TINJAUAN PUSTAKA Urbanisasi dan Pertumbuhan Kota Urbanisasi secara harfiah berarti pengkotaan, yaitu proses menjadi kota (Pontoh dan Kustiawan, 2008). Urbanisasi dipahami secara umum sebagai proses menjadi kawasan perkotaan, migrasi masuk kota, perubahan pekerjaan dari bertani berubah menjadi non-petani, dan juga menyangkut perubahan pola perilaku manusia (Daldjoeni, 1987 diacu dalam Pontoh dan Kustiawan, 2008). Pengkotaan juga dapat diterapkan pada suatu negara, sehingga dapat meningkatkan proporsi penduduk yang bertempat tinggal di perkotaan. Faktor-faktor pendorong terjadinya urbanisasi dapat ditinjau dalam beberapa perspektif, yaitu kemajuan di bidang pertanian, industrialisasi, potensi pasar, peningkatan kegiatan pelayanan, kemajuan transportasi, tarikan sosial dan kultural, kemajuan pendidikan dan pertumbuhan penduduk alami (Hammond, 1979 diacu dalam Rustiadi et al., 2009). Alasan penduduk melakukan migrasi dipengaruhi oleh faktor ekonomi yang berkaitan dengan alasan pekerjaan ataupun alasan non ekonomi yang berkaiatan dengan sosial, budaya, pendidikan, politik dan keamanan. Ditinjau dari aspek demografis, urbanisasi yang diartikan sebagai mengalirnya penduduk dari desa ke kota yang disebabkan oleh adanya perbedaan signifikan tingkat kehidupan antara desa dan kota. Dalam konteks ini, para pakar mengidentifikasikan faktor pendorong (push factors) dan faktor penarik (pull factors) yang berkaitan dengan bangkitan urbanisasi (Khairuddin, 1992 diacu dalam Pontoh dan Kustiawan, 2008). Faktor pendorong ialah semakin terbatasnya lapangan kerja di pedesaan, kemiskinan di pedesaan akibat bertambahnya jumlah penduduk, transportasi desakota yang semakin lancar, tingginya upah buruh di kota dari pada di desa, meningkatnya tingkat pendidikan masyarakat desa, dan tata cara serta adat istiadat yang kadang kala dianggap sebagai beban oleh masyarakat desa. Sementara faktor penarik antara lain adalah kesempatan kerja yang lebih luas dan bervariasi di kota, tingkat upah yang lebih tinggi, lebih banyak kesempatan untuk maju (diferensiasi pekerjaan dan pendidikan dalam segala bidang), tersedianya barang-barang kebutuhan yang lebih lengkap, terdapatnya berbagai kesempatan untuk rekreasi
11
dan pemanfaatan waktu luang, dan bagi orang-orang atau kelompok tertentu di kota memberikan kesempatan untuk menghindari diri dari kontrol sosial yang ketat. Analisis hubungan keterkaitan antara urbanisasi dengan pembangunan ekonomi menurut ahli ekonomi dan sosial dapat ditinjau dari dua aspek. Aspek pertama berkaitan dengan peran urbanisasi terhadap pembangunan ekonomi dan aspek kedua tentang pengaruh dari pembangunan ekonomi terhadap urbanisasi (Sukirno, 1985 diacu dalam Pontoh dan Kustiawan, 2008). Kedua aspek analisis tersebut menunjukkan bahwa diantara urbanisasi dan pembangunan ekonomi terdapat hubungan sebab akibat yang timbal balik sifatnya, dimana pembangunan ekonomi dapat mempercepat proses urbanisasi dan sebaliknya proses urbanisasi dapat pula mempercepat proses pembangunan ekonomi. Lebih lanjut menurut Sukirno (1985), faktor yang bersifat ekonomi merupakan penyebab terpenting dari timbulnya urbanisasi dan perkembangan kota. Pembangunan ekonomi akan diikuti oleh perombakan dalam corak kegiatan ekonomi, dimana semakin maju suatu kegiatan ekonomi, maka semakin penting peranan kegiatan industri dan perdagangan. Perkembangan tersebut selanjutnya akan menghasilkan spesialisasi dalam perekonomian tersebut. Urbanisasi timbul oleh adanya usaha untuk mempertinggi efisiensi kegiatan tukar menukar, karena usaha tersebut akan mengembangkan pusat-pusat perdagangan yang nantinya dapat berfungsi sebagai tempat pengumpulan barang produksi suatu wilayah yang akan dipersiapkan untuk didistribusikan ke wilayah lainnya. Untuk menjamin kelancaran usaha pengumpulan dan pendistribusian barang oleh pusat-pusat perdagangan tersebut, maka secara tidak langsung akan berkembang pula kegiatan-kegiatan yang merupakan suplemen/tambahan dari kegiatan perdagangan seperti kegiatan pengangkutan, komunikasi, dan badanbadan keuangan. Perkembangan dari berbagai kegiatan tersebut mendorong orang untuk berpindah ke kota-kota yang berfungsi sebagai pusat perdagangan dalam suatu wilayah tertentu. Kaitan urbanisasi dengan perkembangan ekonomi menyangkut pula sumber-sumber pembangunan atau pengembangan ekonomi. Pembangunan bersumber dari beberapa faktor, diantaranya yang terpenting adalah pembentukan
12
modal, perkembangan penduduk dan teknologi. Sejarah pembangunan di negara maju menunjukkan bahwa perkembangan teknologi memegang peran penting dalam pembangunan ekonomi dan faktor tersebut dianggap lebih penting dari pada faktor lainnya. Implikasi dari keadaan ini bahwa kemajuan dalam teknologi sangat berpengaruh terhadap penyebaran kegiatan ekonomi diantara kawasan pedesaan dan perkotaan, yakni kemajuan teknologi menyebabkan kegiatan ekonomi lebih dominan dilakukan di perkotaan. Sementara untuk kasus di negara-negara berkembang, kecepatan urbanisasi jauh lebih besar dibandingkan dengan faktor kemajuan teknologi maupun pembentukan modal. Secara spasial, proses urbanisasi ini tidak berlangsung secara merata di semua ukuran kota, tapi hanya terkonsentrasi di kota-kota besar atau kota-kota utama saja sehingga menimbulkan fenomena primate city (kota yang tidak proporsional dalam sistem hierarki perkotaan). Pertumbuhan penduduk perkotaan yang kian pesat berdampak pada kebutuhan sarana dan prasarana/infrastruktur perkotaan (urban infrastructure). Penduduk kota dipandang dalam konteks permintaan (demand), sedangkan penyediaan infrastruktur kota merupakan penawaran (suplly) (Adisasmita dan Sakti, 2010). Dalam pembangunan perkotaan yang berkesinambungan, maka sisi permintaan dan sisi penawaran harus diupayakan mencapai titik keseimbangan, sehingga tidak menimbulkan ketimpangan yang berujung pada terjadinya kelangkaan ataupun kesulitan dalam pelayanan terhadap masyarakat. Kegagalan dalam meningkatkan pelayanan infrastruktur perkotaan menjadi penyebab utama dari masalah kota-kota di negara berkembang. Dalam laporan The UN Centre for Human Settlements (1986 diacu dalam Sadyohutomo, 2008), dinyatakan bahwa sekitar 30% dari populasi perkotaan di negara berkembang tidak memiliki akses terhadap penyediaan air bersih, dan populasi sekitar 40%50% hidup di perumahan kumuh dan perkampungan. Semakin lengkap ketersediaan infrastruktur perkotaan, akan semakin kuat daya tarik penduduk untuk melakukan urbanisasi. Urbanisasi sangat dipengaruhi oleh semakin banyaknya pelayanan infrastruktur. Ketersediaan infrastruktur perkotaan memberikan kemudahan bagi masyarakat kota dalam menunjang kegiatannya. Kemudahan diartikan sebagai suatu keadaan dimana dapat diperoleh
13
dengan mudah atau dalam jumlah yang cukup pelayanannya yang diperlukan untuk memenuhi kebutuhan atau untuk melaksanakan kegiatannya. Suatu kota yang memiliki ketersediaan infrastruktur yang lengkap, berarti memiliki tingkat kemudahan yang tinggi. Hal ini menunjukkan bahwa kota tersebut memberikan peluang bagi kegiatan usaha untuk mendapatkan keuntungan dan penghematan eksternal (external economies) secara berkesinambungan. Oleh karena itu terdapat kecenderungan manusia (terutama pengusaha dan pemilik modal) untuk berpindah tempat tinggal guna menempatkan kegiatan usahanya (membawa modal, ketrampilan dan pengalamannya) ke suatu tempat (kota) yang memiliki tingkat kemudahan tinggi, sehingga memberikan keuntungan yang tinggi dan keberhasilan bagi usahanya. Dengan demikian tingkat kemudahan merupakan faktor penentu lokasi kegiatan (usaha). Dalam hal migrasi penduduk ke kota (urbanisasi), manusia cenderung meninggalkan tempat bermukim asal dan berpindah ke tempat permukimannya yang baru karena di tempat baru tersebut memberikan peluang lapangan kerja, peningkatan pendapatan, pengembangan bakat, dan menikmati kehidupan yang lebih baik. Semua peluang tersebut merupakan daya tarik perpindahan penduduk dari desa ke kota, atau dari kota-kota kecil ke kota-kota yang lebih besar. Kota sebagai wadah konsentrasi permukiman penduduk dan berbagai kegiatan produktif (ekonomi dan sosial) merupakan kutub daya tarik (pole of attraction) (Adisasmita, 1988 diacu dalam Adisasmita dan Sakti, 2010).
