TINJAUAN PUSTAKA Kelinci Klasifikasi kelinci menurut Damron (2003) adalah sebagai berikut : Phylum
: Chordata
Subphylum
: Vertebrata
Class
: Mammalia
Order
: Lagomorpha
Family
: Leporidae
Genus
: Oryctolagus (rabbits), Lepos (hares), Ochotona (pikas), Sylvilagus (cottontails)
Species
: cuniculus forma domestica (domestic rabbit), cuniculus (wild rabbit)
Whendrato dan Madyana (1986) menyatakan bahwa pada saat ini di Indonesia ada tiga macam kelinci yaitu kelinci lokal, kelinci unggul dan kelinci persilangan (crossing). Kelinci lokal adalah keturunan kelinci yang masuk ke Indonesia sejak lama, dibawa oleh orang Eropa dan Belanda sebagai ternak hias atau kesayangan. Ciri-ciri kelinci lokal adalah: bentuk dan bobotnya kecil, sekitar 1,5 kg, bulu bervariasi putih, hitam, belang dan abu-abu. Sarwono (2009) menyatakan bahwa di Indonesia terdapat kelinci lokal yang ukurannya lebih kecil daripada kelinci impor. Kelinci lokal ini memiliki laju pertumbuhan yang lambat, bobot dewasa 0,91,2 kg. Bulunya yang sangat bagus, corak kombinasi antara putih dan hitam. Kelinci dapat melahirkan empat kali setahun, karena masa buntingnya hanya 30-35 hari dan sekali melahirkan bisa 6-12 ekor anak. Berdasarkan bobot tubuh kelinci, Sarwono (2009) menggolongkan kelinci menjadi tiga tipe yaitu: 1. Kelinci tipe kecil: berbobot antara 0,9-2,0 kg, umur 4-6 bulan sudah siap kawin, umumnya dipelihara untuk ternak hias dan ternak kesayangan seperti varietas Dutch, Lop Dwarf, Nederland Dwarf, Polish, dan Siamese. 2. Kelinci tipe sedang : berbobot antara 2,0-4,0 kg, umur 7-8 bulan baru bisa dikawinkan, dipelihara terutama untuk ternak penghasil daging sekaligus kulit bulu seperti varietas Californian, Carolina, Champagne d’Argent, English Spot, New Zealand, Rex, dan Simonoire. 3
3. Kelinci tipe berat: berbobot 5,0-8,0 kg, umur 10-12 bulan baru bisa dikawinkan, dipelihara untuk ternak penghasil daging sekaligus bulu seperti varietas Checkered Giant, Flemish Giant alias Vlaamsereus, dan Giant Chinchilla. Potensi biologis yang paling signifikan dari kelinci adalah kemampuan reproduksi yang tinggi untuk tumbuh dan berkembang biak dari hijauan, limbah sayuran, dan hasil produk pakan yang mudah tersedia dan murah di sebagian besar daerah pedesaan di Indonesia (Raharjo, 2008). Suhu dan kelembapan lingkungan ideal untuk kelinci yaitu suhu 16˚C-22˚C (Rajeshwari dan Guruprasad, 2008) dan kelembapan 60%-65% (Lebas et al.,1997). Lebas et al. (1997) menyatakan bahwa suhu yang panas dengan kelembapan mendekati 100% dapat menyebabkan masalah serius pada kelinci. Saluran Percernaan Kelinci Makanan dikunyah dalam mulut menggunakan gigi atas (4 buah) dan gigi bawah (2 buah) yang disebut gigi incisors. Makanan kemudian menuju bagian belakang mulut dan dikunyah lebih lanjut oleh gigi bagian belakang (gigi molar) menjadi berukuran semakin kecil dan kemudian ditelan dan menuju esofagus. Esofagus mengalirkan makanan dari faring turun ke lambung. Pada lambung terjadi pemecahan kimiawi makanan dengan adanya HCl dan pemecahan enzimatis dengan adanya pepsin. Setelah mengalami pencernaan kimiawi dan enzimatis makanan menuju usus halus melalu pylorus yaitu batas antara lambung dan usus halus. Usus halus terdiri dari duodenum, jejunum, dan ileum. Penyerapan