7
TINJAUAN PUSTAKA Pembangunan dan Pertumbuhan Ekonomi Pembangunan Rustiadi et al. (2009) berpendapat bahwa secara filosofis suatu proses pembangunan
dapat
diartikan
sebagai
upaya
yang
sistematis
dan
berkesinambungan untuk menciptakan keadaan yang dapat menyediakan berbagai alternatif yang sah bagi pencapaian aspirasi setiap warga yang paling humanistik. Sedangkan menurut Todaro (2003), pembangunan harus dipandang sebagai suatu proses multidimensional yang mencakup berbagai perubahan mendasar atas struktur sosial, sikap-sikap masyarakat, dan institusi-institusi nasional, disamping tetap mengejar akselerasi pertumbuhan ekonomi, penanganan ketimpangan pendapatan, serta pengentasan kemiskinan. Pengertian pembangunan dalam sejarah dan strateginya telah mengalami evolusi perubahan, mulai dari strategi pembangunan yang menekankan kepada pertumbuhan
ekonomi,
kemudian
pertumbuhan
dan
kesempatan
kerja,
pertumbuhan dan pemerataan, penekanan kepada pendekatan kebutuhan dasar (basic needs approach), pertumbuhan dan lingkungan hidup dan yang terakhir adalah pembangunan berkelanjutan (sustainable development). Menurut Anwar (2005), perubahan evolutif dari pengertian di atas didasarkan atas banyak kekecewaan dan hasil umpan balik dari pelaksanaan pembangunan yang tidak mencapai sasaran-sasaran yang diinginkan. Untuk mencapai tujuan-tujuan pembangunan yang diinginkan, upayaupaya pembangunan harus diarahkan kepada efisiensi (efficiency), pemerataan (equity) dan keberlanjutan (sustainability) (Anwar, 2005; Rustiadi et al., 2007) dalam memberi panduan kepada alokasi segala sumberdaya (semua capital yang berkaitan dengan natural, human, man-made maupun social), baik pada tingkatan nasional, regional, maupun lokal. Konsep Pembangunan dan Pertumbuhan Ekonomi Selama hampir setengah abad, perhatian utama masyarakat perekonomian dunia tertuju pada cara-cara untuk mempercepat tingkat pertumbuhan pendapatan nasional. Mengingat konsep pertumbuhan ekonomi sebagai tolok ukur penilaian pertumbuhan ekonomi nasional sudah terlanjur diyakini serta diterapkan secara
8
luas, maka perlu juga mempelajari hakekat dan sumber-sumber pertumbuhan ekonomi tersebut. Menurut Bannock et al. (2004), pembangunan ekonomi adalah suatu proses
kenaikan pendapatan total dan pendapatan per kapita
dengan
memperhitungkan adanya pertambahan penduduk dan disertai dengan perubahan fundamental dalam struktur ekonomi suatu negara. Pembangunan ekonomi tak dapat lepas dari pertumbuhan ekonomi (economic growth); pembangunan ekonomi mendorong pertumbuhan ekonomi, dan sebaliknya, pertumbuhan ekonomi memperlancar proses pembangunan ekonomi Yang dimaksud dengan pertumbuhan ekonomi adalah proses kenaikan kapasitas produksi suatu perekonomian yang diwujudkan dalam bentuk kenaikan pendapatan nasional. Suatu negara dikatakan mengalami pertumbuhan ekonomi apabila terjadi peningkatan GNP riil di negara tersebut. Adanya pertumbuhan ekonomi merupakan indikasi keberhasilan pembangunan ekonomi. Perbedaan antara keduanya adalah pertumbuhan ekonomi keberhasilannya lebih bersifat kuantitatif, yaitu adanya kenaikan dalam standar pendapatan dan tingkat output produksi yang dihasilkan, sedangkan pembangunan ekonomi lebih bersifat kualitatif, bukan hanya pertambahan produksi, tetapi juga terdapat perubahan-perubahan dalam struktur produksi dan alokasi input pada berbagai sektor perekonomian seperti dalam lembaga, pengetahuan, dan teknik. Schumpeter, Hicks dan Madison dalam Hakim (2002) mengartikan istilah pertumbuhan
ekonomi
sebagai
pertumbuhan
ukuran
kuantitatif
kinerja
perekonomian, seperti GNP, GNP per kapita dan sebagainya. Menurut Kuznets dalam Todaro (1998), pertumbuhan ekonomi (economic growth) adalah kenaikan kapasitas dalam jangka panjang dari negara yang bersangkutan untuk menyediakan berbagai barang ekonomi kepada penduduknya. Kenaikan kapasitas itu sendiri ditentukan atau dimungkinkan oleh adanya kemajuan atau penyelesaian-penyelesaian berbagai tuntutan keadaan yang ada. Dengan demikian, semakin tinggi pertumbuhan ekonomi biasanya mencerminkan semakin tingginya kesejahteraan masyarakat, meskipun terdapat indikator lain yang perlu dipertimbangkan, yaitu distribusi pendapatan. Ukuran Pertumbuhan Ekonomi Menurut Soelistianingsih (2008), ada beberapa macam alat yang dapat digunakan untuk mengukur pertumbuhan ekonomi, yaitu:
9
(1) Produk Domestik Bruto (PDB) PDB adalah jumlah barang dan jasa akhir yang dihasilkan dalam harga pasar. Kelemahan PDB sebagai ukuran pertumbuhan ekonomi adalah sifatnya yang global dan tidak mencerminkan kesejahteraan penduduk. (2) PDB per kapita atau pendapatan per kapita PDB per kapita merupakan ukuran yang lebih tepat karena telah memperhitungkan jumlah penduduk. Jadi ukuran pendapatan per kapita dapat diketahui dengan membagi PDB dengan jumlah penduduk. (3) Pendapatan per jam kerja Suatu negara dapat dikatakan lebih maju dibandingkan negara lain bila mempunyai tingkat pendapatan atau upah per jam kerja yang lebih tinggi daripada upah per jam kerja di negara lain untuk jenis pekerjaan yang sama. Faktor-faktor yang Mempengaruhi Pertumbuhan Ekonomi Faktor-faktor penting yang mempengaruhi pertumbuhan ekonomi suatu wilayah antara lain (Arsyad, 1997): 1. Akumulasi modal, termasuk semua investasi baru yang berwujud tanah (lahan), peralatan fiskal, dan sumber daya manusia (human resources). Akumulasi modal akan terjadi jika ada proporsi tertentu dari pendapatan sekarang ditabung yang kemudian diinvestasikan untuk memperbesar output pada masa yang akan datang. Pabrik-pabrik, mesin-mesin, peralatan-peralatan, dan barang-barang baru yang akan meningkatkan modal (capital stock) fiskal suatu negara (yaitu jumlah riil bersih dari semua barang-barang modal produktif secara fiskal) sehingga pada gilirannya akan memungkinkan negara tersebut untuk mencapai tingkat output yang lebih besar. 2. Pertumbuhan penduduk. Pertumbuhan penduduk dan hal-hal yang berhubungan dengan kenaikan jumlah angka kerja (labor force) secara tradisional telah dianggap sebagai faktor yang positif dalam merangsang pertumbuhan ekonomi. Artinya, semakin banyak angkatan kerja semakin produktif tenaga kerja, sedangkan semakin banyak penduduk akan meningkatkan potensi pasar domestik.