Perkembangan Kota Tepian Air (Waterfront City) Pembangunan kota tepian air (waterfront city) berkembang sebagai tren pembangunan kawasan perkotaan yang populer saat ini. Secara umum, waterfront city dapat didefinisikan sebagai suatu daerah/area yang berbatasan dengan perairan (pantai, sungai dan danau), dimana terdapat satu atau beberapa kegiatan pada kawasan tersebut (Laras, 2011). Kota tepian air adalah tempat dimana komponen-komponen alam seperti badan air dan formasi tanah serta ekosistemnya saling bersinggungan satu sama lain dengan ketidakstabilan (fluidity) yang besar (Bunce dan Desfor, 2007). Bentuk-bentuk komponen alam hasil dari artifisial manusia ternyata tidak meninggalkan kota tepian air sebagai
14
tempat alam yang masih asli, tetapi telah dipengaruhi oleh transformasi dari waktu ke waktu. Lebih lanjut Bunce dan Desfor (2007) menambahkan bahwa sejarah perkembangan kota tepian air telah menunjukkan seluk-beluk hubungan antara masyarakat dan alam, tetapi yang lebih penting bahwa komponen pembentuk alam tersebut terus-menerus dikembangkan melalui proses sosial. Alam diejawantahkan sebagai komponen integral dari hubungan kekuasaan dan produksi ekonomi di kota tepian air. Pendekatan pembangunan waterfront memiliki jangkaun luas, mulai dari konservasi, revitalisasi, atau penataan ulang hingga reklamasi kawasan laut. Waterfront berdasarkan tipe proyeknya dapat dibedakan menjadi tiga jenis, yaitu konservasi,
pembangunan
kembali
(redevelopment),
dan
pengembangan
(development) (Soesanti dan Sastrawan, 2006 diacu dalam Nurfaida, 2009). Konservasi adalah penataan waterfront kuno atau lama yang masih ada sampai saat ini dan menjaganya agar tetap dinikmati masyarakat. Redevelopment merupakan upaya menghidupkan kembali fungsi-fungsi waterfront lama yang sampai saat ini masih digunakan untuk kepentingan masyarakat dengan mengubah atau membangun kembali fasilitas-fasilitas yang ada. Development adalah usaha menciptakan waterfront yang memenuhi kebutuhan kota saat ini dan masa depan dengan cara mereklamasi pantai. Awalnya konsep pengembangan waterfront merupakan inovasi Amerika Serikat. Konsep tersebut sebagai bentuk redesign kawasan Baltimore dalam mengatasi kebangkrutan yang dialami kota-kota besar akibat resesi ekonomi pada tahun 1970an. Strategi pengembangan kawasan perkotaan tersebut secara tidak langsung dijadikan sebagai solusi untuk memperbaiki pengkumuhan kota-kota besar yang mengkhawatirkan di Amerika Utara. Rehabilitasi waterfront dapat menyumbangkan kemajuan perbaikan lingkungan di dunia yang sedang berkembang (Vollmer, 2009 diacu dalam Laras, 2011). Contoh kasus Toronto merupakan wilayah tepian danau yang tercemar berat, dengan penggunaan konsep kota tepian air (waterfront city), yang dalam waktu singkat (1980-2000) telah mampu meningkatkan tahapan pengelolaan dari semula pendekatan ekosistem dengan semboyannya lingkungan sehat, pemulihan
15
ekonomi,
keberlanjutan,
dan
menjaga
kesejahteraan
masyarakat,
dapat
ditingkatkan menjadi pendekatan global yang sangat penting dengan semboyan peningkatan efektifitas dan kreatifitas. Era kota pantai (waterfront city) telah melewati dua tahap, yaitu tahap pertama (1960-1990) dengan program revitalisasi pantai dirancang untuk mengejar tujuan-tujuan penting bagi pengambilan keputusan lokal dalam menjamin pertumbuhan ekonomi dan tahap kedua sebagai bagian dari konsep pembangunan berkelanjutan. Pertumbuhan ekonomi mengedepankan pekerjaan dan produk bruto per kapita (PDB), sedangkan konsep pembangunan berkelanjutan yang diadopsi oleh komunitas internasional (UNCED), ditunjukkan sebagai tujuan akhir penilaian revitalisasi pantai yang terintegrasi dengan program pembangunan. Relevansi dari revitalisasi pantai untuk pengelolaan kawasan pesisir telah menjadi isu utama karena manajemen terpadu yang telah diklaim oleh Agenda 21 sebagai alat untuk mengejar pembangunan berkelanjutan wilayah pesisir dan pulau-pulau (Vallega, 2001). Merujuk pada pendekatan pembangunan berkelanjutan, banyak kota-kota pantai telah menemukan karakteristik dalam menghadapi pilihan dasar, antara merencanakan dan mengelola pantai berdasarkan kriteria konvensional, atau merancang rencana pembangunan dimana tepi pantai adalah komponen inti dari pengelolaan wilayah pesisir secara terpadu. Perkembangan kota pantai (waterfront city) di Indonesia dipengaruhi oleh kejayaan kerajaan-kerajaan nusantara di masa silam dengan kegiatan utama adalah perdagangan, jasa dan pusat pemerintahan. Karakteristik tersebut menjadikan wilayah pesisir
sebagai elemen utama
yang
berperan penting dalam
perkembangan kota. Oleh sebab itu, kota-kota pantai di Indonesia memiliki unsur historikal dan budaya yang kuat dalam pengembangan kawasan pesisir. Karakteristik pantai dan pengaruhnya dalam perkembangan kawasan kota pantai di Indonesia menurut Hantoro (2001 diacu dalam Mulyandari, 2011), antara lain : a. Wilayah pesisir memiliki bentang alam yang dibentuk oleh gejala endogen geologi, dimana tiga gejala utama tektonik merupakan pengontrol awal bentang alam yang meliputi tumbukan lempeng, gerak gesek antar lempeng, gunung api
16
dengan komponen gerak tegaknya. Jenis batuan menentukan kestabilan pantai dan kemampuan bertahan dari terjangan laut dan cuaca. b. Di perairan yang stabil tanpa gejala geologi endogen, di bagian yang mengalami pengaruh kuat perubahan paras muka laut, di pesisir dan di pantai, pembentukan bentang alam lebih dipengaruhi oleh gejala cuaca (erosi) dan laut (erosi dan sedimentasi). c. Pantai yang menghadap perairan terbuka dengan agitasi kuat memiliki kota pantai yang berkembang di rataan pasir pantai, berawal dari permukiman dan pelabuhan sebagai bandar niaga di muara sungai. Pemilihan muara di bentang manapun sebagai awal permukiman sangat umum dijumpai di Indonesia, di daratan alluvial, di kaki gunung pulau volkanik, di pesisir perairan paparan tepian kontinen atau di pantai dataran limpahan banjir. d. Kota pantai tumbuh dan berkembang sesuai status dan fungsinya dari waktu ke waktu melalui beberapa periode masa penjajahan dan kemudian masa setelah kemerdekaan. Perkembangan luas kota yang berstatus kota pusat pemerintahan terlihat cenderung lebih pesat. e. Perluasan permukiman mulai terasa sejak 30 tahun terakhir. Demikian halnya dengan sarana pelabuhan dan transportasi lain. f. Sejumlah besar kota pantai berkembang pesat oleh peningkatan usaha ekonomi perniagaan, pertanian/perkebunan, dan industri, sementara mariekultur dan industri hilirnya hanya berkembang di beberapa kota pantai atau hanya sebagai suplemen kecil usaha ekonomi. Usaha ekonomi kelautan di segala bidang perlu untuk ditingkatkan misalnya industri rekayasa, budidaya dan tangkap, pengolahan, dan wisata. g. Pertumbuhan kota-kota pantai akhir abad 20-an cenderung mengabaikan daya dukung lingkungan di sekelilingnya serta ancaman bencana yang berpotensi merusak. Keterbatasan ruang yang layak dikembangkan menyebabkan perluasan merambah lingkungan pantai yang seharusnya dipertahankan sebagai penyangga (buffer). h. Cuaca, kondisi laut dan tektonik merupakan gejala-gejala yang mengontrol bentang alam dari awal pembentukan hingga bentuk saat ini, sehingga
17
fenomena tersebut harus diperhitungkan sebagai potensi alam dalam upaya mempertahankan kelestarian lingkungan kota pantai. i. Jenis ancaman bencana pada kota-kota pantai beragam, bergantung pada fenomena alam misalnya ancaman abrasi pantai, gelombang tsunami maupun intrusi air laut.
