
6
TINJAUAN PUSTAKA
7
Permukiman Kampung Kota ..........................................................................
7
Rumah dan Permukiman .................................................................................
11
Standar Rumah dan Permukiman Sehat/Layak huni…………………………
14
Kebutuhan Akan Rumah …………………………………………………….
19
Modal Sosial …………………………………………………………………
23
Partisipasi Masyarakat dalam Peningkatan kualitas permukiman …...............
29
Masyarakat dan Pembangunan yang Berpusat pada Masyarakat ……………
34
Penyuluhan sebagai Sarana Perubahan Perilaku Masyarakat..........................
41
KERANGKA BERPIKIR DAN HIPOTESIS
51
Kerangka Berpikir Penelitian ..........................................................................
52
Hipotesis Penelitian dan Model Hubungan antar Variabel ……………........
61
METODE PENELITIAN
63
Rancangan Penelitian ......................................................................................
63
Lokasi, Populasi dan Sampel ……………………………………………......
64
Data dan Instrumen Pengumpulan Data .........................................................
64
xi
Teknik dan Instrumen Pengumpul Data ….…………………………......
65
Validitas Instrumen ………………………………………………………
66
Reliabilitas Instrumen ……………………………………………………
67
Variabel Penelitian ..........................................................................................
69
Definisi Operasional Variabel Penelitian ........................................................
69
Teknik Analisis Data .......................................................................................
74
HASIL DAN PEMBAHASAN
77
Tinjauan Lokasi Penelitian …………………………………………………..
77
Deskripsi Data Hasil Penelitian .....................................................................
81
Karakteristik Fisik Lingkungan Permukiman ...........................................
81
Karakteristik Individu................................................................................
90
Modal Sosial Masyarakat ..........................................................................
98
Persepsi dan motivasi meningkatkan kualitas lingkungan ........................
107
Tingkat kebutuhan akan rumah dan lingkungan permukiman …………..
111
Partisipasi masyarakat untuk meningkatkan kualitas lingkungan .............
119
Hasil Pengujian hipotesis …………………………………………………….
125
Faktor-faktor yang mempengaruhi modal sosial masyarakat ………........
125
Faktor-faktor yang mempengaruhi persepsi dan motivasi meningkatkan kualitas lingkungan ………………………………………………………
129
Faktor-faktor yang mempengaruhi kebutuhan rumah …………………...
133
Faktor-faktor yang mempengaruhi partisipasi meningkatkan kualitas lingkungan .................................................................................................
137
Strategi Gerakan Masyarakat untuk meningkatkan kualitas lingkungan ……
139
Pola Penyelenggaraan Penyuluhan Permukiman dengan asas tribina ………
144
KESIMPULAN DAN SARAN
156
Keimpulan .......................................................................................................
156
Saran ................................................................................................................
159
DAFTAR PUSTAKA ...........................................................................................
161
GLOSSARY .........................................................................................................
164
LAMPIRAN …………………………………………………………………….
167
xii
DAFTAR TABEL Halaman 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 16 17 18 19 20 21 22 23 24 25 26 27 28 29 30 31 32 33 34
35
Konsep Modal Sosial menurut beberapa ahli Jenis Partisipasi Ciri-ciri Pendekatan Partisipatif Model Praktek Intervensi Komunitas menurut Rothman Tropman Bentuk praktek di masyarakat menurut Glen Standar Rumah dan Permukiman Sehat Tingkatan Modal Sosial Hirarki Kebutuhan akan Rumah Tingkatan Partisipasi Masyarakat Ciri-ciri Masyarakat Aktif Metode Penelitian dan Lingkup kajian Hasil Uji Reliabilitas Variabel dan Indikator Karakteristik Individu Variabel dan Indikator Karakteristik Lingkungan Fisik Permukiman Variabel dan Indikator Modal Sosial Masyarakat Variabel dan Indikator Persepsi dan Motivasi meningkatkan kualitas lingk. Variabel dan Indikator Kebutuhan akan rumah Variabel dan Indikator Partisipasi meningkatkan kualitas lingkungan Teknik analisis data Faktor penyebab terjadikanya kekumuhan pada lokasi penelitian Karakteristik Fisik Lingkungan Permukiman Karakteristik individu Modal sosial masyarakat Persepsi tentang kualitas lingkungan Motivasi meningkatkan kualitas lingkungan Tingkat kebutuhan akan rumah dan lingkungan Kondisi fisik rumah dan ketersediaan ruang Partisipasi meningkatkan kualitas lingkungan permukiman Perlakuan dan kegiatan masyarakat terhadap jalan lingkungan Nilai Korelasi antara karakteristik individu dan karakteristik fisik permukiman dengan modal sosial Nilai Korelasi antara karakteristik individu, karakteristik lingkungan dan modal sosial Nilai korelasi antara karakteristik individu, karakteristik lingkungan, modal sosial, persepsi dan motivasi dengan tingka kebutuhan akan rumah Nilai korelasi antara variabel terikat dengan partisipasi meningkatkan kualitas lingkungan Aspek-aspek pembinaan masyarakat untuk penyuluhan permukiman dalam rangka mewujudkan masyarakat aktif untuk gerakan meningkatkan kualitas lingkungan kampung kota Pemberdayaan masyarakat untuk meningkatkan kualitas lingkungan secara berkelanjutan
xiii
24 34 37 39 40 52 53 54 55 56 63 68 70 70 71 72 73 73 76 77 81 91 98 107 110 111 114 120 122 125
129 133 138 144
155
DAFTAR GAMBAR 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 16 17 18 19 20 21 22 23 24 25 26 27 28 29 30 31 32 33 32 35 36 37 38 39 40 41 42 43
Halaman Prioritas Perumahan 22 Diagram Pembangunan Perumahan 23 Pengaruh lingkungan terhadap perilaku manusia 42 Model Environmental Learning 45 Posisi perilaku terhadap lingkungan 45 Kedudukan penelitian dalam permasalahan permukiman kampung kota 51 Hirarki kebutuhan manusia menurut Maslow 54 Tingkatan Partisipasi Masyarakat 55 Konsep Inovasi Sosial 57 Kerangka Pikir Penelitian 59 Model Hipotetis Penelitian 60 Lokasi Penelitian 78 Kel. Kebon Pisang Kec. Sumur Bandung 79 Kel. Arjuna Kec. Cicendo Bandung 79 Kel. Cibangkong Kec. Batununggal Bandung 80 Kel. Cikawao Kec. Lengkong Bandung 80 Tipe permukiman kampung kota dilihatdari akses lingkungan sekitarnya 82 Diagram proses pembentukan permukiman kampung kota 83 Akses masuk permukiman kampung kota 84 Rendahnya kualitas prasarana lingkungan permukiman kampung kota 85 Ketiadaan ruang bermain anak di permukiman kampung kota 87 Rendahnya kualitas sarana lingkungan di permukiman kampung kota 88 Sampah yang bertumpuk saat TPA Leuwi Gajah longsor 89 Fasilitas tempat daur ulang sampah di kelurahan Cibangkong 90 Pekerjaan yang banyak digeluti warga kampung kota 93 Kepadatan bangunan dan kepadatan penduduk di kampung kota 95 Kondisi rumah-rumah yang ditempati penyewa pedagang 97 Hubungan akrab antar tetangga di permukiman kampung kota 99 Rendahnya ketaatan terhadap aturan formal 102 Kemeriahan pesta 17 Agustus di permukiman kampung kota 105 Kondisi di dalam rumah-rumah warga di kampung kota 115 Kondisi rumah dilihat dari arah luar bangunan rumah di kampung kota 116 Ketersediaan ruang pada rumah-rumah di kampung kota 117 Meningkatkan rumah untuk menyiasati keterbatasan lahan 118 Invasi lahan terhadap ruang gang milik publik oleh masyarakat 122 Hasil analisis jalur faktor-faktor yang mempengaruhi modal sosial 126 Ruang gang tempat warga kampung bersosialisasi 128 Hasil analisis jalur faktor yang mempengaruhi persepsi dan motivasi 130 Hasil analisis jalur faktor yang mempengaruhi kebutuhan akan rumah 134 Keeratan relasi mutual di kampung kota 137 Hasil analisis jalur faktor-faktor yang berpengaruh langsung terhadap partisipasi masyarakat untuk meningkatkan kualitas permukiman 138 Lingkaran ketidakberdayaan vs kekumuhan lingkungan kampung kota 140 Strategi gerakan masyarakat meningkatkan kualitas lingkungan kampung 141
xiv
DAFTAR LAMPIRAN
1 2 3 4
Peta penggunaan lahan existing Peta pelayanan air bersih Peta penanganan air limbah Peta struktur pusat-pusat pelayanan kota
xv
Halaman 167 168 169 170
1
PENDAHULUAN Latar Belakang Lebih dari satu milyar penduduk dunia hidup dalam kondisi perumahan di bawah standar dan kemungkinan situasi ini akan semakin bertambah buruk di masa yang akan datang (WHO SEARO, 1986; Komisi WHO mengenai Kesehatan dan Lingkungan, 2001). Di Indonesia permasalahan di bidang permukiman saat ini menjadi permasalahan yang semakin rumit. Dari sisi kualitas, pembangunan perumahan dan permukiman di Indonesia masih tertinggal dibanding dengan negara lain. Menurut Indeks Pembangunan Manusia (Human Development Index-UNDP), yang memasukan faktor perumahan sebagai salah satu indikator, Indonesia menempati urutan 112 dari 175 negara. Pada tahun 2000 tercatat 10.065 lokasi permukiman kumuh dengan luas 47.393 ha yang dihuni oleh sekitar 17,2 juta jiwa dan sekitar 14,5 juta unit rumah (28,22%) kualitasnya tidak layak huni. (Direktur Bintek 2004) Kompleksnya masalah perumahan dan permukiman di perkotaan dikarenakan kebutuhan perumahan di kota sangat tinggi. Hal ini berkaitan dengan padatnya penduduk kota, dan tingginya tingkat pertumbuhan penduduk akibat urbanisasi. Ketika pada tahun 2000 diperkirakan terdapat 6.100 juta penduduk dunia, PBB memperkirakan 75% dari jumlah tersebut tinggal di perkotaan. Indonesia sebagai negara berkembang memiliki masalah permukiman yang lebih kompleks dibanding dengan kota di negara maju, karena karakteristik kota-kota di negara berkembang berbeda dengan kota-kota yang sudah maju. Di Indonesia, urbanisasi didorong oleh ketiadaan lapangan kerja di pedesaan, padahal kota sendiri belum mampu menyediakan lapangan kerja bagi warganya. Sementara itu daya dukung lahan serta prasarana di perkotaan tidak sebanding dengan pertumbuhan akibat urbanisasi tersebut. Hal ini menyebabkan kota-kota dihuni oleh para pendatang yang tidak memiliki pekerjaan dan akhirnya terperangkap dalam perekonomian informal dengan penghasilan rendah. Banyaknya masyarakat berpenghasilan rendah di kota memunculkan berbagai kendala bagi pengadaan rumah di perkotaan, yang antara lain adalah: pertama, tingkat penyediaan rumah yang layak dan terjangkau masyarakat banyak menjadi sulit untuk diwujudkan.
Masyarakat,
swasta,
maupun
pemerintah
kota
belum
mampu
menyediakan perumahan yang memadai dan terjangkau masyarakat banyak yang
2
dalam hal ini masyarakat berpenghasilan rendah. Pemerintah dan swasta baru mampu memenuhi sekitar 15% dari permintaan sekitar 1,6 juta unit per tahun (data Collier International, disampaikan oleh Ketua Badan Penyehatan Perbankan Nasional, pada Lokakarya Nasional bidang Perumahan dan Permukiman di Jakarta, 2002). Kedua, terjadi penurunan kualitas lingkungan akibat belum memadainya pelayanan di lingkungan permukiman yang ditandai dengan meningkatnya lingkungan kumuh setiap tahunnya. Pada saat ini luas lingkungan kumuh di Indonesia telah mencapai 47.500 hektar, yang tersebar di 10.000 lokasi (Sugandhy, 2002). Ketiga, kemampuan masyarakat berpenghasilan rendah dalam memenuhi kebutuhan perumahannya sangat rendah. Diperkirakan sekitar 65% rumah tangga tidak mampu membeli rumah sederhana dengan harga yang paling rendah sekalipun. Kredit perumahan tanpa subsidi baru hanya dapat dijangkau oleh 25% populasi yang berpendapatan tinggi. Kondisi ini membuat kelompok masyarakat berpenghasilan rendah di perkotaan hanya mampu mengakses lingkungan permukiman kampung kota, yang banyak diantara lingkungan permukiman tersebut, telah mengalami penurunan kualitas, yang dicirikan oleh minimnya sarana prasarana permukiman sehingga pada gilirannya menghambat potensi produktivitas para penghuninya. Lingkungan permukiman kampung kota yang mengalami penurunan kualitas, cenderung berubah menjadi permukiman kumuh akibat daya dukung yang melebihi kapasitas, seperti kepadatan rumah dan penduduk yang tinggi. Perkembangan permukiman kampung kota yang menjurus menjadi permukiman kumuh dan tidak terkendali sesungguhnya merupakan ancaman serius bagi kesehatan dan kesejahteraan kota sehingga perlu dilakukan upaya penanganan permukiman kampung kota yang dilakukan dengan partisipasi semua pihak yaitu masyarakat, pihak swasta, pemerintah dan lembaga-lembaga pendidikan atau LSM sebagai pendamping masyarakat agar partisipasi dapat berjalan maksimal. Berdasarkan kondisi tersebut maka penelitian dengan topik Partisipasi Masyarakat Kampung Kota untuk Meningkatkan Kualitas Permukiman dirasa perlu dan mendesak untuk dilakukan.
Masalah Penelitian Permasalahan menurunnya kualitas lingkungan permukiman kampung kota tidak bisa hanya dituduhkan pada satu kelompok masyarakat atau lembaga pemerintah
3
saja. Jika ditelusuri lebih jauh banyak faktor yang saling berkaitan dalam masalah tersebut. Mulai dari kebijakan pemerintah kota, urbanisasi, ketidakdisiplinan masyarakat, ketidakadilan, dan berbagai masalah lain yang harus diurai satu persatu. Karenanya permasalahan yang berkenaan dengan kualitas lingkungan permukiman kampung kota menjadi masalah yang multi dimensi. Seringkali persoalan ini dihadapkan pada hal-hal yang dilematis antara batas hak yang dimiliki warga kota, terutama masyarakat berpenghasilan rendah di satu sisi, dan masalah umum perkotaan sebagai sistem pengelolaan kota yang mengedepankan aspek tata ruang kota yang lebih teratur dan terkendali di sisi yang lainnya. Kota Bandung dengan kepadatan 125 orang per hektar – jauh di atas standar PBB yang menetapkan kepadatan maksimun 60 orang per hektar – memiliki banyak permukiman kampung kota yang diantaranya mengalami penurunan kualitas lingkungan. Dari 139 kelurahan yang ada di Kota Bandung, 60 kelurahan dikategorikan sebagai permukiman agak kumuh, 43 dikategorikan sebagai kumuh, dan 19 dikategorikan sebagai sangat kumuh. Kelurahan yang dikategorikan tidak kumuh hanya berjumlah 17 kelurahan saja. Sebagian berada di pusat-pusat kota, dan sebagian lagi berada di sekitar lokasi industri. Hal ini cukup merisaukan pihak pemerintah kota mengingat jumlah dan penyebaran permukiman kumuh tersebut cukup tinggi. Jika pertumbuhan lingkungan permukiman kampung kota ini dibiarkan tidak terkendali, maka kualitasnya akan menurun, derajat kesehatan masyarakat akan rendah, mudah menyebabkan kebakaran, memberi peluang kriminalitas, tidak teraturnya tata guna tanah dan sering menimbulkan banjir. Penggusuran permukiman kampung kota tidak sepenuhnya menyelesaikan masalah, selain tidak manusiawi, para pemukim kembali menyerobot tanah terbuka lainnya sehingga hilang satu tumbuh yang baru. Kondisi ini diperparah dengan kurangnya warga kampung kota dalam mengelola sumber daya yang terdapat dalam permukimannya. Sebagian besar warga kampung kota masih belum memiliki akses yang cukup kepada sumber daya yang ada untuk dapat dimanfaatkan menopang kehidupannya. Oleh karenanya sudah saatnya lingkungan permukiman kampung kota yang mengalami penurunan kualitas ini memperoleh sentuhan program penataan dengan memberdayakan masyarakat penghuninya agar dapat berpartisipasi aktif meningkatkan kualitas lingkungan kampungnya.
4
Berkenaan dengan hal tersebut perlu dicari cara pandang lain untuk menempatkan masyarakat berpenghasilan rendah, yang hanya dapat mengakses perumahan di permukiman kampung kota, untuk dapat lebih menghargai hidup dan lingkungannya. Dengan cara menumbuhkan kesadaran akan adanya kebutuhan, motivasi dan keinginan untuk mandiri sehingga dapat menolong dirinya sendiri dan selanjutnya akan dapat mengelola lingkungan kampungnya dengan baik. Diharapkan dengan partispasi aktif warga kampung kota untuk bersama-sama memelihara dan mengelola lingkungan kampung, akan tercipta kualitas permukiman kampung kota yang lebih baik dan sehat yang pada akhirnya dapat meningkatkan kualitas hidup warga dan juga kualitas lingkungan hidup. Agar masyarakat yang mendiami permukiman kampung kota dapat berpartisipasi meningkatkan kualitas lingkunganya, perlu dicari model pemberdayaan yang sesuai dengan karakteristik sosial warga kampung kota, agar mereka dapat memahami standar kualitas lingkungan yang baik dan dapat mendukung terbentuknya kehidupan yang lebih berkualitas dengan mengenali potensi yang dimilikinya baik potensi fisik kampung maupun potensi sosial masyarakat yang tumbuh dalam pola bermukim kampung kota. Mengacu kepada hal tersebut maka permasalahan utama dalam penelitian ini adalah: Bagaimana strategi pemberdayaan masyarakat kampung kota untuk meningkatkan kualitas lingkungan permukiman? Bentuk dan tingkat partisipasi masyarakat dipengaruhi oleh banyak faktor, diantaranya adalah: pengetahuan, kemauan, dan kemampuan, Dengan memperhatikan faktor-faktor tersebut maka permasalahan umum di atas dirinci sebagai berikut: 1. Bagaimana karakteristik masyarakat permukiman kampung kota, baik karakteristik fisik permukiman maupun karakteristik modal sosial masyarakat? 2. Bagaimana persepsi masyarakat tentang kualitas lingkungan dan bagaimana motivasi masyarakat untuk meningkatkan kualitas lingkungan permukiman? 3. Bagaimana tingkat kebutuhan akan rumah dan lingkungan permukiman pada masyarakat di permukiman kampung kota? 4. Bagaimana partisipasi masyarakat dalam meningkatkan kualitas lingkungan dan faktor-faktor apa saja yang mempengaruhinya? 5. Bagaimana strategi yang tepat untuk menggerakkan masyarakat kampung kota agar mereka tahu, mau dan mampu meningkatkan kualitas lingkungan?
5
Tujuan Penelitian Tujuan penelitian dirinci sebagai berikut: 1. Mengidentifikasi karakteristik fisik lingkungan permukiman kampung kota dan menganalisis karakteristik modal sosial masyarakatnya. 2. Mengidentifikasi
persepsi
masyarakat
tentang
kualitas
lingkungan
dan
menganalisis motivasi masyarakat untuk meningkatkan kualitas lingkungan permukiman kampung kota 3. Mengidentifikasi tingkat kebutuhan akan rumah dan permukiman pada masyarakat di permukiman kampung kota. 4. Mengidentifikasi bentuk-bentuk partisipasi masyarakat untuk meningkatkan kualitas lingkungan pemukiman kampung kota dan menganalisis faktor apa saja yang mempengaruhinya. 5. Menyusun strategi pemberdayaan yang sesuai dengan modal sosial yang dimiliki masyarakat kampung kota untuk dapat meningkatkan kualitas lingkungan permukiman Kegunaan Penelitian Hasil penelitian ini diharapkan dapat bermanfaat untuk khasanah ilmu pengetahuan serta bahan kajian bagi pembuat kebijakan dalam membuat keputusan yang berkenaan dengan penanganan permukiman kampung kota di masa mendatang. Secara terinci penelitian ini diharapkan dapat bermanfaat: Bagi pengembangan ilmu pengetahuan 1. Pengidentifikasian karakteristik modal sosial masyarakat kampung kota dan faktor-faktor fisik lingkungan permukiman yang mendukungnya memungkinkan hadirnya penjelasan yang memadai mengenai keterkaitan modal sosial yang terbentuk dengan karakteristik fisik lingkungan kampung kota. Hasil penelitian ini dapat menjadi landasan bagi penelitian selanjutnya yang terkait dengan pemberdayaan masyarakat di permukiman kampung kota. Secara umum hal ini adalah setitik sumbangan pengetahuan bagi kajian ilmu arsitektur dan lingkungan 2. Penelitian ini berupaya merumuskan strategi gerakan partisipatif warga kampung kota yang sesuai dengan modal sosial masyarakatnya untuk meningkatkan kualitas lingkungan permukiman yang diharapkan dapa berlaku pada permukiman kampung kota lainnya di kota-kota besar di Indonesia dengan karakteristik fisik
6
dan modal sosial yang relatif sama. Hal ini diharapkan menjadi bahan pemikiran bagi ilmu penyuluhan pembangunan. Manfaat praktis 1. Bagi masyarakat di permukiman kampung kota untuk membantu mengetahui, menggali dan menemukan potensi yang sebetulnya dimiliki namun seringkali tidak disadari dan diabaikan 2. Bagi
pemerintah
dan
pengambil
kebijakan,
sebagai
panduan
dalam
mempertemukan pendekatan top down dan bottom up dalam melakukan penanganan permukiman kampung kota yang banyak terdapat di kota-kota besar di Indonesia, dan untuk menentukan prioritas kegiatan yang bisa dilakukan guna meningkatkan partisipasi masyarakat dalam pembangunan permukiman 3. Bagi pihak swasta agar dapat berpartisipasi dengan tepat sasaran dan dapat menyesuaikan program-program kerjasama dengan warga kampung untuk memperbaiki kondisi rumah dan lingkungan permukiman yang berprinsip pada kerjasama yang adil dan berkelanjutan. 4. Bagi lembaga penelitian dan lembaga penyuluhan, strategi yang dihasilkan dapat digunakan sebagai kerangka acuan penyelenggaraan proses pendidikan yang bertujuan memberikan penyadaran pada warga akan pentingnya kualitas rumah dan lingkungan yang baik, agar masyarakat tahu, mau dan mampu mengubah perilakunya ke arah yang lebih mendukung terciptanya kualitas rumah dan lingkungan yang sehat dan layak huni dengan berbasis pada partisipasi masyarakat
Novelty Penelitian Novelty penelitian atau kebaruan dalam penelitian ini antara lain adalah: 1. Pada program studi Ilmu Penyuluhan Pembangunan SPS IPB, pernelitian ini adalah yang pertama dalam mengkaji permasalahan permukiman kampung kota. 2. Untuk penelitian sejenis yang mengkaji tentang partisipasi masyarakat, penelitian ini yang pertama menghadirkan strategi partisipatif masyarakat untuk gerakan meningkatkan kualitas lingkungan yang didasarkan pada upaya perubahan perilaku warganya dengan latar belakang karakteristik modal sosial yang dimiliki masyarakat kampung kota dengan menggunakan responden yang berasal dari 4 lokasi penelitian kampung kota di Bandung
7
TINJAUAN PUSTAKA Permukiman Kampung Kota Permukiman Kampung kota adalah bagian dari kota yang memiliki ciri-ciri tersendiri bila dibandingkan dengan kawasan kota lainnya. Secara harfiah kampung kota adalah lingkungan permukiman desa yang terletak di dalam wilayah kota. Kampung kota adalah lingkungan permukiman yang khas Indonesia dan ditandai oleh ciri kehidupan yang terjalin dalam ikatan kekeluargaan yang erat. Permukiman kampung kota sudah menggejala sejak pemerintahan Hindia Belanda. Menurut Wiryomartono (1999) definisi yang tepat untuk kampung kota adalah permukiman pribumi yang masih meneruskan tradisi kampung halamannya, sekalipun tinggal di kota. Permukiman kampung kota merupakan permukiman yang tumbuh di kawasan urban tanpa perencanaan infrastruktur dan jaringan ekonomi kota. Apabila dikaji berdasarkan strukturnya, kampung kota merupakan salah satu elemen pembentuk kota. Secara fisik kondisi kampung kota saat ini pada umumnya buruk. Hal ini terutama dipicu masalah kepadatan dan tidak terorganisirnya struktur fisik lingkungan kampung kota tersebut. Ketiadaan struktur formal teritorialitas ini sering dikaitkan dengan permukiman ilegal. Dengan kata lain tidak terstrukturnya permukiman kampung kota dikarenakan tidak adanya penataan ruang yang didukung oleh infrastruktur yang terprogram secara formal. Ciri-ciri permukiman kampung kota Permukiman kampung kota sering kali disebut sebagai permukiman sektor informal karena banyak dihuni oleh orang-orang dengan pekerjaan yang bergerak di bidang informal. Lingkungan permukiman kampung kota sebagai suatu lingkungan fisik arsitektural sering digambarkan sebagai lingkungan yang miskin struktur, tidak teratur, dan terkesan kumuh. Hal itu terjadi, karena selain permukiman ini seringkali tidak tersentuh pola kebijakan tata ruang kota, sehingga akses masyarakat terhadap berbagai kepentingannya kurang terakomodasi. Di sisi lain kesadaran masyarakat dan latar belakang masyarakat itu sendiri seringkali
kurang memahami pentingnya
lingkungan permukiman yang berkualitas bagi mereka, baik secara fisik maupun sosial. Ciri-ciri permukiman kampung kota yang lebih sering disorot karena dianggap menimbulkan permasalahan bagi kawasan kota antara lain:
8
a. Tingginya kepadatan penduduk menyebabkan kurangnya ruang untuk fungsi sosial Hal ini mengakibatkan rendahnya ketersediaan ruang terbuka bagi sarana berinteraksi antar warga. Akibatnya tidak jarang fasilitas umum beralih fungsi menjadi pendukung fungsi sosial yang diperlukan masyarakat. b. Tingkat ketersediaan fasilitas umum dan fasilitas sosial yang rendah. Kurangnya fasilitas sosial karena kepadatan penduduk yang tinggi mengakibatkan diversifikasi fungsi gang/jalan di kampung kota yang sekaligus menjadi tempat untuk meletakkan properti dan tempat bersosialisasi warga masyarakat. c. Kurangnya infrastruktur Tingginya kepadatan bangunan di kampung-kampung perkotaan tidak jarang mengakibatkan minimnya lahan yang tersedia bagi sarana infrastruktur. Kondisi ini merupakan salah satu ciri rendahnya kualitas suatu lingkungan permukiman d. Tataguna lahan yang tidak teratur Pemanfaatan lahan hendaknya direalisasikan sesuai rencana peruntukannya. Hal ini merupakan strategi untuk mencapai keteraturan tata guna lahan. Pemanfaatan lahan secara tidak teratur dapat mengakibatkan tumpang tindihnya fungsi lahan yang pada akhirnya akan mempengaruhi keberlanjutan fungsi ruang secara luas. e. Kondisi rumah yang kurang sehat Hunian yang kurang memadai mengakibatkan kondisi yang tidak sehat bagi penghuninya. Jendela-jendela tidak lagi berfungsi sebagai bukaan untuk memasukkan sinar matahai dan udara ke dalam hunian tetapi beralih fungsi sebagai tempat jemuran karena hunian tidak lagi memiliki lahan kosong. Sebagai suatu komunitas, kampung kota dapat mempertahankan kelestariannya karena berinteraksi dengan struktur bagian kota lainnya dengan fungsi-fungsi spesifik yang terdapat di dalamnya. Kampung kota berfungsi sebagai perantara kehidupan kota dengan keluarga yang hidup di kampung, yang dilakukan antara lain dengan pertukaran sumber daya antara komunitas dengan masyarakat kota pada umumnya Menurut Wiryomartono (1999) terdapat dua pokok masalah dan potensi yang berkaitan dengan kehidupan bermukim masyarakat kampung kota yaitu: Pertama, Kenyataan umum menunjukkan bahwa masyarakat kampung kota pada umumnya adalah para penduduk asli ketika daerah tersebut masih belum masuk pada struktur kota modern, dan migrasi dari desa yang mengalami modernisasi
9
pertanian. Penduduk pada kawasan kampung kota memiliki kemampuan adaptasi yang lebih tinggi terhadap segala bentuk dan struktur ruang hidup. Hal ini merupakan potensi untuk menghasilkan bentuk ruang tinggal yang tidak platonis. Dengan demikian proses pembangunan struktur fisiknya pun tidak dapat dilakukan dengan massal tetapi lahir spontan untuk nilai aksesibilitas yang efektif. Secara arsitektural, lingkungan tempat tinggal di permukiman kampung kota merupakan suatu kesatuan dalam ketidak teraturan. Dari keadaan tersebut dibutuhkan metode perencanaan dan perancangan lingkungan binaan untuk bermukim secara partisipatif. Metode partisipatif pada masyarakat kampung kota bukanlah sekedar kebutuhan untuk menciptakan rasa saling memiliki tetapi secara eksistensial mampu membangun pengertian bahwa mereka hidup dalam satu Labenswelt (dunia hidup) yang menjadi home mereka selama mungkin. Kedua, sejak modernisasi pertanian di pedesaan terus berlangsung, Indonesia menghadapi suatu abad yang dampak dan pengaruhnya sama seperti yang terjadi di Eropa Barat dan Amerika Utara yaitu globalisasi ekonomi/telekomunikasi. Masyarakat kampung-kota yang semula tradisional agraris dalam kebiasaan hidupnya, tidak lagi bisa bertahan dari proses perubahan karena ada dan berlangsungnya modernitas. Perubahan-perubahan ini bukan hanya dapat dianggap sebagai krisis, tetapi juga peluang yang akan mampu membentuk kerjasama sosial ekonomi dan kultural antara sektor modern dan sektor informal (kampung-kota). Kampung-kota itu sendiri merupakan bagian dari kota, walaupun dengan ciri-ciri tersendiri bila dibandingkan dengan kota lain yang lebih formal dan terorganisir ruang hidupnya. Sebagai subsistem dari kota, kampung kota dengan sifat komunitasnya adalah:
Sistem perantara antara makro sistem masyarakat dengan mikro sistem keluarga
Terdiri dari penduduk yang dapat diidentifikasi dengan jelas, karena memiliki rasa kebersamaan dan kesadaran sebagai warga suatu kesatuan
Mengembangkan dan memiliki suatu keteraturan sosial dan spatial, yang ditumbuhkan dari komunitas itu sendiri (disamping ketentuan oleh kota).
Menunjukkan differensiasi dalam fungsi-fungsi, sehingga bukan merupakan wilayah hunian saja namun di dalamnya terdapat warung, bengkel, salon, dsb.
Menyesuaikan diri dengan lingkungan yang lebih luas melalui pertukaran sumber daya.
10
Menciptakan dan memelihara berbagai bentuk organisasi dan kelembagaan, yang akhirnya memenuhi kebutuhan makrosistem masyarakat dan mikrosistem keluarga. Kampung kota selama ini selalu disebut sebagai permukiman sektor informal
karena banyak dihuni oleh masyarakat dengan penghasilan tidak tetap. Namun dugaan ini tidak sepenuhnya benar karena saat ini pegawai negeri, dan wiraswasta ekonomi kecil (home industry), merupakan populasi yang tak dapat diabaikan jumlahnya. Penyebab terjadinya penurunan kualitas permukiman kampung kota LPM ITB (1998) mengidentifikasi bahwa faktor penyebab timbulnya penurunan kualitas permukiman kampung di kota Bandung adalah: 1) Terbatasnya kemampuan ekonomi masyarakat. Masyarakat
berpendapatan
rendah
menggunakan
lahan
untuk
kegiatan
permukiman dan usaha yang kurang mempertimbangkan aspek legalitas tanah sehingga menimbulkan ketidakteraturan penggunaan lahan yang diperburuk oleh rendahnya kualitas prasarana akibat terbatasnya kemampuan masyarakat. 2) Dampak kegiatan eksternal dan internal kawasan. Buruknya sistem drainase, alami maupun buatan, mendorong terbentuknya kekumuhan yang diperparah oleh pembuangan limbah yang relatif tinggi dan rendahnya kemampuan penduduk dalam mengantisipasi permasalahan lingkungan. Faktor kegiatan eksternal, seperti industri-industri besar yang menghasilkan limbah dalam jumlah besar dan kurang terkelola, memperberat beban fisik lingkungan 3) Dampak faktor eksternal. Permukiman kumuh timbul akibat pertumbuhan pesat penduduk dan kegiatannya yang tidak mampu ditampung oleh sumberdaya yang ada 4) Keterbatasan sumber daya lahan. Kekumuhan disebabkan oleh keterbatasan lahan dalam menampung permukiman, ini terjadi khususnya di tepi sungai. Permukiman kumuh ini membatasi fungsi sungai sebagai bagian sistem drainase Kurniasih (2007) membagi penurunan kualitas lingkungan permukiman dengan a. Sebab kumuh, adalah kondisi kemunduruan atau kerusakan lingkungan hidup dilihat dari: (1) segi fisik, yaitu gangguan yang ditimbulkan oleh unsur-unsur alam seperti air dan udara; (2) masyarakat atau sosial: yaitu gangguan yang ditimbulkan
11
oleh manusia sendiri seperti kepadatan bangunan, lalulintas, sampah dan sejenisnya b. Akibat kumuh: kumuh adalah akibat perkembangan dari gejala-gejala yang antara lain: (1) kondisi perumahan yang buruk, (2) penduduk yang terlalu padat, (3) fasilitas lingkungan yang kurang memadai, (4) tingkah laku menyimpang, (5) budaya kumuh, (6) apatis dan isolasi. Sebab dan akibat kumuh ini memunculkan lingkungan permukiman kumuh, yaitu kawasan dimana rumah dan kondisi hunian masyarakat di kawasan tersebut sangat buruk. Rumah maupun sarana dan prasarana lingkungan yang ada tidak sesuai dengan standar yang berlaku, baik standar kebutuhan, kepadatan bangunan, persyaratan rumah sehat, kebutuhan sarana air bersih, sanitasi maupun persyaratan kelengkapan prasarana jalan, ruang terbuka, serta kelengkapan fasilitas sosial lainnya.
Rumah dan Permukiman Menurut Undang-undang RI No. 4 Tahun 1992. Rumah adalah struktur fisik yang terdiri dari ruangan, halaman dan area sekitarnya yang digunakan sebagai tempat tinggal dan sarana pembinaan keluarga. World Health Organization (WHO) merumuskan definisi rumah sebagai struktur fisik atau bangunan untuk tempat berlindung dimana lingkungan berguna untuk kesehatan jasmani dan rohani serta keadaan sosialnya baik, untuk kesehatan keluarga dan individu (Komisi WHO Mengenai Kesehatan Lingkungan, 2001) Dari pengertian di atas dapat dikatakan bahwa rumah bukan hanya bangunan fisik yang merupakan tempat berlindung dan beristirahat untuk memenuhi kebutuhan fisiologis manusia namun rumah juga adalah sebuah tempat dimana kebutuhankebutuhan dasar pada hirarki yang lebih tinggi dapat dipenuhi. Rumah sesungguhnya merupakan sarana pembinaan keluarga untuk menumbuhkan kehidupan yang sehat secara fisik, mental dan sosial seperti yang diungkapkan oleh Hayward (1987) yang dikutip Budihardjo (1998) mengenai konsep tentang rumah, yaitu: (a) Rumah sebagai pengejawantahan diri: rumah sebagi simbol dan pencerminan tata nilai selera pribadi penghuni, (b) Rumah sebagai wadah keakraban: rasa memiliki, kebersamaan, kehangatan, kasih dan rasa aman tercakup dalam konsep ini, (c) Rumah sebagai tempat menyendiri dan menyepi: rumah disini merupakan tempat melepaskan diri dari
12
dunia luar, dari tekanan dan ketegangan kegiatan rutin, (d) Rumah sebagai akar dan kesinambungan: dalam konsep ini rumah atau kampung halaman dilihat sebagai tempat untuk kembali pada akar dan menumbuhkan rasa kesinambungan dalam untaian proses ke masa depan, (e) Rumah sebagai wadah kegiatan utama sehari-hari, (f) Rumah sebagai pusat jaringan sosial dan (g) Rumah sebagai struktur fisik Fungsi rumah sebagai wadah untuk pemenuhan kebutuhan dasar manusia, menurut Budiharjo (1998) dalam bukunya Arsitektur Perumahan Perkotaan, memiliki tiga fungsi utama, yaitu: (1) Rumah sebagai tempat tinggal, dimana seseorang bermukim untuk mencari ketenangan, lahir maupun batin; (2). Rumah sebagai mediator antara manusia dengan dunia yang memungkinkan terjadinya suatu dialektika antara manusia dengan dunianya. Dari keramaian dunia, manusia menarik diri ke dalam rumahnya dan tinggal dalam ketenangan, untuk kemudian keluar lagi menuju dunia luar, bekerja, dan berkarya. (3) Rumah sebagai arsenal, dimana manusia mendapatkan kekuatannya kembali, setelah melalukan pekerjaan yang melelahkan. Dalam rumah manusia makan, minum, dan tidur untuk memperoleh kembali kekuatannya. Johan Silas (2002) mengatakan bahwa fungsi rumah yang diangankan sejak jaman nenek moyang manusia, masih tetap sama yaitu sebagai terminal peralihan antara kehidupan alami dengan kehidupan privat. Selanjutnya dikatakan bahwa rumah yang baik akan melindungi penghuninya secara badaniah dan rohaniah. Namun demikian rumah juga perlu menjadi perangsang timbulnya gagasan hidup (inspirator) menuju ke keadaan yang lebih baik Sejalan dengan perkembangan sosial kultural manusia, rumah sebagai suatu objek individual tidak terpisahkan dari permukiman/perumahan sebagai objek komunitas. Pengertian permukiman secara jelas dan rinci dapat ditemukan dalam Undang-undang Nomor 4 tahun 1992 tentang Perumahan dan Permukiman yang mengatakan bahwa Permukiman mengandung pengertian sebagai bagian dari lingkungan hidup di luar kawasan lindung, baik berupa kawasan perkotaan maupun perdesaan yang berfungsi sebagai lingkungan tempat tinggal atau lingkungan hunian dan tempat kegiatan yang mendukung perikehidupan dan penghidupan. Dalam permukiman perlu ada prasarana dan sarana lingkungan serta utilitas lingkungan untuk mendukung berjalannya fungsi permukiman dengan optimal.
13
Prasarana lingkungan pemukiman adalah kelengkapan dasar fisik lingkungan yang memungkinkan lingkungan pemukiman dapat berfungsi sebagaimana mestinya. Prasarana utama ini meliputi jaringan jalan, jaringan pembuangan air limbah dan sampah, jaringan saluran air hujan, jaringan pengadaan air bersih, jaringan listrik, telepon, gas, dan sebagainya. Jaringan primer prasarana lingkungan adalah jaringan utama yang menghubungkan antara kawasan pemukiman atau antara kawasan pemukiman dengan kawasan lainnya. Jaringan sekunder prasarana lingkungan adalah jaringan cabang dari jaringan primer yang melayani kebutuhan di dalam satu satuan lingkungan pemukiman. Sarana lingkungan pemukiman adalah fasilitas penunjang yang berfungsi untuk penyelenggaraan dan pengembangan kehidupan ekonomi, sosial dan budaya. Contoh sarana lingkungan pemukiman adalah fasilitas pusat perbelanjaan, pelayanan umum, pendidikan dan kesehatan, tempat peribadatan, rekreasi dan olah raga, pertamanan, pemakaman. Utilitas lingkungan umum mengacu pada sarana penunjang untuk pelayanan lingkungan pemukiman, meliputi jaringan air bersih, listrik, telepon, gas, transportasi, dan pemadam kebakaran. Utilitas umum membutuhkan pengelolaan profesional dan berkelanjutan oleh suatu badan usaha. Sehubungan dengan bahasan mengenai rumah dan fungsi rumah, maka permukiman sebagai tempat dimana rumah-rumah berada, memiliki tiga fungsi utama yaitu: (1) tempat perlindungan secara fisik (phisical shelter), (2) setting (tempat) yang membentuk hubungan antara struktur di dalam (keluarga) dan ketetanggaan dimana setiap anggota keluarga dan komunitas melakukan aktivitas keseharian, dan (3) suatu pengelompokkan keluarga ke dalam komunitas yang lebih besar. Bagi komunitas, perumahan merepresentasikan aspirasi kolektif
yang
dipengaruhi oleh proses sosial ekonomi. Rumah juga dapat mengeskpresikan gaya hidup penghuni yang dipengaruhi oleh aspek
psikologis sosial, ekonomi, dan
keseimbangan estetik. Atas dasar itu, maka kualitas rumah dan permukiman menjadi sangat penting dalam mewadahi kebutuhan dan aspirasi penghuni dalam fungsinya memenuhi kebutuhan fisik, mental dan sosial penghuni dan warganya dengan baik. Apabila pengertian permukiman dikaji sesuai dengan konteks yang dibahas dalam penelitian ini maka permukiman dapat diimplementasikan sebagai suatu tempat
14
bermukim manusia yang menunjukkan suatu tujuan tertentu. Dengan demikian permukiman seharusnya memberikan kenyamanan kepada penghuninya termasuk orang yang datang ke tempat tersebut.
Standar rumah dan perumahan sehat/layak huni Rumah sehat/layak huni Rumah dan permukiman yang sehat merupakan salah satu sarana untuk mencapai derajat kesehatan yang optimum. Untuk memperoleh rumah yang sehat ditentukan oleh tersedianya sarana sanitasi rumah dan perumahan. Sanitasi tersebut antara lain ventilasi, suhu, kelembaban, kepadatan hunian, penerangan alami, konstruksi bangunan, sarana pembuangan sampah, sarana pembuangan kotoran manusia, dan penyediaan air bersih (Azwar, 1990) Menurut American Public Health Association (APHA) rumah dikatakan sehat apabila: (1) memenuhi kebutuhan fisik dasar seperti temperatur lebih rendah dari udara di luar rumah, penerangan yang memadai, ventilasi yang nyaman, dan kebisingan antara 44 – 45 dbA; (2) memenuhi kebutuhan kejiwaan; (3) melindungi penghuninya dari penularan penyakit menular yaitu memiliki penyediaan air bersih, sarana pembuangan sampah dan saluran pembuangan air limbah, dan memenuhi syarat kesehatan, serta (4) melindungi penghuninya dari kemungkinan terjadinya kecelakaan dan bahaya kebakaran seperti fondasi rumah yang kokoh, tangga yang tidak curam, bahaya kebakaran karena arus pendek listrik, keracunan, bahkan dari ancaman kecelekaaan lalulintas. Komponen yang harus dimiliki rumah sehat menurut Ditjen Cipta Karya, (1997) adalah: (1) fondasi yang kuat untuk meneruskan beban bangunan ke tanah dasar, memberi kestabilan bangunan dan merupakan konstruksi penghubung antara bangunan dengan tanah; (2) lantai kedap air dan tidak lembab, tinggi minimum 10 cm dari pekarangan dan 25 cm dari badan jalan, bahan kedap air untuk rumah panggung dapat terbuat dari papan atau anyaman bambu; (3) memiliki jendela dan pintu yang berfungsi sebagai ventilasi dan masuknya sinar matahari dengan luas minimum 10% luas lantai; (4) dinding rumah kedap air yang berfungsi untuk mendukung atau menyangga atap, menahan angin dan air hujan, melindungi dari panas dan debu dari luar serta menjaga kerahasiaan (privacy) penghuninya; (5) langit-langit untuk menahan
15
dan menyerap panas terik matahari minimum 2,4 m. dari lantai, bisa dari bahan papan anyaman bambu, tripleks atau gipsum serta (6) atap rumah yang berfungsi sebagai penahan panas sinar matahari serta melindungi masuknya debu, angin dan air hujan. Johan Silas (2002) menyebutkan bawah sebuah rumah disebut layak huni bila ada keterpaduan yang serasi antara: (1) perkembangan rumah dan penghuninya, artinya rumah bukan hasil akhir yang tetap tetapi proses yang berkembang, (2) rumah dan lingkungan (alam) sekitarnya, artinya lingkungan rumah dan lingkungan sekitarnya terjaga selalu baik, (3) perkembangan rumah dan perkembangan kota, artinya kota yang dituntut makin global dan urbanized memberi manfaat positif bagi kemajuan warga kota di rumah masing-masing, (4) perkembangan antar kelompok warga dengan standar layak sesuai keadaan dan tuntutan masing-masing kelompok, artinya tiap kelompok warga punya kesempatan sama untuk berkembang sesuai dengan tuntutan yang ditetapkan sendiri. (5) standar fisik dan dukungan untuk maju bagi penghuni, artinya standar fisik rumah tidak sepenting dan menentukan seperti peningkatan produktivitas yang diberikannya terhadap mobilitas penghuninya. Kaidah perancangan rumah layak huni menurut Johan Silas (2002) perlu memperhatikan hal-hal: (1) Terdapat fleksibilitas penataan ruang, terutama bagi masyarakat berpenghasilan rendah, sehingga rumah tidak harus selalu disekat-sekat dan terbuka peluang penggunaan ganda dan over lapping, (2) Memilih bahan bangunan yang mudah diperoleh setempat dan sudah akrab dipakai oleh warga dengan kesulitan konstruksi yang mudah diatasi oleh keahlian setempat, (3) Penataan ruang yang dilakukan fleksibel dan multi guna serta tidak terkotak-kotak kecil berguna untuk menjamin kedinamisan gerak dan berbagai aktivitas lain dari penghuni serta untuk memberi keleluasaan aliran udara dan cahaya tinggi. Selanjutnya pola penataan ruang yang terbuka ini juga akan memberi kesan luas sehingga tercapai rasa psikologis yang melegakan penghuni guna merangsang produktivitas kehidupan yang tinggi. (4) Tampilan bangunan harus serasi dengan tampilan bangunan yang lazim berlaku di sekitarnya. Prinsip bangunan tropis dengan teritis yang lebar, teduh, dan angin mudah lewat serta tidak tempias oleh terpaan hujan lebat merupakan dasar yang harus diperhatikan secara sungguh-sungguh. Perlu pula memberi muatan lokal yang diambil dari prinsip dan unsur arsitektur tradisional setempat.
16
Permukiman sehat/layak huni Menurut Komisi WHO Mengenai Kesehatan dan Lingkungan (2001), permukiman atau perumahan yang sehat adalah konsep dari perumahan sebagai faktor yang dapat meningkatkan standar kesehatan penghuninya. Konsep tersebut melibatkan pendekatan sosiologis dan teknis pengelolaan faktor resiko dan berorientasi pada lokasi bangunan, kualifikasi, adaptasi, manajemen, penggunaan dan pemeliharaan rumah dan lingkungan di sekitarnya, serta mencakup unsur-unsur apakah permukiman/perumahan tersebut memiliki penyediaan air minum dan sarana yang memadai untuk memasak, mencuci, menyimpan makanan, serta pembuangan kotoran manusia maupun limbah lainnya. Johan Silas (2002) menyebutkan kaidah perencanaan kawasan perumahan dan permukiman yang layak perlu memperhatikan dan mempertimbangkan hal-hal berikut: (1) penggunaan lahan yang efektif dan efisien dan terkait dengan kegiatan ekonomi dalam arti luas, (2) orientasi bangunan/gedung perlu memperhatikan arah angin di samping posisi dan pergerakan matahari. Jalan dan lorong terutama disearahkan dengan aliran angin sebagai koridor angin yang menjaga kesejukan lingkungan, (3) jalan mobil hanya disediakan sebatas kebutuhan nyata untuk keamanan dan keadaan darurat. Parkir mobil sebaiknya terpusat sehingga jalan/lorong dijadikan sebagai taman komunal, (4) tersedia fasilitas perumahan yang diadakan dan diselenggarakan secara komunal, termasuk ruang terbuka hijau serta rekreasi memakai akses utama melalui berjalan kaki dari perumahan yang ada. Sistem sarana dan prasarana harus terkait dengan sistem kota yang lebih besar. Prasarana lingkungan permukiman adalah kelengkapan dasar fisik lingkungan yang memungkinkan lingkungan permukiman dapat berfungsi sebagaimana mestinya. Prasarana utama meliputi jaringan jalan, jaringan air hujan, jaringan pengadaan air bersih, jaringan listrik, telepon, gas dan sebagainya. Sarana lingkungan permukiman adalah fasilitas penunjang yang berfungsi untuk penyelenggaraan dan pengembangan kehidupan ekonomi, sosial dan budaya. Contoh sarana lingkungan permukiman adalah fasilitas pusat perbelanjaan, pelayanan umum, pendidikan dan kesehatan, tempat peribadatan, rekreasi dan olahraga, pertamanan, pemakaman. Menurut Sastra (2006) kata permukiman merupakan sebuah istilah yang tidak hanya berasal dari satu kata saja. Permukiman terdiri atas dua kata yang mempunyai
17
arti yang berbeda, yaitu: (1) Isi yang menunjuk kepada manusia sebagai penghuni maupun masyarakat di lingkungan sekitarnya dan (2) Wadah yang menunjuk pada fisik hunian terdiri dari alam dan elemen-elemen buatan manusia. Kesatuan antara manusia sebagai penghuni (isi) dengan lingkungan hunian membentuk suatu komunitas yang secara bersamaan membentuk permukiman. Menurut Sastra (2005), elemen permukiman terdiri dari beberapa unsur yaitu alam, manusia, masyarakat, bangunan/ rumah, dan jaringan/networks.
