BAB II TINJAUAN PUSTAKA
2.1. Pembangunan Ekonomi Daerah 2.1.1. Pengertian Pembangunan Ekonomi Daerah Pembangunan merupakan proses perubahan secara terus menerus dan terjadi dalam jangka panjang, serta terdapat perbaikan sistem kelembagaan baik dari aspek organisasi maupun aspek regulasi yang menyangkut bidang ekonomi, sosial dan budaya, politik dan hukum. Menurut Todaro (1987) pembangunan harus dipahami sebagai suatu proses berdimensi banyak yang mencakup perubahan mendasar atas struktur sosial, sikap masyarakat, dan institusi nasional, serta percepatan pertumbuhan ekonomi, penanganan ketimpangan pendapatan dan pengentasan kemiskinan. Ursula Hicks dan Schumpeter (ML, Jhingan, 1992) membedakan antara pembangunan ekonomi dan pertumbuhan ekonomi. Pembangunan ekonomi mengacu pada masalah yang dihadapi negara sedang berkembang yaitu menyangkut pengembangan sumber-sumber yang tidak atau belum digunakan, sedangkan pertumbuhan ekonomi mengacu pada masalah negara maju terkait dengan pertumbuhan dan keberadaan sumber-sumber ekonomi yang telah digunakan pada batas tertentu. Pembangunan ekonomi harus dilaksanakan secara terpadu, selaras, seimbang dan berkelanjutan dan diarahkan agar menjadi kesatuan pembangunan nasional. Dalam mewujudkan pembangunan ekonomi nasional perlu adanya pembangunan ekonomi daerah yang dapat mengurangi ketimpangan antar daerah dan mampu mewujudkan kemakmuran yang merata antar daerah. 14
15
Pembangunan ekonomi daerah adalah proses dimana pemerintah daerah dan masyarakatnya mengelola sumber-sumber daya yang ada dan membentuk suatu pola kemitraan antara pemerintah daerah dengan sektor swasta untuk menciptakan suatu lapangan kerja baru dan merangsang perkembangan kegiatan ekonomi (pertumbuhan ekonomi) dalam wilayah tersebut (Arsyad, 1999). Pembangunan ekonomi daerah merupakan suatu proses yang meliputi pembentukan institusi-institusi baru, pembangunan industri alternatif, perbaikan kapasitas tenaga kerja yang ada untuk menghasilkan produk dan jasa yang lebih baik, identifikasi pasar-pasar baru, alih ilmu pengetahuan, dan pengembangan perusahaan-perusahaan baru. Pembangunan ekonomi daerah di era otonomi menghadapi tantangan masalah kesenjangan dan iklim globalisasi sehingga menuntut tiap daerah untuk mampu bersaing di dalam dan luar negeri. Kesenjangan dan globalisasi berimplikasi kepada provinsi dan kabupaten/kota untuk melaksanakan percepatan pembangunan ekonomi daerah secara terfokus melalui pengembangan kawasan dan produk andalannya.
2.1.2. Tujuan Pembangunan Ekonomi Daerah Pembangunan ekonomi daerah perlu memberikan solusi jangka pendek dan jangka panjang terhadap isu-isu ekonomi daerah yang dihadapi dan perlu mengkoreksi kebijakan yang keliru. Pembangunan ekonomi daerah merupakan bagian dari pembangunan daerah secara menyeluruh. Setiap upaya pembangunan ekonomi daerah mempunyai tujuan utama untuk meningkatkan jumlah dan jenis peluang kerja untuk masyarakat daerah.
16
Dalam upaya untuk mencapai tujuan tersebut, pemerintah daerah dan masyarakatnya harus secara bersama-sama mengambil inisiatif pembangunan daerah. Oleh karena itu, pemerintah daerah beserta partisipasi masyarakatnya dan dengan menggunakan sumberdaya-sumberdaya yang ada harus mampu menaksir potensi sumberdaya-sumberdaya yang diperlukan untuk merancang dan membangun perekonomian daerah (Arsyad, 2005).
