URBANISASI TANPA TRANSFORMASI SOSIAL EKONOMI? Drs. JANIANTON DAMANIK, Msi Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Jurusan Ilmu Kesejahteraan Sosial Universitas Sumatera Utara 1. PENDAHULUAN Salah satu alasan mengapa perhatian para ahli sangat besar terhadap masalah urbanisasi di negara-negara berkembang adalah ledakan pertumbuhan kota-kota besar menjelang dasawarsa 80-an yang tidak pernah diramalkan sebelumnya. Berbeda dengan pengalaman di negara maju, pertumbuhan penduduk perkotaan di negara berkembang berlangsung tanpa terencana. Artinya hal itu tidak paralel dengan perkembangan ekonomi perkotaan tersebut yang sesungguhnya sangat lambat pada periode yang sarna. Pada dasarnya hanya sedikit data yang dapat dipakai acuan untuk mengungkapkan kapan terjadinya ledakan penduduk perkotaan di negara berkembang. Diperkirakan bahwa dari sekitar 725 juta penduduk dunia yang tinggal di kota pada tahun 1950, hanya sekitar 38 persen di antaranya penduduk negara berkembang. Secara tidak terduga seperempat abad kemudian angka persentase itu bergerak naik menjadi sekitar 51 persen untuk negara berkembang dan 49 persen untuk negara maju. Diperkirakan pada tahun 2000 ini perbedaan persentase tersebut semakin melebar menjadi 66 dan 34 persen 1. Fakta seperti ini tentu saja menarik untuk dikaji lebih jauh, sebab dengan demikian perkembangan tersebut berlangsung tanpa mengikuti model pertumbuhan kota yang pernah dialami oleh negara maju. Kota di negara berkembang tumbuh dengan pesat tanpa harus dirangsang oleh pertumbuhan sektor ekonomi perkotaan. Sebaliknya di negara-negara maju justru faktor pertumbuhan ekonomilah yang merangsang perkembangan daerah perkotaan atau urbanisasi. Bagi negara berkembang kecenderungan tersebut ditandai oleh minimnya infrastruktur perkotaan yang mampu menopang kehidupan penduduk setempat. Dengan demikian sejarah urbanisasi di negara berkembang telah membalikkan asumsi teori urbanisasi yang terlanjur dibangun berdasarkan pengalaman negaramenjadi penggerak negara maju. Asumsi itu adalah bahwa industrialisasi 2 urbanisasi dan kota hanya mampu berkembang atas dasar topangan industrialisasi. Fakta menunjukkan bahwa laju industrialisasi di negara berkembang sangat lamban, 1
2
Todaro, Michael P dan Stilkind, Jerry, ,,Dilema Urbanisasi’’ , dalam C. Manning dan T. N. Effendi (ed), Urbanisasi, Pengangguram dan Sektor Informal di Kota, Jakarta, PT. Gramedia, 1985, hal. 5. Di sini konsep industrialisasi tidak terbatas pada pengertian peningkatan teknik dan proses pengolahan bahan baku, melainkan juga meliputi ,,division of labour, cultural rationalization, a factory system and mechanization…” . Lihat: Marshall, Gordon, Oxford Dictionary of Sociology, Oxford, Oxford University Press, 1998, hal. 311.