Alam. Alam disini meliputi kondisi geologi, topografi, tanah, air, tetumbuhan, hewan dan iklim
Manusia. Di dalam satu wilayah permukiman, manusia merupakan pelaku utama kehidupan di samping makhluk hidup lain seperti hewan, tumbuhan dan lainnya. Sebagai
makhluk yang paling
sempurna dalam kehidupannya
manusia
membutuhkan berbagai hal yang dapat menunjang kelangsungan hidupnya, baik itu kebutuhan biologis (ruang, udara, temperatur dan lain-lain), perasaan dan persepsi, kebutuhan emosional serta kebutuhan akan nilai-nilai moral.
Masyarakat. Masyarakat merupakan kesatuan sekelompok orang (keluarga) dalam suatu permukiman yang membentuk suatu komunitas tertentu. Hal-hal yang berkaitan dengan permasalahan yang terjadi di dalam masyarakat yang mendiami suatu wilayah permukiman adalah: (1) Kepadatan dan komposisi penduduk, (2) Kelompok sosial, (3) Adat dan kebudayaan, (4) Pengembangan ekonomi, (5) Pendidikan, (6) Kesehatan dan (7) Hukum dan administrasi
Bangunan/Rumah. Bangunan (rumah) merupakan wadah bagi manusia (keluarga). Oleh karena itu dalam perencanaan dan pengembangannya perlu mendapatkan perhatian khusus agar sesuai dengan rencana kegiatan yang berlangsung di tempat tersebut. Pada prinsipnya bangunan yang bisa digunakan sepanjang operasional kehidupan manusia bisa dikategorikan sesuai dengan fungsi masing-masing yaitu: (1) Rumah pelayanan masyarakat (misalnya sekolah, rumah sakit, dan lain-lain), (2) Fasilitas rekreasi (fasilitas hiburan), (3) Pusat perbelanjaan (perdagangan) dan pemerintahan, (4) Industri dan (5) Pusat transportasi
Jaringan/Networks. Jaringan atau Networks merupakan sistem buatan maupun alam yang menyediakan fasilitas untuk operasional suatu wilayah permukiman. Untuk sistem buatan, tingkat pemenuhannya bersifat relatif, di mana antara
18
wilayah permukiman yang satu dengan yang lain tidak harus sama. Sebagai contoh di daerah pegungunan air bersih dapat dengan mudah diperoleh sehingga tidak membutuhkan jaringan air bersih. Di perkotaan, jaringan air bersih mutlak diperlukan karena air dari sumur biasanya sudah tercemar limbah. Sistem buatan yang keberadaannya diperlukan di dalam wilayah permukiman antara lain adalah: (1) Sistem jaringan air bersih, (2) Sistem jaringan listrik, (3) Sistem transportasi, (4) Sistem komunikasi, (5) Drainase dan air kotor dan (6) Tata letak fisik. Di dalam membuat perencanaan suatu permukiman dibutuhkan berbagai kajian yang tidak hanya terhadap faktor fisik saja, tetapi juga harus mempertimbangkan faktor manusia sebagai pelaku kehidupan yang utama. Karena esensi permukiman meliputi manusia serta tempatnya maka perlu untuk memahami hubungan antara elemen-elemen permukiman dengan manusia yang saling mempengaruhi keberadaan satu dengan lainnya. Dari pembahasan tersebut dapat disimpulkan bahwa untuk merencanakan pengembangan sebuah permukiman diperlukan pemahaman terhadap elemen-elemen pendukung permukiman tersebut yaitu:
Pemahaman atas hubungan antara alam sebagai media untuk berlangsungnya operasional permukiman tersebut, manusia sebagai pelaku utama dalam kehidupan dan masyarakat sebagai sekumpulan komunitas keluarga serta rumah sebagai tempat tinggal maupun jaringan sebagai sistem buatan yang menunjang operasional berlangsungnya kehidupan
Realitas hubungan. Alam sebagai wadah Æ ada manusia Æ membentuk kelompok sosial yang berfungsi sebagai masyarakat. Kelompok sosial membutuhkan perlindungan Æ membuat bangunan Æ menjadi lingkungan besar dan kompleks Æ terbentuk jaringan/networks Æ terbentuk permukiman (human settlements) Kebutuhan Akan Rumah Rumah sebagai salah satu kebutuhan dasar merupakan pengejawantahan dari
manusia baik sebagai pribadi maupun sebagai kesatuan dengan sesama dan lingkungannya. Dalam hubungan ini alam merupakan tempat berada dan sekaligus sarana yang menghidupi dan menyediakan bahan-bahan yang dibutuhkan untuk kelestarian dan pengembangan diri manusia yang bukan saja secara fisik dilengkapi tetapi juga secara rohani dikembangkan dan dibentuk menjadi insan berkepribadian.
19
Kebutuhan (need) akan rumah merupakan kebutuhan pokok yang bersifat objektif. Berdasarkan hal ini maka rumah dipandang sebagai produk yang diperlukan semua orang dalam upaya melangsungkan kehidupannya. Produk rumah di sini apabila dilihat dalam skala kebutuhan menurut Maslow merupakan kebutuhan yang paling dasar terkait dengan perlindungan biologis. Perasaan membutuhkan (felt need) menunjukkan kebutuhan akan rumah. Adanya perasaan seperti ini menunjukkan adanya peningkatan dalam kebutuhan akan rumah/permukiman atau peningkatan kualitas rumah lebih dari yang saat ini telah ditempati sehingga tingkat kebutuhannya bukan lagi sebagai kebutuhan dasar saja namun sudah mulai meningkat kepada kebutuhan yang lebih tinggi, misalnya rumah sebagai sarana aktualisasi diri, atau bahkan sebagai obyek investasi. Kebutuhan dan pemuasan untuk mengekspresi pribadi ini oleh psikolog Abraham Maslow diuraikan menjadi lima tahapan yang disebut hirarki dari kebutuhan manusia (hierarchy of human need’s). Budihardjo (1998) dengan mengacu pada hirarki kebutuhan manusia menurut Maslow menggolongkan tingkatan kebutuhan akan rumah berdasar kategori: (1) rumah memberikan perlindungan terhadap gangguan alam dan binatang, berfungsi sebagai tempat istirahat, tidur, dan pemenuhan fungsi badani; (2) rumah harus bisa menciptakan rasa aman sebagai tempat menjalankan kegiatan ritual, penyimpanan harta milik yang berharga, menjamin hak pribadi; (3) dalam hal kebutuhan sosial, rumah memberikan peluang untuk interaksi dan aktivitas komunikasi yang akrab dengan lingkungan sekitar: teman, tetangga, keluarga; (4) rumah memberikan peluang untuk tumbuhnya harga diri; (5) rumah untuk kebutuhan aktualisasi diri yang diejawantahkan dalam bentuk pewadahan aktivitas dan pemberian makna bagi kehidupan yang mempribadi dimana rumah tidak lagi cukup sebagai tempat untuk hidup tetapi sudah harus menyumbang pengembangan pribadi bagi penghuninya. Menurut Sastra (2006) dengan mengacu pada hirarki kebutuhan manusia menurut Maslow penggolongkan tingkat kebutuhan manusia terhadap hunian adalah: 1. Survival needs or Psycologial needs Tingkat kebutuhan ini merupakan kebutuhan dasar yang harus dipenuhi pertama kali. Rumah merupakan sarana menunjang keselamatan hidup manusia, agar dapat selamat dan tetap hidup, terlindung dari gangguan iklim dan makhluk hidup lain.
20
2. Safety and Security Needs Kebutuhan terhadap keselamatan dan keamanan yang ada pada tingkat berikutnya ini terkait dengan keselamatan dari kecelakaan anggota badan serta hak milik. 3. Social Needs or Affiliation Needs Pada tingkatan ini hunian merupakan sarana agar dapat diakui sebagai anggota dalam golongan tertentu. Hunian di sini berperan sebagai identitas seseorang untuk diakui dalam golongan masyarakat. 4. Self Esteem Needs Kebutuhan berikutnya terkait dengan aspek psikologis. Manusia butuh dihargai dan diakui eksistensinya. Terkait dengan hal ini hunian merupakan sarana untuk mendapatkan pengakuan atas jati dirinya dari masyarakat dan lingkungan sekitarnya. Pada tingkatan ini, rumah sudah bukan tergolong kebutuhan primer lagi, tetapi sudah meningkat kepada kebutuhan yang lebih tinggi yang harus dipenuhi setelah kebutuhan pokok terpenuhi. Misalnya rumah mewah dan bagus dapat memberikan kebanggaan dan kepuasaan kepada pemiliknya 5. Self actualization needs Tingkatan yang paling tinggi dari kebutuhan manusia ini terkait dengan aspek psikologis seperti halnya esteem need. Hanya saja pada tingkat ini hunian tidak saja merupakan sarana peningkatan kebanggaan dan harga diri tetapi juga agar dapat dinikmati (misalnya dinikmati secara visual) pada lingkungan sekitarnya. Dilihat dari tingkatan ini tuntutan masyarakat akan hunian antara masyarakat berpenghasilan rendah dengan yang lebih mampu secara finansial berbeda. Pada masyarakat menengah ke atas tingkat kebutuhan terhadap hunian berada pada tingkat 3 ke atas yang berbeda dengan kebutuhan masyarakat berpenghasilan rendah yang masih berada pada tingkat 1, 2 atau 3. Perumahan bagi masyarakat berpenghasilan rendah Di kota warga yang paling tidak terpenuhi kebutuhan fasilitas perumahan dan pemukimannya adalah mereka yang berpenghasilan rendah yang tidak mampu mengeluarkan biaya bagi pengembangan/pemeliharaan rumah dan pemukimannya agar layak huni sehingga mereka hanya mampu mengakses rumah dan permukiman kampung kota. Semakin kecil bagian penghasilan yang dapat disisihkan guna pembiayaan rumah dan fasilitas permukiman, semakin kumuh kondisinya.
21
Clarence Schubert (1979) seperti dikutip oleh Budihardjo (1998), menyatakan bahwa sepertiga dari penduduk kota besar di kawasan Asia termasuk Indonesia, tergolong dalam kelompok masyarakat berpenghasilan rendah yang hidup di lingkungan permukiman ‘marginal’. Kelompok ini tumbuh kurang lebih dua kali lebih besar dari tingkat pertumbuhan penduduk kota dan empat kali tingkat pertumbuhan penduduk secara keseluruhan. Pertumbuhan permukiman kampung kota sebagai salah satu wujud permukiman marginal akan tumbuh membengkak di masa mendatang. Menurut Jo Santoso (2002) bagi masyarakat berpenghasilan rendah, rumah harus memenuhi syarat sebagai berikut:
lokasi harus dekat dengan tempat kerja atau di tempat yang berpeluang untuk mendapatkan pekerjaan, minimal pekerjaan di sektor informal
kualitas fisik hunian dan lingkungan tidak penting sejauh mereka masih memungkinkan untuk menyelenggarakan kehidupan mereka
hak-hak penguasaan atas tanah dan bangunan, khususnya hak milik tidak penting, yang penting bagi mereka adalah tidak diusir atau digusur Selanjutnya Santoso (2002) mengatakan bahwa rumah bagi masyarakat
berpenghasilan rendah merupakan hasil dari suatu proses keputusan yang mempertimbangkan berbagai kebutuhan, kepentingan, kemampuan dan keterbatasan, pribadi dan lingkungan (sosial, ekonomi, dan fisik). Rumah bukanlah soal membangun tetapi rumah adalah persoalan mengelola kehidupan di mana berbagai kebutuhan, kepentingan, kemampuan dan kelemahan dioptimalkan terhadap sumber daya yang serba terbatas yang dimiliki pribadi dan peluang yang disediakan oleh lingkungan. Proses ini tidak hanya terjadi di satu rumah tangga tetapi melibatkan seluruh lingkungan yang membentuk nilai sosial rumah dan permukiman. Drakakis Smith (1978) seperti dikutip Budihardjo (1998) mengajukan pokokpokok pikiran tentang hubungan antara prioritas perumahan dengan tingkat penghasilan masyarakat di negara berkembang. Masyarakat berpenghasilan rendah menempatkan pemilihan lokasi dekat lapangan kerja sebagai prioritas utama, kemudian menyusul kejelasan status pemilikan dan terakhir penyediaan fasilitas sosial dan kenyamanan. Untuk kelompok atas, urutan prioritasnya adalah kebalikannya, dimana kenyamanan dan ketersediaan fasilitas sosial menduduki prioritas utama, kemudian baru status kepemilikan, dan terakhir lokasi dekat lapangan kerja.
22
FASILITAS SOSIAL & KENYAMANAN
PRIORITAS
STATUS KEPEMILIKAN LOKASI DEKAT TEMPAT KERJA PENGHASILAN
Gambar 1
Prioritas perumahan
Dalam kaitan dengan perumahan untuk masyarakat berpenghasilan rendah, FC Turner dalam bukunya Housing by People (1976) menyebut tiga aktor pembangunan perumahan yaitu pemerintah (public sector), swasta (private sector) dan masyarakat (popular/community sector). Namun untuk kasus di Indonesia, Eko Budihardjo (1998) mengusulkan kerangka pembangunan perumahan seperti dalam gambar berikut:
PEMBANGUNAN PERUMAHAN
SEKTOR FORMAL
SUMBER DAYA
PEMERINTAH Perumnas
AKTOR PEMBANGUNAN
SWASTA Real estate/ Developer
HIBRIDA
Yayasan Koperasi Instansi Org. Profesi
Menengah
9
9
9
Sedang
9
9
9
Rendah
9
Sangat rendah
Sumber: Budihardjo, 1998
Gambar 2
MASYARAKAT Masyarakat banyak
9
Atas SASARAN KELOMPOK PENGHASILAN
SEKTOR INFORMAL
Mass Housing
9
9
9
9
Small Scale Housing
Housing by the masses
Diagram Pembangunan Perumahan
Berkaitan dengan penelitian ini yang membahas tentang permukiman kampung kota yang mayoritas warga penghuninya berpenghasilan rendah, maka persepsi
23
tentang fungsi dan keberadaan rumah bagi mereka perlu dipahami dengan benar agar dapat memberikan solusi penanganan bagi peningkatan kualitas lingkungan permukiman kampung yang sesuai dengan kondisi masyarakatnya
Modal Sosial Konsep modal sosial pertama kali muncul pada tahun 1916, dalam tulisan Lyda Judson Hanifan yang berjudul The Rural School Community Centre. Dalam tulisan tersebut seperti dikutip Sabra (2003), Hanifan mengatakan bahwa modal sosial bukanlah modal dalam arti biasa seperti harta kekayaan atau uang, tetapi lebih mengandung arti kiasan. Namun demikian modal sosial ini merupakan aset atau modal nyata yang penting dalam kehidupan bermasyarakat. Selanjutnya dikatakan bahwa yang termasuk ke dalam modal sosial diantaranya adalah: kemauan baik, rasa bersahabat, saling simpati serta hubungan sosial dan kerjasama yang erat antara individu dan keluarga yang membentuk suatu kelompok sosial. Munculnya konsep modal sosial berawal dari pemikiran bahwa anggota masyarakat tidak mungkin mengatasi berbagai masalah yang dihadapinya secara sendiri-sendiri. Diperlukan kebersamaan dan kerjasama yang baik dari segenap anggota masyarakat yang berkepentingan untuk mengatasi masalah mereka. Konsep modal sosial terus berkembang dengan banyak variasi dan banyak tafsir terutama dengan munculnya kajian-kajian berharga dari Robert D. Putnam, Francis Fukuyama, James Coleman, Eva Cox, Cohen dan Prusak. Berikut adalah berbagai tafsiran dari para ahli tersebut tentang modal sosial: Tabel 1. Konsep Modal Sosial menurut beberapa ahli Eva Cox
Piere Bourdieu
Konsep Modal Sosial Suatu rangkaian proses hubungan antar manusia yang ditopang oleh jaringan, norma-norma dan kepercayaan sosial yang memungkinkan efisien dan efektifnya koordinasi dan kerjasama untuk kepentingan dan kebajikan bersama Merupakan wujud nyata dari suatu institusi kelompok yang merupakan jaringan koneksi yang bersifat dinamis dan bukan alami yang dapat menghasilkan hubungan sosial secara langsung dan tidak langsung dalam jangka pendek maupun jangka panjang. Hubungan ini dapat dilakukan dalam hubungan antar keluarga, tetangga, teman kerja, maupun masyarakat dalam arti luas. Modal sosial merupakan kumpulan sumber daya yang dimiliki setiap anggota dalam suatu kelompok yang digunakan secara bersamasama.
24
James Coleman
Francis Fukuyama Putnam
Cohen dan Prusak
Varian entitas terdiri dari beberapa struktur sosial yang memfasilitasi tindakan dari para pelakunya dalam bentuk personal atau korporasi dalam suatu struktur sosial. Struktur relasi dan jaringan inilah yang menciptakan berbagai ragam kewajiban sosial, menciptakan iklim saling percaya, membawa saluran informasi dan menetapkan norma-norma dan sangsi sosial bagi para anggotanya. Segala sesuatu yang membuat masyarakat bersekutu untuk mencapai tujuan bersama atas dasar kebersamaan dan didalamnya diikat oleh nilai-nilai dan norma-norma yang tumbuh dan dipatuhi. Kemampuan warga untuk mengatasi masalah publik dalam iklim demokratis. Modal sosial dapat berupa kepercayaan, norma dan jaringan kerja yang merupakan fasilitas bersama dan dapat dimanfaatkan oleh masyarakat secara luas. Stok dari hubungan yang aktif antar masyarakat yang diikat oleh kepercayaan (trust), kesaling pengertian (mutual understanding) dan nilai-nilai bersama (shared value) yang mengikat anggota kelompok untuk membuat kemungkinan aksi bersama dapat dilakukan secara efektif dan efisien.
Dari tabel di atas terlihat bahwa masing-masing tokoh yang mempopulerkan konsep modal sosial memiliki perbedaan penekanan terhadap unsur-unsur yang membentuknya. Namun demikian perbedaan tersebut intinya adalah konsep modal sosial yang memberikan penekakan pada kebersamaan masyarakat untuk mencapai tujuan memperbaiki kualitas kehidupan dan senantiasa melakukan perubahan dan penyesuaian secara terus menerus. Dalam proses perubahan dan upaya untuk mencapai tujuan, masyarakat senantiasa terikat pada nilai-nilai dan unsur yang merupakan ruh modal sosial seperti: sikap yang partisipatif, sikap yang saling memperhatikan, saling memberi dan menerima, saling percaya dan diperkuat oleh nilai-nilai dan norma yang mendukungnya. Unsur lain yang memegang peran penting dalam modal sosial adalah kemauan masyarakat atau kelompok untuk secara terus menerus proaktif baik dalam mempertahankan nilai, membentuk jaringan-jaringan kerjasama maupun dengan penciptaan kreasi dan ide-ide baru. Unsur-unsur Modal Sosial
Saling percaya antar warga (Trust) dan Relasi Mutual (Resiprocity) Trust atau perasaan saling percaya adalah suatu bentuk keinginan individu atau
kelompok untuk mengambil resiko dalam hubungan-hubungan sosialnya, yang didasari oleh perasaan yakin bahwa pihak yang lain akan melakukan sesuatu seperti yang diharapkan dan akan senantiasa bertindak dalam suatu pola tindakan yang saling mendukung, atau stidak-tidaknya pihak lain tidak akan bertindak merugikan diri dan
25
kelompoknya. Trust adalah sikap saling percaya di masyarakat yang memungkinkan masyarakat tersebut saling bersatu dengan yang lain dan memberikan kontribusi pada peningkatan modal sosial. Berbagai tindakan kolektif yang didasari atas rasa saling percaya yang tinggi, akan meningkatkan partisipasi masyarakat dalam berbagai ragam bentuk dan dimensi terutama dalam konteks membangun kemajuan bersama. Sebaliknya, kehancuran rasa saling percaya dalam masyarakat akan mengundang hadirnya berbagai problematik sosial yang serius. Masyarakat yang kurang memiliki perasaan saling percaya akan sulit menghindari berbagai situasi kerawanan sosial dan ekonomi yang mengancam. Semangat kolektifitas akan tenggelam dan partisipasi masyarakat untuk membangun bagi kepentingan kehidupan yang lebih baik akan hilang. Lambat laun akan mendatangkan biaya tinggi bagi pembangunan karena masyarakat cenderung bersikap apatis dan hanya menunggu apa yang akan diberikan pemerintah. Jika rasa saling percaya telah luntur, maka yang akan terjadi adalah sikap-sikap yang menyimpang dari nilai dan norma yang berlaku. Kriminalitas akan meningkat, tindakan-tindakan destruktif dan anarkis mudah mencuat, kekerasan dan kerusuhan massa akan cepat tersulut, masyarakat cenderung pasif, mementingkan diri sendiri, dan pada akhirnya muncul perasaan terisolasi dan alienasi diri. Pada situasi yang disebut terakhir ini, masyarakat akan mudah terkena berbagai penyakit kejiwaan seperti kecemasan, sikap putus asa yang memungkinkan melahirkan tindakan-tindakan yang negatif baik bagi dirinya, masyarakat, maupun negara. Pada tingkat berikutnya, kepercayaanlah yang menumbuhkan relasi mutual (resiprokal/resiprositas), yang merupakan kecenderungan saling tukar kebaikan antar individu dalam suatu kelompok atau antar kelompok itu sendiri. Pola pertukaran ini bukanlah sesuatu yang dilakukan secara resiprokal seketika seperti dalam proses jual beli, melainkan suatu kombinasi jangka pendek dan jangka panjang dalam nuansa altruism (semangat untuk membantu dan mementingkan kepentingan orang lain). Sesesorang atau banyak orang dari suatu kelompok memiliki semangat membantu yang lain tanpa mengharapkan imbalan seketika. Pada masyarakat dan pada kelompok sosial yang terbentuk, yang di dalamnya memiliki bobot resiprositas kuat akan melahirkan masyarakat yang memiliki tingkat modal sosial yang tinggi. Hal ini terrefleksikan dalam tingkat kepedulian sosial yang
26
tinggi untuk saling membantu. Pada masyarakat yang demikian, jika terdapat kemiskinan, maka akan lebih mudah diatasi. Keuntungan lain, masyarakat tersebut akan lebih mudah mambangun diri, kelompok, serta lingkungan sosial dan fisiknya.
Norma-norma dan Nilai Sosial. Norma sosial adalah sekumpulan aturan yang diharapkan, dipatuhi, dan diikuti
oleh anggota masyarakat pada suatu entitas sosial tertentu. Norma-norma sosial sangat berperan dalam mengontrol bentuk-bentuk prilaku yang tumbuh dalam masyarakat. Norma-norma ini biasanya terinstusionalisasi dan mengandung sanksi sosial yang dapat mencegah individu berbuat sesuatu yang menyimpang dari kebiasaan yang berlaku di masyarakatnya. Aturan-aturan kolektif tersebut biasanya tidak tertulis tapi dipahami oleh setiap anggota masyarakatnya dan menentukan pola tingkah laku yang diharapkan dalam konteks hubungan sosial. Aturan-aturan kolektif ini misalnya, bagaimana cara menghormati orang yang lebih tua, menghormati pendapat orang lain, norma untuk hidup sehat, norma untuk tidak mencurangi orang lain, norma untuk selalu bersama-sama dan sejenisnya, merupakan contoh-contoh norma sosial. Jika di dalam suatu komunitas, asosiasi, kelompok atau grup, norma tersebut tumbuh, dipertahankan dan kuat akan memperkuat masyarakat itu sendiri. Itulah alasan rasional mengapa norma merupakan salah satu unsur modal sosial yang akan merangsang berlangsungnya kohesifitas sosial yang hidup dan kuat. Nilai sosial adalah sesuatu ide yang telah turun temurun dianggap benar dan penting oleh anggota kelompok masyarakat. Misalnya, nilai harmoni, prestasi, kerja keras, kompetisi dan lainnya merupakan contoh-contoh nilai yang sangat umun dikenal dalam kehidupan masyarakat. Nilai senantiasa memiliki kandungan konsekuensi yang ambivalen. Nilai harmoni misalnya, yang oleh banyak pihak dianggap sebagai pemicu keindahan dan kerukunan hubungan sosial yang tercipta, tetapi di sisi lain dipercaya pula untuk senantiasa menghasilkan suatu kenyataan yang menghalangi kompetisi dan produktifitas. Pada kelompok masyarakat yang mengutamakan nilai-nilai harmoni biasanya akan senantiasa ditandai oleh suatu suasana yang rukun, indah, namun, terutama dalam kaitannya dengan diskusi pemecahan masalah terkdadang menjadi tidak produktif. Modal sosial yang kuat juga sangat ditentukan oleh konfigurasi nilai yang tercipta
27
pada suatu kelompok masyarakat. Jika suatu masyarakat memberi bobot tinggi pada nilai-nilai kompetisi, pencapaian, keterusterangan dan kejujuran maka masyarakat tersebut cenderung jauh lebih cepat berkembang dan maju dibandingkan pada kelompok masyarakat yang senantiasa menghindari keterusterangan, kompetisi dan pencapaian. Nilai senantiasa berperan penting dalam kehidupan manusia. Pada setiap kebudayaan, biasanya terdapat nilai-nilai tertentu yang mendominasi ide yang berkembang. Dominasi ide tertentu dalam masyarakat akan membentuk dan mempengaruhi aturan-aturan bertindak masyarakatnya (the rules of conduct) dan aturan-aturan bertingkah laku (the rules of behavior) yang secara bersama-sama, menurut istilah sosiologi, membentuk pola-pola kultural (cultural pattern).
Partisipasi dalam suatu jaringan dan sikap proaktif Partisipasi sosial adalah keterlibatan anggota komunitas dalam jaringan
sosialnya. Fakta memperlihatkan bahwa modal sosial tidak dibangun hanya oleh satu individu, melainkan terletak pada kecenderungan yang tumbuh dalam suatu kelompok untuk bersosialisasi sebagai bagian penting dari nilai-nilai yang melekat. Kekuatan modal sosial bergantung pada kapasitas yang ada dalam kelompok masyarakat untuk membangun sejumlah asosiasi berikut jaringannya. Karena itu, salah satu kunci keberhasilan membangun modal sosial terletak pada kemampuan dan partisipasi sekelompok orang dalam suatu jaringan hubungan sosial. Masyarakat selalu berhubungan sosial dengan masyarakat lain melalui berbagai variasi hubungan yang saling berdampingan dan dilakukan atas prinsip kesukarelaan (voluntary), kesamaan (equality), kebebasan (freedom), dan keadaban (civility). Kemampuan anggota kelompok/masyarakat untuk selalu menyatukan diri dalam suatu pola hubungan yang sinergetis, akan memberi pengaruh besar dalam menentukan kuat tidaknya modal sosial suatu kelompok. Jaringan hubungan sosial biasanya akan diwarnai oleh suatu tipologi khas yang sejalan dengan karakteristik dan orientasi kelompok. Pada kelompok sosial yang biasanya terbentuk secara tradisional atas dasar kesamaan garis keturunan (lineage), pengalaman-pengalaman sosial turun temurun (repeated social experiences), dan kesamaan kepercayaan pada dimensi ketuhanan (religious beliefs), cenderung memiliki kohesifitas tinggi tetapi dengan rentang jaringan maupun kepercayaan (trust)
28
yang terbangun sangat sempit . Sebaliknya, pada kelompok yang dibangun atas dasar kesamaan orientasi dan tujuan dan dengan ciri pengelolaan organisasi lebih modern, akan memiliki tingkat partisipasi anggota yang lebih baik dan memiliki rentang jaringan yang lebih luas. Pada tipologi kelompok yang disebut terakhir akan lebih banyak menghadirkan dampak positif baik bagi kemajuan kelompok maupun kontribusinya pada pembangunan masyarakat secara luas. Sikap Proaktif adalah sikap yang ditampilkan oleh individu anggota komunitas untuk selalu terlibat dengan ide-ide baru pemecahan masalah dalam partisipasi sosial mereka.
Salah satu unsur penting modal sosial adalah keinginan yang kuat dari
anggota kelompok untuk tidak saja berpartisipasi tetapi senantiasa mencari jalan bagi keterlibatan mereka dalam suatu kegiatan masyarakat. Premisnya, bahwa seseorang atau kelompok yang senantiasa kreatif, aktif, dan sekaligus peduli,
cenderung
melibatkan diri dan secara bersama-sama mencari kesempatan-kesempatan yang dapat memperkaya, tidak saja dari sisi material tetapi juga kekayaan hubungan-hubungan sosial, yang menguntungkan kelompok dan tanpa merugikan orang lain, Mereka cenderung tidak menyukai bantuan yang sifatnya dilayani, melainkan lebih memberi pilihan untuk lebih banyak melayani secara proaktif. Prilaku proaktif yang memiliki kandungan modal sosial dapat dilihat melalui tindakan-tindakan dari yang paling sederhana sampai yang berdimensi dalam dan luas. Suatu masyarakat yang terbiasa proaktif untuk memungut sampah yang berserakan di ruang-ruang publik, membersihkan lingkungan tempat tinggal, melakukan inisiatif untuk menjaga keamanan bersama, merupakan bentuk tindakan yang didalamnya terkandung semangat keaktifan dan kepedulian. Begitu pula dengan inisiatif untuk mengunjungi keluarga, teman, mencari informasi yang memperkaya ide, pengetahuan dan beragam bentuk inisiatif individu yang kemudian menjadi inisiatif kelompok, merupakan wujud proaktivitas yang bernuansa modal sosial. Partisipasi Masyarakat dalam Peningkatan kualitas permukiman Surbakti (1984) mengemukakan bahwa konsep partisipasi sebagai ikut ambil bagian dalam menemukan hal-hal yang menyangkut atau mempengaruhi hidupnya. Asumsi dasar konsep ini adalah, pertama, seorang lebih mengenal dunianya sendiri daripada orang lain, seseorang lebih tahu apa yang baik bagi dirinya daripada orang lain. Kedua, seseorang berhak ikut serta menentukan hal-hal yang akan mempengaruhi
29
hidupnya dalam masyarakat. Ini berarti warga masyarakat sendirilah yang harus merumuskan program-program yang mereka pandang baik untuk mereka. Hal ini juga berarti bahwa warga masyarakat akan merupakan subyek pembangunan, setidaktidaknya pada tingkat terbawah masyarakat. Oleh karena itu partisipasi bisa berfungsi ganda, yaitu sebagai: 1) alat untuk menyelenggarakan pembangunan, dan 2) tujuan pembangunan itu sendiri. Slamet (2003) mengatakan bahwa konsep partisipasi masyarakat dalam pembangunan dirumuskan sebagai ikut sertanya masyarakat dalam pembangunan, ikut dalam kegiatan-kegitan pembangunan, dan ikut serta memanfaatkan dan menikmati hasil-hasil pembangunan. Hal ini bersesuaian dengan rumusan partisipasi yang dikemukakan oleh Rogers, yang mengatakan bahwa partisipasi adalah tingkat keterlibatan anggota sistem sosial dalam proses pengambilan keputusan. Tetapi bila dicermati, partisipasi tidak terbatas hanya keterlibatan dalam mengambil keputusan. Namun pengetiannya lebih luas, meliputi proses perencanaan, pengambilan keputusan, pelaksanaan, evaluasi serta menikmati hasil pembangunan itu sendiri. Korten (1998) mengatakan bahwa partisipasi adalah suatu tindakan yang mendasar untuk bekerjasama. Kerjasama tersebut memerlukan waktu dan usaha agar menjadi mantap dan hanya bisa berhasil baik dan terus menerus maju bila ada kepercaaan bersama. Kepercayaan tidak datang dengan gampang karena erat kaitannya dengan latar belakang individu masing-masing. Sastropoetro (1988) menyebutkan beberapa unsur partisipasi sebagai: 1. Kepercayaan diri masyarakat 2. Adanya solidaritas dan integritas sosial dari masyarakat 3. Tanggung jawab sosial dan komitmen masyarakat 4. Kemauan dan kemampuan untuk mengubah atau memperbaiki keadaan dan membangun atas dasar kekuatan sendiri 5. Peranan dari pemimpin formal maupun non formal dalam menggerakkan masayarakat 6. Prakarsa masyarakat atau perorangan dijadikan milik bersama 7. Adanya kepekaan dan tanggapan masyarakat terhadap masalah, kebutuhan dan kepentingan bersama, adanya musyawarah untuk mufakat dan menolong diri sendiri (self help).
30
Dari uraian tentang partisipasi yang dikemukakan oleh beberapa pakar seperti tersebut di atas dapat dikemukakan hal-hal penting yang merupakan eksistensi suatu partisipasi yaitu: (1) Adanya keterlibatan mental dan emosional dari seseorang yang berpartisipasi. (2) Adanya kesediaan dari seseorang untuk memberi konstribusi. (3) Suatu partisipasi menyangkut kegiatan-kegiatan dalam suatu kehidupan kelompok atau suatu komunitas dalam masyarakat. (4) Partisipasi diikuti oleh adanya rasa tanggung jawab terhadap aktivitas yang dilakukan seseorang Pentingnya Partisipasi Masyarakat dan Jenis Partisipasi Masyarakat Menurut White (Sastropoetro, 1988) terdapat 10 alasan yang menjadikan partisipasi masyarakat menjadi penting yaitu: (1) hasil kerja yang dicapai lebih banyak, (2) pelayanan dapat diberikan lebih murah, (3) katalisator untuk pembangunan selanjutnya, (4) menimbulkan rasa tanggung jawab, (5) menjamin terlibatnya masyarakat sesuai kebutuhan, (6) menghimpun dan memanfaatkan berbagai pengetahuan masyarakat, (8) membebaskan orang dari ketergantungan kepada keahlian orang lain, (9) memiliki nilai dasar yang sangat berarti untuk peserta karena menyangkut harga dirinya (10) menyadarkan masyarakat akan penyebab kemiskinan sehingga menimbulkan kesadaran untuk mengatasinya. Slamet (2003) menggolongkan partisipasi ke dalam 5 jenis yaitu: 1. Ikut memberi input proses pembangunan, menerima imbalan atas input tersebut dan ikut menikmati hasilnya. 2. Ikut memberi input dan menikmati hasilnya 3. Ikut memberi input dan menerima imbalan tanpa ikut menikmati hasil pembangunan secara langsung 4. Menikmati/memanfaatkan hasil pembangunan tanpa ikut memberi input 5. Memberi input tanpa menerima imbalan dan tidak menikmati hasilnya. Partisipasi meliputi proses perencanaan, pengambilan keputusan, pelaksanaan, evaluasi serta menikmati hasil pembangunan itu sendiri. Sehingga ada empat tahap partisipasi yang meliputi : 1. tahap penumbuhan ide untuk membangun dan perencanaan, 2. tahap pengambilan keputusan,
31
3. tahap pelaksanaan dan evaluasi 4. tahap pembagian keuntungan ekonomis atau benefit ceries : Tahap pertama: Jika program atau ide dan prakarsa untuk membangun tumbuh dari kesadaran masyaraat sendiri atau karena didorong oleh tuntutan situasi dan kondisi yang menghimpitnya saat itu dan bukan diturunkan dari atas, maka peran serta aktif masyarakat akan lebih baik. Dan jika dalam proses perencanaannya masyarakat ikut dilibatkan maka dipastikan seluruh anggota masyarakat merasa dihargai sebagai manusia yang memiliki potensi atau kemampuan sehingga mereka lebih mudah berperan serta aktif dalam melaksanakan dan melestarikan program pembangunan. Tahap Kedua: Setiap orang merasa dihargai jika diajak berkompromi, memberikan pemikiran dalam membuat keputusan. Keikutsertaan anggota dalam pengambilan keputusan secara psikososial telah memaksa mereka untuk turut bertanggung jawab dalam melaksanakan pembangunan. Tahap Ketiga: Masyarakat harus dilibatkan dalam pelaksanaan pembangunan. Tujuannya adalah (1) agar masyarakat dapat mengetahui dengan baik cara-cara melaksanakan
program
sehingga
nanti
dapat
mandiri
melanjutkan
dan
meningkatkannya; (2) menghilangkan kebergantungan masyarakat terhadap pihak luar. Masyarakat juga diikutkan dalam pengevaluasian agar mampu menilai dirinya sendiri, dengan mengungkapkan apa yang dilihat dan diketahui, apa saja kelebihan dan kekurangan, manfaat, hambatan, faktor pelancar dalam operasionalisasi program. Tahap keempat. Ditekankan pada pemanfaatan program pembangunan yang diberikan secara merata kepada seluruh anggota masyarakat. Bukan hanya untuk sebagian besar atau segelintir orang tertentu saja. Penerapan keempat tahap ini tidak mudah karena keterbatasan pengetahuan dan keterampilan masyarakat dalam perencanaan, pengambilan keputusan, evaluasi dan menghitung manfaat secara ekonomis. Jenis-jenis partisipasi yang dikemukakan terdahulu dapat dikelompokkan dalam tahap perencanaan, pelaksanaan dan pengelolaan. Pada tahap perencanaan, partisipasi diwujudkan dalam bentuk mengikuti rapat, mengajukan usul, menyepakati dan mengambil keputusan serta menyebarluaskan hasil rapat/keputusan kepada warga masyarakat lain. Pada tahap pelaksanaan, partisipasi diwujudkan dalam bentuk pelibatan sebagai tenaga kerja baik sebagai mandor maupun buruh bangunan,
32
mengawasi pekerjaan termasuk memberikan kritik untuk meluruskan pekerjaan, serta memberikan bantuan lain (uang, makanan/minuman, peralatan dan lahan). Sedangkan pada tahap pengelolaan, partisipasi diwujudkan dalam mengikuti kegiatan serta memberi iuran pemeliharaan prasarana dan sarana lingkungan. Ciri-ciri Partisipasi dan Syarat terwujudnya partisipasi masyarakat Partisipasi masyarakat selalu memiliki ciri-ciri sebagai berikut: •
Bersifat proaktif dan bukan reaktif, artinya masyarakat ikut menalar baru bertindak
•
Ada kesepakatan yang dilakukan oleh semua pihak yang terlibat
•
Ada tindakan yang mengisi kesepakatan tersebut
•
Ada pembagian wewenang dan tanggung jawab dalam kedudukan yang setara. Menurut Slamet (2003) syarat agar masyarakat dapat berpartisipasi dalam
pembangunan adalah: 1) adanya kesempatan untuk membangun, 2) adanya kemampuan untuk memanfaatkan kesempatan yang ada, dan 3) adanya kemauan untuk berpartisipasi. Selanjutnya dikatakan bahwa kesempatan untuk mampu berpartisipasi meningkatan kualitas hidup itu dapat bermacam-macam bentuknya, antara lain adanya sumber daya alam yang dapat dikembangkan, adanya pasaran yang terbuka (prospek untuk mengembangkan sesuatu), tersedianya modal (uang, kredit), tersedianya sarana/prasarana, terbukanya lapangan kerja pembangunan dan lain lain. Sedangkan kemampuan memanfaatkan kesempatan adalah pengertian, pengetahuan, keterampilan, sikap mental yang menunjang dan kesehatan tubuh yang memadai. Agar partisipasi masyarakat dapat meningkat, maka kesempatan, kemampuan dan kemauan untuk berpartisipasi dalam pembangunan perlu digarap sekaligus sesuai dengan potensi dan kondisi tempat yang bersangkutan. Salah satu indikator yang digunakan untuk menilai partisipasi masyarakat dalam meningkatkan kualitas sarana permukiman adalah kondisi prasarana. Makin besar partisipasi makin baik kondisi prasarana. Kondisi prasarana dapat diukur dari berfungsi atau tidak prasarana. Namun demikian rendahnya kondisi prasarana tidak sepenuhnya disebabkan oleh kurangnya partisipasi tetapi bisa jadi oleh kesalahan perencanaan dan pelaksanaan. Ada indikasi bahwa rendahnya kinerja prasarana disebabkan oleh kurangnya kesadaran masyarakat dalam memelihara prasarana (Cipta Karya, 1987).
33
Tingkatan Partisipasi Masyarakat Deshler dan Sock (1985) secara garis besar membagi partisipasi ke dalam tiga kategori yaitu: partisipasi teknis (technical participation), patisipasi semu (pseudo participation) dan partisipasi politis atau partisipasi asli (genuine participation). Partisipasi Teknis adalah keterlibatan masyarakat dalam pengidentifikasian masalah, pengumpulan data, analisis data, dan pelaksanaan kegiatan. Pengembangan partisipasi dalam hal ini adalah sebuah taktik untuk melibatkan masyarakat dalam kegiatan-kegiatan praktis dalam konteks pengembangan masyarakat. Partisipasi Asli (Partisipasi Politis) adalah keterlibatan masyarakat di dalam proses perubahan dengan melakukan refleksi kritis dan aksi yang meliputi dimensi politis, ekonomis, ilmiah, dan ideologis, secara bersamaan. Pengembangan partisipasi dalam hal ini adalah pengembangan kekuasaan dan kontrol lebih besar terhadap suatu situasi melalui peningkatan kemampuan masyarakat dalam melakukan pilihan kegiatan dan berotonomi. Partisipasi Semu adalah partisipasi politis yang digunakan orang luar atau kelompok dominan (elite masyarakat) untuk kepentingannya sendiri, sedangkan masyarakat hanya sekedar obyek. Dalam pengertian partisipasi di atas, tidak berarti bahwa partisipasi teknis tidak penting dibandingkan dengan partisipasi politis. Keduanya bisa sda sekaligus dalam sebuah program pengembangan masyarakat dimana pemberdayaan masyarakat dalam kehidupannya secara lebih luas (sosial, budaya, politik dan ekonomi). Berdasarkan tingkat kontrol partisipasi masyarakatnya, partisipasi semu dan partisipasi asli dapat dijelaskan dalam tabel berikut: Jenis Partisipasi Partisipasi semu
Tabel 2. Jenis Partisipasi Pola hubungan kontrol antara pihak luar dengan masyarakat Penindasan (domestikasi) Kontrol sepenuhnya oleh orang luar dan kelompok dominan (elit masyarakat) untuk kepentingan mereka, bisa saja prosesnya partisipatif atau menggunakan partisipasi teknis Asistensi (paternalisme) Esensi sama dengan di atas
Perlakuan terhadap masyarakat • Manipulasi • Pemberian terapi • Pemberian informasi
• Konsultasi • Menenangkan
34
Partisipasi asli (partisipasi politis)
Kerjasama Masyarakat terlibat dalam keseluruhan proses program yang bersifat bottom up, kontrol dibagi antara orang luar dengan masyarakat, manfaat program untuk masyarakat Pemberdayaan Masyarakat sebagai pengelola program sepenuhnya, muncul kesadaran kritis, demokratisasi, solidaritas dan kepemimpinan masyarakat, partisipasi komunitas berkembang
• Kemitraan • Kontrol diwakilkan (partisipasi belum menjadi budaya di tingkat komunitas) • Kontrol diberikan kepada masyarakat
Masyarakat (Komunitas) dan Pembangunan yang berpusat pada masyarakat Komunitas menurut Roesmidi (2006) adalah permukiman kecil penduduk, bersifat mandiri, berbeda antara satu permukiman dengan lainnya yang memiliki ciri: a. memiliki kesadaran kelompok (group consiousness) yang kuat. b. tidak terlalu besar sehingga dapat saling mengenal secara pribadi tetapi tidak terlalu kecil sehingga dapat berusaha bersama secara efisien. c. bersifat homogen d. hidup mandiri (self sufficient) Istilah komunitas dalam konsep Pembangunan Masyarakat (community development) menurut Mayo (1998) adalah:
Masyarakat sebagai sebuah “tempat bersama”, yakni sebuah wilayah geografi yang sama. seperti sebuah rukun tetangga, atau sebuah kampung di perkotaan
Masyarakat sebagai “kepentingan bersama”, yakni kesamaan kepentingan berdasarkan kebudayaan dan identitas. Menurut Jim Iffe (1995) komunitas merupakan suatu bentuk organisasi sosial
yang memiliki karakteristik sebagai berikut.
Jumlah manusianya terbatas sehingga interaksi masyarakat dapat dikontrol. Setiap orang saling mengenal dan memiliki akses terhadap setiap orang. Struktur masyarakatnya relatif kecil, dan orang-orang dapat mengontrol satu dengan lainnya, yang memudahkan untuk dilakukannya pemberdayaan.
Kata komunitas menunjukkan adanya rasa memiliki yang berimplikasi kesetiaan.
35
Kewajiban, Sebagaimana halnya anggota dari suatu organisasi yang memiliki hak dan kewajiban, anggota komunitas juga dituntut kewajibannya.Orang-orang diharapkan memberi kontribusi terhadap kelangsungan hidup masyarakat dengan berpartisipasi secara aktif dalam kegiatan-kegiatan yang dilakukan, termasuk memberi kontribusi terhadap pemeliharaan strruktur masyarakat. Menurut Soenarno (2002) Komunitas adalah sebuah identifikasi dan interaksi
sosial yang dibangun dengan berbagai dimensi kebutuhan fungsional. Kekuatan pengikat suatu komunitas, terutama, adalah kepentingan bersama dalam memenuhi kebutuhan kehidupan sosialnya yang didasarkan atas kesamaan latar belakang budaya, ideologi, sosial-ekonomi. Disamping itu secara fisik komunitas biasanya diikat oleh batas lokasi/wilayah geografis. Masing-masing komunitas, karenanya akan memiliki cara dan mekanisme yang berbeda dalam menanggapi dan menyikapi keterbatasan yang dihadapainya serta mengembangkan kemampuan kelompoknya. Konsep komunitas yang baik menurut Ndraha (1990), yaitu jika: 1. Setiap anggota masyarakat saling berinteraksi berdasarkan hubungan pribadi 2. Memiliki otonomi, kewenangan, dan kemampuan mengurus kepentingan sendiri. 3. Memiliki viabilitas, yaitu kemampuan untuk memecahkan masalahnya sendiri. 4. Distribusi kekuasaan yang merata, setiap orang berkesempatan yang sama dan bebas menyatakan kehendaknya. 5. Kesempatan anggota untuk berpartisipasi aktif mengurus kepentingan bersama. 6. Komunitas memberi makna kepada anggotanya sejauh manakah pentingnya komunitas bagi seorang anggota. 7. Di dalam komunitas dimungkinkan adanya heterogenitas dan perbedaan pendapat. 8. Di dalam komunitas, pelayanan masyarakat ditempatkan sedekat dan secepat mungkin pada yang berkepentingan. 9. Di dalam komunitas bisa terjadi konflik, namun komunitas memiliki kemampuan managing conflict. Pembangunan Partisipatif Salah satu bentuk pembangunan yang berpusat pada rakyat adalah pembangunan partisipatoris yang merupakan model pembangunan yang melibatkan komunitas pemanfaat sebagai pelaku utama untuk secara akitf mengambil langkahlangkah penting yang dibutuhkan untuk memperbaiki hidup mereka. Pembangunan
36
partisipatoris merupakan koreksi dan sekaligus model pembangunan yang memadukan pendekatan top down dimana keputusan-keputusan dirumuskan dari atas dan pendekatan bottom up yang menekankan keputusan di tangan masyarakat yang keduanya memiliki kelemahan masing-masing. Dengan kata lain pembangunan partisipatoris tidak meniadakan peran pelaku luar, ahli, pemerintah, dan lain-lain tetapi mendudukkan mereka sebagai fasilitator dan katalis dalam suatu proses yang sepenuhnya dikendalikan oleh komunitas/masyarakat pemanfaat. Pembangunan partisipatoris memadukan dua pendekatan bottom up dan top down dengan membuang kelemahan masing-masing pendekatan dan menggabungkan kelebihnannya
sehingga
diperoleh
pendekatan
yang
dinamakan
pendekatan
parsipatoris yang mempertemukan gagasan makro yang bersifat top down dengan gagasan mikro yang bersifat bottom up. Pendekatan parsipatoris ini memungkinkan dilakukannya perencanaan program yang dikembangkan dari bawah dan masukkan dari atas. Pola pembangunan dengan pendekatan partisipatoris disebut pembangunan yang akan menghasilkan pembangunan mikro yang tidak terlepas dari konteks makro. (Parwoto, 2000). Yang perlu diperhatikan dalam pola pembangunan partisipatoris ini peran pelaku eksternal bukan untuk mengambil alih pengambilan keputusan melainkan untuk menunjukkan konsekuensi dari tiap keputusan yang diambil masyarakat, dengan kata lain menjadi fasilitator dalam proses pengambilan keputusan sehingga keputusan yang diambil akan rasional. Dalam pembangunan partisipatoris, tiap tahapan pembangunan, mulai dari pengenalan persoalan dan perumusan kebutuhan, perencanaan dan pemrograman, pelaksanaan, pengoperasian dan pemeliharaan merupakan kesepakatan-kesepakatan bersama antara pelaku pembangunan yang terlibat (masyarakat, pemerintah dan swasta) dimana seluruh proses pembangunan sekaligus merupakan proses belajar bagi tiap pihak yang terlibat. Pemerintah dalam hal ini bertindak sebagai katalis pembangunan dan masyarakat sebagai klien yang diberdayakan dan difasilitasi agar mampu berperan sebagai pelaku utama untuk memecahkan persoalan mereka melalui hasil kerja mereka sendiri. Berikut adalah tabel yang memuat ciri-ciri pendekatan partisipatif.