Pertumbuhan Kota dalam Konsep Pengembangan Wilayah Kota merupakan wadah berkelompok penduduk yang disertai dengan keragaman aktivitas ekonomi maupun sosial. Munculnya kota dalam peradaban manusia sudah sejak berabad-abad silam, yang awalnya sebagai tempat persinggahan pedagang, berkembang menjadi kelompok permukiman, kemudian terbentuk kota kecil, kota menengah hingga kota besar. Dimensi pertumbuhan kota merupakan keterkaitan yang bersifat multi disiplin. Masing-masing disiplin ilmu tersebut melingkupi bidang demografi, keteknikan, tata ruang, ekonomi, sosiologi dan sebagainya, memiliki cakupan objek bahasan, cara pandang, metode analisis tersendiri. Namun dalam rumusan teori pertumbuhan kota (urban growth theory), ternyata banyak menampilkan teori-teori pengembangan wilayah yang muncul dalam tahun 1930-an hingga tahun 1970-an (Adisasmita dan Sakti, 2010). Dalam pandangan Rondinelli (1985 diacu dalam Suhono, 2008), terdapat tiga konsep dalam pengembangan wilayah yaitu: (1) kutub pertumbuhan (growth pole); (2) integrasi fungsi (functional integration); dan (3) pendekatan desentralisasi wilayah (decentralized territorial approaches). Pembangunan setidaknya memuat tiga komponen dasar, yaitu kecukupan (sustainance) dalam pemenuhan kebutuhan pokok, meningkatkan rasa harga diri (self-esteem), serta kebebasan (freedom) untuk memilih, yang dijadikan sebagai konsep dasar dan pedoman praktis dalam menterjemahkan pembangunan yang hakiki (Todaro, 2000 diacu dalam Rustiadi et al., 2009). Dalam pembangunan, kota merupakan pusat pembangunan, dimana terdapat berbagai kegiatan pembangunan yang didukung oleh tersedianya sarana dan prasarana pembangunan. Kegiatan pembangunan di wilayah perkotaan selain meliputi berbagai kegiatan sektoral, dapat juga melingkupi kegiatan fisik, ekonomi dan sosial yang dilaksanakan secara intensif. Di kota-kota besar terdapat
18
industri-industri dan perusahan-perusahan besar akan mendistribusikan hasil-hasil pembangunan ke wilayah sekitarnya. Menurut Perroux (1949 diacu dalam Tarigan, 2006) dalam teori kutub pertumbuhan (growth pole), bahwa pertumbuhan itu tidak terjadi pada setiap wilayah, namun hanya terjadi pada wilayah tertentu yang memiliki industri pendorong. Pusat pertumbuhan (growth pole) dapat diartikan dengan dua cara, yaitu secara fungsional dan secara geografis (Tarigan, 2006). Secara fungsional, pusat pertumbuhan merupakan suatu lokasi konsentrasi kelompok usaha atau cabang industri karena adanya keterkaitan unsur-unsur sifat yang dinamis, sehingga mampu menstimulasi kehidupan ekonomi baik ke dalam maupun ke luar (daerah belakangnya). Secara geografis, pusat pertumbuhan adalah suatu lokasi yang banyak memiliki fasilitas dan kemudahan sehingga menjadi pusat daya tarik (pole of attraction), yang menyebabkan berbagai macam usaha tertarik untuk berlokasi di tempat tersebut dan adanya pemanfaatan fasilitas kota meskipun tidak ada interaksi antara usaha-usaha tersebut. Selanjutnya Tarigan (2006) mengemukakan bahwa pusat pertumbuhan harus memiliki 4 (empat) ciri, yaitu adanya hubungan intern antara berbagai macam kegiatan yang memiliki nilai ekonomi, adanya unsur pengganda (multiplier effect), adanya konsentrasi geografis, dan bersifat mendorong pertumbuhan ke daerah belakangnya (hinterland). Konsepsi
pengembangan wilayah di Indonesia
telah
mengalami
perkembangan dan koreksi untuk setiap periodenya (Djakapermana dan Djumantri, 2002 diacu dalam Djakapermana, 2010). Mulai dari pengembangan wilayah dengan pengembangan sektoral dan parsial pada era tahun 1960-an, kutub pertumbuhan
(growth
pole)
yang
lebih
mengutamakan
pembangunan
infrastruktur, regionalisasi dengan batas wilayah fungsional (fuctional regional) yaitu membagi wilayah Indonesia dengan satuan-satuan ekonomi, sampai dengan konsep pengembangan wilayah pada era tahun 2000-an dengan pendekatan lingkungan, khususnya dengan lahirnya Undang-undang No. 24 tahun 1992 tentang Penataan Ruang yang telah mengalami penyempurnaan dan diganti oleh Undang-undang No. 26 tahun 2007. Memasuki abad ke 21 ini, konsepsi pengembangan wilayah di Indonesia harus mengikuti kaidah penataan ruang. Undang-undang No. 26 tahun 2007
19
disusun atas dasar keinginan mengoptimalkan pemanfaatan sumberdaya alam dan buatan untuk mensejahterakan rakyat, dengan pertimbangan prinsip keberlanjutan, menjaga keserasian dan mencegah adanya kesenjangan baik antar pusat dan daerah, antar desa dan kota maupun antar wilayah/kawasan, menciptakan ruang yang nyaman, aman, produktif dan berkelanjutan, serta berbasis mitigasi bencana untuk meningkatkan keselamatan, kenyamanan kehidupan dan penghidupan. Hal tersebut dapat direpresentasikan dengan pengaturan sistem pusat pertumbuhan (kota) dan sistem pengembangan wilayah secara merata dan berhierarkis. Berdasarkan landasan undang-undang tersebut, menurut Djakapermana (2010), konsepsi pengembangan wilayah di Indonesia adalah by legal dan empirikal harus mengikuti kaidah pendekatan yang bersifat gabungan (mixedconcept). Mixed-concept melingkupi adanya struktur ruang yang terdiri dari pusatpusat permukiman sebagai pusat pertumbuhan ekonomi dan pelayanan sosial secara hierarki (growth pole) sebagai pusat yang akan memberikan penjalaran perkembangan dan jaringan infrastruktur wilayah. Jaringan infrastruktur dapat berupa media/alat untuk menjalarkannya yaitu jaringan transportasi, listrik, telepon, energi dan jaringan sumberdaya air, serta pola ruang yang terdiri dari pengaturan kawasan yang berfungsi lindung serta kawasan budidaya untuk kegiatan yang dapat meningkatkan produktivitas bagi tumbuh dan berkembangnya ekonomi wilayah dan kegiatan sosial.
Infrastruktur dan Hierarki Wilayah Perkotaan Definisi infrastruktur sangat beragam dikalangan para ahli. Namun beberapa bahan acuan dapat digunakan untuk menterjemahkan pemahaman mengenai infrastruktur itu sendiri. Menurut Webster's New World Dictionary infrastruktur adalah “substructure or underlying foundation on which the continuance and growth of a community or state depends” (Soma, 2011b). Dalam kaitannya dengan ekonomi, menurut Macmillan Dictionary of Modern Economics (Pamungkas, 2009), infrastruktur merupakan elemen struktural ekonomi yang memfasilitasi arus barang antara pembeli dan penjual. The Routledge Dictionary of Economics (1995 diacu dalam Radiansyah, 2012), memberikan pengertian yang lebih luas bahwa infrastruktur merupakan pelayanan utama dari suatu negara
20
yang membantu kegiatan ekonomi dan kegiatan sosial masyarakat dalam rangka penyediaan transportasi serta fasilitas pendukung lainnya. World Bank (1994 diacu dalam Laras, 2011) membagi infrastruktur atas 3 (tiga) golongan yaitu : 1. Infastruktur ekonomi, merupakan pembangunan fisik yang menunjang aktivitas ekonomi, meliputi public utilities (telekomunikasi, air bersih, sanitasi, gas), public work (jalan, bendungan, irigasi, drainase) dan sektor transportasi (jalan, rel kereta api, pelabuhan, lapangan terbang). 2. Infrastruktur
sosial,
merupakan
infrastruktur
yang
mengarah
kepada
pembangunan manusia dan lingkungannya seperti pendidikan, kesehatan, perumahan, dan rekreasi. 3. Infrastruktur administrasi, merupakan infrastruktur dalam bentuk penegakan hukum, kontrol administrasi dan koordinasi.
Selain itu, Jacob et al. (1999 diacu dalam Pamungkas, 2009), membagi infrastruktur kedalam kategori infrastruktur dasar dan infrastruktur pelengkap, sebagai berikut : 1. Infrastruktur dasar (basic infrastructure)
meliputi sektor-sektor yang
mempunyai karakteristik publik dan kepentingan yang mendasar untuk sektor perekonomian lainnya, tidak dapat diperjualbelikan (non-tradeable) dan tidak dapat dipisahkan baik secara teknis maupun spasial. Contohnya jalan, kereta api, kanal, pelabuhan laut, drainase, bendungan dan sebagainya. 2. Infrastruktur pelengkap (complementary infrastructure) berupa sarana dan prasarana penunjang dalam aktivitas ekonomi maupun sosial, diantaranya seperti gas, listrik, telepon dan pengadaan air minum.
Fungsi dan hierarki kota merupakan tata jenjang yang menunjukkan hubungan keterkaitan antar komponen pembentuk struktur pemanfaatan ruang. Penentuan fungsi kota pada prinsipnya didasarkan pada komponen pembentuk yang dominan mempengaruhi aktivitas sosial ekonomi perkotaan, sedangkan hierarki kota adalah hubungan antar kegiatan yang berpengaruh terhadap pola
21
pemanfaatan ruang, dalam skala wilayah yang dikenal dengan sistem kota atau orde kota berdasarkan skala pelayanannya. Perkotaan berperan besar dalam persebaran dan pergerakan penduduk. Hal ini terjadi karena di bagian wilayah tersebut terdapat berbagai kegiatan ekonomi sekunder dan tersier serta fungsi pelayanan yang menimbulkan daya tarik bagi penduduk. Disisi lain pengelompokan kegiatan, fasilitas dan penduduk serta berpusatnya berbagai kegiatan yang menyangkut publik merupakan faktor-faktor yang menarik bagi kegiatan ekonomi/bisnis. Perkotaan memiliki nilai strategis, tidak hanya sebagai pemusatan penduduk tetapi juga sebagai pusat berbagai fungsi sosial-ekonomi-politik dan administrasi, serta berpotensi sebagai instrumen untuk mencapai tujuan-tujuan pembangunan pada tingkat nasional maupun regional. Perkembangan wilayah perkotaan dapat diukur dari tingkat ketersediaan infrastruktur/fasilitas pelayanan yang ada. Perhitungan jumlah dan jenis sarana dan prasarana pelayanan (infrastruktur) yang ada pada suatu wilayah, dapat digunakan untuk mengukur hierarki perkembangan wilayah (Rustiadi et al., 2009). Teori tempat sentral (central place theory) mengemukakan bahwa dalam penentuan hierarki kota-kota dalam suatu wilayah dapat dilakukan dengan cara meninjau jumlah pelayanan yang dapat diemban oleh sebuah kota (Christaller, 1933 diacu dalam Sinulingga, 1999). Suatu ciri umum dari daerah-daerah nodal menurut Christaller (1933 diacu dalam Sinulingga, 1999) adalah bahwa penduduk kota tidaklah tersebar secara merata diantara pusat-pusat yang sama besarnya, tetapi tersebar diantara pusatpusat yang besarnya berbeda-beda dan secara keseluruhan membentuk suatu hierarki perkotaan (urban hierarchy). Penyebab dari perkembangan seperti ini adalah kurang efisiennya mensuplai barang-barang dan jasa-jasa tertentu di pusatpusat kecil sedangkan barang-barang dan jasa-jasa lainnya lebih efisien jika disuplai di pusat-pusat yang lebih besar. Menurut teori ini, fungsi-fungsi pokok suatu pusat kota adalah bertindak sebagai pusat pelayanan bagi daerah belakangnya, mensuplai barang-barang dan jasa-jasa sentral seperti jasa-jasa eceran, perdagangan, perbankan, fasilitasfasilitas pendidikan, hiburan dan kebudayaan, serta pelayanan pemerintah kota.