2.2. Teori Pertumbuhan Ekonomi Wilayah Pertumbuhan ekonomi wilayah adalah pertambahan pendapatan masyarakat secara keseluruhan yang terjadi di suatu wilayah yaitu kenaikan seluruh nilai tambah (added value) terutama sebagai akibat peningkatan kegiatan ekonomi. Pendapatan wilayah menggambarkan balas jasa bagi faktor-faktor produksi yang beroperasi di daerah tersebut (tanah, modal, tenaga kerja dan keahlian/teknologi), yang dapat menggambarkan kemakmuran daerah. Kemakmuran suatu wilayah selain ditentukan oleh besarnya nilai tambah yang tercipta di wilayah tersebut juga oleh terjadinya transfer-payment yaitu bagian pendapatan yang mengalir keluar wilayah atau mendapat aliran dana dari luar wilayah. Menurut Boediono (1985:1) : “Pertumbuhan ekonomi adalah proses kenaikan output perkapita dalam jangka panjang”. (Tarigan, 2005:46). Analisis pertumbuhan ekonomi wilayah dapat menjelaskan sebab terjadinya ketimpangan pembangunan ekonomi antar wilayah/daerah dan menjelaskan mengapa suatu daerah dapat tumbuh cepat dan ada pula yang tumbuh lambat.
17
Tingkat pertumbuhan ekonomi dapat digambarkan melalui perhitungan laju pertumbuhan ekonomi dengan cara membandingkan tingkat pendapatan wilayah dari tahun ke tahun atau dapat diformulasikan sebagai berikut: gt = ∆ PDRB = PDRBt – PDRBt-1 PDRB PDRB t-1
Keterangan: gt
= Pertumbuhan Ekonomi
PDRB = Produk Domestik Regional Bruto ∆
= Perubahan
Teori ekonomi Neo Klasik memberikan dua konsep pokok dalam pembangunan ekonomi daerah yaitu keseimbangan (equilibrium) dan mobilitas faktor produksi. Kebijakan yang ditempuh adalah meniadakan hambatan-hambatan dalam perdagangan termasuk perpindahan orang, barang dan modal, terjaminnya kelancaran arus barang, modal, tenaga kerja dan perlunya penyebarluasan informasi pasar. Harus diusahakan terciptanya prasarana perhubungan yang baik dan terjaminnya keamanan, ketertiban dan kestabilan politik. Demikian pula Model Neo Klasik sangat memperhatikan faktor kemajuan teknik, yang dapat ditempuh melalui peningkatan kualitas Sumber Daya Manusia (SDM). Menurut Tarigan (2006:63), teori basis ekspor membagi kegiatan produksi/jenis pekerjaan yang terdapat di dalam satu wilayah atas pekerjaan basic (basis=dasar) dan pekerjaan service (pelayanan atau biasa disebut sektor nonbasis). Kegiatan basis adalah kegiatan yang bersifat exogenous artinya tidak terikat pada kondisi internal perekonomian wilayah dan sekaligus berfungsi mendorong tumbuhnya jenis kegiatan lainnya. Itulah sebabnya dikatakan basis,
18
sedangkan pekerjaan service (non-basis) adalah kegiatan untuk memenuhi kebutuhan masyarakat di daerah itu sendiri, oleh karena itu pertumbuhannya tergantung pada kondisi umum perekonomian wilayah tersebut artinya sektor ini bersifat endogenous - tidak bebas bertumbuh, pertumbuhannya tergantung pada kondisi
perekonomian
wilayah
(tingkat
pendapatan
masyarakat)
secara