10
3. Kemajuan teknologi. Kemajuan teknologi disebabkan oleh teknologi cara-cara baru dan cara-cara lama yang diperbaiki dalam melakukan pekerjaan-pekerjaan tradisional. Ada 2 klasifikasi kemajuan teknologi yaitu: a. Kemajuan teknologi yang bersifat netral, terjadi jika tingkat output yang dicapai lebih tinggi pada kuantitas dan kombinasi-kombinasi input yang sama. b. Kemajuan teknologi yang bersifat hemat tenaga kerja (labor saving) atau hemat modal (capital saving), yaitu tingkat output yang lebih tinggi bisa dicapai dengan jumlah tenaga kerja/input modal yang sama. Hampir senada dengan pendapat Arsyad (1997), Bannock et al. (2004), juga mengungkapkan beberapa faktor yang mempengaruhi pertumbuhan dan pembangunan ekonomi. Bannock et al. (2004) menyebutkan bahwa pada hakikatnya faktor-faktor tersebut dapat dikelompokkan menjadi dua, yaitu faktor ekonomi dan faktor non ekonomi. Faktor ekonomi yang mempengaruhi pertumbuhan dan pembangunan ekonomi diantaranya adalah sumberdaya alam, sumberdaya manusia, sumberdaya modal, dan keahlian atau kewirausahaan. Sumberdaya alam, yang meliputi tanah dan kekayaan alam seperti kesuburan tanah, keadaan iklim/cuaca, hasil hutan, tambang, dan hasil laut, sangat mempengaruhi pertumbuhan industri suatu negara, terutama dalam hal penyediaan bahan baku produksi. Sementara itu, keahlian dan kewirausahaan dibutuhkan untuk mengolah bahan mentah dari alam, menjadi sesuatu yang memiliki nilai lebih tinggi (disebut juga sebagai proses produksi). Sumberdaya manusia juga menentukan keberhasilan pembangunan nasional melalui jumlah dan kualitas penduduk. Jumlah penduduk yang besar merupakan pasar potensial untuk memasarkan hasil-hasil produksi, sementara kualitas penduduk menentukan seberapa besar produktivitas yang ada. Sumberdaya modal dibutuhkan manusia untuk mengolah bahan mentah tersebut. Pembentukan modal dan investasi ditujukan untuk menggali dan mengolah kekayaan. Sumberdaya modal berupa barang-barang modal sangat penting bagi perkembangan dan kelancaran pembangunan ekonomi karena barang-barang modal juga dapat meningkatkan produktivitas. Sementara faktor non ekonomi mencakup kondisi sosial kultur yang ada di masyarakat, keadaan politik, dan sistem yang berkembang dan berlaku.
11
Berdasarkan uraian di atas, maka faktor-faktor yang dianggap paling penting diperhatikan dalam menilai pertumbuhan ekonomi suatu wilayah dan nilainya dapat diukur dengan mudah antara lain adalah PDRB, PDRB per kapita dan pertumbuhan penduduk. Oleh karena itu, dinamika pertumbuhan ekonomi (economic growth) dan pertumbuhan penduduk (population growth) di dalam penelitian ini diukur dengan melihat trend peningkatan nilai dan laju pertumbuhan PDRB, PDRB per kapita serta jumlah dan laju pertumbuhan penduduk. Disparitas Regional Berbicara tentang disparitas antar wilayah, berarti berbicara tentang distribusi pendapatan. Dan isu tentang distribusi pendapatan menjadi sorotan dalam debat politik sejak abad 19. Jika diasumsikan bahwa setiap individu di suatu wilayah mempunyai fungsi kepuasan yang sama dan konkaf, itu berarti bahwa equality pendapatan akan memaksimalkan kesejahteraan sosial (Bigsten, 1983). Iskandar (1993) menjelaskan pula betapa pentingnya pemerataan terhadap pertumbuhan ekonomi suatu wilayah. Menurutnya, pertumbuhan ekonomi terutama disebabkan oleh adanya peningkatan pendapatan dan perubahan distribusi pendapatan. Tetapi peningkatan pendapatan tidak akan banyak berpengaruh terhadap pertumbuhan ekonomi suatu wilayah. Sedangkan peningkatan pendapatan dalam arti meningkatkan pemerataan pendapatan akan meningkatkan pertumbuhan ekonomi secara nyata. Terjadinya disparitas regional dipicu oleh adanya perbedaan faktor anugerah awal (endowment factor). Disparitas mengacu pada standar hidup relatif dari
seluruh
masyarakat.