22
Pusat-pusat yang lebih tinggi ordenya/hierarkinya melayani pusat-pusat yang lebih rendah hierarkinya, dan antara pusat-pusat yang hierarkinya sama tidak saling melayani. Infrastruktur Fisik Infrastruktur Jaringan Jalan Tata ruang kota dapat berkembang menjadi dinamis, karena adanya jaringan jalan. Hal ini serupa dengan pandangan Sinulingga (1999), bahwa jaringan jalan merupakan faktor terpenting yang membentuk struktur tata ruang kota. Semua elemen pembentukan tata ruang kota secara langsung berkaitan dengan jaringan jalan. Peraturan Pemerintah Republik Indonesia No. 26 tahun 1985 tentang jalan, menegaskan bahwa pengadaan jalan diselenggarakan dengan mengutamakan pembangunan jaringan jalan yang terkoneksi ke pusat-pusat produksi serta jalan-jalan yang menghubungkan ke wilayah pemasarannya. Jaringan jalan dibangun secara hierarki dimulai dari jenjang terendah yang bersifat lokal/lingkungan hingga ke jenjang wilayah berhubungan satu dengan lainnya (Rachmawati, 2011). Sebagai komponen yang mempengaruhi pertumbuhan ekonomi wilayah, sistem jaringan jalan berperan memperlancar kegiatan aliran barang, orang dan jasa, sehingga secara langsung akan menurunkan biaya produksi (Djakapermana, 2010). Pada gilirannya wilayah akan berkembang secara ekonomis. Breheny (1995 diacu dalam Djakapermana, 2010), mengemukakan bahwa transportasi khususnya jaringan jalan sangat berkontribusi terhadap pertumbuhan kegiatan ekonomi wilayah. Kegiatan pembangunan transportasi akan mendorong dan mempromosikan kegiatan ekonomi yang kompetitif. Ditinjau dari fungsi kota terhadap wilayah pengembangannya, maka sistem jaringan jalan dapat dibagi menjadi dua, yaitu sistem primer dan sistem sekunder. Sistem Primer merupakan jaringan jalan yang berkaitan dengan hubungan antar kota. Di dalam kota, sistem primer ini akan terkoneksi dengan fungsi-fungsi kota yang bersifat regional, seperti kawasan industri, perdagangan maupun pelabuhan. Sistem Sekunder, yaitu jaringan jalan yang berkaitan dengan pergerakan lalu lintas yang bersifat hanya di dalam kota. Sistem jaringan jalan sekunder disusun mengikuti ketentuan pengaturan tata ruang kota yang
23
menghubungkan kawasan-kawasan yang mempunyai fungsi primer, fungsi sekunder ke satu, fungsi sekunder kedua, fungsi sekunder ketiga dan seterusnya sampai ke perumahan. Hierarki jaringan jalan sistem primer dan sistem sekunder dapat diklasifikasi berdasarkan fungsi menjadi jalan arteri, jalan kolektor dan jalan lokal. Jalan Arteri Berdasarkan Undang-undang No. 13 tahun 1980, jalan arteri berada pada setiap kota yang melayani angkutan utama dengan ciri-ciri perjalanan agak jauh, kecepatan rata-rata tinggi dan jumlah jalan masuk dibatasi secara efisien. Jalan arteri di perkotaan dapat dibagi ke dalam fungsi primer dan fungsi sekunder. Dimensi jalan arteri dengan jalur lambat disajikan pada Gambar 2. Jalan arteri primer menghubungkan kota orde pertama dengan kota orde pertama lainnya yang berdampingan atau kota orde pertama dengan kota orde kedua (PP No.26 tahun 1985). Jalan arteri primer hanya terdapat pada kota orde pertama dan kota orde kedua dari suatu Satuan Wilayah Pengembangan (SWP). Di dalam kota, jalan arteri primer akan melalui fungsi-fungsi kota yang bersifat primer seperti pergudangan, perindustrian, ekspor ataupun pelabuhan. Beberapa persyaratan dari jalan arteri primer adalah sebagai berikut : a. Jalan arteri primer dirancang berdasarkan kecepatan rencana paling rendah 60 km/jam dengan lebar badan jalan tidak kurang dari 8 meter. b. Jalan arteri primer mempunyai kapasitas yang lebih besar dari volume lalu lintas rata-rata. c. Pada jalan arteri primer, lalu lintas jarak jauh tidak boleh terganggu oleh lalu lintas ulang-alik, lalu lintas lokal dan kegiatan lokal. d. Jumlah jalan masuk ke jalan arteri primer dibatasi secara efisien dan didesain sedemikian rupa sehingga ketentuan sebagaimana dimaksud dalam (a) dan (b) masih tetap terpenuhi. e. Persimpangan jalan arteri primer, dengan pengaturan tertentu harus dapat memenuhi ketentuan sebagaimana dimaksud dalam (a) dan (b). f. Jalan arteri primer tidak terputus walaupun memasuki kota.
24
Dalam sistem sekunder maka jaringan arteri sekunder adalah jalan yang menghubungkan pusat kota dengan pusat bagian wilayah kota, pusat bagian wilayah kota dengan bagian wilayah kota lainnya serta menghubungkan pusat kota dengan kawasan primer atau kawasan yang berfungsi melayani regional. Sesuai dengan PP No. 26 tahun 1985 persyaratan untuk jalan arteri sekunder adalah : a. Jalan arteri sekunder didesain berdasarkan kecepatan rencana paling rendah 30 km/jam dan lebar badan jalan tidak kurang dari 8 meter. b. Jalan arteri sekunder mempunyai kapasitas yang sama atau lebih besar dari volume lalu lintas rata-rata. c. Pada jalana arteri sekunder, lalu lintas cepat tidak boleh terganggu oleh lalu lintas lambat. d. Persimpangan pada jalan arteri sekunder, dengan pengaturan tertentu harus dapat memenuhi ketentuan sebagaimana dimaksud dalam (a) dan (b).
Gambar 2. Dimensi Jalan Arteri dengan Jalur Lambat Sumber : Sinulingga (1999)
Jalan Kolektor Jalan kolektor merupakan jalan yang melayani angkutan pengumpulan atau pembagian dengan ciri-ciri perjalanan jalan sedang, kecepatan rata-rata sedang dan jumlah jalan masuk dibatasi (UU No.13 tahun 1980). Jaringan jalan ini menghubungkan jalan arteri dengan jalan lokal. Jadi volume lalu lintas dari jalan lokal dikumpulkan oleh jalan kolektor dan dibawa ke jalan arteri dan selanjutnya dibawa ke tempat tujuan. Penampang jalan kolektor di kawasan permukiman disajikan pada Gambar 3.
25
Untuk sistem primer, jalan kolektor primer menghubungkan kota orde kedua dengan kota orde kedua lainnya dan menghubungkan kota orde kedua dan kota orde ketiga. Adapun persyaratan jalan kolektor primer adalah : a. Jalan kolektor primer didesain berdasarkan kecepatan rencana paling rendah 40 km/jam dan lebar badan jalan tidak kurang dari 7 meter. b. Jalan kolektor primer mempunyai kapasitas yang sama atau lebih besar dari volume lalu lintas rata-rata. c. Jumlah
jalan
masuk
dibatasi dan direncanakan
sehingga
ketentuan
sebagaimana dimaksud dalam (a) dan (b) masih tetap terpenuhi. d. Jalan kolektor primer tidak terputus walaupun memasuki kota. Pada
jaringan
jalan
sistem
sekunder,
jalan
kolektor
sekunder
menghubungkan pusat bagian wilayah kota dengan pusat sub bagian wilayah kota. Persyaratan dari jalan kolektor sekunder ialah didesain berdasarkan kecepatan rencana paling rendah 20 km/jam dengan lebar badan jalan tidak kurang dari 7 meter.
Gambar 3. Penampang Jalan Kolektor Kawasan Permukiman Sumber : Sinulingga (1999) Jalan Lokal Dalam sistem primer hierarki jaringan jalan, jalan lokal primer merupakan jalan yang menghubungkan pusat kota dari orde pertama, orde kedua, dengan persil-persil pada kawasan yang berfungsi regional. Jalan lokal primer dirancang berdasarkan kecepatan rencana paling rendah 20 km/jam dengan lebar badan jalan paling kurang 6 meter. Berbeda dengan sistem sekunder, jalan lokal sekunder menghubungkan pusat kota dengan perumahan, pusat bagian wilayah kota dengan perumahan, dan
26
pusat sub bagian wilayah kota dengan perumahan yang terdekat pada masingmasing pusat tersebut. Jalan lokal sekunder dirancang berdasarkan kegiatan rencana paling rendah 10 km/jam dan lebar jalan tidak kurang dari 5 meter.
Infrastruktur Air Bersih Air bersih merupakan kebutuhan yang sangat vital bagi penduduk kota, sehingga ketersediaannya menentukan derajat kesehatan dan kesejahteraan hidup masyarakat. Pada kenyataannya, keterbatasan penyediaan air bersih erat kaitannya dengan penyebab kemiskinan, karena kemiskinan juga disebabkan oleh masalah kesehatan. Oleh karena itu, penyediaan jaringan air bersih terutama pada permukiman miskin padat penduduk sangat penting untuk ikut memecahkan masalah kemiskinan. Realita di lapangan menunjukkan bahwa masyarakat miskin yang tidak terjangkau PDAM harus membeli air bersih secara eceran yang harganya jauh lebih mahal dibanding masyarakat yang memperoleh akses air bersih dari PDAM. Untuk dapat dijadikan sebagai air minum, maka air harus memenuhi persyaratan fisik diantaranya ialah tidak memeberi rasa, tidak berwarna, tidak berbau, suhu di antara 20°-25° C. Selain itu ada juga persyaratan khusus yaitu kondisi biologi dan kimia, dimana air hanya mengandung kadar besi dan asam arang dalam jumlah tertentu, mengadung soda flour untuk kesehatan gigi, mengandung yodium untuk mencegah gondok, serta tidak boleh mengandung bakteri patogen (penyebab penyakit) (Sinulingga, 1999). Syarat-syarat tersebut diatas haruslah dipenuhi dan apabila air yang tersedia belum dapat memenuhi persyaratan yang ada, maka harus diupayakan melalui suatu proses pengolahan sehingga kualitas air tersebut dapat layak untuk dikonsumsi. Gambar 4 menunjukkan proses pengolahan air.