©2003 Digitized by USU digital library
1
tetapi tingkat urbanisasi justru relatif tinggi. Hal ini setidaknya menunjukkan bahwa pola urbanisasi tidak harus linear dengan industrialisasi seperti yang terjadi di negara-negara industri. Di negara berkembang tampaknya latar belakang terjadinya kota itulah yang mempengaruhi pola urbanisasinya. Penjelasan singkat ini cukup penting diketahui untuk melakukan analisis lebih lanjut tentang fenomena urbanisasi di negara berkembang. Tulisan ini mencoba untuk menganalisis tema yang sarna dengan titik-berat pada kaitan antara latar belakang urbanisasi di masa lampau dan kini sambil melihat bagaimana dinamika transformasi sosial beriringan dengannya. 2. URBANISASI YANG PENUH PARADOKS Adalah gejala umum bahwa pertumbuhan penduduk berjalan seiring dengan laju urbanisasi. Konsentrasi penduduk di kota-kota besar merupakan konsekuensi yang tidak terhindarkan dari tingginya laju pertumbuhan penduduk di negara-negara berkembang. Oleh karena faktor penentu dalam urbanisasi adalah konsentrasi penduduk daripada peningkatan kuaJitas infrastruktur perkotaan, maka urbanisasi di negara berkembang cenderung lebih banyak menampakkan sisi negatifnya. Oistorsi dan paradoks perkembangan kota menjadi ciri yang melekat dalam kehidupan perkotaan. Pada titik yang lebih ekstrim, urbanisasi di negara berkembang berlangsung tanpa industrialisasi atau secara mudah disebut sebagai gejala overurbanisasi dan transformasi sosial ekonomi yang stagnan. 2.1. Urbanisasi tanpa Industrialisasi Ada keyakinan yang cukup rasional bahwa buruknya proses urbanisasi di negara berkembang terjadi akibat pembangunan ekonomi yang kurang terencana dengan baik. Kecenderungan untuk mengutamakan pertumbuhan sektor modern (industri padat modal) yang memusat di kota dengan sempurna menjadikan kota sebagai tempat pembentukan polarisasi sosial ekonomi. Jelasnya dapat dikatakan bahwa hal itu mendorong ketimpangan regional yang menempatkan daerah pedesaan sebagai kawasan tertinggal. Tidak ada perdebatan yang perlu dilakukan seandainya urbanisasi dapat berjalan seiring dengan industrialisasi. Namun karena yang terjadi adalah urbanisasi tanpa industrialisasi, maka tudingan terhadap model pembangunan ekonomi di negara berkembang yang sangat bias perkotaan menjadi tidak terhindarkan. Ada indikasi yang memperlihatkan bahwa industrialisasi itu sendiri berlangsung dengan gerak yang lambat, sedangkan laju urbanisasi bergerak amat cepat. Menurut Bairoch antara tahun 1920 hingga 1980 hanya terjadi kenaikan GNP sebesar 95 persen, sementara laju urbanisasi mengalami akselerasi jingga 169 persen 3, Jika laju industrialisasi dan pembangunan ekonomi diukur dari luaran GNP, maka jelas terlihat bahwa kaitan antara pembangunan ekonomi dengan urbanisasi hampir tidak signifikan di negara berkembang. Kesan lain yang semakin memberikan keyakinan akan kuatnya ketimpangan yang dimaksud adalah rasa optimisme yang berlebihan dari perencana pembangunan terhadap sektor industri sebagai ujung tombak pembangunan ekonomi. Cara pandang demikian jelas sangat keliru dan paradoksal, karena fakta menunjukkan 3
Bairoch, Paul, Cities and Economic Development: From the Down of History to the Present, Chicago, University of Chicago Press, 1988, hal. 458.