37
Tabel 3. Ciri-ciri Pendekatan Partisipatif
Ciri-ciri
Kelebihan
• Pelaku eksternal bersama masyarakat merumuskan persoalan yang dihadapi • Masyarakat aktif mengambil sikap dan tindakan untuk mengatasi persoalan serta menentukan cara menanganinya • Pelaku eksternal bersama masyarakat menetapkan sumber daya yang dapat dialokasikan untuk memecahkan persoalan • Pelaku eskternal bersama masyarakat memutuskan rencana dan program pelaksanaan untuk mencapai tujuan pemecahan persoalan • Pelaku eksternal lebih menekankan pada upaya untuk mendorong masyarakat mengembangkan diri sendiri untuk mampu mengambil keputusan yang rasional dan merencanakan perbaikan masa depan mereka melalui tata organisasi yang berakar dalam masyarakat Pemberdayaan
Kekurangan
• Diperlukan • Pembangunan lebih efektif dan perubahan efisien dalam penggunaan sumber sikap dari daya secara terpadu baik dari pihak masyarakat maupun pemerintah pemerintah dan atau pihak lain yang terlibat para sehingga dengan alokasi yang profesional relatif sama dapat menjangkau dari provider lebih luas menjadi • Pembangunan lebih menyentuh enabler yang masyarakat tetapi sesuai dengan seringkali rencana makro oleh sebab adanya membutuhkan masukan dari pelaku eksternal waktu yang • Masyarakat sadar akan persoalan lama yang mereka hadapi dan potensi • Tata yang di miliki administrasi • Masyarakat saling belajar dalam proyek proses pembangunan dengan pemerintah rekan-rekan seperjuangan/senasib sering tidak dan dengan para profesional mendukung • Tumbuhnya solidaritas antara • Diperlukan anggota masyarakat dan antara unsur anggota masyarakatdengan pihak pendaping lain yang • Tumbuhnya masyarakat mandiri, profesional yang mampu mengambil untuk mengisi keputusan untuk menentukan kelembahan masa depan mereka kaum awam • Tumbuhnya organisasi yang sebagai berakar pada masyarakat sebagai penyandang wadah yang menjamin proyek keberlanjutan pertumbuhan yang organik
masyarakat
dan
partisipasi
merupakan
strategi
dalam
pembangunan yang bertumpu pada rakyat (people centered development). Strategi ini menyadari pentingnya kapasitas masyarakat untuk meningkatkan kemandirian dan kekuatan internal atas sumber daya material dan non material yang penting melalui redistribusi modal atau kepemilikan.
38
Menurut Korten (1992) terdapat tiga dasar perubahan struktural dan normatif dalam pembangunan yang berpusat pada rakyat yaitu: 1. Memusatkan pemikiran dan tindakan kebijakan pemerintah pada penciptaan keadaan-keadaan yang mendorong dan mendukung usaha rakyat untuk memenuhi kebutuhan mereka sendiri pada tingkat individual, keluarga dan komunitas. 2. Mengembangkan struktur dan proses organisasi yang berfungsi menurut kaidahkaidah sistem swaorganisasi 3. Mengembangkan sistem produksi-konsumsi yang diorganisasi secara teritorial yang berlandaskan pada kaidah-kaidah kepemlikan dan pengendalian lokal. Kajian strategis pemberdayaan masyarakat, baik ekonomi, sosial, budaya maupun politik menjadi penting sebagai input untuk reformasi pembangunan yang berpusat pada rakyat yang memberikan peluang bagi masyarakat untuk membangun secara partisipatif. Dalam pembangunan partisipatif, pemberdayaan merupakan salah satu strategi yang dianggap tepat (Adimihardja dan Hikmat, 2003). Selanjutnya terkait dengan isu pembangunan masyarakat menurut Roesmidi (2006) terdapat dua bentuk intervensi sosial yang dikembangkan untuk meningkatkan taraf hidup masyarakat yakni intervensi di tingkat mikro yaitu di tingkat individu, keluarga dan kelompok dan intervensi makro di tingkat komunitas dan organisasi. Intervensi mikro lebih memusatkan pada metode bimbingan sosial perseorangan (social casework) dan bimbingan sosial kelompok (social group work). Intervensi makro mempunyai model yang lebih beragam seperti dikemukakan oleh Rothman, Tropman dan Erlich (Roesmidi, 2006). Ketiganya melihat intervensi makro yang disebut “community intervention” mencakup model intervensi “pengembangan masyarakat lokal” (locality development); “perencanaan sosial” (social policy) serta administrasi dan manajemen (administration and management). Berikut adalah tabel model praktek intervensi komunitas menurut Rothman Tropman.
39
Tabel 4. Model Praktek Intervensi Komunitas menurut Rothman Tropman
Kategori tujuan tindakan terhadap masyarakat
Asumsi mengenai struktur komunitas dan kondisi permasalahan
Strategi perubahan dasar
Karakteristik, taktik dan teknik perubahan Peran praktisi yang menonjol
Media perubahan
Orientasi terhadap struktur kekuasaan
Batasan definisi sistem klien dalam komunitas Asumsi mengenai kepentingan kelompok2 di dalam suatu komunitas Konsepsi mengenai populasi klien (konstituensi) Konsepsi mengenai peran klien
Model A (Pengembangan Masyarakat lokal) Kemandirian; pengembangan kapasitas dan mengintegrasikan masyarakat (tujuan yang dititikberatkan pada proses = process goal) Adanya anomie dan kemurungan dalam masyarakat; kesenjangan relasi dan kapasitas dalam memecahkan masalah secara demokratis; komunitas berbentuk tradisional statis Pelibatan berbagai kelompok warga dalam menentukan dan memecahkan masalah mereka sendiri Konsensus; komunikasi antar kelompok dan kelompok kepentingan dalam masyarakat (komunitas); diskkusi kelompok Sebagai enabler katalis, koordinator orang yang mengajarkan keterampilan memecahkan masalah dan nilai-nilai etis Manipulasi kelompok kecil yang berorientasi pada terselesaikannya suatu tugas (small task oriented groups) Anggota dari struktur kekuasaan bertindak sebagai kolaborator dalam suatu ventura yang bersifat umum
Keseluruhan komunitas geografis Kepentingan umum atau pemufakatan dari berbagai perbedaan
Model B (Perencanaan Sosial) Pemecahan masalah dengan memperhatikan masalah yang penting yang ada pada masyarakat (tujuan yang dititikberatkan pada tugas = task goal) Masalah sosial yang sesungguhnya; kesehatan fisik dan mental,perumahan dan rekreasional
Model C (Aksi Sosial) Pergeseran (pengalihan sumber daya dan relasi kekuasaan; perubahan institusi dasar (task ataupun process goal)
Pengumpulan data yang terkait dengan masalah dan memilih serta menentukan bentuk tindakan yang paling rasional Konsensus atau konflik
Kristalisasi dari isu dan pengorganisasian massa untuk menghadapi sasaran yang menjadi musuh mereka Konflik atau kontes; konfrontasi; aksi yang bersifat langsung, negosiasi
Pengumpulan dan penganalisis data, pengimplementasi program dan fasilitator
Aktivitas advokat, agitator, pialang, negosiator, partisan
Manipulasi organisasi formal dan data yang tersedia
Manipulasi organisasi massa dan proses-proses politik
Struktur kekuasaan sebagai pemilik dan sponsor (pendukung)
Struktur kekuasaan sebagai sasaran eksternal dari tindakan yang dilakukan mereka yang memberikan tekanan harus dilawan dengan memberikan tekanan balik Segmen dalam komunitas
Keseluruhan komunitas atau dapat pula suatu segmen dalam komunitas Pemufakatan kepengingan atau konflik
Populasi yang dirugikan; kesenjangan sosial, perampasan hal dan ketidakadilan
Konflik kepentingan yang sulit dicapai kata mufakat; kelangkaan sumber daya
Warga masyarakat
Konsumsi (pengguna jasa)
Korban
Partisipasi pada proses interaksional pemecahan masalah
Konsumen atau resipien (penerima pelayanan)
Employer, konstituen, anggota
Sumber: Roesmidi dan Risyanti, 2006
40
Sedangkan pandangan Glen seperti dikuti Roesmidi dan Risyanti (2006) untuk bentuk praktek di masyarakat didasarkan pada tujuan, partisipasi, metode dan peranan seperti berikut: Tabel 5. Bentuk Praktek di Masyarakat (community practice) menurut Glen Pengembangan Masyarakat (Community Development) Mengembangkan kemandirian masyarakat
Tujuan
Partisipasi
Metode
Peranan
Masyarakat yang mendefinisikan dan mencoba memenuhi kebutuhan mereka sendiri Masyarakat yang mendefinisikan dan mencoba memenuhi kebutuhan mereka sendiri Tenaga profesional bekerja menitikberatkan pada metode non direktif
Aksi Komunitas (Community Action)
Pendekatan Layanan Masyarakat (Community Services Approach)
Kampanye untuk kepentingan masyarakat serta kebijakan untuk masyarakat Kelompok-kelompok yang tertekan mengorganisir diri untuk meningkatkan kekuatan Kelompok-kelompok yang tertekan mengorganisir diri untuk meningkatkan kekuatan Aktifitas dan organisatoris (organizer) yang memobilisasi massa untuk aksi politis
Mengembangkan organisasi yang berorientasi dan memberikan pelayanan pada masyarakat Organisasi dan pengguna layanan sebabai rekanan partners Organisasi dan pengguna layanan sebabai rekanan partners Manajer lembaga yang memberikan layanan merestrukturisasi transaksi yang ada bersama (atau dengan mempertimbangkan kepentingan pengguna layanan
Sumber: Roesmidi dan Risyanti, 2006
Prinsip pembangunan yang berpusat pada rakyat menegaskan bahwa masyarakat harus menjadi pelaku utama dalam pembangunan. Hal ini berimplikasi pada perlunya restrukturisasi sistem pembangunan sosial pada tingkat mikro, meso dan makro agar masyarakat lokal (di tingkat mikro) dapat mengembangkan potensi tanpa mengalami hambatan yang bersumber dari faktor-faktor eksternal pada struktur meso (kelembagaan dan makro (kebijakan). Faktor eksternal pembangunan yang berpusat pada rakyat merupakan keserasian hubungan antara sistem sosial pada tingkat mikro, meso dan makro. Faktor internal pembangunan yang berpusat pada rakyat adalah peluang untuk terciptanya suatu dorongan pembangunan dari, oleh dan untuk masyarakat dalam konteks ekologis setempat dan sesuai dengan sistem sosial budaya setempat. Oleh karenanya untuk mencapai hal tersebut menurut Hikmat (2003) restrukturisasi di tingkat meso dapat berupa perubahan tugas dan fungsi pemerintah kota sedangkan restrukturisasi makro dapat berupa perubahan tugas dan fungsi pemerintah pusat atau nasional.
41
Penyuluhan sebagai Sarana Perubahan Perilaku Masyarakat Pemberdayaan masyarakat bertujuan untuk meningkatkan potensi masyarakat agar mampu meningkatkan kualitas hidup yang lebih baik bagi seluruh warga masyarakat melalui kegiatan-kegiatan swadaya. Untuk mencapai tujuan ini faktor peningkatan kualitas sumber daya manusia melalui pendidikan formal dan non formal perlu mendapat prioritas. Memberdayakan masyarakat bertujuan mendidik masyarakat agar mampu mendidik diri mereka sendiri atau membantu masyarakat agar mampu membantu diri mereka sendiri. Dengan kata lain memberdayakan masyarakat adalah mendidik masyarakat. Proses pendidikan memiliki tujuan utama merubah perilaku sehingga pemberdayaan masyarakat a memiliki tujuan akhir pada perubahan perilaku peserta didik. Margono Slamet (2003) menyatakan bahwa penyuluhan merupakan ilmu yang mempelajari bagaimana pola perilaku manusia pembangunan terbentuk, bagaimana perilaku manusia dapat berubah atau diubah sehingga mau meninggalkan kebiasaan lama dan menggantinya dengan perilaku yang baru yang berakibat kualitas kehidupan orang yang bersangkutan menjadi lebih baik. Sekaitan dengan subjek penelitian ini yaitu masyarakat penghuni kampung kota, maka penyuluhan adalah alternatif yang sesuai untuk meningkatkan partisipasi warga dalam menyikapi dengan benar lingkungan kampungnya untuk mencapai kondisi yang lebih berkualitas, baik itu kualitas hidup warga masyarakat maupun kualitas lingkungan lingkungan hidup permukiman kampung kota. Berikut adalah kajian mengenai perilaku manusia dan upaya untuk merubah perilaku ke arah yang lebih baik dengan menggunakan penyuluhan sebagai sarananya. Perilaku Manusia dalam Lingkungan Hidup Secara ekologis, lingkungan hidup dipandang sebagai satu sistem yang terdiri dari subsistem-subsistem. Manusia dalam ekologi merupakan salah satu subsistem dalam ekosistem lingkungan. Dengan demikian manusia adalah satu kesatuan terpadu dengan lingkungannya yang menjalin hubungan fungsional sedemikian rupa. Dalam hubungan fungsional manusia dan lingkungan terdapat saling ketergantungan dan saling pengaruh yang pada akhirnya akan berpengaruh pada ekosistem secara keseluruhan. Untuk mencapai keselarasan, keserasian, dan keseimbangan antar subsistem dalam ekosistem diperlukan sistem pengelolaan secara terpadu.
42
Dalam lingkungan hidup manusia bukan saja merupakan bagian dari lingkungan tetapi menjadi pusat lingkungan, karena itu seorang manusia selain dipengaruhi dan mempengaruhi lingkungannya tetapi juga dengan kemampuannya akan mewarnai lingkungannya sehingga lingkungan bukan hanya menjadi wadah manusia beraktivitas, namun juga menjadi bagian integral dari pola perilaku manusia. Menurut Skinner (Notoatmodjo, 2003), perilaku merupakan hasil hubungan antara perangsang (stimulus) dan respon. Skinner membedakan adanya dua respon: 1. Respondent response atau reflexive, yakni respon yang ditimbulkan oleh rangsangan-rangsangan tertentu disebut sebagai elicting stimuli, karena respon yang ditimbulkannya relatif tetap. 2. Operant response atau instrumental response, yakni respon yang timbul dan berkembangnya diikuti oleh perangsang tertentu. Selanjutnya Notoatmodjo (2003) membedakan perilaku manusia atas: (1) bentuk pasif, yang terjadi dalam diri manusia dan tidak secara langsung dapat dilihat oleh orang lain seperti berpikir, pengetahuan, sikap; dan (2) bentuk aktif, apabila perilaku itu jelas dapat diobservasi secara langsung. Bentuk pertama disebut covert behaviour, sedangkan yang kedua disebut overt behaviour. Menurut Lawrence Green seperti dikutip Notoatmodjo (2003) perilaku dipengaruhi oleh tiga faktor pokok: 1. Faktor predisposisi (predisposing factors), yakni faktor pencetus timbulnya perilaku seperti pikiran dan motivasi untuk berperilaku yang meliputi pengetahuan, sikap, kepercayaan, keyakinan, nilai dan persepsi yang berhubungan dengan motivasi individu untuk berperilaku. 2. Faktor-faktor yang mendukung (enabling factors) yakni faktor yang mendukung timbulnya perilaku sehingga motivasi atau pikiran menjadi kenyataan, termasuk di dalamnya adalah lingkungan fisik dan sumber-sumber yang ada di masyarakat. 3. Faktor-faktor yang memperkuat atau mendorong (reinforcing factors), yakni faktor yang merupakan sumber pembentukan perilaku yang berasal dari orang lain yang merupakan kelompok referensi dari perilaku, seperti keluarga, tetangga, pempimpin yang dituakan dan sebagainya.
43
Arti perilaku mencakup yang kasat mata seperti makan, menangis, memasak, melihat, bekerja dan perilaku yang tidak kasat mata seperti fantasi, motivasi, dan proses yang terjadi pada waktu seseorang diam atau secara fisik tidak bergerak. Kurt Lewin (Laurens, 2004) membuat rumusan bahwa perilaku (B = Behavior) merupakan fungsi dari keadaan pribadi seseorang (P = Person) dan lingkungan tempat orang itu berada (E = environment) atau B = f (P, E). Bagan dari hubungan antara perilaku seseorang dengan lingkungan dapat dilihat pada gambar berikut:
E
B
Pengaruh E dan P masing-masing terhadap B
P E B P
Pengaruh E dan P terhadap B
Sumber: Laurens, 2004
Persepsi
Gambar 3
Pengaruh lingkungan terhadap perilaku manusia
Litterer (dalam Asngari, 1984), menyatakan bahwa persepsi ialah proses memilih, menyusun atau mengorganisasikan, dan menafsirkan stimuli inderawi ke dalam berbagai pengertian, yang memungkinkan seseorang menyadari lingkungannya. Ketiga proses tersebut merupakan rangkaian peristiwa yang terjadi dengan cepat dan bersamaan. Pemilihan atau penyaringan, merupakan proses pemusatan perhatian terhadap beberapa dimensi yang relevan dari sejumlah rangsangan yang ada. Organisasi, ialah menyusun rangsangan ke dalam bentuk yang sederhana dan terpadu, sehingga mudah dimengerti. Penafsiran, ialah proses penilaian dan pengambilan kesimpulan. Pada fase ini, maka pengalaman masa lalu memegang peranan yang penting. Proses terakhir ini lebih dikenal sebagai evaluasi dan identifikasi. Rangkaian proses persepsi tersebut akan membentuk sikap dan prilaku. Menurut Myers (1988) tiap orang berbeda kebutuhan, motif, minat, dan lainlain. Karena itu persepsinya terhadap sesuatu cenderung menurut kebutuhan, minat dan latar belakang masing-masing. Persepsi dua orang mengenai suatu obyek yang sama, bisa berbeda. Yang seorang mungkin memiliki persepsi yang baik, sedang yang seorang lagi mungkin sebaliknya.
44
Hal ini sejalan dengan pernyataan Lang & Heider (1987), yang menyatakan bahwa persepsi seseorang terhadap suatu obyek bisa tepat, dan bisa pula keliru, atau mendua. Faktor terpenting untuk mengatasi kekeliruan persepsi ialah kemampuan untuk mendapat pengertian yang tepat mengenai obyek persepsi. Dari uraian tersebut di atas, dapat disimpulkan bahwa persepsi ialah tanggapan atau gambaran yang ada dalam pikiran seseorang mengenai suatu obyek atau informasi yang diterimanya. Persepsi merupakan proses penggunaan pikiran secara aktif. Persepsi masing-masing orang terhadap suatu obyek yang sama tidak selalu sama. Ada yang dapat memiliki persepsi yang tepat, dan ada yang keliru. Kekeliruan persepsi dapat diperbaiki dengan memberikan pengertian yang benar terhadap obyek persepsi. Persepsi tentang kualitas lingkungan Persepsi lingkungan adalah interpretasi tentang suatu setting/ruang oleh individu, didasarkan latar belakang budaya, nalar, dan pengalaman individu tersebut. Setiap individu akan mempunyai persepsi lingkungan yang berbeda karena latar belakang budaya, nalar dan pengalaman yang berbeda, meski dimungkinkan beberapa kelompok individu memiliki kecenderungan persepsi lingkungan yang sama atau mirip karena kemiripan latar belakang budaya, nalar dan pengalamannya. Persepsi lingkungan menyangkut apa yang disebut dengan aspek emic dan etic. Emic menggambarkan bagaimana suatu lingkungan dipersepsikan oleh kelompok di
dalam
sistem
tersebut
(bagaimana
suatu
kelompok
mempersepsikan
lingkungannya). Etic adalah bagaimana pengamat mempersepsikan lingkungan yang sama. Akan dijumpai pandangan subyektif yang berbeda tentang suatu lingkungan yang sama. Seseorang akan mempersepsikan perkampungan kumuh, kesumpekan (crowding), tekanan lingkungan ruang privat dan ruang publik secara berbeda. Setiap orang atau kelompok masyarakat akan mempunyai persepsi yang berbeda tentang lingkungan yang baik dan standar minimal suatu lingkungan. Akibat persepsi lingkungan yang berbeda itulah maka Kekumuhan lingkungan permukiman cenderung bersifat paradoks. Bagi masyarakat yang tinggal di lingkungan tersebut, kekumuhan adalah kenyataan sehari-hari yang tidak mereka masalahkan, sedangkan di pihak lain yang berkeinginan untuk menanganinya, masalah kumuh adalah suatu permasalahan yang perlu segera ditanggulangi penanganannya. Dari fenomena tersebut dapat dipetik pelajaran bahwa penanganan lingkungan permukiman
45
kumuh tidak dapat diselesaikan secara sepihak, tetapi harus sinergis melibatkan potensi dan eksistensi seluruh pihak yang berkepentingan baik pemerintah maupun masyarakat; dimana dari pihak pemerintah meliputi Pusat, Propinsi maupun Kabupaten/Kota; sedangkan dari pihak masyarakat meliputi masyarakat sendiri selaku penerima manfaat, masyarakat selaku pelaku dunia usaha maupun pelaku kunci seperti pemerhati, kelompok swadaya masyarakat, cendekiawan dan sebagainya. Lingkungan yang terpersepsikan merupakan produk atau bentuk dari persepsi lingkungan seseorang atau sekelompok orang. Persepsi lingkungan berbicara tentang proses kognisi, afeksi, serta kognasi seseorang atau sekelompok orang terhadap lingkungan. Proses kognisi meliputi proses penerimaan, pemahaman dan pemikiran tentang suatu lingkungan. Proses afeksi meliputi proses perasaan dan emosi, keinginan, serta nilai-nilai tentang lingkungan. Sementara proses kognasi meliputi munculnya tindakan, perlakuan terhadap lingkungan sebagai respons dari proses kognisi dan afeksi. Keseluruhan proses ini menghasilkan apa yang disebut lingkungan yang terpersepsikan. Setiap orang dapat mempunyai gambaran bentuk lingkungan yang berbeda, tergantung proses persepsinya masing-masing. Penegasan ini menggambarkan bahwa kemungkinan akan terjadi konflik atau perbedaan pendapat ketika mendiskusikan atau mencari keputusan tentang wujud suatu lingkungan, karena setiap orang bekerja dengan “lingkungan yang terpersepsikan” yang berbeda. Proses pemahaman lingkungan meliputi proses pemahaman yang menyeluruh dan menerus tentang suatu lingkungan oleh seseorang.
Lingkungan baru yang nyata
FILTER Individu dengan latar belakang budaya, pengalaman, informasi tertentu.
Gambar 4
Lingkungan yang terekam (kognisi) sementara
Test dengan informasi dari lingkungan baru
Kognisi baru
PERILAKU (adaptasi)
Model Environmental Learning
Gambar di atas menjelaskan bahwa pembentukan kognisi mengenai suatu lingkungan merupakan suatu pengetahuan, pemahaman dan pengertian yang dinamis dan berputar. Setiap menjumpai suatu lingkungan yang baru, seseorang berusaha
46
membentuk kognisinya terhadap lingkungan tersebut terdasar latar belakang pendidikan, kultur, serta pengalamannya. Proses ini menghasilkan apa yang disebut lingkungan yang terkognisikan pada tahap awal atau kognisi sementara. Kognisi sementara ini, kemudian di test dengan informasi yang muncul sebelumnya. Hasilnya merupakan suatu kognisi baru terhadap kognisi sementara yang telah muncul sebelumnya. Kognisi baru ini yang kemudian mempengaruhi pola perilaku seseorang. Secara berputar, perilaku ini kemudian kembali berpengaruh terhadap proses kognisi orang tersebut terhadap lingkungan baru yang ia kunjungi atau tempati. Konsep ini menegaskan bahwa persepsi lingkungan seseorang sangat bersifat tidak saja subyektif akan tetapi juga dinamis. Hubungan perilaku dengan lingkungan dapat digambarkan dalam urutan-urutan sebagai berikut
Gambar 5
Posisi perilaku terhadap lingkungan
Keseluruhan proses pemahaman lingkungan pada akhirnya akan menghasilkan apa yang disebut sebagai persepsi mengenai kualitas lingkungan. Kualitas lingkungan didefinisikan secara umum sebagai suatu lingkungan yang memenuhi preferensi imajinasi ideal seseorang atau sekelompok orang. Definisi ini menegaskan bahwa kualitas lingkungan seyogyanya dipahami secara subyektif, dikaitkan dengan aspekaspek psikologis dan sosio kultural masyarakat yang menghuninya. Debat mengenai kawasan permukiman kumuh/slums, sebenarnya menunjukkan perbedaan subyektif mengenai kualitas lingkungan yang tak terselesaikan antara pemerintah kota, perencana dan penghuni kawasan kumuh Meskipun kualitas lingkungan bersifat subyektif, terdapat pula unsur-unsur dasar kualitas lingkungan yang harus dijaga, terutama yang berkaitan dengan penyediaan prasarana seperti air bersih, sanitasi dan persampahan. Sampai saat ini, telah banyak disusun berbagai standar baku mutu lingkungan, yang ditujukan untuk menjamin terciptanya kualitas lingkungan yang lebih baik. Komponen-komponen
47
yang distandarkan dalam baku mutu lingkungan ini lebih bersifat obyektif dan ditekankan pada aspek-aspek fisik dan biokimia. Diharapkan apabila standar ini dapat dipenuhi, tidak saja kualitas lingkungan akan semakin baik, tetapi kelestarian lingkungan dalam arti yang luas dan berjangka panjang juga akan dapat diwujudkan. Penyuluhan untuk merubah perilaku warga untuk menjadi masyarakat aktif Perubahan Perilaku pada dasarnya merupakan esensi dari penyuluhan untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat agar dapat menolong dirinya sendiri. Penelitian ini menitikberatkan pada pentingnya perilaku yang benar dalam merespons lingkungan sehingga lingkungan tersebut bukan saja dapat meningkat kualitasnya tapi juga dapat meningkatkan kualitas kehidupan masyarakat penghuninya. Dengan kata lain bagaimana seseorang dapat mengelola lingkungannya agar dapat memberdayakan dirinya sendiri dan masyarakat di sekitarnya sehingga kualitas lingkungan dan kualitas hidup lebih meningkat. Dengan memahami secara benar tentang kualitas lingkungan yang baik dalam arti mampu mempersepsikan mana kualitas lingkungan yang baik dan mana kualitas lingkungan yang buruk, diharapkan timbul kebutuhan dalam diri subyek penelitian (dalam hal ini masyarakat di kampung kota), sehingga termotivasi untuk berperilaku dan berpartisipasi untuk meningkatkan kualitas rumah dan permukimannya. Sehubungan dengan hal tersebut, Asngari (1984) mengatakan bahwa pada dasarnya seseorang mau berpartisipasi dalam suatu kegiatan bilamana: (1) akan memperoleh manfaat atau kepuasan, dan (2) mengetahui dengan benar makna kegiatan tersebut: program, tujuan, langkah, dan proses. Kunci bagi keduanya adalah adanya informasi yang jelas sehingga diperlukan keterbukaan atau transparansi. Kebutuhan menjadi salah satu faktor yang menentukan untuk dapat memotivasi seseorang dalam berperilaku. Kebutuhan itu sendiri terbagi menjadi (1) kebutuhan yang dirasakan (felt needs) dan kebutuhan yang nyata (real needs). Seseorang akan termotivasi untuk berperilaku tertentu jika dia merasakan sesuatu itu merupakan kebutuhan yang dirasakannya. Yang menjadi persoalan adalah tidak semua kebutuhan yang dirasakan seseorang itu merupakan kebutuhan yang nyata, demikian juga sebaliknya tidak semua kebutuhan yang nyata benar-benar telah dirasakan seseorang. Dalam kaitan itu penting bagi pihak penyuluh untuk mengubah kebutuhan yang nyata
48
menjadi kebutuhan yang dirasakan oleh individu yang dijadikan sebagai sasaran penyuluhan. Berkaitan dengan masalah kebutuhan ini, Slamet (2003) menyatakan bahwa orang tidak akan sadar terhadap kebutuhannya kalau dia belum mampu mengevaluasi
kondisi dirinya sendiri. Oleh sebab itu harus ada suatu cara yang dapat menyadarkan orang dalam mengevaluasi dirinya sendiri sehingga dapat mengetahui kemampuandan kelemahannya, dan pada akhirnya dia akan mampu mengidentifikasi kebutuhannya sendiri. Selanjutnya Slamet mangatakan bahwa ilmu penyuluhan pembangunan dapat digunakan sebagai alat rekayasa pembangunan sosial sehingga berkemampuan untuk membentuk pola perilaku tertentu dalam masyarakat, dalam jangka waktu tertentu sebagai syarat untuk dapat memperbaiki kehidupan masyarakat. Penyuluhan adalah program pendidikan luar sekolah yang bertujuan untuk memberdayakan sasaran dan meningkatkan kesejahteraan masyarakat secara mandiri. Karena penyuluhan adalah program pendidikan maka dalam pelaksanaannya harus memperhatikan unsur-unsur tujuan pendidikan seperti berikut (Slamet, 2003): (1) Orang yang menjadi sasaran penyuluhan (2) Perubahan perilaku apa yang diinginkan (3) Masalah (subject matter) yang diinginkan dengan perubahan perilaku tersebut (4) Situasi lingkungan
Masyarakat aktif yang berdaya Menurut Tampubolon (2006), mendidik masyarakat dalam rangka membangun masyarakat sebaiknya menghindari metode kerja “doing for the community” yang menjadikan masyarakat pasif, kurang kreatif dan tidak berdaya bahkan mendidik masyarakat untuk bergantung pada bantuan pemerintah atau organisasi-organisasi sukarela pemberi bantuan. Mendidik masyarakat sebaiknya mengadopsi metode kerja “doing with the community” yang akan merangsang masyarakat menjadi aktif dan dinamis serta mampu mengidentifikasi mana kebutuhan yang sifatnya real needs, felt needs dan expected need.
Metode doing with the community ini sesuai dengan
gagasan Ki Hajar Dewantoro tentang kepemimpinan pendidikan di Indonesia yaitu – ing ngarso sung tulodo, ing madyo mangun karso dan tut wuri handayani – yang berfokus akan perlunya kemandirian yang partisipatif di dalam proses pembangunan
49
Masyarakat permukiman kampung kota yang lebih sering diidentikan dengan masyarakat miskin dengan tingkat pendidikan yang rendah dan pekerjaan yang banyak bergerak di sektor informal seperti yang telah diuraikan pada kajian pustaka, tidak seharusnya dibiarkan demikian adanya. Citra yang mengidentikan ciri-ciri kehidupan mereka tidak mustahil untuk diubah atau diperbaiki. seperti yang dilakukan oleh Romo Mangun pada permukiman di tepian Kali Code Jogjakarta dan Hassan Fathy di Mesir yang berhasil mengubah pola hidup masyarakat dengan pendekatan-pendekatan yang tidak menjadikan mereka sebagai obyek. Tetapi mengangkat masyarakat dengan kesadaran bahwa mereka mampu mengangkat harga dirinya dengan memposisikan mereka sendiri sebagai subyek. Model yang yang diperkenalkan Etzioni seperti yang dikutip M. Poloma (1984) untuk menjawab berbagai masalah masyarakat moderen yaitu: •
Bagaimana seseorang mengendalikan masa depannya?
•
Bagaimana masa depan itu agar lebih banyak ditentukan tindakan rasional tetapi spontan daripada ditentukan oleh nasib?
•
Bagaiman aktor individual diarahkan?
•
Sejauh mana kekuatan self-kontrolnya? Masyarakat aktif adalah masyarakat yang menguasai dunia sosial mereka yang
sangat berbeda dengan masyarakat pasif dimana para anggotanya dikendalikan oleh kekuatan-kekuatan luar atau kekuatan aktif lainnya. Orientasi masyarakat aktif memiliki tiga komponen: kesadaran pribadi, pengetahuan para aktor, dan komitmen pada satu atau lebih tujuan yang harus dicapai serta fasilitas sosial untuk mengubah tatanan sosial Masyarakat aktif adalah masyarakat yang memiliki daya atau kemampuan untuk mengendalikan masa depannya. Slamet (2003) menjelaskan bahwa masyarakat berdaya adalah masyarakat yang tahu, mengerti, paham, termotivasi, berkesempatan, memanfaatkan peluang, berenergi, mampu bekerjasama, tahu berbagai alternatif, mampu mengambil keputusan, berani mengambil resiko, mampu mencari dan menangkap informasi dan mampu bertindak sesuai situasi. Ife (1995) mengatakan bahwa pemberdayaan adalah pemberian kekuasaan yang diartikan penguasaan klien atas: (1) pilihan-pilihan personal dan kesempatan hidup: kemampuan membuat keputusan mengenai gaya hidup, tempat tinggal,
50
pekerjaan; (2) pendefinisian kebutuhan: kemampuan menentukan kebutuhan sesuai dengan aspirasi dan keinginannya, (3) idea tau gagasan: kemampuan mengekspresikan dan menyumbangkan gagasan secara bebas tanpa tekanan, (4) lembaga-lembaga: kemampuan
menjangkau,
menggunakan
dan
mempengaruhi
paranata-pranata
masyarakat seperti lembaga kesejahteraan sosial, pendidikan, kesehatan, (5) sumbersumber:
kemampuan
memobilisasi
sumber-sumber
formal,
informal
dan
kemasyarakatan, (6) aktivitas ekonomis: kemampuan seseorang memanfaatkan dan mengelola mekanisme produksi, distribusi, dan pertukaran barang serta jasa dan (7) reproduksi: kemampuan dalam kaitannya dengan proses kelahiran, perawatan anak, pendidikan dan sosialisasi. Sumarjo (1999) mengungkapkan cirri-ciri masyarakat yang berdaya yaitu: mampu memahami diri dan potensinya, mampu mengantisipasi kondisi perubahan ke depan, mampu mengarahkan dirinya sendiri, memiliki kekuatan untuk berunding, memiliki posisi tawar yang memadai dalam melakukan kerjasama yang saling menguntungkan dan bertanggungjawab atas tindakannya sendiri. Menurut Sumitro seperti dikutip Vitayala (1995) tingkat kemampuan masyarakat merupakan prasyarat penting dalam perkembangan masyarakat masa mendatang sehingga yang perlu diperhatikan adalah kemampuan: (1) mengidentifikasi dan memanfaatkan potensi alam lingkungan, (2) melihat kendala alam yang menghambat pemenuhan kebutuhan, (3) mendapatkan inovasi yang lebih lebih efisien, (4) menetralisir belenggu sosial kemasyarakatan, (5) melaksanakan fungsi manajemen dan kepemimpinan masyarakat, (6) melaksanakan fungsi manajemen dan organisasi usaha, (7) mengawinkan teknologi yang dimiliki dengan proses produksi yang akan dilaksanakan, (8) berpartisipasi melaksanakan politik dan (9) menetralisir kondisi birokrasi.
51
KERANGKA BERPIKIR DAN HIPOTESIS PENELITIAN Penelitian ini berawal dari kenyataan bahwa permukiman kampung kota di Bandung semakin meluas seiring dengan tingginya urbanisasi dan pertumbuhan alami penduduk kota sendiri. Hal ini mengakibatkan kebutuhan permukiman meningkat pula. Penyediaan permukiman yang terjangkau dan layak huni belum sepenuhnya dapat disediakan oleh masyarakat sendiri maupun oleh pemerintah, sehingga kapasitas daya dukung lingkungan melebihi kapasitasnya yang mengakibatkan menurunnya kualitas lingkungan permukiman kampung kota. Berikut digambarkan secara skematis penyebab
terjadinya
penurunan
kualitas
permukiman
yang
menjadi
fokus
permasalahan dalam penelitian ini. Kota sebagai pusat ekonomi, sosial, pendidikan dlsb.
Urbanisasi
Kebutuhan akan rumah dan permukiman di kota meningkat
Pertumbuhan alami
Terbatasnya kemampuan ekonomi masyarakat
Kurang siapnya Kota mengakomodasi perkembangan yang sangat pesat
Tumbuh dan meluasnya permukiman kampung kota yang tidak teratur, tidak terencana dengan kualitas sarana dan prasana yang buruk
Rendahnya kualitas Sumber daya manusia
Rendahnya kualitas rumah tinggal/ hunian
Rendahnya kualitas sarana lingkungan permukiman
MASALAH PENELITIAN Karakteristik individu masyarakat
Penyuluhan untuk menggerakan masyarakat agar dapat berpartisipasi meningkatkan kualitas lingkungan
Karakteristik modal sosial masyarakat
Karakteristik fisik lingkungan permukiman
Kebutuhan akan rumah dan lingkungan
persepsi dan motivasi meningkatkan kualitas lingkungan
Partisipasi masyarakat untuk meningkatkan kualitas lingkungan
Gambar 6
Meningkatnya kualitas SDM/warga masyarakat Meningkatnya kualitas hunian dan lingkungan permukiman Meningkatnya kualitas hidup
Kedudukan penelitian dalam permasalahan permukiman kota
52
Kerangka Berpikir Penelitian Pembangunan permukiman pada dasarnya merupakan jenis pembangunan yang sifatnya untuk memenuhi kebutuhan dasar masyarakat. Pembangunan permukiman merupakan pembangunan yang melibatkan perseorangan (individu), kelompok, atau dalam kerangka yang lebih luas yaitu komunitas hingga masyarakat luas. Karena itu pembangunan permukiman terkait erat dengan berbagai aspek, seperti: sosial, budaya, ekonomi, politik, ekologi dan tata ruang wilayah. Berikut adalah kerangka berpikir yang dijadikan sebagai paradigma penelitian ini dengan mengacu pada teori-teori yang dibahas pada tinjauan pustaka Standar rumah dan permukiman sehat Standar rumah dan permukiman sehat didasarkan pada kondisi fisik, kimia, biologik di dalam rumah dan permukiman yang memenuhi Kepmen Kesehatan No. 829/MENKES/SK/VII/1999, APHA dan Azwar (1990) yang menyangkut persyaratan bahan bangunan, komponen dan penataan ruang rumah dan permukiman, pencahayaan, kualitas udara, ventilasi, binatang penular penyakit, air, sarana penyimpanan makanan yang aman, limbah, dan kepadatan hunian Tabel 6 Standar Rumah dan Permukiman Sehat Kualitas rumah dan permukiman sehat Elemen pendukung Standar sehat Pondasi Kuat untuk meneruskan beban ke tanah demi kestabilan bangunan rumah Lantai Kedap air dan tidak lembab Jendela dan pintu Rumah
Dinding Langit-langit Atap Prasarana lingkungan
Permukiman Sarana Lingkungan
Luas minimum 10% luas lantai untuk ventilasi dan masuknya sinar matahari Kedap air yang berfungsi untuk menyangga atap, menahan angin dan air hujan, melindungi dari panas, dan debu dari luar serta menjaga privacy penghuni Tinggi minimun 2,4m dari lantai untuk menahan dan menyerap terik matahari Mampu untuk melindungi masuknya debu, angin dan air hujan serta penahan panas matahari Ketersediaan dan kondisi yang dapat digunakan secara optimal dari jaringan jalan, jaringan pembuangan limbah dan sampah, jaringan saluran air hujan, jaringan pengadaan air bersih, jaringan listrik dan telpon Ketersediaan dan kondisi yang dapat digunakan dengan optimal dari fasiltas umum, tempat belanja, tempat peribadatan, tempat sosialisasi dan rekreasi, tempat olahraga, tempat pendidikan dan tempat kesehatan
53
Tingkatan Modal Sosial Konsep modal sosial banyak memiliki tafsir yang dipandang oleh setiap ahli dalam terminologi yang berbeda. Berdasarkan konsep modal sosial dari Putnam (1995), Fukuyama (1995; 2003), dan Coleman (1998) dibuat tabel mengenai tingkatan modal sosial masyarakat. Tabel 7. Tingkatan Modal Sosial Unsur modal sosial Saling percaya (trust)
Relasi mutual (resiprositas)
Norma dan nilai sosial
Jaringan/ organisasi masy dan peran tokoh
Modal sosial rendah • Tidak percaya pada orang lain, tetangga atau komunitasnya • Curiga terhadap tetangga dan warga koomunitasnya • Penuh konflik • Hubungan ketetanggaan tidak akrab/hampir tidak kenal • Tidak pernah saling menolong • Tidak pernah saling memberi • Hanya menjaga miliknya dan keluarganya Tidak taat terhadap aturan: • agama • sosial • hukum yang berlaku • Tokoh masyarakat tidak berbuat apapun untuk masyarakat • Organisasi masyarakat tidak memberi pengaruh apapun terhadap perilaku warga maupun lingkungan
Modal sosial sedang
Modal sosial tinggi
• Hanya percaya pada tetangga kiri kanan rumah • Terkadang terjadi konflik dengan tetangga
• Saling percaya antar tetangga dan warga komunitas • Tidak pernah terjadi konflik (jarang sekali)
• Berhubungan dengan tetangga jika perlu atau seperlunya saja • Menolong jika diminta • Memberi jika berlebih • Hanya menjaga kepentingan kelompoknya
• Hubungan ketetanggaan yang akrab • Saling menolong • Saling memberi • Saling menjaga
Taat terhadap aturan dan Taat terhadap aturan: norma jika itu • agama menguntungkan diri dan • sosial kelompoknya • hukum yang berlaku • Tokoh masyarakat • Tokoh masyarakat aktif mengajak berbuat untuk warganya untuk masyarakat dan meningkatkan lingkungan jika ada kualitas lingkungan masalah • Organisasi masyarakat • Organisasi masyarakat bekerja jika ada membuat kegiatan kegiatan yang terprogram untuk dikerjakan bersama warga
54
Tingkatan kebutuhan akan rumah Dengan mengacu pada hirarki kebutuhan manusia menurut Maslow (Sastra 2006, Budihardjo, 1998) penggolongkan tingkat kebutuhan manusia terhadap rumah tinggal adalah sebagai berikut:
Self actualization needs
Self esteem or ego needs
Kebutuhan V
Kebutuhan IV
Social needs Safety and security needs
Survival needs/Phisiogical needs
Gambar 7
Kebutuhan III Kebutuhan II
Kebutuhan I
Hirarki kebutuhan manusia menurut Maslow
Tabel 8 . Hirarki Kebutuhan akan Rumah Kebutuhan fisiologis (Survival needs or Phisilogical needs) Rasa aman (Safety and Security needs) Kebutuhan sosial (Social Needs or Affiliation needs) Harga diri, kehormatan, ego Self Esteem needs
Aktualisasi diri (Self actualization needs)
Kebutuhan akan rumah Rumah merupakan sarana untuk menunjang keselamatan hidup dari ganggunan alam (iklim dan cuaca) dan makhluk hidup lain. Kebutuhan terhadap keselamatan dan keamanan yang terkait dengan keselamatan dari kecelakaan anggota badan serta hak milik, menjalankan kegiatan ritual, menjamin hak pribadi Rumah memberikan peluang untuk interaksi dan aktivitas komunikasi yang akrab dengan lingkungan sekitar: teman, tetangga, keluarga dan berperan sebagai identitas seseorang untuk diakui dalam golongan masyarakat. Kebutuhan yang terkait dengan aspek psikologis untuk dihargai dan diakui eksistensinya. Rumah memberi peluang untuk tumbuhnya harga diri dan sarana untuk mendapatkan pengakuan atas jati dirinya dari masayrakat sekitarnya. Rumah sudah bukan kebutuhan primer lagi, tetapi sudah meningkat kepada kebutuhan yang lebih tinggi yang harus dipenuhi setelah kebutuhan pokok terpenuhi. Kebutuhan yang terkait dengan aspek psikologis namun pada tingkat ini rumah tidak saja merupakan sarana peningkatan kebanggaan dan harga diri tetapi juga agar dapat dinikmati dalam bentuk pewadahan kreativitas dan pemberian makna bagi penghuninya melalui hobby, minat , kontemplasi dan lain-lain sebagai cerminan ekspresi diri, realisasi diri dan jati diri.
55
Tingkatan Partisipasi Masyarakat Berdasarkan pemikiran para pakar tentang jenis dan tingkatan partisipasi menurut Slamet (2001, 2003), Deshler dan Sock (1985) dan tingkatan partisipasi yang dikeluarkan oleh PBB dibuat tabel tingkatan partisipasi masyarakat seperti berikut: Kontrol sosial Pendelegasian kerjasama Konsultasi Penentraman Informasi Terapi Manipulasi
Gambar 8
Tingkatan Partisipasi Masyarakat
Tabel 9. Tingkatan Partisipasi Masyarakat Tingkat 1
Jenis Partisipasi Manipulasi
2
Terapi
3
Informasi
4
Konsultasi
5
Penentraman
6
Kerjasama
7
Pendelegasian
8
Kontrol sosial
Perlakuan terhadap masyarakat Mendudukkan masyarakat sebagai obyek pembangunan dan dimanipulasi agar sesuai dengan harapan/program yang telah dirumuskan oleh pengambil keputusan (pemerintah) Mendudukan masyarakat sebagai pihak luar yang tidak tahu apa-apa dan harus percaya terhadap keputusan pemerintah Pemberian informasi akan apa yang akan dilakukan oleh pemerintah seperti pemasyarakatan program dan lain-lain Memberikan kesempatan kepada masyarakat untuk berkonsultasi mengenai apa yang akan dilakukan oleh pemerintah di lokasi yang bersangkutan Merekrut tokoh masyarakat untuk duduk dalam panitia pembangunan sebagai upaya menentramkan masyarakat tetapi keputusan tetap di tangan pemerintah mendudukkan masyarakat sebagai mitra pembangunan yang setara sehingga keputusan dimusyawarahkan dan diputuskan bersama Memberikan kewenangan penuh kepada masyarakat untuk mengambil keputusan yang langsung menyangkut kehidupan mereka keputusan tertinggi dan pengendalian ada di tangan masyarakat
Partisipasi baru benar-benar terjadi bila ada kadar kedaulatan rakyat yang cukup dan kadar kedaulatan rakyat yang tertinggi adalah bila terjadi kontrol sosial oleh masyarakat. Metode yang dapat mengakomodasi aspirasi masyarakat adalah pembangunan partisipatif yaitu pembangunan yang secara langsung melibatkan semua pihak yang terkait dalam proses pengambilan dan pelaksanaan keputusan dengan tetap
56
mendudukkan komunitas atau masyarakat penerima manfaat sebagai pelaku utama, artinya keputusan-keputusan penting yang langsung menyangkut hidup mereka sepenuhnya ada di tangan komunitas/masyarakat. Dalam upaya mewujudkan partisipasi masyarakat/komunitas perlu lebih dahulu membangun kesadaran masyarakat/komunitas tersebut agar masyarakat dapat merubah dirinya menjadi masyarakat aktif yang memiliki daya untuk berpartisipasi meningkatkan kualitas hidup dan lingkungannya. Masyarakat aktif yang berdaya Berdasarkan pemikiran para pakar tentang ciri-ciri masyarakat berdaya (Etzioni dalam Paloma,1984; Tampubolon 2006), dibuat tabel masyarakat aktif yang dikategorikan pada tiga aspek yaitu kognitif, afektif dan psikomotor sebagai berikut: Tabel 10. Ciri-ciri Masyarakat Aktif Aspek Perilaku Kognitif
Masyarakat Aktif 1. Pengetahuan yang luas sehingga memiliki persepsi yang tepat tentang suatu kondisi/masalah 2. Mampu mengenali kendala yang diakibatkan keterbatasan lingkungan 3. Mampu mengenali kebutuhannya dengan baik
1. 2. 3. 4.