keseluruhan. Teori basis ekspor (export base theory) dapat memberikan kerangka teoritis bagi banyak studi empiris tentang multiplier regional. Konsep ini dapat menjelaskan dan mengidentifikasi maju mundurnya pertumbuhan ekonomi suatu wilayah, dan juga menentukan arah pembangunan suatu daerah secara keseluruhan, sedangkan aktivitas yang bukan basis ekonomi hanya merupakan akibat dari seluruh pembangunan daerah. Jadi teori ini memberikan landasan yang kuat bagi studi pendapatan regional walaupun dalam kenyataannya perlu dilengkapi dengan kebijakan lain agar bisa digunakan sebagai pengatur pembangunan wilayah yang komprehensif. Analisis basis ekonomi dapat menggunakan variabel lapangan kerja, pendapatan atau ukuran lain tetapi yang umum dipakai adalah lapangan kerja atau pendapatan. Secara logika penggunaan variabel pendapatan lebih mengena kepada sasaran. Peningkatan pendapatan di sektor basis akan mendorong kenaikan pendapatan di sektor non basis dalam bentuk korelasi yang lebih ketat dibandingkan dengan menggunakan variabel lapangan kerja. Menurut Teori Pusat Pertumbuhan bahwa Pusat Pertumbuhan (growth pole) dapat diartikan dengan dua cara, yaitu secara fungsional dan secara geografis. Secara fungsional, pusat pertumbuhan adalah suatu lokasi konsentrasi
19
kelompok usaha atau cabang industri yang karena sifat hubungannya memiliki unsur-unsur kedinamisan sehingga mampu menstimulasi kehidupan ekonomi baik ke dalam maupun ke luar (daerah belakangnya). Secara geografis pusat pertumbuhan adalah suatu lokasi yang banyak memiliki fasilitas dan kemudahan sehingga menjadi pusat daya tarik (pole of attraction) yang menyebabkan berbagai macam usaha tertarik untuk berlokasi di situ dan masyarakat senang datang untuk memanfaatkan fasilitas yang ada di kota tersebut, walaupun kemungkinan tidak ada interaksi antara usaha-usaha tersebut. Suatu kota dikatakan sebagai pusat pertumbuhan harus bercirikan: (1) adanya hubungan intern antara berbagai macam kegiatan yang memiliki nilai ekonomi; (2) adanya unsur pengganda (multiplier effect); (3) adanya konsentrasi geografis; (4) bersifat mendorong pertumbuhan daerah belakangnya (Tarigan, 2004). Ciri-ciri pusat pertumbuhan tersebut dapat dijelaskan sebagai berikut: 1. Adanya hubungan intern dari berbagai macam kegiatan hubungan internal sangat menentukan dinamika sebuah kota. Ada keterkaitan antara satu sektor dengan sektor lainnya sehingga apabila ada satu sektor yang tumbuh akan mendorong pertumbuhan sektor lainnya, karena saling terkait. Dengan demikian kehidupan kota menjadi satu irama dengan berbagai komponen kehidupan kota dan menciptakan sinergi untuk saling mendukung terciptanya pertumbuhan. 2. Adanya unsur pengganda (multiplier effect). Keberadaan sektor-sektor yang saling terkait dan saling mendukung akan menciptakan efek pengganda. Maknanya bila ada permintaan satu sektor dari luar wilayah, peningkatan produksi sektor tersebut akan berpengaruh pada peningkatan sektor lain. Peningkatan ini
20
akan terjadi beberapa kali putaran pertumbuhan sehingga total kenaikan produksi dapat beberapa kali lipat dibandingkan dengan kenaikan permintaan di luar untuk
sektor
tersebut.
Unsur
efek
pengganda
memiliki
peran
yang
signifikan terhadap pertumbuhan kota belakangnya. Hal ini terjadi karena peningkatan berbagai sektor di kota pusat pertumbuhan akan membutuhkan berbagai pasokan baik tenaga kerja maupun bahan baku dari kota belakangnya. 3. Adanya konsentrasi geografis dari berbagai sektor atau fasilitas, selain bisa menciptakan efisiensi di antara sektor-sektor yang saling membutuhkan, juga meningkatkan daya tarik (attractiveness) dari kota tersebut. Orang yang datang ke kota tersebut bisa mendapatkan berbagai kebutuhan pada lokasi yang berdekatan. Jadi kebutuhan dapat diperoleh dengan lebih hemat waktu,
biaya
dan
tenaga.
