TINJAUAN PUSTAKA Kelinci Kelinci memiliki potensi cukup baik untuk dikembangkan sebagai penghasil daging, kulit/bulu, hewan percobaan, dan hewan untuk dipelihara (Church, 1991). Kelinci termasuk hewan herbivor non-ruminan yang memiliki sistem pencernaan monogastrik dengan perkembangan sekum seperti rumen ruminansia, sehingga kelinci disebut pseudo-ruminansia (Cheeke et al., 1982). Klasifikasi kelinci menurut Lebas et al. (1986) adalah sebagai berikut : Kingdom
: Animal
Phylum
: Chordata
Sub phylum
: Vertebrata
Ordo
: Logomorph
Family
: Lepotidae
Sub family
: Leporine
Genus
: Oryctolagus
Species
: Oryctolagus cuniculus
Gambar 1. Ternak Kelinci Bangsa kelinci yang biasanya paling banyak digunakan sebagai hewan penelitian paramedis adalah New Zealand White. Kelinci ini memiliki beberapa keunggulan antara lain: sifat produksi tinggi, tidak dibutuhkan banyak biaya dalam pemeliharaan, siklus hidup yang pendek, daya tahan yang lebih kuat terhadap penyakit, adaptif terhadap lingkungan yang baru, dan tidak memerlukan tempat yang luas. Kelinci New Zealand White ini termasuk dalam bangsa medium yang memiliki bobot hidup antara 3,5-4 kg (Lebas et al., 1986) dan mencapai bobot dewasa pada umur 5-6 bulan (Cheeke et al., 1982). Kelinci dapat menggunakan protein hijauan secara efisien, reproduksi tinggi, efisiensi pakan tinggi, hanya membutuhkan makanan dalam jumlah sedikit dan
kualitas dagingnya cukup tinggi (Farrel dan Raharjo, 1984). Kelinci merupakan ternak yang mempunyai potensi reproduksi tinggi, laju pertumbuhan cepat, periode kebuntingan yang pendek bila dibandingkan dengan ternak lain, seperti sapi, kerbau, babi, kecuali unggas (Cheeke et al., 1982). Seekor induk kelinci mampu beranak 4-5 kali dalam setahun dengan masa kebuntingan 30-35 hari serta satu periode kelahiran dapat memberikan 6-8 ekor anak (Rismunandar, 1981). Pertumbuhan Kelinci Maynard et al., (1979) menyatakan bahwa bobot badan adalah salah satu ukuran yang baik untuk menyatakan pertumbuhan. Selanjutnya dinyatakan bahwa pertumbuhan adalah pertambahan jumlah dan pembesaran sel-sel tubuh dalam satuan waktu tertentu yang sifatnya khas bagi setiap jenis hewan. Aitken dan Wilson (1962) serta Ghany et al., (1970) menyatakan bahwa bobot badan kelinci adalah 2 kali lipat dari bobot lahir pada minggu pertama dan 3 kali lipat pada minggu ke-3 setelah dilahirkan. Selanjutnya dinyatakan bahwa selama air susu masih merupakan makanan pokok, rata-rata pertambahan badannya 10-20 gr per hari dan pada umur 3 minggu sampai 8 minggu rata-rata pertambahan bobot badannya mencapai 30-50 gr per hari. Setelah umur 10-12 minggu pertambahannya menjadi konstan. Konsumsi Konsumsi adalah jumlah pakan yang dimakan oleh ternak atau sekelompok ternak selama periode tertentu dan ternak tersebut mempunyai akses bebas pada pakan dan tempat makan. Menurut Parakkasi (1999) konsumsi pakan merupakan faktor esensial untuk menentukan kebutuhan hidup pokok dan produksi karena dengan mengetahui tingkat konsumsi pakan dapat ditentukan kadar zat makanan dalam ransum untuk memenuhi hidup pokok dan produksi. Konsumsi dapat dipengaruhi oleh beberapa faktor yaitu faktor internal, faktor