Afektif
Psikomotor
Bertanggung jawab Dapat dipercaya Peduli terhadap sesama Motivasi yang tinggi untuk mewujudkan pemenuhan kebutuhan yang dirasakan 1. Mampu menemukan solusi dan inovasi yang tepat untuk memenuhi kebutuhannya 2. Berpartisipasi aktif untuk mencapai tujuan bersama
Masyarakat Pasif
1. Pengetahuan terbatas sehingga memiliki persepsi yang salah tentang suatu kondisi/masalah 2. Kurang mampu mengenali kendala yang diakibatkan keterbatasan lingkungan 3. Kurang mampu mengenali kebutuhannya dengan baik 1. Kurang bertanggung jawab 2. Kurang dapat dipercaya 3. Kurang peduli terhadap sesama 4. Motivasi rendah untuk mewujudkan pemenuhan kebutuhan yang dirasakan 1. Kurang mampu menemukan solusi dan inovasi untuk memenuhi kebutuhannya 2. Kurang berpartisipasi untuk mencapai tujuan bersama
Masyarakat berdaya yang merupakan wujud dari masyarakat aktif yang mampu mengendalikan diri tentu saja tidak tercipta dengan sendirinya namun harus dibarengi dengan pendidikan/pengetahuan, karena pengetahuan merupakan kunci untuk mewujudkan masyarakat aktif. Untuk mewujudkan masyarakat aktif diperlukan suatu tindakan yang dapat membantu masyarakat untuk berubah dari keadaan tidak mau
57
karena tidak tahu dan tidak mampu menjadi masyarakat yang tahu dan mau serta mampu melakukan sesuatu untuk memenuhi kebutuhannya secara mandiri. Cara yang tepat untuk mewujudkan masyarakat aktif adalah dengan pendidikan masyarakat atau penyuluhan seperti yang diungkapkan oleh Margono Slamet (1995) yang menyatakan bahwa penyuluhan dapat digunakan untuk membentuk pola perilaku tertentu masyarakat, dalam jangka waktu tertentu, sebagai syarat untuk dapat memperbaiki kehidupan rakyat. Dengan mengacu pada pemikiran Prabowo Tjitropranoto (2005) untuk membentuk pola perilaku masyarakat agar menjadi masyarakat aktif, maka dalam penyuluhan perlu dilakukan inovasi sosial seperti berikut: PENYULUHAN SEBAGAI INOVASI SOSIAL PENGETAHUAN KETERAMPILAN PERSEPSI SIKAP
K LINGKUNGAN
KEPRIBADIAN Semangat Percaya diri Keamuan Ulet Mandiri Kompeten Berpikir positif Kreatif Rasional
BUDAYA DAN TRADISI
Gambar 9
Konsep Inovasi Sosial
Sumber: Prabowo Tjitropranoto (2005)
Gambar di atas memperlihatkan area kerja penyuluhan untuk membentuk masyarakat aktif yang harus mencakup tiga lapisan yaitu: (1) lapisan lingkar terluar merupakan kawasan pengetahuan, keterampilan dan persepsi, (2) lapisan lingkar tengah merupakan kawasan sikap dan (3) lapisan lingkar terdalam yaitu kawasan kepribadian yang terdiri dari semangat, percaya diri, kemauan, ulet, mandiri, kompeten, berpikir positif, kreatif, dan rasional.
58
Penyuluhan permukiman dengan azas Tribina/Tridaya Peningkatan kualitas lingkungan permukiman kampung kota pada dasarnya merupakan usaha peningkatan mutu kehidupan masyarakat kampung melalui kegiatan yang dilaksakan secara terpadu yang terdiri dari komponen fisik dan non fisik. Tujuannya antara lain adalah untuk melengkapi dan menyempurnakan prasarana lingkungan dan pelayanan dasar bagi masyarakat kampung dan mendorong serta membina partisipasi masyarakat, agar dapat meningkatkan kemampuan pendapatan dan produktivitas masyarakatnya. Hak dan kesempatan masyarakat untuk berpartisipasi dinyatakan dalam UU RI No.4 Tahun 1992 tentang Perumahan dan Permukiman. Agar masyarakat luas bersedia dan mampu berperan serta dalam kegiatan pembangunan rumah dan lingkungan permukiman, pemerintah menyelenggarakan penyuluhan, pembimbingan, pendidikan dan pelatihan. Konsep pendekatan yang di gunakan dalam perbaikan kampung yang dapat digunakan untuk tujuan seperti di atas adalah penyuluhan permukiman dengan azas tribina dimana dalam upaya penyelenggaraan dan menyusun rancang bangun pelaksanaan program-program perbaikan kampung terkandung unsur-unsur: 1. Bina Manusia, Yaitu penyiapan masyarakat, baik yang di lakukan dalam rangka mengakomodasi aspirasi masyarakat, memampukan dan meningkatkan kualitas SDM melalui pelatihan ketrampilan teknis, serta memberikan tempat dan kesempatan masyarakat untuk ikut menentukan kegiatan yang di butuhkan. 2. Bina Usaha, yaitu kegiatan dalam rangka membangun dan mengembangkan kegiatan usaha masyarakat yang di laksanakan secara terpadu dengan instansi terkait. Pemerintah menunjang melalui penyediaan dan perbaikan prasarana dan sarana serta berbagai fasilitas yang mendukung aktifitas ekonomi. 3. Bina Lingkungan, yaitu upaya perbaikan dan pengembangan prasarana dan sarana
lingkungan
dalam
rangka
mempercepat
tercapainya
lingkungan
permukiman yang layak dalam lingkungan sehat, yang di harapkan dapat mengangkat harkat dan martabat kelompok masyarakat.
59 MASYARAKAT AKTIF YANG BERDAYA Pengetahuan: Pengetahuan luas, mampu mengenali kendala akibat keterbatasan lingkungan, mampu mengenali kebutuhan dirinya dengan tepat
Sikap: Bertanggungjawab, dapat dipercaya, peduli pada sesama, motivasi tinggi untuk mewujudkan kepentingan bersama
Keterampilan: Mampu menemukan solusi yang tepat untuk memenuhi kebutuhannya, berpartisipasi aktif untuk mencapai tujuan bersama KARAKTERISTIK WARGA KAMPUNG KOTA
INOVASI SOSIAL DAN PENYULUHAN PERMUKIMAN DENGAN ASAS TRIBINA
PERSEPSI DAN MOTIVASI MENINGKATKAN KUALITAS LINGKUNGAN
MODAL SOSIAL MASYARAKAT KAMPUNG KOTA
ANALISIS DEDUKTIF • Telaah teori • Hasil observasi • Hasil diskusi dan masukan dari para ahli
PARTISIPASI MENINGKATKAN KUALITAS LINGKUNGAN PERMUKIMAN KAMPUNG KOTA
TINGKAT KEBUTUHAN AKAN RUMAH
BINA WARGA UNTUK SOLUSI SOSIAL
BINA USAHA UNTUK SOLUSI KEBERDAYAAN FIINANSIAL
BINA LINGKUNGAN UNTUK SOLUSI ARSITEKTURAL
MASYARAKAT PASIF KURANG BERDAYA
KARAKTERISTIK FISIK LINGKUNGAN PERMUKIMAN KAMPUNG KOTA
Pengetahuan: Pengetahuan terbatas, kurang mampu mengenali kendala akibat keterbatasan lingkungan, kurang mampu mengenali kebutuhan dirinya
Sikap: Kurang bertanggung jawab, kurang dapat dipercaya, tidak peduli, motivasi rendah untuk mencapai tujuan berasama
Keterampilan: Tidak mampu mencari dan menemukan solusi untuk memenuhi kebutuhannya, kurang mampu berpartisipasi dan bekerjasama dengan orang lain untuk mencapai tujuan bersama
Gambar 10
ANALISIS INDUKTIF dari Pengujian hipotesis • Survey • Wawancara mendalam • Diskusi kelompok terfokus • Uji Statistik • Analisis data sekunder
Kerangka berpikir penelitian
MODEL GERAKAN PARTISIPASI MASYARAKAT MENINGKATKAN KUALITAS LINGKUNGAN
Tumbuh dan berkembangnya partisipasi masyarakat untuk meningkatkan kualitas lingkungan kampung kota
Meningkatnya kualitas hunian Meningkatnya kualitas lingkungan Meningkatnya kualitas hidup Meningkatnya modal sosial masyarakat
60
Berikut adalah kerangka model hipotetis penelitian: Karakteristik Warga (X1)
Usia Pendidikan Pekerjaan Pendapatan Jumlah anggota keluarga Lama tinggal
Modal Sosial Masyarakat (Y1)
Kepercayaan antar warga (Trust) Relasi mutual antar warga (Resiprositas) Norma dan Nilai Sosial Peran tokoh masyarakat dan organisasi masyarakat
Tingkat kebutuhan akan rumah (Y3)
Tingkat kebutuhan akan rumah Kemampuan memenuhi kebutuhan akan rumah Kondisi fisik rumah Ketersediaan ruang dalam rumah
Persepsi dan motivasi meningkatkan kualitas lingkungan permukiman (Y2) Karakteristik fisik lingkungan permukiman (X2)
Persepsi tentang kualitas rumah dan lingkungan Motivasi meningkatkan kualitas rumah dan lingkungan kampung
karakteristik fisik lingkungan permukiman Karakteristik sarana lingkungan permukiman yang tersedia saat ini
Gambar 11
Model Hipotetis Penelitian
Partisipasi masyarakat meningkatkan kualitas lingkungan (Y4)
- Sikap proaktif meningkatkan kualitas lingkungan permukiman kampung - Partisipasi meningkatkan kualitas lingkungan kampung - Frekuensi partisipasi meningkatkan kualitas lingkungan kampung
61
Hipotesis Penelitian dan Model Hubungan antar Variabel Berdasarkan rumusan masalah penelitian, tujuan penelitian, tinjauan pustaka dan kerangka berpikir, maka hipotesis dalam penelitian ini dirumuskan sebagai berikut: (1) Modal sosial masyarakat dipengaruhi secara nyata oleh karakteristik individu dan karakteristik fisik lingkungan permukiman. (2) Persepsi dan motivasi meningkatkan kualitas lingkungan dipengaruhi secara nyata oleh karakteristik individu, karakteristik fisik lingkungan permukiman, dan karakteristik modal sosial masyarakat. (3) Tingkat kebutuhan akan rumah dan lingkungan permukiman dipengaruhi secara nyata oleh karakteristik individu, karakteristik fisik lingkungan, modal sosial masyarakat, persepsi dan motivasi meningkatkan kualitas lingkungan (4) Partisipasi masyarakat untuk meningkatkan kualitas lingkungan dipengaruhi secara nyata oleh karakteristik individu, karakteristik fisik lingkungan permukiman, modal sosial, persepsi dan motivasi meningkatkan kualitas lingkungan
Model Hubungan Antar Variabel dalam Hipotesis Penelitian 1. Modal sosial masyarakat dipengaruhi secara nyata oleh karakteristik individu (X1) dan karakteristik fisik lingkungan permukiman (X2) Karakteristik individu Karakteristik fisik Lingkungan Permukiman
Modal sosial masyarakat
2. Persepsi dan motivasi meningkatkan kualitas lingkungan (Y2) dipengaruhi secara nyata oleh karakteristik individu (X1), karakteristik lingkungan fisik permukiman (X2), dan modal sosial masyarakat (Y1 Karakteristik individu Karakteristik fisik lingkungan permukiman
Persepsi dan motivasi Meningkatkan Kualitas Lingkungan
62
3. Tingkat kebutuhan akan rumah (Y3) dipengaruhi secara nyata oleh karakteristik individu (X1), karakteristik fisik lingkungan permukiman (X2), modal sosial masyarakat (Y1), dan persepsi dan motivasi meningkatkan kualitas lingkungan (Y2)
Modal Sosial Masyarakat Karakteristik individu
Karakteristik fisik lingkungan permukiman
Tingkat kebutuhan akan rumah
Persepsi dan motivasi meningkatkan kualitas lingkungan
4. Partisipasi meningkatkan kualitas lingkungan (Y4) dipengaruhi secara nyata oleh karakteristik individu (X1), karakteristik fisik lingkungan permukiman (X2), modal sosial masyarakat (Y1), persepsi dan motivasi meningkatkan kualitas lingkungan permukiman (Y2) dan tingkat kebutuhan akan rumah (Y3)
Modal Sosial Masyarakat Karakteristik individu
Karakteristik Fisik lingkungan Permukiman
Partisipasi meningkatkan kualitas Lingkungan Permukiman Persepsi dan motivasi meningkatkan kualitas lingkungan
63
METODE PENELITIAN Rancangan Penelitian Fenomena meluasnya lingkungan permukiman kumuh di perkotaan merupakan fenomena hubungan antara manusia dan lingkungannya yang ditandai dalam dua bentuk yaitu fisik dan non fisik. Aspek fisik adalah aspek yang terkait dengan bentukan fisik dan semua gejala lingkungan fisik permukiman. Sedangkan aspek non fisik adalah respon manusia pada lingkungannya yang sifatnya sangat variatif pada setiap individu dan sangat kualitatif. Penelitian untuk mengungkap fenomena sejenis ini menuntut metode penelitian yang spesifik yang harus dapat mengungkap aspek fisik sekaligus aspek non fisik sehingga dalam penelitian ini digunakan metode kuantitatif dan kualitatif. Penelitian ini berbentuk explanatory research yang bertujuan untuk menjelaskan hubungan dan pengaruh antar variabel penelitian melalui pengujian hipotesis dengan uji statistik. Pendekatan kualitatif dilakukan dalam upaya menjelaskan substansi hasil uji statistik yang didapat. Secara singkat uji statistik yang dilakukan adalah sebagai berikut: Tabel 11 Metode penelitian dan Lingkup Kajian No Metode Lingkup Kajian 1 Deskriptif Karakteristik individu penghuni permukiman kampung kota Karakteristik lingkungan permukiman kampung kota yang terdiri dari karakteristik fisik kampung dan kondisi sarana prasarana yang tersedia Karakteristik sosial masyarakat (modal sosial) yang terdiri atas kepercayaan (trust) dan relasi mutual, norma dan nilai sosial, jaringan/organisasi masyarakat dan peran tokoh masyarakat Tingkat kebutuhan akan rumah pada masyarakat kampung kota Partisipasi masyarakat untuk tingkatkan kualitas lingkungan 2 Deskriptif Hubungan karakteristik individu, karakteristik fisik Korelasional lingkungan permukiman, karakteristik modal sosial dan partisipasi meningkatkan kualitas lingkungan permukiman 3 Analisis Arah pengaruh dan bersar pengaruh antara variabel jalur karakteristik individu, karakteristik fisik lingkungan permukiman, karakteristik modal sosial, tingkat kebutuhan akan rumah terhadap partisipasi masyarakat untuk meningkatkan kualitas lingkungan
64
Lokasi, Populasi dan Sampel Penelitian dilakukan di empat kelurahan di Kota Bandung Propinsi Jawa Barat. Pemilihan sampel lokasi dilakukan secara purposif. Kelurahan-kelurahan terpilih ini memiliki permukiman yang dikategorikan kampung kota yang diantaranya mengalami penurunan kualitas lingkungan (kumuh) berdasarkan hasil identifikasi Dinas Perumahan dan Tata Kota Kota Bandung. Ke-empat kelurahan tersebut adalah Kel. Arjuna Kec. Cicendo, Kel. Cikawao Kec. Lengkong, Kel. Kebon Pisang Kec. Sumur Bandung dan Kel. Cibangkong Kec. Batununggal. Alasan pemilihan lokasi-lokasi tersebut didasarkan pada keberadaan faktorfaktor yang dapat menyebabkan suatu lingkungan mengalami penurunan kualitas lingkungan (kumuh) yaitu lokasi permukiman terletak pada lokasi-lokasi dimana terdapat faktor (1) penarik ekonomi, (2) terletak pada kawasan yang manajemen pengelolaanya tidak terdefinisi dengan jelas seperti daerah bantaran sungai yang pengelolaannya berada pada pemerintah pusat, propinsi dan daerah, atau sekitar jalur KA yang pengelolaannya merupakan wewenang perusahaan KA dan pemerintah daerah yang dilalui jalur KA tersebut. Populasi dalam penelitian ini adalah keluarga yang bertempat tinggal di permukiman kampung kota yang telah dipilih sebagai sampel lokasi. Sampel Penelitian adalah responden yang merupakan bagian dari populasi. Pengambilan sampel responden dilakukan secara random. Jumlah sampel penelitian ditentukan berdasarkan Metode Slovin dengan kesalahan sampling yang dapat diterima sebesar 5% sehingga jumlah keseluruhan sampel adalah 240 KK yang diambil secara random dari masing-masing lokasi penelitian, masing-masing lokasi sebanyak 60 KK. Data dan Instrumen Pengumpulan Data Data yang dikumpulkan dalam penelitian ini meliputi data primer dan data sekunder. Data primer adalah data yang didapatkan secara langsung dari lapangan di lokasi penelitian. Data primer tersebut meliputi: (1) karakateristik individu warga masyarakat kampung kota yang dijadikan responden, (2) karakteristik fisik lingkungan permukiman kampung kota, (3) modal sosial masyarakat kampung kota, (4) persepsi dan motivasi meningkatkan kualitas lingkungan kampung, (5) tingkat kebutuhan akan rumah dan lingkungan permukiman dan (6) partisipasi masyarakat meningkatkan kualitas lingkungan permukiman.
65
Data sekunder adalah data pendukung penelitian yang didapat dari berbagai sumber seperti data potensi desa yang didapat dari kantor kelurahan-kelurahan yang lokasinya terpilih menjadi sampel penelitian, data dari Dinas tata ruang tentang lokasi kawasan-kawasan kumuh, buku-buku sumber, media masa, internet maupun sumber-sumber lainnya. Data sekunder yang mendukung penelitian ini adalah: peta kawasan yang dijadikan lokasi penelitian, perundang-undangan dan kebijakan yang terkait dengan penyediaan rumah dan permukiman, rumah dan lingkungan permukiman sehat, rencana strategis pembangunan di bidang permukiman. Teknik dan Instrumen Pengumpul Data Teknik pengumpulan data dalam penelitian ini mengacu kepada tujuan penelitian dan identifikasi variabel penelitian yang diteliti. Instrumen yang digunakan adalah sebagai berikut: 1. Observasi Observasi dilakukan untuk mengumpulkan data karakteristik fisik lingkungan kampung kota dan karakteristik hunian. Proses observasi dilengkapi dengan alat bantu berupa perekam visual (camera digital dan handycam), tape recorder, dan buku catatan yang dapat mendokumentasikan seluruh data yang dibutuhkan. 2. Focus Group Discusson (FGD) FGD adalah kepanjangan dari Focus Group Discussion atau Diskusi Kelompok Terfokus digunakan untuk menggali data dari peserta diskusi melalui sebuah diskusi berkelompok untuk membahas masalah partisipasi masyarakat dalam peningkatan kualitas lingkungan. Data hasil FGD digunakan untuk bahan analisis dan rumusan pengembangan model penyuluhan untuk meningkatkan kualitas lingkungan kampung kota yang berbasis masyarakat. 3. Kuisioner Instrumen kuisioner menggunakan jenis kuisioner tertutup dengan instrumen skala Likert yang telah dimodifikasi. Kuisioner dibuat dengan 5 pilihan jawaban yaitu nilai 5 (sangat setuju/sangat baik), nilai 4 (setuju/baik), nilai 3 (cukup/sedang), nilai 2 (tidak setuju/buruk), nilai 1 (tidak pernah/tidak ada) apabila pernyataan/ pertanyaan dalam bentuk kalimat positif dan jika pernyataan/pertanyaan dalam bentuk kalimat negatif maka penilaian nya adalah sebaliknya. Kuisioner ini digunakan untuk mendapatkan data karakteristik individu, karakteristik modal sosial
66
masyarakat, persepsi dan motivasi meningkatkan kualitas lingkungan, tingkat kebutuhan akan rumah dan partisipasi masyarakat untuk meningkatkan kualitas lingkungan. 4. Wawancara Teknik wawancara digunakan untuk menggali informasi yang lebih dalam pada beberapa responden berkenaan dengan substansi penelitian. Data hasil wawancara dan hasil FGD digunakan untuk memperkuat data-data kuantitaif dalam penelitian ini yang digunakan sebagai dasar pengembangan model penyuluhan untuk merumuskan strategi gerakan masyarakat untuk meningkatkan kualitas lingkungan kampung kota. Untuk mengetahui kelayakan instrumen sebagai alat pengumpul data perlu dilakukan ujicoba instrumen dan untuk hal tersebut perlu dilakukan analisis validitas dan reliabilitas. Dengan menggunakan instrumen yang valid dan reliabel dalam pengumpulan data maka diharapkan hasil penelitian akan menjadi valid dan reliabel. Validitas Instrumen Validitas adalah suatu ukuran yang menunjukkan tingkat keandalan atau kesahihan suatu alat ukur. Jika instrumen dikatakan valid berarti menunjukkan alat ukur yang digunakan untuk mendapatkan data dapat digunakan untuk mengukur apa yang seharusnya diukur (Sugiyono, 2004). Validitas merujuk pada “sejauh mana” suatu pengukuran secara empiris cukup menggambarkan makna nyata dari konsep yang sedang dipertimbangkan. Validitas instrumen diperlukan untuk memberikan keyakinan tentang ketepatan perangkat pengukuran yang digunakan sehingga mendapatkan data sesuai dengan tujuan penelitian. Dalam penelitian ini uji validitas instrumen yang dilakukan adalah jenis uji validitas konstruks (construct validity) untuk menilai seberapa jauh instrumen dapat mengukur sifat bangunan pengertian. Untuk menunjukkan validitas konstruks perlu dilakukan pendekatan rasional dan empirik. Pendekatan rasional didasarkan kepada unsur yang membentuk konstruks tersebut serta menetapkan apakah butir-butir pertanyaan/pernyataan sesuai dalam menaksir unsur dalam kuesioner. Pendekatan empiris dimaksudkan untuk melihat instrumen dari segi internal yaitu kesesuaian dengan apa yang diramalkan oleh konstruks tersebut.
67
Untuk menguji validitas konstruks digunakan pendapat dari ahli yang dalam hal ini adalah 3 orang dosen pembimbing yang dianggap ahli di bidangnya Setelah instrumen dikonstruksi tentang aspek-aspek yang akan diukur dengan berlandaskan teori tertentu, selanjutnya dikonsultasikan dengan ahli. Para ahli diminta pendapatnya tentang instrumen yang telah disusun itu. Dari proses konsultasi tersebut beberapa kali instrumen diperbaiki sesuai dengan saran dan masukan yang diberikan. Setelah pengujian konstruksi dari ahli selesai, dilanjutkan dengan uji coba instrumen. Instrumen yang telah disetujui para ahli tersebut diujicobakan pada sampel darimana populasi diambil. Jumlah anggota yang digunakan adalah 30 orang. Setelah data didapat dan ditabulasikan, maka pengujian validititas dilakukan dengan analisis faktor yaitu dengan mengkorelasikan antara skor item instrumen dengan rumus Product Moment dari Pearson, yaitu:
r hitung =
n ( ∑ XY ) – ( ∑X ) . ( ∑Y )
√( n . ∑ X2 –
(∑X2 )) . ( n . ∑Y2 ) – (∑Y2 ))
r hitung = Koefisien korelasi ∑Xi = Jumlah skor item ∑Yi
= Jumlah skor total (seluruh item)
n
= Jumlah responden
Setelah perhitungan korelasi (r) tersebut dilakukan, kemudian dikonsultasikan dengan r tabel pada taraf signifikansi 95% = 0,241. Dengan demikian butir-butir pertanyaan/pernyataan dalam kuisioner yang memiliki korelasi di bawah taraf signifikansi 95% dinyatakan tidak valid. Dari hasil perhitungan tersebut terdapat 13 butir pertanyaan/pernyataan yang tidak valid. Butir-butir yang tidak valid ini dikeluarkan dari kuisioner dan tidak digunakan dalam pengambilan data selanjutnya. Reliabilitas Instrumen Reliabilitas diartikan sebagai tingkat stabilitas dan konsistensi skala yang dihasilkan apabila suatu gejala diukur beberapa kali seperti yang dikatakan Singarimbun (1989): Reliabilitas merupakan istilah yang dipakai untuk menunjukkan sejauhmana suatu hasil pengukuran relatif konsisten apabila pengukuran diulangi dua kali atau lebih. Kerlinger (1990) mengatakan bahwa terdapat tiga pendekatan untuk mengukur reliabilitas, yaitu (1) apabila alat ukur tersebut digunakan berulang kali
68
memberikan hasil yang sama, (2) apabila alat ukur tersebut dapat mengukur hal yang sebenarnya dari sifat yang diukur, (3) galat pengukurannya. Galat pengukuran merupakan himpunan akibat dari berbagai sumber pengaruh: unsur acak atau kebetulan yang biasa terjumpai, keletihan sementara, kondisi serba kebetulan pada suatu saat tertentu yang mempengaruhi obyek pengukuran atau instrumen pengukuran, fluktuasi daya ingat orang atau suasana hati dan faktor-faktor lain yang bersifat sementara dan terus menerus bergeser. Hal ini mengandung arti bahwa semakin besar galat, makin rendah tingkat reliabilitas suatu penelitian, demikian pula sebaliknya. Dalam penelitian ini uji coba reliablitas instrumen menggunakan Uji Cronbach Alpha, dengan rumus: ⎡ n 2 ⎤ σ Y1 ⎥ n ⎢ ∑ i =1 ⎥ ⎢ α= 1n -1 ⎢ σ 2X ⎥ ⎥⎦ ⎢⎣
α
= koefisien alpha, atau koefisien reliabilitas alpha
n
= jumlah butir pada perangkat instrumen
σ 2Yi = varian variabel acak skor observasi butir ke-i
σ 2X
= varian variabel acak skor observasi pada semua butir
Dari hasil uji reliabilitas yang dilakukan, koefisien alpha yang diperoleh menunjukkan bahwa pengukuran yang dilakukan dalam penelitian ini adalah reliabel seperti dapat dilihat pada tabel berikut Tabel 12 Hasil uji Reliabilitas Variabel Karakteristik individu Karakteristik fisik permukiman Modal sosial masyarakat Persepsi dan motivasi meningkatkan kualitas lingkungan Tingkat kebutuhan akan rumah dan permukiman Partisipasi meningkatkan kualitas lingkungan
Reliabilitas (Nilai Cronbach Alfa) 0,66 0,64 0,63 0,79 0,81 0,75
Dari tabel di atas terlihat bahwa bahwa besarnya koefisien reliabilitas alpha yang
diperoleh menunjukkan > 0,60. Dengan demikian instrumen penelitian yang digunakan merupakan alat ukur yang koefisien reliabilitasnya dapat diterima
69
Variabel Penelitian Dalam penelitian ini terdapat beberapa model analisis hubungan antara variabel yang terdiri atas lima variabel bebas, empat variabel bebas sekaligus terikat dan satu variabel terikat. Variabel-variabel utama tersebut adalah:
Variabel bebas (1) Karakteristik individu (X1) (2)
Karakteristik fisik lingkungan permukiman (X2)
Variabel bebas sekaligus variabel terikat (3)
Modal sosial masyarakat (Y1)
(4)
Persepsi dan motivasi meningkatkan kualitas lingkungan (Y2)
(5)
Tingkat kebutuhan akan rumah (Y3)
Variabel terikat (6)
Partisipasi masyarakat dalam meningkatkan kualitas lingkungan (Y4)
Definisi Operasional Variabel Penelitian Untuk dapat mengukur variabel yang telah ditetapkan dalam penelitian ini, masing-masing variabel terlebih dahulu diberi batasan atau dioperasionalisasikan sehingga menjadi jelas, dan selanjutnya dapat diukur. Variabel-variabel yang dioperasionalkan tersebut meliputi variabel dan sub variabel yang diteliti dalam penelitian ini yaitu karakteristik individu, karakteristik fisik lingkungan permukiman kampung kota, modal sosial masyarakat di permukiman kampung kota, persepsi tentang kualitas lingkungan dan motivasi meningkatkan kualitas lingkungan, tingkat kebutuhan akan rumah dan lingkungan permukiman, dan partisipasi meningkatkan kualitas lingkungan permukiman.
Karakteristik Individu Karakteristik individu adalah keadaan individu pemukim yang membedakan satu pemukim dengan pemukim lainnya (satu individu keluarga dengan individu keluarga lainnya) yang dipengaruhi oleh: umur, pendidikan, pekerjaan, pengeluaran, jumlah keluarga, dan lama tinggal di permukiman saat ini. Secara lengkap Variabel karakteristik individu dan indikatornya dijelaskan seperti berikut:
70
Tabel 13 Variabel dan Indikator Karakteristik lndividu Indikator 1. Usia
Parameter Tingkatan Usia (Jumlah tahun sejak lahir sampai dengan saat dilakukan wawancara)
2. Pendidikan
Tingkat pendidikan formal yang pernah ditempuh yang sudah diselesaikan sampai dengan saat dilakukan wawancara
3. Pekerjaan
Kegiatan yang dilakukan keluarga dalam memenuhi kebutuhan hidup sehari-hari
4. Pendapatan
Jumlah total pendapatan keluarga: a. Pendapatan kepala keluarga selama satu bulan yang digunakan untuk kebutuhan sehari-hari b. Pendapatan anggota keluarga lain yang digunakan untuk menambah kebutuhan keluarga selama satu bulan Jumlah anggota keluarga (jiwa) yang tinggal dalam satu rumah
5. Jumlah keluarga 6. Lama tinggal
Jumlah tahun sejak pertama tinggal di permukiman kampung kota sampai saat dilaksanakannya wawancara
Karakteristik Fisik Lingkungan Permukiman Karakteristik lingkungan fisik terdiri dari (1) ketersediaan prasarana lingkungan permukiman seperti jaringan jalan, jaringan pematusan air hujan (drainase), jaringan pembuangan limbah dan sampah, jaringan pengadaan air bersih, jaringan listrik, telpon, dan ketersediaan sarana lingkungan seperti fasilitas tempat belanja, tempat peribadatan, tempat sosialisasi dan rekreasi, tempat olah raga, tempat pendidikan dan tempat kesehatan, dan (2) Kondisi sarana dan prasarana lingkungan permukiman yang tersedia saat ini. Berikut adalah variabel dan indikator Karakteristik lingkungan fisik permukiman Tabel 14 Variabel dan Indikator Karakteristik Lingkungan Fisik Permukiman Indikator Parameter 1. Ketersediaan sarana dan Prasarana lingkungan: prasarana lingkungan • jaringan jalan permukiman • jaringan pembuangan limbah dan sampah • jaringan drainase • jaringan pengadaan air bersih • jaringan listrik dan telpon Sarana lingkungan permukiman • fasilitas belanja • fasilitas peribadatan • fasilitas pendidikan • fasilitas sosialisasi • fasilitas olah raga dan bermain • fasilitas kesehatan
71
2. Kondisi Sarana lingkungan permukiman yang tersedia saat ini
Kondisi sarana dan prasarana lingkungan permukiman yang tersedia saat ini • buruk • sedang • baik
Modal Sosial Masyarakat Lingkungan Sosial adalah kondisi faktor-faktor sosial masyarakat yang terdapat di permukiman kampung kota yang mempengaruhi perilaku masyarakat dalam
keikutsertaannya
meningkatkan
kualitas
lingkungan
di
wilayahnya.
Sehubungan dengan tujuan penelitian maka yang menjadi indikator adalah: hubungan ketetanggaan, tingkat kegotongroyongan masyarakat, peran tokoh masyarakat untuk menggerakan masyarakat meningkatkan kualitas lingkungan.
1. 2. 3. 4.
Tabel 15 Variabel dan indikator modal sosial masyarakat Variabel/Indikator Parameter Saling percaya antar warga Tingkat kepercayaan dan kesaling pengertian antara (trust) tetangga dan komunitas kampung Relasi mutual (resiprositas) Hubungan antar tetangga dan warga kampung kota Nilai dan norma Kepatuhan terhadap aturan yang ada Peran tokoh masyarakat dan Keberadaan jaringan atau organisasi masyarakat dan organisasi sosial/masyarakat keikutsertaan masyarakat dalam organisasi tersebut serta untuk meningkatkan kualitas peran tokoh masyarakat dan organisasi sosial dalam meningkatkan kualitas lingkungan permukiman lingkungan
Persepsi dan motivasi meningkatkan Kualitas Lingkungan Variabel Persepsi dan motivasi meningkatkan kualitas lingkungan terdiri dari sub variabel Persepsi tentang kualitas lingkungan dan motivasi meningkatkan kualitas lingkungan permukiman. Persepsi adalah proses kognitif yang dialami seseorang didalam memahami informasi lingkungannya melalui penglihatan, pendengaran, perasaan, penciuman, penghayatan, pengetahuan dan pengalaman yang sebelumnya. Dalam penelitian ini, indikator persepsi terdiri dari: Pengalaman tinggal di permukiman lain sebelumnya, persepsi tentang kualitas rumah dan lingkungan permukiman yang saat ini ditempati yang berpengaruh terhadap cara pandang dan perlakuan terhadap rumah dan sarana prasarana lingkungan yang tersedia serta indikator kepuasan terhadap rumah dan lingkungan yang saat ini ditempati. Motivasi merupakan keinginan yang terdapat pada diri individu yang merangsangnya untuk melakukan aktivitas atau sesuatu yang menjadi dasar mengapa
72
individu bertindak. Dalam hal ini adalah motivasi yang dimiliki masyarakat untuk dapat meningkatkan kualitas lingkungan yang terdiri dari motivasi meningkatkan kualitas rumah dan motivasi meningkatkan kualitas lingkungan permukiman. Berikut adalah indikator-indikatornya. Tabel 16 Variabel dan indikator persepsi dan motivasi meningkan kualitas lingkungan Sub Variabel/Indikator Parameter Persepsi tentang kualitas lingkungan (Y2.1) 1. Pengalaman tinggal di Pengalaman tinggal di permukiman lain sebelum tinggal di permukiman lain permukiman saat ini 2. Persepsi mengenai fungsi rumah
Persepsi tentang fungsi rumah
3. Persepsi tentang kualitas rumah
Persepsi tentang kualitas rumah
4. Persepsi tentang kualitas lingkungan
Persepsi tentang kualitas lingkungan dan perlakuan terhadap lingkungan permukiman
5. Kepuasan terhadap rumah Tingkat kepuasan terhadap kondisi rumah dan lingkungan dan lingkungan saat ini permukiman yang ditinggali saat ini Motivasi meningkatkan kualitas lingkungan (Y2.2) 1. Motivasi tinggal di Alasan yang mempengaruhi memilih tinggal di permukiman saat ini permukiman saat ini 2. Motivasi meningkatkan Alasan yang mempengaruhi keingingan kualitas rumah memelihara/meningkatkan kualitas rumah 3. Motivasi meningkatan Alasan yang mempengaruhi keingingan kualitas lingkungan memelihara/meningkatkan kualitas lingkungan
Tingkat kebutuhan akan rumah tinggal Berdasarkan budaya dan lingkungan sosialnya, masyarakat yang hidup di wilayah perkotaan mempunyai karakteristik spesifik yang berbeda dengan karakter masyarakat yang hidup di wilayah pedesaan. Pada umumnya masyarakat perkotaan memiliki tuntutan yang lebih tinggi sehubungan dengan rumah sebagai hunian. Untuk masyarakat yang tinggal di permukiman kampung kota dengan budaya bermukim dipengaruhi cara hidup di perdesaan namun juga tidak lepas dari pengaruh lingkungan sekitarnya yang bersuasana urban maka mengadopsi teori Maslow tentang tingkat kebutuhan manusia manusia maka tingkat kebutuhan akan hunian dapat dikategorisasikan sebagai berikut: Survival needs, Safety and Security needs,
Affiliation needs, Esteem needs dan Self actualization needs. Variabel Kebutuhan akan rumah secara rinci dapat dilihat pada tabel berikut:
73
Tabel 17 Variabel dan indikator kebutuhan akan rumah Variabel/Indikator Parameter 1. Kebutuhan akan rumah dan Tingkat kebutuhan akan rumah dan lingkungan lingkungan permukiman permukiman 2. Kemampuan memenuhi Tingkat kemampuan memenuhi kebutuhan akan rumah kebutuhan akan rumah dan lingkungan permukiman 3. Kondisi fisik rumah Standar minimal untuk dikatagorikan sebagai rumah sehat seperti konstruksi bangunan, ketersediaan ventilasi dan bukaan untuk sinar matahari, sirkulasi udara, sumbersumber air dan saluran-saluran pembuangan 4. Ketersediaan ruang dalam Ketersediaan ruang-ruang dalam rumah dan di luar rumah rumah yang digunakan untuk kelangsungan hidup sehari-hari
Partisipasi untuk meningkatkan kualitas lingkungan Partisipasi dalam peningkatan kualitas rumah dan sarana permukiman ini adalah perilaku dan keikutsertaan responden dalam kegiatan-kegiatan yang dikategorikan sebagai kegiatan meningkatkan kualitas lingkungan. Sehubungan dengan tujuan dalam penelitian ini variabel partisipasi ini dirinci dalam indikatorindikator: Perilaku keseharian dalam menggunakan sarana lingkungan, Keikutsertaan dalam kegiatan peningkatan kualitas lingkungan, dan Frekuensi keikut sertaan dalam kegiatan meningkatakan kualitas lingkungan. Variabel Partisipasi meningkatkan kualitas lingkungan secara rinci dapat dilihat pada tabel berikut: Tabel 18 Variabel dan indikator partisipasi masyarakat untuk meningkatkan kualitas lingkungan permukiman Variabel/Indikator Parameter 1. Sikap proaktif untuk Sikap individu yang dilakukan untuk meningkatkan kualitas meningkatkan kualitas lingkungan yang tidak terkait dalam kegiatan bersama lingkungan permukiman (membuang sampah pada tempatnya, menjaga kebersihan, menanam pepohonan dsb) 2. Perilaku dan keikutsertaan Kegiatan bersama yang dilakukan untuk meningkatkan kualitas lingkungan seperti gotong royong bersih-bersih mengikuti kegiatan kampung, memperbaiki sarana prasarana lingkungan yang meningkatkan kualitas rusak dan sejenisnya. lingkungan permukiman 3. Frekuensi partisipasi
Frekuensi mengikuti pertemuan dan kualitas keikutsertaan dalam pertemuan tersebut
74
Analisis Data Tahapan Analisis data terbagi dalam: 1) Tahap deskripsi data dan 2) Tahap pengujian hipotesis.
1. Tahap Deskripsi Data Pada tahap deskripsi data, data yang terkumpul dianalisis dengan analisis statistik deskriptif. Statistik deskriptif bertujuan untuk melihat data apa adanya. untuk memperoleh gambaran umum mengenai variabel-variabel yang diukur pada sampel. Analisis statistik deskriptif yang umum dilakukan adalah: (1) parameter statistik (rerata, standar deviasi, varian, median, modus), (2) analisis gambaran data (distribusi frekuensi dan persentasi) dan (3) analisis kecenderungan Data yang diperoleh di deskripsikan menurut masing-masing variabel. Tahap ini bertujuan melihat kecenderungan data yang ada pada setiap variabel, karena akan dicari skor rata-rata, standar deviasi, median dari setiap variabel yang diteliti. Untuk mendapatkan nilai-nilai tendensi sentral setiap variabelnya dilakukan dengan statistik deskriptif melalui bantuan program SPSS 14.
2. Tahap pengujian hipotesis Pengujian hipotesis meliputi: (1) analisis korelasi, (2) analisis persamaan regresi dan 3) analisis jalur. Penelitian ini mencoba melihat hubungan sebab akibat antar variabel yang telah ditentukan untuk keperluan menemukan jawaban atas pertanyaan penelitian. Alat analisis yang tepat untuk keperluan tersebut menggunakan model hubungan kausal yang memungkingkan peneliti untuk menghitung besarnya pengaruh langsung dan tidak langsung terhadap variabelvariabel dalam penelitian ini. Analisis regresi dimaksudkan untuk melihat pengaruh secara tunggal maupun bersama-sama antara variabel. Sedangkan analisis jalur untuk mengetahui pengaruh langsung dan tak langsung yang terjadi pada variabel yang dianalisis. Pada dasarnya metode analisis jalur merupakan bentuk analisis regresi terstruktur yang mengkaji hubungan kausal diantara variabel-variabel dalam sistem tertutup (Sumarjo, 1999). Pada dasarnya total keragaman (total variance) dari variabel terikat (Y) dalam regresi berganda (multiple regresion) dikomposisikan sebagai berikut:
75
Y = .a + b + c
.....................................................................
(1)
a = proporsi keragaman yang dijelaskan secara langsung oleh koefisien jalur b = proporsi keragaman yang diakibatkan karena adanya korealasi variabel bebas c = proporsi keragaman yang diakibatkan karena galat (error) Untuk koefisien jalur, didapat dari model regresi linier berganda yang terdiri dari n variabel bebas Y = B0 + B1X1 + B2X2 + B3X3 + . . . + BnXn + e ..................... (2) Y = variabel teribak Xi = variabel bebas ke i, i = 1, 2, 3, . . . n B0 = konstanta e = galat (error) Dengan mengasumsikan bahwa e = 0 maka bentuk persamaan (2) dapat diduga dengan persamaan berikut: Y = b0 + b1X1 + b2X2 + b3X3 + . . . + bnXn
.............................. (3)
Selanjutnya apabila SY didefinisikan sebagai simpangan baku sampel untuk variabel terikat (Y), dan SX1, SX2, SX3 . . . SXn sebagai simpangan baku sampel untuk variabel-variabel bebas X1, X2, X3 . . . Xn, maka dari persamaan (3) dapat dihitung koefisien regresi baku yang sering disebut dengan koefisien beta, yaitu: Bi =
bi . Si i = 1, 2, 3, . . . n ............................. (4) Sy Koefisien jalur pada dasarnya adalah serupa dengan koefisien beta. Apabila
Ci didefinisikan sebagaikoefisien jalur variabel baku Xi (variabel bebas Xi yang dibakukan sehingga berdistribusi normal dengan nilai rata-rata = 0 dan ragam = 1 maka pada dasarnya Ci dapat dihitung berdasarkan rumus (4) atau dengan kata lain Bi = Ci Apabila koefisien lintasan Ci telah diketahui maka beberapa informasi penting akan dapat diperoleh berdasarkan metode analisis jalur yakni: 1) Pengaruh langsung variabel bebas yang dibakukan Xi terhadap variabel terikat Y yang telah dibakukan, yang diukur atau ditunjukkan dengan koefisien jalur Ci 2) Pengaruh tidak langsung variabel bebas yang dibakukan Xi terhadap variabel terikat Y melalui variabel yang telah dibakukan Xj yang diukur oleh besaran (Cjrij). 3) Pengaruh galat (error/residual) yang tidak dapat dijelaskan oleh model analisis jalur diukur dengan rumus:
76
n 2
Cs = 1 - ∑ . Cjrij i=1
Cs =
√ Cs2
Besaran Cs2 dalam analisis jalur serupa dengan besaran (1 – R2) dalam
analisis multiple regression. Secara ringkas analisis data untuk masing-masing variabel dalam penelitian ini dapat dilihat pada tabel berikut Tabel 19 Teknik Analisis Data No Teknik Analisis Lingkup Kajian 1 Distribusi frekuensi, Karakteristik individu yang terdiri dari umur, Modus, Mean, Standar pendidikan, pekerjaan, pendapatan, jumlah anggota deviasi keluarga dan lama tinggal Karakteristik lingkungan permukiman kampung kota yang terdiri dari karakteristik fisik kampung dan kondisi sarana prasarana yang tersedia Modal sosial yang terdiri atas tingkat kepercayaan (trust), relasi mutual (resiprositas), norma dan nilai sosial, peran tokoh masyarakat dan organisasi masyarakat untuk meningkatkan kualitas lingkungan Persepsi tentang kualitas lingkungan dan motivasi meningkatkan kualitas lingkungan Tingkat kebutuhan akan rumah dan lingkungan Partisipasi masyarakat untuk meningkatkan kualitas lingkungan 2 Regresi Ganda Hubungan karakteristik individu, karakteristik fisik Korelasi Ganda lingkungan permukiman, modal sosial, persepsi Koefisien Determinasi tentang kualitas lingkungan dan motivasi meningkatkan kualitas lingkungan, tingkat kebutuhan akan rumah dan partisipasi masyarakat untuk meningkatkan kualitas lingkungan permukiman 3 Analisis jalur Pengaruh dan besarnya pengaruh dari karakteristik individu, karakteristik fisik lingkungan permukiman, modal sosial, persepsi tentang kualitas lingkungan dan motivasi meningkatkan kualitas lingkungan, tingkat kebutuhan masyarakat akan rumah terhadap partisipasi masyarakat meningkatkan kualitas lingkungan
77
HASIL DAN PEMBAHASAN Tinjauan Lokasi Penelitian Lokasi penelitian merupakan permukiman kampung kota yang mengalami penurunan kualitas lingkungan. Lokasi-lokasi dipilih berdasarkan keberadaan faktorfaktor yang menyebabkan suatu kawasan cenderung menjadi kumuh yaitu faktor manajemen kawasan dan faktor penarik ekonomi (Astuti, 2004). Semakin tidak jelas penanggung jawab pengelolaan kawasan dan semakin besar daya tarik ekonomi di sekitar kawasan maka semakin besar kecenderungan terbentuknya kawasan kumuh. Ketidakjelasan manajemen kawasan terjadi pada lahan-lahan pemerintah dimana pengelolaan kawasan tidak terdefinisi dengan jelas atau menjadi otoritas lebih dari satu instansi seperti bantaran sungai, otoritas kewenangan pengelolaan terletak pada pemerintah di tingkat pusat, propinsi atau daerah. Lahan di sekitar jalur KA, terutama pada pusat-pusat ekonomi juga merupakan areal yang cenderung menjadi kumuh, disebabkan kewenangan pengelolaan lahan di sepanjang jalur KA merupakan wewenang perusahan KA dan pemerintah daerah yang dilewati oleh jalur tersebut. Keberadaan faktor-faktor penyebab kumuh pada lokasi kampung kota yang dijadikan sebagai sampel dalam penelitian ini dirinci sebagai berikut: Tabel 20 Faktor penyebab terjadinya kekumuhan lingkungan pada lokasi penelitian Lokasi Kelurahan. Arjuna Kelurahan Cikawao
Kelurahan. Cibangkong
Kelurahan. Kebon Pisang
Faktor ketidakjelasan manajemen kawasan terdapat sungai Citepus terlewati jalur KA terdapat sungai Cikapundung terdapat sungai Anak Cikapundung Kolot terlewati jalur KA terdapat sungai Cikapundung terlewati jalur KA
Faktor penarik ekonomi terminal Ciroyom dan pasar Ciroyom dekat dengan pusat kota terdapat 2 perguruan tinggi besar (Unla & Unpas) dekat dengan pusat kegiatan ekonomi (Bandung Supermal) dekat dengan pasar Kosambi dekat dengan pusat pertokoan
Kawasan tersebut memiliki karakteristik yang menunjukan rendahnya kualitas lingkungan permukiman: yakni tingginya tingkat kepadatan penduduk, tingginya kepadatan bangunan, minimnya prasarana lingkungan terutama air bersih, air limbah, dan drainase dengan kualitas yang rendah, dan sebagian lokasi permukiman tersebut berada di atas tanah milik negara.
