TINJAUAN PUSTAKA Balok Laminasi
Definisi
Balok laminasi atau dikenal sebagai glulam (.g!ued-laminated timber) merupakan salah satu produk kayu rekayasa yang tertua. Balok larninasi terbuat dari dua atau lebih kayu gergajian yang direkat dengan arah serat sejajar satu sama lain, berbent.uk lurus atau lengkung tergantung perur.tukannya (Moody et al. 1999). Serrano (2003) menyatakan bahwa pada dasarnya balok laminasi adalah produk yang dihasilkan dengan menyusun sejumlah papan atau l:*minadi atas satu dengan yang laillnya dan merekatnya sehingga membentuk Fenampang balok yang diinginkan. Bodig dan Jayne (1982) menyatakan bahwa berdasarkan posisi pembebanan, balok laminasi dibedakan menjadi balok laminasi horizontal dan vertikal. Sed~ngkanberdasarkan penarnpangnya balok laminasi dibagi menjadi balok I, balok 'T, balok I ganda, balok pipa/kotak dan stressed-skin panel. Sementara itu, menurut CWC (2000) bentuk-bentuk ba~loklarninasi (glulam) terdiri atas balok laminasi lurus dan lengkung yang masing-masing memiliki beberapa variasi.
Sejarah dan Perkembangan Balok laminasi pertama kali digunakan di Eropa sebagai konstruksi pad?
auditorium di Basel, Switzerland tahun 1893. Otto Karl Freidrich Hetzer (18461911) memperoleh paten pertama untuk konstruksi ini pada tahun 1901 sehingga dikenal sebagai "Hetzer System".
Aplikasinya pada saat itu masih terbatas
karena perekat yang digunakan tidak tahan air (Rhude 1996; Moody d m Hernandez 1997). Pada tahun 1934, Forest Products Laboratory di Madison, Wisconsin mendiri":an
sebuah bangunan yang menggunakan balok laminasi untuk
konstruksinya. Balok laminasi untuk bangunan tersebut diproduksi oleh sebuah perusahaan di Peshtigo, Wisconsin yang didirikan oleh seorang imigran Jerman
yarlg membawa teknologi tersebut ke Amerika Serikat. Beberapa perusahaan dibangun di akhir tahun 1930-an menggunakan teknologi yang sama untuk membuat balok laminasi untuk keperluan pembangunan gymnasium, aula, pabrik dan gudang (Moody dan Hernandez 1997). Selama Perang Dunia 11, kebutuhan akan elemen struktural yang besar untuk mendirikan bangunan militer seperti gudang dan hanggar pesawat terbang, menambah ketertarikan pada balok laminasi. Perkembangan perekat resin sintesis tahan air memungkinkan penggunaan balok laminasi untuk jembatan dan aplikasi eksterior lainnya. Selanjutnya tahun 1950-an terdapat sedikitnya belasan pabrik balok laminasi di Amerika Serikat (Moody dan Hernandez 1997; Moody et al. 1999). Pada tahun 1995 kira-kira ada 30 pabrik balok laminasi di seluruh Amerika Serikat dan beberapa di Kanada, yang sebagian besar lrdalah pemegang lisensi dari American Institute Timber Construction (AITC). Selama tahun 1990-an balok laminasi tersebut banyak diekspor ke Jepang (Rhude 1996; Moody dan Hernandez 1997; Moody et al. 1999). Sementara itu, pemakaian balok larninasi di Indonesia belum banyak berkembang karena memerlukan biaya investasi tinggi sehingga menyebabkan harga produk laminasi lebih mahal dari kayu gergajian konvensional (Abdurachrnan dan Hadjib 2005). Pemakaiannya antara lain pada bangunan Aula Barat dan Timur Institut Teknologi Bandung dengan bentuk parabola yang terbuat dari laminasi mekanis kayu jati yang dibangun pada tahurl 1920-an (Siddiq 1989). Sedangkan di negara-negara Eropa dan Amerika Utara, penggunaan balok laminasi sudah sangat beragam, dari balok penyangga p d a rangka rumah sampai elemen struldur pada bangunan non perumahan (Lam dan Prion 2003). Kelebihan dan Kekurangan
Moody dan Hernandez (1997) serta Moody et al. (1999) menyatakan bahwa beberapa kelebihan balok laminasi dibandingkan d e ~ g a nkayu gergajian serta bahan struktural lain adalah dalam ha1 ukuran, bentuk arsitektural, pengeringan, penampang lintang (cross section), efisiensi dan rarnah lingkungan.
