TINJAUAN PUSTAKA Kelinci Kelinci merupakan ternak mamalia yang mempunyai banyak kegunaan. Kelinci dipelihara sebagai penghasil daging, wool, fur, hewan penelitian, hewan tontonan, dan hewan kesenangan (Ensminger, 1991). Dahulu kelinci (Orytologus cuniculus) dimasukkan ke dalam golongan rodensia, namun sekarang digolongkan ke dalam ordo tersendiri yaitu Logomorpha (Chapman dan Flux, 1992). Masyarakat telah lama mengembangkan kelinci sebagai ternak penghasil daging. Kelinci menghasilkan daging putih, rasanya enak, seratnya lembut bergizi dan merangsang selera makan, perdagingan padat, perbandingan bobot hidup dan bobot karkas mencapai 50%. Ternak ini memiliki kadar protein yang cukup tinggi tetapi kadar energi, lemak, kolesterol dan garam lebih rendah dibandingkan ternak lain. Daging kelinci mengandung protein tinggi (18,5% dari berat segar) dan rendah kolesterol (136mg/100g) (Cheeke et al., 1987). Umumnya kelinci dikelompokkan berdasarkan tujuan pemeliharaannya, yaitu sebagai penghasil daging, kulit rambut atau kelinci hias, meskipun ada tujuan ganda (Raharjo et al., 1988). Cheeke et al., (1987) menyatakan bahwa kelinci merupakan sumber daging karena mempunyai sifat-sifat yang cocok sebagai ternak penghasil daging di negara sedang berkembang. Keuntungan memelihara kelinci selain sebagai penghasil daging, memelihara kelinci tidak membutuhkan areal tanah yang luas. Kelinci
merupakan ternak yang cocok
dipelihara di negara berkembang dan mulai memanfaatkan kelinci sebagai penghasil daging. Selain itu, juga memiliki potensi : 1) ukuran tubuh yang kecil, sehingga tidak memerlukan banyak ruang, 2) tidak memerlukan biaya yang besar dalam investasi ternak dan kandang, 3) umur dewasa yang singkat (4-5 bulan), 4) kemampuan berkembang biak yang tinggi, 5) masa penggemukan yang singkat (kurang dari dua bulan sejak disapih). Pertumbuhan Kelinci Selamat (1996) menyebutkan bahwa kelinci betina dapat kawin pertama kali pada umur 10-12 minggu, tetapi pada saat itu tidak menghasilkan ovulasi. Timbulnya pubertas sangat beragam, tergantung pada bangsa. Perkembangan reproduksi pada bangsa kelinci tipe kecil atau sedang lebih cepat yaitu pada umur
4-5 bulan dibandingkan kelinci besar yaitu 5-8 bulan. Menurut Chekee et al., (1987), kelinci seperti hewan lainnya terjadi pertumbuhan prenatal (dalam kandungan) dan postnatal (setelah lahir). Bobot anak sampai umur 21 hari sangat tergantung pada produksi air susu induknya. Selama periode pertumbuhan, sejak penyapihan hingga pemotongan merupakan fase yang paling efisien dalam mengkonversikan pakan untuk mencapai bobot hidup yang diinginkan. Oleh karena itu, bila pakan yang disajikan cukup mengandung protein, vitamin dan mineral maka hewan akan menjadi gemuk (Sugeng, 1993). Selama dalam proses pertumbuhan, ternak dipengaruhi oleh beberapa faktor antara lain faktor genetik, pemberian pakan, suhu, kemampuan beradaptasi dan lingkungan (Smith dan Mangkoewidjojo, 1988). Penelitian yang telah dilakukan sangat sedikit pada produksi kelinci komersil dibandingkan dengan ternak spesies lainnya. Oleh karena itu, banyak lagi masalah yang lain belum diketahui, dan lebih