78
Gambar 12
Lokasi penelitian
Kel. Cibangkong Kec. Batununggal Kel. Cikawao Kec. Lengkong Kel. Kebon pisang Kec. Sumur Bandung Kel. Arjuna Kec. Cicendo
79
Gambar 13
Kel.Kebon Pisang Kec. Sumur Bandung
Gambar 14
Kel.Arjuna Kec. Cicendo Bandung
80
Gambar 15
Kel.Cibangkong Kec. Batununggal Bandung
Gambar 16
Kel.Cikawao Kec. Lengkong
81
Deskripsi data hasil penelitian Bagian ini mendeskripsikan data yang dianalisis dengan menggunakan statistik deskriptif kuantitatif dilengkapi dengan deskripsi kualitatif hasil FGD dan wawancara mendalam. Statistik deskriptif kualitatif bertujuan melihat data apa adanya untuk memperoleh gambaran umum mengenai variabel-variabel yang dianalisis. Variabel yang dideskripsikan adalah: karakteristik individu, karakteristik fisik lingkungan permukiman, karakteristik modal sosial masyarakat, persepsi dan motivasi meningkatkan kualitas lingkungan, tingkat Kebutuhan akan rumah, dan partisipasi meningkatkan kualitas lingkungan. Perhitungan nilai parameter statistik menggunakan bantuan software program Excel dan SPSS 14. Karakteristik fisik lingkungan permukiman Variabel karakteristik fisik lingkungan permukiman dalam penelitian ini terdiri dari sub variabel yaitu (1) ketersediaan prasarana dan sarana lingkungan permukiman, prasarana lingkungan terdiri dari: ketersediaan jaringan jalan, jaringan air bersih, jaringan limbah dan sampah, jaringan drainase, jaringan listrik dan telpon; dan sarana lingkungan permukiman seperti fasilitas belanja, fasilitas peribadatan, fasilitas sosialisasi dan rekreasi, fasilitas olah raga dan bermain, fasilitas pendidikan, fasilitas kesehatan; (2) kondisi sarana dan prasarana lingkungan permukiman. Karakteristik fisik lingkungan permukiman dapat dilihat pada tabel berikut ini: Tabel 21 Karakteristik Fisik Lingkungan Permukikam Karakteristik fisik permukiman Ketersediaan sarana dan prasarana lingkungan permukiman
Kondisi sarana dan prasarana lingkungan permukiman yang tersedia saat ini
Rentang Sangat rendah Rendah Sedang Tinggi Sangat tinggi Jumlah Sangat rendah Rendah Sedang Tinggi Sangat tinggi Jumlah
Kesesuaian dng standar sehat
Eksisting frek 26 79 96 32 7 240 3 21 105 91 20 240
% 10.83 32.92 40.00 13.33 2.92 100.00 1.25 8.75 43.75 37.92 8.33 100.00
Urutan 4 2 1 3 5 5 3 1 2 4
frek 32 106 86 14 2 240 17 98 87 28 10 240
% 13.33 44.17 35.83 5.83 0.83 100.00 7.08 40.83 36.25 11.67 4.17 100
Urutan 3 2 1 4 5 3 2 1 4 5
82
Permukiman kampung kota lebih sering disorot secara negatif karena ketersediaan sarana dan prasarana lingkungan permukiman kampugnya yang dinilai rendah. Prasarana lingkungan permukiman adalah kelengkapan dasar fisik lingkungan yang memungkinkan lingkungan permukiman dapat berfungsi sebagaimana mestinya. Prasarana lingkungan permukiman di kampung kota adalah kelengkapan dasar fisik lingkungan yang memungkinkan lingkungan kampung kota dapat berfungsi sebagaimana layaknya suatu permukiman. Prasarana utama meliputi jaringan jalan, jaringan pembuangan air limbah dan sampah, jaringan saluran air hujan (drainase), jaringan pengadaan air bersih, jaringan listrik dan telpon. Permukiman kampung kota yang dijadikan sampel penelitian semuanya terletak di belakang pertokoan atau perumahan elit di pusat kota sehingga memberntuk kantung-kantung (enclave) permukiman dengan akses berupa jalan kecil. Ilustrasi kantong-kantong permukiman kampung kota dapat dilihat pada gambar berikut.
TIPE TERTUTUP TIPE TERBUKA
Gambar 17
Tipe permukiman kampung kota dilihat dari akses pencapaian dari lingkungan sekitarnya
Pencapaian ke lokasi permukiman kampung kota dapat dibedakan menjadi: Tipe tertutup (closed type) yang terjadi pada permukiman kampung kota yang pencapaiannya melalui hanya satu gang, sedangkan Tipe terbuka (open type) adalah permukiman kampung kota yang pencapaiannya dapat melalui lebih dari satu gang seperti ilustrasi pada gambar 17 di atas. Jalan kecil ini termasuk dalam kategori jalan lingkungan yang menghubungkan permukiman kampung kota dengan lingkungan sekitarnya. Jalur jalan kecil tersebut sering kali lebih dikenal dengan istilah gang yang melilngkar, meliuk dan berkelok
83
mengikuti rumah-rumah yang terbangun dan bukan sebaliknya. Hal ini terjadi karena jalan tersebut terbentuk belakangan setelah bangunan-bangunan rumah didirikan yang berbeda dengan permukiman formal pada umumnya yang merencanakan lebih dahulu infrastruktur permukiman dengan cermat sehingga jalan-jalan penghubung antar rumah lebih teratur. Pola pembentukan gang pada permukiman kampung kota dapat diterangkan secara ringkas dengan rangkaian ilustrasi berikut yang menggambarkan proses pembentukan rumah-rumah yang dibangun secara swadaya oleh masyarakat disesuaikan dengan kebutuhan dan kemampuannya sehingga jalan gang terbentuk mengikuti alur bangunan-bangunan rumah yang telah didirikan.
Bangunan rumah
Gang/Jalan lingkungan yang terbentuk mengikuti rumah-rumah terbangun
Gambar 18
Diagram proses pembentukan permukiman kampung kota dan akses pencapaian yang mengikutinya
84
Gambar 19
Akses masuk ke permukiman kampung kota. Jika perkampungan terletak lebih rendah dari jalan maka dibuat akses berupa tangga/jalan berundah
Jalan kecil yang fungsi utamanya adalah sebagai sarana sirkulasi ini lebih dikenal dengan sebutan “gang”. Di Bandung suatu kawasan permukiman kadang lebih terkenal dengan sebutan nama gang-nya daripada nama jalan dimana kawasan tersebut berada seperti “Gang Saleh”, “Gang Tilil” dan sebagainya. Gang/jalan masuk ke permukiman kampung kota ini memiliki dimensi yang bervariasi mulai dari 50 cm
85
sampai dengan 3,5 m seperti yang terlihat dari gambar berikut yang merupakan akses menuju ke permukiman kampung kota yang dijadikan objek pengamatan dalam penelitian ini. Ketersediaan sarana dan prasarana permukiman pada kampung kota mayoritas rendah atau tidak memadai untuk digunakan sebagai penunjang kehidupan untuk bermukim secara sehat. Ilustrasi di bawah ini menggambarkan ketersediaan dan kondisi sarana prasarana lingkungan permukiman kampung kota Berikut adalah gambaran ketersediaan sarana prasarana lingkungan di permukiman kampung kota
Gambar 20
Rendahnya kualitas prasarana lingkungan permukiman kampung kota
86
Dari tabel 21 di atas mayoritas penduduk menganggap sarana prasarana lingkungan di permukiman kampung kota berada pada kategori cukup atau sedang. Namun jika hal ini dibandingkan dengan standar kualitas lingkungan yang sehat didapati bahwa kondisi sarana prasarana lingkungan permukiman mayoritas kondisinya buruk dan tidak sesuai dengan standar kualitas lingkungan yang sehat. Ketersediaan prasarana lingkungan seperti jaringan air bersih yang berasal dari PDAM terbatas hanya pada beberapa rumah. Sumber air bersih yang berasal dari sumur/pompa ketersediaannya juga terbatas. Satu sumur/pompa digunakan oleh lebih dari 10 keluarga karena tidak semua rumah tangga/hunian memiliki sumur/pompa di masing-masing rumahnya. Hal ini tentu saja tidak mencukupi kebutuhan air bersih untuk masing-masing rumah tangga sehingga mereka membeli air bersih dari pedagang keliling, yang tentu saja hal ini semakin memberatkan perekonomian warga yang penghasilannya pas-pasan. Ketersediaan tempat sampah juga terbatas, tidak semua rumah tangga memiliki tong sampah. Untuk beberapa keluarga disediakan satu tong sampah sehingga tong sampah tersebut cepat sekali penuh sebelum tukang sampah datang untuk mengangkutnya. Hal tersebut menyebabkan sampah seringkali berhamburan dan menjadikan lingkungan sekitarnya kotor, mengundang lalat dan tidak sehat. Ketersediaan saluran air hujan meskipun ada namun kondisinya tidak terpelihara sehingga pada saat hujan datang, jalan/gang di permukiman kampung kota menjadi tergenang karena saluran tidak mampu menampung air hujan atau tersumbat sampah yang terserak dan terbawa hanyut air hujan. Ketersediaan jalan lingkungan/gang di permukiman kampung kota umumnya sudah baik dengan bahan perkerasan beton yang di beberapa bagian sudah diaspal. Namun kondisi gang di beberapa tempat sebetulnya tidak layak disebut jalan lingkungan karena lebarnya yang hanya 50 cm dan banyak yang berakhir buntu atau berakhir pada dapur/rumah warga. Hal ini tentu saja sangat menyulitkan bagi pendatang atau orang luar yang baru pertama kali berkunjung ke permukiman kampung kota. Minimnya sarana prasarana permukiman sering mengakibatkan warga menggunakan sarana prasarana yang ada untuk fungsi-fungsi yang tidak tepat atau tidak sesuai peruntukkannya, misalnya lapang olah raga dan ruang terbuka publik
87
digunakan sebagai tempat untuk parkir dan menjemur barang, kasur dan sebagainya sehingga anak-anak mencari tempat lain untuk bermain. Jika dalam perkampungan tidak tersedia ruang terbuka maka untuk menampung berbagai kegiatan digunakan ruang gang yang fungsi utamanya adalah untuk sarana sirkulasi bagi orang dan kendaraan yang masuk dan keluar permukiman kampung kota. Akibatnya terjadi tumpang tindih kegiatan warga dengan fungsi sirkulasi yang menyumbang pada meningkatnya degradasi lingkungan kampung kota. Ketiadaan tempat bermain bagi anak-anak menyebabkan mereka mencari tempat lain yang seringkali membahayakan jiwa dan keselamatannya seperti bermain di bantaran sungai, di dekat rel kereta api di areal pemakaman dan tempat-tempat lain yang tidak layak digunakan untuk tempat bermain anak.
Gambar 21
Ketiadaan ruang terbuka untuk bermain menyebabkan anak-anak bermain di tempat-tempat yang membahayakan keselamatannya
Secara historis dari dokumen yang dapat ditelusuri tentang keberadaan permukiman kampung kota, sudah sejak jaman kolonial permukiman ini merupakan kawasan yang sulit disentuh oleh program pembangunan formal seperti pada laporan Tillema (Wiryomartono, 1995). Kesulitan utamanya dikarenakan tidak terorganisirnya struktur fisik lingkungan tersebut. Ketiadaan struktur formal teritorialitas pada
88
permukiman kampung kota ini sering dikaitkan dengan permukiman ilegal. Selain hal tersebut, permukiman kampung kota juga perkembangannya tidak didasarkan pada penataan ruang yang didukung oleh infrastruktur yang terprogram secara formal karena pembentukannya seperti telah dijelaskan di atas terjadi akibat spontanitas warga yang memerlukan tempat tinggal dekat dengan tempat kerja. Berikut adalah gambaran dari penataan ruang kampung kota yang perkembangannya hanya memperhatikan kebutuhan warga tanpa menimbang tata aturan RT/RW kota
Gambar 22
Bagi
Rendahnya kualitas sarana lingkungan permukiman kampung kota seperti tempat bermain, olah raga, sosialisasi, gang/jalan
masyarakat
di
permukiman
kampung
kota,
yang
mayoritas
berpenghasilan menengah ke bawah, rumah dan lingkungan permukiman dilihat
89
sebagai kebutuhan dasar dan sekaligus suatu sumber daya modal yang berguna untuk meningkatkan kehidupan dan penghidupan mereka. Permasalahan lain yang didapati di permukiman kampung kota yang juga merupakan permasalahan kota Bandung adalah permasalahan yang berkenaan dengan sampah dan penanggulangannya. Kota Bandung seperti diketahui seringkali bermasalah dengan sampah seperti saat terjadi longsor di TPA (Tempat Pembuangan Sampah Akhir) di Leuwi Gajah saat penelitian ini berlangsung (2005). Ketika hal ini terjadi maka sampah-sampah tertumpuk di tempat pembuangan sampah sementara atau bahkan di lingkungan permukiman. Hal ini pun sangat terasa dan terlihat di permukiman-permukiman kampung kota yang dijadikan objek penelitian seperti terlihat berikut:
Gambar 23
Sampah yang bertumpuk di tempat pembuangan sampah di lingkungan permukiman kampung kota
Sudah saatnya Kota Bandung mencari alternatif untuk melakukan daur ulang sampah sehingga produksi sampah dapat dimanfaatkan dan tidak menjadi beban lingkungan yang juga akan mempengaruhi derajat kesehatan masyarakat. Sebetulnya masyarakat memiliki potensi untuk menanggulangi sampah yang dihasilkannya secara mandiri dengan tidak menggantungkan diri pada sistem persampahan kota seperti yang terlihat di salah satu kelurahan yang dijadikan objek penelitian yaitu di kelurahan Cibangkong Kecatamaan Batu Nunggal. Di kelurahan ini didapati hal yang menggembirakan karena masyarakat telah dapat melakukan daur ulang sampah secara mandiri meskipun terbatas untuk produksi sampah di kelurahannya saja. Sampah-sampah tersebut dipilah dan dipisah. Sampah yang sudah tak dapat dimanfaatkan lagi seperti sampah organik diolah menjadi pupuk
90
untuk digunakan bagi keperluan masyarakat sendiri atau dijual sebagai penghasilan tambahan untuk pengelola unit pengolah sampah kelurahan. Berikut adalah gambaran pengolahan sampah yang dilakukan oleh warga masyarakat di permukiman kampung kota
Gambar 24
Unit pengelolaan sampah di kelurahan Cibangkong merupakan potensi kampung yang dapat dikembangkan
Dari ilustrasi gambar-gambar di atas yang memperlihatkan kondisi fisik lingkungan permukiman kampung kota terlihat bahwa tidak mudah untuk memperbaiki kualitas lingkungan jika hanya membebankan seluruhnya pada masyarakat. Selain perlu pendampingan untuk memperbaiki persepsi dan pengeahuan tentang kualitas rumah dan lingkungan permukiman yang sehat, perlu ada terobosan lain untuk membantu masyarakat mendapatkan rumah yang layak huni sehingga mereka mampu memperbaiki kodisi fisik rumah dan lingkuangannya. Peran pemerintah untuk menyediakan dana bagi masyarakat berpenghasilan rendah perlu segera direalisasikan.
Karakteristik Individu Dalam variabel karakteristik individu warga masyarakat kampung kota yang diamati adalah: Umur, Pendidikan, Pekerjaan, Pengeluaran, Jumlah anggota keluarga,
91
dan lama tinggal. Berikut adalah tabel karakteristik individu warga kampung kota yang dijadikan responden penelitian. Tabel 22 Karakteristik individu warga kampung kota No. 1 2 3 4 5
Karakteristik individu warga kampung kota Umur 18 – 31 tahun 32 – 44 tahun 45 – 47 tahun 58 – 70 tahun 71 – 83 tahun
Urutan sebaran
F
%
25 100 67 41 7 240
10,42 41,67 27,92 17,08 2,92 100,00
5 2 1 3 4
61 58 90 29 2 240
25,42 24,17 37,50 12,08 0,83 100,00
2 3 1 4 5
17 64 109 31 19 240
7.08 26,67 45,42 12,92 7,92 100,00
5 2 1 3 4
63 95 43 29 10 240
26,25 39,58 17,92 12,08 4,17 100,00
2 1 3 4 5
40 113 71 11 5 240
16,67 47,08 29,58 4,58 2,08 100,00
3 1 2 4 5
79 62 69 26 4 240
32,92 25,83 28,75 10,83 1,67 100,00
1 3 2 4 5
Pendidikan 1 2 3 4 5
SD/sederajat SLTP/sederajat SLTA/sederajat D3/S1 S2 Pekerjaan
1 2 3 4 5
Buruh Pegawai swasta Pedagang Pegawai negeri Lain-lain
1 2 3 4 5
Pendapatan (Rp) <1000.000 1000.000 – 1.250.000 1.250.000 – 1.500.000 1.500.000 – 1.750.000 >1.750.000
1 2 3 4 5
Jml anggota keluarga 1 – 3 orang 4 – 6 orang 7 – 9 orang 10 – 12 orang 13 – 15 orang
1 2 3 4 5
Lama tinggal 1 – 15 tahun 16 – 30 tahun 31 – 45 tahun 46 – 60 tahun 61 – 75 tahun
Umur Dalam penelitian ini didapati usia warga masyarakat kampung kota yang menjadi responden berkisar antara 20 tahun sampai yang tertua yaitu 83 tahun.
92
Mayoritas umur kepala keluarga pada masyarakat kampung kota berkisar antara 32 – 47 tahun. Suatu rentang usia yang bisa dikatakan usia produktif. Sisanya
yaitu
sebanyak sekitar 20% berada pada rentang usia 58 – 83 tahun, rentang usia yang bisa mengarahkan orang untuk lebih berpengalaman dan memiliki pengaruh untuk bisa menggerakan orang-orang muda di sekitarnya. Komposisi masyarakat yang bagus untuk bisa bekerja bersama meningkatkan kualitas lingkungan. Penduduk yang lebih muda bisa memberikan waktu dan tenaga dengan kemudaan dan kekuatan tenaga yang yang dimilikinya sementara golongan masyarakat yang lebih tua bisa memberikan arahan dan bimbingan berdasarkan pengalaman yang dimilikinya. Pendidikan formal Tingkat pendidikan responden dalam penelitian ini terbagi dalam beberapa kelompok tingkat pendidikan. Mulai dari Sekolah Dasar (SD) hingga kelompok yang dikategorikan berpendidikan tinggi seperti Sarjana S1 dan S2. Terlihat dari tabel di atas bahwa mayoritas penduduk kampung kota berpendidikan SLTA atau sederajat, meskipun prosentase yang berpendidikan SD dan SLTP jika diakumulasikan jumlahnya lebih besar. Hal ini mempengaruhi tingkat pengetahuan warga terhadap pengetahuan tentang rumah dan lingkungan sehat yang layak huni. Kasus 1: Meningkatnya kesadaran akan pentingnya pendidkan Md adalah ibu rumah tangga yang menyelesaikan pendidikannya hanya sampai tingkat SD dan suaminya yang bekerja sebagai satpam adalah lulusan SLTP. Pasangan ini memiliki anak 5 orang yang semuanya adalah perempuan. Kesadaran keluarga ini akan pentingnya pendidikan terlihat dari usahanya untuk menyekolahkan semua anaknya semampu mereka. Anak tertua telah menyelesaikan sekolahnya sampai dengan tingkat SLTA dan sekarang telah bekerja di sebuah pertokoan. Dua anaknya yang lain telah duduk di bangku SLTP dan SLTA sementara dua anaknya terakhir duduk di bangku SD. Alasan anak tertua untuk tidak melanjutkan sekolah ke jenjang yang lebih tinggi adalah karena ketiadaan biaya dan ingin membantu orang tua namun katanya dengan berhasilnya dia menyelesaikan SLTA adalah karena orang tuanya sadar akan pentingnya sekolah untuk masa depan yang lebih baik meskipun mereka hanya lulusan SD dan SLTP Pekerjaan Dalam penelitian ini jenis pekerjaan responden dibagi ke dalam 5 kategori yaitu: (1) PNS/TNI, (2) Pegawai swasta, (3) Pedagang, (4) Buruh, dan (5) Lainnya. Yang mengisi kolom pekerjaan pada kolom “Lainnya” memiliki pekerjaan yang sifatnya tidak bisa dikategorikan pada empat kelompok pilihan yang ada seperti
93
tukang sampah, tukang cuci, tukang beca, pembantu rumah tangga, tukang parkir, pemulung dan pekerjaan-pekerjaan pelayanan dan sejenisnya Kasus 2: Alasan menjadi pedagang gorengan Ay seorang kepala keluarga berumur 68 tahun. Untuk mencukupi kebutuhan hidupnya Ay bekerja sebagai pedagang gorengan (pisang goreng, tahu goreng, tempe goreng dan sejenisnya). Pekerjaan ini sudah ditekuninya selama 30 tahun. Saat pertama kali menjadi penjual gorengan dia berdagang dengan pikulan, kemudian setelah cukup mampu membeli roda dorong, caranya berdagang dengan menggunakan gerobak dorong. Pekerjaan Ay selama 30 tahun tidak pernah berubah hingga saat ini. Ay tidak pernah berganti profesi, hari ke hari pekerjaannya setiap subuh belanja ke pasar, menyiapkan bahan jualannya di rumah yang luasnya 14 m2, sekitar jam 8 mulai berkeliling atau mangkal di depan sebuah SMK yang tidak jauh lokasinya dari permukiman kampung kota dimana dia tinggal. Ay baru kembali ke rumahnya setelah malam menjelang. Alasan Ay tetap berjualan gorengan karena dia merasa tidak memiliki kemampuan lain dan usahanya itu terbukti sanggup menghidupi dia dan keluarganya. Mayoritas masyarakat di permukiman kampung kota memiliki pekerjaan di sektor informal seperti pedagang dan buruh dengan jam kerja yang lebih panjang dari karyawan biasa/PNS. Menurut masyarakat, jam kerja yang panjang ini menyita waktu dan tenaga fisik sehingga kegiatan untuk meningkatkan kualitas rumah dan lingkungan tidak bisa diharapkan terlalu banyak. Bagi masyarakat dengan mata pencaharian berdagang membuat fungsi rumah memiliki dua fungsi yaitu sebagai tempat tinggal dan sebagai tempat melakukan kegiatan usaha baik sebagai tempat menyiapkan barang dagangan atau sekaligus sebagai tempat berdagang, warung, kios dan sejenisnya.
Gambar 25
Pekerjaan yang banyak digeluti warga kampung kota adalah berdagang tercermin dari tampilan rumah tinggalnya
94
Pendapatan Total pendapatan untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari masyarakat kampung kota berkisar antara kurang dari Rp.1000.000 sampai dengan lebih dari Rp. 1.750.000. Sebagian besar masyarakat mengaku mengeluarkan uang sesuai dengan besarnya pendapatan sehingga tidak tersisa untuk disimpan atau untuk memperbaiki rumah tinggalnya apalagi untuk mengeluarkan biaya bagi peningkatan kualitas lingkungan permukiman kampungnya, di luar iuran bulanan yang telah ditetapkan oleh pihak RT di masing-masing kampungnya. Pada masyarakat berpenghasilan rendah seperti mayoritas penduduk di permukiman kampung kota jika mereka dihadapkan pada masalah pengeluaran untuk pemenuhan kebutuhan hidupnya seperti makan, pakaian, pengobatan untuk kesehatan, dan pendidikan anak-anaknya maka yang pertama dikorbankan adalah pengeluaran untuk rumah dan huiannnya. Tidak heran jika di permukiman kampung kota kondisi rumah hunian dan lingkungan permukiman banyak yang mengalami penurunan kualitas dan berubah menjadi kumuh karena uang yang didapat sama dengan pengeluarannya sehingga pendapatan habis untuk pemenuhan kebutuhan sehari-hari. Jumlah anggota keluarga yang tinggal dalam rumah Jumlah anggota keluarga yang tinggal dalam satu rumah pada permukiman kampung kota dalam penelitian ini berkisar antara 2 orang sampai dengan 15 orang. Dari tabel karakteristik individu di atas terlihat lebih dari 85% rumah-rumah di permukiman kampung kota dihuni anggota keluarga lebih dari 4 orang bahkan ada yang dihuni oleh 10 – 15 orang. Kasus 3: Banyaknya anggota keluarga dalam satu rumah Eu adalah seorang janda berumur 65 tahun. Bermukim di kampung kota sudah lebih dari 45 tahun. Eu memiliki anak 4 orang yang semuanya sudah berkeluarga dan memberinya 11 cucu dan 1 cicit. Keluarga anak-anaknya ini sebagian ikut serta tinggal di rumahnya yang memiliki luas lahan 48,5m2 dan dibuat dua lantai sehingga memiliki luas bangunan 100m2. Jumlah anggota keluarga yang tinggal bersma Eu adalah 13 orang yang terdiri dari anak, mantu, cucu, cucu mantu dan cicitnya. Alasan mereka untuk tetap tinggal bersama meskipun berdesak-desakan ini adalah karena sudah merasa betah, senang berkumpul dengan seluruh keluarga dan turut menjaga Eu yang sudah menjelang manula. Di akhir pekan atau hari-hari libur, jumlah keluarga yang tinggal di rumahnya bisa bertambah dengan datangnya anak-anak yang lain yang tinggal di tempat lain.
95
Gambar 26
Kepadatan bangunan dan kepadatan penduduk di permukiman kampung kota
Dari kasus 3 dan gambar 25 terlihat bahwa banyaknya jumlah jiwa dalam satu rumah ini bukan karena mereka memiliki banyak sekali anak tetapi dikarenakan beberapa anak yang telah berkeluarga tinggal bersama orang tuanya sampai mereka sendiri memiliki anak, bahkan cucu nya pun ikut tinggal bersama mereka sampai punyak anak lagi. Kasus 4: Berdesakan dalam satu unit hunian Rs dan Li adalah dua orang kepala keluarga yang tidak memiliki hubungan keluarga namun tinggal didalam lahan bangunan yang sama. Keluarga Rs yang berjumlah 5 orang tinggal di lantai atas dengan luas lantai 24 m2 dan keluarga Li yang memiliki anggota keluarga 5 orang juga tinggal di lantai bawah yang juga memiliki luas lantai 24m2. Untuk keperluan MCK mereka menggunakan fasilitas MCK umum yang ada di kampungnya. Kondisi yang penuh sesak ini sudah dianggap biasa oleh mereka sehinga tidak ada lagi stress akibat kesesakan. Mereka mengaku betah dan tidak ada niat untuk pindah rumah. Banyak rumah tangga di kampung kota dihuni oleh lebih dari satu keluarga inti seperti pada kasus 4. Terdapat juga rumah tangga yang menampung sanak saudara dari kampung halaman yang tengah belajar atau bekerja yang ikut menumpang tinggal di
96
rumah tersebut. Sanak saudara yang menumpang ini setelah mampu mereka biasanya membeli tanah atau rumah di dekat rumah tumpangannya sehingga akhirnya mereka juga berdomisili di kampung tersebut dan menjadi warga kampung yang tercatat sebagai warga kota Bandung dan menambah padatnya kota Bandung. Di permukiman kampung kota, banyak didapati rumah-rumah yang asalnya merupakan satu unit hunian kemudian dibagi dua, tiga atau lebih, yang ditempati oleh beberapa keluarga. Perbedaannya hanya pada pembagian areal rumah. Pada rumah yang satu pembagiannya bisa lantai bawah untuk satu keluarga dan lantai atas untuk keluarga lainnya. Bisa juga satu unit rumah dibagi dua, tiga atau lebih dan masingmasing keluarga menempati satu bagian. Terdapat juga satu rumah yang dibagi menjadi beberapa bagian yang ditempati oleh keluarga besar terdiri dari beberapa keluarga inti dan masing-masing keluarga inti ini menempati satu bagian rumah. Biasanya tipe begini adalah satu keluarga yang anak-anaknya meskipun telah menikah tetap berkumpul bersama orang tuanya. Dari tingginya jumlah anggota keluarga yang menempati satu rumah tinggal ini terlihat bahwa kepadatan di permukiman kampung kota bukan saja terjadi pada skala lingkungan permukiman yang dipadati bangunan-bangunan hunian namun pada skala rumah pun terjadi kepadatan yang tinggi karena rata-rata luas rumah di permukiman kampung kota kurang dari 56m2 dengan penghuni lebih dari 6 orang. Setiap tahun seusai lebaran atau saat penerimaan mahasiswa baru jumlah keluarga di permukiman kampung kota bertambah dengan kerabat dari kampung halaman yang menumpang untuk mengadu nasib atau meimba ilmu. Lama tinggal Lama tinggal di permukiman kampung kota bervariasi antara 1 tahun sampai dengan 68 tahun. Permukiman kampung kota yang dijadikan sampel penelitian ini adalah permukiman yang usianya sudah tua, lebih dari setengah abad. Beberapa dari penghuninya telah bermukim di kampung kota tersebut hampir dalam seluruh usianya. Keberadaan mereka di kota menjadi magnet bagi sanak saudara yang tinggal di kampung halaman untuk turut mengadu nasib di kota sehingga dalam satu perkampungan terdapat beberapa rumah tangga yang memiliki pertalian darah karena setelah kerasan bekerja di kota Bandung mereka memutuskan untuk membeli rumah di
97
sekitarnya, berkeluarga dan menjadi mata rantai selanjutnya bagi saudara dan kerabat di kampung halamannya untuk berurbanisasi mencari kehidupan yang lebih baik Dari tabel 22 dapat terlihat bahwa kelompok masyarakat yang memiliki frekunesi terbanyak tinggal antara 1 – 15 tahun. Dari kelompok yang lama tinggalnya antara 1 – 15 tahun ini setelah ditelusuri lebih jauh banyak dari mereka adalah para pendatang musiman yang tinggal sementara dengan menyewa rumah-rumah di permukiman kampung kota untuk mendekati lokasi tempat mereka mencari nafkah. Rumah-rumah yang disewa oleh pendatang musiman yang digunakan untuk berdagang biasanya kurang terpelihara karena penghuninya sibuk dengan pekerjaan mereka. Mereka menganggap bahwa memperbaiki dan meningkatkan kualitas rumah yang ditempatinya bukanlah tanggung jawabnya.
Gambar 27
Kondisi rumah-rumah yang ditempati oleh para pedagang kecil hanya digunakan sebagai tempat untuk menyiapkan dagangan dan istirahat di malam hari
Modal Sosial Masyarakat Rumah buat masyarakat di permukiman kampung kota, adalah salah satu aset dari modal untuk mencari nafkah selain sebagai tempat istirahat setelah seharian bekerja. Kelebihan pendapatan tidak dialokasikan untuk memperbaiki rumah sewaan
98
atau lingkungannya tetapi digunakan untuk modal usaha atau mencari rumah yang layak di tempat lain seperti pada kasus berikut ini Kasus 5: Tinggal di kampung kota agar dekat dengan lokasi mencari nafkah Dn adalah pendatang dari Jawa Tengah yang bekerja sebagai pedagang pecel lele. Agar dekat dengan lokasi tempatnya berjualan, dia menyewa sebuah rumah di permukiman kampung kota di sekitar tempat dia berjualan. Dn menyiapkan bahanbahan dagangannya di rumah sewanya dengan dibantu istri dan 4 orang pegawai yang berasal dari kampung halamannya di Jateng. Setelah beberapa waktu Dn mampu membeli rumah BTN dengan menyicilnya di lokasi yang letaknya jauh dari tempatnya berjualan sehingga dia memutuskan tetap tinggal di kampung kota dengan alasan dekat dengan tempat bekerja meskipun kondisi huniannya tidak memenuhi standar sehat. Suatu saat Dn mampu membeli mobil bekas yang dapat mengatasi jarak antara rumah dan lokasi tempatnya bekerja dan memutuskan untuk tinggal di rumah BTN-nya dan meninggalkan rumah sewanya di kampung kota Bagi para pendatang musiman yang menyewa rumah untuk berdagang atau mendekati lokasi pekerjaan, rasa memiliki (sense of belonging) yang rendah terhadap rumah dan lingkungan permukiman ini menyebabkan mereka tidak terlalu perduli dengan kualitas rumah dan lingkungan nya. Modal Sosial Masyarakat Modal sosial yang diamati dalam penelitian ini adalah: kepercayaan (trust) antara tetangga dan warga, relasi mutual (reprositas), norma dan nilai sosial, dan peran tokoh masyarakat dan organisasi masyarakat dalam meningkatkan kualitas lingkungan. Tabel 23 Modal sosial masyarakat kampung kota Modal Sosial
Rentang
Kepercayaan antar Sangat rendah tetangga dan komunitas Rendah (trust) Sedang Tinggi Sangat tinggi Jumlah Relasi mutual Sangat rendah (resiprositas) Rendah Sedang Tinggi Sangat tinggi Jumlah
frek
%
0 8 92 107 33 240 0 14 94 109 23 240
0.00 3.33 38.33 44.58 13.75 100.00 0 5.83 39.17 45.42 9.58 100.00
Urutan sebaran 5 4 2 1 3 5 4 2 1 3
99
Saling percaya antar tetangga (trust) Dari tabel 23 terlihat bahwa modal sosial masyarakat di permukiman kampung kota rata-rata berada pada kategori baik. Tidak satupun yang berada dalam kategori sangat buruk.
Gambar 28
Hubungan akrab antar warga masyarakat permukiman kampung kota mencerminkan modal sosial yang dimiliki
Kasus 6: Saling percaya dan saling membantu antar tetangga Yn dan El adalah dua orang ibu rumah tangga yang berasal dari daerah yang akhirnya menetap di kampung kota karena menikah dengan warga dari permukiman tersebut. Mereka saling kenal setelah tinggal dan hidup sebagai tetangga sekitar 8 tahun. Saling percaya dan saling membantu terlihat dengan seringnya mereka mengantar dan menjemput anak-anak mereka ke sekolah. Bila salah satu dari mereka tidak bisa melakukannya maka dengan senang hati salah satu dari mereka mengantar dan menjemput anak-anak mereka. Mengasuh anak pun kadang dilakukan bersama atau salah satu dari mereka mengasuh anak-anak mereka bila yang satu sedang melakukan pekerjaan lainnya. Hubungan ini terjalin dengan baik karena sebagai ibu rumah tangga mereka sering mengisi hari-hari mereka di rumah dengan berinteraksi dengan tetangga di luar rumah, teras depan rumah atau di gang depan rumah mereka atau saat-saat mencuci baju di sumur umum. Dari gambar 27 dan kasus 5 dapat dilihat bahwa warga masyarakat dalam kesehariannya melakukan interaksi dengan tetangga dan warga komunitasnya di teras rumah, di warung atau di pinggir gang di depan rumah mereka. Ibu-ibu mengerjakan pekerjaan rumah tangga sambil mengasuh anak atau sekedar memperhatikan dan menjaga anak-anak yang bermain di gang. Sumur umum juga seringkali dijadikan
100
sebagai tempat untuk ngobrol sambil mencuci piring atau pakaian, atau membersihan buah dan sayur yang akan dimasak hari itu. Hubungan ketetanggaan ini kian erat dengan adanya berbagai kegiatan bersama seperti pengajian dan arisan. Dari kasus 4 di atas dapat dijelaskan bahwa meskipun kondisi fisik lingkungan permukiman kampung kota memiliki sarana dan prasarana yang minim kualitasnya namun dengan hubungan ketetanggaan yang baik mengakibatkan masyarakat merasa nyaman tinggal di permukiman meskipun tentu saja ada faktor lain yang menyebabkan mereka tetap tinggal menetap, seperti jarak dan kedekatan dengan tempat bekerja. Kepadatan penduduk dan bangunan di permukiman kampung kota yang sangat tinggi menyebabkan dinding rumah saling berimpit. Teras rumah yang langsung berbatasan dengan gang malah berkontribusi positif karena gang tersebut dapat dijadikan sebagai ajang untuk bersosialiasi warga, tempat mengasuh anak, tempat bermain, mengobrol dan bercengkrama dengan tetangga, sehingga hubungan ketetanggaan terjalin cukup intensif. Hubungan yang intensif ini menumbuhkan rasa saling percaya (trust) antar tetangga dan warga komunitas. Dalam jangka panjang rasa saling percaya ini menumbuhkan hubungan ketetanggaan yang baik dan cenderung untuk saling tukar kebaikan (reprositas). Hubungan yang baik ini sering diwarnai semangat untuk membantu dan mementingkan kepentingan orang lain dan mewujud salah satunya dengan sifat kegotongroyongan untuk mengerjakan kegiatan bersama untuk kepentingan dan kemanfaatan bersama yang dilakukan oleh komunitas warga. Relasi mutual (resiprositas) antar warga dan komunitas kampung kota Relasi mutual antar warga masyarakat kampung kota seperti yang terlihat pada tabel 23 mayoritas berada pada kategori baik dan tidak satupun yang berkategori sangat buruk. Hal ini mencerminkan hubungan ketetanggaan dan persaudaraan yang kuat dengan tingginya tingkat saling percaya antara warga. Dari ilustrasi gambar 22 tercermin relasi mutual tersebut terjalin dan dipupuk setiap hari dengan fasilitas gang depan rumah mereka yang fungsi utamanya adalah sebagai sarana transportasi namun seringkali menjadi multi fungsi yang salah satunya sebagai sarana komunikasi warga. Pada masyarakat dengan tingkat resiprositas kuat akan melahirkan suatu masyarakat yang memiliki tingkat kepedulian berupa saling membantu dan saling memperhatikan (Fukuyaman, 1995, 2003; Coleman 1995). Dari kenyataan ini dapat diasumsikan bahwa potensi modal sosial untuk meningkatkan kualitas lingkungan
101
permukiman sudah ada. Yang diperlukan adalah adanya kegiatan atau program yang sistematis dan berkelanjutan sehingga sifat kegotongroyongan dan kebersamaan masyarakat dapat dimanfaatkan dan diwujudkan dalam bentuk perilaku yang kondusif bagi terciptanya lingkungan permukiman yang sehat. Norma dan nilai sosial Kepatuhan akan aturan-aturan yang ada mencerminkan norma dan nilai sosial, baik itu aturan sosial yang sanksinya dari masyarakat maupun aturan hukum formal yang sanksinya diatur oleh peraturan daerah (Perda) seperti larangan membuang sampah di sungai. Tabel 23 (lanjutan) Modal sosial masyarakat kampung kota Modal Sosial Nilai dan norma masyarakat
Peran tokoh dan organisasi masyarakat
Rentang
frek
%
Sangat rendah Rendah Sedang Tinggi Sangat tinggi Jumlah Sangat rendah Rendah Sedang Tinggi Sangat tinggi Jumlah
7 52 137 34 10 240 29 58 124 25 4 240
2.92 21.67 57.08 14.17 4.17 100.00 12.08 24.17 51.67 10.42 1.67 100.00
Urutan sebaran 5 2 1 3 4 4 2 1 3 5
Masyarakat kampung kota meskipun hidup di kota namun seringkali masih membawa tata cara kehidupan di kampung seperti misalnya memanfaatkan lahan depan rumah untuk menyimpan barang-barang yang tidak tertampung di dalam rumah (gudang), memelihara ternak unggas dan burung-burung di ruang gang yang tepat berada di depan rumahnya, padahal ruang gang tersebut adalah milik publik yang fungsi utamanya adalah untuk sarana sirkulasi/lalu lintas di dalam permukiman kampung kota yang seharusnya tidak digunakan untuk keperluan-keperluan pribadi untuk dijadikan gudang atau garasi atau kandang ternak.
102
Gambar 29
Rendahnya ketaatan terhadap aturan tercermin dari ketidakpedulian warga pada larangan memelihara unggas di permukiman dan berlaku egois dengan membuat garasi atau menyimpan barang-barang pribadi di lorong jalan/gang yang merupakan sarana sirkulasi milik publik
Pada saat terjadi wabah flu burung, pemerintah daerah melarang masyarakat untuk memelihara unggas di sekitar lingkungan permukiman karena dikhawatirkan akan menjadi media bagi virus flu burung yang membahayakan kesehatan manusia. Namun di kampung kota, warga masih juga memelihara unggas, baik itu ayam maupun burung dengan alasan hobby. Belum ada kesadaran bahwa hal itu melanggar aturan pemerintah.
103
Kasus 7: Memelihara ayam dan lele di lahan milik publik Er adalah seorang ibu rumah tangga yang memiliki usaha di bidang home industri dengan membuat snack (makanan ringan) yang dititipkan di beberapa supermarket di Bandung. Usahanya mampu memberikan keuntungan ekonomi. Er mulai tinggal menetap di kampung kota di Bandung sekitar 30 tahun lalu saat menikah dengan warga Bandung yang bermukim di kampung kota tempat tinggalnya sekarang. Saat pertama tinggal, Er menumpang di rumah kakak iparnya, setelah mampu lalu membeli rumah kecil, masih di kampung tersebut. Dengan bertambahnya anak rumah kecil tersebut dirasa tidak mencukupi lagi sehingga Er membeli rumah yang lebih besar masih di kampung tersebut. Dan saat ini sudah lebih dari 20 tahun tinggal di rumah tersebut, dengan 2 orang anak yang sudah besar dan telah menikah yang kemudian memberinya 3 orang cucu yang juga tinggal di rumah bersama Er dan suaminya. Untuk memenuhi kebutuhan akan ruang yang lebih banyak Er meningkatkan rumah menjadi 2 lantai. Merasa bahwa lahan ruang gang di depan rumahnya “menganggur” Er membuat kandang ayam dan kolam ikan lele. Er tidak merasa bersalah menggunakan lahan gang milik publik yang fungsi utamanya seharusnya sebagai sarana sirkulasi karena menurutnya fungsi sirkulasi masih bisa dilakukan meskipun dikurangi oleh lahan kandang ayam dan kolam ikan lelenya. Kasus 5 dan ilustrasi gambar 28 mencerminkan rendahnya kesadaran warga masyarakat terhadap kepentingan publik jika menyangkut lahan publik yang berada di depan rumahnya. Rasa memiliki yang salah kaprah ini juga didukung oleh sikap masyarakat yang cenderung membiarkan invasi lahan yang dilakukan tetangga karena merasa tidak enak jika harus menegurnya dan atau dia sendiri pun melakukan hal yang sama yaitu meng-invasi lahan milik publik karena keterbatasan lahan yang dimilikinya. Kondisi ini menyumbang kesemrawutan dan kekumuhan lingkungan permukiman kampung kota yang memang sudah menurun kualitasnya.
Peran tokoh dan organisasi masyarakat untuk tingkatkan kualitas lingkungan Berbagai organisasi yang ada di dalam masyarakat kampung kota meskipun ada namun tidak selalu diikuti secara aktif oleh warganya. Organisasi/kelompok masyarakat di permukiman kampung kota yang banyak diikuti oleh warga adalah pengajian (mayoritas warga kampung kota beragama Islam) dan organisasi karang taruna yang anggotanya adalah para pemuda dan remaja. Namun demikian peran organisasi ini masih terbatas pada kegiatan-kegiatan yang sifatnya hanya untuk kepentingan individual atau kelompok organisasi yang bersangkutan seperti misalnya pada kelompok pengajian yang lebih menekankan pada peningkatan kesalehan indivu. Belum ada tindakan untuk mewujudkan kesalehan individu ini agar mewujud dan berdampak pada kesalehan koletif/sosial yang darinya diharapkan muncul keaktifan
104
warga untuk memelihara rumah dan lingkungan permukimannya menjadi lebih berkualitas sesuai dengan slogan “kebersihan adalah sebagian dari iman”. Organisasi pemuda karang taruna yang hampir terdapat di semua kampung kota yang dijadikan lokasi penelitian mengaku hanya aktif menjelang perayaan 17 Agustus untuk mengorganisasikan kegiatan-kegiatan untuk pesta penyelenggaraan hari kemerdekaan RI. Kegiatan-kegiatan yang berhubungan dengan peningkatan kualitas lingkungan hanya terbatas pada bersih-bersih kampung menjelang 17 Agustus. Kondisi ini terlihat dari pendapat warga tentang peran organisasi masyarakat di kampungnya dalam menggerakkan masyarakat agar mau dan mampu untuk turut serta meningkatkan kualitas lingkungan kampung, mayoritas menganggap masih belum maksimal.
Kasus 8: Meningkatnya aktivitas karang taruna menjelang 17 Agustus Sn dan Dr adalah dua orang remaja yang masih sekolah di SLTA. Menjelang tanggal 17Agustus kegiatannya bertambah. Mereka mendatangi rumah-rumah warga untuk meminta sumbangan demi terselenggaranya pesta perayaan hari kemerdekaan RI yang merupakan hajatan tahunan bagi warga kampung kota. Dana yang terkumpul kemudian dikelola bersama anggota karang taruna lainnya untuk berbagai kegiatan persiapan pesta 17-an. Selain dibelikan berbagai benda dan barang untuk keperluan lomba dan hadiah pesta, sebagian dibelikan bahan dan peralatan untuk membersihkan kampung dan mengecat ulang dinding sekeliling kampung. Bekerja sama dengan ketua RT, anggota karang taruna mengorganisasikan kegiatan program bersih kampung dengan kegiatan gotong royong seluruh warga pada hari minggu menjelang hari 17 Agustus. Pada kegiatan ini seluruh warga ikut serta. Yang tidak bisa ikut menyumbangkan tenaganya, mereka menyumbang makanan atau minuman. Kegiatan ini rutin dilakukan setiap tahun sehingga pada waktu-waktu menjelan tanggal 17 Agustus, kampung kota menjadi tempat yang bersih dan meriah. Dari kasus 4 terlihat bahwa sebetulnya warga memiliki kemauan dan kemampuan untuk meningkatkan kualitas lingkungan kampungnya. Masyarakat dengan sukarela menyumbangkan uang semampunya. Namun sayangnya kegiatan yang mampu menggerakkan masyarakat untuk membersihkan kampung ini terbatas hanya 1 tahun sekali. Belum ada program yang terencana dan mampu menggerakkan warga untuk bersama-sama bergotong royong meningkatkan kualitas lingkungan kampungnya. Berikut adalah gambaran keramaian pesta perayaan 17 Agustus di salah satu lokasi kampung kota yang dijadikan sampel lokasi penelitian. Pesta perayaan tersebut
105
diselenggarakan di ruang jalan/gang yang sehari-hari digunakan sebagai sarana sirkulasi warga. Pada saat perayaan 17 agustus atau pesta-pesta penduduk lainnya maka jalan/gang ini akan ditutup sementara hingga perayaan berakhir.
