PROGRESIF
Foto : Mohamad Burhanudin
Transformasi Indonesia @transformasi_id
Maret 2015
Salam Transformasi
Urbanisasi sebagai Pendorong Pertumbuhan
(Nugroho Wienarto, Direktur Eksekutif Transformasi)
Urbanisasi selama ini lebih banyak dipandang sebagai salah satu masalah kependudukan di Indonesia. Perpindahan penduduk tersebut dianggap hanya sekadar memindahkan kemiskinan dari desa ke kota. Padahal, data historis negara-negara Asia lainnya menunjukkan korelasi positif antara urbanisasi dengan pertumbuhan ekonomi. Saat ini, tingkat urbanisasi di Indonesia sudah lebih dari 50 persen. Situasi ini menjadikan jumlah penduduk di area perkotaan melebihi jumlah penduduk di perdesaan. Asian Development Bank mencatat, periode tahun 2010-2015 adalah masa transisi beralihnya penduduk dari perdesaan ke perkotaan. Dalam kurun waktu 10-20 tahun ke depan urbanisasi diperkirakan akan meningkat pesat. Sebenarnya, kian meningkatnya jumlah penduduk di perkotaan yang bermigrasi dari desa diharapkan dapat mendorong pertumbuhan ekonomi karena melimpahnya sumber daya manusia di pusat kegiatan ekonomi. Kenyataannya, urbanisasi di Indonesia kurang “elastis” terhadap pertumbuhan produk domestik bruto (PDB) per kapita. Situasi tersebut agak berbeda dengan negara-negara seperti Tiongkok, Vietnam, Thailand, bahkan Malaysia. Di negara-negara tersebut, pesatnya urbanisasi justru menjadi daya dukung bagi pertumbuhan ekonomi dan ikut mendorong kenaikan pendapatan per kapita. Populasi Perkotaan dan Perdesaan di Indonesia 80
150
60
100
40
50
20
Persen
200
Populas (juta)
Puji syukur kami panjatkan kehadirat Tuhan atas terwujudnya e-newsletter Transformasi yang direncanakan terbit setiap bulan ini. Seperti namanya, Progresif, kami berharap e-newsletter ini dapat memberi inspirasi bagi pembaca menuju kemajuan yang lebih baik. Tulisan yang dimuat merupakan karya dari para peneliti dan penulis di lembaga kami, maupun sumbangan tulisan dari luar yang masuk. Sebagai bagian dari Pusat Transformasi Kebijakan Publik, Progresif berupaya menampilkan berita dan analisis kebijakan di sektor yang menjadi prioritas lembaga tersebut, yaitu pengelolaan perkotaan, pengelolaan pesisir, kelautan dan perikanan, serta penciptaan lapangan kerja dan pertumbuhan berkelanjutan. Kami ingin mendorong perbincangan di antara peneliti, pengambil kebijakan di daerah dan pusat, akademisi, pihak swasta, dan masyarakat dalam mengembangkan kebijakan publik yang transformatif di Indonesia. Melalui Progresif pula kami mencoba hadir sebagai media alternatif, yang bukan sekadar menyajikan informasi biasa, tetapi berita yang berbalut analisa padat dan mudah dipahami. Kami menyadari, sebagai anak yang baru lahir, banyak kekurangan dalam sajian, substansi, dan tampilan media ini. Oleh karena, besar harapan kami, sudi kiranya pembaca memberikan masukan kepada kami via email
[email protected] atau melalui rubrik Pojok Interaktif yang kami sediakan di halaman tiga newsletter ini.
