BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Teori Pembangunan dan Pertumbuhan Ekonomi Daerah Pembangunan
ekonomi
pada
umumnya
adalah
suatu
proses
yang
menyebabkan kenaikan pendapatan riil perkapita penduduk dalam suatu negara dalam jangka panjang yang disertai dengan perbaikan sistem kelembagaan (Arsyad : 2000). Pembangunan ekonomi daerah merupakan suatu proses dimana pemerintah daerah dan masyarakat mengelola sumberdaya-sumberdaya yang ada, dengan menjalin pola-pola kemitraan antara pemerintah daerah dan pihak swasta guna penciptaan lapangan kerja, serta dapat merangsang pertumbuhan ekonomi di daerah bersangkutan. Dengan tujuan utama untuk menciptakan jumlah dan jenis peluang kerja untuk masyarakat daerah, maka keberhasilan pembangunan ekonomi daerah tergantung dari kebijakan-kebijakan pembangunan yang didasarkan pada
kekhasan daerah yang bersangkutan, dengan menggunakan
potensi sumberdaya manusia, kelembagaan, sumberdaya fisik secara lokal untuk inisiatif pembangunan di wilayah yang bersangkutan (Binar Rudatin : 2003). Secara umum, pembangunan ekonomi daerah adalah suatu proses dimana pemerintah daerah dan seluruh komponen masyarakat mengelola berbagai sumber daya yang ada dan membentuk suatu pola kemitraan untuk menciptakan suatu lapangan kerja baru dan merangsang pengembangan kegiatan ekonomi dalam daerah tersebut amat tergantung dari masalah fundamental yang dihadapi oleh daerah itu. Bagaimana daerah mengatasi masalah fundamental yang dihadapi ditentukan oleh strategi pembangunan yang dipilih. Dalam konteks inilah pentingnya merumuskan visi dan misi, dan kemudian memilih strategi yang tepat
Universitas Sumatera Utara
(Kuncoro, 2004 dalam Safi’i , 2007). Kunci keberhasilan pembangunan daerah dalam mencapai sasaran pembangunan adalah koordinasi dan keterpaduan, baik itu keterpaduan antarsektor, antarsektor dan daerah, antarkabupaten/ kota dalam provinsi, serta antarprovinsi dan kabupaten/ kota. Pengembangan metode yang menganalisis perekonomian suatu daerah penting sekali kegunaannya untuk mengumpulkan data tentang perekonomian daerah yang bersangkutan serta proses pertumbuhannya, yang kemudian dapat dipakai sebagai pedoman untuk menentukan tindakan-tindakan apa yang harus diambil untuk mempercepat laju pertumbuhan ekonomi. Kalau analisis pembangunan nasional dibandingkan dengan analisis pembangunan daerah, maka akan tampak bahwa analisis pembangunan ekonomi daerah sangat ketinggalan, baik ditinjau dari cakupan analisis maupun kedalamannya. Di samping itu, analisis regional yang ada bertitik-tolak dari analisis permasalahan dan kebijaksanaan pembangunan daerah di negara maju, padahal struktur perekonomian negara maju sangat berbeda dengan struktur perekonomia negara sedang berkembang, demikian juga dengan struktur perekonomian daerahnya. Perbedaan struktur ini mengakibatkan perlunya analisis dan cara pendekatan yang berbeda pula. Teori-teori tersebut dapat disajikan sebagai berikut : Pembangunan daerah = f
(sumberdaya
alam,tenaga
entrepreneurship,
kerja,
transportasi,
investasi, komunikasi,
komposisi industri, teknologi, luas daerah, pasar ekspor, situasi ekonomi internasional, kapasitas
Universitas Sumatera Utara
