TINJAUAN PUSTAKA Bangsa-bangsa Kelinci
Kelinci domestik (Oryctolagus cuniculus) yang ada saat ini berasal dari kelinci liar dari Eropa dan Afrika Utara. Beberapa bangsa kelinci ditemukan pada abad ke 16 yang menyebar di Perancis dan Italia.
Pada mulanya kelinci
diklasifikasikan dalam ordo rodensia (binatang mengerat) yang bergigi seri empat, tetapi akhirnya dimasukkan dalam ordo lagomorpha karena bergigi seri enam (Cheeke et al. 1987). Kelinci (Oryctolagus cuniculus) diklasifikasikan dalam Kerajaan Animalia, filum Chordata, kelas Mammalia, ordo Lagomorpha, famili Leporidae, genus Oryctolagus dan spesies O. cuniculus (Spacerad.com 2004). Awalnya kelinci merupakan objek perburuan, budidaya kelinci sebagai hewan pelihaaraan baru dilakukan pada abad ke-16, diawali dari negara-negara Eropa yaitu Perancis, Italia, dan Inggris. Pada awal abad ke-19, kelinci mulai dipelihara di bagian barat Eropa dan negara-negara perbatasan, juga di beberapa negara seperti Australia dan New Zealand. Pengembangbiakan kelinci terus meningkat pada perang Dunia Kedua karena kekurangan pangan (Lebas et al. 1986). Kromosom kelinci berjumlah 44 buah, umur hidupnya (life span) 5-10 tahun dengan umur produktif 2-3 tahun dan memiliki kemampuan beranak 10 kali per tahun. Bobot lahir kelinci antara 30-100 g/ekor (rataan 50-70 g/ekor), bobot dewasa 5-10 kg/ekor (Harris 1994). Ditambahkannya bahwa kelinci beraktivitas secara umum pada tengah malam dan di kala hari mulai senja tetapi dapat menyesuaikan diri terhadap pengaruh lingkungan. Menurut Cheeke et al (1987), kelinci memiliki kemampuan biologis yang menonjol terletak pada sistem reproduksi dan sistem pencernaannya, yaitu (1) umur empat bulan kelinci sudah dapat mencapai dewasa kelamin dan dapat dikawinkan, (2) setiap pejantan dapat dikawinkan dengan 8-10 betina dengan tingkat keberhasilan pembuahan 95%, (3) lama bunting kelinci rata-rata 31-32 hari, (4) rataan jumlah anak per kelahiran 6-7 ekor dengan tingkat keselamatan 85-95%, dan (5) anak kelinci disapih oleh
5
induknya rata-rata pada umur 6-8 minggu, serta (6) segera setelah melahirkan, induk kelinci dapat dikawinkan kembali. Produktivitas kelinci New Zealand White, Lokal dan Rex yang dipelihara di lingkungan tropis Indonesia dapat dilihat pada Tabel 1. Kelinci memiliki kemampuan beranak setiap 40 hari dengan jumlah anak lahir (litter size at birth) lebih dari 8 ekor. Kelinci Rex memiliki interval beranak yang dapat mencapai 40 hari, tetapi jumlah anak lahir dan jumlah anak sapih hanya 7.1 ekor dan 5.2 ekor. Tingginya tingkat kematian (23-43%) masih saja terjadi pada masa menyusui. Pemeriksaan post-mortem membuktikan kejadian yang tertinggi akibat enteritis (Raharjo 1994). Tabel 1. Performa produksi kelinci New Zealand White, Lokal dan Rex (Raharjo 1994) Peubah NZW1 NZW2 Lokal3 Rex4 Rex5 Rex6 Laju kebuntingan (%)
86.0
89.9
-
-
80.9
-
-
31.6
-
-
31.6
-
38.8
37.8
-
40.1
-
>75
-
3.1
2.3
3.1
2.8
-
LS saat lahir (ekor)
8.5
9.1
6.3
7.1
5.3
6.4
LS saat sapih (ekor)
6.1
7.2
5.9
5.2
2.9
5.6
Bobot sapih (g)
410*
550
510**
480
443
390
Mortalitas, lahir-sapih (%)
28.0
16.9
15.1
22.7
43.3
17.9
Periode kebuntingan (hari) Interval beranak (hari) Bobot induk saat beranak (kg)
Sumber : 1Partridge (1988) Inggris; 2Raharjo et al. (1986), Oregon, USA; 3Sartika dan Diwyanto (1986), Bogor, Indonesia; 4Raharjo dan Tangenjaya (1988), Bogor, Indonesia; 5Sartika dan Raharjo (1992), Bogor, Indonesia; 6Sastrodihardjo et al (1992), Brebes, Indonesia. Keterangan : LS = litter size; * sapih umur 25 hari; ** sapih umur 35 hari; a pakan premiks ad lib.; b pakan premik terbatas + hijauan. Menurut Fekete (1985), kelinci adalah ternak herbivora non-ruminansia yang mempunyai lambung tunggal dengan pembesaran unik di bagian caecum dan colon. Kedua bagian alat pencernaan ini berfungsi mirip dengan rumen, sehingga kelinci
disebut
sebagai
hewan
ruminansia
semu
(pseudo-ruminant).