nutrien makanan terjadi paling besar di usus halus. Di duodenum terjadi penetralan bolus yang asam oleh getah empedu dan pemecahan sari makanan oleh sekresi pankreas (lipase dan amylase) dan pada duodenum penyerapan belum maksimal. Pada jejenum terjadi penyerapan sari makanan secara intensif oleh villi usus dan pada ileum terjadi penyerapan lanjutan. Selanjutnya digesta menuju ke sekum melewati ileo-cecal valve yaitu katup antara usus halus dan sekum. Sekum berfungsi sebagai tempat fermentasi. Bakteri dan protozoa yang terdapat di dalamnya, membantu proses pencernaan sellulosa. Gerakan peristaltik akan mendorong digesta ke arah kolon dan di kolon terjadi penyerapan air sebelum ke anus. Pada saat yang sama, gerakan anti peristaltik memisahkan partikel yang berserat dan tidak berserat serta mendorong 4
kembali partikel berserat ke arah ileo-cecal valve menuju sekum. Partikel berserat mengalami fermentasi atau pencernaan alloenzimatis oleh mikroba di sekum. Terjadi absorpsi air dan zat anorganik di kolon sehingga terbentuk feses setengah keras. Rektum merupakan bagian akhir dari usus besar dan fungsinya sebagai tempat menahan feses sebelum dikeluarkan melalui anus (Murwani, 2009). Bagian-bagian sistem pencernaan kelinci dapat dilihat pada Gambar 1.
Gambar 1. Sistem Saluran Pencernaan Kelinci Sumber: Lebas et al., 1997
Hindgut fermenters yang terjadi di usus besar (sekum dan kolon) memiliki populasi mikroba yang melakukan banyak fungsi pencernaan yang sama seperti pada rumen. Kelemahan hindgut fermenters adalah nutrisi larut seperti gula, asam amino, vitamin, dan mineral diserap di usus kecil sehingga komposisi bahan yang masuk ke hindgut kurang menguntungkan bagi pertumbuhan maksimal mikroba daripada yang terjadi di rumen dimana mikroba memiliki semua nutrisi pakan yang dicerna sebagai substrat yang tersedia. Mikroba dalam hindgut tidak dikenakan proses pencernaan kecuali dari feses yang dikonsumsi. Perjalanan melalui hindgut lebih cepat daripada melalui rumen, yang mengarah pada efisiensi pencernaan serat yang lebih rendah (Cheeke dan Dierenfeld, 2010). Hindgut dari kelinci berfungsi secara selektif mengeluarkan serat dan mempertahankan komponen non serat pakan untuk difermentasi di sekum. 5
Pemisahan dilakukan oleh aktifitas otot dari proximal colon. Partikel serat lebih luas dan kurang padat daripada komponen non serat yang cenderung terpusat di lumen kolon. Cairan dan material yang berukuran kecil cenderung terpusat pada pinggiran kolon. Setelah colon dikosongkan dari
kotoran keras (hard faecal pellet) yang
terutama terdiri dari serat, caecum berkontraksi dan isi caecal dimampatkan ke dalam proximal colon. Mucin disekresikan oleh sel goblet, memproduksi material caecal yang ditutupi dengan membran mucilaginous. Material ini dikenal dengan caecotropes “feses lunak” yang dikonsumsi langsung dari anus (Cheeke dan Dierenfeld, 2010). Menurut Anggorodi (1979), mikroorganisme yang terdapat dalam sekum kuda dan kelinci mampu mensintesa selulase yang dapat mencerna dan merombak selulosa menjadi disaccharida yaitu selobiosa. Kelinci menghasilkan dua jenis kotoran yaitu kotoran keras (fecal pellets) dan kotoran lunak (cecotropes). Kotoran keras sebagian besar terdiri dari serat yang tidak dapat