pemerintah daerah, pengeluaran pemerintah pusat, dan bantuan-bantuan pembangunan) Salah satu pokok yang harus diperhatikan dalam rangka menerapkan paradigma pembangunan ekonomi daerah yang lebih komprehensif ini adalah bagaimana proses identifikasi fundamental ekonomi secara lebih realistis. Dalam Renstra, ataupun Rencana Pembangunan Jangka Menengah Daerah (RPJMD) perlu digariskan hal-hal pokok untuk mencapai sasaran, dimana hal itu harus dicapai secara simultan dan menyeluruh, serta bukan dimensi yang terpisah. Di antaranya adalah peningkatan potensi daerah yang dapat diaktualkan, peningkatan nilai kegiatan produktif di daerah, peningkatan sumberdaya manusia (SDM) di daerah. Sedangkan pokok-pokok yang harus diperhatikan untuk menyusun identifikasi fundamental ekonomi pembangunan daerah tersebut adalah : (a) Peningkatan laju pertumbuhan ekonomi daerah; (b) Peningkatan pendapatan perkapita; (c) Pengurangan angka kemiskinan, pengangguran dan ketimpangan secara signifikan (Kuncoro,2004 dalam Safi’I 2007). Ketiga hal tersebut proses pencapaiannya tidak berdiri sendiri melainkan terkait satu sama lain. Sebab apabila proses pencapaiannya hanya menguntungkan yang satu dan mengabaikan yang lain dikhawatirkan hal tersebut justru akan menghasilkan permasalahan pembangunan yang lebih kompleks. Sebagaimana diketahui, pertumbuhan ekonomi nasional di masa orde baru tidaklah signifikan dengan pengentasan kemiskinan. Demikian pula yang terjadi di masa otonomi daerah ini, pertumbuhan ekonomi daerah yang baik belum tentu mencerminkan berkurangnya kemiskinan dan pengangguran yang signifikan. (Safi’I , 2007). Berikut beberapa teori ekonomi daerah :
Universitas Sumatera Utara
2.1.1
Teori Ekonomi Klasik
Teori ekonomi klasik dikembangkan oleh Adam Smith (1723-1790) yang membahas masalah ekonomi dalam bukunya An Inquiry Into the Nature and Causes of The Wealth of Nations (1776). Inti ajaran Smith adalah agar masyarakat diberi kebebasan seluas-luasnya dalam menentukkan kegiatan ekonomi apa yang dirasanya terbaik untuk dilakukan. Hal yang perlu dilakukan pemerintah daerah adalah memberi kebebasan kepada setiap orang/badan untuk berusaha (pada lokasi yang diperkenankan); tidak mengeluarkan peraturan yang menghambat pergerakan orang dan barang; tidak membuat tariff pajak daerah yang lebih tinggi dari daerah lain sehingga pengusaha enggan berusaha di daerah tersebut; menjaga keamanan dan ketertiban sehingga relative aman untuk berusaha; menyediakan berbagai fasilitas dan prasarana sehingga pengusaha dapat beroperasi dengan efisien serta tidak membuat prosedur penanaman modal yang modal yang rumit; berusaha menciptakan iklim yang kondusif sehingga investor tertarik menanamkan modal di wilayahnya. ( Robinson Tarigan : 2005) 2.1.2. Teori Ekonomi Neo Klasik Teori pertumbuhan ekonomi neo klasik dikembangkan oleh Robert M. Solow (1970) dari Amerika Serikat dan T.W. Swan (1956) dari Australia. Model Solow-Swan menggunakan unsur pertumbuhan penduduk, akumulasi kapital, kemajuan teknologi dan besarnya output yang saling berinteraksi. Peranan teori ekonomi Neo Klasik tidak terlalu besar dalam menganalisis pembangunan daerah (regional) karena teori ini tidak memiliki dimensi spasial yang signifikan. Namun demikian, teori ini memberikan 2 konsep pokok
Universitas Sumatera Utara
dalam pembangunan ekonomi daerah yaitu keseimbangan (equilibrium) dan mobilitas faktor-faktor produksi. Artinya, sistem perekonomian akan mencapai keseimbangan alamiahnya jika modal bisa mengalir tanpa restriksi (pembatasan). Oleh karena itu, modal akan mengalir dari daerah yang berupah tinggi menuju daerah yang berupah rendah. 2.1.3. Teori Basis Ekonomi Teori basis ekonomi (economic base theory) mendasarkan pandangannya bahwa laju pertumbuhan ekonomi suatu wilayah ditentukan oleh besarnya peningkatan ekspor dari wilayah tersebut. Kegiatan ekonomi dikelompokkan atas kegiatan basis dan kegiatan non basis. Hanya kegiatan basis yang dapat mendorong pertumbuhan ekonomi wilayah (Tarigan : 2006). Teori basis
ekonomi
menyatakan
bahwa faktor penentu utama