©2003 Digitized by USU digital library
2
bahwa sebagian besar penduduk negara berkembang sangat tergantung pada sektor pertanian. Di samping itu mutu sumber daya manusia juga masih rendah sehingga mereka tidak dapat diserap oleh sektor industri yang dikembangkan tersebut. Apalagi investasi sektor industri tersebut lebih bertujuan untuk mengimpor teknologi tinggi yang diyakini justru sangat terbatas menyerap tenaga kerja. Hal ini berarti sebuah paradoks dimana, modal yang terbatas digunakan untuk mengimpor teknologi padat modal, dan teknologi tersebut diinvestasikan di dalam lingkungan yang memiliki kelebihan tenaga kerja 4. Mengapa dikatakan urbanisasi tanpa industrialisasi? Sebab dengan bias pembangunan ke sektor modern yang, sekali lagi, bias perkotaan, ternyata kesempatan kerja yang lebih luas tidak mampu disediakan bagi angkatan kerja yang jumlahnya senantiasa meningkat. Biaya yang dialokasikan untuk pembangunan sektor industri tidak sebanding dengan besarnya kesempatan kerja yang dihasilkan. Di pihak lain, karena alokasi dana semacam itu berakibat pada marginalisasi sektor pertanian, maka arus mobilitas penduduk dari desa ke kota semakin tidak terbendung. Akibatnya bagi perkembangan kota lebih bersifat negatif, yakni kegagalan sektor modern berkembang yang diiringi oleh ledakan pertumbuhan sektor tradisional (baca: sektor informal) yang tidak lain adalah indikator meningkatnya jumlah pengangguran. Kegagalan sektor formal perkotaan untuk menyerap kelebihan tenaga kerja migran inilah yang dilukiskan sebagai urbanisasi berlebih, yakni suatu keadaan yang memperlihatkan ketidakmampuan kota-kota menyediakan fasilitas pelayanan pokok dan kesempatan kerja yang memadai bagi penduduk yang bertambah secara tidak proporsional5. rtinya di balik pertumbuhan sektor modern/kapitalis dan desakan arus migrasi terdapat suatu kemerosotan mutu kegiatan ekonomi yang dilakukan oleh penduduk di kota. Konsekuensi urbanisasi tanpa industrialisasi adalah munculnya pertumbuhan kota yang bersifat sentripetal. Hal ini tidak selalu diartikan dalam konteks pertumbuhan fisik, melainkan juga dari aspek modernitas atau transfomasi sosial ekonomi. Jelasnya, jumlah penduduk kota terus bertambah pesat, sedangkan kemampuan kota itu sendiri sangat terbatas untuk memberikan penghidupan yang layak bagi penduduknya. Akibatnya industrialisasi yang dipaksakan untuk memacu kegiatan ekonomi dan transformasi sosial di negara berkembang hampir tidak memberikan dampak positif terhadap peningkatan kualitas hidup dan struktur sosial masyarakat. Dalam pengertian ini kota tidak lagi memposisikan diri sebagai sebuah kawasan yang modern. Secara sosiologis kota di negara berkembang cenderung menampilkan sebuah ruang (space) yang perkembangannya berciri dualisme. Di satu pihak terdapat enclave modern, baik dari kegiatan ekonomi, infrastruktur sosial, dan struktur penduduknya. Di pihak lain pada sebagian besar ruang yang tersedia tumbuh dengan pesat organisasi ekonomi bayangan (shadow economic organisation). Kedua kategori ini, jika ditarik ke dalam suatu contoh, terlihat dari penonjolan sektor formal dan informal di kota yang secara struktural hampir tidak terkait satu dengan yang lain. Dalam perkembangannya, sektor yang dualistis itu cenderung berhadap-hadapan (vis a vis) dan akan mendesak yang lain. Di sini sektor
4 5
Todaro , Michael P dan Stilkind, Jerry, ibid, hal. 15. Ibid, hal. 8.