Perbedaan inilah
yang menyebabkan
tingkat
pembangunan di berbagai wilayah dan daerah berbeda-beda, sehingga menimbulkan gap atau jurang kesejahteraan di berbagai wilayah tersebut (Sukirno, 1976). Adelman dan Moris dalam Kuncoro (1997) berpendapat bahwa disparitas regional ditentukan oleh jenis pembangunan ekonomi yang ditunjukkan oleh ukuran negara, sumberdaya alam, dan kebijakan yang dianut. Dengan kata lain, faktor kebijakan dan dimensi struktural perlu diperhatikan selain laju pertumbuhan ekonominya. Menurut Myrdal (1957), perbedaan tingkat kemajuan ekonomi antar daerah yang berlebihan akan mengakibatkan pengaruh yang merugikan (backwash effects) mendominasi pengaruh yang menguntungkan (spread effects) yang dalam
12
hal ini dapat menyebabkan ketidakseimbangan. Pelaku-pelaku yang mempunyai kekuatan di pasar secara normal akan cenderung meningkat bukannya menurun, sehingga mengakibatkan ketimpangan antar wilayah atau disparitas regional (Arsyad, 1999). Pendapat Myrdal didukung oleh Hirchman (1968) bahwa terjadinya trickle down effect dari daerah core ke daerah periphery yang lebih kecil daripada polarization effect akan menyebabkan semakin tingginya disparitas pendapatan antar daerah (disparitas regional). Pada dasarnya disparitas regional merupakan fenomena yang terjadi hampir di semua negara tanpa memandang ukuran dan tingkat kemajuan pembangunannya. Menurut Anwar (2005), disparitas pembangunan baik dalam aspek antar kelompok masyarakat maupun menurut aspek spasial antar wilayah merupakan masalah pembangunan regional yang tidak merata dan harus memperoleh perhatian yang sungguh-sungguh. Terlebih lagi dalam negara berkembang seperti Indonesia, yang mempunyai struktur sosial dan kekuasaan (power) yang mengandung perbedaan yang tajam, akibat dari sisa-sisa penjajahan, sehingga strategi pembangunan semestinya diarahkan kepada peningkatan efisiensi ekonomi yang menyumbang kepada pertumbuhan yang sejalan dengan pemerataannya (equity). Namun, pada banyak negara berkembang termasuk Indonesia, strategi pembangunan masa lalu yang terlalu menekankan efisiensi dan mengabaikan distribusi pemerataan ekonomi, telah melahirkan banyak kesenjangan dalam kehidupan masyarakat yang semakin melebar. Anwar (2005) juga menyebutkan bahwa dalam skala nasional, proses pembangunan yang dilaksanakan selama ini (cenderung hanya memperhatikan pertumbuhan ekonomi makro dan menekankan kepada kapital fisik) ternyata pada sisi lain telah menimbulkan masalah ketimpangan pembangunan yang cukup besar dan kompleks. Ditambah dengan terjadinya ”penyakit” dari penentu kebijakan yang urban bias, menyebabkan investasi dan sumberdaya terserap dan terkonsentrasi di kawasan metropolitanmegapolitan yang menjadi pusat-pusat pertumbuhan, sementara wilayah-wilayah hinterland mengalami pengurasan sumberdaya secara berlebihan. Secara makro dapat dilihat bahwa terjadinya disparitas pembangunan yang signifikan misalnya terjadi antara desa-kota, antara kawasan Indonesia Timur dan Indonesia Barat, antara wilayah Jawa dan luar Jawa, dan sebagainya. Ketidakseimbangan pembangunan menghasilkan struktur hubungan antar wilayah yang membentuk suatu interaksi yang saling memperlemah satu dengan yang lain.
13
Wilayah hinterland perdesaan menjadi melemah karena terjadi pengurasan sumberdaya yang berlebihan (backwash) dan pengangguran besar yang mengakibatkan terjadinya aliran bersih dan akumulasi nilai tambah di pusat-pusat pertumbuhan secara masif dan berlebihan. Namun di sisi lain, terjadinya akumulasi nilai tambah di kawasan-kawasan pusat pertumbuhan selanjutnya mengarah kepada proses terjadinya kemiskinan dan keterbelakangan di wilayah hinterland. Akhirnya keadaan ini mendorong terjadinya migrasi penduduk ke kota-kota, sehingga timbul berbagai ”penyakit urbanisasi” yang luar biasa di perkotaan (Anwar, 2005). Fenomena urbanisasi yang memperlemah perkembangan kota-kota telah banyak menimbulkan biaya-biaya sosial (social costs), seperti yang dapat dilihat pada perkembangan kota-kota besar di Indonesia yang mengalami ”overurbanization”. Perkembangan metropolitan-megapolitan seperti Jabodetabek, Bandung Raya dan Gerbangkertosusila, dicirikan oleh terjadinya berbagai bentuk ketidakefisienan dan permasalahan, seperti meluasnya daerah-daerah kumuh (slum area), tingginya tingkat pencemaran, terjadinya kemacetan lalu lintas, merebaknya kriminalitas dan lain sebagainya. Perkembangan perkotaan besar ini pada akhirnya sarat dengan permasalahan-permasalahan sosial, lingkungan dan ekonomi yang semakin kompleks dan sulit untuk diatasi. Tinjauan terhadap Penelitian-penelitian Terdahulu tentang Disparitas Regional Rangkaian berbagai penelitian tentang disparitas regional ditandai oleh tonggak-tonggak temuan. Kuznets (1954) tercatat sebagai salah satu peneliti awal yang mengkaji masalah disparitas regional. Kuznets meneliti disparitas di berbagai negara secara cross-sectional dan menemukan pola U terbalik. Kuznet (1954) mengembangkan hipotesis bahwa pada awalnya disparitas akan meningkat dan selanjutnya akan menurun sejalan dengan proses pembangunan. Dalam penelitian tersebut dinyatakan bahwa pertumbuhan pada awal pembangunan akan terkonsentrasi di wilayah-wilayah yang sudah modern (berkembang). Atau dengan kata lain pertumbuhan di wilayah yang sudah modern (berkembang) akan lebih cepat dibandingkan dengan wilayah lain. Pada negara-negara berkembang dimana sektor pertanian masih mendominasi, tingkat
disparitas sangat kecil.