Gambar 4. Bagan Aliran Proses Pengolahan Air Sumber : Sinulingga (1999)
27
Sumber utama air bersih bagi penduduk pedesaan dan perkotaan berbeda. Bagi penduduk pedesaan, air sumber atau air tanah dangkal hanya diperoleh dengan membuat sumur cukup sehat untuk langsung digunakan untuk memasak dan mencuci. Sementara untuk penduduk perkotaan yang padat, air tanah dangkal sudah diragukan kebersihannya karena kemungkinan tercemar septictank dan limbah rumah tangga. Apabila air tanah dangkal sudah tercemar, maka dilakukan upaya pemanfaatan air tanah dalam (aquifer). Air tanah dalam kualitasnya lebih baik dari air tanah dangkal apabila belum terjangkau pencemaran dari lapisan tanah atasnya. Pemompaan air tanah dalam perlu diatur karena berdampak terhadap kestabilan lapisan tanah yang berisi air tersebut. Jika aquifer diambil secara berlebihan dapat berdampak pada penurunan lapisan permukaan tanah atau intrusi air laut ke dalam aquifer tersebut. Air bersih dibutuhkan bagi makhluk hidup sangat bervariasi tergantung pada berat dan besar tubuh, besarnya penguapan, dan cuaca (Soma, 2011a). Menurut Al-Layla (1978 diacu dalam Soma, 2011a), penggunaan air di berbagai kota dan negara sangat bervariasi bergantung pada faktor jumlah penduduk, keadaan cuaca, kebiasaan dan cara hidup, fasilitas perpipaan (plumbing) yang dimiliki oleh pelanggan, sistem air limbah (sewerage) komunal yang tersedia, jumlah industri yang membutuhkan pasokan, serta besarnya pajak yang dikenakan untuk setiap pengambilan air. Standar kebutuhan air untuk kota-kota di Indonesia menurut Departemen Pekerjaan Umum dibedakan berdasarkan kategori kota dan besarnya jumlah penduduk (Soma, 2011a). Hal tersebut disajikan pada Tabel 1. Tabel 1. Kebutuhan Air untuk Kategori Kota Jumlah Penduduk (jiwa) 1. Metropolitan > 1.000.000 2. Kota besar 0,5 – 1 juta 3. Kota sedang 0,1 – 0,5 juta 4. Kota kecil 20.000 – 100.000 5. Semi urban 3.000 – 20.000 Sumber : Departemen Pekerjaan Umum (2007) No
Kategori Kota
Kebutuhan air (lt/orang/hari) 150 – 200 120 – 150 100 – 120 90 – 100 60 – 90
Kebutuhan air bersih di perkotaan perlu ditangani secara massal dalam bentuk penyediaan fasilitas jaringan pipa air minum. Pengelola fasilitas ini umumnya dilakukan oleh Perusahan Daerah Air Minum (PDAM). Pengelola
28
penyediaan air bersih melakukan kegiatan pengambilan bahan baku air, pengolahan air, hingga penyaluran air bersih ke pelanggan. Dari ketiga kegiatan pokok tersebut, sebagian besar PDAM di Indonesia masih menghadapi masalah teknis, manajemen dan institusional. Sumber air baku PDAM sebagian besar mengandalkan air sungai, danau dan mata air. Pengambilan air baku menghadapi masalah teknis ketersediaan air yang terbatas pada musim kemarau. Dalam penggunaan air sungai menghadapi masalah kualitas air yang sudah tercemar berbagai polutan dari buangan limbah rumah tangga maupun industri. Untuk menjaga kualitas dan kuantitas air baku yang berasal dari daerah lain (lintas kabupaten/kota) menghadapi masalah institusional. Tersedianya air baku umumnya tidak saja ditentukan oleh ketersediaannya di dalam wilayah administrasi sendiri, melainkan juga terkait dengan sistem tata air wilayah, seperti DAS atau aliran air tanah dalam (aliran aquifer). Disini terdapat masalah institusional horizontal maupun vertikal. Pengolahan air baku menghadapi kendala teknis kualitas air baku yang rendah dengan teknis penjernihan yang masih konvensional. Hal ini diperberat dengan mahalnya input produksi, serta kemampuan modal dan manajemen keuangan yang lemah. Akibatnya, air jernih yang dihasilkan tidak layak untuk langsung diminum. Perusahan juga kurang mampu memelihara sarana produksi dan perpipaan yang telah disediakan dengan dana proyek (APBD/APBN) sehingga kualitas pelayanan semakin menurun. Demikian pula dalam penyaluran air bersih menghadapi kebocoran (teknis dan keuangan). Dalam penentuan tarif layak tidak diawali dengan efisiensi manajemen intern. Disamping itu, penentuan tarif tidak bersifat independen karena perlu persetujuan DPRD yang kadangkadang mengandung unsur politis. Oleh karena itu, sebagian besar PDAM masih merugi sehingga perlu subsidi dari pemerintah daerah masing-masing (Sadyohutomo, 2008). Menurut Anwar (1992 diacu dalam Kusuma, 2006), permasalahan sumberdaya air sering diperhadapkan pada sumberdaya yang bersifat terbuka (open acces) pada beberapa wilayah. Keadaan demikian akan menimbulkan gejala eksternalitas yang meluas, dimana ada pihak yang menanggung manfaat atau biaya dari proses penggunaan sumberdaya oleh pemiliknya. Oleh karena itu,
29
eksternalitas dapat menimbulkan perbedaan manfaat dan biaya yang dinilai oleh pihak swasta (private) dengan manfaat atau biaya yang dinilai oleh masyarakat (social). Air merupakan sumberdaya alam pokok dan penting dalam pembangunan wilayah. Hal ini mengingat bahwa sumberdaya air berkaitan dengan kondisi sosial ekonomi dan sumberdaya lingkungan. Perkembangan jumlah penduduk yang tidak diimbangi dengan pembangunan infrastruktur wilayah secara ekonomi dapat mempengaruhi peningkatan kebutuhan air sehingga berdampak krisis dalam pembangunan wilayah.
Infrastruktur Jaringan Listrik Sistem jaringan listrik memiliki berbagai fasilitas yang berfungsi sebagai sarana sistem, kapasitas sistem dan tingkat pelayanan sistem. Untuk itu, interkoneksi antara berbagai sarana sistem tersebut mampu memberikan jaminan tingkat layanan sistem (Rachmawati, 2011). Infrastruktur jaringan listrik terdiri dari 3 (tiga) komponen utama, meliputi pembangkit, penyaluran (transmisi), dan disitribusi (gardu) (Gambar 5).
Gambar 5. Komponen Utama dalam Penyaluran Listrik Sumber : Anonim (2012)
Pembangkit listrik adalah bagian dari alat industri yang dipakai untuk memproduksi dan membangkitkan tenaga listrik dari berbagai sumber tenaga. Pembangkit listrik umumnya dapat berupa Pembangkit Listrik Tenaga Air (PLTA), Pembangkit Listrik Tenaga Uap (PLTU), Pembangkit Listrik Tenaga
30
Diesel (PLTD), Pembangkit Listrik Tenaga Surya (PLTS) dan Pembangkit Listrik Tenaga Nuklir (PLTN). Pembangkit merupakan sumber daya listrik dimana hampir semua kota memilikinya. Saluran listrik dari sumber pembangkit tenaga listrik sampai transformator terakhir, sering disebut juga sebagai saluran transmisi. Sementara saluran distribusi atau saluran primer merupakan saluran listrik dari transformator terakhir sampai pada konsumen terakhir. Ada 2 (dua) macam saluran transmisi/distribusi PLN yaitu saluran udara (overhead lines) dan saluran kabel bawah tanah (underground cable). Kedua cara penyaluran tersebut masing-masing mempunyai keuntungan dan kerugian. Dari segi estetika, saluran bawah tanah lebih disukai dan juga tidak mudah terganggu oleh cuaca buruk misalnya hujan, petir, angin, dan sebagainya, namun saluran bawah tanah jauh lebih mahal dibanding saluran udara, tetapi saluran bawah tanah tidak cocok untuk daerah rawan banjir karena bila terjadi gangguan akan sangat berbahaya. Sistem tenaga listrik yang paling terakhir untuk disalurkan pada pelanggan adalah sistem distribusi (Prihastomo, 2008 diacu dalam Rachmawati, 2011). Sistem distribusi terdiri atas jaringan yang diisi dari sebuah Gardu Induk (GI). Jaringan distribusi GI beroperasi secara tepisah, karena pada umumnya tidak dihubungkan secara listrik dengan jaringan distribusi lain. Sistem distribusi terbagi menjadi Jaringan Tegangan Menengah (JTM) dan Jaringan Tegangan Rendah (JTR). JTM dan JTR beroperasi secara radial. Untuk sistem jaringan baru, jaringan distribusi langsung diisi oleh pusat listrik, karena bebannya relatif rendah sehingga tidak diperlukan sistem transmisi (penyaluran). Sebelum krisis ekonomi melanda Indonesia, sistem kelistrikan tumbuh dengan baik, karena pembangunan infrastruktur tersebut telah mampu mengimbangi kebutuhan tenaga listrik yang mencapai pertumbuhan rata-rata 13% per tahun. Dalam kurun waktu 1969-1993, kapasitas pembangkit tenaga listrik nasional meningkat signifikan dari 542 MW menjadi 13.569 MW. Investasi dalam pembangunan fasilitas ketenagaan dengan kapasitas sebesar 7.996 MW, jaringan transmisi sepanjang 6.350 km, gardu induk dengan kapasitas 16.816 MVA, serta berbagai jaringan tegangan listrik lainnya (Kadin, 2006 diacu dalam Pamungkas, 2009).
31
Meskipun mengalami perkembangan, namun listrik di Indonesia dirasakan masih jauh dari mencukupi. Akses terhadap listrik masih sulit, diperkirakan sekitar 90 juta penduduk, 90% diantaranya adalah masyarakat miskin tidak mendapat akses listrik. Selain itu, biaya sambungan di daerah pedesaan 33% lebih mahal dari pada di perkotaan. Kondisi demikian mengakibatkan tingkat pemasangan listrik di Indonesia masuk dalam kategori rendah se-Asia (Pamungkas, 2009). Saat ini Indonesia mengalami kekurangan pasokan listrik. Sejak tahun 1997 hingga 2004, kelistrikan relatif tidak ada penambahan kapasitas baik pada sistem Jamali (Jawa-Madura-Bali) maupun sistem di luar Jamali. Disatu sisi permintaan terhadap listrik terus meningkat, sedangkan investasi pada bidang ini baik melingkupi padat modal maupun teknologi tinggi, memerlukan persiapan dan konstruksi yang lama. Untuk itu penambahan kapasitas listrik nasional menjadi terhambat terutama pasca krisis ekonomi di tahun 1997. Dalam hubungannya dengan peningkatan output, beberapa penelitian menjelaskan bahwa pembangunan infrastruktur listrik memberikan kontribusi dalam perekonomian suatu bangsa. Hasil penelitian Lee dan Anas (2005 diacu dalam Bulohlabna, 2008), menyimpulkan bahwa kekurangan kapasitas listrik menjadi hambatan terbesar pada perkembangan perusahaan yang berujung pada kondisi perekonomian wilayah setempat.