pertumbuhan ekonomi suatu daerah adalah berhubungan langsung dengan permintaan akan barang dan jasa dari luar daerah. Pertumbuhan industriindustri yang menggunakan sumberdaya lokal, termasuk tenaga kerja dan bahan baku untuk diekspor, akan menghasilkan kekayaan daerah dan penciptaan peluang kerja (job creation). Strategi pembangunan daerah yang muncul yang didasarkan pada teori ini adalah penekanan terhadap arti penting bantuan (aid) kepada dunia usaha yang mempunyai pasar secara nasional maupun internasional. Implementasi kebijakannya mencakup pengurangan hambatan/batasan terhadap perusahaan-perusahaan yang berorientasi ekspor yang ada dan akan didirikan di daerah tersebut (Arsyad : 2002). Lincoln Arsyad menyatakan kelemahan model ini adalah bahwa model ini didasarkan pada permintaan eksternal bukan internal. Pada akhirnya akan
Universitas Sumatera Utara
menyebabkan ketergantungan yang sangat tinggi terhadap kekuatan-kekuatan pasar secara nasional maupun global. Namun demikian, model ini sangat berguna untuk menentukan keseimbangan antara jenis-jenis industri dan sektor yang dibutuhkan masyarakat untuk mengembangkan stabilitas ekonomi. 2.1.4 Teori Lokasi Para ekonomi regional sering mengatakan bahwa ada 3 faktor yang mempengaruhi pertumbuhan daerah yaitu : lokasi, lokasi, dan lokasi!. Pernyataan tersebut sangat masuk akal jika dikaitkan dengan pengembangan kawasan industri. Perusahaan cenderung untuk meminimumkan biayanya dengan cara memilih lokasi yang memaksimumkan peluangnya untuk mendekati pasar. Model pengembangan industri kuno menyatakan bahwa lokasi yang terbaik adalah biaya yang termurah antara bahan baku dengan pasar (Arsyad, 2002:116). Arsyad menyatakan bahwa keterbatasan dari teori lokasi ini pada saat sekarang adalah bahwa teknologi dan komunikasi modern telah mengubah signifikansi suatu lokasi tertentu untuk kegiatan produksi dan distribusi barang.
2.1.4. Teori Tempat Sentral Teori tempat sentral (central place theory) menganggap bahwa ada hirarki tempat (hierarchy of places). Setiap tempat sentral didukung oleh sejumlah tempat yang lebih kecil yang menyediakan sumberdaya (industri dan bahan baku). Tempat sentral tersebut merupakan suatu pemukiman
yang
menyediakan jasa-jasa bagi penduduk daerah yang mendukungnya. Teori
Universitas Sumatera Utara
tempat sentral ini bisa diterpakan pada pembangunn ekonomi daerah, baik di daerah perkotaan
maupun pedesaan. Misalnya, perlunya
melakukan
pembedaan fungsi antara daerah-daerah yang bertetangga (berbatasan). Beberapa daerah bisa menjadi wilayah penyedia jasa sedangkan lainnya hanya sebagai daerah pemukiman (Arsyad : 2002). 2.2 Strategi Pengembangan Potensi Ekonomi Daerah Untuk menuju kemandirian, sudah saatnya daerah otonom harus menggali semua potensi yang dimilikinya. Pada tahap awal, pemerintah kabupaten/kota harus mampu mengidentifikasi tiga pilar pengembangan wilayah yang dimilikinya, yaitu potensi sumberdaya alam, sumberdaya manusia, dan sumberdaya teknologi ( Zen, 1999:5 dalam Alkadri dan Hasan Mustafa , 2002). Ketiga pilar ini harus diramu sedemikian rupa sehingga sumberdaya manusia dapat mengoptimalkan pemanfaatan sumberdaya alam dengan teknologi yang dimilikinya. Pada fase berikutnya, daerah dapat mengembangkan potensi-potensi tersebut menjadi berbagai kegiatan ekonomi yang menghasilkan nilai tambah dan berdaya saing tinggi. Daerah harus lebih mampu menetapkan skala prioritas yang tepat untuk memanfaatkan potensi daerahnya masing-masing dengan tetap memperhatikan kelestarian lingkungan hidup agar pertumbuhan bisa berkesinambungan. Pada saat yang bersamaan, daerah harus lebih mampu menggali pendapatan asli daerah yang lebih besar, karena penerimaan daerah yang dilimpahkan dari pusat sudah terbatas dan sudah memiliki aturan pendistribusiannya (Robinson Tarigan: 2005). Telah diketahui bersama bahwa tujuan pembangunan ekonomi pada umumnya adalah peningkatan pendapatan riil perkapita serta adanya unsur keadilan atau