dicerna, sedangkan kotoran lunak terdiri dari isi caecal dan dikonsumsi oleh kelinci secara langsung dari anus, menyediakan protein bakteri dan sintesis vitamin di sekum. Hal ini dapat menjadi strategi pencernaan kelinci untuk mengkonsumsi pakan rendah energi tanpa kerugian karena harus mengangkut dalam jumlah besar serat tidak tercerna dalam usus. Kelinci menghilangkan serat secara cepat dan lebih berkonsentrasi pada aktivitas pencernaan pada komponen bukan serat (nonfiber) yang lebih bergizi (Cheeke, 2005). Perbedaan kandungan nutrisi dalam feses lunak dan feses keras dapat dilihat pada Tabel 1. Tabel 1. Perbedaan Kandungan Nutrisi Feses Lunak dan Feses Keras pada Kelinci Jenis Feses Nutrisi (%)
Cecotropes
Feses normal
Protein kasar (PK)
38,0
15,0
Abu
14,0
15,0
Lemak
1,5
1,8
Serat
14,3
27,8
Sumber: McNamara, 2006
6
Pakan Kelinci Kelinci yang masih hidup liar lebih banyak makan hijauan atau biji-bijian yang ada di lingkungan, tetapi kelinci yang sudah diternakan secara intensif dapat diberikan pakan berupa hijauan, biji-bijian, umbi-umbian, limbah pangan, limbah pertanian, konsentrat dll. Jenis pakan hijauan sebaiknya dilayukan terlebih dahulu sebelum diberikan pada kelinci. Beberapa jenis hijauan yang sebaiknya tidak diberikan pada kelinci yaitu berupa rumput-rumputan yang berbulu seperti alangalang dan rumput gajah yang sudah tua (Sudaryanto, 2007). Terdapat dua bahan pakan yang umum diberikan pada kelinci yaitu pakan komersil yang kandungan nutrisinya sudah seimbang yang biasa dalam bentuk pellet dan pakan hijauan yang berupa hay dan rumput segar (Damron, 2003). Kelinci tidak menyukai pakan dalam bentuk mash dan variasi dalam pakan lebih baik daripada pemberian pakan dengan komposisi tunggal. Perubahan pola makan secara tiba-tiba pada kelinci dapat menyebabkan diare. Palatabilitas dari kelinci dapat dipertahankan dengan pellet yang mempunyai komponen pakan yang lengkap yang hanya diperlukan tambahan hay dan air minum segar dalam pemberiannya (Lowe, 1998). Ketidak tepatan pemberian pakan juga dapat menyebabkan dehidrasi dan kematian (Lowe, 2010). Menurut Cheeke (2005), kelinci merupakan hewan yang cukup rentan terhadap penyakit enteric (enteritis dan diare) yang mengarah pada pakan utamanya. Kelinci sangat sensitif terhadap faktor palatabilitas dan sering menolak untuk mengkonsumsi sejumlah pakan meskipun memiliki spesifikasi bahan yang sama dengan bahan pakan yang pernah dikonsumsi. Konsumsi Pakan Konsumsi adalah faktor esensial yang merupakan dasar hidup dan menentukan produksi. Dari pengetahuan tingkat konsumsi dapat ditentukan kadar suatu zat makanan dalam ransum untuk dapat memenuhi kebutuhan hidup pokok dan produksi. Hewan yang mempunyai konsumsi yang lebih tinggi, produksinya relatif akan lebih tinggi dibanding dengan hewan (yang sejenis) dengan konsumsi yang rendah (Parakkasi, 1999). Lowe (2010) menyatakan bahwa kebutuhan hidup pokok kelinci dewasa memerlukan bahan kering sekitar 3,0%-3,5% dari bobot badan sedangkan untuk 7