sedikit informasi yang tersedia pada pemberian pakan optimal, menternakkan, pencegahan penyakit, dan sistem manajemen (Chekee et al., 1987). Pertambahan Bobot Badan Thalib et al., (2001) menyatakan bahwa pertambahan bobot tubuh ternak ruminansia sangat dipengaruhi oleh kualitas dan kuantitas pakan, maksudnya penilaian pertambahan bobot tubuh ternak sebanding dengan ransum yang dikonsumsi. Pertambahan bobot badan dari hasil penelitian Kurniawati (2001) yang menggunakan pakan dengan kadar protein yang lebih rendah dari 14% menghasilkan pertambahan bobot badan berkisar 12,780 ± 2,741 g/ekor/hari. Konsumsi Konsumsi adalah jumlah pakan yang dimakan oleh ternak atau sekelompok ternak selama periode tertentu dan ternak tersebut mempunyai akses bebas pada pakan dan tempat makan. Menurut Parakkasi (1999) konsumsi pakan merupakan faktor esensial untuk menentukan kebutuhan hidup pokok dan produksi karena dengan mengetahui tingkat konsumsi pakan dapat ditentukan kadar zat makanan dalam ransum untuk memenuhi hidup pokok dan produksi. Herman (2000) menyatakan bahwa pemenuhan pakan kelinci dihitung berdasarkan konsumsi bahan kering. Kebutuhan bahan kering menurut NRC 4
(1977) yaitu untuk hidup pokok 3-4% dari bobot badan dan untuk pertumbuhan normal 5-8% dari bobot badan. Parakkasi (1999) menyatakan bahwa konsumsi ditentukan oleh ; (1) berat atau besar badan, (2) jenis makanan (bahan makanan yang berdaya cerna tinggi), (3) umur dan kondisi ternak, (4) kadar energi dari bahan makanan, (5) stress dan (6) sex atau jenis kelamin. Konversi Pakan Konversi pakan merupakan perbandingan antara jumlah pakan yang dikonsumsi untuk menghasilkan 1 kg bobot hidup. Berdasarkan hasil penelitian Muhidin (2004) konversi pakan paling baik untuk pengemukan kelinci muda fryer adalah sebesar 6,63 yaitu pakan yang mempunyai kadar protein tinggi. Menurut Campbell dan Lasley (1985), konversi pakan dipengaruhi oleh kemampuan ternak dalam mencerna bahan pakan, kecukupan zat pakan untuk kebutuhan hidup pokok, pertumbuhan dan fungsi tubuh lain serta jenis pakan yang dikonsumsi. Raharjo et al., (1992) menyatakan bahwa pada tingkat energi tercerna (TDN) yaitu 51,14; 56,82; dan 62,50% serta protein 14, 15 dan 16% tidak memberikan perbedaan yang nyata terhadap performa kelinci Rex lepas sapih yakni pada konsumsi pakan, pertambahan bobot badan, dan konversi pakan. Tingkat pertumbuhan dan efisiensi pakan terbaik adalah pada pemberian pakan dengan kandungan TDN 56,82% dan protein 16%. Lingkungan Menurut
Anggorodi
(1990)
iklim
dan
suhu
lingkungan
dapat
mempengaruhi tingkat nafsu makan dan jumlah pakan yang dikonsumsi ternak. Suhu dan kelembaban yang tinggi akan mengakibatkan rendahnya konsumsi pakan dan pertambahan bobot badan yang rendah pula. Produktifitas kelinci dapat mencapai optimal pada kondisi lingkungan dengan suhu udara 18oC dan tingkat kelembaban udara 70% (Lukefahr dan Cheeke, 1990). Menurut Fernandez et al., (1995) suhu yang tinggi yaitu 30oC menyebabkan bobot hidup yang rendah pada kelinci betina, bobot total anak saat lahir yang relatif rendah, pertumbuhan yang lambat dan ketahanan hidup yang rendah pada anak kelinci.