Universitas Sumatera Utara
pemerataan dalam penghasilan dan kesempatan berusaha. Dengan mengetahui tujuan dan sasaran pembangunan, serta kekuatan dan kelemahan yang dimiliki suatu daerah, maka strategi pengembangan potensi yang ada akan lebih terarah dan strategi tersebut akan menjadi pedoman bagi pemerintah daerah atau siapa saja yang akan melaksanakan usaha di daerah tersebut. Oleh karena itu langkahlangkah
berikut
dapat
dijadikan
acuan
dalam
mempersiapkan
strategi
pengembangan potensi yang ada didaerah, sebagai berikut : 1. Mengidentifikasi sektor-sektor kegiatan mana yang mempunyai potensi untuk dikembangkan dengan memperhatikan kekuatan dan kelemahan masing-masing sektor. 2. Mengidentifikasi
sektor-sektor
yang
potensinya
rendah
untuk
dikembangkan serta mencari faktor-faktor penyebab rendahnya potensi sektor tersebut untuk dikembangkan. 3. Mengidentifikasi sumberdaya (faktor-faktor produksi) yang ada termasuk sumberdaya manusianya yang siap digunakan untuk mendukung perkembangan setiap sektor yang bersangkutan. 4. Dengan model pembobotan terhadap variabel - variabel kekuatan dan kelemahan untuk setiap sektor dan sub-sektor, maka akan ditemukan sektor-sektor andalan yang selanjutnya dianggap sebagai potensi ekonomi yang patut dikembangkan di daerah yang bersangkutan. 5. Menentukan strategi yang akan ditempuh untuk pengembangan sektorsektor andalan yang diharapkan dapat menarik sektor-sektor lain untuk tumbuh sehingga perekonomian akan dapat berkembang dengan
Universitas Sumatera Utara
sendirinya
(self
propelling)
secara
berkelanjutan
(sustainable
development) (Nudiatulhuda Mangun : 2007). Ada beberapa alat analisis yang dapat digunakan untuk menentukan potensi relative perekonomian suatu wilayah. Alat analisis itu antara lain keunggulan komparatif, Location Quotient, dan analisis Shift-Share. 2.2.1. Keunggulan Komparatif Keunggulan komparatif suatu komoditi bagi suatu negara atau daerah adalah bahwa komoditi itu lebih unggul secara relative dengan komoditi lain di daerahnya. Pengertian unggul dalam hal ini adalah dalam bentuk perbandingan dan bukan dalam bentuk nilai tambah riil. Apabila keunggulan itu adalah dalam bentuk nilai tambah riil maka dinamakan keunggulan absolut. Komoditi yang memiliki keunggulan walaupun hanya dalam bentuk perbandingan, lebih menguntungkan untuk dikembangkan dibanding dengan komoditi lain yang sama-sama diproduksi oleh kedua negara atau daerah (Tarigan : 2005). Pada saat ini istilah yang lebih sering dipakai adalah competitive advantage (keunggulan kompetitif). Keunggulan kompetitif menganalisis kemampuan suatu daerah untuk memasarkan produknya di luar daerah/luar negeri/pasar global. Sebaliknya, analisis keunggulan komparatif tetap dapat digunakan untuk melihat apakah komoditi itu memiliki prospek untuk dikembangkan walaupun saat ini belum mampu memasuki pasar global (Tarigan : 2005). 2.2.2. Location Quotient (Kuosien Lokasi) Location Quotient (Kuosien Lokasi) atau disingkat LQ adalah suatu perbandingan tentang besarnya peranan suatu sektor/industri di suatu daerah terhadap besarnya peranan sektor/ndustri tersebut secara nasional. Ada banyak
Universitas Sumatera Utara
variabel yang bisa diperbandingkan, tetapi yang umum adalah nilai tambah ( tingkat pendapatan) dan jumlah lapangan kerja (Tarigan:2005). Location Quotient adalah teknik untuk menaksir spesialisasi daerah di satu industri. Komposisi industri satu ekonomi lokal bisa dipahami lebih baik dengan membandingkan struktur industri lokal dengan kota-kota lain atau dengan daerah yang lebih luas atau secara keseluruhan dibanding dengan membandingkannya dengan ekonomi lokal (Sirojuzilam dan Kasyful Mahalli, 2010). Location Quotient (LQ), yaitu usaha mengukur konsentrasi dari suatu kegiatan (industri) dalam suatu daerah dengan cara membandingkan peranannya dalam perekonomian daerah itu dengan peranan kegiatan atau industri sejenis dalam perekonomian regional atau nasional (Arsyad, 2002:141). 