0 0 1950 1960 1970 1980 1990 2000 2010 2020 2030 1955 1965 1975 1985 1995 2005 2015 2025
Populasi perdesaan Populasi perkotaan Persen perkotaan (%) Sumber : Asian Development Bank. 2006. Urbanization and Sustainability in Asia
... ke halaman 5 Dilema Pemanfaatan hal.2 Potensi Pesisir
Satu Potensi, Dua Peluang Ekonomi
hal.3
Jakarta, dari Complicated City Jadi Smart City hal.4
PROGRESIF
March 2015
2
Foto : Mohamad Burhanudin
KELAUTAN & PERIKANAN
Foto : Mohamad Burhanudin
Dilema Pemanfaatan Potensi Pesisir
B
anyak parameter untuk memberikan penilaian bahwa Indonesia adalah negara kaya. Bukan hanya karena kekayaan yang ada di darat dan di laut, tetapi juga di pertemuan antara darat dan laut atau yang biasa disebut dengan kawasan pesisir. Indonesia diakui di dunia internasional sebagai negara kepulauan terbesar di dunia dengan jumlah total 17.499 pulau, yang terdiri atas 13.466 pulau bernama dan sisanya 4.033 pulau tidak bernama. Indonesia juga menjadi negara dengan garis pantai terpanjang kedua setelah Kanada dengan panjang garis pantai mencapai 80.791 kilometer (Kelautan dan Perikanan Dalam Angka 2013). Panjangnya garis pantai itulah yang menyebabkan Indonesia memiliki kawasan pesisir yang sangat luas dan tentu saja amat penting bagi sebagian besar penduduknya. Diperkirakan, 60 persen dari total penduduk Indonesia tinggal di kawasan pesisir. Karena potensi kawasan pesisir begitu besar, maka banyak orang yang tertarik hidup di kawasan pesisir. Selain semakin padatnya permukiman, kawasan pesisir juga dimanfaatkan untuk kegiatan lainnya dalam mencari penghasilan. Kawasan pesisir bisa dimanfaatkan untuk penangkapan ikan, pembudidayaan (ikan, udang, dan rumput laut), kawasan pariwisata (menyelam dan memancing), pelabuhan untuk akses keluar masuknya barang, penambangan energi, dan kegiatan lainnya. Namun, amat disayangkan, kegiatan pengelolaan potensi kawasan pesisir ini menyebabkan kerusakan ekosistem. Seluruh kegiatan ini dalam jangka panjang mengancam kelestarian hutan mangrove, padang lamun, terumbu karang, dan keanekaragaman hayati lainnya. Kementerian Kelautan dan Perikanan mencatat, sampai tahun 2012, hanya 5,3 persen terumbu karang di Indonesia yang kondisinya sangat baik dan 27,18 persen baik. Sisanya, dalam kondisi minus atau kurang baik sebesar 30,45 persen dan kondisi cukup sebesar 37,25 persen. Tentu saja hal ini menjadi dilema karena semakin banyak potensi kawasan pesisir yang dimanfaatkan oleh masyarakat, maka akan akan semakin tinggi risiko kerusakan ekosistem di dalamnya. Nelayan sudah merasakan dampaknya lebih dahulu. Hasil tangkapan ikan nelayan semakin menurun. Selain itu, nelayan juga harus
melaut lebih jauh untuk mendapatkan hasil tangkapan. Karena itu, perlu diambil langkah dalam menanggulangi hal ini agar tidak semakin memperburuk keadaan. Contoh best practice yang bisa diterapkan untuk mengurangi risiko kerusakan ekosistem tersebut adalah Aceh. Di Bumi Serambi Mekkah itu ada kewenangan pengelolaan laut yang dikendalikan oleh sebuah lembaga adat yang dikenal sebagai Panglima Laot. Lembaga adat ini membuat dan menerapkan aturan dalam penangkapan dan pemeliharaan ikan yang diikuti oleh masyarakat. Salah satu aturannya adalah melarang penggunaan kompresor untuk menangkap lobster. Selain untuk memenuhi rasa keadilan karena akibat penggunaan kompresor ini nelayan dengan alat tangkap tradisional kalah bersaing untuk mendapatkan lobster, aturan ini juga bertujuan untuk menghindari kepunahan sumberdaya laut tersebut. Memang, tidak dapat dipungkiri bahwa semakin pesat pembangunan kawasan pesisir maka semakin besar kemungkinan mengalami risiko kerusakan ekosistem. Namun demikian, risiko ini bisa diminimalkan dengan cara membuat peraturan kawasan, seperti yang diterapkan di Aceh. Tentu saja ini menjadi tugas bersama, baik itu pemerintah, lembaga swadaya masyarakat, peneliti, akademisi, dan tentu saja masyarakat lokal.