Infrastruktur Sistem Drainase Drainase
dapat
didefinisikan
sebagai
“prasarana
yang
berfungsi
mengalirkan air permukaan ke badan air dan atau ke bangunan resapan buatan, sementara drainase permukiman adalah drainase di wilayah permukiman yang berfungsi mengendalikan kelebihan air permukaan, sehingga tidak mengganggu masyarakat dan dapat memberikan manfaat bagi kegiatan kehidupan manusia” (Soma, 2011b). Fungsi saluran drainase perkotaan meliputi : a. Mengeringkan bagian wilayah kota yang permukaan lahannya rendah dari genangan sehingga tidak menimbulkan dampak negatif berupa kerusakan infrastruktur kota dan harta benda milik masyarakat.
32
b. Mengalirkan kelebihan air permukaan ke badan air terdekat secepatnya agar tidak membanjiri/menggenangi kota. c. Mengendalikan sebagian air permukaan akibat hujan yang dapat dimanfaatkan untuk persediaan air dan kehidupan akuatik. d. Meresapkan air permukaan untuk menjaga kelestarian air tanah.
Saluran drainase merupakan prasarana yang melekat dengan lingkungan permukiman, yang gunanya untuk menjaga agar lingkungan tidak tergenang oleh air hujan. Sistem drainase kota sering juga disebut sistem tulang daun, yaitu terdiri dari saluran utama (sungai atau kanal) sebagai saluran induk pembawa air hujan ke laut, saluran pengumpul (kolektor) dan saluran lokal. Saluran utama terdiri dari sungai-sungai yang melewati kota, dan apabila tidak ada sungai atau jumlahnya tidak mencukupi, maka harus dibuat kanal buatan (yang biasanya hampir menyamai sungai) untuk membawa air hujan ke laut. Saluran utama berfungsi melayani hampir seluruh bagian wilayah kota sehingga kekurangan pada saluran ini akan berdampak sangat luas dari bagian wilayah kota tersebut (Sinulingga, 1999). Selanjutnya saluran pengumpul (colector drain) membawa air menuju sungai (saluran utama), biasanya terdiri dari anak sungai atau saluran buatan terbuka maupun tertutup. Saluran pengumpul tersebut melayani lingkungan permukiman dan diameter salurannya tergantung pada jumlah kapasitas daya tampung debit air hujan. Berdasarkan luasan kota, maka saluran pengumpul dibagi menjadi dua macam, yaitu saluran pengumpul besar (saluran primer) yang langsung menuju sungai dan saluran pengumpul kecil (saluran sekunder) yang mengalirkan airnya menuju saluran pengumpul besar. Saluran yang melayani lingkungan permukiman pada tiap-tiap persil ialah saluran lokal yang dapat berbentuk terbuka ataupun tertutup. Untuk kawasan perdagangan, disarankan untuk membuat saluran yang bersifat tertutup agar tidak mengganggu pergerakan manusia yang cukup sibuk. Untuk merencanakan dimensi masing-masing sistem saluran, diperlukan debit rencana banjir yang akan terjadi, yang ditentukan oleh besarnya curah hujan, karakteristik daerah aliran
33
(topografi) dan koefisien aliran permukaan. Gambar 6 menunjukkan sistem drainase di kawasan perkotaan.
Gambar 6. Sistem Drainase Perkotaan Sumber : Soma (2011b)
Pada masa Orde Baru, yang ditandai dengan berlakunya Rencana Pembangunan Lima Tahun I-II (Repelita I-II) pada tahun 1696–1979, maka dibentuk Direktorat Teknik Penyehatan di Departemen PU. Penanganan drainase pada masa tersebut, banyak difokuskan kepada bantuan teknis ke Pemerintah Daerah antara lain penyiapan Outline Plan dan detail desain drainase. Bentuk bantuan fisik difokuskan ke arah rehabilitasi saluran yang sifatnya darurat. Selanjutnya pada Repelita III-IV mulai dilakukan penanganan drainase yang
cukup
komprehensif
melalui
program-program
P3KT
(Program
Pembangunan Prasarana Kota Terpadu), sehingga dihasilkan keterpaduan program dengan sektor-sektor lain terutama jalan kota, air limbah dan persampahan. Namun ketika terjadi krisis moneter pada masa Repelita VI (1994– 1998) yang menekan keuangan pemerintah, kondisi fisik sarana dan prasarana drainase sangat memprihatinkan terutama berkurangnya perhatian terhadap pemeliharaan rutin berkala. Seiring dengan makin langkanya air baku yang dibutuhkan untuk air minum, paradigma baru penanganan drainase adalah mengendalikan kelebihan air permukaan yang dapat dimanfaatkan untuk persediaan air baku dan kehidupan
34
akuatik dengan meresapkan air permukaan tersebut ke dalam tanah (konservasi air). Pergesaran paradigma baru tersebut diberlakukan sejak Repelita V tahun 1989, dimana perencanaan drainase sebagai prasarana perkotaan didasarkan pada konsep pembangunan berwawasan lingkungan (berkelanjutan). Pemanfaatan air hujan dimaksudkan agar air lebih banyak meresap kedalam tanah (maximazing percolation) dan tidak banyak terbuang sebagai aliran permukaan (minimazing run-off), melalui bangunan resapan, kolam tandon, serta penataan lansekap dan sengkedan (Soma, 2011b). Penanganan drainase saat ini menunjukkan kinerja yang masih rendah dibandingkan dengan sub program PLP (Penyehatan Lingkungan Permukiman) lainnya misalnya persampahan dan air limbah. Selama Pelita VI, kinerja penanganan drainase hanya mercapai 43.016 ha atau 49% luas genangan dari sasaran sebanyak 89.485 ha. Saat ini, hanya 43% dari rumah tangga yang mempunyai akses ke saluran drainase, sisanya 57% tidak mempunyai saluran drainase, atau sistem drainase yang ada dalam keadaan tergenang atau alirannya lambat dengan kapasitas aliran yang kurang memadai. Masalah sampah dan kurangnya pemeliharaan saluran juga memperparah keadaan yang ada serta mempercepat kerusakan saluran (Anonim, 2007). Evaluasi ekonomi yang dilakukan Asian Development Bank (ADB) di Indonesia tahun 1999, memperkirakan bahwa biaya sosial yang harus ditanggung dari kondisi kesehatan lingkungan yang buruk di Indonesia melebihi 2,4% dari GDP per tahun (Anonim, 2007). Kesehatan lingkungan yang buruk menyebabkan biaya ekonomi yang lebih tinggi melalui perawatan kesehatan atau kehilangan produktivitas kerja. Dampak sosial lainnya yang muncul adalah tingginya angka kematian bayi dan pengaruh kehidupan keluarga karena hambatan kegiatan pendidikan. Persampahan Menurut Tchobanoglous (1977 diacu dalam Soma, 2010), sampah didefinisikan sebagai semua jenis bahan buangan baik yang berasal dari manusia ataupun binatang yang biasanya berbentuk padat karena dianggap tidak berharga, tidak bernilai dan tidak diinginkan lagi. Fakultas Kesehatan Masyarakat (FKM)
35
Universitas Indonesia (1989 diacu dalam Nalarsih, 2007) mengemukakan bahwa pada prinsipnya yang digunakan mengenai batasan pengertian sampah adalah : 1. Adanya sesuatu bahan atau benda padat. 2. Adanya hubungan langsung atau tidak langsung dengan kegiatan manusia. 3. Bahan atau benda yang sudah tidak disenangi. 4. Bahan atau benda yang dibuang dengan menggunakan cara-cara umum.
Menurut Ditjen Cipta Karya (1991), sampah diklasifikasi menjadi 12 jenis, seperti yang disajikan pada Tabel 2. Tabel 2. Klasifikasi Sampah menurut Ditjen Cipta Karya No
Sampah
1. 2.
Basah (garbage) Kering (rubbish)
3. 4.
Debu Berbahaya
5. 6. 7. 8. 9. 10. 11.
Contohnya Sisa makanan dan sayuran a. Sampah mudah terbakar; kayu, plastik, kain. b. Sampah tidak mudah terbakar; logam, kaca, keramik Debu (asbes, kapur, semen) dan abu a. Patogen; dari rumah sakit atau klinik b. Beracun; sisa pestisida c. Radioaktif; nuklir d. Mudah meledak; petasan dll. Mobil rusak, kulkas rusak, pohon tumbang. Daun, kertas pembungkus dll. Bangkai kucing, ayam, dll. Potongan kayu, genteng, bata, sisa adukan. Berasal dari kegiatan industri. Surat rahasia negara, rahasia patent dari pabrik. Sisa tulang, kulit, daging, kotoran hewan
Bulky Waste Jalanan Binatang Mati Bangunan Industri Khusus Kandang/rumah potong hewan 12. Lumpur Lumpur selokan, septictank dll. Sumber : PU-Ditjen Cipta Karya (1991)
Pengelolaan sampah di Indonesia menuai kendala dan tantangan semenjak zaman orde baru hingga saat ini. Sejak diluncurkan Rencana Pembangunan Lima Tahun Pertama (Repelita I) di tahun 1969, sistem sanitasi mulai diperhatikan seperti persampahan dan air limbah. Puncak keberhasilan pembangunan subsektor persampahan berdasarkan The World Bank Report (1992 diacu dalam Soma, 2010) terjadi menjelang tahun 1990, yakni dengan peningkatan cakupan rata-rata pelayanan persampahan di perkotaan yang meningkat mencapai lebih dari 50% dibanding pada Repelita I yakni hanya 15%.