Gambar 30
Kemeriahan pesta perayaan 17 Agustus di permukiman kampung kota yang selalu dijadikan hajat tahunan yang diikuti segenap warga yang dengan sukarela menyumbang dana dan tenaga demi suksesnya acara ini
Pada masyarakat permukiman kampung kota selain dikenal pemimpin formal seperti lurah dan aparatnya, dikenal juga pimpinan-pimpinan masyarakat atau tokohtokoh yang dianggap perlu didengar dan diperhatikan ajakan dan himbauannya seperti tokoh panutan atau yang dianggap pandai seperti ulama atau udztad atau ketua RT dan RW setempat. Saat ini peran ketua RT dan Ketua RW di permukiman kampung kota masih sebatas memenuhi dan melayani kepentingan warga untuk masalah-masalah
106
administratif warga seperti membantu pembuatan KTP dan sejenisnya. Belum terlihat kerja sama antara tokoh masyarakat untuk menggerakkan warganya agar peduli terhadap kualitas lingkungan. Kalaupun sekali-sekali ketua RT atau RW mengajak warganya untuk hadir dalam kegiatan peningkatan kualitas lingkungan biasanya karena ada masalah dengan sarana prasarana permukiman di kampugnya misalnya saluran drainase atau saluran air kotor mampet yang perlu diperbaiki agar tidak terjadi kerusakan yang lebih parah dan menyebabkan kondisi lingkungan semakin menurun kualitasnya. Belum ada kegiatan yang diprogram secara khusus untuk mengajak warga untuk secara sistematis dan berkelanjutan memelihara dan meningkatkan kondisi dan kualitas lingkungan kampung. Kasus 9: Kemampuan ketua RT untuk menggalang dana masyarakat Wy adalah seorang ketua RT di salah satu permukiman kampung kota yang dijadikan objek penelitian ini. Warga yang berada di lingkungan RT yang diketuainya mayoritas adalah masyarakat yang berpenghasilan rendah dan bekerja di sektor informal seperti pedagang kecil, buruh dan pembantu rumah tangga. Di lokasi kampungnya pada saat ia menjabat sebagai ketua RT belum memiliki sarana peribadatan (mesjid/mushola) sehingga jika warga ingin shalat berjamaah baik itu untuk shalat lima waktu maupun shalat tarawih di bulan Ramadhan, harus pergi ke mesjid di wilayah RT lain meskipun masih dalam satu wilayah Rukun Warga (RW). Wy dengan bantuan warga mengumpulkan dana masyarakat di wilayah RT-nya secara swadaya murni tanpa bantuan pemerintah. Dengan partisipasi aktif masyarakat akhirnya mushola sederhana mampu didirikan di lahan kosong yang asalnya dijadikan “gudang” bagi warga untuk menitipkan berbagai benda yang tidak tertampung di rumahnya. Mushola tersebut dari hari ke hari semakin berkualitas dengan berbagai sumbangan warga untuk melengkapinya dengan menambahkan tempat untuk berwudhu beserta torn air bersih dengan fasilitas pompa khusus untuk mesjid. Mushola ini selain digunakan untuk kegiatan ibadah seperti shalat jamaah harian maupun jamaah tarawih di bulan Ramadhan, juga digunakan untuk tempat pertemuan warga jika mengadakan rapat-rapat untuk kegiatan bersama seperti rapat koperasi, rapat karang taruna dan sejenisnya. Dari kasus 9 dapat ditarik pelajaran bahwa sebetulnya warga berpenghasilan rendah pun mau dan mampu berbuat untuk meningkatkan kualitas hidup dan lingkungannya jika mereka merasa bahwa kegiatan yang dilaksanakannya akan mampu memenuhi kebutuhannya. Dalam kasus di atas masyarakat membutuhkan tempat beribadah yang lebih dekat dengan rumahnya sehingga dengan sekuat daya mereka berusaha mewujudkannya dan mereka merasa memiliki mushola tersebut karena mereka yang membangunnya dan mereka pula yang memelihara dan mendapatkan banyak manfaat dari keberadaan musohola tersebut. Kondisi ini
107
sebetulnya menggambarkan bahwa potensi untuk meningkatkan kualitas lingkungan permukiman sudah ada namun belum mewujud dalam bentuk kebutuhan yang dirasakan oleh masyarakat sehingga mereka masih tetap merasa nyaman dengan lingkungan permukiman yang sarana dan prasarananya memiliki kualitas yang rendah. Perlu dicari upaya agar masyarakat sadar bahwa sarana dan prasarana lingkungan yang ada dan mereka miliki saat ini sebetulnya bisa ditingkatkan kualitasnya agar memberikan manfaat secara optimal dan dapat memberikan kualitas hidup yang lebih baik. Melihat potensi yang dimiliki komunitas kampung kota hal ini bukan mustahil diwudjudkan dan dapat dilakukan dengan modal swadaya masyarakat atau menjalin kerjasama dengan pihak pemerintah/swasta atau pihak laun untuk membantu mewujudkan permukiman kampung yang lebih baik, lebih sehat dan layak huni yang juga akan berdampak pada kehidupan kota yang lebih berkualitas. Persepsi dan motivasi untuk meningkatkan kualitas lingkungan Variabel Persepsi dan motivasi meningkatkan kualitas lingkungan (Y2) dibangun oleh sub-sub variabel: Persepsi tentang kualitas lingkungan dan Motivasi meningkatkan kualitas lingkungan. Berikut adalah persepsi masyarakat kampung kota tentang kualitas lingkungan kampung tempatnya bermukim. Tabel 24 Persepsi tentang kualitas lingkungan Persepsi tentang kualitas lingkungan
Rentang
Persepsi tentang fungsi Sangat buruk rumah Buruk Sedang Baik Sangat baik Jumlah Persespi tentang Sangat buruk kualitas rumah Buruk Sedang Baik Sangat baik Jumlah Persepsi tentang Sangat buruk kualitas lingkungan Buruk Sedang Baik Sangat baik Jumlah
Eksisting frek 1 131 96 12 0 240 6 143 51 27 13 240 6 135 79 16 4 240
% 0.42 54.58 40.00 5.00 0.00 100.00 2.50 59.58 21.25 11.25 5.42 100.00 2.500 56.250 32.917 6.667 1.667 100.00
Kesesuaian dng standar sehat Urutan 4 1 2 3 5 5 1 2 3 4 4 1 2 3 5
frek 13 156 65 6 0 240 14 160 46 15 5 240 20 150 67 3 0 240
% 5.42 65.00 27.08 2.50 0.00 100.00 5.83 66.67 19.17 6.25 2.08 100.00 8.33 62.50 27.92 1.25 0.00 100.00
Urutan 3 1 2 4 5 4 1 2 3 5 3 1 2 4 5
108
Persepsi tentang kualitas rumah dan lingkungan Rumah sebagai salah satu kebutuhan pokok manusia sebetulnya memiliki banyak fungsi seperti yang dikatakan Budihardjo (1998): (a) sebagai pengejawantahan diri: rumah sebagi simbol dan pencerminan tata nilai selera pribadi penghuni, (b) sebagai wadah keakraban: rasa memiliki, kebersamaan, kehangatan, kasih dan rasa aman tercakup dalam konsep ini, (c) sebagai tempat menyendiri dan menyepi: rumah disini merupakan tempat melepas kan diri dari dunia luar, dari tekanan dan ketegangan dari kegiatan rutin, (d) sebagai akar dan kesinambungan: dalam konsep ini rumah atau kampung halaman dilihat sebagai tempat untuk kembali pada akar dan menumbuhkan rasa kesinambungan dalam untaian proses ke masa depan, (e) sebagai wadah kegiatan utama sehari-hari, (f) sebagai pusat jaringan sosial dan (g) sebagai struktur fisik Masyarakat kampung kota banyak yang berpendapat bahwa fungsi rumah saat ini adalah hanya untuk beristirahat setelah lelah bekerja seharian sehingga kondisi fisik rumah selama masih bisa dipergunakan untuk istirahat, tidak terbakar sinar matahari dan terlindung dari angin dan hujan sudah cukup untuk mereka. Dengan keterbatasan lahan untuk rumah yang menjadikan rumah sempit dan tidak leluasa menampung berbagai kegiatan harian mereka tidak terlalu dipermasalahkan karena ruang di depan rumah mereka yang berupa gang bisa digunakan sebagai wadah kegiatan harian mereka. Sering terlihat ibu-ibu mengupas bawang atau kentang, menyiapkan bahan untuk dimasak di teras rumah sambil mengobrol dengan tetangga. Sempitnya rumah tidak mengurangi rasa betah untuk bertahan tinggal di permukiman kampung kota. Kasus 10: Persepsi tentang kualitas rumah dan lingkungan kampung Sr adalah seorang ibu rumah tangga yang juga aktif pada kegiatan-kegitan sosial di lingkungan kampungnya. Beserta suaminya yang bekerja sebagai satpam dan anaknya yang bersekolah di SD mereka tinggal di permukiman kampung kota dengan menempati sebuah rumah yang berukuran 30m2. Konstruksi bangunan rumah dan material pendukung rumah kondisinya sudah banyak yang lapuk. Ventilasi/bukaan untuk sirkulasi udara dan cahaya minim, pembatas ruang terbuat dari tripleks, lantai rumah hanya diplur dan tidak dilapis keramik. Namun demikian menurut Sr rumahnya memiliki kualitas yang baik, layak huni dan cukup sehat karena rumah tetangganya banyak yang kondisinya lebih buruk. Rumah-rumah tetangga yang buruk itulah yang menurut Sr termasuk ke dalam rumah yang kumuh. Dari kasus 10 di atas terlihat bahwa warga penghuni permukiman kampung kota belum memiliki pengetahuan yang mencukupi untuk bisa membedakan mana
109
rumah yang layak huni dengan standar sehat dengan yang tidak sehat. Demikian juga untuk persepsi tentang kualitas lingkungan. Persepsi lingkungan adalah interpretasi tentang suatu lingkungan oleh seorang individu yang didasarkan pada latar belakang budaya, nalar dan pengalaman individu tersebut. Hal ini mengakibatkan setiap individu dapat memiliki persepsi lingkungan yang berbeda dikarenakan latar belakang budaya, nalar dan pengalaman yang berbeda pula. Namun karena hal tersebut pula maka dimungkinkan beberapa individu atau kelompok individu memiliki kecenderungan persepsi lingkungan yang sama atau mirip karena kemiripan latar belakang budaya, nalar dan pengalamannya. Masyarakat di permukiman kampung kota tidak terlalu pusing dengan kualitas lingkungan kampungnya karena menurut persepsi mereka, lingkungan kampungnya masih bisa memberikan apa yang dibutuhkannya untuk tetap bertahan melangsungkan kehidupannya, bahkan mereka merasa cukup puas tinggal di rumah dan lingkungan permukiman yang saat ini mereka tempati. Hal ini terntu saja merupakan suatu ironi yang memprihatinkan dan memperlihatkan ketidakberdayaan masyarakat kampung kota. Rumah bagi mereka seperti yang dikatakan Jo Santoso (2003) bukanlah soal membangun tetapi rumah adalah persoalan mengelola kehidupan dimana berbagai kebutuhan, kepentingan, kemampuan dan kelemahan dioptimasikan terhadap sumber daya yang serba terbatas yang dimiliki pribadi dan peluang yang disediakan oleh lingkungan. Bagi
masyarakat
berpenghasilan
rendah,
seperti
mayoritas
penghuni
permukiman kampung kota, fungsi rumah dilihat sebagai kebutuhan dasar sekaligus sumberdaya modal untuk meningkatkan kehidupan dan penghidupannya. Dengan pemahaman seperti itu maka permukiman kampung kota berkembang di sekitar tempat-tempat yang berpeluang untuk mudah mendapatkan pekerjaan. Kualitas bangunan rumah dan lingkungan permukiman menjadi tidak terlalu penting selama masih dapat menunjang kelangsungan kehidupan dan penghidupan mereka sekeluarga. Motivasi meningkatkan kualitas lingkungan Motivasi adalah dorongan untuk melakukan suatu kegiatan dalam memenuhi kebutuhannya yang jika kebutuhannya tidak terpenuhi akan memberikan rasa ketidakseimbangan dalam dirinya. Motivasi dalam penelitian ini terbagi menjadi sub variabel motivasi bermukim, motivasi meningkatkan kualitas rumah dan motivasi
110
meningkatkan
kualitas
lingkungan
permukiman.
Berikut
adalah
motivasi
meningkatkan kualitas lingkungan pada masyarakat di permukiman kampung kota. Tabel 25 Motivasi meningkatkan kualitas lingkungan Motivasi meningkatkan kualitas lingkungan Morivasi bermukim
Rentang
Sangat rendah Rendah Sedang Tinggi Sangat tinggi Jumlah Motivasi meningkatkan Sangat rendah kualitas rumah Rendah Sedang Tinggi Sangat tinggi Jumlah Motivasi meningkatkan Sangat rendah kualitas lingkungan Rendah Sedang Tinggi Sangat tinggi Jumlah
frek
%
0 45 178 17 0 240 49 75 89 20 7 240 33 56 98 35 18 240
0.00 18.75 74.17 7.08 0.00 100.00 20.42 31.25 37.08 8.33 2.92 100.00 13.75 23.33 40.83 14.58 7.50 100.00
Urutan sebaran 4 2 1 3 5 3 2 1 4 5 4 2 1 3 5
Kasus 11: Motivasi bermukim dan tetap bertahan di kampung kota Ln adalah seorang janda dengan dua orang anak yang meningkat remaja. Untuk menghidupi keluarganya Ln berjualan nasi kuning setiap pagi di ujung gang yang merupakan akses masuk permukiman kampung kota dari jalan raya. Setelah berjualan di pagi hari, siangnya Ln bekerja menjadi pembantu rumah tangga dan sore hari pulang ke rumahnya untuk mempersiapkan bahan jualan nasi kuning esok pagi. Karena rumahnya hanya memiliki luas lahan 6m2 yang kemudian ditingkatkan sehingga mendapat luas bangunan 12m2 dan tetap juga masih sempit, seringkali Ln menyiapkan bahan-bahan untuk jualannya di ruang gang atau di teras rumah tetangga sambil mengobrol. Ini memberikan keuntungan karena sambil mengobrol tetangga pun dapat turut membantu meracik bahan-bahan seperti mengupas bawang atau kentang sehingga pekerjaannya cepat rampung. Meskipun rumahnya sempit dan tidak memenuhi standar layak huni namun Ln merasa kerasan tinggal di permukiman kampung kota dan tidak berniat untuk pindah rumah. Dari kasus 11 terlihat bahwa hal yang penting yang menjadi motivasi terkuat untuk tetap tinggal dan bertahan di lingkungan permukiman kampung kota adalah hubungan yang erat dan penuh kekeluargaan antar tetangga. Mereka bisa mengandalkan tetangga untuk menolongnya jika suatu saat menghadapi kesulitan, baik itu kesulitan ekonomi atau yang lainnya. Dari tabel 25 di atas terlihat bahwa
111
masyarakat memiliki motivasi yang cukup lumayan untuk meningkatkan kualitas kampungnya, namun demikian motivasi yang cukup ini ini tidak mampu mewujud dalam bentuk tindakan memperbaiki lingkungan. Selain karena kendala ekonomi dan waktu yang dimiliki, mereka juga menganggap bahwa kualitas rumah dan lingkungan di sekitar permukiman kampungnya beserta sarana prasarana yang dimilikinya itu kondisinya masih bisa digunakan, terlepas bahwa penggunaanya mungkin tidak bisa optimal. Tentu hal ini berpangkal dari persepsi mereka tentang kualitas rumah dan lingkungan yang tidak sesuai dengan standar baku kualitas rumah dan lingkungan permukiman yang layak huni. Dari persepsi yang tidak tepat ini mereka merasa tidak terlalu membutuhkan kondisi yang lebih baik dari keadaan yang sudah ada saat ini jika itu memerlukan dana dan biaya yang besar yang harus dikeluarkan oleh mereka. Perbedaan persepsi tentang kualitas lingkungan ini yang menjadikan perdebatan tentang permukiman kumuh tidak terselesaikan. Pihak luar seperti pemerintah dan akademisi dan relawan lingkungan menganggap bahwa lingkungan permukiman kampung kota banyak yang sudah terdegradasi alias menjadi permukiman kumuh, tapi di sisi lain masyarakat yang bermukim di lingkungan permukiman kampung kota sama sekali tidak merasa bahwa lingkungan kampungnya adalah permukiman kumuh. Tingkat kebutuhan akan rumah dan lingkungan permukiman Berikut adalah deskripsi data mengenai tingkat kebutuhan akan rumah dan lingkungan permukiman pada masyarakat di permukiman kampung kota Tabel 26 Tingkat kebutuhan akan rumah dan lingkungan Tingkat kebutuhan akan rumah
Rentang
Tingkat kebutuhan akan Sangat rendah rumah dan permukiman Rendah Sedang Tinggi Sangat tinggi Jumlah Kemampuan memenuhi Sangat rendah kebutuhan akan rumah Rendah dan permukiman Sedang Tinggi Sangat tinggi Jumlah
frek
%
9 11 25 132 63 240 39 102 82 15 2 240
3.75 4.58 10.42 55.00 26.25 100.00 16.25 42.50 34.17 6.25 0.83 100.00
Urutan sebaran 5 4 3 1 2 3 1 2 4 5
112
Dari tabel di atas dapat dilihat bahwa tingkat kebutuhan akan rumah pada masyarakat di permukiman kampung kota mayoritas berada pada kategori tinggi dan sangat tinggi. Menurut pengakuan warga kebutuhan akan rumah bagi mereka saat ini adalah kebutuhan pokok yang harus dipenuhi untuk keamanan fisik dan keamanan harta benda yang mereka miliki serta untuk mendekati tempat kerjanya. Jika kondisi ini dikonsultasikan dengan hirarki kebutuhan dari Maslow maka tingkat kebutuhan masyarakat kampung kota akan rumah masih berada pada tingkat kebutuhan dasar atau survival/fisiologi needs, dan safety and securyty needs. Paling tinggi tingkat kebutuhan rumah pada warga kampung kota menempati hirarki social needs. Ketiga tingkatan ini dalam hirarki kebutuhan menurut Maslow menduduki peringkat tiga terendah dari lima tingkatan yang ada. Kasus 12: Kebutuhan akan rumah vs kemampuan memenuhinya At dan Su adalah pasangan manula yang di hari tuanya tidak memiliki penghasilan tetap untuk memenuhi kebutuhan hidupnya. Lima anaknya sudah menikah dan tidak tinggal bersama mereka lagi kecuali anak bungsunya yang mata pencahariannya adalah tukang becak. Rumah yang mereka miliki adalah harta satu-satunya yang mereka miliki dan merupakan modal untuk dapat melangsungkan kehidupannya. Untuk dapat memenuhi kebutuhan hidupnya dan agar rumahnya juga tetap terpelihara, At dan Su mengontrakkan sebagian rumahnya kepada cucunya sendiri yang memiliki mata pencaharian lebih baik sehingga pemeliharaan rumah dapat tetap terjaga dan mereka pun mendapatkan uang sewa untuk keperluan hidup sehari-hari. At dan Su tetap merasa nyaman tinggal di rumahnya meskipun harus berbagi rumah karena sang penyewa adalah cucunya sendiri yang merupakan darah dagingnya sehingga mereka tidak merasa canggung malah senang karena kesehariannya tidak lagi sepi dengan kehadiran cucu dan cicitnya yang menemani hari-hari tua mereka. Dari kasus 12 di atas tercermin bahwa rumah bagi warga masyarakat yang tinggal di permukiman kampung kota meskipun sederhana dan seringkali tidak memenuhi syarat kesehatan dan kurang layak huni namun itulah benda berharga yang masih dapat diandalkan untuk melanjutkan kehidupannya. Dari kasus tersebut dapat pula ditarik pelajaran bahwa kemampuan masyarakat untuk bertahan hidup dan mencari peluang-peluang untuk tetap dapat melanjutkan hidup dan kehidupannya seringkali mencengangkan dan membuat kagum. Namun tingkat kebutuhan akan rumah yang tinggi pada masyarakat di permukiman kampung kota ini, terhambat oleh kemampuan mereka yang rendah. Kemampuan yang rendah ini terlihat dari tabel di atas yang ditunjukkan dengan tingginya presentase masyarakat yang tingkat kemampuan memenuhi kebutuhan akan
113
rumah berada pada kategori rendah dan sangat rendah. Titik pangkal rendahnya kemampuan ini karena keterbatasan ekonomi yang menyebabkan masyarakat permukiman kampung kota yang mayoritas berpenghasilan rendah dan bekerja di sektor informal harus bekerja sepanjang hari untuk memenuhi kebutuhan hidupnya. Pendapatan yang diperolah hampir seluruhnya habis digunakan untuk menutupi kebutuhan sehari-hari sehingga tidak tersisa untuk meningkatkan kualitas rumah. Demikian juga waktu yang dihabiskan untuk bekerja di sektor informal yang menghabiskan waktu seharian tidak menyisakan waktu dan tenaga untuk berpartisipasi meningkatkan kualitas lingkungan permukimannya kampungnya. Kasus 13: Kekerabatan dan keeratan ketetanggaan yang membuat kerasan End dan Ur adalah sepasang suami istri yang tinggal di permukiman kampung kota. Suami istri ini masing-masing bekerja sebagai PNS sehingga kehidupan ekonomi pasangan ini relatif lebih mapan daripada tetangga di sekitarnya yang mayoritas hanya mengandalkan hasil bekerja di sektor informal. Sekitar 10 tahun lalu End dan Ur menyicil rumah di salah satu perumahan yang dibangun oleh developer di kawasan lain di kota Bandung. Namun mereka tetap tinggal di kampung kota, bahkan merenovasi rumah tersebut menjadi 3 lantai untuk kenyamanan bagi seluruh keluarganya yang juga menampung saudara yang sekolah dan bekerja di Bandung. Kemudian pasangan ini membeli sebuah mobil sehingga sebetulnya lokasi tempat bekerja seharusnya bukan lagi menjadi hambatan dengan keberadaan mobil yang dimiliki. Namun mereka tetap tinggal di kampung kota dengan alasan sudah terlanjur kerasan karena hubungan ketetanggaan dan suasana kekeluargaan di kampung kota tempatnya tinggal dirasakan membuat diri dan keluarganya nyaman dan merasa aman meskipun kualitas sarana dan prasarana yang dimiliki kampung kota lebih rendah dari sarana prasarana lingkungan perumahan yang mereka miliki yang dibangun oleh developer perumahan. Rumah lain yang dimilikinya itu hanya dijadikan sebagai investasi masa depan. Dari kasus 13 dapat dikatakan bahwa kebutuhan akan rumah dan lingkungan permukiman pada masyarakat kampung kota tidak melulu hanya kebutuhan fisik akan hunian. Alasan memilih tinggal di kampung kota tidak hanya karena keterjangkauan harga dan lokasi yang dekat dengan tempat kerja, namun terdapat juga alasan lain yang jadi pertimbangan. Alasan tersebut berhubungan dengan karakteristik sosial masyarakat kampung kota yang dianggapnya memiliki sifat dan karakteristik kampung halaman seperti hubungan ketetanggaan yang masih erat, tolong menolong. Hal ini sesuai dengan kepribadian mereka yang masih masih menginginkan hubungan sosial yang guyub dan kepedulian yang tinggi terhadap tetangga dan warga komunitasnya. Karakteristik fisik lingkungan permukiman kampung kota yang padat bangunan dan padat penduduk dengan rumah-rumah saling berimpit berbagi dinding
114
dengan tetangga menyebabkan hal positif yaitu muculnya rasa kebersamaan senasib dan sepenanggungan. Perasaan senasib ini menciptakan hubungan dengan tetangga dan warga komunitas kampung menjadi erat. Untuk yang tidak memiliki sumber air ersih dan kamar mandi dalam rumah, mereka terbiasa pergi mandi, mencuci baju dan piring-piring kotor bersama, mengasuh anak pun dilakukan bersama-sama, mengobrol sambil mengawasi anaknya bermain di gang depan rumah, belanja di tukang sayur keliling pada waktu yang sama sambil bertukar cerita tentang menu masakan yang bisa dimasak hari ini. Mereka saling membantu, saling menitip anak, tolong menolong apabila ada tetangga yang mengalami kesulitan tanpa harus diminta terlebih dahulu. Dari kondisi ini kebutuhan akan rumah dan lingkungan bagi masyarakat kampung kota bukan saja untuk memenuhi kebutuhan fisiknya tetapi juga untuk kebutuhan emosional dan kultural yang mereka dapatkan di kampung kota. Kondisi fisik rumah Kondisi fisik rumah adalah konstruksi dan material yang digunakan untuk membangun rumah, ketersediaan sirkulasi udara/cahaya yang masuk ke dalam rumah sehingga tidak lembab atau pengap dan ketersediaan sumber air bersih dan saluran saluran pembuangan limbah. Berikut kondisi fisik rumah dan ketersedian ruang pada rumah-rumah di permukiman kampung kota. Tabel 27 Kondisi fisik rumah dan ketersediaan ruang Kondisi fisik rumah Kondisi fisik rumah
Ketersediaan ruang dalam rumah
Rentang Sangat buruk Buruk Sedang Baik Sangat baik Jumlah 1 2 3 4 >5 Jumlah
Eksisting frek 60 109 56 14 1 240 16 101 99 19 5 240
% 25.00 45.42 23.33 5.83 0.42 100.00 6.67 42.08 41.25 7.92 2.08 100.00
Kesesuaian dng standar sehat Urutan 2 1 3 4 5
frek 66 118 45 10 1 240
% 27.50 49.17 18.75 4.17 0.42 100.00
Urutan 2 1 3 4 5
4 1 2 3 5
Dapat dilihat pada tabel 27 di atas kondisi fisik rumah hunian pada permukiman kampung kota mayoritas berada pada kategori buruk dan sangat buruk dengan minimnya bukaan untuk terjadinya sirkulasi udara dan masuknya cahaya
115
matahari ke dalam rumah serta bahan material yang digunakan untuk konstruksi rumah yang rendah kualitasnya. Ilustrasi berikut dapat menggambarkan rendahnya kualitas hunian di permukiman kampung kota.
Gambar 31
Kondisi di dalam rumah warga di permukiman kampung kota
Banyak faktor yang menyebabkan hal ini terjadi, diantaranya selain karena kemampuan ekonomi yang terbatas juga terbatasnya lahan sehingga rumah-rumah warga seringkali mengabaikan aspek sirkulasi udara dan cahaya. Bukaan jendela ke samping kiri-kanan rumah sudah tidak memungkinkan karena dinding-dinding rumah satu dengan rumah lainnya saling berhimpitan. Bukaan ke atas menurut warga sulit dilakukan sehingga secara umum kondisi rumah menjadi gelap dan lembab dan menjadi tidak hemat energi karena pada siang hari pun lampu harus tetap menyala agar suasana rumah tidak terlalu gelap. Ilustrasi gambar 30 yang memotret kondisi dalam bangunan rumah memperlihatkan rendahnya kualitas rumah-rumah di
116
permukiman kampung kota. Sirkulasi udara dan cahaya yang minim. Begitu pula kondisi dapur dan kamar mandi + WC terlihat tidak higienis dan jauh dari standar sehat. Konstruksi bangunan dan material yang mendukung konstruksi rumah banyak yang sudah tidak layak pakai. Bahan penutup lantai terkadang hanya diplur lalu ditutup karpet plastik, dinding rumah bagian luar dari batu bata atau batako namun tidak diplur sehingga kemungkinan air dan kelembaban bisa merembes ke dalam rumah. Bahan plafon banyak terbuat dari tripleks yang kondisinya sudah lapuk, penutup atap banyak yang terbuat dari seng. Berikut kondisi luar bangunan rumahrumah di kampung kota
Gambar 32
Kondisi rumah dilihatdari arah luar bangunan
117
Ketersediaan ruang dalam rumah Ketersediaan ruang dalam rumah pada rumah-rumah masyarakat di permukiman kampung kota terdiri dari mulai 1 ruang hingga 5 ruang atau lebih. Ruang-ruang tersebut terdiri dari ruang-ruang inti seperti ruang tidur, dapur, dan kamar mandi. Di permukiman kampung kota didapati juga banyak rumah yang tidak memiliki kamar mandi, WC dan sumber air bersih secara mandiri sehingga keberadaan MCK umum masih diperlukan. Berikut adalah contoh-contoh ketersediaan ruang dalam rumah di permukiman kampung kota yang menyatukan berbagai fungsi ruang dalam satu ruangan saja, seperti ruang makan + ruang tamu + ruang keluarga. Atau memberi partisi tidak permanen terhadap ruang-ruang dengan fungsi-fungsi yang berbeda.
Gambar 33
Satu ruang digunakan untuk berbagai fungsi yang berbeda. Ruang tamu, ruang makan, ruang keluarga, dapur terdapat dalam satu ruang
Kasus 14: Kiat warga menyiasati sempitnya rumah di permukiman kampung kota Cu dan Ras adalah suami istri yang telah menikah sekitar 20 tahun dan telah menetap di permukiman kampung kota yang kini ditempatinya sekitar 15 tahun lalu. Pasangan ini memiliki 2 orang anak dan menampung seorang keluarga dari kampung halaman yang bekerja di Bandung. Rumah yang mereka tempati memiliki luas tanah 12m2. Untuk mengatasi sempitnya rumah mereka meningkatkan bangunan rumahnya, meskipun tetap saja tidak mencukupi. Hal ini disiasati dengan pengaturan ruang yang dibuat seefektif mungkin. Lantai 1 difungsikan sebagai ruang tamu dan dapur. Lantai 2 digunakan sebagai ruang keluarga sekaligus ruang tidur. Untuk tidur tidak digunakan dipan/ranjang tetapi menggunakan kasur busa yang dibentangkan hanya saat digunakan untuk tidur. Pada saat tidak digunakan kasurkasur ini disimpan. Mereka menganggap kondisi ini masih jauh lebih baik daripada harus pulang ke kampung halaman karena sang suami dan anak sulungnya telah bekerja di Bandung. Mereka mengatakan bahwa tinggal di permukiman kampung kota membuat kerasan
118
Dari kasus 14 di atas ternyata keterbatasan lahan dan kondisi fisik rumah tidak menjadikan warga pulang ke kampung halaman meskipun mereka mengaku bahwa di kampungnya rumah orang tua atau kerabatnya jauh lebih luas dari yang ditempatinya di permukiman kampung kota. Bagi warga kampung kota tinggal di rumah yang ratarata tidak layak huni namun masih bisa bekerja dan menyekolahkan anak masih jauh lebih baik daripada tinggal di kampung dengan rumah yang luas namun tidak bekerja. Dengan pekerjaan yang digelutinya saat ini meskipun banyak yang bergerak di sektor informal namun semangat hidup mereka untuk tetap bertahan dan berharap esok hari dan ke depan kondisinya bisa lebih baik. Keterbatasan lahan bangunan yang dimiliki masyarakat di permukiman kampung kota disiasati dengan menambah lantai ke atas dengan meningkatkan bangunan rumahnya. Meskipun demikian karena keterbatasan pemahaman tentang kualitas rumah yang tidak sesuai dengan standar kualitas rumah sehat, maka meskipun rumahnya bertingkat, kesan kumuh masih melekat seperti terlihat pada gambargambar berikut:
Gambar 34
Rumah-rumah berlantai dua untuk menyiasati keterbatasan lahan pada permukiman kampong kota namun kesan kumuh masih tetap terasa.
Jumlah ruangan pada rumah-rumah di permukiman kampung kota sebagian besar terdiri atas 3 – 4 ruang. Ruang tidur umumnya terletak di lantai atas dengan 1 ruangan yang digunakan bersama untuk seluruh keluarga atau diberi penyekat dengan kain/gorden. Ruang tamu umumnya digunakan dengan fungsi beragam sebagai ruang keluarga, ruang makan dan bagi warga yang memiliki usaha sekaligus juga digunakan sebagai tempat usaha. Dapur untuk warga yang memiliki usaha warung makan atau menjual nasi kuning/uduk digunakan juga untuk memasak kebutuhan warung dan untuk rumah tangga. Bagi warga yang memiliki KM/WC di dalam rumah, difungsikan
119
juga untuk cuci baju dan cuci piring. Warga yang tidak memiliki KM/WC kegiatan mencuci baju dan piring dilakukan di luar rumah di MCK umum. Tempat yang sempit di dalam rumah seringkali menyebabkan rumah hanya berfungsi sebagai tempat berkumpul keluarga pada waktu tidur saja. Ayah atau ibu mengerjakan tugas hariannya di luar rumah sambil mengobrol dengan tetangga, anakanak bermain di luar, para remaja bertukar cerita dengan sebayanya di ruang-ruang gang di luar rumah mereka. Sikap seperti ini selain disebabkan karena rumah yang sempit tidak memungkinkan untuk bersantai dengan tenang di rumah, bisa jadi disebabkan karena kebiasaan sewaktu mereka tinggal di desa. Karakteristik fisik lingkungan permukiman dan kondisi fisik rumah dengan lahan terbatas ini memunculkan karakteristik sosial yang sesuai dengan kebutuhan masyarakat akan rumah dan lingkungan yang mereka inginkan dan butuhkan. Suatu lingkungan permukiman yang mirip seperti yang mereka miliki pada saat masih tinggal di desa dengan karakateristik masyarakat penuh rasa kekeluargaan di antara para warganya. Karakteristik fisik lingkungan fisik akhirnya menjadi saling terkait dengan karakteristik sosial masyarakat penghuninya termasuk juga kebiasaan untuk menampung keluarga dari kampung yang menyebabkan kepadatan penduduk di permukiman kampung kumuh cenderung terus meningkat. Seperti pada umumnya masyarakat berpenghasilan rendah maka masyarakat di permukiman kampung kota membelanjakan pendapatannya terlebih dahulu untuk keperluan-keperluan mendesak lainnya untuk kelangsungan hidup sehari-hari seperti makan dan biaya sekolah anak-anak. Memperbaiki rumah adalah pilihan terakhir, itu juga jika tersisa kelebihan uang yang cukup besar. Partisipasi masyarakat untuk meningkatkan kualitas lingkungan Variabel partisipasi masyarakat dalam meningkatkan kualitas lingkungan dirinci dalam sub variabel: sikap proaktif untuk meningkatkan kualitas lingkungan, partisipasi dalam kegiatan meningkatkan kualitas lingkungan permukiman dan frekuensi partisipasi. Sikap proaktif untuk meningkatkan kualitas lingkungan termasuk didalamnya adalah perilaku keseharian dalam menggunakan sarana lingkungan permukiman berkenaan dengan perilaku individiu seperti membersihkan halaman dan gang depan rumahnya, menjaga saluran drainase depan rumahnya, perilaku membuang sampah, perlakuan terhadap gang/jalan lingkungan yang berada tepat di depan
120
rumahnya, cara mendapatkan air bersih, dan perilaku-perilaku yang berkenaan dengan sikapnya terhadap lingkungan permukiman dan sarana prasarana yang terdapat di dalam lingkungan permukiman. Partisipasi meningkatkan kualitas lingkungan berkenaan dengan keikutsertaan individu dalam kegiatan-kegiatan meningkatkan kualitas lingkungan, baik yang dilakukan secara berkelompok dengan masyarakat sekitarnya seperti bergotong royong memperbaiki jalan lingkungan (gang), membersihkan MCK, membangun pos siskamling, memberikan sumbangan dana, tenaga, waktu dan pikiran pada kegiatan-kegiatan yang berkenaan dengan perbaikan kampung. Frekuensi partisipasi meningkatkan kualitas lingkungan berkenaan dengan frekuensi keikut sertaan dalam kegiatan meningkatkan kualitas lingkungan kampung. Tabel 28 Partisipasi masyarakat meningkatkan kualitas lingkungan Partisipasi meningkatkan kualitas lingkungan Sikap proaktif untuk meningkatkan kualitas lingkungan permukiman
Partisipasi meningkatkan kualitas lingkungan
Frekuensi partisipasi meningkatkna kualitas lingkungan permukiman
Rentang
frek
%
Sangat rendah Rendah Sedang Tinggi Sangat tinggi Jumlah Sangat rendah Rendah Sedang Tinggi Sangat tinggi Jumlah Sangat rendah Rendah Sedang Tinggi Sangat tinggi Jumlah
4 88 100 42 6 240 11 44 156 20 9 240 0 81 133 26 0 240
1.67 36.67 41.67 17.50 2.50 100.00 4.58 18.33 65.00 8.33 3.75 100.00 0.00 33.75 55.42 10.83 0.00 100.00
Urutan sebaran 5 2 1 3 4 4 2 1 3 5 4 2 1 3 5
Dari tabel di atas terlihat bahwa secara umum partisipasi masyarakat untuk meningkatkan kualitas lingkungan berada pada kategori cukup baik meskipun jika dilihat dari kondisi fisik sarana prasarana lingkungan permukiman kampung kota terlihat perilaku yang tidak mendukung terhadap peningkatan kualitas lingkungan permukiman kampung.
121
Sikap proaktif masyarakat kampung kota untuk meningkatkan kualitas lingkungan dapat dilihat dari perilaku mereka terhadap lingkungan dan sarana prasarana yang terdapat di dalamnya. Masih banyak ditemukan perilaku yang buruk dari masyarakat seperti membuang sampah tidak pada tempatnya, membuang puntung rokok dan bungkus rokok di mana saja, terkadang membuang sampah di sungai karena lingkungan permukiman tidak menyediakan tempat sampah atau letak rumahnya lebih dekat ke sungai daripada ke tempat pembuangan sampah sehingga lebih memilih membuang sampah ke sungai/kali atau selokan dekat rumah. Terdapat juga perilaku yang memperlakukan jalan/gang di depan rumahnya sebagai lahan miliknya sendiri seperti mempergunakannya sebagai tempat kandang ayam atau kandang burung padahal dari segi kesehatan, perilaku seperti ini sangat jelek untuk kesehatan masyarakat sekitarnya apalagi dengan berjangkitnya flu burung. Keterbatasan lahan rumah yang dimiliki warga seringkali mendorong warga untuk meng-invasi lahan milik publik seperti gang yang tepat berada di depan rumahnya sebagai perluasan atau bagian dari rumah dengan menyimpan berbagai barang atau benda-benda yang tidak tertampung di dalam rumah seperti ember-ember penampungan air bersih atau bahkan menjadikannya sebagai dapur dengan berbagai peralatan dapur yang diletakkan di lahan publik tersebut. Dengan keberadaan bendabenda tersebut seolah warga menandai bahwa lahan itu termasuk ke dalam teritori miliknya yang tidak boleh diganggu warga lain meskipun mereka juga tahu bahwa lahan itu sebetulnya adalah milik publik. Proses pemilikan hak atas lahan yang tidak jelas dan tidak diatur dengan tata ruang yang taat asas hukum menjadikan pemilik hak atas lahan kosong tersebut berusaha untuk membangun sebesar-besarnya demi rumah yang ditinggalinya dan menyumbangkan sekecil-kecilnya bagi lingkungan permukiman termasuk untuk akses jalan. Akibatnya ruang jalan/gang pada permukiman kampung kota menjadi multifungsi selain fungsi utama sebagai sirkulasi, masyarakat juga menggunakannya untuk berbagai kegiatan, dari yang sifatnya pribadi/privat hingga yang sifatnya umum. Seringkali ruang gang kehilangan fungsi utamanya sebagai sarana sirkulasi karena diintervensi oleh masyarakat menjadi miliknya pribadi sehingga unsur publiknya
menjadi
pudar/hilang
dan
masyarakat
lainnya
tidak
bisa
mempergunakannya lagi. Perlakuan yang buruk terhadap gang/jalan lingkungan yang
122
terdapat di permukiman kampung kota oleh masyarakat penghuninya jika tidak ditertibkan akan memperburuk kondisi permukiman karena akan lebih memperparah kekumuhan yang sudah ada. Berikut adalah rangkuman berbagai perlakuan warga dan kegiatan masyarakat di permukiman kampung kota yang dilakukan terhadap sarana prasarana lingkungan permukiman kampung kota Tabel 29 Perlakukan dan kegiatan masyarakat terhadap sarana prasarana lingkungan Tempat kegiatan Koridor ruang gang
Teras-teras rumah warga depan gang
Fasilitas MCK umum
Warung/Kios
Jenis aktivitas Personal/privat • Pesta pernikahan/ khitanan/ulang tahun anak
• Mengasuh/ menyusui anak/ menyuapi anak • Istirahat/bersantai • Memandikan bayi • Mandi dan bersih-bersih
• Pacaran
• • • • • • • • • • •
Publik Bermain Mengobrol Bekerja Tempat usaha Mencuci motor/mobil Menyimpan barang bekas Menjemur pakaian/kasur Parkir Perayaan hari besar Bermain (anak-anak) Mengobrol dan bersosialisasi (remaja, ibuibu, bapak-bapak dan anak-anak)
• • • • • •
Mencuci baju/ sayur/buah Memandikan anak Menampung air Mengobrol Mengobrol Belanja keperluan harian
Sumber: Handayani, 2005
Gambar 35
Invasi lahan terhadap ruang gang milik publik oleh masyarakat di permukiman kampung kota
123
Kasus 15: Membangun dapur di ruang gang milik publik An dan suaminya Ol menempati lahan rumah yang berbatasan dengan gang yang buntu sehingga tidak pernah digunakan sebagai jalur sikurlasi karena di lahan tersebut sudah dibangun sebagai sarana MCK umum. Lahan “nganggur” yang luarsnya sekitar 1,5m2 tersebut dibuat menjadi perluasan rumah miliknya dengan membuat dapur. Padahal sebetulnya lahan publik itu dapat digunakan sebagai perluasan MCK sehingga pengguna tidak perlu antri jika harus memanfaatkan MCK tersebut. Protes dan keberatan dari warga lain tidak diacuhkan dan hingga kini lahan itu akhirnya dianggap sebagai miliknya pribadi Dari kasus 15 di atas terlihat bahwa sikap proaktif masyarakat untuk meningkatkan kualitas lingkungan kampung secara individu masih rendah. Hal ini terlihat dari bentuk perlakuan mereka terhadap ruang gang di permukimannya. Banyak perilaku masyarakat yang tidak mendukung terciptanya lingkungan yang lebih baik.
Partisipasi dalam kegiatan meningkatkan kualitas lingkungan Pada permukiman kampung kota didapati belum banyak kegiatan-kegiatan yang dirancang dengan sengaja dan terprogram agar masyarakat dapat turut serta meningkatkan kualitas lingkungan. Untuk membersihkan lingkungan masih dilakukan secara individu terhadap ruang halaman dan gang di depan rumah warga masingmasing. Sampah-sampah yang dikumpulkan di beberapa tempat, diangkut oleh tukang sampah yang digaji dari iuran warga. Kegiatan bersih-bersih lingkungan yang rutin dilakukan oleh warga adalah menjelang perayaan kemerdekaan 17 Agustus. Di luar kegiatan itu, dapat dikatakan jarang ada kegiatan yang terencana dan terprogram dengan jelas. Kalaupun ada kegiatan bersama yang melibatkan masyarakat banyak biasanya sifatnya insidental untuk menyelesaikan masalah, misalnya karena ada saluran yang tersumbat yang harus segera diperbaiki, atau dirasakan ada masalah yang mengganggu warga masyarakat seperti kasus berikut. Kasus 16: Kerjasama warga Salah satu lokasi penelitian ini adalah permukiman kampung kota yang bentuknya merupakan enclave (kantong) permukiman yang sekelilingnya adalah perumahan dan toko. Akses masuk bisa dilakukan melalui 2 jalan di arah Timur dan Utara kampung. Keluarga yang bermukim di kantong permukiman ini sebanyak 60 KK. Masyarakat merasa dari hari ke hari kampungnya semakin tidak aman. Banyak warga melaporkan kehilangan benda-benda miliknya yang disimpan di depan rumah karena mereka percaya tetangga dan warga kampungnya tidak mungkin mengambil barang-barang yang sifatnya remeh temeh namun diperlukan dalam kehidupan sehari-hari seperti panci, wajan, sepatu (di permukiman ini banyak
124
warga tidak memiliki km/wc sendiri sehingga seringkali peralatan dapur disimpan di dekat fasilitas MCK umum atau di gang di depan rumahnya. Ada juga yang melaporkan kehilangan helm bahkan motor yang diparkir di gang. Hasil kesepakatan warga memutuskan bahwa akses masuk ke permukiman kampung tersebut dari arah Timur dan Utara keduanya dipasangi pintu gerbang yang akan ditutup/dikunci sejak jam 22.00 hingga pagi hari jam 05.00. Untuk membuat gerbang, gembok dan kunci-kunci ini diperlukan dana yang tidak sedikit (untuk ukuran masyarakat berpenghasilan rendah), namun karena warga merasa membutuhkan keamanan maka dalam waktu singkat dana tersebut terkumpul. Saat ini gerbang tersebut sudah terpasang dan masing-masing warga diberi kunci agar kapanpun mereka pergi dan pulang tidak perlu mengganggu warga lain untuk membukakan gerbangnya. Menurut masyarakat, setelah dipasangi gerbang, kasus kehilangan menurun. Kasus 16 memperlihatkan bahwa masyarakat kampung kota sebetulnya bisa diajak untuk aktif dan berpartisipasi dalam kegiatan bersama untuk mencapai tujuan tertentu. Bahkan jika diperlukan masyarakat dengan sukarela menyumbangkan dana dengan menyisihkan dari pendapatan yang sebetulnya pas-pasan, jika dana itu dianggap digunakan untuk melindungi diri dan harta yang dengan susah payah dikumpulkan Kegiatan lain yang hampir ditemui di seluruh lokasi permukiman kampung kota yang dilakukan rutin dan bergotong royong adalah persiapan perayaan kemerdekaan RI setiap menjelang tanggal 17 Agustus yang merupakan hajatan seluruh warga. Pada kegiatan tersebut hampir seluruh warga secara sukarela ikut berpartisipasi, baik itu dengan memberikan dana, tenaga atau materi yang bisa digunakan untuk memeriahkan pesta kemerdekaan. Di luar kegiatan tahunan tersebut masyarakat tidak memiliki agenda lain yang bisa dijadikan ajang untuk menggerakkan masyarakat kampung untuk berpartisipasi membersihkan lingkungan secara kolektif sehingga potensi masyarakat yang sebetulnya ada dan dimiliki oleh kampung kota tidak bisa dimanfaatkan dengan maksimal. Frekuensi masyarakat untuk ikut serta dalam kegiatan-kegiatan meningkatkan kualitas lingkungan yang dilakukan secara kolektif pun akhirnya juga menjadi rendah karena ketiadaan-kegiatan yang diagendakan oleh aparat kampung atau oleh masyarakat untuk program peningkatan kualitas lingkungan jumlahnya tidak banyak, padahal masyarakat kampung sering hanya bisa bergerak melakukan sesuatu untuk kepentingan bersama jika ada yang memotivasinya atau menggerakkannya.