eksternal dan lingkungan. Faktor internal berasal dari dalam ternak itu sendiri, faktor eksternal berasal dari pakan sedangkan faktor lingkungan berhubungan dengan lingkungan sekitar dimana ternak tersebut hidup. Konsumsi pakan dipengaruhi oleh palatabilitas, sedangkan palatabilitas pakan tergantung pada bau, rasa, tekstur dan temperatur pakan yang diberikan (Church dan Pond, 1988). Parakkasi (1999) menyatakan bahwa konsumsi ditentukan oleh ; (1) berat atau besar badan, (2) jenis
4
makanan (bahan makanan yang berdaya cerna tinggi), (3) umur dan kondisi ternak, (4) kadar energi dari bahan makanan, (5) stress dan (6) sex atau jenis kelamin. Selain itu faktor-faktor yang mempengaruhi tingkat konsumsi ransum pada ternak kelinci adalah temperatur lingkungan, kesehatan, bentuk ransum, imbangan zat makanan, cekaman, bobot badan, kecepatan pertumbuhan dan yang paling utama adalah energi (NRC, 1977). Menurut Cheeke (1987), konsumsi ransum akan meningkat bila kandungan energi ransum rendah. Ternak kelinci lebih menyukai ransum dalam bentuk pellet dibandingkan ransum bukan pellet (Harris et al., 1983). Menurut Poole (1987), kebutuhan konsumsi bahan kering ransum pellet pada kelinci adalah sebanyak 5 persen dari bobot badan. Pemberian ransum sebaiknya lebih banyak diberikan sore hari dibanding pemberian siang atau pagi hari karena kelinci termasuk binatang malam (Templeton, 1968;Rismunandar, 1981). Kelinci memperlihatkan kemampuan mencerna protein dan lemak dengan baik tetapi tidak demikian halnya dengan serat kasar (Lang, 1981). Kandungan serat dalam ransum juga mempengaruhi konsumsi bahan kering kelinci. Kandungan serat yang tinggi dalam ransum akan mempersingkat penahanan partikel ransum tersebut di dalam saluran pencernaan dan kemudian dengan cepat partikel yang tidak dapat dicerna dikeluarkan bersama feses keras, sehingga pada akhirnya memperbesar kesempatan untuk mengkonsumsi ransum berikutnya. Kebutuhan Ransum Menurut Gillespie (2004) kelinci merupakan hewan monogastrik yang memiliki perut sederhana dan merupakan hewan herbivora. Kelinci memiliki sekum yang besar oleh karena itu bisa mengkonsumsi lebih banyak hijauan dibandingkan dengan ternak monogastrik lainnya seperti babi dan unggas. Ransum yang tidak mencukupi akan memperlambat pertambahan bobot hidup harian dan memperkecil efisiensi penggunaan ransum (Lebas et al., 1986). NRC (1977) menyatakan bahwa kebutuhan hidup pokok ternak kelinci memerlukan bahan kering 3-4% dari bobot badan. Kebutuhan zat makanan untuk kelinci pada periode laktasi berdasarkan NRC (1977) adalah 2500 kkal/kg DE, 1012% serat kasar, 15-17% protein kasar, 2% lemak, 0,75% kalsium, dan 0,5%
5
phosphor. Ransum yang kurang mengandung serat kasar atau kelebihan akan mengakibatkan enteritis (Farrel and Raharjo, 1984). Ensminger (1991) menyatakan bahwa kebutuhan zat makanan kelinci pada saat laktasi adalah 24-26% protein kasar, 3-6% lemak, 12-16% serat kasar, sedangkan Cheeke (1987) menyatakan untuk periode laktasi, kelinci bunting membutuhkan 2700 DE kkal/kg, 70% TDN, 18% protein kasar, 12% serat kasar, dan 5% lemak kasar. Kebutuhan zat makanan kelinci pada berbagai fase dapat dilihat pada Tabel 1. Tabel 1. Kebutuhan Zat Makanan Kelinci Status Fisiologis Kelinci