hidup pokok dan pertumbuhan diperlukan bahan kering sebanyak 5%-8% dari bobot badan (NRC, 1977). Hasil penelitian Lestari (2004) yang menggunakan kelinci lokal jantan umur 3 bulan dengan bobot badan awal 1.369 gram yang diberikan pakan 0%15% kulit biji kedelai (KBK), menghasilkan konsumsi bahan kering yaitu sebesar 49,14-58,19 g/ekor/hari atau rata-rata 53,89 g/ekor/hari. Cheeke dan Dierenfeld (2010) menyatakan bahwa ada beberapa faktor yang mempengaruhi konsumsi pakan yaitu : (1) palatabilitas dan pilihan pakan, (2) keberadaan zat-zat antinutrisi, strategi pemberian pakan, dan palatability, (3) level energi dalam pakan, (4) protein dan konsentrasi asam amino, (5) Mineral, (6) komposisi pakan, (7) temperatur lingkungan, (8) bunting dan laktasi. Pada umumnya air dianggap bukan sebagai zat makanan, akan tetapi sesungguhnya air merupakan zat yang esensial untuk berbagai proses fisiologis dalam tubuh. Saat air dibatasi, konsumsi pakan akan berkurang. Parakkasi (1999) menyatakan bahwa ada empat fungsi air yang terintegrasi dalam sistem pertumbuhan yaitu: (1) komponen jaringan, (2) merupakan media fisik atau mekanik dalam arti mengantar zat makanan dari saluran pencernaan ke dalam jaringan tertentu untuk sintesis komponen tertentu guna pertumbuhan atau hidup pokok sel tertentu, (3) mengatur fungsi osmosis dalam sel, dan (4) air sebagai pereaksi. Temperatur yang tinggi akan menurunkan tingkat konsumsi. Konsumsi air cenderung merupakan fungsi dari konsumsi bahan kering dan temperatur lingkungan (Parakkasi, 1999). Menurut Rianto et al. (2006), semakin tinggi tingkat konsumsi menyebabkan laju digesta dalam saluran pencernaan semakin tinggi, sehingga waktu yang tersedia bagi enzim untuk mengurai zat makanan menjadi terbatas. Kebutuhan Nutrisi Kelinci Nutrisi yang baik adalah dasar kesehatan dan produksi yang baik (Damron, 2003). Kebutuhan nutrisi kelinci dipengaruhi oleh fisiologi saluran pencernaannya. Kelinci memiliki fermentasi mikroba dalam sekum dan mengkonsumsi isi cecal (cecotrophy). Cecotrophy biasanya terjadi sekali atau dua kali setiap periode 24 jam, umumnya pada malam hari dan biasanya disebut sebagai “kotoran malam” untuk cecotropes. Konsumsi cecotropes menyediakan sumber protein mikroba serta pasokan yang cukup dari semua vitamin B (Cheeke, 2005). 8
Rasyaf (1990) menyebutkan bahwa energi merupakan unsur yang penting bagi ternak. Kekurangan energi akan menyebabkan protein akan diubah menjadi energi dan energi mempunyai cadangan dalam bentuk lemak. Energi berkaitan erat dengan konsumsi protein, dengan kebutuhan protein berbeda sesuai dengan umur, tipe dan macam ternak serta produksi ternak tersebut. Kebutuhan nutisi pada pakan kelinci disajikan dalam Tabel 2. Tabel 2. Kebutuhan Nutrisi pada Pakan Kelinci Nutrisi
Satuan
Pertumbuhan
Laktasi
Bunting
Energi
Kkal/kg
2.500
2.500
2.500
Protein Kasar
%
16
17
15
TDN
%
65
55
58
Serat Kasar
%
10-12
10-12
10-12
NDF*
%
21
21
21
ADF*
%
21
21
21
Lemak
%
2
2
2
Kalsium
%
0,40
0,75
0,45
Pospor
%
0,22
0,5
0,37
Lisin
%
0,65
-
-
Vitamin E
mg
40
40
40
Sumber: National Reseach Council (1977) (*) McNamara (2006)
Cheeke (2005) menyatakan bahwa tingkat energi dalam pakan kelinci cukup rendah, biasanya berada pada kisaran 2.400-2.800 DE/kg pakan kkal. Energi pada pakan yang lebih tinggi cenderung untuk meningkatkan pertumbuhan berlebih mikroba dalam sekum dan menyebabkan penyakit enteric (diare). Jumlah dan jenis serat pakan adalah pertimbangan utama dalam nutrisi kelinci. Serat tidak tercerna seperti selulosa dan lignin yang merupakan fraksi ADF yang memiliki peran penting dalam mempertahankan