Sementara itu Serrano (2003) menyatakan dengan ringkas bahwa keuntungan yenggunaan balok laminasi adalah meningk~tkansifat-sifat kekuatan dan
kekakuan,
memberikan pilihan
bentuk
geo~netri lebih
beragam,
memungkinkan untuk penyesuaian kualitas laminasi dengan tingkat tegangan yang diinginkan dan meningkatkan akurasi dimensi dan stabilitas bentuk. Sedangkan CWC (2000) menyatakan bahwa laminasi adalah cara yang efektif dalam penggunaan kayu berkekuatan tinggi dengan dimensi terbatas menjadi elemen struktural yang besar dalam berbagai bentuk dan ukuran. Di samping kelebihan yang disebutkan di atas, balok laminasi juga memiliki beberapa kekurangan.
Jika kayu solid tersedia dalam ukuran yang
diperlukm maka proses tambahan dalam pembuatar balok laminasi akan meningkatkan biaya produksinya melebihi kayu gergajian.
Pembuatan balok
laminasi memerlukan peralatan khusus, perekat, fasilitas pabrik dan keahlian dalam pembuatannya, dibandingkan bila memproduksi kayu gergajian. Semua tahap dalarn proses pembuatan memerlukan perhatian rmtuk menjamin produk akhir yang berkualitas tinggi. Faktor yang hams dipertimbangkan di awal dalam desain balok laminasi berukuran besar, lurus atau lengkung adalah penanganan dan pengapalan (Moody et al. 1999).
Balok laminasi merupakan produk struktural yang 'diguna :an untuk rangka, balok, kolom dan kuda-kuda (CWC 2000). Moody dan 1Iernandez (1997) menyatakan bahwa meskipun penggunaan utama balok laminasi adalah pada sistem atap dari bangunan-bangunan komersial, balok laminasi juga semakin digunakan pada sistem atap dan lantai rurnah. Berbagai penggunaannya pada: 1. Bangunan-.bangunan komersial dan rumah; sebagai balok persegi, balok bubungan dm1 lengkung, kuda-kuda, balok untuk konstruksi rumah, bangunan kayu bertingkat, lengkungan, kubah dan tiang konstruk:si.
2. Jembatan; untuk bagian-bagian dari struktur bagian atas seperti balok penopang dan decking.
3. Penggunaan struktur lain; untuk tower transmisi listrik, tonggak listrik dan penggunaan lain untuk memenuhi persyaratan ukuran dan b:ntuk yang tidak dapat dicapai dengan menggunakan tiang kayu konvensional.
Proses Produksi Moody dan Hernandez (1997) dan Moody et ul. ( 1 999) menyatakan bahwa pembuatan balok laminasi hams mengikuti standar nasional yang diakui untuk membuktikan kebenaran nilai desain rekayasa yang diteiltukan. Balok laminasi yang dibuat dengan benar akan menunjukkan ke~eimbang~m antara kualitas kayu dan ikatan perekat dalam kinerja struktural. Proses pembuatan balok laminasi terdiri atas: pembuatan lamina, pengeringan dan pemilahan, penyambungan ujung lamina, perekatan permukaan, dan penyelesaian akhir (fznishing) dan pabrikasi.
Jika balok laminasi akan
digunakan pada kondisi lingkungan dengan kadar air tinggi maka perlu diberi perlakuan pengawetan. Tahap akhir yang penting dalan menjamin mutu balok laminasi adalah perlindungan selama pemindahan dan penyimpanan (Moody dan Hernandez 1997; Moody et al. 1999).