Zat Makanan Pertumbuhan DE (kkal /kg)
Pemeliharaan
Bunting Laktasi
2500
2200
2500
2700
TDN (%)
65
55
58
70
Protein Kasar (%)
15
13
18
18
Lemak (%)
3
3
3
5
Serat Kasar (%)
14
15-16
14
12
Kalsium (%)
0.5
0.6
0.8
1.1
Phospor (%)
0.3
0.4
0.5
0.8
Sumber : Cheeke (1987)
Ransum Komplit Ransum merupakan campuran jenis pakan yang diberikan kepada ternak setiap hari pada waktu tertentu selama umur hidupnya untuk memenuhi kebutuhan nutrisi bagi tubuhnya. Ransum yang sempurna harus mengandung zat-zat gizi yang seimbang, disukai ternak dan dalam bentuk yang mudah dicerna oleh saluran pencernaan (Ensminger et al., 1990). Ransum komplit merupakan pakan yang cukup gizi untuk hewan tertentu dalam tingkat fisiologi, dibentuk atau dicampur untuk diberikan sebagai satu-satunya makanan dan memenuhi kebutuhan pokok atau produksi, atau keduanya tanpa tambahan bahan atau substansi lain kecuali air (Tillman et al., 1997). Menurut Ensminger et al., (1990), beberapa keuntungan yang diperoleh dari penggunaan ransum komplit adalah antara lain :1) meningkatkan efisisensi
6
pemberian pakan 2) ketika hijauan yang kurang palatabel disuplementasi dengan konsentrat sehingga konsumsi meningkat, begitu pula sebaliknya jika ketersediaan konsentrat terbatas dapat digunakan hijauan sebagai campuran 3) campuran ransum komplit
dapat
memudahkan
ternak
untuk
mendapatkan
pakan
lengkap.
Keistimewaan ransum komplit adalah semua bahan-bahan pakan yakni hijauan, bijian, konsentrat, suplemen protein, mineral, dan vitamin dicampur bersama menjadi satu dan diberikan kepada ternak sebagai pakan tunggal. Pemakaian hijauan dan konsentrat dapat bervariasi dan dalam penyusunannya dapat dicari bahan yang sesuai dengan nilai ekonomis. Rumput Lapang Rumput lapang merupakan campuran dari beberapa jenis rumput lokal yang umumnya tumbuh secara alami dengan daya produksi dan kualitas rendah. Meskipun demikian, rumput lapang mudah didapat, murah, dan pengelolaannya mudah (Wiradarya, 1989). Rumput lapang banyak terdapat di sekitar sawah, pegunungan, tepi jalan, dan semak-semak. Rumput ini tumbuh liar sehingga memiliki mutu yang kurang baik untuk pakan ternak (Aboenawan, 1991). Syarat-syarat rumput sebagai bahan makanan ternak antara lain (1) mempunyai manfaat yang tinggi sebagai bahan makanan, (2) mudah dicerna alat pencernaan dan (3) tersedia dalam keadaan yang cukup. Rumput mengandung zat-zat makanan yang bermanfaat bagi ternak seperti air, lemak, bahan ekstrak tanpa–N, serat kasar, mineral (terutama phosphor dan garam dapur) serta vitamin (Lubis, 1963). Tabel 2. Kandungan Zat Makanan Rumput Lapang Zat Makanan
Rumput Lapang
Air (%)
10,84
Abu (%)
13,98
Protein Kasar (%)
10,10
Lemak Kasar (%)
0,93
Serat Kasar (%)
37,15
Bahan Ekstrak Tanpa N (%)
27,00
Calsium (%)
0,51
Phospor (%)
0,33
Energi Bruto (Kkal/kg)
3460
Sumber : Laboratorium Ilmu dan Teknologi Pakan Fakultas Peternakan, Institut Pertanian Bogor (2008)
7