pergerakan usus dan
mencegah enteritis (radang usus). Serat tercerna seperti hemiselulosa dan pektin mempunyai fungsi dalam memberikan energi dan meningkatkan populasi mikroba sekum secara optimal. Optimal penggunaan serat pakan adalah 15-20% ADF, 1418% serat kasar (Cheeke, 2005). 9
Kebutuhan protein adalah 16% untuk pertumbuhan maksimum dan 18% untuk menyusui. Kualitas protein pakan adalah penting meskipun protein mikroba dari fermentasi cecal tidak memberikan kontribusi yang signifikan (Cheeke, 2005). Limbah Tauge Pulau Jawa merupakan penghasil utama kacang hijau (P. Radiatus L.) di Indonesia karena memberikan kontribusi 61% terhadap produksi kacang hijau nasional (Kasno, 2007). Kacang hijau adalah tanaman daerah tropis dengan iklim panas, namun dapat tumbuh di semua daerah di Indonesia. Kacang hijau mempunyai zat anti nutrisi seperti anti tripsin 11,16 Tiu/100 g dan hemaglutinin 246,60 Hu/100 g sedangkan setelah menjadi tauge anti tripsin 8,37 Tiu/100 g dan hemaglutinin 209,70 Hu/100g (Okoronkwo et al.,2010). Ekawati dan Lidartawan (1996) menyatakan bahwa anti tripsin adalah jenis protein yang menghambat kerja enzim tripsin di dalam tubuh sedangkan hemaglutinin dapat menurunkan kemampuan dinding usus dalam penyerapan zat makanan sehingga penyerapan protein terganggu. Pembuatan tauge atau kecambah dapat mengurangi anti nutrisi yang ada dalam kacang hijau. Selama perkecambahan, biji-bijian akan mengalami perubahan fisik dan kimiawi yaitu terjadi hidrolisa protein, karbohidrat dan lemak sehingga mudah dicerna. Protein-protein dari sel-sel penyimpanan dirombak oleh sekumpulan enzim proteolitik yang menghasilkan suatu campuran asam amino bebas, bersama dengan amida dari asam glutamat dan aspartat. Pati dirombak oleh enzim α-amilase menjadi dekstrin, sedangkan oleh β-amilase, dekstrin dipecah menjadi maltose. Selama perkecambahan, kandungan gula mengalami perubahan, kadar glukosa dan fruktosa meningkat 10 kali bila dibandingkan pada sebelum perkecambahan (Agustina, 2002). Cara pembuatan tauge yaitu kacang hijau dituang dalam tahang berisi air. Kacang hijau dicuci dengan ayakan di dalam air. Kacang hijau tersebut direndam 6 jam dan ditiriskan dalam keranjang pendek (boboko) serta abu dituangkan dalam keranjang. Keranjang ditutup dengan goni (3 hari) untuk menghasilkan kecambah pendek. Kecambah pendek dipindahkan ke keranjang tinggi yang sudah dilapisi daun pisang (siram air 5 kali/hari). Tauge dipanen setelah 5 hari. Untuk mendapatkan limbah tauge dilakukan pengayakan. Limbah tauge dapat diperoleh dari 10%-15% bagian tauge segar (Ifafah, 2012). 10
Limbah tauge adalah sisa produksi tauge yang terdiri dari kulit kacang hijau dan pecahan-pecahan tauge yang dibawa dalam cucian akhir pembuatan tauge segar yang tidak mempunyai nilai ekonomi dan dapat mencemari lingkungan (Agustina, 2002). Saenab (2010) menyatakan bahwa pengeringan limbah tauge dengan menggunakan sinar matahari hanya membutuhkan waktu rata-rata 2 hari, dengan kadar air 65%-70%. Tepung kulit tauge dapat menjadi salah satu pakan sumber energi, dengan kandungan energi metabolis sebesar 3.737 Kkal/kg. Limbah tauge segar dan limbah tauge kering dapat dilihat pada Gambar 2.