Pembuatan Lamina. Kayu yang akan digunakan ~ n t u kpembuatan lamina dipotong mcnurut ukuran yang telah ditentukan atan standar yang dipakai. Sebagai contoh, ukuran standar tebal lamina adalah 3,8 cm dan 1,9 cm dengan ukuran lebar yang lebih bervariasi (CWC 2000).
Pengeringan dan Pemilahan Lamina. Lamina perlu dikeringkan secara tepat untuk meminimalkan perubahan dimensi dan meningkatkan sifat-sifat strukturalnya. Biasanya dilakukan dengan pengeririgan di dalam dry kiln (Moody
et al. 1 999). Pada umumnya, kadar air maksimum lamina adalah 16% dengan perbedaan tiap lamina maksimurrl 5% berdasarkan standar American National Standards
Institute (ANSI). Kebanyakan pabrik menggunakan lamina dengan kadar air 12% atau sedikit lebih rendah (Moody dan Hernandez 1997; Moody et al. 1999). Lam dan Prion (2003) menyatakan lamina dikeringkan pad&kadar air dengan kisaran
7-15%.
Sedangkan beberapa penelitian pembc~tan balok laminasi yang
dilakukan, pada umumnya menggunakan lamina dengan kadar air kering udara berkisar antara 8--18% (Sinaga dan Hadjib 1989; Shedlauskas e ' 01. 1996; Yanti 1998; Ginoga 1998; Darmayanti 1998; Rostina 2001; Malik dan Santoso 2005; Abdurachman dan Hadjib 2005). Pemilahan standar yang dipublikasikan oleh asosiasi pemilahan kayu regional menjelaskan karakteristik alami dan cacat-cacat permesinan yang diperbolehkan dalam berbagai mutu kayu.
Standar per-buatan untuk balok
laminasi menjelaskan kombinasi mutu kayu yang penting untuk nilai desain spesifik. Dua tipe pemilahan kayu yang digunakan untuk lamina yaitu pemilahan visual dan penilrian-E (E-rating) (Moody dan Hernandez 1997; Moody et al. 1999).
.Pads proses produksi skala laboratoriurn pemilahan lamina dilakukan dengan menggunakan mesin pemilah kayu (MPK) Panter seperti pada penelitian yang dilakukan oleh Perangin-angin (2000), Rostina (2001) dan Abdurachman dan Hadjib (2005). Begitu juga dengan penelitian Moody et al. (1993) dan Janowiak et al. (1995) menggunakan pemilahan masinal untuk menentukan kekakuan lamina yang akan dipakai dalam menyusm komposisi balok yang dibuat. Cara ini dapat meningkatkan kekuatan balok laminasi yang dihasilkan.
Lam dan Prion (2003) menyatakan bahwa secara khusus lamina dengan kekakuan yang lebih tinggi dan kualitas yang lebih baik digunakan pada laminasi bagian luar dalam penyusunan elemen balok untuk memaksimallcan efisiensinya. Sementara itu, dari hasil penelitiannya Hernandez dan Moody (1996) menyatakan bahwa jenis, kelompok jenis dan negara asal kayu memiliki pengaruh yang kccil pada sifat-si fat kckuatan balok laminasi. Penggunaan kualitas mekanis bagian luar scbagai indikator sifat-sifat kekuatan lentur merupakan cara yang efektif untuk mengelompokkan balok laminasi. Penyambungan Ujung Lamina. Untuk membuat balok laminasi dengan
panjang melebihi kayu gergajian yang umumnya tersedia hams dilakukan dengan menyambung ujung lamina sampai panjang yang ditentukan. Sambungan ujung yang umun adalahfinger joint dengan panjang kira-kira 28 mm (1,l in). Bentukbentuk lain dapat digunakan asalkan mzmenuhi persyaratan kckuatan spesifik dan daya tahan (Moody et al. 1999).