(Hira Almubarokah)
Progresif Quotes
Kegagalan tidak akan pernah datang jika tekad Anda untuk sukses begitu kuat - OG Mandino (Penulis AS)
PROGRESIF
3
Foto : Mohamad Burhanudin
EKONOMI
March 2015
Satu Potensi, Dua Peluang Ekonomi
M
engembangkan industri manufaktur padat karya berorientasi ekspor menjadi pilihan terbaik bagi Indonesia saat ini untuk menyerap jutaan tenaga kerja yang tumbuh setiap tahunnya. Bukan hanya itu, industri manufaktur berorientasi ekspor juga menyediakan peluang bagi kita meneguk untung dari pelemahan nilai tukar rupiah. Tidak mudah memang. Namun, bukan berarti kita tak memiliki peluang sama sekali. Sejumlah daerah di Indonesia memiliki potensi besar untuk pengembangan sektor ini. Dengan jumlah penduduk yang besar dan infrastruktur yang relatif menunjang, Jawa Tengah dan Jawa Timur adalah dua provinsi dengan potensi pengembangan industri manufaktur padat karya yang tinggi. Dalam buku “Pilihan Ekonomi yang Dihadapi Presiden Baru”, bahkan, Papanek, Pardede, dan Nazara (2014), menyebut, dengan upah buruh terendah di seluruh Indonesia, Jateng adalah lokasi terbaik yang dapat dikembangkan sebagai pusat industri manufaktur padat karya. Jumlah penduduk yang banyak dan upah minimum pada kisaran 84 dollar Amerika Serikat per bulan, membuat provinsi ini masih dapat bersaing dengan Vietnam, Thailand, dan India, yang memiliki tingkat upah tak jauh berbeda. Meskipun memiliki tingkat upah yang tak serendah Jateng, Jatim juga dapat menjadi alternatif berikutnya untuk pengembangan industri manufaktur padat karya berorientasi ekspor. Dengan infrastruktur dan logistik yang lebih memadai serta perekonomian yang lebih atraktif, bahkan, Jatim sangat potensial untuk pengembangan jenis industri tersebut dalam jangka waktu yang lebih cepat atau quick win dibanding provinsi lainnya. Keberadaan Pelabuhan Tanjung Perak, yang merupakan pelabuhan terbesar kedua di Indonesia , menjadi salah satu kelebihan Jatim. Selain itu, sebagai sebuah hub, Surabaya juga dikenal sebagai kota kedua terbesar di Indonesia, serta pusat perekonomian Indonesia bagian Timur. Memanfaatkan pelemahan rupiah Keberadaan infrastruktur jalan yang lebih memadai, relatif lebih banyaknya zona-zona kawasan industri juga menjadi potensi berikutnya bagi provinsi ini. Meski begitu, pemerintah harus segera menyiapkan regulasi pendukung
yang lebih baik, insentif, ketersediaan listrik, dan kepastian hukum. Selain itu, pemerintah juga harus memastikan kemudahan menjalankan bisnis di kawasan-kawasan industri yang hendak dikembangkan. Jika hal itu bisa dipenuhi, pengembangan manufaktur padat karya berorientasi ekspor di Jatim akan memiliki dua keuntungan sekaligus, yakni menyerap tenaga kerja dan memanfaatkan pelemahan nilai tukar rupiah, yang kini berada pada kisaran Rp 13.000 per dollar AS. Nilai tukar rupiah yang kini kian melemah justru akan dapat menurunkan biaya tenaga kerja dan biaya domestik lainnya bagi para eksportir, sehingga sekali lagi menjadikan produk Indonesia lebih kompetitif (Papanek, 2014). Namun, semuanya memerlukan kerja keras, niat baik, dan konsistensi Pemerintah Indonesia untuk memanfaatkan satu potensi yang bisa menghadirkan dua peluang ekonomi tersebut. (Joanna Octavia)