(a)
(b)
Gambar 2. (a) Limbah Tauge Segar, (b) Limbah Tauge Kering Hasil survey Rahayu et al. (2010) menginformasikan bahwa total produksi tauge di daerah Bogor sekitar 6,5 ton/hari dan berpeluang menghasilkan limbah tauge sebesar 1,5 ton/hari. Limbah tauge juga memiliki nilai nutrisi yang cukup baik, yaitu kandungan air 63,35%, abu 7,35%, lemak 1,17%, protein 13,62%, dan serat kasar 49,44%. Ifafah (2012) melaporkan bahwa penambahan limbah tauge pada konsentrat domba juga meningkatkan palatabilitas pakan domba. Pellet Cheeke (2005) menyatakan bahwa pakan pellet mempunyai beberapa keuntungan diantaranya meningkatkan kepadatan pakan, mengurangi debu pada pakan, mengurangi volume saat penyimpanan dan transportasi, serta meningkatkan konsumsi pakan dan mencegah hewan memilih bahan pakan yang disukai sehingga hewan tersebut dapat mengkonsumsi pakan campuran secara keseluruhan. Cheeke (2003) juga menyatakan bahwa pakan dalam bentuk pellet dapat memperbaiki performa hewan dan efisiensi konversi pakan, sedangkan kerugian dari pellet adalah 11
menambah biaya cukup besar (sekitar 10%) untuk menjadi pakan. Endosperm protein, pati, dan serat terlarut mempunyai sifat bebas dan additive dalam meningkatkan stabilitas pellet. Tingginya kadar lemak pada lapisan partikel pakan akan mengganggu pembentukan keterikatan hidrofilik antara bahan sehingga mengurangi kualitas pellet. Tambahan lemak lebih dari 5% cenderung menyebabkan pellet hancur. McNitt et al. (2000) menyatakan bahwa kelinci lebih menyukai pakan dalam bentuk pellet daripada pakan dalam bentuk mash. Kelinci yang sudah disapih akan membuang sejumlah besar pakan pellet jika ukurannya terlalu besar, mereka akan mengambil satu gigitan pellet dan membiarkan sisanya jatuh melalui kandang. Serat Kasar Serat kasar adalah bagian dari total karbohidrat pada pakan yang tahan terhadap perlakuan asam dan alkali serta dianggap mewakili bagian tidak tercerna dari pakan. Komponen terbesar serat kasar adalah selulosa (Crampton dan Harris, 1969). Daya cerna serat pada kelinci sangat rendah. Ukuran dan kepadatan partikel serat yang rendah cenderung berkumpul di lumen dalam kolon. Material bukan serat yang lebih padat dan cairan cenderung memusatkan pada pinggiran kolon. Kontraksi peristaltik pada kolon menggerakkan serat secara cepat untuk dikeluarkan melalui feses. Sementara itu antiperistaltik menggerakkan komponen nonserat seperti pati, protein, dan cairan ke dalam sekum untuk difermentasi. Kelinci memiliki strategi pencernaan yang memungkinkan untuk memisahkan dan mengeluarkan serat tidak tercerna sementara itu tetap mempertahankan komponen non serat yang mudah dicerna untuk difermentasi di sekum (Cheeke, 2005). Cheeke (2003) menyatakan bahwa serat dalam pakan memiliki peran yang penting dalam menjaga kesehatan saluran pencernaan yang normal dan motilitas. Kecernaan serat kasar pada kelinci yang diberi pakan jerami dengan kandungan serat kasar 42% menurut Lebas et al. (1997) adalah 10%-30%. Komponen Dinding Sel Menurut Van Soest (1994), sampel hijauan yang didihkan dalam larutan detergen akan melarutkan protein, gula, mineral, pati, dan pektin. Senyawa yang 12
larut dalam detergen ini disebut dengan isi sel. Senyawa ini sangat mudah dicerna di rumen. Fraksi yang tidak larut detergen disebut dinding sel. Skema dinding sel dan isi sel tanaman dapat dilihat pada Gambar 3.
Gambar 3. Skema Dinding Sel Tanaman dan Isi Sel Tanaman Sumber: Gidenne, 2002
Isi sel adalah bagian yang aktif secara metabolik dari sel tumbuhan dan terdiri dari sitosol dan vakuola. Sitosol berisi inti, mitokondria dan protoplasma seluler mengandung enzim yang terlibat dalam sintesis karbohidrat dan protein, dan kloroplas serta merupakan bagian sel untuk melakukan fotosintesis.Vakuola merupakan tempat penyimpanan limbah sel, cadangan makanan, dan zat beracun seperti alkaloid, tannin, dan glikosida. Nilai gizi suatu hijauan tergantung pada proporsi relatif dari isi sel dan unsur pokok dinding sel, serta derajat lignifikasi dari dinding sel (Cheeke, 2005). Dinding sel terdiri dari bahan metabolik inert dan sangat berserat. Komponen dinding sel meliputi selulosa, lignin, hemiselulosa, dan silika. Selulosa adalah komponen utama dari dinding sel tanaman dan serat tanaman. Lignin dan silika memberikan struktur yang kuat pada dinding sel. Polisakarida (komplek karbohidrat) dari dinding sel terjadi salah satu kristalin (mikrofibril) dan bentuk nonkristalin (matrik). Mikrofibril-mikrofibril terdiri dari molekul selulosa yang membentuk bundle serat. Mereka membentuk pola kristal tiga dimensi. Matrik dibuat dari hemiselulosa dan pektin (Cheeke, 2005). Hemiselulosa adalah karbohidrat kompleks yang mengandung campuran dari monosakarida, jenis utama adalah xylans, mannans, dan galactans yang berisi gula sederhana masing-masing xilosa, manosa, dan galactosa. Pektin adalah NSP (non-starch polysaccharides) yang kaya asam galacturonic dan terjadi di dinding sel tumbuhan (Cheeke dan Dierenfeld, 2010).