©2003 Digitized by USU digital library
3
kapitalis dengan kekuatannya yang dahsyat akan mengeksploitasi kegiatan-kegiatan ekonomi di sektor tradisional 6. 2.2. Sentralisasi Pusat Pertumbuhan Paradoks yang kedua dalam perkembangan urbanisasi di negara berkembang adalah pertumbuhan kota besar (primate city) yang amat cepat di satu pihak, dan lemahnya peranan kota-kota menengah dan kecil di pihak lain. Namun demikian kota besar tersebut tampaknya tidak memiliki kemampuan yang sepadan untuk menyediakan fungsi atau mengambil-alih peranan kota yang lebih kecil. Perkembangan kota besar yang hampir tidak terkendali "telah menurunkan fungsinya untuk hanya mengutamakan kepentingan sektor ekonomi modern saja" 7. Sebagian besar kota besar di negara berkembang lahir bukan akibat perkembangan ekonomi dan teknologi yang terdapat di negara-negara tersebut. Catatan sejarah menunjukkan bahwa pada umumnya kota-kota besar di Asia, Afrika, dan Amerika Latin terbentuk sebagai konsekuensi dari kolonisasi yang begitu kuat pada masa kolonialisme Barat. Dengan kata lain, kolonisasi merupakan titik-tolak perkembangan urbanisasi di daerah tersebut dan hanya kota yang lahir pada masa itulah yang kemudian menjadi kota utama (primate city) tadi8. Kedudukan primate city yang sangat penting tadi menjadikannya sangat superior dan berfungsi sebagai sentra aktivitas ekonomi, administrasi dan politik. Hal ini sebenarnya juga memberikan dampak yang tidak menguntungkan bagi perkembangan kota-kota menengah dan kecil, karena mereka sangat tergantung pada kota besar tadi. Yang terjadi dari puola perkembangan ini adalah bahwa kotakota menengah dan kecil hanya berfungsi sebagai penyangga kota besar. Di samping itu, menjadikan kota tua dan warisan kolonial sebagai pusat utama pertumbuhan mengakibatkan lemahnya keseimbangan regional. Dari sejarah perkembangan kota di negara berkembang tampak menonjol fakta ketimpangan tadi. Di Amerika Latin kota-kota dibangun tanpa memandang apakah hal itu akan memacu pertumbuhan daerah pedalaman yang sebenarnya menjadi sumber perekonomian kapitalis. Kota yang didirikan tersebut semata-mata berfungsi sebagai tempat pemukiman sementara yang eksklusif, dan kesementaraan itu dimaksudkan untuk mencapai tujuan ekonomi 9. Model seperti itulah sebenarnya yang menonjol dalam perkembangan urbanisasi di negara berkembang. Di sini sangat sedikit terjadi distribusi pusat pertumbuhan, dimana kota-kota yang dibangun setelah kemerdekaan tidak mampu menduduki posisi setara dengan kota-kota tua peninggalan kolonial. Hal ini berarti bahwa dengan melanjutkan pola urbanisasi masa lampau yang ternyata memperburuk ketimpangan regional, pola urbanisasi saat ini tidak berhasil mengurangi masalah perkotaan yang semakin kompleks. Pola ini hanya menguntungkan secara sepihak kota-kota yang relatif mapan sejak awal.
6
7 8 9
Bandingkan Wilke, D. G., ,,Paradoks Urbanisasi di Dunia Ketiga”, dalam Prisma, No. 7 (Desember) 1972, hal. 48. Ibid, hal. 49. Untuk analisis yang lebih rinci, lihat Bairoch, ibid, terutama pada bab 26. Portes, Alejandro, ,,Urban Latin America: The Political Condition from Above and Below”, dalam J. Abu Lughot dan R. Hay (ed), Third World Urbanization, Chicago, Methuen, 1980, hal. 63.
©2003 Digitized by USU digital library
4