Pojok Interaktif
(Silakan mengirimkan surat berisi komen, keluhan, atau kritikan mengenai layanan publik atau isi newsletter ini ke alamat email kami di
[email protected], dengan menyertakan alamat dan nomor telepon yang bisa dihubungi)
Pesepeda Dianaktirikan Beberapa tahun lalu, kampanye bersepada menuju tempat kerja atau bike to work sempat menggema di Jakarta. Namun sayangnya, kampanye tersebut sepi kelanjutan. Memang, masih ada sebagian kecil warga yang konsisten pergi bekerja dengan naik sepeda, seperti halnya saya. Tapi, dari waktu ke waktu makin berkurang jumlahnya. Beberapa teman saya, yang dulunya naik sepeda ke kantor seperti saya, ada yang terpaksa kembali naik sepeda motor atau angkutan umum. Masalah utamanya hanya satu, yakni jalanan Jakarta kian tak ramah dan aman bagi pengendara sepeda. Tak ada jalur khusus sepeda. Badan jalan dipenuhi kendaraan bermotor. Bahkan, sisi jalan terpinggir yang dulu dikampanyekan untuk pesepeda seringnya dikuasai bajaj atau sepeda motor. Padahal, jika bersepeda ke kantor bisa makin digiatkan dan dimudahkan, masalah kemacetan dan polusi dapat dikurangi, warga pun sehat. Pemerintah jangan menjadikan kegiatan bersepeda ke tempat kerja sekadar sebagai pencitraan belaka. (Arif Santoso, warga Mampang Prapatan, Jakarta Selatan)
March 2015
4
Foto : Mohamad Burhanudin
PEMBANGUNAN PERKOTAAN
PROGRESIF
Jakarta, dari Complicated City Jadi Smart City
G
ubernur DKI Jakarta, Basuki Tjahaja Purnama memiliki impian untuk menjadikan Jakarta sebagai smart city. Salah satu upaya yang dilakukan yaitu, diluncurkannya aplikasi Smart City pada 15 Desember 2014. Aplikasi ini diperuntukan bagi masyarakat Jakarta yang ingin mengadukan masalah kemacetan, banjir, dan masalah lainnya. Mungkin ini menjadi langkah awal yang baik untuk menyelesaikan segala persoalan di Jakarta yang kompleks, agar permasalahan yang diadukan dapat segera diselesaikan satu demi satu. Kenyataannya, penyelesaian selalu tak secepat masuknya aduan lewat media digital tersebut. Digitalisasi memang penting sebagai infrastruktur penunjang smart city. Namun, smart city bukan sekadar digitalisasi. Lalu, bagaimana agar Jakarta bisa tumbuh sebagai smart city? Banyak pakar perkotaan mendeskripsikan pengertian dari smart city. Dari sejumlah pengertian yang ada, smart city tersimpul sebagai sebuah kota yang menggunakan tekonologi digital untuk meningkatkan kinerja, kesejahteraan, dapat mengurangi biaya tinggi dan konsumsi sumber daya, serta mampu melibatkan warganya dalam pembangunan kota secara efektif dan aktif. Jadi jelas bahwa indikator smart city tersebut adalah kota yang cerdas secara ekonomi, mobilitas, lingkungan, kepemerintahan, hidup, dan individu yang ada di dalamnya. Dari enam indikator itu bisa dikatakan bahwa Jakarta hanya memenuhi 2 indikator smart city, yaitu ekonomi dan individu. Hal ini terlihat dari kelas menengah yang dimiliki, serta tingkat pendidikan warganya yang relatif tinggi.