Sebelum pembuatan, ujung lamina diperiksa untuk memastikan bahwa tidak ada mata kayu atau hal-ha1 lain yang akan dapat mengurangi kekuatan sambungan. Sarnbungan kemudian dibuat pada kedua ujung lamina dengan rnenggunakan pisau khusus dan selanjutnya diberi perekat. Sambungan pada potongan lamina yang berdekatan dipasangkan dan perekat dimatangkan dengan pemberian tekanan pada kedua ujung lamina. Sebagian besar menggunakan sistem pematangan frekuensi radio kontinyu (continuous radio-frequency curing system) yang menghasilkan panas dengan cepat dan mecgeraskan perekat dalanl beberapa detik (Moody et ul. 1999). Perekatan Permukaan.
Penyusunan lamina c~enjadi elemen dengan
ukuran yang ditentukan merupakan tahap kritis yang lain dalam proses pembuatan balok laminasi. Untuk memperoleh permukaan yang bersih, ~ejajardan dapat direkat, lamina hams diketam pada kedua permukaan lebarnyr sebelum proses perekata~l. Hal h i menjamin susunan akhir akan berbentuk peisegi dan tekanan yang diberikan akan merata. Perekat kemudian dilaburkan dengan menggunakan glue extruder (Moody et al. 1999). Lamina kemudian disusun ke dalam bentuk yaqg ditentukan.
Setelah
perekat mencapai masa tunggu (open assembly time) yang tepat selanjutnya diberikan tekanan. Metode yang paling umum dalam pemberikan tekanan adalah dengan pengempaan (clamping beds). Tekanan diberikan dengan sistem mekanik atau hidrolik. Dengan proses ini, perekat dimatangkan palla suhu ruangan selama 6-24 jam. Beberapa sistem pengempaan automatis yang baru termasuk tekanan hidrolik kontirlyu (continuous hydraulic press) dan pematatangan frekuensi radio
dapat mempersingkat proses perekatan permukaan dari beberapa jam menjadi beberapa menit. Setelah proses perekatan permukaan selesai, perekat diharapkan mencapai 90% atau iebih kekuatan ikatannya. Selama beberapa hari berikutnya, pematangan berlanjut tetapi pada tingkat yang jauh lebih rendah (Moody dan Hernandez 1997; Moody et al. 1999). Pengenipaan yang dilakukan pada beberapa penelitian u~numnya menggunakan pengempaan dingin dengan besar tekanan yang diberikan 10 kg/cm2 dengan lama waktu pengempaan bervariasi antara 2-24 jam. Dari hasil pene1iti:tn Anshari (2006) tekanan kempa sebesar 0,6 MPa selama 6 jam
menghasilkan kekuatan lentur dan keteguhan rekat yang paling tinggi. Besarnya tekanan kempa dan lama waktu pengempaan antara lain bergantung pada jenis kayu, jenis perekat, dan ketebalan balok laminasi. Penyelesaian Akhir (Finishing) dan Pabrikasi. Setelah balok laminasi
dikeluarkan dari sistem pengempaan, permukaan lebar diketam untuk menghilangkan perekat yang keluar antara lamina yang berdekatan dan untuk meratakan sisi lamina. Sehingga, balok laminasi yang telah selesai sedikit lebih kecil daripada ukuran nominal laminanya. Dua permukaan lainnya dapat diketarn atau diamplas nienggunakan peralatan yang mudah dibawa (portable) (Moody dan Hernandez 1997; Moody et al. 1999). Tahap selanjutnya dalam proses pembuatan adslah pabrikasi, dimana dilakukan pemotongan akhir, pelubangan, penambahan sambungan dan pemberian penutup jika dipersyaratkan. Penutup ujung, penutup permukaan, cat dasar dan pembungkusan dengan kertas tahan air atau plastik membantu untuk menstabilkan kadar air balok laminasi antara waktu pembuatan dan pemasangannya. Tingkat kepentingan perlindungan bergantung pada penggunaan akhir yang ditetapkan (Moody et al. 1999). Beberapa Perekat Balok Laminasi
Perekat yang digunakan dalam pembuatan balok lmninasi hams memenuhi persyaratan untuk pemakaian pada kondisi kering (kadar air < 16%) maupun kondisi basah (kadar air 2 16%) (APA 2003). Vick (1 999) menyatakan bahwa perekat yang dapat digunakan untuk keperluan struktllra?eksterior adalah phenol formaldehyde
(PF),
resorcinol formaldehyde
(RF),
phenol
resorcinol
formaldehyde (PRF), isocyanate dan melamin formaldenyde (MF).
