II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Sejarah Perkembangan Kelinci Kelinci semula merupakan
hewan liar yang sulit dijinakkan. Kelinci
dijinakkan sejak 2000 tahun silam dengan tujuan keindahan, bahan pangan dan sebagai hewan percobaan. Hampir setiap negara di dunia memiliki ternak kelinci karena kelinci mempunyai daya adaptasi tubuh yang relatif tinggi sehingga mampu hidup di hampir seluruh dunia. Kelinci dikembangkan di daerah dengan populasi penduduk relatif tinggi, Adanya penyebaran kelinci juga menimbulkan sebutan yang berbeda, di Eropa disebut rabbit, Indonesia disebut kelinci, Jawa disebut trewelu dan sebagainya. Adapun menurut Kartadisastra (1994) domestikasi kelinci pertama kali dilakukan oleh bangsa romawi yang menginginkan sumber pangan yang mudah. Domesitikasi dilakukan dari kelincikelinci hutan yang liar, proses domestikasi ini pun untuk selanjutnya menyebar ke wilayah eropa tengah dan wilayah eropa timur. Peternakan kelinci sudah dikembangkan di Indonesia sejak tahun 1837 yang konon dibawa oleh orang-orang Belanda sebagai kelinci hias. Kelinci pada awalnya merupakan hewan kesayangan yang dimiliki oleh tuan tanah. Progam pengembangan kelinci ditujukan untuk mengurangi rawan gizi telah dilakukan pemerintah pada tahun 1980, selanjutnya pada Tahun 1990 pemerintah sudah menerbitkan Pedoman Teknis Perusahaan Peternakan Kelinci sebagai upaya mendorong perkembangan budidaya kelinci di masyarakat. Namun sampai saat ini perkembangannya mengalami hambatan karena perbedaan tujuan produksi dalam pengembangannya (Balitnak, 2010). 2.2 Klasifikasi dan Jenis-jenis Kelinci Kelinci domestik (Oryctolagus cuniculus) yang ada saat ini berasal dari kelinci liar di Eropa dan Afrika Utara. Beberapa bangsa kelinci ditemukan pada abad ke 16 yang menyebar di Perancis dan Italia.
Pada mulanya kelinci
diklasifikasikan dalam ordo rodensia (binatang mengerat) yang bergigi seri empat, tetapi akhirnya dimasukkan dalam ordo lagomorpha karena bergigi seri enam). Kelinci (Oryctolagus cuniculus) diklasifikasikan dalam Kerajaan Animalia, filum Chordata,
kelas Mammalia, ordo Lagomorpha, famili
Leporidae, genus Oryctolagus dan spesies O. cuniculus (Spacerad.com 2004).
Sementara Kartadisastra (1994) membagi genus kelinci menjadi kelompok yang lebih spesifik, antara lain: Lepus (Genuine Hare) , Orictalagos (European Rabbit), Sylvilagus (Cooton Tail Rabbit), Pronolagus (Red Hare), Bunolagus (Bushman Hare), Pentalagus (Riu,Kiu Rabbit), Caprolagus (Brietle Rabbit), Poelagus (African Rabbit), Nesolagus (Sumatera Rabbit), Romerolagus (Volcano Rabbit), dan Brachyalgus (Dwarft Rabbit). Lebas et al. (1986), diacu dalam Balitnak (2010) mengelompokkan kelinci menjadi kelinci besar, kelinci medium, kelinci ringan dan kelinci kecil berdasarkan ukuran tubuh dewasa, pertumbuhan rata-rata, dan umur mulai dewasa. 1.
Kelinci besar adalah kelinci dengan bobot dewasa lebih dari 5.0 kg, potensi pertumbuhan bangsa ini dapat dieksploitasi terutama untuk persilangan. Termasuk kelompok ini adalah kelinci Bouscat Giant White, French Lop, Flemish Giant dan French Giant Papillon. Bangsa ini secara genetik dapat memperbaiki pertumbuhan pada bangsa lain.