Masalah banjir dan kemacetan jelas menunjukkan bahwa Jakarta punya masalah di mobilitas, lingkungan, birokrasi, dan hidup layak. Masalah lain yang perlu diperbaiki adalah sistem pemerintahan. Keributan perihal transparansi Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD) 2015 DKI Jakarta antara Gubernur DKI Jakarta, Basuki Tjahaja Purnama dan DPRD DKI membuat beberapa pelayanan publik tersendat. Tontonan tidak mendidik tersebut membuat masyarakat semakin kehilangan kepercayaan terhadap wakil rakyat yang dipilihnya. Masalah mendasar lain menyangkut kehidupan layak seperti menjadi pekerjaan rumah yang panjang untuk diselesaikan seperti, pelayanan kesehatan, keamanan individu, penyediaan lapangan kerja, dan lain-lain. “Dengan segala permasalahannya sekarang, Jakarta lebih cocok dijuluki complicated city. Mobilitas, lingkungan, kepemerintahan, dibarengi dengan jumlah penduduk yang padat membuat tantangan menjadi smart city tentu lebih sulit dibandingkan dengan kota lain dengan jumlah penduduk yang jauh lebih sedikit,” ujar Nugroho Wienarto, Executive Director Transformasi. Dengan beberapa permasalahan tersebut, yang menjadi pertanyaan apakah Jakarta bisa meraih label smart city yang selalu dicita-citakan? Tidak ada yang mustahil jika semua pemangku kepentingan, terutama Presiden mau belajar dari permasalahan masa lalu, dan dari ibukota negara lain yang mempunyai permasalahan dan karakter yang sama dengan Jakarta. Jika hal ini terwujud, tidak mustahil Jakarta menjadi salah satu ibukota terbaik di dunia, dan bukan hanya menjadi the better Jakarta, atau smarter Jakarta, namun the smartest city of Jakarta. (Muhammad Syarifullah)
PROGRESIF
March 2015
EDITORIAL
Menyambut Urbanisasi
S
eperti halnya di belahan dunia lain, urbanisasi merupakan fenomena yang tak terelakkan di Indonesia. Penduduk perkotaan akan melonjak dari 53 persen pada tahun 2014 menjadi 66,6 persen pada tahun 2035. Tak pelak, Indonesia pun masuk ke dalam the most urbanizing country in the world. Pertanyaannya, siapkah kita menyambutnya sebagai peluang? Urbanisasi menjadi penting untuk dibahas karena memiliki dampak besar terhadap pembangunan. Dia seperti pedang bermata dua. Dapat menjadi penghambat, namun dapat pula menghadirkan peluang bagi percepatan pembangunan. Untuk menjadi peluang, dibutuhkan kerja keras dan serangkaian tindakan dari pelaku dan pembuat kebijakan memanfaatkan potensi yang hadir seiring urbanisasi. Potensi-potensi tersebut di antaranya, sumber daya manusia yang besar, kegiatan ekonomi yang beragam, serta bertambahnya ruang yang berpotensi menunjang peningkatan layanan dasar. Urbanisasi mengondisikan sebuah kota menjadi lebih besar, baik dari segi populasi, ukuran, maupun perannya. Tentunya, perlu perencanaan yang tepat dalam menyiapkan sumber daya manusia dengan pengetahuan dan keterampilan yang memadai. Selain potensi kependudukan, urbanisasi juga bisa mendorong pertumbuhan ekonomi. Ukuran kota yang membesar atau berubah fungsi dari kabupaten ke kota menawarkan skala ekonomi dalam hal usaha produktif, komersial, dan investasi publik dengan cakupan lebih luas
Tim Redaksi