Hal
ini
membuat
kota
tersebut
menarik
untuk dikunjungi dan karena volume transaksi yang makin meningkat akan menciptakan economic of scale sehingga tercipta efisiensi lebih lanjut. 4. Bersifat mendorong pertumbuhan daerah belakangnya. Sepanjang terdapat hubungan yang harmonis di antara kota sebagai pusat pertumbuhan dengan kota belakangnya, maka pertumbuhan kota pusat akan mendorong pertumbuhan kota belakangnya. Kota membutuhkan bahan baku dari wilayah belakangnya dan menyediakan berbagai fasilitas atau kebutuhan wilayah belakangnya untuk dapat mengembangkan diri. Pusat-pusat yang pada umumnya merupakan kota–kota besar tidak hanya berkembang sangat pesat, akan tetapi mereka bertindak sebagai pompa-pompa penghisap dan memiliki daya penarik yang kuat bagi wilayah-wilayah belakangnya yang relatif statis. Wilayah-wilayah pinggiran di sekitar pusat secara
21
berangsur-angsur berkembang menjadi masyarakat dinamis. Terdapat arus penduduk, modal, dan sumber daya ke luar wilayah belakang yang dimanfaatkan untuk menunjang perkembangan pusat-pusat dimana pertumbuhan ekonominya sangat cepat dan bersifat kumulatif. Sebagai akibatnya, perbedaan pendapatan antara pusat dan wilayah pinggiran cenderung lebih besar (Adisasmito, 2005). Keterkaitan perekonomian kawasan andalan dengan daerah sekitar sebagai salah satu kriteria penetapannya relevan dengan konsep spesialisasi. Adanya spesialisasi komoditas sesuai dengan sektor/subsektor unggulan yang dimiliki memungkinkan dilakukannya pemusatan kegiatan sektoral pada masing-masing daerah, yang akan mempercepat pertumbuhan di daerah. (Kuncoro:2002) Menurut Samuelson dan Nordhaus (1995:34-35) masyarakat dapat lebih efektif dan efisien jika terdapat pembagian kerja, yang membagi keseluruhan proses produksi menjadi unit-unit khusus yang terspesialisasi. Ekonomi spesialisasi telah memungkinkan terbentuknya jaringan perdagangan antar individu dan antar negara yang demikian luas, yang merupakan ciri dari suatu perekonomian maju.
2.3. Kawasan Andalan 2.3.1. Konsep Kawasan Andalan Menurut teori pembangunan regional, konsep kawasan andalan dilihat dari kriteria penetapannya didukung oleh teori pertumbuhan ekonomi, teori basis ekonomi, teori pusat pertumbuhan dan teori spesialisasi. Dalam Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 26 Tahun 2008 Tentang Rencana Tata Ruang Wilayah Nasional pasal 74, yang dimaksud dengan Kawasan andalan adalah bagian dari kawasan budi daya, baik di ruang darat
22
maupun ruang laut yang pengembangannya diarahkan untuk mendorong pertumbuhan ekonomi bagi kawasan tersebut dan kawasan di sekitarnya. Kawasan budi daya adalah wilayah yang ditetapkan dengan fungsi utama untuk dibudidayakan atas dasar kondisi dan potensi sumber daya alam, sumber daya manusia, dan sumber daya buatan.