5
Rumput Lapang Menurut Harfiah (2006), umumnya hijauan makanan ternak di daerah tropis, khususnya rumput alam mempunyai fase pertumbuhan yang sangat singkat sehingga cepat mencapai keadaan membentuk bunga dan biji sehingga proses lignifikasi terjadi lebih awal, yang mempengaruhi sifat ini adalah faktor curah hujan. Sifat lain yang dimiliki rumput ini adalah produksi yang tinggi akan tetapi kualitasnya relatif rendah. Kualitas dan kuantitas rumput lapang rendah terutama pada musim kemarau menyebabkan penyediaan hijauan sepanjang tahun tidak terlaksana. Pakan hijauan menurut Prasetyo dan Herawati (2006) tidak hanya satu jenis hijauan saja yang diberikan untuk kelinci melainkan ada tiga jenis hijauan yang pemberiannya sesuai ketersediaan hijauan tersebut. Hijauan tersebut yaitu jakung/jukut loseh (Gallinsoga parvilora), limbah daun wortel dan kubis. Sudaryanto et al., (1984) menyatakan bahwa hijauan yang paling baik untuk dikonsumsi kelinci adalah hijauan ketela rambat dan rumput lapang karena memiliki tingkat palatabilitas yang tinggi. Selain hijauan, pakan ternak kelinci lainnya adalah konsentrat. Pemberian konsentrat dari masing-masing peternak pada kondisi yang ada terlihat masih sangat terbatas dan sangat bervariasi yaitu ada yang memberikan satu kali per hari, ada yang memberikan dua hari sekali dan bahkan ada yang memberikan seminggu sekali, untuk satu ekor kelinci dewasa atau muda diberikan konsentrat sebanyak 100-150 gram dan untuk kelinci sapihan sebanyak 50 gram. Raharjo et al., (2004) melaporkan hasil penelitiannya pada ternak kelinci Rex yang diberi rumput lapang ad libitum (100%) dan rumput lapang ad libitum ditambah konsentrat, hasil terbaik ditunjukkan oleh pemberian rumput lapang ad libitum + 60 g konsentrat dengan pertambahan bobot badan sebesar 1191 g/ ekor selama 12 minggu sedangkan pada ternak kelinci yang diberikan rumput lapang ad libitum tanpa konsentrat pbb hanya 610 g/ekor dalam waktu yang sama. Proses Pembuatan Tahu Proses pembuatan tahu terdiri atas dua tahap yaitu pertama pembuatan susu kedelai dan kedua penggumpalan protein dari susu kedelai dan kedua penggumpalan protein dari susu kedelai sehingga selanjutnya dapat dicetak 6
menurut bentuk yang diinginkan. Bagan proses pembuatan tahu menurut (Koswara, 1992) bisa dilihat pada Gambar 1. Kedelai bersih Perendaman 8 – 12 jam Pengupasan Pencucian atau perendaman kembali (30 – 40 menit) Penggilingan dengan air panas (80 – 100 oC) dengan perbandingan air:kedelai = 8:1 sampai 10:1 Bubur kedelai Penyaringan
Ampas tahu
Filtrat Pendidihan 30 menit Penggumpalan Whey
Penyaringan Curd (gumpalan tahu) Pengepresan Pemotongan Tahu
Gambar 1. Bagan Proses Pembuatan Tahu (Koswara, 1992) Ampas Tahu Ampas tahu segar masih mengandung air sekitar 84,5% dari bobotnya. Kadar air ampas tahu yang tinggi dapat mengakibatkan umur simpannya pendek, ongkos pengangkutan tinggi dan penggunaan yang terbatas. Ampas tahu berasal dari kedelai. Oleh karena itu antinutrisi yang terdapat pada ampas tahu sama dengan pada kedelai hanya konsentrasinya lebih sedikit karena telah mengalami 7
pengolahan. Ampas tahu tidak mempunyai sifat pencahar. Penanganan ampas tahu harus dilakukan dengan baik agar kandungan nutrisinya tidak menurun. Ampas tahu digunakan berkisar antara 12-95% dari campuran konsentrat di lapangan. Berdasarkan perhitungan kadar air yang ada pada ampas tahu, sebaiknya ampas tahu basah tidak diberikan pada ternak lebih dari 41% (Tim Laboratorium Ilmu dan Teknologi Pakan Fakultas Peternakan IPB, 2003). Ampas tahu mengandung kadar protein dan serat kasar yang lebih tinggi dibandingkan dengan bungkil kelapa. Ampas tahu kandungan serat kasarnya tinggi, tetapi karena kandungan proteinnya tinggi pula maka ampas tahu dapat dimanfaatkan oleh ternak ruminansia. Rianto et al. (2004) menyatakan bahwa ampas tahu dapat digunakan sebagai bahan pakan pengganti konsentrat, karena memiliki kandungan protein kasar yang tinggi yaitu 18,21%. Pemanfaatan hasil ikutan merupakan pendaurulangan sumber daya alam sehingga dapat lebih bermanfaat bagi penanggulangan kelangkaan pakan. Ketersediaan hasil ikutan jumlahnya cukup melimpah dan terkonsentrasi di daerah tertentu, seperti halnya di daerah Jawa Barat hanya terdapat pada kota-kota tertentu yaitu Bogor, Bandung, dan Sumedang. Peternak di daerah tersebut memanfaatkan ampas tahu sebagai pakan ternaknya (Tarmidi, 2004) Penelitian menggunakan ampas tahu untuk campuran pakan konsentrat telah dilakukan oleh Lestari et al., (2004) pada kelinci periode pertumbuhan. Pada penelitian tersebut ampas tahu diberikan sebagai pakan konsentrat tunggal dan ampas tahu dikombinasikan dengan bekatul, dibandingkan dengan pemberian bekatul bersama konsentrat komersial. Ketiga macam konsentrat tersebut diberikan bersama rumput lapang. Hasil penelitiannya menunjukkan bahwa PBBH yang diperoleh sebesar 31,93; 30,53 dan 33,95 g/ekor/hari, dengan konversi pakan 5,17; 5,16 dan 4,47. perhitungan feed cost per gain menunjukkan bahwa pemberian pakan kelinci berupa ampas tahu sebagai konsentrat tunggal menghasilkan feed cost per gain paling rendah dibandingkan pemberian konsentrat yang lain, artinya biaya pakan yang digunakan untuk meningkatkan satu kg bobot badan ternak paling murah.