Ketika kemudian pembangunan telah memasuki tahapan industrialisasi, maka akan menyebabkan tingkat disparitas menjadi meningkat.
14
Penelitian yang dilakukan oleh Karvis (1960) dan Oshima (1962) dalam Todaro (2000) mendukung hasil penelitian yang dilakukan oleh Kuznet (1954). Karvis dan Oshima menyajikan data yang mendukung hipotesis Kuznet bahwa pada awalnya pertumbuhan menyebabkan tingkat disparitas semakin lebar, dimana
alasannya
adalah adanya
perubahan
struktur
ekonomi. Dalam
penelitiannya juga ditemukan bukti bahwa pembangunan ekonomi di suatu wilayah dengan distribusi pendapatan yang tidak merata mampu tumbuh lebih cepat dibandingkan dengan pembangunan di wilayah lain dengan tingkat pemerataan pendapatan yang relatif baik. Penelitian yang lain dilakukan oleh Williamson (1966) yang menekankan pada disparitas antar wilayah di dalam negara. Williamson menghubungkan disparitas pendapatan rata-rata antar wilayah dengan berbagai faktor termasuk tingkat urbanisasi suatu wilayah. Disamping pola dan faktor penentu disparitas, Williamson juga mengamati proses terjadinya disparitas. Penelitian dan pengkajian tentang pembangunan ekonomi regional yang memfokuskan pada disparitas ekonomi antar wilayah juga banyak dilakukan di Indonesia sejak tahun 1970-an. Diawali oleh penelitian Esmara (1975), Islam dan Khan (1986), dan Nasjid Majidi (1997). Dengan menggunakan data PDRB riil dikemukakan bahwa selama periode 1968-1997 indeks ketimpangan pendapatan antar daerah semakin meningkat. DKI Jakarta, Kalimantan Timur, Kalimantan Barat, Kalimantan Tengah, Bali, dan Riau merupakan provinsi yang paling makmur, sedangkan provinsi terparah yaitu: Nusa Tenggara Timur dan Barat, Bengkulu dan Jambi. Secara umum provinsi-provinsi di daerah Timur Indonesia menempati posisi rendah. Penelitian Sjafrizal (1997) serta Welly dan Waluyo (2000) dengan menggunakan data PDRB tanpa migas tahun 1983–1997 menunjukkan indeks ketimpangan bergerak dari 0.49–0.54. Indeks ketimpangan Indonesia jika dibandingkan dengan kelompok negara maju (0.49-0.54) dan berpendapatan menengah (0.46) akan berada di atas rata-rata. Akita dan Alisjahbana (2002) juga pernah melakukan studi untuk mengukur disparitas antar wilayah di Indonesia dengan menggunakan indeks Theil entropy. Data yang digunakan adalah data output dan data jumlah penduduk pada level kabupaten/kota untuk periode 1993-1998. Dalam studi tersebut, dilakukan analisis dekomposisi disparitas regional dalam tiga komponen, yaitu: (1) Disparitas antar pulau (Sumatera, Jawa-Bali, Kalimantan, Sulawesi, dan lainnya); (2) Disparitas antar provinsi; dan (3) Disparitas di dalam provinsi. Hasil
15
studi tersebut menunjukkan bahwa selama periode tahun 1993-1997, terjadi peningkatan disparitas pendapatan regional yang cukup signifikan dari 0.262 menjadi 0.287, dimana sumber disparitas yang paling besar disumbangkan oleh disparitas di dalam provinsi (sekitar 50%). Sedangkan pada tahun 1998, indeks Theil entropy mengalami penurunan, dimana 75% dari penurunan tersebut disebabkan karena menurunnya disparitas antar provinsi. Achsani (2003) mengemukakan bahwa telah terjadi ketimpangan ekonomi antar wilayah yang sangat tajam di Indonesia. Pulau Jawa-Bali yang hanya mencakup 7.2% wilayah Indonesia, ternyata dihuni oleh 64% penduduk dan menyumbang sekitar 60% ke dalam PDB Indonesia. Sebaliknya, Papua misalnya, mencakup luasan sebesar 22% wilayah Indonesia, tetapi hanya dihuni oleh 0.8% penduduk dan menyumbang sekitar 2.1% PDB Indonesia. Selain itu, temuan lain dari penelitian ini adalah terjadinya ketimpangan ekonomi antar sektor yang juga luar biasa besar. Data BPS tahun 1998 menunjukkan bahwa sektor pertanian hanya memiliki kontribusi sebesar 19% dari total PDB, akan tetapi masih menyerap sekitar 45% tenaga kerja. Sektor lainnya, industri misalnya, yang menyumbang hampir 25% PDB, hanya mampu menyerap 11% tenaga kerja. Penelitian Akita (2003) menggunakan data PDB per kapita China dan Indonesia dengan teknik two stage nested Theil inequality decomposition menghasilkan kesimpulan sebagai berikut: (1) Dalam pandangan efisiensi, ketimpangan pendapatan antar daerah disebabkan oleh ketidakmerataan distribusi sumberdaya alam dan rendahnya kualitas transportasi di beberapa daerah; (2) Di China 60% wilayah dalam provinsi menunjukkan ketimpangan pendapatan yang tinggi, sedangkan di Indonesia setengahnya (50%) mengalami ketimpangan. Pawanto (2006) juga pernah melakukan penelitian untuk menganalisis kesenjangan pendapatan regional di Jawa periode tahun 1998-2001. Dengan menggunakan data PDRB per kapita dan jumlah penduduk per kabupaten/kota seJawa selama periode tersebut, maka hasil dari penelitian ini menunjukkan bahwa kesenjangan pendapatan antar provinsi menyumbangkan rata-rata lebih dari 90% dibandingkan kesenjangan pendapatan dalam provinsi. Hal tersebut mempunyai arti bahwa pendapatan antar provinsi di Jawa sangat timpang, sedangkan kesenjangan pendapatan antar kabupaten/kota di dalam provinsi jauh lebih rendah. Penelitian tentang disparitas juga dapat dilakukan berdasarkan kelompokkelompok wilayah. Seperti pada penelitian Yahya (2008) yang membandingkan disparitas antara wilayah Utara dan Selatan Provinsi Jawa Timur (Jatim). Dari