Ditambahkannya, bahwa kelinci juga bersifat coprophagy, yaitu dapat mengkonsumsi kotoran lunaknya sendiri langsung dari anus, sehingga protein
6
dalam hijauan dapat dimanfaatkan secara efisien. Ditegaskan oleh Cheeke et al. (1987), bahwa pemanfaatan protein yang efisien tersebut disebabkan oleh penyerapan ulang terhadap zat-zat makanan yang telah mengalami pencernaan awal oleh bakteri-bakteri yang berada di dalam caecum dan colon yang dapat mensintesis beberapa zat makanan antara lain protein dan vitamin. Lebas et al. (1986), mengelompokkan kelinci menjadi kelinci besar, kelinci medium, kelinci ringan dan kelinci kecil berdasarkan ukuran tubuh dewasa, pertumbuhan rata-rata, dan umur mulai dewasa. Kelinci besar adalah kelinci dengan bobot dewasa lebih dari 5.0 kg, potensi pertumbuhan bangsa ini dapat dieksploitasi terutama untuk persilangan. Termasuk kelompok ini adalah kelinci Bouscat Giant White, French Lop, Flemish Giant dan French Giant Papillon. Bangsa ini secara genetik dapat memperbaiki pertumbuhan pada bangsa lain. Kelinci medium adalah kelinci dengan bobot dewasa 3.5-4.5 kg, kelinci ini merupakan kelinci yang dapat dipelihara secara intensif untuk produksi daging. Kelinci ini memilki nilai productivitas unggul yaitu fertilitas yang tinggi, pertumbuhan cepat, perkembangan perototan yang bagus, kualitas daging yang baik. Bangsa kelinci yang termasuk kedalam bangsa ini adalah English Silver, German Silver, Champagne d’Argent, New Zealand Red, New Zealand White dan Grand Chinchilla. Kelinci ringan adalah kelinci dengan bobot dewasa 2.5-3.0 kg, kelinci tipe ringan dapat berkembang dengan sangat cepat dan merupakan induk yang baik. Konsumsi pakan lebih sedikit daripada kelinci tipe besar dan medium, dan bisa disilangkan untuk menghasilkan tipe ringan dengan berat karkas 1.0-1.2 kg. Tipe ini terdiri atas Himalaya, Small Chinchilla, Dutch, dan French Havana. Kelinci kecil adalah kelinci dengan bobot dewasa 1 kg, kelinci banyak digunakan sebagai kelinci pertunjukkan dan sebagai hewan kesenangan.
Rex Mutasi yang terjadi pada kelinci Rex saat ini menjadikannya bangsa kelinci yang menarik. Fenomena yang ada pada struktur bulu kelinci Rex, yaitu kondisi genetik yang resesif, pertama kali ditemukan di Perancis pada tahun 1919. Adanya mutasi pada kelinci Rex ini menjadi kesuksesan pada perlombaan yang diselenggarakan diseluruh Eropa.
Amerika Serikat pertama kali mengimpor
7
kelinci pada tahun 1929, atau berselang 10 tahun sejak ditemukannya mutasi tersebut (Lukefahr dan Robinson 1988). Cheeke et al. (1987), menerangkan bahwa kelinci Rex pertama kali dikembangkan di Perancis dan berkembang di dinegara-negara lain, seperti Amerika pada tahun 1929, dengan tujuan utama sebagai hewan hobi, kontes dan pameran. Lama-kelamaan berkembang menjadi penghasil kulit-bulu (Fur), daging (Food) dan keindahan (Fancy) yang dikelola secara komersial. Menurut Lukefahr dan Robinson (1988), secara genetik, terdapat tiga pasang gen yang unik pada kelinci Rex yang sudah ditemukan, yaitu r-1, r-2 dan r-3. Setiap pasang gen terletak pada lokus atau kromosom yang berbeda. Gen kelinci Rex dari Perancis disebut r-1, umumnya ditemukan pada kelinci Rex di Eropa dan Amerika.
Gen r-2, disebut sehagai gen German short-hair (bulu
pendek Jerman) dan gen r-3 disebut gen Normandy (Normandia). Gen r-2 dan r-3 telah hilang dari populasi kelinci akibat ketidak hati-hatian karena tidak adanya ketertarikan pembibit untuk mempertahankan keragamannya. Ditambahkannya, bahwa pengaruh gen Rex adalah mereduksi panjang semua ukuran bulu, terutama guard hair, menjadikan panjangnya menyerupai underfur. Prasetyo (1999), menyatakan bahwa kehalusan bulu kelinci Rex disebabkan oleh dua faktor, yaitu diameter bulu kasar dan struktur kutikula. Rataan diameter bulu kasar kelinci Rex relatif kecil. Helai kutikula bulu relatif pendek, tidak banyak menutup helai kulikula bulu di depannya, dengan demikian gerak “ruas” helai bulu di depannya tidak tertahan sehingga helai bulu lemas, tidak kaku.