2.2.3. Analisis Shift-Share Pertumbuhan dan pergeseran sektor-sektor ekonomi di daerah dapat dianalisis dengan mempergunakan analisa shift share, yang menyatakan bahwa pertumbuhan ekonomi di daerah berhubungan erat dengan tiga komponen yaitu komponen karena pertumbuhan nasional, komponen interaksi sektor industri (industrial mix) dan pangsa relatip sektor-sektor daerah (regional share) terhadap sektor-sektor nasional (Sirojuzilam dan Kasyful Mahalli, 2010). Analisis shift share merupakan teknik yang sangat berguna dalam menganalisis perubahan struktur ekonomi daerah dibandingkan perekonomian nasional. Tujuan analisis ini adalah untuk menentukan kinerja atau produktivitas kerja
Universitas Sumatera Utara
perekonomian daerah dengan membandingkannya dengan daerah yang lebih besar (regional atau nasional) (Arsyad, 2002:139). Analisis shift share dapat disajikan sebagai berikut: Perubahan employment pada industri daerah = pertumbuhan ekonomi + pergeseran proporsi + pergeseran diferensial 2.3 Teori Pemekaran Daerah Dalam banyak hal, desentralisasi dan otonomi adalah kata yang saling bisa dipertukarkan. Otonomi berasal dari kata Yunani autos dan nomos. Otonomi bermakna “memerintah sendiri”. Otonomi daerah sendiri dapat diartikan sebagai hak wewenang dan kewajiban daerah untuk mengatur dan mengurus rumah tangganya sendiri sesuai dengan peraturan perundangan yang berlaku ( Sarundajang:1999 dalam Riant Nugroho (2000). Tidak ada daerah yang mampu mengelola dirinya sendiri, meski memiliki dukungan politik, organisasi, dan manusia, jika tidak memiliki kemampuan ekonomi. Kawasan otonom tanpa kemampuan ekonomi, sia-sia belaka (Riant Nugroho :2000). Menurut Kastorius Sinaga (dalam Etnis Pakpak Dalam Fenomena Pemekaran Wilayah) , ide pemekaran wilayah setidaknya harus menjawab 3 issue pokok, di antaranya : 1. Urgensi dan Relevansi ; apakah urgensi pemekaran wilayah berkaitan dengan penuntasan masalah kemiskinan dan marginalistik etnik. Jika tidak, pemekaran wilayah akan berdampak negatif dan proses pemiskinan rakyat akan semakin cepat. Pertimbangan umum pemekaran wilayah biasanya didasari oleh adanya potensi sumberdaya alam yang siap untuk dieksploitasi
Universitas Sumatera Utara
sementara kemampuan daerah, terutama menyangkut finansial dan sumberdaya manusia amat terbatas. 2. Prosedur ; apakah prosedur pemekaran wilayah sudah ditempuh dengan benar sesuai ketentuan dan peraturan yang ditetapkan. Jika tidak maka proses pemekaran wilayah ini akan berbelit-belit karena rantai birokrasi yang mengurus persoalan seperti ini juga cukup panjang 3. Implikasi ; yakni sejauh mana pemekaran wilayah memberi dampak yang signifikan terhadap kesejahteraan masyarakat dan secara politis berimplikasi terhadap terpeliharanya identitas etnik dan agama Berlakunya otonomi daerah yang paling penting bagi pembangunan ekonomi daerah dewasa ini adalah meningkatnya motivasi antardaerah, mengaktualisasikan diri sebagai daerah yang memiliki tingkat pertumbuhan ekonomi yang tinggi melalui pemberdayaan potensi ekonomi lokal dengan mengembangkan kegiatankegiatan ekonomi yang bersandarkan kepada kekuatan-kekuatan daerah dan memanfaatkan peluang-peluang yang ada untuk meningkatkan kesejahteraan sosial yaitu kemamuran dan keadilan. 2.4 Penelitian Terdahulu Penelitian tentang potensi ekonomi juga dilakukan oleh beberapa peneliti pada daerah yang berbeda, antara lain; Nudiatulhuda Mangun (2007), Aditya Nugraha Putra (2013), Arif Susanto (2008) dan Teguh Pamuji Tri (2011). Berikut hasil penelitian yang dilakukan : 1. Penelitian yang dilakukan oleh Nudiatulhuda Mangun dengan judul “Analisis Potensi Ekonomi Kabupaten dan Kota di Propinsi Sulawesi Tengah”. Penelitian ini dilakukan untuk untuk mengetahui dan