36
Pencapaian layanan persampahan yang digalakkan oleh pemerintah pusat maupun daerah diperhadapkan pada berbagai tantangan berat, khususnya ketika Repelita terhenti yang ditandai dengan jatuhnya pemerintahan Orde Baru pada tahun 1997. Data BPS (2000) dan Studi National Action Plan Bidang Persampahan oleh Departemen PU (2004), menunjukkan bahwa tingkat pelayanan persampahan kota menurun cukup tajam hingga mencapai angka 41% pada tahun 1997 (Soma, 2010). Sistem pengelolaannya menjadi permasalahan di kota besar, berdasarkan data BPS tahun 2000, sebanyak 384 kota di Indonesia menimbulkan sampah sebesar 80.235,87 ton/hari, sampah yang diangkut ke TPA sebesar 4,2%, dibakar sebesar 37,6%, dibuang ke sungai 4,9% dan tidak tertangani sebesar 53,3% (Rachmawati, 2011). Penurunan cakupan pelayanan persampahan pasca Orde Baru tersebut didasarkan atas adanya kendala (Zulkifli, 2005 diacu dalam Soma, 2010) sebagai berikut : 1. Tingginya pertumbuhan penduduk perkotaan yang tidak sebanding dengan kuantitas dan kualitas pelayanan persampahan. 2. Minimnya dukungan keuangan negara yang diperkirakan hanya mampu membiayai kurang dari 20% kebutuhan infrastruktur perkotaan (Departemen Permukiman dan Prasarana Wilayah, 2002) 3. Ketidaksesuaian penempatan sumberdaya manusia dalam melaksanakan tugasnya berdasarkan kompetensi yang dimiliki. 4. Kurangnya pemahaman masyarakat tentang standar kebersihan dan kesehatan serta kurangnya pengetahuan masyarakat akan mahalnya pembiayaan penanganan persampahan. 5. Pengelolaan sampah perkotaan di Indonesia belum direncanakan dengan konsep optimasi pengaturan ruang pelayanan secara spasial.
Tingkat pelayanan pengelolaan sampah meliputi kuantitas dan kualitas pelayanan. Tingkat pelayanan terdiri dari 3 (tiga) aspek yaitu strategi pelayanan, frekuensi pelayanan dan kriteria penentuan kualitas pengelolaan pelayanan.
37
1. Strategi pelayanan Strategi pelayanan adalah mendahulukan pencapaian keseimbangan pelayanan dilihat dari segi kepentingan sanitasi dan ekonomi, serta kuantitas pelayanan maupun kualitas pelayanan. 2. Frekuensi pelayanan Berdasarkan hasil penentuan skala prioritas daerah pelayanan di atas maka frekuensi pelayanan dibagi dalan beberapa kondisi sebagai berikut : a. Wilayah dengan pelayanan intensif yaitu wilayah pusat kota, jalan protokol, taman/hutan kota, kawasan pemukiman tidak teratur dan perdagangan termasuk pasar. b. Wilayah dengan pelayanan menengah yaitu wilayah pemukiman teratur, komplek pendidikan, perkantoran, komplek kesehatan dan industri. c. Wilayah dengan pelayanan rendah yaitu wilayah pinggir kota. 3. Kriteria penentuan kualitas pengelolaan pelayanan. Kriteria untuk menentukan pengelolaan pelayanan adalah sebagai berikut : a. Penggunaan jenis peralatan b. Sampah yang terisolasi dari lingkungan c. Frekuensi pelayanan d. Frekuensi penyapuan jalan e. Estetika f. Tipe kota g. Variasi daerah pelayanan h. Pendapatan dari retribusi sampah i. Timbulan sampah musiman
Menurut Rahmadi (1995 diacu dalam Yudiyanto, 2007), teknik operasional pengelolaan sampah dipengaruhi oleh karakteristik wilayah pelayanan, besarnya timbulan sampah, keserasian pola operasi antara subsistem penanganan sampah serta kondisi sosial ekonomi masyarakat. Teknik operasional pengelolaan sampah perkotaan berdasarkan acuan SNI-19-2454-2002, terdiri dari kegiatan pewadahan hingga pembuangan akhir sampah harus bersifat terpadu
38
dengan melakukan pemilahan sejak dari sumbernya. Pada Gambar 7 disajikan skema teknik operasional pengelolaan persampahan perkotaan.
Timbulan Sampah
Pemilahan, Pewadahan dan Pengolahan di Sumber
Pengumpulan Pemilahan dan Pengolahan
Pemindahan Pengangkutan
Pembuangan Akhir
Gambar 7. Teknik Operasional Sampah Perkotaan
Infrastruktur Sosial dan Ekonomi Infrastruktur sosial dan ekonomi yang dimaksud ialah prasarana dalam menunjang aktivitas sosial ekonomi masyarakat. Prasarana sosial dapat meliputi prasarana kesehatan, pendidikan, peribadatan, maupun kebudayaan dan rekreasi. Sementara untuk infrastruktur ekonomi dapat melingkupi prasarana niaga dan perdagangan. Standar kebutuhan pelayanan infrastruktur sosial ekonomi dapat diacu berdasarkan SNI 03-1733-2004 tentang Tata Cara Perencanaan Lingkungan Perumahan di Perkotaan.
Prasarana Kesehatan Prasarana kesehatan berfungsi memberikan pelayanan kesehatan kepada masyarakat, memiliki peran yang sangat strategis dalam mempercepat peningkatan derajat kesehatan masyarakat sekaligus untuk mengendalikan pertumbuhan penduduk. Penyediaan prasarana kesehatan didasarkan pada jumlah penduduk yang akan dilayani. Jenis prasarana kesehatan yang dibutuhkan berdasarkan SNI 03-17332004 adalah sebagai berikut :
39
a. Posyandu yang berfungsi memberikan pelayanan kesehatan untuk anak-anak usia balita; b. Balai pengobatan warga yang berfungsi memberikan pelayanan kepada penduduk dalam bidang kesehatan dengan titik berat terletak pada penyembuhan (curative) tanpa perawatan, dan berobat pada waktu-waktu tertentu juga untuk vaksinasi; c. Balai kesejahteraan ibu dan anak (BKIA/Klinik Bersalin), yang berfungsi melayani ibu baik sebelum, pada saat dan sesudah melahirkan serta melayani anak usia sampai dengan 6 tahun; d. Puskesmas dan balai pengobatan, yang berfungsi melayani kesehatan tingkat pertama yang memberikan pelayanan kepada penduduk dalam penyembuhan penyakit,
selain
melaksanakan program pemeliharaan kesehatan dan
pencegahan penyakit di wilayah kerjanya; e. Puskesmas pembantu dan balai pengobatan, yang berfungsi sebagai unit pelayanan kesehatan sederhana yang memberikan pelayanan kesehatan terbatas dan membantu pelaksanaan kegiatan puskesmas dalam lingkup wilayah yang lebih kecil; f. Tempat praktek dokter, merupakan salah satu prasarana yang memberikan pelayanan kesehatan secara individual dan lebih dititikberatkan pada usaha penyembuhan tanpa perawatan; dan g. Apotek, berfungsi untuk melayani penduduk dalam pengadaan obat-obatan, baik untuk penyembuhan maupun pencegahan.
Pelayanan kesehatan melalui rumah sakit dan puskesmas serta pelayanan kesehatan lainnya diharapkan dapat meningkatkan mutu kesehatan yang menjangkau seluruh masyarakat untuk mewujudkan pembangunan kesehatan yang merata. Pengembangan prasarana kesehatan, baik secara kuantitas maupun kualitas, akan mendorong peningkatan kualitas sumber daya manusia, yang merupakan faktor input (Wahyuni, 2009).
pertumbuhan ekonomi yang berkesinambungan
40
Prasarana Pendidikan Dasar penyediaan prasarana pendidikan adalah untuk melayani setiap unit administrasi pemerintahan baik yang informal (RT, RW) maupun yang formal (Kelurahan, Kecamatan), dengan mempertimbangkan usia anak sekolah yang akan dilayani. Selain itu dasar penyediaan prasarana pendidikan ini juga mempertimbangkan pendekatan desain keruangan unit-unit atau kelompok lingkungan yang ada. Hal ini tentunya dapat terkait dengan bentuk grup bangunan/blok
yang
nantinya
terbentuk
sesuai
konteks
lingkungannya.
Penempatan penyediaan fasilitas ini akan mempertimbangkan jangkauan radius area layanan terkait dengan kebutuhan dasar prasarana yang harus dipenuhi untuk melayani pada area tertentu. Perencanaan prasarana pendidikan harus didasarkan pada tujuan pendidikan yang akan dicapai, dimana prasarana pendidikan dan pembelajaran ini akan menyediakan ruang belajar harus memungkinkan siswa untuk dapat mengembangkan pengetahuan, keterampilan, serta sikap secara optimal. Oleh karena itu dalam merencanakan prasarana pendidikan harus memperhatikan: a. Berapa jumlah anak yang memerlukan fasilitas ini pada area perencanaan; b. Optimasi daya tampung dengan satu shift; c. Efisiensi dan efektifitas kemungkinan pemakaian ruang belajar secara terpadu; d. Pemakaian sarana dan prasarana pendukung; e. Keserasian dan keselarasan dengan konteks setempat terutama dengan berbagai jenis sarana lingkungan lainnya.
Prasarana Niaga dan Perdagangan Prasarana niaga dan perdagangan tidak selalu berdiri sendiri dan terpisah dengan bangunan prasarana yang lain. Dasar penyediaan selain berdasarkan jumlah penduduk yang akan dilayaninya, juga mempertimbangkan pendekatan desain keruangan unit-unit atau kelompok lingkungan yang ada. Hal ini terkait dengan bentukan grup bangunan/blok yang nantinya terbentuk sesuai konteks lingkungannya. Sementara untuk penempatan penyediaan fasilitas ini akan mempertimbangkan jangkauan radius area layanan terkait dengan kebutuhan dasar prasarana tersebut yang harus dipenuhi untuk melayani pada area tertentu.
41
Menurut skala pelayanan, penggolongan jenis prasarana niaga dan perdagangan adalah: a. Toko/warung (skala pelayanan unit RT ≈ 250 penduduk), yang menjual barang-barang kebutuhan sehari-hari; b. Pertokoan (skala pelayanan 6.000 penduduk), yang menjual barang-barang kebutuhan sehari-hari yang lebih lengkap dan pelayanan jasa seperti wartel, fotocopy, dan sebagainya; c. Pusat pertokoan atau pasar lingkungan (skala pelayanan unit kelurahan ≈ 30.000 penduduk), yang menjual keperluan sehari-hari termasuk sayur, daging, ikan, buah-buahan, beras, tepung, bahan-bahan pakaian, barang-barang kelontong, alat-alat pendidikan, alat-alat rumah tangga, serta pelayanan jasa seperti warnet, wartel dan sebagainya; d. Pusat perbelanjaan dan niaga (skala pelayanan unit kecamatan ≈ 120.000 penduduk), yang selain menjual kebutuhan sehari-hari, pakaian, barang kelontong, elektronik, juga untuk pelayanan jasa perbengkelan, reparasi, unitunit produksi yang tidak menimbulkan polusi, tempat hiburan serta kegiatan niaga lainnya seperti kantor-kantor, bank, industri kecil dan lain-lain.