Lamtoro (Leucaena leucochepala) Lamtoro (Leucaena leucochepala) merupakan tanaman legume pohon serba guna. Lamtoro umumnya ditanam sebagai tanaman pagar dan tanaman pelindung untuk tanaman komersial. Legum pohon ini produktif menghasilkan hijauan, tahan pemotongan, dan penggembalaan berat, dan sebagai pakan tambahan bermutu tinggi. (Soeseno dan Soedaharoedjian, 1992). Tanaman lamtoro merupakan alternatif yang dapat digunakan untuk menutup kekurangan jumlah ataupun mutu hijauan pada musim paceklik (Siregar, 1983). Tanaman lamtoro dapat diberikan kepada ternak berupa hijauan segar, kering, tepung, silase, dan pellet. Menurut Soeseno dan Soedaharoedjian (1992), hijauan lamtoro sangat baik sebagai pakan ternak, dikarenakan daun lamtoro kaya akan protein, karoten, vitamin, dan mineral. Tabel 3. Kandungan Zat Makanan Daun Lamtoro (Leucaena leucochepala)
Zat Makanan
Lamtoro
Air (%)
10,54
Abu (%)
8,60
Protein Kasar (%)
23,32
Lemak Kasar (%)
4,47
Serat Kasar (%)
15,98
Bahan Ekstrak Tanpa N (%)
37,09
Calsium (%)
1,86
Phospor (%)
0,25
Energi Bruto (Kkal/kg)
4393
Sumber : Laboratorium Ilmu dan Teknologi Pakan Fakultas Peternakan, Institut Pertanian Bogor (2008)
Daun Ubi Jalar (Ipomea batatas L) Menurut Rukmana (1997), tanaman ubi jalar (Ipomea batatas L) termasuk tanaman semusim yang memiliki susunan tubuh utama terdiri dari batang, ubi, daun, buah, dan biji. Batang tanaman ini tidak berkayu, berbentuk bulat dengan gabus di bagian tengahnya dan berwarna hijau atau ungu. Bentuk ubi jalar bervariasi sesuai dengan varietasnya, yaitu bulat, lonjong, atau runcing. Daun berbentuk bulat sampai lonjong dengan tepi rata, berlekuk dangkal, sampai belekuk dalam. Daun berukuran
8
lebar, menyatu, ada pula yang bersifat menjari. Daun biasanya berwarna hijau tua atau hijau kekuningan (Najiyati dan Danarti, 2000). Menurut Sudaryanto et al. (1984), dari beberapa hijauan yang dimanfaatkan oleh ternak kelinci, konsumsi daun ubi jalar segar merupakan yang tertinggi, yaitu 379,50 g/ekor/hari pada kelinci jantan dan 389,85 g/ekor/hari pada kelinci betina. Efisiensi pakan yang paling baik juga terlihat pada perlakuan dengan pemberian ransum yang mengandung daun ubi jalar, baik untuk kelinci jantan maupun kelinci betina. Tabel 4. Komposisi Zat Makanan Daun Ubi Jalar (Ipomea batatas L) Zat Makanan
Daun Ubi Jalar
Air (%)
11,54
Abu (%)
12,68
Protein Kasar (%)
22,57
Lemak Kasar (%)
1,02
Serat Kasar (%)
21,49
Bahan Ekstrak Tanpa N (%)
30,7
Calsium (%)
0,79
Phospor (%)
0,38
Energi Bruto (Kkal/kg)
3552
Sumber : Laboratorium Ilmu dan Teknologi Pakan Fakultas Peternakan, Institut Pertanian Bogor (2008)
Bungkil Kelapa Bungkil kelapa merupakan limbah yang diambil dari daging kelapa setelah diekstrak atau dikeringkan. Bungkil kelapa dapat digunakan untuk mensuplai sebagian protein yang diperlukan untuk ternak (Pond et al., 1995). Tillman et al. (1997) menyatakan bahwa bungkil kelapa memiliki komposisi kimia yang bervariasi, akan tetapi kandungan nutrisi yang utama adalah protein kasar sebesar 21,6% sehingga bungkil kelapa termasuk sumber protein untuk ternak. Kandungan serat kasarnya dari bungkil kelapa cukup tinggi, yaitu sekitar 15% dan ini merupakan sifat dari bungkil atau ampas bahan makanan yang berasal dari tumbuhan. Komposisi nutrien dari bungkil kelapa dapat dilihat pada Tabel 5.