Meskipun demikian pemusatan urbanisasi pada kota-kota tertentu tidak dengan sendirinya menghapus secara permanen fungsi beberapa kota sekunder. Kota pelabuhan misalnya, tetap eksis dan relatif terpisah kedudukannya dengan primate city di negara berkembang. Fungsi tersebut secara langsung diarahkan untuk menopang kehidupan kota utama. 3. URBANISASI: POLA YANG TETAP Seperti disinggung di atas, awal urbanisasi di negara berkembang digerakkan oleh sistem kolonisasi. Kota yang didirikan untuk tujuan kolonisasi itu menjadi pusat pertumbuhan yang tunggal. la tidak memiliki saingan dan keberadaannya hanya terancam oleh kebangkrutan ekonomi di negara induk kolonisasi. Sebagai misal, di Afrika hanya kota-kota pelabuhan yang mengalami perkembangan secara signifikan. Perkembangan tersebut terjadi karena kota tersebut menjalankan fungsi sebagai sentra kegiatan ekspor10. Pertumbuhan kota baru yang menjalankan fungsi berbeda dengan kota pelabuhan tadi hampir tidak terjadi. Seiring dengan penghapusan sistem kolonisasi dan kelesuan perekonomian internasional pada akhirnya perkembangan kota pelabuhan tadi juga semakin pudar. Meskipun demikian, kemunduran laju urbanisasi menjelang pertengahan abad ke-20 tidak dengan sempurna mematikan fungsi kota-kota tua tersebut. Sekalipun kotakota pelabuhan di benua Afrika mengalami kemunduran sesudah masa kolonisasi, fungsi dan perkembangannya tidak otomatis digantikan oleh kota (baru) yang lain. Kota pelabuhan tua tetap berfungsi sebagai kota utama. Kedudukan seperti itu berjalan terus. Hingga memerdekakan diri dari negara imperialis Barat, pola urbanisasi di benua Afrika tidak mengalami perubahan mendasar. Ibukota negara tetap kota-kota yang dulu menjadi pelabuhan utama. Kedudukannya sebagai ibukota negara dengan sendirinya menjadikan perkembangan kota-kota tersebut relatif cepat dibandingkan dengan kota lainnya. Hal inilah yang merupakan faktor penentu tingginya laju urbanisasi di sana. Kondisi yang berbeda terjadi di negara-negara Amerika Latin. Jika kota-kota yang dulunya dibangun oleh pemerintah kolonial hanya berfungsi sebagai pemukiman sementara sedangkan kegiatan ekonomi lebih banyak terpusat di daerah pertambangan di pedalaman, maka setelah kejayaan industri pertambangan surut, kota-kota yang dekat pantai justru berkembang lebih baik. Jadi di sini terjadi perkembangan kota besar justru setelah masa kolonisasi berakhir. Kota-kota seperti sao Paulo, Rio de Janeiro di Brasil dan Buenos Aires di Argentina mengalami perkembangan yang amat pesat setelah masa kolonisasi dan pada dekade aD-an sudah termasuk kedalam 15 kota terbesar di dunia. Padahal dari benua Afrika tidak satu pun kota tua dan utama yang masuk dalam kategori tersebut 11. Penting kiranya dicatat faktor yang berperan di balik kecenderungan pola urbanisasi yang tetap ini. Seperti diketahui, dengan sedikit perkecualian di India, intrusi kapitalisme industri dan imperialisme Barat menjadi picu yang menumbuhkan kotakota di negara berkembang. Pengaruh kehadiran dan ekspansi kapitalisme ini justru
11
United Nations, Patterns of Urban and Rural Population Growth, Serie A/68, New York
©2003 Digitized by USU digital library
5
terasa dalam transformasi struktur perkotaan12. Oleh karena kota yang terbentuk pada masa imperialisme itu secara struktural relatif cocok dengan kebutuhan sistem ekonomi yang berubah, maka ia tetap lebih mudah beradaptasi dengan perkembangan baru. Jadi ketika kota tersebut dijadikan sebagai ibukota atau kola utama sekalipun, perombakan struktural tidak banyak dilakukan. Atas dasar itu maka hampir setiap kota yang didirikan pada masa kolonial di negara berkembang mengalamai pertumbuhan sesuai dengan kedudukannya pada masa lampau dan sekarang. Artinya sifat-sifat asli kota ini secara struktural tetap eksis, meskipun secara fisik tidak terjadi perubahan struktural. Kota tersebut dijadikan dijadikan sebagai pintu utama perdagangan dengan luar negeri. la juga merupakan tempat perancangan kegiatan sosial ekonomi dan politik. Selain itu sebagai pintu utama kontak hubungan dengan luar atau sebagai ibukota negara, ia otomatis merupakan bagian dari sistem dunia. Proses-proses demikian pada akhirnya mengakibatkan kota utama ini menjadi bentuk enclave atau 'dunia kecil' yang sama sekali berbeda dengan keadaan kota menengah atau daerah pedalamannya. 