16
penelitian tersebut, dapat diketahui bahwa disparitas pembangunan antara wilayah Utara dan Selatan Jatim terjadi semakin lebar. Wilayah Utara semakin maju, sebaliknya wilayah Selatan terus terpuruk. Disparitas
wilayah
Selatan-Utara
mengakibatkan
perbedaan
besarnya
pendapatan per kapita dan pertumbuhan ekonomi antar wilayah di Jatim. Wilayah Selatan
Jatim terbentang mulai Banyuwangi, Jember, Lumajang, Malang,
Blitar, Tulungagung, Trenggalek, hingga Pacitan. Dari delapan kabupaten ini, hanya Tulungagung yang memiliki pendapatan per kapita tinggi (Rp 14.07 juta). Ini disusul pendapatan per kapita penduduk Banyuwangi yang nilainya Rp 11.29 juta. Sementara di wilayah-wilayah lain, pendapatan rata-rata penduduknya di bawah Rp 6 juta setiap tahunnya. Angka tersebut
berbeda jauh dengan wilayah Utara
Jatim. Wilayah yang terdiri atas Tuban,
Gresik, Surabaya, Sidoarjo, Pasuruan, Probolinggo, dan Situbondo tersebut memiliki pendapatan per kapita rata-rata di atas Rp 6 juta. Bahkan, pendapatan per kapita di Surabaya mencapai Rp 50 juta. Tidak hanya dari sisi
pendapatan per kapita, wilayah Selatan hanya menyumbang 16.9%
perekonomian Jatim (2007).
Sedangkan
Utara
wilayah
kegiatan
yang memberikan
kontribusi sekitar 48.7%. Nilai kegiatan ekonomi Kota Surabaya bahkan bisa mencapai 22% dari total kegiatan ekonomi Jatim. Utara
Kegiatan ekonomi di wilayah
memberikan sumbangan cukup besar pada perekonomian Jatim
karena mayoritas dikuasai sektor sekunder (industri pengolahan, listrik, dan konstruksi)
serta tersier (perdagangan,
jasa). Sebaliknya,
angkutan, komunikasi, keuangan, dan
kegiatan ekonomi di wilayah Selatan
terkonsentrasi pada sektor
primer (pertanian dan penggalian). Dari penelitian ini dapat diketahui bahwa dari Utara dan Selatan terlihat
semakin jelas.
sisi ekonomi, disparitas antara wilayah
Salah satu penyebabnya adalah infrastruktur di wilayah
Selatan yang tidak memadai, seperti prasarana transportasi. Data Bappeda Jatim menyebutkan bahwa
indeks transportasi lebih
besar dari 4%
hanya
terdapat
di Banyuwangi dan Gresik.
Bahkan, indeks transportasi di Trenggalek hanya sekitar 1.71%.
Dari fakta
tersebut, dapat disimpulkan bahwa pertumbuhan ekonomi wilayah Selatan tidak akan berhasil dan optimal
jika
masing-masing
penghubungnya.
Sebab
pusat
selama
pertumbuhan
belum
ada
jalur
ini Jalur Lintas Selatan (JLS) yang
17
direncanakan untuk mengembangkan potensi dan meningkatkan
perkembangan
kawasan Selatan belum sepenuhnya tersambung.
Bentuk disparitas antar kelompok wilayah yang paling sering dibicarakan adalah bentuk disparitas desa-kota. Menurut Rustiadi et al. (2009), ada perbedaan besar yang nyata antara standar hidup penduduk perkotaan dan perdesaan di negara-negara berkembang, dengan beberapa pengecualian untuk beberapa negara sosialis dimana terdapat usaha yang sengaja dibuat untuk mengurangi disparitas tersebut. Daerah-daerah perdesaan di negara-negara yang sedang berkembang dengan proporsi penduduk miskinnya yang tinggi, tingkat ketersediaan pelayanan jasa-jasa sosial yang rendah, ketersediaan infrastruktur sosial ekonomi sangat terbatas, dan ketersediaan lapangan kerja dengan tingkat upah yang baik terbatas, berkorelasi dengan keadaan perbedaan pendapatan per kapita desa-kota yang sangat tinggi. Di Indonesia, terjadinya disparitas desa-kota dapat dilihat pada beberapa contoh kasus seperti yang ditunjukkan oleh kajian yang dilakukan Martina (2005) dan Adifa (2007). Di hampir semua negara berkembang, pada kawasan perdesaan memiliki tingkat kesehatan, sanitasi perumahan dan penyediaan air minum yang berada pada tingkat yang sangat rendah (Gish, 1971; Gilbert, 1974; Friedmann and Douglas, 1976). Penelitian lain yang mengkaji isu disparitas pada kelompok-kelompok wilayah dilakukan oleh Maryam (2001). Dalam penelitian tersebut, Maryam (2001) mengkaji disparitas ekonomi antara daerah pesisir dan daratan Indonesia. Hasil studi menunjukkan bahwa antara daerah pesisir dengan daratan Indonesia terjadi disparitas ekonomi. Disparitas ekonomi antara daerah pesisir dengan daratan ini juga terjadi pada hampir seluruh wilayah Indonesia yaitu Pulau Sumatera, Jawa, Bali, Kalimantan, dan Irian. Jika pendapatan per kapita rata-rata daerah pesisir dibandingkan dengan pendapatan per kapita rata-rata daerah daratan Indonesia, maka ditemukan bahwa pendapatan per kapita daerah pesisir lebih tinggi daripada pendapatan per kapita daerah daratan Indonesia, kecuali untuk Pulau Jawa. Perkembangan disparitas ekonomi antara daerah pesisir dengan daratan Indonesia sebelum krisis ekonomi (1994-1996) adalah konvergen. Sedangkan pasca krisis ekonomi (1996-1998) disparitas antara daerah pesisir dengan daratan adalah divergen. Dari hasil-hasil penelitian sebagaimana telah diuraikan di atas, dapat diketahui bahwa disparitas regional dapat terjadi pada berbagai bentuk, misalnya:
18