dan frekuensi lebih tinggi. Peran kota tersebut semakin penting secara ekonomi termasuk bagi daerah sekitarnya, bahkan, dapat menjadi hub perdagangan di suatu zona yang dapat mengalirkan pemasukan dari setiap transaksi maupun investasi. Para ahli memperkirakan, perkembangan ekonomi global dan regional akan bergeser dari kawasan Eropa-Amerika ke kawasan Asia Pasifik. Realitas ini akan menempatkan kota-kota besar di Indonesia sebagai pusat kegiatan ekonomi untuk perdagangan barang dan jasa dari mesin pertumbuhan global. Kesiapan Indonesia dan pusat-pusat perkotaan perlu dilakukan di segala bidang secara menyeluruh termasuk dalam daya saing sumber daya manusia dan aktivitas ekonomi produktif serta kesiapan infrastruktur. Namun, pembangunan perkotaan sebaiknya juga perlu diselaraskan dengan tujuan peningkatan kesejahteraan dan kualitas hidup manusia. Proses pembangunan yang integratif akan memberikan kesempatan pada peningkatan sumber daya manusia, dan pengelolaan aset yang produktif, sehingga dapat berkontribusi pada pertumbuhan ekonomi. Pada era desentralisasi saat ini, pemerintah daerah yang berada di garda depan dalam menghadapi tantangan tersebut karena kebijakan dan implementasi program perkotaan berada dalam otoritasnya. Siap atau tidak, kepala daerah dan aparat pemerintah daerah dituntut untuk mampu memahami dan mengelola urbanisasi sebagai peluang, bukan ancaman. (Nazla Mariza)
Urbanisasi sebagai Pendorong Pertumbuhan
(dari hal.1)
Penasihat
Sarwono Kusumaatmadja Jonathan Pincus
Pemimpin Umum Nugroho Wienarto
Deputi Pemimpin Umum Nazla Mariza Fardila Astari Ethika Fitriani
Pemimpin Redaksi Mohamad Burhanudin
Staf Redaksi
Andika Pambudi Buyung Y Setiawan Hira Almubarokah Joanna Octavia Muhammad Syarifullah Wicaksono Prayogie
Produksi
Andryanto Suswardoyo Erick Harlest Budi R
Administrasi & Keuangan Ratna Diektikana Arif Santoso Priska Apriliasari
Alamat Redaksi
Graha Iskandarsyah lt.11. Jl Raya Sultan Iskandarsyah 66C. Melawai, Kebayoran Baru. Jakarta 12160. Indonesia Phone +62-21-2702-401/2 Fax +62-21-7209-946 Email
[email protected] www.transformasi.org
Minus acuan strategi Ketidakmampuan Indonesia dalam memanfaatkan urbanisasi bagi perekonomian ditengarai karena tidak efektifnya kebijakan dan strategi pemerintah pusat maupun daerah terkait pembangunan perkotaan khususnya dalam mengantisipasi urbanisasi. Sebagai contoh, sampai saat ini belum ada kebijakan dan strategi pembangunan perkotaan yang dijalankan oleh pemerintah. Badan Perencanaan Pembangunan Nasional (Bappenas) dan Kementerian Pekerjaan Umum sudah menyusun Dokumen Kebijakan dan Strategi Pembangunan Perkotaan Nasional (KSPPN) 2010-2025. Namun, dokumen tersebut belum bisa dilaksanakan karena sampai saat ini pemerintah belum mempunyai payung hukum peraturan perundangan, sehingga dokumen tersebut belum dapat menjadi acuan bagi pembangunan perkotaan. Kehadiran urbanisasi di tengah proses pembangunan di Indonesia membawa pelbagai masalah dan tantangan secara multi-dimensi. Tantangan yang dihadapi ini memiliki beraneka ragam tipe tergantung karakterisitik kota. Kota-kota besar, seperti Surabaya, Medan, dan Makassar-menghadapi tantangan yang berbeda dengan kota kecil, seperti Tarakan atau Sawahlunto. Sebagai contoh, kota besar seringkali menghadapi permasalahan banjir, macet, kawasan kumuh, atau buruknya sanitasi. Sementara, kekurangan infrastruktur publik atau kelangkaan lapangan