4. PROSES TRANSFORMASI SOSIAL EKONOMI Telah banyak analisis yang dilakukan oleh ahli terhadap kelangsungan transformasi sosial ekonomi dalam konteks urbanisasi di negara berkembang. Meskipun demikian tampaknya belum jelas terungkap bagaimana proses dan kejadiannya. Dengan melihat keadaan urbanisasi saat ini hanya sedikit keraguan untuk mengatakan bahwa transformasi sosial ekonomi yang dimaksud berjalan lambat. Untuk melihat gambaran umum transformasi tersebut ada baiknya ditilik sekilas sejarah perkembangan urbanisasi di negara berkembang. Secara umum dapat disebutkan bahwa masyarakat perkotaan sangat tergantung pad a kegiatan ekonomi perkotaan yang bersifat jasa dan pengolahan. Biasanya kegiatan tersebut masih bersifat padat karya dan hampir tidak memiliki struktur yang jelas sebagaimana terjadi di kota modern. Namun kegiatan ekonomi seperti ini ternyata mampu menarik migrasi dari desa. Dengan sendirinya perekonomian kota dipandang mampu menghidupi penduduk, sekalipun struktur sosial penduduk sangat timpang akibat penerapan oleh sistem perbudakan. Gambaran transformasi sosial yang stagnan tadi akan disoroti dari kehadiran sektor informal dan integrasi sosial masyarakat kota. 4.1. Ekspansi Setor “Tradisional" di Kota Telah disebutkan di muka bahwa urbanisasi yang terjadi tanpa diiringi oleh industrialisasi telah memperburuk perekonomian kota. Derasnya arus migrasi desakota merupakan beban baru bagi perekonomian kota. Kemampuan sistem perkotaan yang terbatas untuk mengakomodasikan sumberdaya ini diperburuk oleh fakta bahwa sektor modern yang sengaja dikembangkan di kota terlalu berorientasi pada kepentingan elite setempat. Benarlah apa yang disebut oleh ahli, bahwa stagnasi atau bahkan distorsi dalam perkembangan ekonomi perkotaan niscaya akan membawa konsekuensi buruk terutama pada masyarakat kelas bawah. Sebab “golongan menengah ke atas 12
Gilbert, Alan, , ,,Urban Development in a World System’’ , dalam A. Gilbert dan J. Gugler (ed), Cities, Popverty, and Development, Oxford University Press, 1982, hal. 13.
©2003 Digitized by USU digital library
6
memiliki sumber-sumber dan pengetahuan untuk mengubah wilayah tempat tinggalnya, menikmati keuntungan besar dari layanan publik dan mampu mempengaruhi keputusan politik”13. Apa yang dapat dilakukan oleh golongan miskin adalah memindahkan sistem ekonomi tradisional ke kota yang diwujudkan dalam bentuk kegiatan informal. Jika kita mengacu pada teori umum tentang perkembangan kota dengan menggarisbawahi bahwa sistem kapitalislah yang memacu pertumbuhan kota di negara berkembang, maka sistem kapitalisme telah menggerakkan dengan pasti transformasi sosial ekonomi. Hal yang masih perlu ditanyakan adalah seberapa kuat sistem tersebut bercokol dalam ekonomi kota dan peran apa yang dimainkannya dalam kehadiran sektor infromal perkotaan. Karena puncak perkembangan kapitalisme di negara berkembang terjadi pada awal tahun tujuhpuluhan dan ekspansi sektor informal juga terjadi secara luar biasa pada periode yang sama14 , maka bisa diduga bahwa sektor informal berkembang sebagai konsekuensi keterbatasan sektor kapitalis (modern) untuk melakukan transformasi ekonomi secara radikal. Sektor modern ini dipandang tidak memiliki basis yang kuat untuk menggerakkan perubahan sosial ekonomi di kota negara berkembang. Sektor ini hanya berkembang secara vertikal dan bergantung pada pasar internasional. Dii pihak lain, sektor informal justru berkembang secara horizontal, digerakkan dan bergantung pada pasar domestik. Dengan melihat perkembangan sektor informal tadi maka transformasi ekonomi perkotaan sesungguhnya masih menyentuh sisi fisik saja. Urbanisasi di negara berkembang cenderung menampilkan bentuk dualisme ekonomi yang menempatkan sektor informal sebagai kutub ekonomi tradisional dan di sisi lain sektor kapitalis sebagai kutub ekonomi modern. 