disparitas antar pulau, antar provinsi, antar kabupaten/kota, maupun berbagai bentuk disparitas berdasarkan pengelompokan-pengelompokan wilayah, seperti disparitas antara kawasan perdesaan-perkotaan (yang identik dengan bentuk disparitas antara kawasan kota/perkotaan dan kabupaten), kawasan pesisir-non pesisir, dan kawasan Utara-Selatan. Bukan hanya itu, hasil kajian beberapa studi menyebutkan bahwa disparitas regional juga dapat disebabkan oleh adanya wilayah-wilayah yang beraglomerasi membentuk pusat-pusat pertumbuhan dan pusat perekonomian, sehingga tingkat perkembangan wilayah tersebut jauh meninggalkan wilayah-wilayah lain di sekitarnya. Salah satu indikasi terjadinya proses aglomerasi wilayah dapat disaksikan dari munculnya kawasan metropolitan maupun megapolitan. Di Pulau Jawa, contoh kawasan metropolitan-megapolitan yang terbentuk adalah Kawasan Jabodetabek, Bandung Raya, Kedungsepur, Kartamantul, dan Gerbangkertosusila. Bahkan beberapa studi yang mengangkat isu dan permasalahan tentang Kawasan Jabodetabek secara khusus juga menyebutkan dominansi kawasan tersebut dalam perekonomian nasional, sehingga hal tersebut mengindikasikan bahwa Kawasan Jabodetabek juga mempunyai peranan yang cukup besar dalam menyumbangkan tingkat disparitas antar wilayah yang terjadi. Oleh karena itu, dalam penelitian ini dipilih 6 (enam) bentuk tipologi wilayah yang diduga menyebabkan terjadinya disparitas regional di Pulau Jawa untuk dikaji lebih lanjut. Keenam bentuk tipologi tersebut adalah: (1) disparitas antar provinsi, (2) disparitas antara kawasan metropolitan vs non metropolitan (Rest of Java/ROJ), (3) disparitas antara Kawasan Jabodetabek vs non Jabodetabek, (4) disparitas antara kawasan kota (perkotaan) vs kabupaten, (5) disparitas antara kawasan pesisir vs non pesisir, serta (6) disparitas antara kawasan pesisir Jawa bagian Utara vs pesisir Jawa bagian Selatan. Faktor-faktor Penyebab Terjadinya Disparitas Regional Terdapat beberapa faktor utama yang menyebabkan terjadinya disparitas regional, dimana faktor-faktor ini terkait dengan variabel fisik dan sosial ekonomi wilayah. Menurut Murty (2000), faktor-faktor utama tersebut adalah: (1) Faktor Geografi Pada suatu wilayah atau daerah yang cukup luas akan terjadi perbedaan distribusi sumberdaya alam, sumberdaya pertanian, topografi, iklim, curah hujan,
19
sumberdaya mineral dan variasi spasial lainnya. Apabila faktor-faktor yang lain sama, maka kondisi geografis yang lebih baik akan menyebabkan suatu wilayah akan berkembang lebih baik. (2) Faktor Sejarah Tingkat perkembangan masyarakat dalam suatu wilayah sangat tergantung dari apa yang telah dilakukan pada masa lalu. Bentuk kelembagaan atau budaya dan kehidupan perekonomian pada masa lalu merupakan penyebab yang cukup penting terutama yang terkait dengan sistem insentif terhadap kapasitas kerja dan enterpreneurship. (3) Faktor Politik Instabilitas politik sangat mempengaruhi proses perkembangan dan pembangunan di suatu wilayah. Politik yang tidak stabil akan menyebabkan ketidakpastian di berbagai bidang terutama ekonomi. Ketidakpastian tersebut mengakibatkan keraguan dalam berusaha atau melakukan investasi sehingga kegiatan ekonomi di suatu wilayah tidak akan berkembang, bahkan terjadi pelarian modal ke luar wilayah untuk diinvestasikan ke wilayah yang lebih stabil. (4) Faktor Kebijakan Disparitas regional juga bisa diakibatkan oleh kebijakan pemerintah. Kebijakan pemerintah yang sentralistik hampir terjadi di semua sektor dan lebih menekankan
pada
pertumbuhan
ekonomi
dan
membangun
pusat-pusat
pertumbuhan di wilayah tertentu menyebabkan kesenjangan yang luar biasa antar daerah (Rustiadi dan Pribadi, 2006). Diterapkannya kebijakan pembangunan dengan penekanan pada sektor industri sejak tahun 1980-an diduga menjadi penyebab semakin melebarnya disparitas di Indonesia, baik antar sektor, antar pelaku ekonomi, maupun antar wilayah. (5) Faktor Administratif Disparitas pembangunan antar wilayah dapat terjadi karena pengaruh kemampuan pengelolaan administrasi. Wilayah yang dikelola dengan administrasi yang baik cenderung lebih maju. Wilayah yang ingin maju harus mempunyai administrator yang jujur, terpelajar, terlatih, dengan sistem administrasi yang efisien. (6) Faktor Sosial
20
Masyarakat-masyarakat yang tertinggal pada umumnya tidak memiliki institusi dan perilaku yang kondusif bagi berkembangnya perekonomian. Mereka masih percaya pada kepercayaan-kepercayaan yang primitif, kepercayaan tradisional dan nilai-nilai sosial yang cenderung konservatif dan menghambat perkembangan ekonomi. Sebaliknya, masyarakat yang relatif maju umumnya memiliki institusi dan perilaku yang kondusif untuk berkembang. Perbedaan ini merupakan salah satu penyebab disparitas regional. (7) Faktor Ekonomi Faktor-faktor ekonomi yang menyebabkan terjadinya disparitas regional diantaranya adalah sebagai berikut. a. Faktor ekonomi yang terkait dengan kuantitas dan kualitas dari faktor produksi yang dimiliki seperti lahan, infrastruktur, tenaga kerja, modal, organisasi dan perusahaan; b. Faktor ekonomi yang terkait dengan akumulasi dari berbagai faktor. Salah satu contohnya adalah lingkaran setan kemiskinan, kemudian kondisi masyarakat yang tertinggal, standar hidup rendah, efisiensi rendah, konsumsi rendah, tabungan rendah, investasi rendah, dan pengangguran meningkat. Sebaliknya, di wilayah yang maju, masyarakat maju, standar hidup tinggi, pendapatan semakin tinggi, pendapatan semakin tinggi, tabungan semakin banyak, yang pada gilirannya akan semakin meningkatkan taraf hidup masyarakat. c. Faktor ekonomi yang terkait dengan kekuatan pasar bebas dan pengaruhnya pada spread effect dan backwash effect. Kekuatan pasar bebas telah mengakibatkan faktor-faktor ekonomi seperti tenaga kerja, modal, perusahaan dan aktivitas ekonomi seperti industri, perdagangan, perbankan, dan asuransi yang memberikan hasil yang lebih besar, cenderung terkonsentrasi di wilayah maju. d. Faktor ekonomi yang terkait dengan distorsi pasar, seperti immobilitas, kebijakan harga, keterbatasan spesialisasi, keterbatasan keterampilan tenaga kerja, dan sebagainya. Menurut Tambunan (2003) faktor-faktor penyebab terjadinya disparitas ekonomi antar wilayah di Indonesia antara lain: (1) Konsentrasi Kegiatan Ekonomi Wilayah