Tsukiyo.org (2004), menerangkan bahwa, genotipik kelinci Rex
adalah ekspresi sepasang alel rr, dengan alel r bersifat resesif terhadap bulu normal R. Kelinci Rex akan terlihat berfenotipik bulu normal bila memiliki genotipik RR dan Rr, sedang kelinci yang memiliki bulu rex bergenotipik rr. Genotipik kelinci Rex secara lengkap adalah F_L_mmrrSa_ (berbulu, pendek, tidak mane, rex dan tidak berkilap). Dalam rangka memperkenalkan jenis kelinci baru di Indonesia, untuk produksi kulit bulu, telah didatangkan jenis kelinci Rex dari Amerika pada tahun 1988 dan dari uji coba di laboratorium (Balai Penelitian Ternak, Ciawi dan SubBalai Penelitian Ternak Klepu, Ungaran) dan beberapa tempat di lapangan
8
(misalnya, di Pandansari (Brebes), Wonosobo (Jawa Tengah), Ujung Pandang (Sulawesi Selatan), Cisarua dan Bandung (Jawa Barat)). Ternak kelinci Rex dapat cepat beradaptasi dengan lingkungan berhawa dingin dan perlu adanya perhatian yang baik dalam proses pemeliharaannya (Raharjo et al. 1995). Kelinci
Rex
mempunyai
bulu
yang
halus,
tebal,
panjangnya
seragam/uniform (1.27 – 1.59 cm), tidak mudah rontok dan tampak sangat menarik (Raharjo 1988). Ditambahkannya bahwa bobot kelinci Rex yang dewasa bisa mencapai 2.7 – 3.6 kg, tetapi kecepatan pertumbuhannya tidak begitu baik dibandingkan dengan kelinci New Zealand White. Interval kelahiran kelinci Rex + 40 hari, mortalitas 3.45%, waktu sapih 28 hari, jumlah anak perkelahiran 5 ekor dan bobot sapih 480 g. . Satin Menurut Lukefahr (1981), penampilan pertama kelinci Satin ditemukan pada tahun 1931, dari anakan kelinci havana coklat.
Bangsa kelinci ini
diternakkan untuk diambil daging dan kulit bulu dengan berat dewasa 4.3 kg untuk jantan dan 4.5 kg untuk betina. Menurut Rabbitandcavydirectory.com (2006), kelinci Satin dikenal baik sebagai kelinci yang dikembangkan sebagai ternak produksi dan pertunjukan.
Secara komersial, kelinci Satin dipelihara
sebagai produsen fur dan daging. Kelinci Satin berasal dari kekhususan fur yang menjadikan bulunya berbeda dibanding kelinci jenis lain. Kelinci Satin memiliki helai bulu yang mengkilap dan memantulkan cahaya yang menjadikan bulu berkilat unik. Dinyatakan oleh Lukefahr (1981), bahwa gen Satin sa diturunkan secara resesif sederhana.
Pada keadaan homosigot resesif (sasa), permukaan bulu
kelinci Satin memantulkan cahaya seperti cermin, pantulan ini berasal dari kehalusan kutikula yang tidak biasa, yaitu tiadanya sebagian sel medula dan adanya
kecenderungan
bulu
yang
lebih
tipis
dibandingkan
normal.
Ditambahkannya bahwa gen Satin menyebabkan robohnya sel bulu yang berisi udara sebagaimana bulu yang normal sehingga menghasilkan bulu yang indah, berkilauan dan transparan penampilannya menjadikan warna bulu yang sangat indah. Genotipik kelinci Satin secara lengkap adalah F_L_mmR_sasa (berbulu,
9
pendek, tidak mane, tidak rex dan berkilap) (Tsukiyo.org. 2004). Bulu kelinci Satin tidak membutuhkan perhatian berlebih dalam perawatannya selain penyisiran yang rutin. Warna bulu kelinci Satin bervariasi dari hitam, biru, kelompok broken, californian, chinchillla, coklat, otter, merah, tembaga, siamese dan putih (Rabbitandcavydirectory.com 2006). Kelinci Satin didatangkan pertama kali ke Indonesia (Balitnak-Ciawi) dari Amerika Serikat pada bulan Agustus 1996 (Prasetyo 1999). Kelinci Satin ini selanjutnya dipergunakan sebagai materi pembentukan kelinci jenis baru melalui persilangan dengan kelinci Rex.
Persilangan ini telah berhasil menghasilkan
kelinci jenis baru yang memiliki kualitas kulit bulu gabungan karakteristik kelinci Satin yang berkilau dengan kelinci Rex yang lembut bagai beludru.
RS Kelinci RS adalah kelinci hasil persilangan antara kelinci Rex dan Satin. Prasetyo (1999) mencoba membentuk kelinci RS dengan harapan diperoleh kelinci yang memiliki kulit bulu yang halus kilap yang merupakan perpaduan gen halus dari kelinci Rex (F_L_mmrrSa_) dan bulu yang mengkilap dari kelinci Satin (F_L_mmR_sasa). Sifat bulu kelinci RS terbentuk karena terkumpulnya pasangan gen homosigot resesif untuk bulu halus (rr) dan bulu kilap (sasa). Struktur bulu yang terbentuk dari pasangan gen tersebut menyebabkan hilangnya sel-sel pada medula batang bulu. Selanjutnya ditambahkan bahwa dengan kondisi genotipik yang homosigot resesif ganda (F_L_mmrrsasa), bila kelinci berbulu halus kilap dikawinkan sesamanya berdasarkan teori Mendel tidak akan terjadi keragaman sifat, karena segregasi gen tidak akan menghasilkan kombinasi baru. Semua anak yang dihasilkan akan berbulu halus kilap. Prasetyo (1999) telah menghasilkan sejumlah 23 ekor (5.42%) kelinci RS dari total 424 ekor anak sapih (573 ekor anak lahir) dari kelinci F2 hasil persilangan resiprokal antara kelinci Rex dan Satin. Rataan bobot kelinci RS umur 0, 4, 8, 12, 16 dan 20 minggu berturut-turut adalah 49.8 g, 393.5 g, 915.8 g, 1454 g, 1968 g dan 2513 g. Ditambahkannya bahwa pada umur empat minggu macam tipe bulu kelinci sudah dapat dideteksi sehingga kelinci berbulu normal dapat dikeluarkan dan dijadikan kelinci potong.