125
Hasil Pengujian Hipotesis Faktor-faktor yang mempengaruhi modal sosial masyarakat Hipotesis pertama yang diajukan dalam penelitian ini adalah: modal sosial dipengaruhi secara signifikan oleh karakteristik individu dan karakteristik fisik lingkungan permukiman. Pengujian hipotesis dilakukan melalui uji korelasi dan uji regresi ganda untuk melihat faktor-faktor yang berpengaruh dan bersarnya pengaruh terhadap modal sosial masyarakat. Tabel berikut memperlihatkan faktor-faktor yang memiliki hubungan sinifikan antara variabel karakteristik individu dan karakteristik fisik lingkungan dengan variabel modal sosial masyarakat. Tabel 30 Nilai Korelasi antara karakteristik individu, karakteristik lingkungan dan modal sosial dengan persepsi dan motivasi meningkatkan kualitas lingkungan Modal Sosial Masyarakat Karakteristik individu dan Saling percaya dan Nilai & norma Karakteristik fisik lingkungan permukiman relasi mutual sosial Pendidikan Pekerjaan Pendapatan Jumlah keluarga Ketersediaan sarana prasarana lingkungan Kondisi sarana prasarana lingkungan Keterangan:
* = signifikan pada α 5%
0.386** 0.336** 0.449** -0.142 0.406** 0.163**
0.420** 0.293** 0.450** -0.151* 0.235** 0.388**
** = signifikan pada α 1%
Faktor-faktor yang memiliki hubungan positif dan signifikan dari variabel karakteristik individu dan karakteristik fisik permukiman dengan modal sosial adalah (1) pendidikan, (2) pekerjaan, (3) pendapatan, (4) ketersediaan sarana prasarana lingkungan dan (5) kondisi sarana prasarana lingkungan. Sedangkan jumlah keluarga berhubungan signifikan namun arahnya negatif. Pendidikan, pekerjaan dan pendapatan memiliki hubungan yang positif dengan modal sosial masyarakat, baik dalam hubungannya dengan faktor saling percaya dan relasi mutual maupun dengan nilai dan norma sosial, ini artinya semakin tinggi pendidikan, semakin baik pekerjaan dan semakin meningkatnya pendapatan maka semakin baik modal sosial masyarakat. Jumlah keluarga berhubungan negatif dengan nilai dan norma sosial. Ini artinya semakin tinggi jumlah keluarga semakin rendah ketaatan pada nilai dan norma sosial. Hubungan negatif antara kedua faktor ini pada permukiman kampung kota dapat diamati bahwa pada rumah-rumah yang tinggi jumlah anggota keluarganya maka perlakuan terhadap sarana lingkungan rendah,
126
contohnya invasi lahan gang sering dilakukan karena ruang yang sempit dalam rumah tidak mampu menampung aktivitas sehari-hari seluruh anggota keluarga. Ketersediaan sarana prasarana lingkungan dan kondisi sarana prasarana lingkungan berhubungan positif dengan modal sosial masyarakat. Artinya semakin baik ketersediaan dan kondisi sarana prasarana lingkungan permukiman maka modal sosial masyarakat semkin tinggi. Arah dan besarnya pengaruh antara variabel karakteristik individu dan karakteristik fisik lingkungan permukiman terhadap modal sosial masyarakat dapat dilihat pada gambar berikut: 0,157
Pendidikan 0,186
Pekerjaan
0,137
0,249
Pendapatan 0,171
Kondisi sarana parasana lingkungan
Saling percaya dan relasi mutual
0,284
Nilai dan norma sosial 0,151
Ketersediaan sarana prasarana lingkungan
Gambar 36
0,242 Keterangan: Angka = Koef. jalur nyata pada α 0.05
Hasil analisis jalur faktor-faktor yang mempengaruhi modal sosial masyarakat
Dari model di atas, terlihat bahwa variabel yang mempengaruhi modal sosial masyarakat adalah (1) pendidikan, (2) pekerjaan, (3) pendapatan, (4) ketersediaan sarana prasarana lingkungan dan (5) kondisi sarana prasarana lingkungan. Permukiman kampung kota yang secara fisik memiliki pola perkembangan yang unplanned (tidak terencana) membuat ruang-ruang yang terbentuk pada permukiman menjadi tidak teratur. Salah satunya adalah bentukan-bentukan ruang yang khas permukiman kampung kota yang menjadi sarana jalan lingkungan yang berbentuk gang yang menjadi sarana sirkulasi untuk menuju ke permukiman. Gang di permukiman kampung kota menjadi wadah bagi terjalinnya hubungan yang erat antara warga dan tetangga, karena gang di permukiman kampung kota tidak hanya menjadi ruang jalan yang berfungsi sebagai sarana sirkulasi untuk
127
menghubungkan satu tempat ke tempat lain. Gang seringkali adalah sarana berbagai aktivitas warga dalam menjalankan kehidupan sehari-hari. Mudah ditemui anak-anak bermain sepeda, main gundu, main bola, atau sekedar mengerumuni penjual arumanis. Ibu-ibu mengobrol sambil mengerjakan tugas harian atau mencuci baju di sumur umum di pinggir gang karena rumah-rumah mereka tidak dilengkapi dengan sarana MCK. Bapak-bapak dan pemuda bermain kartu atau catur. Gerombolan remaja yang bernyanyi dan bermain gitar untuk memuaskan keingingan berinteraksi dengan teman sebaya. Kesemua aktivitas tersebut dilakukan di ruang jalan yang bernama”gang”. (Handayani, 2005). Kondisi fisik kampung dengan bentukan ruang gang yang menjadi penghubung antara rumah ini ternyata mempererat hubungan warga komunitas meskipun kondisi gang tersebut banyak yang kualitasnya sudah menurun. Gang di permukiman kampung kota memiliki lebar antara 80cm hingga 3m. Menurut Edward Hall (1963) seperti dikutip Laurens (2004) jarak tersebut merupakan jarak yang ideal untuk terjadinya komunikasi sosial. Pada jarak ini komunikasi dapat terjadi dengan baik karena jika seseorang berbicara, dia tidak perlu berteriak dan gerak anggota badan yang disengaja untuk membantu maksud dalam berkomunikasi masih dapat dilihat dengan jelas oleh lawan bicara. Warga kampung sering mengobrol dengan tetangga tanpa harus meninggalkan rumah masing-masing. Cukup duduk di teras dan tanpa meninggalkan tugas rumah tangga mengobrol pun dapat berlangsung. Gang di permukiman kampung kota merupakan ruang terbuka linier yang secara sosial dapat berfungsi sebagai penghubung masyarakat dari satu permukiman ke permukiman lainnya. Dalam proses tersebut terjadi interaksi sosial yang lambat laun membentuk suatu ikatan sosial di antara warga komunitas. Jalan lingkungan di permukiman kampung-kota memiliki makna sosial kultural yang tinggi, lebih dari sekedar fungsi fisiknya sebagai jalur sirkulasi yang sering kualitasnya fisiknya sudah menurun seperti jalan yang becek saat hujan datang dan berdebu saat kemarau. Di ruang gang ini masyarakat menyelenggarakan berbagai kegiatan, mulai yang sifatnya privat hingga yang memang merupakan kegiatan publik. Terkadang jalang gang ditutup karena ruang gang digunakan sebagai tempat untuk hajatan pernikahan, sunatan, atau ulang tahun anak warga. Yang tidak pernah tertinggal tentunya adalah penggunaan ruang gang sebagai wadah pesta perayaan kemerdekaan RI setiap tanggal 17 Agustus.
128
Ruang gang juga berfungsi ekonomi, baik bagi warga maupun bagi orang luar yang sengaja datang berkeliling untuk berjualan. Dari pagi hingga petang pedagang keliling datang silih berganti mulai dari penjual jamu, pedagang baso, tukang sayur, pemulung sampah dan banyak pedagang keliling tidak henti-hentinya mengais rejeki dengan berkeliling kampung. Bagi warga yang berdagang atau berjualan di lokasi kampung, baik itu membuka warung/kios di rumahnya atau menggunakan roda/gerobak yang diparkir sekitar kampungnya (tidak menggunakan rumah sebagai tempat usaha) kondisi kampung kota yang ramai memberi keuntungan ekonomis. Kebutuhan warga akan fasiltas belanja sehari-hari dapat dipenuhi oleh warga lain yang membuka usaha dengan berdagang keperluan sehari-hari.
Gambar 37
Ruang gang yang digunakan sebagai tempat untuk bersosialisasi, menjadi ruang yang berperan mempertebal modal sosial di permukiman kampung kota
Dalam kekhasan bermukim masyarakat kampung-kota, fungsi gang tidak terbatas hanya sebagai jalur sirkulasi saja. Di dalam ruang yang hanya berdimensi
129
mulai dari 50cm – 3m tersebut termuat fungsi publik yang beragam, seperti pertukaran ekonomi dengan munculnya warung-warung kecil di pinggiran gang untuk memenuhi kebutuhan warga akan kebutuhan sehari-hari, komunikasi sosial antar warga kampung, tempat bermain anak-anak dan aktivitas sosial lainnya yang karena dilakukan secara intes dan terus menerus sehingga mampu membentuk satu ikatan emosional antar warga dan komunitas. Pola hubungan masyarakat seperti itu meningkatkan modal sosial pada masyarakat kampung kota.
Faktor-faktor yang mempengaruhi persepsi dan motivasi meningkatkan kualitas lingkungan Hipotesis kedua yang diajukan dalam penelitian ini adalah: persepsi dan motivasi meningkatkan kualitas lingkungan dipengaruhi oleh karakteristik individu karakteristik fisik lingkungan permukiman dan modal sosial masyarakat. Pengujian hipotesis dilakukan melalui uji korelasi dan uji regresi ganda untuk melihat faktorfaktor yang berpengaruh dan bersarnya pengaruh terhadap persepsi tentang kualitas lingkungan dan motivasi meningkatkan kualitas lingkungan. Tabel berikut berisi matriks hubungan (korelasi) antara indikator-indikator yang membangun karakteristik individu, karakteristik fisik lingkungan dan modal sosial masyarakat dengan persepsi tentang kualitas lingkungan dan motivasi meningkatkan kualitas lingkungan. Tabel 31 Nilai Korelasi antara karakteristik individu, karakteristik lingkungan dan modal sosial dengan persepsi dan motivasi meningkatkan kualitas lingkungan VARIABEL BEBAS Pendidikan Pekerjaan Pengeluaran Jumlah keluarga Karakteristik fisik lingkungan Kondisi sarana lingkungan Saling percaya (trust) Reprositas Peran tokoh masyarakat dan ormas Keterangan:
* = signifikan pada α 5%
Persepsi tentang kualitas lingkungan 0.343** 0.331** 0.266** 0.008 0.484** 0.161* 0.283** 0.408** 0.407** ** = signifikan pada α 1%
Motivasi meningkatkan kualitas lingkungan 0.345** 0.272** 0.434** -0.241** 0.464** 0.208** 0.340** 0.421** 0.449**
130
Arah dan besarnya pengaruh antara variabel karakteristik individu, karakteristik fisik lingkungan permukiman dan modal sosial terhadap persepsi dan motivasi meningkatkan kualitas lingkungan dapat dilihat pada gambar berikut: Kondisi sarana prasarana lingkungan
0.226
Pekerjaan
0.188
Ketersediaan sarana prasarana lingkungan
0.273
Persepsi tentang kualitas lingkungan
0.224
Pendapatan Jumlah keluarga
0.241
Motivasi meningkatkan kualitas lingkungan
- 0.143
Peran tokoh masyarakat dan ormas
0.156
Keterangan: Angka = Koef. jalur nyata pada α 0.05
Relasi mutual Gambar 38
0.191
Hasil analisis jalur faktor-faktor yang mempengaruhi persepsi dan motivasi meningkatkan kualitas lingkungan permukiman
Dari model di atas terlihat bahwa persepsi tentang kualitas lingkungan dipengaruhi oleh: (1) ketersediaan sarana prasarana lingkungan permukiman, (2) kondisi sarana prasarana lingkungan permukiman dan (3) pekerjaan. Hal ini dapat dijelaskan dengan memahami teori tentang persepsi lingkungan seperti yang dikemukakan oleh Haryadi dan B. Setiawan (1995) yang mengatakan bahwa persepsi tentang kualitas lingkungan adalah interpretasi tentang suatu lingkungan oleh individu didasarkan latar belakang budaya, nalar dan pengalaman individu tersebut. Setiap orang atau kelompok masyarakat akan mempunyai persepsi yang berbeda tentang lingkungan yang baik dan standar minimal kualitas lingkungan. Kualitas lingkungan sendiri didefinisikan secara umum sebagai suatu lingkungan yang memenuhi preferensi imajinasi ideal seseorang atau sekelompok orang. Dengan demikian setiap individu akan mempunyai persepsi lingkungan yang berbeda dikarenakan latar belakang budaya, nalar serta pengalaman yang berbeda
131
pula. Dari sini dapat dipahami bahwa persepsi lingkungan seseorang sangat bersifat subjektif dan juga dinamis, sehingga ketersediaan dan kondisi sarana prasarana lingkungan yang tersedia saat ini di kampungnya akan membentuk pola persepsi tentang kualitas lingkungan yang mungkin saja berbeda dengan standar kualitas lingkungan yang baku dalam hal ini standar kualita rumah dan lingkungan yang sehat dan layak huni. Bagi masyarakat yang tinggal di permukiman kampung kota dengan ketersediaan sarana prasarana lingkungan permukiman yang minim dengan kondisi yang kualitasnya banyak yang sudah menurun, maka persepsinya tentang kualitas lingkungan banyak dipengaruhi oleh keadaan lingkungan sekitar yang dilihatnya sehari-hari. Dengan sudah terbiasanya masyarakat menggunakan fasilitas dengan kondisi yang minim tersebut, lama kelamaan terjadi adaptasi sehingga tidak lagi merasakan kekurangannya yang mengakibatkan persepsinya menjadi lebih rendah atau berbeda dengan kualitas baku sarana prasarana lingkungan permukiman. Hal tersebut dapat menjelaskan mengapa ketersediaan sarana prasarana permukiman dan kondisi sarana prasarana lingkungan permukiman pada masyarakat di permukiman kampung kota mempengaruhi persepsinya tentang kualitas lingkungan. Perbedaan yang terlalu ekstrim antara kualitas rumah dan lingkungan yang dipersepsi oleh masyarakat dengan standar baku rumah dan lingkungan yang sehat dan layak huni tidak bisa dibiarkan begitu saja karena meskipun kualitas lingkungan sangat subjektif, namun terdapat unsur-unsur dasar kualitas lingkungan yang harus dijaga objektivitasnya terutama yang berkaitan dengan penyediaan air bersih, sanitasi lingkungan dan persampahan. Sampai saat ini telah banyak disusun berbagai standar baku mutu lingkungan yang ditujukan untuk menjamin terciptanya kualitas lingkungan yang lebih baik. Apabila standar kualitas lingkungan ini dapat tersosialisasikan pada masyarakat diharapkan persepsinya berubah ke arah yang lebih baik sehingga masyarakat akan tergerak atau termotivasi untuk mewujudkan hunian dan lingkungan yang lebih sehat dan layak huni. Peningkatan kualitas lingkugan kampung tidak saja akan berpengaruh positif pada kualitas lingkungan hidup masyarakat kampung yang bersangkuntan namun juga berpengaruh positif pada kelestarian lingkungan hidup kawasan kota secara umum.
132
Perdebatan mengenai perbedaan persepsi kualitas lingkungan permukiman kumuh di kota antara pihak yang ingin menggusurnya dengan alasan kampung kumuh merusak citra kota, dengan pihak masyarakat yang menempatinya yang merasa permukiman mereka baik-baik saja perlu dijembatani dengan mempertemukan pihakpihak yang berkepentingan dengan permukiman kumuh untuk mempertemukan pandangan subyektif tentang kualitas lingkungan yang dipahami secara berbeda oleh masyarakat penghuni permukiman kumuh, pemerintah dan masyarakat lain yang berkpentingan dan terkait dengan penanganan kawasan kumuh kota. Untuk dapat mempertemukan persepsi yang berbeda tersebut perlu dilakukan upaya-upaya bukan saja perbaikan fisik lingkungan tetapi juga memperbaiki persepsi dan pemahaman masyarakat tentang kualitas rumah dan lingkungan permukiman yang sehat, dengan memberikan pendidikan, penyuluhan atau pendampingan mengenai standar baku mutu lingkungan untuk rumah dan lingkungan permukiman yang layak dihuni serta mengajak mereka untuk berpartisipasi aktif memperbaiki kualitas lingkungannya. Dari model hubungan antar variabel seperti dalam gambar 38 dapat dilihat bahwa motivasi meningkatkan kualitas lingkungan pada masyarakat kampung kota dipengaruhi oleh faktor-faktor: (1) pendapatan, (2) relasi mutual (reprositas) antar warga dan tetangga dan dipengaruhi secara negatif oleh (3) jumlah keluarga. Seperti diketahui penduduk yang menghuni kawasan permukiman kampung kota mayoritas mereka adalah masyarakat dengan pendidikan rendah dengan keterampilan tidak memadai. Akhirnya mereka tidak bisa memasuki sektor ekonomi formal seperti perusahaan-perusahaan negara, swata dan birokrasi pemerintah di kota. Pekerjaan yang tersedia bagi mereka adalah pekerjaan di sektor informal yaitu suatu bidang kegiatan ekonomi yang untuk memasukinya tidak memerlukan pendidikan formal dan keterampilan yang tinggi, juga tidak memerlukan surat-surat izin serta modal yang besar untuk memproduksi barang dan jasa. Pekerjaan sektor informal terbagi dalam 5 sub sektor ekonomi: (1) Perdagangan: menetap dan keliling; (2) Jasa: tukang cukur, pembantu rumah tangga, tukang reparasi dll; (3)Bangunan: buruh, tukang batu, mandor dll, (4) Angkutan: supir, kernet, tukang becak dan (5) Industri pengolahan: industri rumah tangga dan kerajinan rakyat, (Budihardjo 1993). Dengan jenis pekerjaan yang bergerak di sektor informal seperti di atas maka pendapatan yang dihasilkan seringkali tidak mencukupi kebutuhan
133
sehari-hari. Dalam kondisi demikian maka masalah pembiayaan untuk peningkatan kualitas rumah dan lingkungan dijadikan pilihan terakhir yang seringkali terlupakan dengan kesibukan mencari nafkah sehari-hari. Dari hasil penelusuran di lapangan mengenai pendapatan dan pengeluaran untuk kebutuhan sehari-hari, masyarakat permukiman kampung kota mengaku bahwa pendapatan yang didapat dari pekerjaan di sektor informal yang digelutinya, setiap bulannya habis tidak tersisa untuk memenuhi kebutuhan membiayai keluarga. Terkadang biaya yang dikeluarkan menjadi bertambah karena menampung sanak saudara dari kampung halaman sehingga motivasi meningkatkan kualitas rumah dan lingkungan permukiman yang sebetulnya sudah dimiliki akhirnya menjadi terabaikan dan tidak mewujud dalam bentuk hunian dan lingkungan dan layak huni.
Faktor-faktor yang mempengaruhi Tingkat kebutuhan akan rumah dan lingkungan permukiman Hipotesis ketiga yang diajukan dalam penelitian ini adalah: tingkat kebutuhan akan rumah dan lingkungan permukiman dipengaruhi oleh karakteristik individu, karakteristik fisik lingkungan permukiman, modal sosial masyarakat, persepsi dan motivasi meningkatkan kualitas lingkungan Pengujian Hipotesis dilakukan dengan menggunakan analisis korelasi dan regresi. Tabel berikut ini berisi matriks hubungan (korelasi) antara indikator-indikator yang membangun karakteristik individu, karakteristik fisik lingkungan, modal sosial masyarakat, persepsi tentang kualitas lingkungan dan motivasi meningkatkan kualitas lingkungan dengan tingkat kebutuhan akan rumah pada masyarakat kampung kota. Tabel 32 Nilai Korelasi antara karakteristik individu, karakteristik fisik lingkungan, modal sosial, persepsi dan motivasi dengan tingkat kebutuhan akan rumah VARIABEL BEBAS Pendidikan Pekerjaan Pengeluaran Jumlah keluarga Ketersediaan sarana prasarana lingkungan Kondisi sarana prasarana lingkungan Saling percaya (trust) Relasi mutual (reprositas) Peran tokoh masyarakat dan ormas Persepsi tentang kualitas lingkungan Motivasi meningkatkan kualitas lingkungan Keterangan:
* = signifikan pada α 5%
Tingkat kebutuhan akan rumah 0.450** 0.380** 0.365** -0.161* 0.506** 0.200** 0.316** 0.495** 0.441** 0.527** 0.459** ** = signifikan pada α 1%
134
Arah dan besarnya pengaruh antara variabel karakteristik individu, karakteristik fisik lingkungan permukiman, modal sosial, persepsi dan motivasi meningkatkan kualitas lingkungan terhadap kebutuhan akan rumah dan lingkungan permukiman dapat dilihat pada gambar berikut: Pekerjaan
0.170
Ketersediaan sarana prasarana lingkungan
0.227
Kondisi sarana prasarana lingkungan
0.134
Peran tokoh masyarakat dan ormas
Persepsi tentang kualitas lingkungan 0.177
Kebutuhan akan rumah dan lingkungan permukiman 0.119
0.171
Relasi mutual Gambar 38
Keterangan: Angka = Koef. jalur nyata pada α 0.05
Hasil analisis jalur faktor-faktor yang mempengaruhi tingkat kebutuhan akan rumah dan lingkungan
Dari gambar di atas dapat dilihat bahwa variabel yang mempengaruhi kebutuhan akan rumah dan lingkungan permukiman dapat ditelusuri dari faktor-faktor: (1) pekerjaan, (2) ketersediaan sarana dan prasarana lingkungan permukiman, (3) kondisi sarana prasarana lingkungan, (4) relasi mutual, (5) relasi mutual dan (5) persepsi tentang kualitas lingkungan. Pengaruh dari faktor-faktor tersebut dapat dijelaskan sebagai berikut Kebutuhan setiap individu berbeda satu dengan yang lain, akan tetapi paling tidak sebuah rumah akan selalu diusahakan untuk dapat memenuhi kebutuhan dasar manusia yaitu kebutuhan akan perlindungan. Meskipun demikian secara kultural rumah sesungguhnya juga merupakan sebuah tempat dimana kebutuhan-kebutuhan dasar pada hirarki yang lebih tinggi bisa dipenuhi, kalau kebutuhan ini tidak terpenuhi maka penghuni akan merasa tidak krasan (betah). Bagi masyarakat dengan penghasilan rendah, lokasi rumah menjadi pertimbangan utama, yaitu letaknya harus dekat dengan tempat kerja. Inilah yang terjadi dengan pesatnya perkembangan permukiman kampung di pusat-pusat ekonomi. Bagi masyarakat di permukiman kampung kota rumah tidak hanya berfungsi sebagai
135
tempat untuk beristirahat namun juga merupakan modal usaha. Di samping itu permukiman lebih dari sekedar melindungi secara fisik dari pengaruh alam, tetapi juga merepresentasikan dimensi sosial, ekonomi dan nilai-nilai emosional individu dan keluarga. Permukiman kampung kota yang dari tampilan visual fisiknya terkesan kumuh dan tata lingkungannya yang simpang siur tidak teratur namun menyimpan banyak keunikan yang tidak dijumpai pada perumahan yang dibangun oleh developer. Kondisi yang serba terbatas di permukiman kampung kota menumbuhkan perasaan senasib sepenanggunan antar warga sehingga hubungan antar warga menjadi lebih erat. Inilah yang menjadi faktor yang menyebabkan masyarakat di permukiman kampung kota tetap betah tinggal meskipun dengan keterbatasan sarana dan prasarana lingkungan yang dimilikinya. Prof Eko Budihardjo dosen dan arsitek yang banyak mencermati masalah permukiman menyebut kampung kota sebagai permukiman yang mampu menyuguhkan pesona tersendiri, it’s beautiful because it’s ugly. Kondisi fisik rumah yang jauh dari standar kualitas rumah sehat dengan luas lahan rumah yang terbatas (sempit) seringkali menyebabkan rumah hanya berfungsi sebagai tempat berkumpul keluarga pada waktu tidur saja. Ayah atau ibu mengerjakan tugas hariannya di luar rumah sambil mengobrol dengan tetangga, anak-anak bermain di luar, para remaja bertukar cerita dengan sebayanya di ruang-ruang gang di luar rumah mereka. Sikap seperti ini selain disebabkan karena rumah yang sempit tidak memungkinkan untuk bersantai dengan tenang di rumah sehingga jika ingin bersantai keluar dari kesumpekan maka yang dilakukan adalah keluar rumah dan duduk-duduk mengobrol dengan tetangga di teras atau gang. Kondisi ini memberi pengaruh positif terhadap hubungan ketetanggaan antara warga kampung. Seringnya mereka bertemu selama menjalani hari-harinya menumbuhkan saling pengertian dan sifat-sifat altruisme yang jauh dari pamrih, tulus untuk saling menolong antar tetangga yang meningkatkan modal sosial masyarakat. Karakteristik sosial masyarakat kampung seperti itulah yang sesuai dengan kebutuhan masyarakat akan rumah dan lingkungan seperti yang mereka inginkan dan butuhkan. Warga kampung kota banyak yang berasal dari desa atau memiliki hubungan erat dengan desa tempat kampung halaman leluhurnya sehingga mereka mencari suasana permukiman yang mirip seperti yang mereka miliki pada saat masih tinggal di desa dengan karakateristik masyarakat penuh rasa kekeluargaan di antara
136
para warganya. Karakteristik fisik lingkungan ini akhirnya menjadi saling terkait dengan karakteristik modal sosial masyarakat penghuninya termasuk juga kebiasaan untuk menampung keluarga dari kampung yang menyebabkan kepadatan penduduk di permukiman kampung kota cenderung terus meningkat. Kebutuhan akan rumah dan lingkungan pada masyarakat di permukiman kampung kota bukan saja untuk memenuhi kebutuhan fisiknya saja tetapi juga untuk kebutuhan emosional dan kultural. Berkaitan dengan kebutuhan emosional ini dalam disiplin ilmu arsitektur dan perilaku dikenal konsep teritori yang berkaitan dengan isuisu mengenai ruang privat (personal space) dan ruang publik (public space) serta konsep mengenai privacy. Konsep teritori menekankan pentingnya dimensi kultur, maka wujud dan cakupan teritori untuk berbagai kelompok individu dengan kultur yang berbeda akan berbeda pula (Haryadi dan B. Setiawan, 1995). Misalnya konsep teritori primer yang terdapat pada kultur masyarakat Barat yaitu suatu area yang dimiliki, digunakan secara eksklusif, disadari oleh orang lain, dikendalikan secara permanen serta menjadi bagian utama dalam kehidupan sehari-hari penghuninya, contohnya rumah. Memasuki area rumah tanpa permisi merupakan suatu masalah yang sangat serius pada kultur Barat namun karena perbedaan dan kekhasan kultur masyarakat Timur yang unsur-unsur komunalnya lebih kental khususnya pada permukiman kampung kota maka memasuki rumah tetangga bukanlah suatu kesalahan yang tak termaafkan. Seringkali pintu-pintu rumah pada permukiman kampung kota terbuka sehingga tetangga dapat masuk tanpa diundang. Hubungan ketetanggaan yang intensif pada masyarakat di permukiman kampung kota akibat seringnya menggunakan ruang kampung secara bersama-sama karena keterbatasan kondisi fisik rumah menyebabkan situasi kesesakan (crowding) tidak dirasakan oleh penduduknya, malah menjadi perekat bagi kohesifitas masyarakat kampung kota. Akhirnya dapat dipahami bahwa hubungan ketetanggaan yang didasarkan pada nilai kebersamaan merupakan faktor yang menyebabkan warga masyarakat merasa kerasan dan tetap bertahan hidup di permukiman kampung kota Kontak sosial dengan tetangga merupakan kenikmatan dan kebutuhan bagi warga masyarakat di permukiman kampung kota. Gambar-gambar berikut memperlihatkan keeratan relasi mutual antar warga di permukiman kampung kota.
137
Gambar 40
Keeratan relasi mutual terjalin akibat kondisi fisik lingkunga permukiman yang serba terbatas, mereka saling bantu jika ada warga yang membutuhkan
Mereka terbiasa untuk pergi mandi/mencuci bersama, mengasuh anak pun juga bersama-sama, mengobrol sambil mengawasi anaknya bermain, belanja di tukang sayur keliling pada waktu yang sama sambil bertukar cerita tentang menu masakan yang bisa dimasak hari ini. Mereka saling membantu, saling menitip anak, membantu apabila ada tetangga yang mengalami kesulitan tanpa harus diminta terlebih dahulu. Karakteristik modal sosial masyarakat yang positif ini sebetulnya adalah potensi yang dapat dikembangkan ke dalam program-program partisipasi masyarakat untuk meningkatkan kualitas lingkungan permukiman. Program perbaikan kampung yang ditujukan pada proyek perbaikan fisik dapat mengikutsertakan masyarakat untuk berpartisipasi dalam hal penyediaan tenaga kerja, dana dan material bangunan. Faktor-faktor yang mempengaruhi partisipasi meningkatkan kualitas lingkungan
Hipotesis ketiga yang diajukan dalam penelitian ini adalah: tingkat kebutuhan akan rumah dan lingkungan permukiman dipengaruhi secara nyata oleh karakteristik individu, karakteristik fisik lingkungan permukiman, modal sosial masyarakat, persepsi dan motivasi meningkatkan kualitas lingkungan Pengujian Hipotesis dilakukan dengan menggunakan analisis korelasi, analisis regresi dan analisis jalur. Tabel berikut ini berisi matriks hubungan (korelasi) antara variabel karakteristik individu, karakteristik fisik lingkungan, modal sosial masyarakat, persepsi tentang kualitas lingkungan dan motivasi meningkatkan kualitas lingkungan dengan partisipasi masyarakat untuk meningkatkan kualitas lingkungan.
138
Tabel 33 Nilai korelasi antara karkateristik individu, karakteristik fisik lingkungan, modal sosial, persepsi dan motivasi meningkatkan kualitas lingkungan dengan partisipasi masyarakat untuk meningkatkan kualitas lingkungan Sikap proaktif tingkatkan kualits lingk 0.370** 0.188** 0.336** 0.144** 0.208** 0.173** 0.240** 0.231** 0.232** 0.267** 0.272** 0.263** 0.282**
VARIABEL BEBAS Pendidikan Pekerjaan Pendapatan Ketersediaan sarana dan prasarana lingkungan Kondisi sarana prasarana lingkungan Tingkat saling percaya (trust) Relasi mutual (reprositas ) Peran tokoh masyarakat dan ormas Persepsi tentang kualitas lingk Motivasi tingkatkan kualitas lingk Tingkat kebutuhan akan rumah Kondisi fisik rumah Ketersediaan ruang Ket: * = signifikan pada α 5%
Partisipasi meningkatkan kualitas lingk 0.276** 0.160* 0.250** 0.312** 0.136* 0.197** 0.119 0.233** 0.351** 0.317** 0.326** 0.317** 0.311**
Frekuensi partisipasi 0.246** 0.186** 0.277** 0.320** 0.155* 0.280** 0.196** 0.244** 0.301** 0.353** 0.299** 0.274** 0.254**
** = signifikan pada α 1%
Arah dan besarnya pengaruh antara variabel karakteristik individu, karakteristik fisik lingkungan permukiman, modal sosial, persepsi dan motivasi meningkatkan kualitas lingkungan terhadap kebutuhan akan rumah dan lingkungan permukiman dapat dilihat pada gambar berikut:
0.267
Pendidikan
0.206
Pendapatan
Sikap proaktif meningkatkan kualitas lingkungan
0.212
Kondisi sarana prasarana lingkungan permukiman Ketersediaan sarana prasarna lingkungan permukiman
0.157
0.141 0.151
0.242
Persepsi tentang kualitas lingkungan Motivasi meningkatkan kualitas lingkungan
Peran tokoh masyarakat dan organisasi masyarakat
Gambar 41
Partisipasi meningkatkan kualitas lingkungan
0.162
Frekuensi Partisipasi meningkatkan kualitas lingkungan
0.167 Keterangan: Angka = Koef. jalur nyata pada α 0.05
Hasil analisis jalur faktor-faktor yang berpengaruh langsung terhadap partisipasi masyarakat untuk meningkatkan kualitas lingkungan permukiman
139
Dari hubungan model pada gambar 41 di atas dapat dilihat bahwa sikap proaktif masyarakat untuk meningkatkan kualitas lingkungan dipengaruhi secara langsung oleh (1) pendidikan, (2) pendapatan dan (3) kondisi sarana prasarana lingkungan yang tersedia. Partisipasi masyarakat meningkatkan kualitas lingkungan permukiman dipengaruhi secara langsung oleh (1) pendapatan, (2) ketersediaan sarana prasarana lingkungan permukiman dan (3) persepsi tentang kualitas lingkungan. Partisipasi masyarakat dipengaruhi secara tidak langsung melalui persepsi tentang kualitas lingkungan oleh: (1) ketersediaan sarana dan prasarana lingkungan, (2) kondisi sarana dan prasarana lingkungan dan (3) pekerjaan. Frekuensi partisipasi dipengaruhi secara langsung oleh: (1) ketersediaan sarana prasarana lingkungan permukiman, (2) peran tokoh masyarakat dan ormas, (3) motivasi meningkatkan kualitas lingkungan dan (4) jumlah anggota keluarga. Frekuensi
partisipasi
dipengaruhi
secara
tidak
langsung
melalui
motivasi
meningkatkan kualitas lingkungan oleh: (1) ketersediaan sarana dan prasarana lingkungan permukiman, (2) pendapatan, (3)
jumlah keluarga, (4) peran tokoh
masyarakat dan ormas serta (5) relasi mutual antar warga Pengaruh langsung dan tidak langsung pada sikap proaktif masyarakat untuk meningkatkan kualitas lingkunga permukiman,
partispasi meningkatkan kualitas
lingkungan dan frekuensi partisipasi meningkatkan kualitas lingkungan ini akan dijadikan sebagai bahan pijakan menentukan strategi gerakan masyarakat untuk meningkatkan kualitas lingkungan yang sesuai dengan modal sosial masyarakat di permukiman kampung kota
Strategi Pemberdayaan Masyarakat Untuk Meningkatkan Kualitas Lingkungan Permukiman Dari hasil penelitian yang telah dilakukan ditemukan bahwa permasalahan penurunan kualitas lingkungan kampung kota menyangkut: (1) aspek fisik lingkungan; (2) aspek modal sosial warga kampung kota, (3) aspek individual dan (4) aspek finansial. Aspek individual menyangkut: (1) rendahnya pendidikan (2) persepsi tentang kualitas rumah dan lingkungan yang berada di bawah standar kualitas rumah dan lingkungan yang sehat dan layak huni
140
Aspek
fisik
lingkungan
(environmental)
menyangkut:
(1)
minimnya
ketersediaan sarana dan prasarana lingkungan permukiman, (2) rendahnya kualitas kondisi sarana prasarana yang tersedia saat ini. Aspek modal sosial menyangkut (1) rendahnya ketaatan terhadap norma dan nilai sosial (perlakuan yang buruk terhadap lingkungan) Aspek finansial menyangkut rendahnya pendapatan masyarakat akibat keterbatasan pengetahuan dan kemampuan sehingga hanya dapat mengakses pekerjaan di sektor informal. Aspek-aspek tersebut seperti lingkaran setan yang saling menyambung dan saling mempengaruhi. Aspek yang satu memunculkan aspek yang lainnya. perilaku buruk terhadap lingkungan
rendahnya kualitas sarana prasarana lingkungan kampung kota
Motivasi meningkatkan kualitas lingkungan permukiman persepsi yang salah tentang kualitas lingkungan
Partisipasi meningkatkan kualitas lingkungan permukiman
rendahnya pendidikan masyarakat Gambar 42
rendahnya pendapatan masyarakat
Lingkaran ketidakberdayaan vs kekumuhan lingkungan kampung kota
Untuk memutus rantai ketidakberdayaan dan kekumuhan lingkungan perlu dilakukan intervensi dengan memberikan daya-daya (pemberdayaan) pada masyarakat yang menyangkut aspek-aspek: individual, sosial, finansial dan environmental (lingkungan). Pemberdayaan masyarakat perlu dilakukan secara simultan terhadap aspek-aspek tersebut. Meninggalkan salah satu aspek hanya akan menimbulkan permasalahan aspek lainnya. Untuk hal tersebut diperlukan inovasi sosial dalam bentuk kegiatan yang sudah dikenal oleh warga masyarakat yaitu penyuluhan permukiman dengan asas tridaya. Pemberdayaan warga untuk solusi individual dan sosial, Pemberdayaan lingkungan fisik (fisical environment) untuk solusi arsitektural dan pemberdayaan usaha untuk solusi finansial.
141
INPUT
PROSES
OUTPUT
Penyuluhan Permukiman dengan asas tridaya untuk menciptakan masyarakat aktif Pemberdayaan finansial
Karakteristik fisik lingkungan permukiman kampung kota
Karakteristik individu warga masyarakat kampung kota
Modal sosial masyarakat kampung kota
Pemberdayaan environmetal dan arsitektural
Meningkatkan: - Pendidikan/ pengetahuan - Sikap proaktif - Persepsi - Motivasi
Meningkatkan kualitas: - Rumah hunian - Ketersediaan sarana prasarana - Kondisi sarana prasarana lingkungan
Memperbaiki persepsi Meningkatkan sikap proaktif Meningkatkan motivasi
MONITORING DAN EVALUASI
Gambar 43
- Meningkatnya kemampuan memenuhi kebutuhan akan rumah - Meningkatnya kualitas fisik rumah
- Sikap proaktif meningkatkan kualitas lingkungan kampung kota - Keikutsertaan dalam kegiatan meningkatkan kualitas lingkungan kampung kota - Frekuensi keikutsertaan meningkatkan kualitas lingkungan kampung kota
inovasi sosial
Potensi kampung kota
Meningkatkan - Pendapatan - Pekerjaan/ peluang usaha
Pemberdayaan individual dan sosial
Meningkatnya partisipasi masyarakat
Lingkungan permukiman kampung kota sehat dan layak huni • Rumah sehat dan layak huni • Lingkungan kampung kota sehat dan layak huni • Sarana prasarana permukiman layak pakai • Masyarakat aktif yang berdaya dan sadar lingkungan
OUTCOME
Strategi pemberdayaan masyarakat untuk meningkatkan kualitas rumah dan lingkungan permukiman kampung kota
142
Gambar 43 memperlihatkan strategi pemberdayaan masyarakat untuk meningkatkan kualitas lingkungan permukiman kampung kota yang didasarkan pada temuan hasil penelitian. Masalah permukiman adalah masalah yang multidisiplin, bukan hanya menyangkut aspek lingkungan fisik kampung dan sarana prasarananya saja, namun juga masalah perilaku manusia penggunanya. Penyuluhan tidak bisa hanya menekankan pada perubahan aspek fisik lingkungan tetapi harus simultan dengan memberdayakan manusia pengguna/penghuni permukiman tersebut sehingga pola penyuluhan permukiman harus dilakukan dengan memperhatikan 3 aspek yaitu: (1) aspek individual dan sosial warga kampung kota, (2) aspek lingkungan dan arsitektural dan (3) aspek kemampuan finansial masyarakat. Untuk
mengakomodasi
ketiga
aspek
tersebut
digunakan
penyuluhan
permukiman dengan asas tridaya (1) pemberdayaan warga dan masyarakat, (2) pemberdayaan usaha masyarakat, dan (3) pemberdayaan lingkungan dengan tujuan untuk dapat mengembangkan: (1) daya manusia untuk pengembangan sumber daya manusia, (2) daya usaha untuk pengembangan usaha kecil dan menengah, dan (3) daya lingkungan untuk peningkatan kondisi fisik lingkungan. Ketiga bidang pemberdayaan masyarakat inilah yang diharapkan akan dapat mewujudkan masyarakat aktif yang dinamis sehingga masyarakat dapat meningkatkan kualitas lingkungannya. Penyuluhan
permukiman
dengan
asas
tridaya
tersebut
juga
untuk
mengakomodasi hak-hak masyarakat seperti yang tercantum dalam UU. Perumahan dan Permukiman di dalam Pasal 5, UU No. 4 Tahun 1992 yang menyatakan bahwa setiap warga negara mempunyai kewajiban dan tanggungjawab untuk berperan serta di dalam pembangunan perumahan dan permukiman; dan pada pasal 29 yang menyatakan bahwa setiap warga negara mempunyai hak dan kesempatan yang sama dan seluas-luasnya untuk berperan serta dalam pembangunan perumahan. Pemberdayaan
masyarakat
untuk
meningkatkan
kualitas
lingkungan
permukiman ini sesuai dengan konsep pelaksanaan pembangunan yang bertumpu pada masyarakat (community based development) sehingga dalam pelaksanaannya masyarakat akan memiliki peran yang penting dan menjadi pelaku utama pembangunan kampungnya. Untuk itu masyarakat harus diupayakan agar menjadi masyarakat aktif. Untuk mewujudkan masyarakat aktif dilakukan inovasi sosial berbentuk kegiatan penyuluhan permukiman dengan asas tribina tujuannya adalah:
143
a. Pemberdayaan masyarakat untuk menumbuhkan inisiatif, kreatifitas dan jiwa kemandirian dalam pelaksanaan program-program peningkatan kualitas rumah dan lingkungan kampung kota. b. Meningkatkan kualitas rumah warga dan lingkungan permukiman kampung kota melalui upaya penanganan terpadu baik dari aspek fisik, sarana dan prasarana, maupun kondisi sosial ekonomi masyarakatnya. c. Mengembangkan peluang usaha untuk menciptakan kesempatan kerja bagi warga kampung kota sebagi sumber pendapatan yang menunjang perekonomian warga. Untuk aspek pemberdayaan warga yang menyentuh aspek perilaku manusia dengan tujuan merubah perilaku individu dan warga masyarakat agar mendukung upaya peningkatan kualitas lingkungan dilakukan dengan inovasi sosial untuk meningkatkan kualitas sumberdaya manusia warga kampung, dalam bidang: (1) pengetahuan dan persepsi, (2) sikap proaktif dan (3) motivasi. Ketiga hal tersebut perlu secara khusus digarap agar sumberdaya manusia kampung kota lebih siap dan mampu melakukan gerakan masyarakat secara swadaya atau bersama-sama dengan pihak-pihak terkait untuk meningkatkan kualitas lingkungan permukiman kampung kotanya termasuk di dalamnya adalah peningkatan kualitas rumah hunian dan saranaprasarana lingkungan permukiman. Dalam strategi gerakan masyarakat untuk meningkatkan kualitas lingkungan seperti terlihat dalam gambar 43, aspek pemberdayaan warga ini berada pada lingkaran yang terdiri dari lingkaran untuk: (1) memperbaiki persepsi dengan pemberian pengetahuan pada masyarakat mengenai perilaku hidup sehat, kualitas rumah sehat dan lingkungan permukiman sehat dan layak huni, (2) meningkatkan sikap proaktif masyarakat untuk turut serta meningkatkan kualitas lingkungan dalam kehidupan sehari-hari dan (3) upaya memotivasi masyarakat untuk meningkatkan kualitas lingkungan permukiman termasuk didalamnya peningkatan kualitas rumah dan sarana-prasarana di dalamnya. Ketiga hal tersebut perlu digarap secara khusus dan serius agar sumberdaya manusia/ warga permukiman kampung kota menjadi siap dan mampu melakukan gerakan masyarakat secara swadaya atau bersama-sama dengan pihak-pihak terkait untuk meningkatkan kualitas lingkunga permukiman kampungnya.
144
Tabel 34 Aspek-aspek yang perlu diperhatikan untuk penyuluhan permukiman dalam rangka menciptakan masyarakat aktif untuk gerakan meningkatkan kualitas lingkugan Pembinaan Bina manusia/ bina warga sebagai solusi sosial • Perubahan perilaku individu • Peningkatan kapasitas masyarakat
Bina hunian dan lingkungan sebagai solusi arsitektural
Aspek Kognitif: Meningkatkan pengetahuaan masyarakat untuk memperbaiki persepsi tentang kualitas rumah dan lingkungan permukiman Afektif: Mengembangkan motivasi masyarakat untuk meningkatkan kualitas rumah dan lingkungan Psikomotor: Meningkatkan kemampuan masyarakat untuk mengelola rumah dan lingkungan kampung untuk menciptakan lingkungan yang sehat dan serasi Meningkatkan kualitas rumah
Mengembangkan dan meningkatkan kualitas sarana dan prasarana lingkungan permukiman
Meningkatkan daya dukung lingkungan hidup
Bina usaha sebagai solusi finansial
Meningkatan pendapatan masyarakat dengan mengembangkan usahausaha perekonomian, seperti industri kecil atau home industri
Tujuan Motivasi yang melatarbelakangi tumbuhnya kebutuhan terhadap rumah dan lingkungan permukiman yang sehat dan layak huni bersifat pribadi dengan sendirinya perubahan-perubahan yang terjadi terletak di tingkat individu dan rumah tangga yang merupakan dasar bagi perubahan di tingkat komunitas dan masyarakat. • penyadaran masyarakat melalui penyuluhan permukiman dan kesehatan lingkungan • pelatihan partisipatif yang melibatkan keluarga dan masyarakat untuk hidup sehat dan menciptakan rumah dan lingkungan kampung yang sehat dan layak huni
Masyarakat dapat membentuk kelompok untuk memugar/memperbaiki bagian rumahnya yang belum memenuhi syarat kesehatan dan teknis konstruksi yang benar. Melalui kegiatan ini diharapkan rumah akan menjadi layak huni sehingga dapat meningkatkan kualitas hidup penduduk miskin Memperbaiki prasarana permukiman • jalan lingkungan (gang) • saluran air hujan (drainase) • saluran air kotor dan limbah air buangan rumah tangga • sistem persampahan • saluran air bersih Memperbaiki sarana permukiman • fasilitas peribadatan • fasilitas belanja kebutuhan sehari-hari • fasilitas olah raga dan bermain • fasilitas sosial • fasilitas kesehatan • fasilitas pendidikan Memperbaiki kualitas lingkungan hidup • penghijauan, gerakan penanaman pohon, menghijaukan kampung • program kali bersih, pemeliharaan sungai, penataan bantaran sungai, penghijauan bantaran sungai • pengelolaan sistem penanganan sampah berbasis masyarakat: daur ulang sampah, produksi kompos dari sampah organik Meningkatkan pendapatan dan peluang usaha masyarakat • mengembangkan usaha perekonomian seperti industri kecil yang bisa dikerjakan di rumah • Mencari peluang dan mengembangkan usaha daur ulang sampah, kerajinan/cinderamata dari bahanbahan yang sudah tidak terpakai • Usaha perekonomian yang berkaitan dengan bahan bangunan dan penyediaan material untuk bangunan
145
Pola Penelenggaraan Penyuluhan Permukiman dengan asas Tridaya 1. Pemberdayaan warga untuk solusi individual dan sosial a. Pemberdayaan untuk merubah perilaku individu warga dengan inovasi sosial Bina manusia/warga untuk solusi individual dan sosial dilakukan dengan inovasi sosial melalui kegiatan pendidikan dan penyuluhan yang bertujuan untuk mengubah perilaku masyarakat (melalui perubahan perilaku individu-individu anggota masyarakat). Aspek yang diharapkan berubah meliputi: (1) perilaku pengetahuan (knowing behavior), (2) perilaku sikap (feeling behavior) dan (3) perilaku keterampilan (doing behavior). Unsur perilaku ini merujuk pada: (1) apa yang telah diketahui/dipahami (knowledge), (2) apa yang dapat mereka lalukan (skills), (3) apa yang mereka rasakan/ pikirkan (attitudes) dan (4) apa yang mereka kerjakan (action). Sehubungan dengan hasil penelitian ini, maka pendidikan masyarakat dilakukan untuk: (1) meningkatkan pengetahuan tentang hidup sehat di dalam rumah dan lingkungan permukiman yang sehat dan layak huni; (2) memperbaiki persepsi yang salah tentang standar kualitas rumah sehat dan lingkungan permukiman yang layak huni; (4) meningkatkan motivasi untuk memperbaiki rumah dan lingkungan permukiman kampung kotan dan (3) meningkatkan sikap proaktif untuk ikut serta meningkatkan kualitas rumah dan lingkungan permukiman kampung kota. Pendidikan masyarakat yang dilakukan melalui pernyuluhan permukiman, disampaikan kepada seluruh warga komunitas kampung kota: anak-anak, remaja, pemuda, ibu-ibu dan bapak-bapak, bahkan orang tua. Dengan cara ini diharapkan terjadi perubahan perilaku masyarakat dari kondisi “tidak tahu” karena persepsi yang salah, “tidak mau” dan tidak termotivasi karena tidak merasa membutuhkan dan “tidak mampu” karena tidak memiliki pengetahuan, keterampilan dan finansial untuk meningkatkan kualitas rumah dan lingkungan kampungnya. b. Pemberdayaan warga melalui kegiatan kemasyarakatan Kegiatan kemasyarakatan meliputi pembentukan organisasi atau kelompokkelompok kerja di kalangan masyarakat kampung kota. Dengan adanya kegiatan kemasyarakatan ini diharapkan dapat mengakomodasi segala kepentingan, hak dan kewajiban masyarakat, membangun rasa persaudaraan dan persatuan masyarakat kampung kota melalui pertemuan, kerja bakti dan kegiatan lain secara terorganisir.
146
Mengacu pada hasil penelitian ini yang menemukan bahwa faktor-faktor didalam potensi masyarakat yaitu persepsi tentang kualitas lingkungan dan motivasi meningkatkan kualitas lingkungan berpengaruh secara langsung terhadap partisipasi meningkatkan kualitas lingkungan maka perlu dilakukan inventarisasi semua potensi sumberdaya yang dimiliki masyarakat. Penelitian juga menunjukkan bahwa peran tokoh masyarakat berpengaruh langsung terhadap partisipasi meningkatkan kualitas lingkungan sehingga Pengurus RT, RW dan para tokoh masyarakat perlu diikutsertakan dalam kegiatan meningkatkan kualitas lingkungan ini agar mereka memahami dan menghayati potensi warga masyarakatnya sehingga dapat dibuat kegiatan-kegiatan yang memungkinkan warga permukiman kampung kota memiliki akses untuk berpartisipasi sehingga dapat memperbaiki persepsi tentang kualitas lingkungan yang baik dan menumbuhkan motivasi meningkatkan kualitas lingkungan sehingga akhirnya mereka dapat berpartisipasi meningkatkan kualitas lingkungan. Untuk dapat mengakomodasi potensi yang dimiliki masyarakat dan mengorganisasikan kegiatan-kegiatan perbaikan kampung perlu dibentuk suatu organisasi atau institusi yang mampu menjembatani aspirasi masyarakat dan kebijakan-kebijakan pemerintah kota sehingga jika ada subsidi atau bantuan dari pihak pemerintah atau pihak luar lainnya dapat dikelola dengan lebih berdaya guna. Organisasi ini dapat berupa koperasi atau lembaga lain yang dibentuk bersama oleh masyarakat kampung yang keberadaannya dapat dijadikan sebagai sumber pinjaman dana bagi perbaikan rumah dan fasilitas mandi, cuci, dan kakus (MCK), dan perbaikan sarana-prasarana permukiman lainnya. Bantuan pihak luar untuk meningkatkan kualitas kampung hendaknya disalurkan lawat koperasi ini sehingga pengembaliannya dapat lebih terjamin (pengembalian ini perlu selain untuk mencegah mental pengemis, juga aga dana tersebut dapat digunakan oleh warga kampung lainnya).