13
ADF dan NDF digunakan untuk mengestimasi secara langsung penampilan ternak dan oleh karena itu lebih bermanfaat dibandingkan serat kasar (SK). Parakkasi (1999) menyatakan bahwa kenaikan tingkat serat akan menurunkan tingkat kecernaan, hewan akan mengkonsumsi lebih banyak agar dapat memenuhi kebutuhan energinya. Van Soest (1994) menyatakan bahwa kecernaan serat kasar erat hubungannya dengan kemampuan ternak untuk menghasilkan sumber energi. Skema pembagian hijauan menurut Van Soest dapat dilihat pada Gambar 4. Air
Bahan Makanan
Isi sel (NDS) Bahan Kering
Hemiselulosa Dinding Sel
Silika (SiO2)
(NDF) Lignoselullosa Lignin Detergen Asam (ADL) Gambar 4. Skema Pembagian Hijauan Menurut Van Soest Sumber: Arsadi, 2006
Neutral Detergent Fiber (NDF) Komponen NDF adalah lignin, hemiselulosa, selulosa dan kandungan abu tidak larut serta digunakan sebagai indikator dari konsumsi hijauan Cunningham et al. (2005). Sejak fase awal dari pertumbuhan setelah disapih sampai dengan hewanhewan dikembangbiakan (breeding herd) dilaporkan bahwa dinding sel (Neutral Detergent Fiber atau NDF) adalah faktor utama yang mempengaruhi tingkat konsumsi. NDF erat hubungannya dengan konsumsi dan tersedianya Net Energy (NE) dan Digestible Energi (Parakkasi, 1999). Asupan pakan diatur oleh konsumsi dari NDF tidak tercerna (lignin, silika) dan ketika diberi pilihan ternak cenderung memaksimalkan mengkonsumsi bahan organik yang mudah dicerna. Kulit biji kapas dan kulit ari kedelai mempunyai kandungan NDF yang tinggi (Cheeke dan Dierenfeld, 2010). Semakin voluminous suatu bahan makanan (erat hubungannya dengan kadar NDF) semakin cepat hewan 14
itu merasa kenyang, oleh karena distensi lambung semakin cepat mencapai tingkat yang menyebabkan hewan merasa kenyang (Parakkasi, 1999). Acid Detergent Fiber (ADF) ADF merupakan serat yang tidak larut dalam detergent asam. ADF digunakan untuk mengisolasi selulosa dan lignin pada suatu hijauan (McNitt et al., 2000). Pelarut yang digunakan dalam analisa ADF adalah Acid Detergent Solution (ADS) yang juga melarutkan hemiselulosa dan residunya ini yang disebut Acid Detergent Fiber (ADF). Fraksi ADF sebagian besar terdiri dari selulosa, lignin, silica, dan cutin. Cutin adalah bahan lilin pada permukaan daun. Fraksi ADF dapat dikategorikan lebih lanjut dengan mendidihkan pada H2SO4 konsentrasi 72% yang akan melarutkan selulosa dan meninggalkan residu lignin, silica, dan cutin (Cheeke, 2005). Kandungan Acid Detergen Fiber (ADF) hijauan pakan erat hubungannya dengan manfaat bahan makanan bagi ternak. Parakkasi (1999) menyatakan bahwa ADF berhubungan dengan kecernaan. Bila bahan makanan sukar dicerna, misalnya karena banyak mengandung lignin dan silika, maka relatif lebih banyak energi bahan makanan yang keluar melalui feses. Arsadi (2006) menyatakan semakin tinggi kandungan ADF dalam bahan makanan maka tingkat kecernaan dari bahan makanan tersebut semakin rendah. Keberadaan lignin dapat mengurangi kecernaan nutrisi lainnya, terutama selulosa. Lignin tidak dikenal kandungan nutrisinya kecuali sebagai bulk factor ( Perry et al., 2004). Tomaszewska et al. (1993) menyatakan bahwa ikatan lignin dengan komponen selulosa dan hemiselulosa menjadi penghalang