9
Tabel 5. Komposisi Nutrien Bungkil Kelapa dan Bungkil Inti Sawit Bungkil Kelapa1 86 6,4 21,6 10,2 12,1 49,7
Komponen Bahan Kering (%) Abu (%) Protein Kasar (%) Lemak Kasar (%) Serat Kasar (%) BETN (%)
Bungkil Inti Sawit2 91 6 14,8 14 23 42,2
Sumber : 1. Tillman et al. (1997). 2. Sue (2005)
Bungkil Inti Sawit Bungkil inti sawit (BIS) adalah hasil samping dari proses ekstraksi inti sawit. Bahan ini diperoleh dengan cara proses kimia atau dengan cara mekanik (Mirwandhono dan Siregar, 2004). Persentase produk utama dan hasil samping kelapa sawit dapat dilihat pada Gambar 2. Tandan Buah Sawit Segar
Tandan
Serat
Minyak
Inti Sawit
Cangkang
Kosong
Mesokarp
Sawit
(5%)
(7%)
Sawit
(13 %)
(20-22%)
(23%)
Lumpur Sawit (2%)
Minyak Inti Sawit ( 45- 46%)
Bungkil Inti Sawit (45-46%)
Gambar 2. Persentase Produk Utama dan Hasil Samping Pengolahan Minyak Sawit Sumber : Elizabeth dan Ginting (2003)
Untuk setiap hektar kebun kelapa sawit, maka akan diperoleh limbah lumpur sawit sebanyak 840–1260 kg dan 567 kg bungkil inti sawit (Sianipar et al., 2003). Sebuah pabrik minyak sawit yang kapasitas mesinnya dapat memproses 800 ton buah
10
sawit segar/hari akan menghasilkan 5 ton lumpur sawit kering dan 6 ton bungkil inti sawit kering per hari (Horne et al., 1994) BIS mengandung serat kasar yang tinggi dan sekitar 20% protein kasar (McNab dan Boorman, 2002). Menurut Elisabeth dan Ginting (2003), BIS kurang disarankan sebagai bahan baku pakan ternak non-ruminansia karena kandungan serat kasar pada BIS lebih tinggi dibandingkan bahan baku sumber protein lainnya. Menurut Adeniji (2004), ransum yang mengandung bungkil inti sawit tidak memberikan pengaruh yang signifikan terhadap konsumsi ransum, pertambahan bobot badan, serta konversi ransum. Peningkatan level penggunaan bungkil inti sawit (12,5; 25; 37,5; dan 50 %) dalam ransum mengakibatkan penurunan level bobot badan akhir kelinci. Persentase penggunaan bungkil inti sawit sebagai pengganti bungkil kacang tanah dalam ransum yang optimal dan direkomendasikan sebagai pakan untuk kelinci lepas sapih adalah 37,5 % dari total bungkil kacang tanah atau 7,5% dari total ransum (Adeniji, 2004). Bobot Lahir dan Bobot Umur Tiga Minggu Berdasarkan faktor nutrisi, Fernandez et al., (1995) menyatakan bahwa korelasi antara makanan yang masuk terakhir kebuntingan dengan litter size sangat kecil. Herman (1989) menyatakan bobot lahir anak berkisar antara 38-95 gr dengan rataan 55 g dana ada hubungan dengan lama kebuntingan. Moerfiah dan Diwyanto (1985) menyatakan bahwa bobot lahir kelinci New Zealand White murni adalah 67,7 g, sedangkan persilangan antara kelinci New Zealand White dan kelinci lokal adalah 49,9 g. Litter size perkelahiran akan sangat berpengaruh terhadap bobot anak yang dilahirkan. Afifi et al., (1989) menyatakan bahwa rata-rata bobot lahir untuk setiap individu akan turun dengan meningkatnya litter size, tetapi bobot lahir total akan meningkat. Kelinci muda mulai mengkonsumsi ransum padat setelah berumur antara 19 sampai 20 hari. Menurut Cheeke et al., (1982) penyapihan dilakukan pada umur anak kelinci 28 hari. Penyapihan anak kelinci pada umur 6-7 minggu menghasilkan yang terbaik (Arrington dan Kelly, 1976). Menurut Rommers et al., (2001) perbedaan pertumbuhan karena pengaruh litter size sebelum penyapihan pada anak kelinci dapat diketahui pada umur 21-30 hari.
11
Bobot hidup kelinci muda umur tiga minggu memberikan perkiraan yang baik terhadap total laktasi karena berkaitan erat dengan produksi susu pada masa laktasi 0-21 hari yang berhubungan erat dengan total produksi susu (r=0,92) (Herman, 1989; Lebas et al., 1986). Kelinci peranakan New Zealand White yang tidak diketahui periode kebuntingannya menghasilkan rataan nilai bobot umur tiga minggu sebesar 196,7 ± 74 g (Suryani, 2002).
12