21
Konsentrasi kegiatan ekonomi yang tinggi di wilayah tertentu merupakan salah satu faktor yang menyebabkan terjadinya disparitas pembangunan antar wilayah. Ekonomi dari suatu wilayah dengan konsentrasi kegiatan ekonomi yang tinggi akan cenderung tumbuh lebih pesat, sedangkan wilayah dengan konsentrasi ekonomi yang rendah akan cenderung mempunyai tingkat pembangunan dan pertumbuhan ekonomi yang lebih rendah. (2) Alokasi Investasi Indikator lain yang juga menunjukkan pola serupa adalah distribusi investasi langsung, baik yang bersumber dari luar negeri (PMA) maupun dari dalam negeri (PMDN). Kurangnya investasi langsung di suatu wilayah menyebabkan pertumbuhan ekonomi dan tingkat pendapatan masyarakat per kapita di wilayah tersebut rendah, karena tidak ada kegiatan-kegiatan ekonomi yang produktif seperti industri manufaktur. (3) Tingkat Mobilitas Faktor Produksi Antar Daerah Kurang lancarnya mobilitas faktor produksi seperti upah/gaji dan tingkat suku bunga atau tingkat pengembalian dari investasi langsung antar wilayah juga merupakan penyebab terjadinya disparitas ekonomi regional. Relasi antara mobilitas faktor produksi dan perbedaan tingkat pembangunan atau pertumbuhan antar wilayah dapat dijelaskan dengan pendekatan analisis mekanisme pasar output dan pasar input. Perbedaan laju pertumbuhan ekonomi antar wilayah membuat tejadinya perbedaan tingkat pendapatan per kapita antar wilayah, dengan asumsi bahwa mekanisme pasar output dan input bebas, mempengaruhi mobilitas atau (re)alokasi faktor produksi antar wilayah. Jika perpindahan faktor produksi antar wilayah tidak ada hambatan, maka akan tercapai pembangunan ekonomi antar wilayah yang optimal. (4) Perbedaan Sumberdaya Alam (SDA) Pembangunan ekonomi di wilayah yang kaya sumberdaya alam akan lebih maju dan masyarakatnya lebih makmur dibandingkan dengan wilayah yang miskin sumberdaya alam. (5) Perbedaan Kondisi Demografis Antar Wilayah Disparitas ekonomi regional di Indonesia juga disebabkan oleh perbedaan kondisi demografis antar wilayah, terutama dalam hal jumlah dan pertumbuhan penduduk, tingkat kepadatan penduduk, pendidikan, kesehatan, disiplin masyarakat dan etos kerja. Faktor-faktor ini mempengaruhi tingkat pembangunan dan pertumbuhan ekonomi lewat sisi permintaan dan
22
penawaran. Dari sisi permintaan, tingginya jumlah penduduk merupakan potensi besar bagi pertumbuhan pasar, yang berarti faktor pendorong bagi pertumbuhan kegiatan-kegiatan ekonomi. Dari sisi penawaran, jumlah populasi yang besar dengan tingkat pendidikan dan kesehatan yang baik, disiplin dan etos kerja yang tinggi merupakan aset penting bagi faktor produksi. (6) Kurang Lancarnya Perdagangan Antar Wilayah Kurang lancarnya perdagangan antar wilayah juga merupakan unsur yang turut menciptakan disparitas ekonomi regional di Indonesia. Ketidaklancaran tersebut disebabkan terutama oleh kurang memadainya infrastruktur, khususnya keterbatasan transportasi dan komunikasi. Perdagangan antar wilayah meliputi barang jadi, barang modal, input perantara, bahan baku, material-material lainnya untuk produksi dan jasa. Tidak lancarnya arus barang dan jasa antar wilayah mempengaruhi pembangunan dan pertumbuhan ekonomi suatu wilayah. Selain itu faktor infrastruktur juga sangat berpengaruh pada kinerja perdagangan luar negeri (ekspor-impor). Hampir senada dengan pendapat Tambunan (2003), Anwar (2005) juga mengungkapkan beberapa hal yang menyebabkan terjadinya disparitas antar wilayah, yaitu: (1) perbedaan karakteristik limpahan sumberdaya alam (resource endowment); (2) perbedaan demografi; (3) perbedaan kemampuan sumberdaya manusia (human capital); (4) perbedaan potensi lokasi; (5) perbedaan dari aspek aksesibilitas dan kekuasaan dalam pengambilan keputusan; dan (6) perbedaan dari aspek potensi pasar. Berdasarkan tinjauan terhadap beberapa hasil penelitian di atas, maka faktor-faktor yang diduga menyebabkan terjadinya disparitas regional di Pulau Jawa antara lain adalah pertumbuhan ekonomi, kondisi demografi penduduk, tingkat perkembangan wilayah, lahan, infrastruktur, dan kontribusi sektor-sektor ekonomi terhadap PDRB. Oleh karena itu, dalam penelitian ini, beberapa variabel seperti: besarnya PDRB, PDRB per kapita, laju pertumbuhan ekonomi, jumlah dan kepadatan penduduk, indeks pembangunan manusia, indeks diversitas entropy, indeks skalogram (infrastruktur), persentase kontribusi masing-masing sektor perekonomian terhadap PDRB, serta persentase luas lahan pertanian dan ruang terbangun, sengaja dipilih dan diuji untuk membuktikan hipotesis tersebut.