PRF adalafr perekat yang paling umum digunakan dalam pembuatan balok laminasi, namun perekat lain yang telah dievaluasi dan dibuktikan memenuhi persyaratan baik kinerja maupun daya tahannya dayat digunakan (Moody et al. 1999). Sementara itu, dilaporkan semua balok laminasi di Kanada dibuat dengan mengg~makanperekat tahan air (water proof) baik uqtuk penyambungan ujung
maupun perekatan permukaan lamina sehingga sesuai untuk penggunaan interior maupun eksterior (CWC 2000). Perekat PF dipasarkan dalarn tiga bentuk dasar yaitu: cairan, serbuk atau film. Sementara, perekat RF dibuat dalam bentuk cairan. Kedua perekat ini sama-
sama memiliki garis rekat berwarna merah gelap. PF matang dalam kempa panas pada suhu 120-150°C,
sedangkan RF bisa matang p:.da suhu ruangan. Kedua
perekat ini nlemiliki kekuatan basah dan kering yang tinggi, sangat tahan terhadap air dan udara lembab serta lebih tahan dibandi~igkankayu terhadap suhu tinggi (Marra 1992; Vick 1999). Resorcinol merupakan bahan kimia yang mahal dan hanya diproduksi di
beberapa negara sehingga merupakan faktor penentu dalam biaya perekat RF dan PRF (Pizzi 1994). Dengan kesamaan reaksi kimia, dimungkinkan penggabungan sifat-sifit resin phenol dan resorcinol untuk mengtasilkan resorcinol yang berbiaya rendah atau phenol yang lebih cepat matang. Hasilnya, perekat PRF yang mempunyai biaya yang lebih rendah karena berbasis phenol dan matang pada suhu ruangan karena gugus ujung resorcinol (Marra 1992). Beberapa penelitian melaporkan penggunaan poli ~rinilasetat (PVA) pada balok laminasi non stnlktural untuk keperluan interior (Sinaga dan Hadjib 1989; Wardhani 1999; Anshari 2006). Untuk keperluan semistniktural eksterior terbatas dilaporkan penggunaan polyurethane (Wijaya 200 1). Sedangkan untuk keperluan struktural eksterior, jenis-jenis perekat yang dilaporkan dalam bcberapa penelitian adalah perekat PF (Darmayanti 1998; Yanti 1998; Perangin-angin 2000), PRF (Karnasudirdja 1989; Wong et al. 2002; Hadi et ul. 2005; /\bdurachman dan Hadjib 2005), dan MF (Moody et al. 1993). Untuk keperluan ;truktural ekterior terbatas, dilaporkan penelitian menggunakan epoxy (Rostina 2001; Imron 2005; Anshari 2006) dan melamine ureaformaldehyde (MUF) (Aniwila 1993). Perekat lain juga terus dikembangkan seperti dilaporkan dalarn penelitian Malik dan Santoso (2005) dengan menggunakan perekat lignin resorcinol formaldehyde ('>RF) dan tannin resorcinol formaldehyde (TRF), walaupun
hasilnya belurn setara dengan perekat PRF. Berat labur yang digunakan dalarn beberapa penelitian bervariasi, pada umumnya berkisar antara 170-470 g/tn2
dengan pelaburan pada satu permukaan (single spread) atau dua permukaan (double spread). Perekat Isosianat Perekat isosianat didasarkan pada reaktivitas radikal iso: ianat (-N=C=O) yang tine gi. Penggabungan dengan polaritas yang kuat membuat senyawa yang mengandung radikal ini tidak hanya memiliki potensi adhesi yang baik tetapi juga potensial untuk membentuk ikatan kovalen dengan bahan yang memiliki hidrogen reaktif (Marra 1992). Selanjutnya Vick (1999) menyatakan bahwa di isosianat adalah bahan kimia ymg sangat reaktif yang membentuk polimer dengan cepat jika berhubungan dengan basa kuat, asam mineral dan air.