pekerjaan merupakan tantangan yang harus diatasi oleh banyak kota kecil di Indonesia. Pelbagai tantangan tersebut perlu direspons dengan cepat oleh pengambil kebijakan di tingkat pusat maupun daerah, serta masyarakat pada umumnya. Sebagai sebuah melting pot atau muara akhir dari proses urbanisasi, kota dituntut mempunyai kapasitas yang cukup dalam mengelola perkotaan. Ilustrasi pembuka ini menunjukkan bahwa peningkatan kapasitas pemerintah kota terasa penting sebagai langkah awal dalam memanfaatkan urbanisasi bagi pembangunan perkotaan secara optimal. (Andika Pambudi)
(Isi artikel ini disarikan dari paper penelitian Wicaksono Sarosa bekerjasama dengan Transformasi, berjudul: Urbanization in Indonesia: Key Challenges and Policy Responses, 2015)
5
PROGRESIF
UMUM
PUBLIKASI TERBARU LAPORAN KEMAJUAN January 2015
BAGAIMANA KEMAJUAN KINERJA PEMERINTAH DAN PEREKONOMIAN?
Pengukuran Kemajuan yang Obyektif Terhadap Sasaran Pertumbuhan Ekonomi 10% dan Penciptaan 4 Juta Pekerjaan Layak Setiap Tahun Gustav F. Papanek
Senior Adviser of Center for Public Policy Transformation
O
tonomi daerah merupakan salah satu penanda hadirnya Orde Reformasi di negeri ini. Sebuah tatanan baru yang dimaksudkan untuk mengakhiri mimpi buruk sentralisasi era Orde Baru, dan memulai mimpi baru hadirnya tata kelola pemerintahan yang baik, serta pemerataan kesejahteraan dari pusat hingga daerah. Namun, realitas seringkali tak seindah mimpi. Dalam kurun waktu 15 tahun terakhir, implementasi otonomi daerah di tingkat lokal cenderung menjauh dari harapan. Praktik oligarki dan neofeodalisme oleh elite-elite lokal kian menguat. Tak sedikit daerah yang pucuk pimpinan pemerintahannya memiliki hubungan kekerabatan itu, misalnya antara bupati atau wali kota dengan pimpinan dewan perwakilan daerah (DPRD)nya. Bahkan, ada beberapa kasus, bupati atau wali kota yang sudah habis masa jabatannya, digantikan oleh anak atau istrinya. Politik kekerabatan tersebut tak menjadi masalah asalkan berbasis pada kapasitas, kualitas, dan nilai integritas. Namun kenyataannya, oligarki berbasis kekerabatasan itu justru membuat mekanisme kontrol terhadap pemerintahan kurang berjalan, sehingga rawan menghadirkan korupsi yang massif. Direktur Jenderal Otonomi Daerah, Kementerian Dalam Negeri, Djohermansyah Djohan, mengungkapkan, hingga Mei 2014, tercatat 325 dari 524 kepala daerah di Indonesia terjerat kasus korupsi. Di tubuh legislatif di daerah juga tak kalah mengerikan. Wakil Ketua Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) nonaktif, Bambang Wijayanto mengungkangkan, hingga September 2014, ada 3.600-an anggota DPRD yang terjerat kasus korupsi (Kompas, 25/9/2014). Kewenangan besar yang dimiliki para pemimpin di daerah terutama eksekutif dan legislatif dari terbitnya Undang Undang 32 tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah, tidak dapat menjadi senjata besar bagi upaya peningkatan kesejahteraan rakyat. Alih-alih penguatan check and balances, kondisi ini justru mendorong maraknya konflik kepala daerah versus DPRD. Kepala daerah seringkali tersandera kepentingan pragmatis untuk membangun deal-deal politik tertentu dengan elite-elite di legislatif agar kepentingan politik mereka tak diganggu. Deal-deal politik ini kerapkali berujung korupsi.