Dengan
cara
ini
marginalisasi
warga
kampung
sebagai
akibat
ketidakmampuan memperbaiki rumah dan kampungnya sendiri dapat dicegah. Manajemen koperasi harus terletak pada warga masyarakat sendiri. Artinya koperasi itu dikelola sesuai dengan asas koperasi yaitu dari, oleh dan untuk anggota koperasi tersebut yang dalam hal ini adalah anggota masyarakat kampung kota. Para pengurus
147
dan pengawas dipilih dari dan oleh para anggota dan bertanggung jawab kepada rapat umum anggota yang diadakan secara periodik atau manakala diperlukan. Kegiatan-kegiatan peningkatan kualitas lingkungan permukiman kampung kota, baik itu dalam hal perencanaan dan penganggaran dana maupun pelaksanaan dan pengawasannya diserahkan kepada masyarakat kampung setempat sesuai dengan karakteristik dan potensi sumber daya manusia dan materil masyarakat tersebut. Konsep ini dilandasi oleh asumsi-asumsi berikut: (1) warga kampung tersebut lebih mengetahui permasalahan yang mereka hadapi dan kepentingan yang mereka punyai daripada pihak lain. (2) setiap masyarakat lokal memiliki karakteristik lingkungan sosio-ekonomi, budaya dan fisik yang berbeda dengan masyarakat lokal lainnya. (3) akan lebih efisien dalam hal waktu dan biaya untuk membuat dan melaksanakan kegiatan pembangunan. (4) rasa memiliki atas apa yang dibangun akan lebih tercipta sehingga pemeliharaan lebih terjamin. Berkenaan dengan partisipasi masyarakat yang dapat diberikan dalam kegiatan peningkatan kualitas lingkungan maka seluruh warga dilibatkan dalam kegiatankegiatan yang disepakati untuk dilaksanakan. Partisipasi seluruh warga masyarakat kampung kota ini menjadi perlu dengan asumsi bahwa setiap orang lebih mengenal dunianya sendiri daripada orang lain, dan setiap orang berhak ikut serta menentukan hal-hal yang akan mempengaruhi hidupnya dalam masyarakat. Ini berarti warga masyarakat sendirilah yang harus merumuskan program-program perbaikan kampung yang mereka pandang baik untuk masyarakat mereka. Hal ini juga berarti bahwa warga masyarakat akan merupakan subyek pembangunan. Kegiatan-kegiatan yang dapat dikategorikan sebagai berpartisipasi adalah: (1) ikut serta mengajukan usul-usul mengenai perbaikan kampung, (2) ikut serta bermusyawarah dalam mengambil keputusan tentang alternatif program manakah yang dianggap paling baik untuk memperbaiki kampungnya, (3) ikut serta melaksanakan apa yang telah diputuskan termasuk di sini memberi iuran atau sumbangan materi dan (4) ikut serta mengawasi pelaksanaan keputusan tersebut, termasuk di dalamnya mengajukan saran dan kritik untuk meluruskan pelaksanaan yang tidak sesuai dengan apa yang telah diputuskan bersama. Ikut sertanya masyarakat dalam penentuan dan pelaksanaan keputusan mengenai perbaikan kampung, dapatlah diharapkan warga masyarakat tersebut akan ikut serta menikmati hasil dari perbaikan kampung itu.
148
2. Pemberdayaan Lingkungan (environmental) sebagai solusi arsitektural Kualitas lingkungan yang buruk, di permukiman kampung kota menjadi faktor penghambat bagi aktivitas kemasyarakatan. Perawatan dan perbaikan lingkungan membutuhkan biaya besar yang kadang tidak mampu ditanggung oleh masyarakat secara swadaya, karena sumber pendapatan akan lebih diutamakan untuk kebutuhan yang lebih mendasar. Karena itu, pencarian sumber daya murni secara swadaya dianggap tidak adil jika sumber daya pemerintah memungkinkan untuk itu, namun masyarakat tetap diberikan pelajaran dalam memulihkan lingkungan kampung mereka. Kegiatan penyuluhan permukiman untuk aspek bina lingkungan dapat dibagi kedalam tiga bagian: (1) penyuluhan untuk memperbaiki dan meningkatkan kualitas sarana prasarana lingkungan permukiman kampung, (2) penyuluhan untuk memperbaiki dan meningkatkan kualitas bangunan hunian warga, dan (3) penyuluhan untuk memperbaiki dan meningkatkan kualitas lingkungan hidup permukiman kampung dengan program pertamanan atau ruang terbuka hijau. Penyuluhan untuk perbaikan dan peningkatan sarana prasarana lingkungan permukiman berupa upaya agar masyarakat dapat melakukan perbaikan: jalan lingkungan, sanitasi lingkungan, dan sarana prasarana lingkungan permukiman yang lain yang tersedia saat ini. Perbaikan dan peningkatan kualitas ini dikerjakan melalui kerja bakti agar warga masyarakat merasa memiliki dan bertanggung jawab untuk menjaganya. Penyuluhan untuk perbaikan dan peningkatan kualitas bangunan hunian warga adalah upaya memberikan pembinaan terhadap pemahaman kesehatan rumah, pentingnya menjaga kebersihan dan keteraturan ruang yang sehat secara fisik maupun psikis bagi warga. Untuk pembinaan bangunan milik umum dilakukan agar warga kampung secara mandiri dapat mengoptimalkan fasilitas bangunan umum yang ada digunakan untuk bersama-sama dan dipelihara secara bersama pula. Perbaikan dan peningkatan kualitas lingkungan hidup dengan program pertamanan atau ruang terbuka hijau pada permukiman kampung kota dapat dilakukan dengan menerapkan pemahaman tentang pentingnya penghijauan di lingkungan mereka. Ruang-ruang sisa di bantaran sungai misalnya dapat difungsikan sebagai ruang terbuka hijau. Halaman-halaman rumah, jalan lingkungan dapat dimanfaatkan sebagai ruang terbuka hijau yang dapat dinikmati bersama.
149
3. Pemberdayaan Usaha sebagai solusi keberdayaan finansial. Pendidikan yang rendah yang disertai dengan sulitnya memasuki lapangan pekerjaan secara formal, telah membuat kestabilan sumber penghasilan pada masyarakat kampung kota menjadi rendah. Untuk itulah bina usaha perlu dilakukan, karena dari hasil penelitian didapati bahwa pendapatan berpengaruh langsung terhadap partisipasi meningkatkan kualitas lingkungan. Maka faktor pendapatan masyarakat ini perlu mendapat perhatian agar masyarakat dapat lebih sejahtera yang dengan kesejahteraannya diharapkan akan dapat memperbaiki kualitas rumah dan lingkungan permukiman kampungnya. Bantuan dari pihak luar untuk bina usaha ini dapat berupa uang, bahan (material) ataupun bimbingan teknis, termasuk latihan keterampilan dan berbagai bentuk penyuluhan. Bantuan berupa uang ataupun material hendaknya diberikan tidak sebanyak yang diperlukan oleh masyarakat bila bantuan itu sifatnya betul-betul bantuan (subsidi atau semacam hadiah). Bantuan seperti ini dapat diberikan sesuai dengan jumlah keperluan masyarakat kalau bantuan itu berupa pinjaman yang harus dikembalikan. Pemberian latihan keterampilan pun sebaiknya disertai dengan kewajiban dan tanggung jawab sehingga tidak timbul kesan "serba gampang dan mudah" dari pihak yang dibantu. Hal ini dimaksudkan untuk mengondisikan warga yang dibantu untuk bekerja keras sehingga pada saatnya dapat berdiri sendiri. Peranan pihak luar dalam memberikan bantuan untuk peningkatan kualitas lingkungan kampung kota sebaiknya dilakukan dengan cara meleburkan diri ke dalam kehidupan masyarakat permukiman kampung kota, melibatkan seluruh warga masyarakat dalam memahami masalah yang mereka hadapi, dan kemudian memberikan beberapa kemampuan dan keterampilan untuk memecahkan sendiri permasalahan yang mereka hadapi. Dengan cara ini warga masyarakat kampung kota yang tidak berdaya tadi akan menjadi berdaya dan mampu bertindak sebagai subjek yang memahami dan memecahkan masalah yang mereka hadapi. Hasil penelitian menunjukkan bahwa jenis pekerjaan mempengaruhi partisipasi warga meskipun secara tidak langsung. Namun demikian jenis pekerjaan sangat terkait dengan pendapatan masyarakat yang berpengaruh langsung terhadap partisipasi. Karena pekerjaan menjadi salah satu kunci bagi peningkatan taraf hidup penduduk. Dalam pemberdayaan usaha untuk solusi findansial dalam rangka meningkatkan
150
pendapatan masyarakat, perlu diusahakan aktivitas ekonomi yang dapat dikelola secara kolektif. Melihat dari karakteristik jenis pekerjaan yang dimiliki masyarakat kampung kota yang mayoritas bekerja di sektor informal, maka yang diperlukan adalah:
Pelatihan kewirausahaan bagi warga masyarakat (ibu-ibu rumah tangga, remaja/ pemuda putus sekolah, dan warga masyarakat kampung kota lainnya) perlu diberikan agar masyarakat dapat menemukan alternatif-alternatif lain bagi penambahan pendapatan keluarga.
Rangsangan atau bantuan bagi pertumbuhan ekonomi warga kampung. Hal yang paling banyak menjadi kendala bagi masyarakat berpenghasilan rendah seperti warga di kampung kota, adalah ketiadaan modal untuk berusaha. Bantuan modal jika dianggap perlu harus disesuaikan dengan usaha yang dapat dikelola secara kelompok dalam upaya penguatan ekonomi warga kampung.
Ruang usaha yang lebih sehat dan kondusif untuk pertumbuhan ekonomi warga dengan asumsi: lingkungan permukiman kampung yang tertata baik akan memberikan kesempatan bagi perbaikan kualitas hidup, memberikan keamanan lebih tinggi bagi aset dan kesehatan warga, serta kualias lingkungan hidup yang lebih baik. Hal ini akan mendorong tumbuhnya aktivitas ekonomi dan sosial masyarakat yang nantinya akan memberikan ruang usaha yang lebih besar.
Ruang usaha yang perlu disediakan bagi perbaikan pendapatan warga kampung kota bukan hanya dari soal kebijakan sosial saja, namun kebijakan dan tata ruang fisik lingkungan kampung perlu diperhatikan. Ketersediaan infrastruktur fisik, sarana prasarana yang memadai di kampung kota akan memberikan iklim berusaha yang lebih baik pula sehingga desain arsitektur lingkungan kampung yang sesuai dan mampu mengakomodasi aktivitas sosial budaya dan ekonomi warga dapat dijadikan sebagai salah satu bentuk intervensi
Program dan kegiatan-kegiatan yang dilaksanakan dalam pemberdayaan masyarakat untuk meningkatkan kualitas lingkungan kampung kota Masyarakat kampung kota didapati memiliki motivasi yang cukup untuk meningkatkan kualitas linkgungan. Yang menjadi kendala adalah ketiadaan program yang terencana dan terprogram yang bisa diikuti oleh mereka. Masyarakat dengan
151
bantuan pihak luar (pemerintah dengan tenaga penyuluh atau LSM dengan tenaga pendampingnya) dapat memberikan pendampingan untuk merencanakan dan melaksanakan program dan kegiatan peningkatan kualitas lingkungan yang diperlukan oleh masyarakat kampung. Kegiatan-kegiatan tersebut adalah: ) Perbaikan fisik lingkungan sarana prasarana lingkungan kampung meliputi: perbaikan jalan lingkungan/gang, saluran-saluran pembuangan limbah dan air kotor, MCK umum, mushola/mesjid, balai pertemuan warga dan sejenisnya ) Penghijauan dan kebersihan lingkungan kampung yang berkaitan dengan peningkatan kualtias kesehatan manusia dan lingkungan dengan melakukan penanaman pepohonan atau tanaman obat keluarga, tanaman pencegah polusi, pohon peneduh, pohon penahan kebisingan, pohon penyerap debu dan bau serta penyediaan fasilitas persampahan. ) Perbaikan rumah dan permukiman. Perbaikan rumah meliputi kegiatan perbaikan dapur, KM/WC, pemasangan sambungan air bersih, juga perlu dilakukan pendampingan untuk pengurusan IMB dan sertifikasi tanah. Kegiatan-kegiatan dalam rangka gerakan peningkatan kualitas lingkungan permukiman kampung kota, tidak hanya melulu kegiatan yang ditujukan untuk perbaikan fisik lingkungan kampung namun juga perlu dilakukan untuk perbaikan kelembagaan dan sumberdaya manusia. Kegiatan yang dapat dilakukan untuk meningkatkan kualitas SDM warga dan kelembagaan/organisasi masyarakat di kampung kota adalah: ) Kegiatan peningkatan sumber daya manusia meliputi kegiatan yang berkaitan dengan upaya pemberdayaan warga dan peningkatan SDM warga seperti pelatihan keterampilan, pelatihan kewirausahaan dan sejenisnya ) Kegiatan pembentukan kelembagaan kampung. Pembentukan kelembagaan kampung ini harus berdasarkan atas inisiatif dan aspirasi dari warga agar masyarakat dapat mengorganisasikan diri dan merencanakan kegiatan-kegiatan peningkatan kualitas lingkungan permukiman kampung dengan lebih tertata, terencana sesuai kebutuhan yang dirasakan masyarakat. Lembaga kampung ini merupakan wadah penyaluran aspirasi masyarakat dan diharapkan dapat berperan sebagai pemrakarsa dan penggerak pelaksanaan pembangunan kampung.
152
) Pendampingan pemberian kredit lunak, yaitu kegiatan dalam upaya untuk pengembangan usaha kecil dan menengah, membuka peluang/kesempatan kerja untuk meningkatkan taraf hidup warga kampung. Kegiatan dapat berupa pelatihan industri kecil dan pemberian kredit untuk modal usaha. Pelaku yang terlibat dalam pemberdayaan masyarakat untuk meningkatan kualitas lingkungan kampung kota Masalah permukiman kampung kota bukanlah semata masalah warga masyarakat yang tinggal di kawasan tersebut. Peningkatan kualitas lingkungan kampung kota juga tidak bisa hanya dibebankan kepada masyarakat penghuninya saja. Peningkatan kualitas lingkungan memerlukan keterlibatan banyak pihak untuk bisa duduk bersama menyelesaikan permasalahan ini dengan semangat untuk mendapatkan win-win solution. Pelaku pemberdayaan masyarakat untuk meningkatkan kualitas lingkungan permukiman kampung kota adalah: ) Warga masyarakat permukiman kampung kota sebagai pelaku utama Pemberdayaan masyarakat untuk meningkatkan kualitas lingkungan kampung mendudukan warga masyarakat sendiri sebagai pelaku utama. Hal ini didasarkan pada prinsip bahwa yang berhak menentukan nasib masyarakat adalah masyarakat sendiri. Untuk dapat melakukan gerakan peningkatan kualitas lingkungan yang lebih efektif, masyarakat berperan melalui organisasi kemasyarakatan yang ada di kampungnya yang dibentuk oleh warga sendiri. Warga masyarakat permukiman kampung kota atau kelompok-kelompok masyarakat kampung kota mengambil keputusan tentang kegiatan kegiatan yang akan dilakukan untuk meningkatkan kualitas kampungnya, sarana untuk dapat melaksanakan kegiatan tersebut dibicarakan bersama mulai dari : perencanaan, perancangan, pelaksanaan, pembagian hasil, dan evaluasi, pemeliharaan dan seterusnya. Hal ini dilakukan agar kegiatan yang dilaksanakan sesuai dengan kebutuhan warga yang berbeda antara satu kampung dengan kampung lainnya. ) LSM/Lembaga Pendidikan/Lembaga Penelitian dan Pengabdian Masyarakat atau Lembaga Arsitek sebagai perantara dan pendamping
pada
Lembaga yang dapat mendampingi masyarakat untuk mencapai masyarakat aktif yang dapat melakukan gerakan peningkatkan kualitas lingkungan kampungnya
153
secara mandiri atau bekerjasama dengan pihak-pihak lain dapat berupa (1) LSM (lembaga swadaya masyarakat), (2) lembaga pendidikan tinggi dengan unit-unit pelaksana teknisnya seperti Lembaga Penelitian dan Lembaga Pengabdian pada Masyarakat. Peran sebagai pendamping dilakukan dengan bekreja bersama masyarakat untuk (1) memberikan, menghidupkan, atau meningkatkan kesadaran masyarakat tentang kondisi, posisi, potensi dan hambatan-hambatan hidup mereka; (2) mengembangkan lembaga, organisasi atau koperasi (ekonomi) dan partisipasi sebagai dasar pengembangan masyarakat; mendampingi mereka untuk mencapai kemandirian. Peran sebagai perantara merupakan mediator antara pihak-pihak yang kepentingannya bertabrakan dalam pembangunan permukiman dan perkotaan seperti antara penduduk kampung dengan pemerintah atau dengan sektor swasta sehingga semua pihak mendapat keuntungan atau tidak pihak yang dirugikan (win-win solution) ) Pemerintah sebagai pendukung dan fasilitator Peran pemerintah dalam gerakan masyarakat untuk meningkatkan kualitas lingkungan kampung adalah dengan memfasilitasi berbagai kegiatan masyarakat dan mendukungnya dengan menyiapkan sistem kepranataan yang dibutuhkan. ) Sektor swasta sebagai mitra Sektor swasta dapat berupa lembaga keuangan dan perbankan yang bisa menyediakan dana untuk masyarakat melakukan gerakan peningkatan kualitas lingkungan. Partisipasi sektor swasta bisa berupa pinjaman lunak atau kredit ringan bagi perbaikan kualitas rumah-rumah warga.
Dana bagi Pemberdayaan Masyarakat untuk meningkatkan kualitas lingkungan Dana untuk peningkatkan kualitas lingkungan dapat berasal dari berbagai sumber seperti dari masyarakat sendiri, pemerintah, lembaga-lembaga donor, lembagalembaga penelitian, universitas, kelompok-kelompok relawan dan sebagainya. Perlu ditekankan bahwa dalam melaksanakan kegiatan peningkatan kualitas kampungk kota ini jangan sampai menimbulkan ketergantungan masyarakat kepada bantuan dari luar. Seandainya tidak ada bantuan dari luar sama sekali, program kegiatan gerakan masyarakat untuk meningkatkan kualitas lingkungan harus tetap dijalankan dengan
154
menggunakan sumber-sumber daya yang ada pada kelompok masyarakat sendiri, meskipun kegiatannya mungkin akan sangat terbatas. Upaya peningkatan kualitas lingkungan secara berkelanjutan Kualitas lingkungan hidup saat ini menjadi isu yang mengglobal dan diperbincangkan dari seminar ke seminar. Sumbangan terbesar dari kerusakan lingkungan adalah akibat perilaku manusia. Demikian pula yang terjadi di permukiman kampung kota. Perilaku pemukim adalah penyumbang terbesar dari penurunan kualitas lingkungan kampung kota. Pemberdayaan masyarakat untuk meningkatkan kualitas lingkungan tidak bisa hanya dilakukan dalam satu gerakan, yang setelah itu ditinggalkan. Pemberdayaan masyarakat untuk meningkatkan kualitas lingkungan harus dijadikan sebagai gerakan yang terus menerus dan berkelanjutan. Untuk hal tersebut diperlukan berbagai kebijakan dari pemerintah untuk mengatur kebijakan yang mendukung bagi terciptanya kualitas lingkungan hidup yang lebih baik. Sehubungan dengan hasil penelitian dan temuan-temuan di lapangan, perilaku masyarakat yang tidak mengacuhkan kualitas lingkungan serta mengabaikan aturanaturan yang ada termasuk aturan tata guna lahan dan aturan kesehatan lingkungan, salah satunya adalah karena ketiadaan kesadaran akan perlunya hidup sehat dan persepsi yang salah tentang rumah dan lingkungan permukiman yang sehat. Untuk mengatasi hal tersebut maka penyadaran masyarakat perlu dilakukan bukan hanya untuk tindakan kuratif memperbaiki lingkungan saat ini saja namun juga mempersiapkan generasi selanjutnya untuk berperilaku sehat, memahami dengan benar kualitas sehat dan menghargai lingkungan hidup yang sehat pula. Pola hidup sehat dan menghargai lingkungan yang sehat tidak datang tiba-tiba tapi harus diupayakan. Usaha yang dapat dilakukan diantaranya adalah dengan jalur pendidikan, pada jalur formal maupun non formal. Pada jalur formal, perilaku hidup sehat dan pengetahuan tentang kesehatan lingkungan dan juga cara-cara menjaga lingkungan hidup agar tetap lestari perlu dimasukkan ke dalam kurikulum sejak SD sehingga melembaga dalam benak anak penghargaan terhadap perlunya lingkungan hidup yang bersih, sehat dan serasi. Kerusakan sebagian dari lingkungan hidup (misalnya penurunan kualitas lingkungan kampung kota) akan memberikan pula sumbangan bagi
155
kerusakan lingkungan secara global. Jika sejak dini anak sudah dikenalkan dan diajarkan untuk berperilaku hidup sehat dan menghargai lingkungan yang sehat maka diharapkan akan menjadi manusia-manusia dewasa yang menghargai dan menjaga lingkungannya agar dapat berfungsi optimal bagi seluruh makhluk hidup di dalamnya. Pendidikan non formal dengan penyuluhan pembangunan yang diberikan kepada masyarakat di luar sekolah adalah tindakan yang dapat menjadikan gerakan peningkatan kualitas lingkungan tetap berkelanjutan. Maka upaya penyuluhan pembangunan yang sistematis, terprogram dan terjadwal diharapkan akan mampu mengubah pandangan masyarakat tentang arti kualitas lingkungan yang lebih baik. Dimulai dari kualitas lingkungan di dalam rumah, di sekeliling rumah, di sekitar kampungnya dan kawasan yang lebih luas lagi. Berikut adalah strategi peningkatan kualitas lingkungan agar dapat berkelanjutan. Tabel 35 Pemberdayaan masyarakat untuk peningkatan kualitas lingkungan secara berkelanjutan No Strategi 1 Pendidikan kesehatan diri dan lingkungan hidup dimasukkan ke dalam kurikulum pendidikan formal: (SD, SLTP dan SLTA) 2 Pendidikan non formal melalui penyuluhan pembangunan
3
Promosi kesehatan lingkungan dan perbaikan kualitas lingkungan hidup
Pihak yang berperan Peran yang diharapkan • Departemen Pendidikan • Penentuan aturan dan kebijakan pendidikan Nasional • Kementrian lingkungan • Penentuan dan pengesahan kurikulum hidup • Pembiayaan kegiatan • Kementrian kesehatan pendidikan • Penyelenggaraan pendidikan • Penentuan aturan dan kebijakan • Dinas pendidikan luar pendidikan masyarakat sekolah • Penentuan dan pengesahan • Dinas kesehatan kurikulum • BPLH • Pembiayaan kegiatan pendidikan masyarakat/penyuluhan/ pendampingan • Pelaksanaan kegiatan penyuluhan permukiman/ pendampingan • Kementrian lingkungan • Pembiayaan kegiatan promosi kesehatan dan peningkatan hidup kualitas lingkungan • Kementrian komunikasi • Pelaksanaan kegiatan kegiatan dan informasi promosi kesehatan dan peningkatan kualitas lingkungan
156
KESIMPULAN DAN SARAN Kesimpulan Dari hasil dan pembahasan yang telah dilakukan, dari penelitian ini didapati kesimpulan dan temuan-temuan sebagai berikut: 1. Karakteristik fisik permukiman kampung kota dicirikan dengan (1) ketersediaan sarana prasarana permukiman yang minim dan (2) kondisi sarana prasarana permukiman yang kualitasnya sudah menurun. Hal tersebut ditandai dari rendahnya kualitas jalan lingkungan (gang), saluran air hujan yang tidak terpelihara dan penuh sampah, sistem persampahan yang belum terkelola, terbatasnya saluran air bersih, minimnya ruang terbuka dan tempat bermain anak sehingga kegiatan sosialisasi warga banyak dilakukan di ruang gang yang fungsi utamanya adalah sebagai sarana sirkulasi. 2. Karakteristik fisik rumah-rumah di permukiman kampung kota banyak yang kualitasnya rendah, tidak sehat dan tidak layak huni. Hal ini ditandai oleh (1) kurangnya bukaan (ventilasi) untuk sirkulasi udara dan pencahayaan akibat padatnya bangunan, (2) material bangunan dan konstruksi bangunan yang rendah atau sudah menurun kualitasnya (lapuk, bobrok, dinding tidak diplester, lantai hanya diplur, penutup atap dari seng), (3) rata-rata luas bangunan rumah sangat minim, kurang dari 36m2 dengan jumlah penghuni lebih dari 6 orang; (4) ketersediaan ruang yang terbatas sehingga satu ruang memiliki banyak fungsi. 3. Karakteristik individu masyarakat di permukiman kampung kota dicirikan dengan: (a) pendidikan rendah (SD dan SLTP), (b) pendapatan rendah berkisar antara Rp. 1.000.000 – Rp. 1.250.000 yang besarnya sama dengan pengeluaran. (c) pekerjaan banyak bergerak di sektor informal, mayoritas adalah pedagang kecil, (d) jumlah keluarga dalam satu rumah lebih dari satu keluarga inti. 4. Karakteristik modal sosial masyarakat di permukiman kampung kota dicirikan dengan (a) rasa saling percaya antar warga dan komunitas (trust) berada pada kategori tinggi ditandai dengan saling bantu antar tetangga yang cukup intensif; (b) relasi mutual yang tinggi ditandai dengan hubungan ketetanggaan yang erat; (c) nilai dan norma berada pada kategori cukup, namun ketaatan pada aturan masih rendah, ditandai dengan perilaku warga dalam hal membuang sampah dan memperlakukan sarana prasarana lingkungan dengan buruk; (d) peran tokoh
157
masyarakat dan organisasi kemasyarakatan untuk meningkatkan kualitas linkgungan berada pada kategori cukup yang ditandai dengan ikut sertanya masyarakat pada kegiatan-kegiatan yang diprakarsai oleh tokoh atau organisasi masyarakat. Namun kegiatan-kegiatan ini masih kurang jumlahnya terbatas hanya pada kegiatan tahunan seperti bersih kampung menjelang 17 agustusan, kalaupun ada kegiatan peningkatan kualitas kampung di luar itu sifatnya hanya insidental dan tidak berkelanjutan. 5. Faktor-faktor yang mempengaruhi secara langsung terhadap modal sosial masyarakat kampung kota adalah: (1) pendidikan, (2) pekerjaan, (3) pendapatan, (4) ketersediaan sarana prasarana lingkungan permukiman dan (5) kondisi sarana prasarana lingkungan permukiman. 6. Persepsi dan motivasi meningkatkan kualitas lingkungan dicirikan dengan (a) Persepsi tentang kualitas lingkungan yang buruk, hal ini ditandai dengan persepsi yang tidak tepat/tidak sesuai dengan standar kualitas rumah dan lingkungan permukiman yang sehat dan layak huni, (b) Motivasi meningkatkan kualitas lingkungan tinggi, namun motivasi yang cukupan ini tidak bisa mewujud dalam bentuk rumah/lingkungan permukiman yang sehat karena kurangnya kemampuan yang dimiliki warga. 7. Faktor-faktor yang mempengaruhi secara langsung terhadap persepsi tentang kualitas lingkungan adalah: (1) ketersediaan sarana dan prasarana lingkungan permukiman, (2) kondisi sarana prasarana lingkungan permukiman, dan (3) pekerjaan. 8. Faktor-faktor yang mempengaruhi Motivasi meningkatkan kualitas lingkungan adalah: (1) pendapatan, (2) jumlah keluarga, (3) ketersediaan sarana prasarana lingkungan permukiman, (4) peran tokoh masyarakat dan organisasi masyarakat untuk meningkatkan kualitas lingkungan permukiman dan (5) relasi mutual antar warga dan komunitas kampung kota. 9. Kebutuhan akan rumah pada mayoritas masyarakat kampung kota masih berada pada kategori pemenuhan kebutuhan untuk: (1) fisiologis (survival needs or phisiological); (2) rasa aman (safety and security needs) dan (3) kebutuhan sosial (social needs or affiliation needs)
158
10. Kebutuhan akan rumah dipengaruhi secara langsung oleh faktor-faktor: (1) pendidikan, (2) ketersediaan sarana prasarana lingkungan permukiman, (3) peran tokoh masyarakat dan organisasi masyarakat untuk meningkatkan kualitas lingkungan, (4) relasi mutual antara tetangga dan warga komunitas, (5) kondisi sarana prasarana lingkungan permukiman,
dan (6) persepsi tentang kualitas
lingkungan. 11. Partisipasi masyarakat untuk meningkatkan kualitas lingkungan permukiman dicirikan dengan: (a) sikap proaktif masyarakat untuk meningkatkan kualitas lingkungan masih rendah yang ditandai dengan buruknya perlakuan warga terhadap sarana prasarana lingkungan permukiman; (b) partisipasi dalam kegiatan bersama untuk meningkatkan kualitas lingkungan berada pada kategori cukup yang ditandai dengan ikut sertanya masyarakat pada kegiatan-kegiatan yang diprakarsai oleh tokoh masyarakat atau organisasi masyarakat; dan (c) frekuensi partisipasi masyarakat dalam kegiatan meningkatkan kualitas lingkungan berada pada kategori cukup yang ditandai dengan jumlah keikutsertaan warga dalam kegiatan meningkatkan kualitas lingkungan kampungnya. 12. Faktor-faktor yang berpengaruh secara langsung terhadap sikap proaktif masyarakat untuk meningkatkan kualitas lingkungan adalah: (1) pendidikan, (2) pendapatan dan (3) kondisi sarana prasarana lingkungan permukiman. 13. Faktor-faktor yang berpengaruh secara langsung terhadap partisipasi masyarakat dalam meningkatkan kualitas lingkungan adalah: (1) pendapatan, (2) ketersediaan sarana prasarana lingkungan permukiman dan (3) persepsi tentang kualitas lingkungan. 14. Faktor-faktor yang berpengaruh secara langsung terhadap frekuensi partisipasi masyarakat dalam meningkatkan kualitas lingkungan adalah: (1) ketersediaan sarana prasarana lingkungan permukiman, (2) peran tokoh masyarakat dan organisasi masyarakat untuk meningkatkan kualitas lingkungan permukiman, (3) motivasi meningkatkan kualitas lingkungan dan (4) jumlah anggota keluarga. 15. Persepsi tentang kualitas lingkungan, motivasi meningkatkan kualitas lingkungan, peran tokoh dan organisasi masyarakat berpengaruh secara langsung terhadap partisipasi meningkatkan kualitas lingkungan. Persepsi menyangkut tingkat pengetahuan/pendidikan individu (aspek kognitif), motivasi berhubungan dengan
159
aspek afektif. Agar partisipasi masyarakat dapat ditingkatkan maka perlu dilakukan perbaikan pada aspek kognitif, afektif dan psikomotor (keterampilan) individu-individu warga agar menjadi masyarakat aktif yang mampu berbuat lebih baik untuk meningkatkan kualitas diri, rumah dan lingkungan permukimannya. Untuk meningkatkan aspek-aspek tersebut diperlukan inovasi sosial yang berbasis masyarakat sehingga dapat merubah diri dari kondisi tidak tahu (kurang pengetahuan), tidak mau (kurang motivasi) dan tidak mampu (tidak terampil) menuju masyarakat yang tahu, mau dan mampu untuk meningkatkan kualitas diri, rumah dan lingkungan permukiman kampungnya. 16. Permukiman kampung kota terdiri dari: (1) lingkungan permukiman dan sarana prasarana permukiman yang menjadi wadah bagi terselenggaranya kehidupan masyarakat, sehingga inovasi sosial harus mampu menyentuh dan memperbaiki aspek-aspek: (1) SDM individu/warga (masyarakat), (2) lingkungan dan (3) finansial. Maka strategi pemberdayaan masyarakat untuk meningkatkan kualitas lingkungan
dilakukan
melalui
penyuluhan
permukiman
berasas
tridaya:
pemberdayaan warga sebagai solusi sosial, pemberdayaan lingkungan fisik permukiman sebagai solusi arsitektural dan pemberdayaan usaha sebagai solusi keterbatasan finansial. Selain untuk mengakomodasi aspek-aspek tersebut juga untuk mengakomodasi hak-hak masyarakat seperti yang tercantum dalam Undangundang yang menyatakan bahwa setiap warga negara mempunyai hak dan kesempatan yang sama dan seluas-luasnya untuk berperan serta dalam pembangunan perumahan.
Saran 1. Pemberdayaan masyarakat untuk meningkatkan kualitas lingkungan permukiman perlu mendapat dukungan dari semua pihak, sehingga diperlukan kerjasama antara lembaga pemerintah (kementrian perumahan rakyat, departemen pendidikan nasioanl, kementian lingkungan hidup), lembaga pendidikan tinggi (lembaga penelitian dan pengabdian pada masyarakat), LSM, arsitek/lembaga arsitek, pengembang dan pihak perbankan atau lembaga keuangan yang akan berkepentingan untuk meminjamkan dana bagi modal masyarakat untuk meningkatkan kualitas hunian dan lingkungan kampungnya.
160
2. Penyelenggaraan dan penetapan pelaku penyuluhan permukiman (penyuluh permukiman) disarankan berpedoman kepada Undang-undang Republik Indonesia No. 16 tahun 2006 tentang Sistem Penyuluhan. 3. Persepsi masyarakat yang tinggal di kawasan kumuh permukiman kampung kota tentang kualitas lingkungan perlu diperbaiki dengan memberikan pemahaman yang benar mengenai standar rumah dan lingkungan yang sehat dan layak huni agar persepsi mayarakat tentang kualitas lingkungan mendekati nilai standar kualitas lingkungan yang telah dibakukan atau minimal mendekati standar kualitas baku. Untuk keperluan tersebut diusulkan agar sanitasi lingkungan dan pola hidup bersih dimasukkan ke dalam kurikulum pendidikan formal sejak masih di bangku Sekolah Dasar sehingga sejak kecil terbiasa hidup bersih dan sehat karena menyadari pentingnya kesehatan diri dan lingkungannya. 4. Kawasan kumuh di permukiman kampung kota terkait erat dengan kemiskinan para penghuninya. Untuk dapat memperbaiki kawasan kumuh ini maka perlu dibuka akses-akses kepada masyarakat berpenghasilan rendah tersebut agar mereka dapat meningkatkan tingkat kehidupan mereka. 5. Hubungan ketetanggaan dan kegotongroyongan yang tumbuh dalam akar budaya masyarakat di permukiman kampung kota perlu dipelihara dan ditransformasikan dalam berbagai bentuk kegiatan yang diarahkan bukan saja untuk meningkatkan kualitas rumah dan lingkungan tapi juga untuk meningkatkan daya rekat kelompok, seperti kegiatan perbaikan lingkungan (bersih kampung, perbaikan selokan, perbaikan MCK umum, perkerasan jalan gang di kampung dan sebagainya). 6. Dalam peningkatan kualitas lingkungan permukiman, masyarakat perlu difasilitasi dengan pembentukan lembaga organisasi/koperasi di tingkat RW sehingga dapat mengakomodasi aspirasi masyarakat dan membuka peluang untuk mendapatkan akses bantuan dari Pemerintah/pihak luar untuk perbaikan kampung mereka. 7. Selain organisasi-organisasi masyarakat yang telah ada di kampung, perlu dikembangkan organisasi lintas kampung misalnya dalam bentuk perserikatan kampung atau jaringan antara kampung dengan agenda pertemuan yang teratur (bulanan atau 3 bulanan) untuk mengkomunikasikan dan mengungkapkan aneka ragam permasalahan yang terjadi di kampung sehingga antar kampung dapat saling
161
berbagi informasi, pengalaman, gagasan dan pemikiran untuk rencana atau pelaksanaan program-program pembangunan kampung. 8. Pada kawasan perkotaan yang rawan kumuh seperti permukiman kampung kota perlu mendapatkan perhatian yang lebih tegas dan terkoordinasi untuk mengantisipasi bertambah luasnya kawasan permukiman kumuh. 9. Kota Bandung seringkali terlilit masalah penanganan sampah. Untuk menangani hal tersebut perlu dipikirkan pembentukan koperasi pengelolaan sampah kota dengan pertimbangan di permukiman kampung kota tenaga kerja melimpah dan dapat dipekerjakan dalam berbagai tahap pengelolaan mulai dari pengumpulan, pemilahan, pengangkutan dan pembuangan.
162
DAFTAR PUSTAKA Adimihardja, Kusnaka & Hikmat, Harry. 2003. Participatory Research Appraisal, Dalam Pelaksanaan Pengabdian kepada Masyarakat. Humaniora. Bandung. Asngari, Pang S. 2001. Peranan Agen Pembaharuan/Penyuluhan dalam Usaha Memberdayakan (empowerment) Sumberdaya Manusia Pengelola Agribisnis. Orasi Ilmiah Guru Besar Tetap Ilmu Sosial Ekonomi. Bogor. Fakultas Peternakan IPB. Astuti, Sri. 2004. Menumbuhkan Perekonomian Desa sebagai Solusi Meningkatkan Kualitas Perumahan Kota. Jurnal Permukiman Vol. 20. No. 1. Arifin, Erin. Pola Kampung Kota pada Lahan Berkontur. Jurnal Arsitektur Tatanan. Bandung. Vol. 2. No. 3 Januari 2000. Azwar, Azrul. 1990. Pengantar Ilmu Kesehatan Lingkungan. Mutiara. Jakarta. Azwar, Saifuddin. 2003. Sikap Manusia Teori dan Pengukurannya. Pustaka Pelajar. Yogyakarta. Budihardjo, Eko. 1998. Sejumlah Masalah Pemukiman Kota. PT. Alumni. Bandung. Budihardjo, Eko & Hardjohubojo, Sudanti. 1993.Kota Berwawasan Lingkungan. Penerbit Alumni. Bandung Fukuyama, Francis. 2000. The Great Disruption: Human Nature and The Reconstitution of Social Order. Simon & Scuster: New York. Handayani, Sri. 2006. Sikap dan Perilaku Masyarakat Kawasan Kumuh Permukiman Kampung Kota di Bandung. Laporan Penelitian Hibah Fundamental Dikti. 2006. ____________, 2007. Transformasi penanganan kawasan kumuh: upaya perbaikan kualitas hidup dan lingkungan. Laporan Penelitian Hibah Bersaing Dikti. 2007. ____________, 2007. Desain gang kampung kota yang mengakomodasi aktivitas sosial kultural masyarakatnya. Laporan Penelitian Hibah Fundamental Dikti. 2006. Haryadi. Setiawan. B 1996. Arsitektur Lingkungan dan Perilaku Suatu Pengantar ke Teori, Metodologi dan Aplikasi. Dirjen Dikti Dep. Pendidikan dan Kebudayaan. Hikmat, Harry. 2004. Strategi Pemberdayaan Masyarakat. Penerbit Humaniora Utama. Bandung.
163
Heriputri, Arimbi dan Santoso, Mas Achmad, 1993. Peran Serta Masyarakat dalam Pengelolaan Lingkungan, WALHI, Jakarta. Ife, Jim. 1995. Community Development: Creating Community Alternatives,Vision, Analysis and Practice, Longman, Australia, Keman, Soedjajadi. 2005. Kesehatan Perumahan dan Lingkungan Permukiman. Jurnal Kesehatan Lingkungan, Vol 2, No. 1. Khudori, Darwis. 2002. Menuju Kampung Pemerdekaan. Membangun Masyarakat Sipil dari Akar-akarnya Belajar dari Romo Mangun di Pinggir Kali Code. Yayasan Pondok Rakyat. Yogyakarta. Komaruddin, (1997), Menelusuri Pembangunan Perumahan dan Permukiman, Penerbit Yayasan REI – PT Rakasindo. Korten, David. 1998. Community Management, Asian Experience and Perspectives, Kumarian Press, USA. Mayo, M. 1994, Community Work, dalam Hanvey and Philpot (eds), Practising Social Work, London: Routhledge. Ndraha, Taliziduhu. 1990. Pembangunan Masyarakat. Jakarta. Rineka Cipta Payne, M. 1995. Social Work and Community Care, London: McMillan Pranarka dan Vidhyandika M. 1996. “Pemberdayaan”dalam Onny SP. dan AMW Pranarka (ed). Jakarta: CSIS. Rapoport, Amos. 1982. The Meaning of the Built Environment. Beverly Hills, California: Sage Publications. Rapoport, Amos, 1977. Human Aspect of Urban Form, Towards A Man-Environment Approach to Urban Form and Design. Pergamon Press Ltd. England. Roesmidi & Risyanti, Riza. 2006. Pemberdayaan Masyarakat. Al Qaprint. Jatinangor Santoso, Jo., dkk. 2002. Sistem Perumahan Sosial di Indonesia. Center for Urban Studies dan IAP. Jakarta Sastra, M. Suparno & Marlina Endy. 2006. Perencanaan dan Pengembangan Perumahan. Sebuah Konsep, Pedoman dan Strategi Perencanaan dan Pengembangan Perumahan. Penerbit Andi . Jogjakarta Sastropoetro, Santoso. 1988. Partisipasi, Komunikasi, Persuasi dan Disiplin dalam Pembangunan Nasional. Penerbit Alumni. Bandung.
164
Singarimbun, M., Sofian Effendi (ed.). 1995. Metode Penelitian Survai. Jakarta: LP3ES. Slamet, Margono. 2003. Membentuk Pola Perilaku Manusia Pembangunan. IPB. Press. Bogor. Slamet, Y. 1994. Pembangunan Masyarakat Berwawasan Partisipasi. Sebelas Maret University Press. Surakarta. Sumardjo, 1999. Transformasi Model Penyuluhan Pertanian Menuju Pengembangan Kemandirian Petani: Kasus di Propinsi Jawa Barat. Disertasi Program Pasca Sarjana Institut Pertanian Bogor. Sugandhy, Aca. Penataan Ruang Wilayah, Daerah dan Kota. PRISMA, LP3ES. Jakarta, No. 6 1984 Sugiarto. 2003. Teknik Sampling. Gramedia. Jakarta. Sugiyono, 2004. Statistika untuk Penelitian. Penerbit Alfabeta. Bandung. Surbakti, A. Ramlan. Kemiskinan di Kota dan Program Perbaikan Kampung. PRISMA, LP3ES. Jakarta, No. 6 1984 Suparlan, Parsudi. 1993. Kemiskinan di Perkotaan. Yayasan Obor Indonesia. Jakarta. Tjitropranoto, Prabowo. 2005. Metode dan Desain Penelitian Penyuluhan. Tidak dipublikasikan. Bogor: Program Studi Ilmu Penyuluhan Pembangunan IPB. Vitayala, Aida., T. Prabowo., Ruwiyanto (1995). Penyuluhan Pembangunan Indonesia: Menyongsong Abad XXI. Jakarta: PT. Pustaka Pembangunan Swadaya Nusantara. Wiryomartono., A. Bagoes P. 1995. Seni Bangunan dan Seni Bina Kota di Indonesia. Jakarta. PT. Gramedia Pustaka Utama.
165
GLOSSARY Kampung kota
: Permukiman rakyat yang berupa kantung-kantung perumahan yang padat di kota-kota besar, biasanya terletak di belakang pertokoan atau perumahan elit di pinggiran ataupun di pusat kota dengan akses pencapaian dari luar berupa jalan kecil. Jalan kecil yang termasuk dalam kategori jalan lingkungan ini menghubungkan kampung dengan lingkungan sekitarnya
Kebutuhan akan rumah
: Kebutuhan pokok yang terkait dengan masalah pemenuhan kebutuhan pokok manusia terhadap rumah sebagai tempat tinggal
Kualitas lingkungan
: Suatu lingkungan yang memenuhi preferensi imajinasi ideal seseorang atau sekelompok orang
Masyarakat kampung kota
: Kesatuan sekelompok orang (keluarga) sebagai suatu kelompok sosial yang menetap/tinggal di permukiman kampung kota yang membentuk suatu komunitas tertentu
Motivasi meningkatkan kualitas lingkungan
: Faktor pendorong seseorang untuk ikut ambil bagian dalam kegiatan peningkatan kualitas lingkungan Pendorong itu bisa berupa kebutuhan dan kepentingan sendiri dan dapat pula berupa rasa tanggung jawab sebagai warga masyarakat
Partisipasi meningkatkan kualitas lingkungan
: Ikut sertanya masyarakat dalam kegiatan yang menyangkut upaya memelihara, mengelola dan meningkatkan kualitas lingkungan
Pembangunan berwawasan lingkungan
: Upaya sadar dan terencana, yang memadukan lingkungan hidup ke dalam proses pembangunan untuk menjamin kemampuan, kesejahteraan, dan kualitas hidup generasi sekarang dan mendatang
Pemberdayaan (empowerment)
: Upaya yang dilakukan seseorang atau sekelompok orang untuk memandirikan masyarakat melalui perwujudan potensi kemampuan yang mereka miliki atas dasar prakarsa dan keratifitas.
Pendekatan Partisipatif (participatory approach)
: Suatu pendekatan yang menggunakan satu atau beberapa metode yang melibatkan pihak terkait secara aktif dalam proses pemberdayaan, untuk: a. mengekspresikan pengetahuan, gagasan dan menentukan pilihan b. mengambil inisiatif dalam mengidentifikasi dan memecahkan masalah, pengambilan keputusan serta pelaksanaan pekerjaan secara bersama-sama
Penyehatan lingkungan
: Upaya pencegahan terjangkitnya dan penularan penyakit melalui penyediaan sarana sanitasi dasar (jamban), pengelolaan air limbah rumah tangga, drainase dan sampah
166
Peran aktif masyarakat
: Masyarakat terlibat secara aktif dalam setiap upaya peningkatan kualitas lingkungan. Namun dengan mengingat keterbatasan ruang dan waktu maka keterlibatan tersebut dapat melalui mekanisme yang demokratis serta mencerminkan dan merepresentasikan keinginan dan kebutuhan mayoritas masyarakat
Lingkungan permukiman kumuh
: Bagian yang terabaikan dari lingkungan perkotaan dimana kondisi kehidupan dan penghidupan masyarakatnya sangat memprihatinkan, yang diantaranya ditunjukkan dengan kondisi lingkungan hunian yang tidak layak huni, tingkat kepadatan penduduk tinggi, sarana dan prasarana lingkungan tidak memenuhi syarat, tidak tersedianya fasilitas pendidikan, kesehatan maupun sarana dan prasarana sosial budaya kemasyarakatan yang memadai
Persepsi lingkungan
: Interpretasi tentang suatu setting/ruang oleh individu, didasarkan latar belakang budaya, nalar, dan pengalaman individu tersebut. Setiap individu akan mempunyai persepsi lingkungan yang berbeda karena latar belakang budaya, nalar dan pengalaman yang berbeda, meski dimungkinkan beberapa kelompok individu memiliki kecenderungan persepsi lingkungan yang sama atau mirip karena kemiripan latar belakang budaya, nalar dan pengalamannya
Permukimam sehat
: Kondisi fisik, kimia,biologic di dalam rumah dan permukiman sehingga memungkinkan penghuni atau masyarakat memperoleh derajat kesehatan yang optimal
Persyaratan kesehatan perumahan/permmukiman
: Ketetapan atau ketentuan teknis kesehatan yang wajib dipenuhi dalam rangka melindungi penghuni rumah,masyarakat yang bermukim dipermukiman dan atau masyarakat di sekitarnyadari bahaya gangguan kesehatan
Permukiman
: Bagian dari lingkungan hidup di luar kawasan lindung, baik yang berupa kawasan perkotaan maupun pedesaan yang berfungsi sebagai lingkungan tempat tinggal atau lingkungan hunian dan tempat kegiatan yang mendukung perikehidupan dan penghidupan.
Perumahan
Penyehatan lingkungan (environmental sanitation) Prasarana lingkungan
Rumah
Kelompok rumah yang berfungsi sebagai lingkungan tempat tinggal atau lingkungan hunian yang dilengkapi dengan prasarana dan sarana lingkungan : Upaya pencegahan terjangkitnya penyakit melalui penyediaan sarana sanitasi dasar (jamban), pengelolaan air limbah rumah tangga, drainase dan sampah : Kelengkapan dasar fisik lingkungan yang memungkinkan lingkungan permukiman dapat berfungsi sebagaimana mestinya : Bangunan yang berfungsi sebagai tempat tinggal atau hunian dan sarana pembinaan keluarga
167
Rumah sehat
: Rumah sebagai tempat tinggal yang memenuhi ketetapan atau ketentuan kesehatan yang wajib dipenuhi dalam rangka melindungi penghuni rumah dari bahaya atau gangguan kesehatan sehingga memungkinkan penghuni memperoleh derajat kesehatan yang optimal
Sarana lingkungan
: Fasilitas penunjang, yang berfungsi untuk penyelenggaraan dan pengembangan kehidupan ekonomi, sosial dan budaya