8
Kelemahan ampas tahu diantaranya memiliki kandungan air yang tinggi yang dapat mengakibatkan umur simpannya pendek dan penggunaannya terbatas. Ampas tahu tidak tahan lama disimpan, cepat asam dan busuk karena aktivitas mikroba-mikroba perusak seperti bakteri, kapang dan ragi. Sifat ampas tahu yang tidak tahan lama disimpan mengakibatkan penggunaan ampas tahu tidak bisa lebih dari sehari atau langsung diberikan pada ikan. Penggunaan ampas tahu akan lebih efisien jika dilakukan suatu cara pengawetan. Pengeringan merupakan cara pengawetan namun memerlukan waktu dan tempat sehingga tidak aman dari kontaminan (jika dijemur), dan energi (jika dioven). Pembuatan silase merupakan cara pengawetan yang lebih ekonomis dan aman sehingga dapat memberikan nilai tambah bagi pengusaha tahu dan di lain pihak tidak banyak merubah bentuk dan nilai gizi ampas tahu tersebut (Haetami et al., 2006). Kebutuhan Pakan untuk Pertumbuhan Kebutuhan pakan tergantung pada zat makanan yang dikandungnya, bahan makanan serta tujuan pemeliharaannya. Kebutuhan zat makanan kelinci yang sedang tumbuh terdapat pada Tabel 1. Tabel 1. Kebutuhan Zat Pakan Kelinci pada Berbagai Status Fisiologis Kebutuhan untuk
Zat Pakan Hidup pokok
Pertumbuhan
Bunting
Menyusui
DE (Kkal)
2100
2500
2500
2500
TDN (%)
55
65
58
70
Sk (%)
14
10-12
10-12
10-12
Lemak (%)
2
2
2
2
PK (%)
12
16
15
17
Ca (%)
-
0,40
0,45
0,75
P (%)
-
0,22
0,75
0,50
Sumber: Banerjee (1982)
Kebutuhan Bahan Kering Jumlah pakan yang diberikan harus memenuhi jumlah yang dibutuhkan oleh kelinci sesuai dengan tingkat umur/bobot badan kelinci. Pemberian pakan ditentukan berdasarkan kebutuhan bahan kering. Jumlah pemberian pakan 9
bervariasi tergantung pada periode pemeliharaan dan bobot badan kelinci. Kebutuhan bahan kering kelinci pada berbagai periode pemeliharaan terdapat pada Tabel 2. Tabel 2. Kebutuhan Bahan Kering Pakan Berdasarkan Periode Pemeliharaan Status
Bobot
Bahan
Kebutuhan bahan kering
(kg)
kering (%)
(g/ekor/hari)
Muda
1,8-3,2
5,4-6,2
112-173
Dewasa
2,3-6,8
3,0-4,0
92-104
Bunting
2,3-6,8
3,7-5,0
115-251
4,5
11,5
520
Menyusui dengan anak 7 ekor
Sumber : NRC (1977) dan Ensminger (1991)
Smith dan Mangkuwidjojo (1988) manyatakan bahwa kualitas pakan merupakan faktor penting bagi kemampuan kelinci untuk mencapai kemampuan genetik untuk pertumbuhan, pembiakan, umur produksi maupun reaksi terhadap perlakuan. Apabila ternak tersebut diberi pakan yang berkualitas baik, maka pertumbuhannya akan lebih cepat dan mencapai bobot hidup tertentu pada umur yang lebih awal.
10