Yang terlupa
Sebagai jalan keluar dari gelapnya masa sentralisasi, otonomi daerah memang dibutuhkan untuk membawa kepada mimpi kesejahteraan yang merata. Namun, harus diakui, ada yang masih terlupakan oleh pemerintah dalam penerapan tatanan ini, yaitu upaya terus menerus dalam pengawasan dan peningkatan kapasistas daerah untuk menjalankan tatanan di semua lini sistem yang ada. Hal yang penting berikutnya adalah sikap terbuka dari pemerintah daerah terhadap kajian ilmiah dan komprehensif dalam pengambilan kebijakan strategis di daerah. Universitas-universitas lokal yang sudah sangat terbiasa dalam melakukan penelitian dapat dilibatkan untuk dapat memberikan masukan, sebagaimana juga peningkatan kapasitas birokrat di daerah dalam melakukan sebuah perencanaan. Kesadaran politik masyarakat lokal juga harus terus dibangun untuk mengritisi tata kelola dan jalannya pemerintahan di lokal. Dengan cara itu, pertimbangan yang lebih bernuansa politis dan “dagang sapi” antar-elite dapat dikurangi. Cita-cita otonomi daerah pun dapat dicapai. (Buyung Y Setiawan)
Foto : Mohamad Burhanudin
Foto : Mohamad Burhanudin
Oligarki di Era Otonomi
6
March 2015
Laporan Kemajuan RINGKASAN
Laporan Kemajuan kedua ini berfokus pada permasalahan krusial terkait pesatnya peningkatan ekspor barang-barang sektor manufaktur. Namun demikian, data menunjukkan bahwa pangsa pasar Indonesia di pasar dunia justru menurun, sementara beberapa negara pesaing Indonesia telah meningkatkan pangsa pasar mereka, terutama Vietnam, yang pangsa pasarnya meningkat hampir 20 kali lipat. Para pesaing secara bertahap memasok beberapa barang yang sebelumnya disediakan Tiongkok, sementara Indonesia bahkan tidak dapat mempertahankan pangsa pasarnya. Para pesaing telah menunjukkan bahwa kebijakan dan program yang tepat dapat mencapai tingkat pertumbuhan yang mereka inginkan.
Bagaimana Kemajuan Kinerja Pemerintah dan Perekonomian?
Bahkan dalam empat tahun terakhir, setelah berakhirnya ledakan komoditas, ekspor barang manufaktur Indonesia telah menjadi stagnan. Seiring terus berkurangnya pendapatan dari
KEGIATAN MENDATANG FGD “Strategi dan Dukungan Kebijakan Pengembangan Industri Nasional Padat Karya dan Berorientasi Ekspor 19 Maret 2015
Penandatanganan MOU Antara Transformasi dan Kementerian Kelautan dan Perikanan 2015
Riset Kelautan dan Perikanan di Flores Timur dan Lombok Timur April 2015
TRANSFORMASI UPDATE SEIZING THE URBAN MOMENT www.newcitiessummit2015.org
OFFICIAL PARTNER
JAKARTA JUNE 09 11, 2015
Seizing
Transformasi telah menjadi mitra resmi the urban New Cities Foundation untuk moment menyelenggarakan #ncs2015 kegiatan News Cities Summit 2015 yang akan digelar 9-11 Juni 2015 di Jakarta. Dalam acara ini, 800 pakar perkotaan dari berbagai negara di dunia akan hadir mengupas newcitiessummit2015.org mengenai masa depan perkotaan menghadapi gelombang urbanisasi. CITIES AT THE HEART OF GROWTH & DEVELOPMENT