10
New Zeland White New Zealand White (NZW) adalah kelinci yang berasal dari Amerika. Pada tahun 1916, WS Preshaw pertama kali membibitkan kelinci New Zealand White dengan tujuan membentuk kelinci penghasil daging dan kulit yang unggul. Asal-usul tetuanya tidak diketahui, namun dipercaya bahwa Angora turut berperan dalam pembentukannya (Wikipedia 2007). Lebas et al. (1986), menerangkan bahwa kelinci ini berwarna putih polos, mata merah, bobot dewasa 4.1-5.0 kg. Umur kawin pertama 144 hari, rataan litter size lahir 8.5 ekor, litter size hidup 8.0 ekor dan litter size sapih 6.5 ekor. Menurut Cheeke et al. (1987), kelinci New Zealand White dikenal sebagai produsen daging komersial.
Ditambahkannya
bahwa banyak karakteristik pada kelinci ini yang sesuai, yaitu laju pertumbuhan yang cepat, kualitas karkas yang baik, tingkat kesuburan yang tinggi, dan sifat keindukan yang baik. Keunggulan lain dari kelinci New Zealand White adalah kelinci yang umum dipergunakan dalam penelitian sebagai hewan percobaan untuk penelitian biomedis (Cheeke et al. 1987).
Menurut Wikipedia (2007), kelinci NZW
menampilkan respon yang sama sebagaimana manusia pada penyakit dan pengobatannya.
Ditambahkan, reaksi ini menjadikan kelinci NZW selalu
dipergunakan di laboratorium pharmasi pada rumah sakit umum di Amerika Serikat, pusat penelitian kanker, dan rumah sakit universitas.
Kelinci NZW
dipergunakan untuk menguji dan pengobatan untuk penyakit seperti diabetes, difteria, tuberkulosis, kanker dan penyakit jantung.
Pengaruh krim kulit,
kosmetika, pangan khusus dan makanan tambahan juga diujikan terlebih dahulu pada kelinci NZW.
Flemish Giant Kelinci Flemish Giant diduga merupakan keturunan dari kelinci Patagonian di Argentina. Kelinci Patagonian ini dibawa ke Eropa pada abad ke16 dan 17 oleh pedagang dari Belanda dan dikembangkan sebagai penghasil daging (Horn Rapids Rabbitry 2004). Ditambahkannya, pertama kali tercatat mengenai Flemish Giant sekitar tahun 1860, pada waktu itu petualang dari Inggris kembali dari Flanders membawa data karakteristik kelinci yang dikembangkan
11
disana.
Kelinci Flemish Giant diimport ke Amerika pada awal tahun 1880.
Kelinci ini merupakan kelinci terbesar yang diperkenalkan oleh American Rabbit Breeders Association dengan bobot senior (umur lebih dari 8 bulan) untuk betina sebesar 14 lbs dan 13 lbs untuk jantan. Menurut petplanet.co.uk (2004), kelinci Flemish Giant memiliki panjang usia mencapai 5 tahun bahkan lebih. Umur mulai dikawinkan sekitar 9 bulan dan anak-anak kelinci harus sudah dilahirkan sebelum induknya mencapai umur satu tahun karena apabila induk beranak pada umur lebih dari satu tahun tulang pelvisnya akan menyempit sehingga sulit untuk beranak secara alamiah dan induk-induk tersebut tidak akan mampu beranak lagi setelah berumur tiga tahun. Kelinci ini beranak cukup banyak, yaitu antara 5 – 12 ekor per litter. Lama kebuntingan antara 28-34 hari dengan rataan 30-32 hari. Kelinci ini termasuk bangsa kelinci raksasa dengan warna yang umum abu-abu besi (steel grey) bertubuh panjang dengan kepala yang tegak dan telinga panjang serta tegak. Bobot badannya minimal 5 kg dan tercatat dapat mencapai bobot badan 9.5 kg/ekor.
Kelinci ini sangat disukai dan bangsa ini secara genetik dapat
memperbaiki pertumbuhan pada bangsa lain dengan persilangan (Lebas et al. 1986).
English Spot English Spot rata-rata dapat hidup sampai dengan 5 tahun bahkan lebih. Betina dapat dikawinkan pada umur 5-6 bulan. Induk English Spot dapat beranak sejumlah 3-5 ekor, namun berdasarkan laporan dapat pula lebih dari 6 ekor. Lama bunting antara 28-34 hari dengan rataan 30-32 hari. Bobot badan rataan jantan dan betina sebesar 3 kg (Petplanet.co.uk. 2004). Kelinci English Spot memiliki bulu pendek dengan warna dasar putih dan bercak warna lain. Bercak ini dapat berwarna hitam, biru, coklat, abu-abu dan tortoirseshell. Ciri spesifiknya adalah telinga yang berwarna, warna melingkari mata dan terdapat bercak di sekitar pipi.
Terdapat garis warna sepanjang
punggung dengan titik-titik dari telinga sampai kaki belakang. Kelinci ini berasal dari Inggris (Petplanet.co.uk. 2004; Rabbitandcavydirectory.com 2006). Menurut Lebas et al. (1986), warna spot pada populasi kelinci ini umumnya berwarna
12
coklat dengan pendugaan genotipiknya EnEn aabbC_D_E_. Genotipik En merupakan genotipik yang mengatur pola warna broken yang merupakan mutasi pada lokus English. Dalam keadaan homosigot dominant (EnEn) memunculkan pola yang bagian putihnya lebih banyak dari pada warna spot-nya, dan dalam keadan homosigot resesif enen memunculkan pola yang bagian berwarna lebih banyak dari pada bagian putihnya. Warna coklat diatur oleh gen b yang muncul dalam keadaan homosigot resesif (bb) dan bersifat epistasis terhadap gen a yang muncul dalam keadaan homosigot resesif (aa), dan menutupi ekspresi gen lain dalam keadaan heterosigot.