Perekat polymeric
methylene diphenyl diisocyanate (PMDI) membentuk ikatm yang kuat dan tahan dengan kayu, sehingga saat ini banyak digunakan dalam pembuatan produkproduk kayu komposit. Perekat isosianat yang paling umum digunakan karena volatilitasnya rendah adalah diphenylmethane diisocyanate (MDI) (Marra 1992).
Sementara itu,
Pizzi (1994) menyatakan bahwa diisosianat digunakan secara luas untuk memproduksi papan partikel eksterior. Keuntungan perekat ini antara lain adalah: lebih sedikit jumlah yang dibutuhkan dalam memproduksi sifat-sifat papan yang sama, dapat digunakan suhu pengempaan yang lebih rendah, siklus pengempaan lebih cepat, lebih toleran terhadap kadar air flakes, energi pengeringan yang dibutuhkan lebih sedikit dan tidak admya emisi formaldehida (Marra 1992). Perekat isosianat yang digunakan untuk balok laminasi berbentuk emulsi cair yang terpisah dengan hardener-nya dan dicampurkan bila akan digunakan. Perekat matang pada suhu kamar, suhu yang lebih tinggi atau pada frekuensi radio dan memerlukan tekanan yang tinggi. Perekat ini memiliki kekuatan basah dan kering yang tinggi, sangat tahan terhadap air dan udara lembab serta sangat tahan terhadap kondisi oasah dan kering yang berulang (Vick 1999).
Gambaran Umum Jenis Kayu Kayu Afrika (Maesopsis eminii Engl.)
Kayu afrika (Maesopsis eminii Engl.) termasuk ke dalam famili Rharnnaceae, dikenal dengan beberapa nama lokal seperti pohon payung, musizi, afrika dm manii. Kayu afrika tumbuh alami di Afrika dari Kenya sampai Liberia antara 8"LU dan 6"LS, kebanyakan ditemukan di hutan tinggi dalam ekozona antara hutan dan sabana. Pada sebaran alami, jenis ini tumbuh di dataran rendah sampai hutan sub pegunungan sampai ketinggian 1.800 m dpl. Jenis ini biasanya ditanam di dataran rendah dan tumbuh baik pada ketinggian 600-900 m dpl dengan curah hujan 1.200-3.600 mmltahun dan musim kering sampai 4 bulan. Jenis ini menyukai solurr~tanah dalam dengan drainase baik, namun dapat tumbuh pada solurn tipis asalkan terdapat air cukup (Joker 2002). Pohonnya meranggas dan dapat mencapai tinggi 45 m dengan bebas cabang 213 tinggi total (Joker 2002). Batang benvarna keputihan, lurus dan berbentuk silir~der pada hutan tanaman dan didapati tumbuh condong ke arah cahaya matahiari apabila tumbuh bersama spesies pohon lain. Kayu gubalnya berwarna harnpir putih d m kayu terasnya kekuningan apabila masih basah berubah menjadi coklat keemasan atau coklat tua setelah lama terbuka. Tekstur kayu agak kasar dengan serat bersilang, menghasilkan corak pada perrnukaan papan. Kerapatan kayu pada kadar air 15% sebesar 0,64-0,72 &m3 dari pohon berumur 42 tahun,
sedangkan dari pohon berumur 6 tahun sebesar 0,58-0,64 &m3 (Ani d m Arninah 2006). Kayu afrika ~nerupakan jenis pohon cepat tumbuh dan serba guna.