4.2. Polarisasi Sosial dan Gagalnya Integrasi Sosial Separasi yang tegas antara sektor modern dengan sektor tradisional di kota mempunyai konsekuensi penting dalam dalam pembentukan polarisasi sosial. Jelas bahwa arus migrasi dari desa akan membentuk suatu komunitas tersendiri yang belum seutuhnya terintegrasi ke dalam sistem sosial perkotaan. Kaum pendatang memiliki posisi yang lemah dalam berbagai bidang kehidupan dibandingkan dengan penduduk nonmigran, sehingga mereka memiliki peluang yang lebih kecil dalam perebutan lapangan kerja. Oleh sebab itu mereka memiliki alternatif pertama di sektor informal, baik sebagai suatu strategi untuk memasuki sektor modern maupun semata-mata untuk mengalokasikan waktu yang tersedia banyak di dalam kegiatan tradisionalnya di desa. Secara sosiologis dapat ditafsirkan bahwa kaum pendatang di kota merupakan kelompok masyarakat marginal. Kehidupan massa periferal ini relatif terpisah dari sistem kehidupan perkotaan yang modern. Artinya merkea tidak terintegrasi secara sosial kedalam suatu kehidupan masyarakat kota yang tumbuh akibat penetrasi kapitalisme.
Gilber, Alan, ,,Urban and Regional System: A Suitable Case for Treatment ?”, dalam A. Gilbert dan J. Gugler (ed), ibid, 1982, hal. 179. 14 Untuk analisis sektor informal, lihat Hart, Keith, ,,Sektor Informal”, dalam C. Manning dan T.N. effendi (ed), Urbanisasi, Pengangguran dan Sektor Informal di Kota, Jakarta, Gramedia, 1985. 13
©2003 Digitized by USU digital library
7
Urbanisasi yang ditandai oleh kuatnya dominasi kota-kota utama, pengaruh ekonomi kapitalistik, dam pembengkakan kegiatan sektor informal mengakibatkan masyarakat kota terpolarisasi dalam dUB kutub yang saling berhadap-hadapan. Di satu pihak tumbuh sekelompok kecil masyarakat kapitalis yang menikmati langsung hasil sistem kapitalisme perkotaan, sedangkan di pihak lain tersebar kemiskinan massal dan marginalisasi sebagian besar penduduk yang tidak terserap ke dalam sistem kapitalis tersebut. Di beberapa negara dan kota di Amerika Latin kelompok masyarakat yang termarjinalkan tersebut disebut sebagai lumpen-proletariat; suatu istilah yang menunjukkan posisi mereka sangat rentan dalam kehidupan perkotaan. Merekalah yang tersebar dalam ruang-ruang kota, membentuk pemukiman liar dan bergerak dalam kegiatan ekonomi informal. Kasus di wilayah ini mungkin sedikit ekslusif dibandingkan dengan golongan masyarakat yang sama di negara atau kota-kota di Asia maupun Afrika. Disintegrasi sosial yang terbetuk oleh kehadiran mereka15 bukan saja dari tampilan kehidupannya yang serba informal, melainkan juga kemampuan mereka menjadi suatu kelompok masyarakat yang memiliki kekuatan politik dan tawar-menawar dengan pihak pemerintah16. Integrasi mereka begitu kuat dalam tatanan politik nasional, meskipun dalam bidang ekonomi dan sosial cenderung terisolir. Polarisasi sosial (yang tampak dari jauhnya rentang pemisah antara kaum proletar dan kalangan elite kota) dengan sendirinya dipandang sebagai bentuk kegagalan urbanisasi untuk mengintegrasikan semua penduduk ke dalam suatu sistem perkotaan yang utuh. Urbanisasi di negara