Karakter Morfologi
Menurut (Wiley 1981), karakter morfologi adalah tanda struktural dari satu mahluk hidup yang merupakan sumber utama karakter kebanyakan kelompok mahluk hidup. Karakter ini dapat berupa sifat-sifat yang relatif sederhana atau sangat rumit dan karakter ini telah terbukti bermanfaat untuk membedakan taxa mahluk hidup pada berbagai tingkatan, mulai dari phyla sampai spesies. Ukuran dan bentuk tubuh merupakan penduga yang menyeluruh dari bentuk dan deskripsi khas dari berbagai gambaran tubuh yang terbukti bermanfaat dalam menganalisa banyak mahluk hidup. Kesamaan fenotipik dapat menunjukkan identitas genetik, walau terdapat batasan, antara lain fenotipik yang identik dapat disebabkan oleh alel-alel yang berbeda datau oleh gen-ten pada lokus yang berbeda (Baker dan Manwell 1991). Ukuran-ukuran tubuh sangat berguna untuk menentukan asal-usul dan hubungan filogenetik antara spesies, bangsa atau tipe ternak yang berbeda (Martojo 1983; Warwick et al. 1995; Ischii et al. 1996 dan Mulliadi 1996). Pengukuran panjang tulang-tulang mempunyai ketelitian yang lebih baik dibandingkan dengan pengukuran bobot badan (Mansjoer 1981). Ukuran-ukuran tubuh dengan keragaman yang tinggi memberikan petunjuk bahwa ukuran tubuh tersebut dapat digunakan sebagai kriteria seleksi untuk meningkatkan produksi dimasa yang akan datang (Mulliadi 1996).
13
Genetik Keragaman sifat morfologis dapat terjadi karena adanya proses mutasi akibat seleksi, perkawinan silang dan bencana alam yang dapat berakibat hilang atau hanyutnya gen tertentu (Falconer dan Mackay 1996). Menurut Nei (1987), proses hilang atau hanyutnya gen tertentu tersebut berpengaruh pada tingkat genetik yang pada akhirnya diekspresikan dalam bentuk karakteristik kualitatif dan kuantitatif dari sifat morfologis. Ditambahkannya, bahwa proses tersebut menimbulkan evolusi yang mendasari adanya keanekaragaman, dengan pemahaman bahwa perubahan sifat hayati ternak akan diturunkan secara genetik oleh tetuanya, sehingga generasi selanjutnya merupakan generasi hasil evolusi sebelumnya. Dalam memahami proses evolusi genetik suatu bangsa ternak, dilakukan penelitian tentang karakter genetik dan pendugaan jarak genetik dengan pendekatan analisis morfometrik (Taylor et al. 1977) dan analisis molekuler seperti analisis DNA (Zhu et al. 2004). Analisa jarak genetik kelinci yang berasal dari delapan wilayah dengan mengukur 20 ukuran tulang bagian cranium, mandibula dan gigi-geligi. Kelinci yang berasal dari Australia dan British Isles terlihat berbeda nyata, jarak morphometrik meningkat secara klinis pada kelinci di bagian timur Australia dengan jarak geografik dari awal pemasukannya (Geelong, Victoria) (Taylor et al. 1977). Analisis DNA juga dapat menggambarkan hubungan kekerabatan antar populasi ternak. Zhu et al. (2004) menggunakan lima lokus mikrosatelit (Sat3, Sat4, Sat7, Sat8 and Sat 12) untuk menganalisa keragaman genetik diantara 5 (lima) bangsa atau galur populasi kelinci lokal (galur kelinci Rex Vc-I (Vc-I), galur kelinci Rex Vc-II (Vc-II), bangsa kelinci NZW (NZW), bangsa kelinci Qingzilan (QZL), dan bangsa kelinci
Japanese White (JAW). Hasil
penggambaran kelompok menampilkan populasi yang memiliki hubungan terdekat adalah populasi kelinci Rex Vc-I dan VcII, diikuti oleh populasi JAW, populasi QZL dan populasi NZW.
Hal ini menjelaskan riwayat pembibitan
kelinci Rex Vc yang merupakan hasil persilangan Rex dan JAW dan adanya
14
pembatas alam serta jarak geografik yang cukup jauh antara China dan New Zealand.