23
Dampak Otonomi Daerah terhadap Pembangunan Daerah, Pertumbuhan Ekonomi dan Pengurangan Disparitas Regional Pelaksanaan Otonomi Daerah dan desentralisasi yang telah berjalan kurang lebih selama satu dekade telah menghasilkan berbagai perkembangan yang cukup signifikan. Namun, berbagai masalah masih harus segera dituntaskan khususnya dalam pembangunan ekonomi daerah. Pembangunan daerah, sebagai bagian integral dari pembangunan nasional, pada hakekatnya merupakan upaya terencana untuk meningkatkan kapasitas pemerintah daerah dan kemampuan profesional dalam memberikan pelayanan kepada masyarakat, serta kemampuan dalam mengelola sumberdaya ekonomi daerah secara berdaya guna dan berhasil guna untuk kemajuan perekonomian daerah dan kesejahteraan masyarakat. Pembangunan daerah tersebut diharapkan dapat memberikan kesempatan bagi terwujudnya pemerintahan yang baik dan kinerja pemerintah daerah yang efektif, efisien, partisipatif, terbuka dan akuntabel kepada masyarakat. Di samping itu, otonomi daerah juga merupakan upaya untuk memberdayakan masyarakat di seluruh daerah, sehingga tercipta suatu lingkungan yang memungkinkan masyarakat untuk menikmati kualitas kehidupan yang lebih baik. Beberapa penelitian yang dilakukan oleh Brodjonegoro (2001), LPEM FE UI (2001), Ismal (2002), serta Dartanto dan Brodjonegoro (2004) mengkaji keefektifan diterapkannya kebijakan Otonomi Daerah dan desentralisasi fiskal di Indonesia. Dari hasil kajian tersebut dapat diketahui bahwa kebijakan tersebut membawa dampak/pengaruh yang tidak sama untuk setiap daerah. Bagi daerahdaerah yang sudah siap otonom, kebijakan desentralisasi fiskal dapat memberikan pengaruh yang cukup signifikan terhadap pembangunan daerah dan pertumbuhan ekonomi. Namun, bagi daerah-daerah yang belum siap untuk otonom, kebijakan tersebut justru memperburuk keadaan dan menyebabkan tingkat disparitas regional semakin melebar. Dari sisi politis penerapan desentralisasi dan Otonomi Daerah, serta pemekaran provinsi dan kabupaten/kota telah memberikan ruang gerak kepada masyarakat di daerah untuk mempercepat pembangunan daerah. Di samping itu, kondisi sosial dan ekonomi masyarakat di seluruh wilayah Indonesia telah mengalami peningkatan. Peningkatan tersebut antara lain tercermin dari meningkatnya Produk Domestik Regional Bruto (PDRB); berkurangnya pengangguran; meningkatnya akses masyarakat kepada jaringan infrastruktur (khususnya transportasi dan telekomunikasi) maupun fasilitas pendidikan dan
24
kesehatan. Namun demikian peningkatan kondisi sosial dan ekonomi tersebut relatif tidak merata dan sangat bervariasi antara daerah yang satu dengan daerah yang lain. Selain itu kebijakan pembangunan nasional yang selama ini kurang memberikan perhatian yang memadai pada kesenjangan juga menimbulkan beberapa ekses negatif terhadap pembangunan daerah, antara lain: menumpuknya kegiatan ekonomi di daerah tertentu saja, seperti terkonsentrasinya industri manufaktur di kota-kota besar di Pulau Jawa; terjadinya pertumbuhan kota-kota metropolitan dan besar yang tidak terkendali yang mengakibatkan turunnya kualitas lingkungan perkotaan; melebarnya kesenjangan pembangunan antara daerah perkotaan dan perdesaan; meningkatnya kesenjangan pendapatan perkapita; masih banyaknya daerah-daerah miskin dengan tingkat pengangguran yang tinggi dan produktivitas yang rendah; kurangnya keterkaitan kegiatan pembangunan antar wilayah; kurang adanya keterkaitan kegiatan pembangunan antara perkotaan dengan perdesaan; tingginya konversi lahan pertanian ke non pertanian di Pulau Jawa; serta terabaikannya pembangunan daerah perbatasan, pesisir, dan kepulauan. Berbagai ekses negatif tersebut, secara bersama-sama membentuk sebuah isu permasalahan yang sentral bagi pembangunan daerah, yaitu tingginya disparitas pembangunan antar wilayah. Pengurangan disparitas regional tersebut perlu dilakukan tidak hanya untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat di seluruh wilayah Indonesia, tetapi juga untuk menjaga stabilitas dan kesatuan nasional. Tujuan penting dan mendasar yang akan dicapai untuk mengurangi disparitas regional adalah bukan untuk memeratakan pembangunan fisik di setiap daerah, tetapi yang paling utama adalah pengurangan kesenjangan kualitas hidup dan kesejahteraan masyarakat antar daerah.