2. Kelinci medium adalah kelinci dengan bobot dewasa 3.5-4.5 kg, kelinci ini merupakan kelinci yang dapat dipelihara secara intensif untuk produksi daging. Kelinci ini memilki nilai productivitas unggul yaitu fertilitas yang tinggi, pertumbuhan cepat, perkembangan perototan yang bagus, kualitas daging yang baik. Bangsa kelinci yang termasuk kedalam bangsa ini adalah English Silver, German Silver, Champagne d’Argent, New Zealand Red, New Zealand White dan Grand Chinchilla. 3. Kelinci ringan adalah kelinci dengan bobot dewasa 2.5-3.0 kg, kelinci tipe ringan dapat berkembang dengan sangat cepat dan merupakan induk yang baik. Konsumsi pakan lebih sedikit daripada kelinci tipe besar dan medium, dan bisa disilangkan untuk menghasilkan tipe ringan dengan berat karkas 1.0-1.2 kg. Tipe ini terdiri atas Himalaya, Small Chinchilla, Dutch, dan French Havana. 4. Kelinci kecil (kerdil) adalah kelinci dengan bobot dewasa 1 kg, kelinci jenis ini banyak digunakan sebagai kelinci pertunjukkan dan sebagai hewan kesenangan. Kelinci tipe ini diantaranya adalah Netherland Dwarf dan Polish Dwarf. Jenis yang umum diternakkan adalah American Chinchilla, Angora, Belgian, Californian, Dutch, English Spot, Flemish Giant, Havana, Himalayan,
New Zealand Red, White dan Black, Rex Amerika. Kelinci lokal yang ada sebenarnya berasal dari dari Eropa yang telah bercampur dengan jenis lain hingga sulit dikenali lagi. Jenis New Zealand White dan Californian sangat baik untuk produksi daging, sedangkan Angora baik untuk bulu. 2.3 Karakteristik dan Kandungan Gizi Daging Kelinci Karakteristik daging kelinci diantaranya : berwarna putih, serat halus dan pendek seperti daging ayam dan juga rasa selezat daging ayam, warna sedikit pucat, lemak rendah, glikogen tinggi, kalori rendah, kolesterol rendah, Natrium rendah, mudah dikunyah, kadar air rendah, asam lemak tak jenuh dalam daging kelinci lebih banyak dibanding daging lainnya dan asam lemak jenuhnya lebih sedikit . Seperti kita ketahui bahwa asam lemak tidak jenuh tidak akan membentuk kolesterol dibandingkan dengan asam lemak jenuh. Selain itu daging kelinci (yang disebut juga sebagai daging putih) memiliki tingkat keempukan yang lebih baik dibandingkan dengan daging merah. Hal ini dikarenakan seratnya yang lebih halus dan lebih besar dibandingkan dengan daging merah (Balitnak, 2010). Daging kelinci memiliki kandungan protein tinggi, rendah lemak dan rendah kolesterol, sehingga dapat disebut sebagai ‘daging sehat’ (Yono dan Ridwan 2004; Kusmayadi 2005). Daging kelinci diketahui memilki kandungan kolesterol yang rendah sehingga baik bagi kesehatan dan juga dapat digunakan dalam program diet. Komposisi gizi kelinci yang sehat tersebut membuat ternak ini cocok untuk dijadikan menu diet. Daging kelinci bisa diolah menjadi berbagai produk turunan, seperti abon, bakso, dendeng, dan sate kelinci. Selain untuk menu diet, daging kelinci juga bisa mencegah kanker dan menolong penderita asma. Hal ini dikarenakan kelinci mengandung niasin (8,43 mg/100 gr bahan, setara dengan 42 persen dari total kebutuhan harian), vitamin B12 (8,3 µg/100 gr bahan), dan selenium (Se) dengan kadar 38,5 µg/100 gr bahan, suatu jumlah yang dapat menutupi sekitar 55 persen kebutuhan harian tubuh akan unsur ini dan daging kelinci juga mengandung ketotifen untuk membantu para penderita asma. Daging kelinci sendiri dapat dijadikan sebagai pangan olahan dalam bentuk sate, nugget, abon, dendeng, dan bakso.
2.4 Penelitian Terdahulu Penelitian terhadap konsumen daging kelinci masih sangat jarang dilakukan. Hal ini dikarenakan perkembangan daging kelinci sebagai produk pangan masih tergolong baru. Hal ini menyebabkan sebagian besar pustaka diambil dari penelitian mengenai persepsi konsumen. Fannani (2006) menganalisis mengenai respon dan kepuasan konsumen terhadap sate kelinci Kedai Daci di Kelurahan Ciparigi, Kotamadya Bogor, Jawa Barat. Responden diambil secara Convenient Sampling, dimana responden adalah konsumen yang sedang membeli sate kelinci di Kedai Daci. Ditentukan pula responden merupakan warga yang benar-benar tinggal di Ciparigi. Dari data responden yang didapatkan oleh peneliti dapat dilihat bahwa, 51 persen responden berasal dari Keluarga Sejahtera II, 26 persen dari Keluarga Sejahtera III, dan Keluarga Sejahtera III Plus sebanyak 23 persen. Namun jika kita bandingkan secara langsung antara jumlah responden dari masing-masing kelas sosial dengan jumlah masyarakat dari masing-masing kelas sosial di atas, maka persentase terbesar dari responden yang berbelanja ke Kedai Daci adalah berasal dari Keluarga Sejahtera III yaitu sebesar 4,98 persen, dikuti oleh Keluarga Sejahtera III Plus dan Keluarga Sejahtera I, masing-masing sebesar 4,82 dan 2,44 persen. Jika dilihat dari tingkat pendidikan responden, mayoritas konsumen sate kelinci di Kedai Daci berpendidikan di atas SLTA dengan rincian sebagai berikut: sarjana/S1, D3, Pasca