Pertumbuhan Kelinci
Pada umur sebelum sapih, terutama pada umur lahir sampai dengan tiga minggu, anak kelinci sangat bergantung pada produksi susu induknya. Menurut McNitt dan Lukefahr (1990), bahwa rataan produksi susu induk harian dipengaruhi oleh bangsa, produksi susu harian kelinci Californian (CAL), New Zealand White (NZW), Palomino (PAL) dan White Satin (WS) berturut-turut sebesar 157.6 + 10.9 g, 136.7 + 10.2 g, 119.8 + 9.5 g, dan 126.8 + 10.3 g. Produksi susu induk terus meningkat sampai hari ke-20 setelah beranak dan selanjutnya menurun. Rataan bobot sapih pada umur empat minggu pada kelinci CAL, NZW, PAL dan WS berturut-turut sebesar 503.69 g, 482.34 g, 401.97 g, dan 457.00 g. Selama ini NZW dikenal lebih unggul dibandingkan CAL, tetapi dalam penelitian ini terjadi hal yang berbeda karena perbedaan rumpun (strain) dari galur (breed) yang dipergunakan berbeda, adanya interaksi lingkungan dan galur kelinci, perbedaan dalam metodologi penelitian, atau kombinasi dari faktorfaktor tersebut di atas. Prasetyo (1999) menerangkan rataan bobot badan lahir, sapih (lima minggu) dan dewasa (20 minggu) pada kelinci Rex adalah 47.26 + 10.56 g, 503.61 + 140.47 g dan 2370.06 + 308.94 g, pada kelinci Satin adalah 53.72 + 11.60 g, 456.54 + 116.10 g, dan 2253.90 + 431.60 g. Menurut Raharjo et al. (1993), rataan bobot lahir kelinci Rex adalah 50.01 g/ekor dan bobot sapih umur lima minggu sebesar 584.33 g/ekor. Yani dan Winaya (2007) melaporkan performa bobot sapih, dan bobot dewasa kelinci New Zealand White (NZW), Rex (RR) dan Flemish Giant (FG) yang dipelihara peternak anggota koperasi "AKUR" di kota Batu, Malang berturut-turut sebesar 475.61 g dan 2721.00 g, 545.67 g dan 2771.00 g, serta 508.00 g dan 2348.00 g. Ditambahkan bahwa perbedaan performa bobot lahir dan sapih dari kelinci NZW, RR dan FG tersebut karena peternak belum melakukan seleksi terhadap ternaknya dan pengaruh rendahnya kualitas pakan yang diberikan.
Menurut Sartika et al. (1988), pertumbuhan kelinci lokal yang
15
dicerminkan dengan bobot badan saat sapih, 8 minggu, 12 minggu dan 16 berturut-turut sebesar 502.1 + 117.5 g, 888.0 + 178.5 g, 1174.0 + 170.7 g dan 1531.4 + 189.7 g. Ditambahkan pertambahan bobot badan harian dari sapih-umur 8 minggu, 8-12 minggu, 12-16 minggu berturut-turut sebesar 18.2 + 5.6 g/hari, 10.3 + 4.6 g/hari, dan 9.2 + 3.6 g/hari.
Pertambahan bobot harian kelinci Rex
tampaknya bervariasi, dapat disebabkan berbagai faktor, antara lain berbedanya kondisi bibit kelinci, pemberian pakan dan lingkungan (Raharjo et al. 1995).
Pendugaan Kurva Pertumbuhan
Kurva pertumbuhan merupakan cerminan kemampuan suatu individu untuk mengaktualisasikan diri dan sekaligus sebagai ukuran akan berkembangnya bagian-bagian tubuh sampai mencapai ukuran maksimal (dewasa) pada kondisi lingkungan yang ada.
Model matematik dari kurva pertumbuhan merupakan
hubungan fungsi perubahan bobot badan pada umur tertentu. Model matematik ini sangat berguna untuk memperkirakan bobot dugaan dari kelompok ternak pada umur tertentu. Salah satu model matematis yang cukup baik dalam menduga kurva pertumbuhan kelinci adalah model Gompertz (Blasco dan Gomez 1993; Piles et al. 2000; dan Larzul dan de Rochambeau 2004). Teori Gompertz telah ada sejak abad ke 18 atau tepatnya tahun 1825 (Myers 1990).
Dijelaskannya bahwa
pertumbuhan sigmoid yang ditawarkan Gompertz dapat diterapkan pada berbagai situasi pertumbuhan. Sebagai catatan bahwa model ini memiliki eksponensial ganda. Oleh karenanya parameter A (bobot asimtot) merupakan pertumbuhan yang terbatas. Penggunaan persamaan model Gompertz cenderung lebih umum untuk dapat diterapkan ke dalam berbagai pertumbuhan mahluk hidup. Model gompertz cukup baik untuk menduga kurva pertumbuhan pada rumpun kelinci yang memiliki keragaman tinggi.
Setelah dewasa kelamin,
peningkatan bobot badan dikarenakan peningkatan penimbunan lemak.
Pada
kejadian seperti ini, mengakibatkan kurva pertumbuhan tidak mencapai titik plateu dan bobot masih meningkat seiring bertambahnya umur. Larzul dan de Rochambeau (2004) melakukan pengamatan kurva pertumbuhan pada 10 galur
16
kelinci berdasarkan bobot badan dari yang terberat sampai teringan (L1 sampai L10). Model Gompertz digunakan untuk menduga kurva pertumbuhan tersebut, dari semua galur kelinci, titik belok (infleksi) terjadi pada umur 41.3 hari dan yang paling lambat terjadi pada umur 52.6 hari. Bobot dewasa berkisar antara 2.9 kg untuk teringan (L10) sampai 5.2 kg untuk terberat (L1). Disimpulkan bahwa seiring peningkatan laju pertumbuhan akan menurunkan umur potong. Perbandingan rumpun kelinci seleksi dan tidak diseleksi atas laju pertumbuhan menampilkan kurva pertumbuhan model gompertz yang sama (Piles et al.