Kayunya berkekuatan sedang sampai kuat, digunakan untuk konstruksi, kotak dan tiang.
Jenis ini juga banyak ditanam untuk sumber kayu bakar.
Daunnya
digunakan untuk pakan ternak karena kandungan bahan keringnya mencapai 35% dan dapat dicerna dengan baik oleh ternak. Pulp dari jenis ini sebanding dengan pulp jenis hardwood umurnnya. Pada pola agroforestry ditanam sebagai penaung coklat, kopi, kapulaga dan tell, juga ditanam untuk pengendali erosi (Joker 2002).
Kayu Akasia (Acacia mangium Willd.) Kayu akasia (Acacia mangium Willd.) termasuk dalarn famili Leguminosae, sub-famili Mimosoideae. Secara umum dikenal dengan nama brown salwood, black wattle dan hickory wattle (Australia), manggae hutan, tongke hutan, nak, laj, jerri (Indonesia) dan arr (Papua New Guinea). Sementara itu, di Malaysia dikenal dengan nama mangium dan kayu sofada sedangkan di Thailand dikenal dengan k, a thin tepa (Awang dan I'aylor 1993). Secara umum Acucia mangium Willd. dapat mencapai tinggi 25-35 m dengan bebas cabang melebihi setengah dari total tinggi. Diameternya dapat mencapai lebih dari 60 cm. Pada lahan yang miskin, pohon biasanya lebih kecil, dengan rata-rata tinggi antara 7 dan 10 m. Pohon yang masih muda benvama hijau, kulit kasar dan beralur, berwarna abu-abu atau coklat (Awmg dan Taylor, 1993). Acacia mangium Willd termasuk jenis pohoil cepat tumbuh, tidak memerlukan persyaratan turnbuh yang tinggi dan tidak begitu terpengaruh oleh jenis tanah. Jenis ini dapat tumbuh pada tanah miskin ham, padang alang-alang, bekas tebangan, tanah erosi, tanah berbatu dan juga tanah aluvial. Jenis ini juga dapat beraclaptasi dengan tanah asam (pH 4,5-6,5) di dataran tropis yang lembab Pada tempat tumbuh yzlg baik, pohon berumur 9 tahun tinggin~a mencapai 23 m, dengan rata-rata riap diameter 2-3 cm/th dan produksi kayunya 41,5 m3/ha. Pada areal yang ditumbuhi alang-alang, umur 13 tahun mencapai tinggi 25 m dengan diameter rata-rata 27 cm serta hasil produksi rata-rata 20 rn3/ha/lahun (Awang d m Taylor 1993; Departemen Kehutanan 1994).
Ciri urnum kayu akasia adalah teras benvarna coklat pucat sarnpai coklat tua dimana batasnya tegas dengan gubal yang benvaina kuning pucat sampai kuning jerami.
Corak kayunya polos atau berjalur-jalur benvarna gelap dan
terang bergantian pada bidang radial, tekstur halus sampai agak kasar dan merata dengan arah serat biasanya lurus dan kadang-kadang berpadu. Permukaan agak mengkilap, kesan raba licin dan agak keras sarnpai keras (Mandang dan Pandit 1997). Kayu Acacia mangium Willd. memiliki berat jenis rata-rata 0,61 (0,43-0,66),
tergolong ke dalam kelas kuat 11--111 dan kelas awet 111.
Kegunaannya antara lain untuk bahan konstruksi ringar, sampai berat, rangka pintu dan jendela. perabot rumah tangga, lantai, papan dinding, tiang, pancang, gerobak dan rodanya, pemeras minyak, gagang alat, alat pertanian, kotak dan batang korek api, papan partikel, papan serat, vinir dan kayu lapis, pulp dan kertas, selain itu baik juga untuk kayu bakar dan ;3rang (Mandang . d m
Pandit 1997).