Sarjana, SLTA, dan SLTP masing-masing sebesar 41, 17, 13, 17, dan 1 persen. Hal ini menunjukkan bahwa sebagian besar konsumen daging kelinci adalah masyarakat dengan tingkat pendidikan yang tinggi. Dan hal ini berkorelasi dengan alasan para responden membeli sate daging kelinci, dimana mayoritas (39 persen) mengonsumsi sate kelinci karena proteinnya yang tinggi. Pada hasil penelitiannya, Fannani telah menyinggung kurangnya minat masyarakat Bogor untuk mengonsumsi kelinci masih sangat rendah dipengaruhi oleh persepsi konsumen, namun Fannani belum membahas mengenai persepsi tersebut secara detail. Untuk karakteristik konsumen daging kelinci sendiri memang sudah sedikit dibahas oleh Fannani namun terbatas pada masyarakat di wilayah Ciparigi saja dan belum dibahas bagaimana pengaruh karakteristik
tersebut terhadap keinginan untuk mengonsumsi daging kelinci serta bagaimana signifikansi dari karakteristik tersebut. Sementara itu, Wicaksena (2006) menganalisis persepsi konsumen terhadap kopi bubuk torabika di Jakarta Timur. Tujuan dari penelitian ini adalah untuk menganalisis persepsi konsumen atas harga, merek, dan kualitas kopi bubuk torabika dibandingkan dengan produk pesaing. Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah analisis deskriptif, diagram ular, dan perceived quality analysis. Analisis deskriftif digunakan untuk menilai karakteristik responden dan persepsi konsumen terhadap harga kopi bubuk Torabika dan Kapal Api. Diagram ular digunakan untuk mengetahui bagaimana persepsi merek kopi bubuk Torabika terhadap kopi bubuk Kapal Api, sedangkan perceived quality analysis digunakan untuk mengukur apakah kopi bubuk Torabika memberikan nilai yang sesuai dengan harapan konsumen. Adapun untuk perolehan responden digunakan sampel fraction dari sepuluh kecamatan di Jakarta timur berdasarkan populasinya. Persamaan antara penelitian yang akan peneliti lakukan dan yang telah dilakukan Wicaksena terdapat pada metode perolehan sampel yang telah disebutkan di atas. Hal ini dikarenakan peneliti memiliki kesamaan dalam hal lingkup geografis yang akan diteliti yaitu satu wilayah kota dengan jumlah populasi yang tidak diketahui. Sedangkan perbedaan penelitian ini terletak pada komoditi yang dianalisis, lokasi penelitian, dan metode analisis. Penelitian mengenai persepsi konsumen juga dilakukan oleh Nurmarchus (2006) yang menganalisis mengenai pola konsumsi dan persepsi konsumen terhadap ikan laut di Kota Bogor. Tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengetahui gambaran karakteristik konsumen ikan laut di Kota Bogor, menganalisis hubungan antara tingkat pendidikan, pendapatan, pengetahuan gizi, pekerjaan dan status sosial dengan frekuensi ikan laut, mengetahui pola konsumsi ikan laut di Kota Bogor, dan menganalisis persepsi konsumen terhadap ikan laut di Kota Bogor. Metode analisis yang digunakan adalah metode analisis deskripstif untuk menganalisis pola konsumsi ikan laut, metode analisis Chi-square untuk menganalisis karakteristik konsumen, dan model sikap multiatribut Fishbein untuk menganalisis persepsi konsumen. Adapun pengambilan sampel dilakukan dengan pendekatan lingkungan fisik dan tempat tinggal dimana dari 100 sampel
ibu rumah tangga yang diambil kemudian dibagi menjadi tiga kelas yaitu kelas bawah, menengah, dan atas. Julaeha (2010) menganalisis mengenai persepsi dan sikap konsumen terhadap produk Oreo setelah adanya isu melamin. Adapun tujuan dari penelitian ini antara lain, untuk menganalisis tingkat pengetahuan keamanan pangan responden, menganalisis tingkat persepsi konsumen terhadap produk oreo setelah adanya isu melamin, menganalisis tingkat sikap responden terhadap produk Oreo setelah adanya isu melamin, dan menganalisis faktor-faktor yang mempengaruhi persepsi dan sikap terhadap produk Oreo setelah adanya isu melamin. Pengambilan sampel pada penelitian ini menggunakan Cluster Sampling. Teknik pengolahan dan analisis data menggunakan tabulasi deskriptif, analisis skala Likert, dan regresi logistik. Persamaan dengan penelitian ini adalah pada teknik analisis data, yaitu menggunakan tabulasi deskriptif, analisis skala Likert, dan regresi logistik. Pada analisis regresi logistic yang digunakan, terdapat beberapa perbedaan variabel. Untuk analisis regresi logistik, Julaeha menggunakan beberapa variabel, antara lain: jenis kelamin, usia, uang saku, tingkat pengetahuan keamanan pangan, dan tingkat pengetahuan terhadap produk oreo. Sedangkan untuk penelitian yang akan dilakukan ini, variabel yang digunakan antara lain: usia, jenis kelamin, pekerjaan, pendidikan, dan tingkat pengeluaran. Dari hasil penelitian Julaeha, faktor yang memiliki pengaruh yang signifikan hanyalah faktor pengetahuan pangan1, yaitu tingkat pengetahuan pangan sedang. Perbedaan lain dari penelitian ini dengan penelitian yang telah dilakukan Julaeha adalah dari sisi komoditas, lokasi penelitian, dan metode pengumpulan data.