2000), artinya ternak seleksi memiliki kurva pertumbuhan yang sama
dengan kontrol. Seleksi terhadap laju pertumbuhan mendorong dewasa kelamin yang lebih dini jika pemotongan ditentukan berdasarkan bobot badan. Jika ternak dipotong pada umur yang ditentukan, umur dewasa tidak berpengaruh. Larzul dan du Rochambeau (2004) menyatakan bahwa pola pertumbuhan diwariskan kepada turunannya, ternak yang memiliki tetua galur berbobot badan besar akan menurunkan anak yang bobot badannya besar pula. Konsekuensi pada efisiensi pakannya sebagaimana pola pertumbuhannya, keturunan dari pejantan berbobot besar memiliki rasio konversi pakan yang rendah dibandingkan dengan keturunan dari pejantan berbobot ringan, pola yang sama terjadi pada deposit lemak dan tidak terjadi pada rasio daging/tulang.
Karkas dan Komponen Karkas
Perdagangan produk peternakan umum mengenal karkas, baik itu kambing, domba, sapi, babi dan kelinci sebagai bagian-bagian dari tubuh ternak setelah dibersihkan dari darah, kepala, keempat kaki bagian bawah, kulit, saluran pencernaan, usus, saluran urine, tenggorokan, paru-paru, jantung, limpa, hati dan jaringan-jaringan lemak yang melekat pada bagian-bagian tubuh, sedangkan ginjal sering dimasukkan sebagai karkas. Komponen-komponen karkas terdiri atas otot, lemak dan tulang. Dari ketiga komponen itu, tulang sebagai kerangka tubuh tumbuh dan berkembang paling dini, kemudian disusul oleh otot dan yang paling akhir jaringan lemak (Forrest et al. 1975).
17
Hasil
karkas
seekor
ternak
dinyatakan dalam persentase, yaitu
perbandingan antara bobot karkas dengan bobot potong. Karkas dipengaruhi oleh bobot potong, jenis kelamin, umur, bangsa, pakan, penyakit dan stres (cekaman) serta keadaan ternak sebelum dipotong (Bowker et al. 1978). Blasco et al. (1992) membagi karkas dalam potongan komersial, yaitu potongan kaki depan (Fore legs /FLW, termasuk sebagian otot bagian toraks), bagian dada (Thoracic cage/TW, yaitu rusuk ke tujuh yang awal, tanpa otot bagian fore legs), loin (Loin/LWW, termasuk dinding perut, dan rusuk setelah rusuk ke tujuh), dan paha belakang (Hind legs/HLW, termasuk tulang sakral dan tulang lumbar vetebrae setelah tulang lumbar vetebrae ke enam).
Potongan ini
dikelompokkan lagi ke dalam potongan utama yang terdiri atas hind legs, loin dan fore legs, dan potongan kedua adalah bagian toraks. Lukefahr et al. (1981) melakukan pendugaan terhadap bobot karkas, yaitu bobot karkas kelinci (%) umumnya 50% dari bobot hidupnya (W) dan dapat dihitung dari umur dengan persamaan 41.6 + 6.09 W. Sehingga apabila bobot hidup kelinci 2 kg, maka bobot karkasnya adalah 41.6 + (6.09 x 2) = 53.7%. Sartika et al. (1988) melaporkan persentase karkas, karkas tanpa lemak dan bobot yang dapat dimakan dari kelinci lokal yang dipotong pada bobot 1.5 kg, 1.75 kg dan 2.0 kg berturut-turut sebesar 41.48%, 44.86% dan 48.38%; 38.39%, 40.97% dan 44.93%; 46.02%, 49.61% dan 53.09%. Adapun bobot potong dan persentase karkas kelinci Rex yang dipelihara peternak kelinci dengan skala pemilikan 25, 20 dan 15 ekor adalah 2661.2 g dan 49.6%; 2353.0 g dan 45.18%; 2729.1 g dan 49.2% (Raharjo et al. 1995) Pemuliabiakan Ternak
Dalam pemuliaan yang dihadapi adalah sekelompok individu yang pada umumnya merupakan individu-individu yang menunjukkan perbedaan, karena itu yang dihadapi pemulia dalam hal ini adalah keragaman.
Keragaman sifat
kuantitatif bersifat kontinyu, berkisar diantara nilai minimum dan maksimum dan menggambarkan distribusi normal. Pengaruh genetik dan pengaruh lingkungan keduanya penting dalam menghasilkan keragaman dalam fenotipik yang terlihat pada individu-individu dalam sekelompok ternak (Martojo 1992).
18
Sifat Kuantitatif Sifat kuantitatif adalah sifat-sifat yang dapat diukur dengan satuan-satuan seperti kilogram, liter, butir dan sebagainya. Sifat-sifat tersebut juga dikenal dengan sifat produksi dan reproduksi atau kedua-duanya disebut produktivitas (Martojo 1992). Menurut Warwick et al. (1995), sifat kuantitatif dipengaruhi oleh beberapa (banyak) pasang gen dan perbedaan lingkungan. Gen-gen tersebut terdapat dalam sel-sel jaringan dari berbagai bagian tubuh dan organ-organ vital yang saling berinteraksi dalam proses biokimia faali dalam tubuh, maka tidak sulit membayangkan bahwa jumlah gen yang berperanan dalam proses tumbuh kembang ini dapat mencapai ratusan bahkan ribuan (Martojo 1992). Beberapa sifat kuantitatif yang sangat penting karakteristiknya pada kelinci adalah fertilitas, pertumbuhan dan efisiensi pakan, produksi susu, kepadatan fur, ketahanan terhadap penyakit, dan kualitas karkas (Cheeke et al. 1987). Diterangkan oleh Lebas et al. (1986), bahwa pengaruh lingkungan yang mempengaruhi sifat kuantitatif antara lain iklim, habitat, kelembaban, aliran udara, peralatan pemeliharaan, teknik pemuliabiakan, pemberian pakan, dan faktor manusia (peternak).