Universitas Sumatera Utara
menganalisis sektor-sektor basis/unggulan, yang mempunyai daya saing kompetitif
dan
spesialisasi
di
masing-masing
Kabupaten/Kota,
menentukan tipologi daerah dan prioritas sektor basis guna pengembangan pembangunan kabupaten/kota. Alat analisis yang digunakan adalah LQ, Shift-Share, Tipologi Klassen dan Model Rasio Pertumbuhan (MRP). Hasil penelitian menunjukkan bahwa Kabupaten/Kota mempunyai potensi masing-masing sesuai dengan kondisinya namun sektor Pertanian masih merupakan sektor basis yang dominan
di Propinsi Sulawesi Tengah
karena 9 Kabupatennya mempunyai basis/unggulan di sektor ini; sedangkan sektor lainnya bervariasi khusus
sektor Pertambangan dan
industri Pengolahan hanya dimiliki Kota Palu sekaligus sebagai kota yang paling banyak memiliki sektor basis ( 8 Sektor basis). 2. Penelitian yang dilakukan oleh Aditya Nugraha Putra (2013) dengan judul “Analisis Potensi Ekonomi Kabupaten dan Kota di Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta”. Alat analisis yang digunakan adalah LQ, ShiftShare, Tipologi Klassen dan Model Rasio Pertumbuhan (MRP). Hasil Penelitian menunjukkan bahwa kabupaten/kota mempunyai potensi masing-masing sesuai dengan kondisinya. Sektor Pertanian, Sektor pertambangan dan penggalian, sector Industri pengolahan serta sektor jasa-jasa merupakan sektor basis yang dominan di Provinsi DIY karena 3 Kabupatennya mempunyai basis/unggulan di sektor ini; sedangkan sektor lainnya bervariasi khusus sektor listrik, gas dan air bersih serta sektor pengangkutan dan komunikasi hanya dimiliki Kota Yogyakarta sekaligus
Universitas Sumatera Utara
sebagai Kota yang paling banyak memiliki sektor basis sama seperti Kabupaten Sleman (5 Sektor basis). 3. Penelitian yang dilakukan oleh Arif Susanto (2008) dengan judul ”Analisis Sektor Potensial
dan Pengembangan Wilayah Guna
Mendorong
Pembangunan di Kabupaten Rembang”. Alat analisis yang digunakan adalah Analisis LQ, Shift-Share, Analisis Gravitasi, Analisis SWOT. Hasil penelitian menunjukkanBerdasarkan anilisis LQ dan Shift Share maka dapat di ketahui bahwa Kabupaten Rembang memiliki sektor-sektor basis yang potensial, yaitu sektor pertanian,
sektor pertambangan dan
penggalian, sektor bangunan, sektor pengangkutan dan komunikasi, dan sektor jasa-jasa, sedangkan berdasarkan analisis gravitasi diketahui bahwa Interaksi paling besar adalah antara Kabupaten Rembang dengan Kabupaten Pati dan berdasarkan analisis SWOT diketahui strategi pengembangan
yang dapat dilakukan oleh pemerintah Kabupaten
Rembang diantaranya adalah pengembangan pertanian, agroindustri, industri kecil, mengoptimalkan sektor perikanan dan sektor-sektor basis untuk menarik investor. 4. Penelitian yang dilakukan oleh Teguh Pamuji Tri (2011) dengan judul “Analisis Potensi Ekonomi Kabupaten Jepara Tahun 2011”. Alat analisis yang digunakan adalah Analisis LQ dan Tipologi Klassen. Hasil penelitian menunjukkan bahwa Sektor perdagangan hotel dan restoran adalah jumlah sektor yang banyak menjadi sektor basis di wilayah kecamatan Kabupaten Jepara (13 Kecamatan), kemudian sektor pertanian (10 kecamatan), sektor
Universitas Sumatera Utara
industri pengolahan, sektor listrik, gas dan air bersih, dan sektor jasa (7 Kecamatan). 2.5 Kerangka Konseptual Potensi Ekonomi
PDRB
LQ
Shift Share
Penentuan sektor unggulan , kompetitif dan spesialisasi berdasarkan hasil analisis LQ dan Shift Share
Pertimbangan dalam rencana pemekaran berdasarkan potensi ekonomi dan persepsi BAB III masyarakat
Universitas Sumatera Utara