dari kerja enzim yang dikeluarkan oleh mikroba dalam saluran pencernaan. Cheeke dan Dierenfeld (2010) menyatakan bahwa selulosa adalah senyawa organik yang paling melimpah di alam, tetapi tidak dapat dicerna oleh autoenzymatic digesters seperti babi, unggas, dan manusia karena tidak memproduksi enzim selulase yang memecah ikatan gabungan β-D- glucoses. Selulosa menyediakan sumber energi yang sangat baik ketika terdapat enzim selulase, seperti yang ditemukan dalam sistem pencernaan dari semua ternak ruminansia. Selulosa dapat tercerna karena adanya enzim selulase yang diproduksi oleh mikroba dalam rumen, sekum,dan kolon Cunningham et al. (2005). 15
Rumen mikroba mensekresikan selulase yang memecah ikatan kimia yang menghubungkan unit glukosa dalam molekul selulosa. Dengan demikian ruminansia dapat memanfaatkan hijauan dan pakan berserat lainnya, berbeda dengan non ruminan sederhana yang tidak bisa (Cheeke, 2005). Kemampuan kelinci mencerna serat kasar (ADF = Acid Detergent Fiber ) dan lemak makin bertambah setelah kelinci berumur 5-12 minggu (Sarwono, 2009). Nilai kecernaan ADF pada kelinci yang diberi pakan dengan kandungan ADF 15,8% menurut Gidenne et al. (2000) yaitu sebesar 33,6%. Pertambahan Bobot Badan Cunningham et al. (2005) menyatakan bahwa pertumbuhan merupakan peningkatan ukuran tubuh. Terdapat tiga fase pertumbuhan yaitu : (1) pertumbuhan parental yang merupakan peningkatan bobot badan dari kehamilan sampai melahirkan, (2) preweaning merupakan pertumbuhan yang terjadi dari lahir sampai masa sapih, (3) postweaning merupakan pertumbuhan dari lepas sapih sampai penyembelihan. Parakkasi (1995) menyatakan bahwa setelah hewan menjadi tua, bobot badan hidup bertambah dan menjadi gemuk. Pada dasarnya faktor-faktor yang mempengaruhi pertambahan bobot badan adalah potensi genetik, jenis kelamin hewan, pemberian nutrisi dalam pakan, penyakit, adanya pakan aditif, dan faktor lingkungan (Cunningham et al., 2005). Hasil penelitian Lestari (2004) yang menggunakan kelinci lokal jantan umur 3 bulan dengan bobot badan awal 1.369 gram yang diberikan pakan 0%-15% kulit biji kedelai (KBK), menghasilkan pertambahan bobot badan harian yaitu sebesar 5,308,01 g/ekor/hari. Lukefahr dan Cheeke (1990) menyatakan bahwa pertambahan bobot badan harian kelinci lokal bisa mencapai 10-20 gram. Efisiensi Pakan Perbedaan efisiensi penggunaan makanan pada setiap individu disebabkan oleh : (1) kapasitas retensi protein atau pertumbuhan urat daging, (2) komposisi pertambahan bobot badan, (3) distribusi konsumsi energi antara untuk hidup pokok dan untuk produksi (Parakkasi, 1995). Temperatur lingkungan juga mempengaruhi efisiensi penggunaan pakan. Pada temperatur di bawah optimum, efisiensi menurun karena hewan lebih banyak makan guna mempertahankan temperatur tubuh yang 16
normal. Sebaliknya, pada temperatur di atas optimum, hewan akan menurunkan tingkat konsumsinya guna mengurangi temperatur tubuh dan kesemuanya akan menurunkan produktivitas dan efisiensi penggunaan pakan (Parakkasi, 1999). Lestari (2004) yang menggunakan kelinci lokal jantan umur 3 bulan dengan bobot badan awal 1.369 gram yang diberikan pakan 0%-15% kulit biji kedelai (KBK), yaitu sebesar 0,10-0,14.
17