Heritabilitas Menurut Warwick et al. (1995), heritabilitas adalah proporsi keragaman total suatu sifat pada kelompok ternak yang merupakan penampilan dari gen-gen. Ditambahkannya, bahwa heritabilitas dapat diperhitungkan dalam dua konteks yaitu (a) secara luas, pengaruh keturunan termasuk semua pengaruh gen yaitu aditif, dominan dan epistatis, dan (b)secara sempit, hanya taksiran bagian aditif dari ragam keturunan dan dilambangkan dengan h2. Untuk banyak tujuan, h2 merupakan dugaan yang paling banyak berguna karena menunjukkan laju perubahan yang dapat dicapai dengan seleksi untuk sifat tersebut dalam populasi. Beberapa nilai heritabilitas sifat bobot badan kelinci ditampilkan pada Pada Tabel 2. Nilai heritabilitas suatu sifat akan bervariasi antar populasi, perbedaan tersebut dapat disebabkan oleh perbedaan faktor genetik (ragam genetik), perbedaan lingkungan (ragam lingkungan), metoda yang digunakan dan
19
jumlah cuplikan data yang digunakan (Falconer dan Mackay 1996). Ditambahkan oleh Khalil et al. (1986), bahwa adanya perbedaan nilai dugaan heritabilitas disebabkan oleh (a) metoda analisa yang digunakan untuk menduga, (b) ekspresi genetik setiap bangsa di dalam populasi yang berbeda, (c) jumlah data yang digunakan, dan (d) faktor koreksi untuk sifat non-genetik yang dibuat pada setiap data.
Tabel 2. Heritabilitas beberapa sifat produksi kelinci Sifat Produksi
Heritabilitas (persen)
Pustaka
Pertumbuhan – catatan litter Rataan bobot per kelinci 21 hari 56 hari Bobot total litter, 56 hari Penyesuaian untuk litter size Pertumbuhan – catatan individu
36.0 65.0 0.0 22.0 69.4
Leplege 1970 Leplege 1970 Rollins et al. 1963 Lukefahr 1982 Lukefahr 1982
1 hari 40.0 Bogdan 1970 30 hari 17.0 Rouvier 1981 56 hari 22.6 Mostageer 60 hari 54.0 Patras 1985 70 hari 38.0 Rouvier 1981 30-70 hari 44.0 Rouvier 1981 Sumber : Lukefahr 1988; Lukefahr dan Cheeke (1990). Besaran nilai heritabilitas berkisar antara nol sampai satu. Suatu sifat dengan nilai heritabilitas nol adalah sifat yang semua keragamannya disebabkan pengaruh lingkungan, sedang nilai heritabilitas satu menunjukkan sifat kuantitatif yang semua keragamannya disebabkan oleh keturunan (Warwick et al. 1995). Menurut Martojo (1992) nilai dugaan heritabilitas dapat dikelompokkan ke dalam tiga kelompok, yaitu nilai heritabilitas 0.0 – 0.2 tergolong rendah, nilai heritabilitas 0.2 – 0.4 tergolong sedang dan nilai lebih dari 0.4 tergolong tinggi.
Seleksi Seleksi diartikan sebagai suatu tindakan untuk memberi peluang pada ternak-ternak tertentu bereproduksi, sedangkan ternak lainnya tidak diberi
20
kesempatan bereproduksi (Noor 2000). Ditambahkannya, bahwa seleksi akan meningkatkan frekuensi gen-gen yang diinginkan dan menurunkan frekuensi gengen yang tidak diinginkan.
Perubahan frekuensi gen-gen ini tentunya akan
mengakibatkan rataan fenotipik dari populasi terseleksi akan meningkat dibandingkan rataan fenotipik populasi sebelumnya.
Perbedaan antara rataan
performan dari ternak yang terseleksi dengan rataan performan populasi sebelum diadakan seleksi disebut diferensial seleksi, yang dinyatakan dengan rumus (Hardjosubroto 1994). S = Xs - X Keterangan : S = diferensial seleksi,
Xs = rataan fenotip populasi terseleksi X
= rataan fenotip sebelum seleksi
Perbedaan performan tidak seluruhnya diturunkan ke generasi selanjutnya, proporsi diferensial seleksi yang dapat diwariskan hanya yang bersifat genetik saja, yaitu sebesar angka pewarisannya (heritabilitas).
Besarnya diferensial
seleksi yang diwariskan merupakan respon seleksi yang akan muncul pada generasi berikutnya. (Hardjosubroto 1994; Falconer dan Mackay 1996).
Persamaan respon seleksi : R=h S 2
Keterangan : R = respon seleksi per generasi
h
2
= heritabilitas sifat yang diseleksi
S = diferensial seleksi Kriteria seleksi bobot sapih pada kelinci Rex, Satin dan RS di Balitnak dan kelinci Flemish Giant di Magelang dipilih karena memiliki nilai dugaan heritabilitas yang cukup tinggi, yaitu antara 0.35-0.65 (Lukefahr 1988) dan 0.170.90 (Ibrahim et al. 2007). Lukefahr et al (1996) menyatakan kecenderungan meningkat secara genetik pada seleksi dengan kriteria bobot umur 70 hari selama lima generasi sebesar 29.1 g per generasi. Menurut Blasco et al. (1996), terdapat kecenderungan peningkatan rata-rata sebesar 1.5% per generasi selama enam generasi pada kelinci yang diseleksi atas bobot potong umur 10 minggu.