Infrastruktur Hijau Kota ramah lingkungan (eco-city) merupakan dasar pemikiran yang mengacu pada prinsip-prinsip pengembangan kota yang seimbang dan berkelanjutan. Misi utama eco-city untuk membangun kota-kota yang ekologis dan seimbang dengan alam. Konsep tersebut menuntut adanya penataan ruang dan perencanaan pembangunan infrastruktur yang mendukung keseimbangan dengan alam dalam prinsip pembangunan berkelanjutan (Roseland, 1997). Dalam Ecocity World Summit 2008 yang berlangsung di San Francisco, konsep kota ramah lingkungan (eco-city) dirumuskan sebagai solusi atas pemanasan global, urbanisasi dan semakin langkanya sumberdaya yang akan terjadi di masa mendatang. Konsep kota ramah lingkungan di negara-negara maju telah dikenal dengan penataan infrastruktur berbasis lingkungan yang sehat atau disebut juga dengan istilah infrastruktur hijau (green infrastructure). Konsep pembangunan
42
infrastruktur hijau mulai menjadi tren di negara-negara maju pada abad 21 ini, dimana perencanaan konservasi menjadi salah satu tujuan utama pembangunan. Di Indonesia, konsep tersebut saat ini diimplementasikan dengan mengelola kawasan terbuka hijau (Herwirawan, 2009). Ruang Terbuka Hijau (RTH) berdasarkan Undang-Undang No. 26 Tahun 2007, adalah area memanjang/jalur dan/atau mengelompok, yang penggunaannya lebih bersifat terbuka, tempat tumbuh tanaman, baik yang tumbuh secara alamiah maupun sengaja ditanam. Jadi RTH dapat didefinisikan sebagai ruang-ruang terbuka (open space) suatu wilayah perkotaan yang diisi oleh tumbuhan, tanaman, dan vegetasi guna mendukung manfaat langsung atau tidak langsung yang dihasilkan oleh RTH dalam kota tersebut, diantaranya faktor kenyamanan, keamanan, kesejahteraan, dan keindahan wilayah perkotaan. Tujuan pembangunan RTH sebagai infrastruktur hijau di wilayah perkotaan adalah meningkatkan kualitas lingkungan hidup perkotaan dan menciptakan kota yang sehat, layak huni dan berkelanjutan. Sementara untuk fungsi RTH meliputi konservasi tanah dan air, ameliorasi iklim, pengendali pencemaran, konservasi habitat satwa dan plasma nutfah, sarana kesehatan dan olahraga, sarana rekreasi dan wisata, sarana pendidikan dan penyuluhan, area evakuasi bencana, pengendali tata ruang kota dan estetika kota (Joga dan Ismaun, 2011). Kondisi RTH di kota-kota Indonesia belum dapat mencapai standar minimum dalam penyediaannya yaitu sebesar 30% dari total luas wilayah kota. RTH rata-rata di hampir kawasan perkotaan, baik dalam kategori kota megapolitan ataupun kota kecil hanya 12,69%. Kota Jakarta sebagai kota megapolitan dan pusat ibukota negara, hanya mampu menyediakan RTH 9,8% (2011) yang masih jauh dari angka idealnya. Sementara di kota-kota besar lainnya misalnya Yogyakarta hanya memiliki RTH 17,17%, Semarang 16,64%, Medan 15,89%, Makassar 11,23%, Bandung 10,58%, dan kota Surabaya yang memiliki luasan RTH paling sedikit yaitu 9% (KemenPU, 2011 diacu dalam Joga, 2011). Namun sebenarnya konsep green infrastructure memiliki arti yang lebih luas dibandingkan dengan ruang terbuka hijau. Secara keseluruhan, infrastruktur hijau adalah sistem jaringan holistik ekologis, yang terdiri dari satu set vegetasi
43
alami, danau dan daerah lain dengan nilai ekologis yang dikenal atau potensial (yaitu hub) dan kemudian dihubungkan oleh koridor atau link (Chang et al., 2012). Sebuah jaringan keseluruhan infrastruktur hijau dapat digunakan untuk menginformasikan keputusan konservasi yang berhubungan dengan penggunaan lahan, jika dua bagian utama dari hub dan link yang secara proaktif diidentifikasi, direncanakan dan dikelola sebelum pengembangan terutama di kota, dimana pertumbuhan kota telah mengubah bahkan mengurangi kualitas dan kuantitas ruang hijau secara luas. Menurut Benedict dan McMahon (2002) infrastruktur hijau merupakan hubungan interkoneksi dari ruang terbuka yang melindungi fungsi dan nila-nilai ekosistem alam dan memberikan keuntungan bagi makhluk hidup. Jadi infrastruktur hijau merupakan kerangka dasar ekologi yang dibutuhkan untuk keberlanjutan sistem lingkungan, sosial dan ekonomi, atau dapat dikatakan sebagai sistem kehidupan alami yang berkelanjutan. Green infrastructure terdiri dari tiga sistem utama yaitu hubs, link dan site. Hubs merupakan jangkar dari jaringan infrastruktur hijau dan menyediakan komponen ekosistem alam. Hubs terdiri dari berbagai bentuk dan ukuran seperti daerah perlindungan, hutan lindung, taman nasional, dan sebagainya. Links disisi lain merupakan komponen yang menghubungkan antar hubs tersebut. Links dapat berupa jalan air (flood plain), sungai, kawasan sabuk hijau (green belt) maupun jaringan jalan. Green infrastructure juga dibekali dengan sites yang lebih kecil dari hubs dan dapat terhubung ataupun tidak dengan hubs namun menjadi bagian penting dalam jaringan infrastruktur hijau. Site pada kenyataannya dapat berupa taman ataupun ruang terbuka hijau baik yang berada di komunitas permukiman maupun kawasan rekreasi atau tempat wisata alam. Jaringan infrastruktur hijau disajikan pada Gambar 8.
44
Gambar 8. Jaringan Infrastruktur Hijau Sumber : Anonim (2010)
Kota-kota di Indonesia kini tengah mengalami degradasi lingkungan menuju bunuh diri ekologis, akibat pembangunan kota yang lebih menekankan dimensi ekonomi dari pada dimensi ekologis. Lingkungan alami dikonversi menjadi
lingkungan
binaan
tanpa
mempertimbangkan
aspek
ekologis.
Pembangunan struktur fisik kota tumbuh lebih cepat dibadingkan dengan pengembangan struktur alami kota yang kian mengalami kemunduran. Struktur alami sebagai tulang punggung RTH harus dilihat sebagai aset, potensi dan investasi kota jangka panjang yang memiliki nilai ekologis, sosial, ekonomi, edukatif, evakuasi dan estetis. Bencana ekologis yang marak terjadi dewasa ini seperti banjir, longsor, krisis air tanah, peningkatan suhu di wilayah perkotaan, pemanasan bumi, serta perubahan iklim, pada umumnya disebabkan oleh dampak pembangunan kota yang kurang mempertimbangkan aspek ekologis (Joga dan Ismaun, 2011). Kecenderungan perencanaan wilayah dengan menggunakan pendekatan green infrastructure menurut Manuwoto (2011), didasarkan pada beberapa hal, diantaranya adalah masalah fragmentasi lansekap dan pertumbuhan wilayah kumuh, masalah sumberdaya air, perlindungan terhadap spesies langka, kesehatan masyarakat, meningkatnya nilai jual hunian dan permukiman di kawasan sekitar kawasan hijau, revitalisasi kawasan perkotaan yang menekankan kawasan alami di dalam kota, smart growth policies, serta upaya pembangunan yang didasarkan
45
pada sustainability baik sosial, ekonomi maupun lingkungan. Perkembangan infrastruktur hijau dapat menjadi solusi dari kompleksitas pembangunan ekonomi yang semakin maju yang menuntut adanya pertumbuhan ekonomi yang berkelanjutan (Suhono, 2008). Prinsip green infrastructure menurut Benedict dan McMahon (2002 diacu dalam
Manuwoto,
2011)
yang
dijadikan
sebagai
tolok
ukur
untuk
menggabungkan pendekatan infrastruktur hijau menjadi penggunaan lahan, rencana pembangunan ekonomi dan kebijakan adalah sebagai berikut: 1.
Infrastruktur hijau harus berfungsi sebagai kerangka kerja untuk konservasi dan pembangunan.
2.
Desain dan rencana infrastruktur hijau sebelum pembangunan.
3.
Linkage menjadi kunci antara wilayah ekologis maupun antara berbagai lembaga
4.
Infrastruktur hijau berfungsi di seluruh wilayah hukum dan pada skala yang berbeda.
5.
Infrastruktur hijau didasarkan pada ilmu yang tepat dan teori perencanaan penggunaan lahan dan prakteknya.
6.
Infrastruktur hijau adalah investasi publik yang sangat penting.
7.
Infrastruktur hijau melibatkan mitra kunci serta melibatkan pemangku kepentingan (stakeholders) yang beragam. Undang-Undang No. 26 tahun 2007 telah diamanatkan tentang proporsi
luas RTH minimal 30% dari luas wilayah kota yang terdiri atas RTH Publik 20% (dikelola oleh pemerintah daerah) dan RTH privat 10% (dimiliki masyarakat dan swasta). Luas RTH minimal 30% bertujuan untuk menyeimbangkan ekosistem kota, baik sistem hidrologi, klimatologi untuk menjamin udara bersih, maupun sistem ekologis lainnya, termasuk menjaga keanekaragaman hayati dan meningkatkan estetika kota. Undang-undang tersebut telah mengakomodasi pembangunan kota yang tetap mempertimbangkan fungsi kelestarian lingkungan (ekologis) atau pembangunan kota berwawasan lingkungan dan berkelanjutan.