berkembang cenderung melahirkan polarisasi daripada diferensisasi sosial yang dipandang mampu mempercepat proses transformasi sosial ekonomi kota. 5. PENUTUP Tulisan ini telah memperlihatkan sebuah gambaran tentang perbedaan pola urbanisasi di negara berkembang dengan negara maju. Di negara berkembang kota yang didirikan pada masa kolonial tetap menjalankan fungsi utamanya hingga sekarang. la berkembang menjadi sebuah kota utama yang fungsinya sangat dominan bagi sebuah negara. Sekalipun demikian, kota tersebut tidak mengalami perkembangan struktural di bidang sosial ekonomi. Stagnasi transformasi sosial ekonomi mengakibatkan tingkat urbanisasi sangat tinggi pada kota-kota utama tersebut. Persoalan yang muncul adalah rentannya sistem ekonomi perkotaan tersebut terhadap desakan migrasi dari desa, karena sesungguhnya dalam sejarahnya kota-kota tadi tidak mampu menyediakan sarana Pandangan – yang banyak dilontarkan oleh birokrasi negara dan penguasa formal di kota-kota negara berkembang – seperti ini seharusnya menjadi bahan perdebatan, karena terlalu subjektif dan memosisikan kaum pendatang di kota sebagai kelompok parasit, sekalipun pada dasarnya sistem produksi yang mereka kembangkan dalam kegiatan ekonomi (informal) di kota justru menjadi penyangga bagi kehidupan kota secara keseluruhan. 16 Lihat misalnya analisis menarik dari castells, Manuel, ,,Squatters and Politics in Latin America: A Comparative Analysis of Urban social Moverments in Chile, Peru, and Mexico” dalam H. Safa (ed), The Political Economy of Urbanization in Third World Countries, New Delhi, Oxford University Press, 1985. 15
©2003 Digitized by USU digital library
8
ekonomi yang memadai bagi pertumbuhan penduduknya yang amat pesat. Karena pola urbanisasi lama tetap dipertahankan, dimana struktur ekonomi perkotaan dirancang hanya untuk kepentingan kolonisasi, sementara migrasi penduduk semakin tidak terbendung, maka urbanisasi di negara berkembang senantiasa menciptakan kerawanan-kerawanan sosial, ekonomi dan politik. DAFTAR PUSTAKA Bairoch, Paul: Cities and Economic Development: From the Down of History to the Present, Chicago: University of Chicago Press, 1988. Castel Is, Manuel: "Squatters and Politics in Latin America: a Comparative Analysis of Urban Social Movements in Chile, Peru and Mexico", dalam H. Safa (ed), The Political Economy of Urbanization in Third World Countries, New Delhi: University of Chicago Press, 1985 Gordon, Marshall: Oxford Dictionary of Sociology, Oxford: Oxford University Press, 1998. Gilbert, Alan: "Urban Development in a World System" dalam A. Gilbert dan J. Gugler (ed), Cities, Poverly, and Development, Oxford: Oxford University Press, 1982. -------------: "Urban and Regional System: A Suitable Case for Treatment?" dalam A. Gilbert dan J. Gugler (ed), Cities, Poverly, and Development, Oxford: Oxford University Pr.ess, 1982. Hart, Keith: "Sektor Informal", dalam Chris Manning dan Tadjuddin N. Effendi (ed), Urbanisasi, Pengangguran dan Sektor Informal di Kota, Jakarta: PT. Gramedia, 1985. Portes, Alejandro: "Urban Latin America: The Political Condition from Above and Below", dalam J. Abu-Lughot dan R. Hay (ed), Third World Urbanization, Chicago: Methuen, 1980. Todaro, Michael P. dan Jerry Stilkind: "Dilema Urbanisasi", dalam Chris Manning dan Tdjuddin N. Effendi (ed), Urbanisasi, Pengangguran dan Sektor Informal di Kota, Jakarta: PT. Gramedia, 1985. United Nations: Patterns of Urban and Rural Population Growth (Serie A/68), New York, 1998 (?). Wilke, D.G: ,,Paradoks Urbanisasi di Dunia Ketiga”, dalam Prisma, No. 7 (Desember) 1972.
©2003 Digitized by USU digital library
9