2.3.2. Maksud dan tujuan pengembangan Kawasan Andalan Kawasan andalan dikembangkan secara terencana dan terpadu dengan memperhatikan rencana tata ruang daerah, keterkaitan kota dengan daerah penyangganya, pertumbuhan penduduk, pengelolaan dan pembangunan lingkungan permukiman, lingkungan usaha, dan lingkungan kerja. (RPD Sumut:Bab 47) Pengembangan kawasan andalan dimaksudkan sebagai alat guna mendorong dan meningkatkan pertumbuhan ekonomi bagi suatu kawasan, sehingga wilayah sekitarnya dapat ikut berkembang. Pengembangan kawasan andalan bertujuan untuk : a) Mengembangkan penataan ruang kawasan dalam rangka penataan ruang wilayah nasional atau wilayah provinsi atau wilayah kabupaten dan kota; b) Mengoptimalkan pemanfaatan potensi sumber daya pada kawasan dalam rangka pembangunan ekonomi nasional dan daerah; c) Mengatur pemanfaatan ruang guna meningkatkan kesejahteraan masyarakat dan pertahanan keamanan. (Erna:2007) Kawasan andalan merupakan kawasan yang ditetapkan sebagai penggerak perekonomian wilayah (prime mover), yang memiliki kriteria sebagai kawasan yang cepat tumbuh dibandingkan lokasi lainnya dalam suatu provinsi, memiliki
23
sektor unggulan dan memiliki keterkaitan ekonomi dengan daerah sekitar (hinterland). Pertumbuhan kawasan andalan diharapkan dapat memberikan imbas positif bagi pertumbuhan ekonomi daerah sekitar (hinterland) melalui pemberdayaan sektor/subsektor unggulan sebagai penggerak perekonomian daerah dan keterkaitan ekonomi antar daerah. Penekanan pada pertumbuhan ekonomi sebagai arah kebijakan penetapan kawasan andalan adalah mengingat “pertumbuhan ekonomi merupakan salah satu variabel ekonomi yang merupakan indikator kunci dalam pembangunan” (Kuncoro, 2004).
2.3.3. Karakteristik Kawasan Andalan Dalam Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 26 Tahun 2008 tentang Rencana Tata Ruang Wilayah Nasional pasal 72-74 dijelaskan bahwa kawasan budi daya yang memiliki nilai strategis nasional ditetapkan sebagai kawasan andalan. Nilai strategis nasional meliputi kemampuan kawasan untuk memacu pertumbuhan ekonomi kawasan dan wilayah di sekitarnya serta mendorong pemerataan perkembangan wilayah. Kawasan andalan terdiri atas kawasan andalan darat dan kawasan andalan laut. Kawasan andalan darat terdiri atas kawasan andalan berkembang dan kawasan andalan prospektif berkembang. Kawasan andalan berkembang ditetapkan dengan kriteria: a. memiliki paling sedikit 3 (tiga) kawasan perkotaan; b. memiliki kontribusi terhadap produk domestik bruto paling sedikit 0,25% (nol koma dua lima persen); c. memiliki jumlah penduduk paling sedikit 3% (tiga persen) dari jumlah penduduk provinsi; d. memiliki prasarana berupa jaringan jalan, pelabuhan laut dan/atau bandar udara, prasarana listrik, telekomunikasi, dan air baku, serta fasilitas penunjang kegiatan ekonomi kawasan; dan e. memiliki sektor unggulan yang sudah berkembang
24
dan/atau sudah ada minat investasi. Kawasan andalan prospektif berkembang ditetapkan dengan kriteria: a. memiliki paling sedikit 1 (satu) kawasan perkotaan; b. memiliki kontribusi terhadap produk domestik bruto paling sedikit 0,05% (nol koma nol lima persen); c. memiliki laju pertumbuhan ekonomi paling sedikit 4% (empat persen) per tahun; d. memiliki jumlah penduduk paling sedikit 0,5% (nol koma lima persen) dari jumlah penduduk provinsi; e. memiliki prasarana berupa jaringan jalan, pelabuhan laut, dan prasarana lainnya yang belum memadai; dan f. memiliki sektor unggulan yang potensial untuk dikembangkan. Berdasarkan kriteria kawasan andalan nasional, maka untuk kawasan andalan provinsi dapat mengganti acuan PDB dengan PDRB Provinsi.
2.4. Tipologi Daerah Alat analisis Tipologi Klassen digunakan untuk mengetahui gambaran tentang pola dan struktur pertumbuhan ekonomi masing-masing daerah. Tipologi Klassen pada dasarnya membagi daerah berdasarkan dua indikator utama, yaitu pertumbuhan ekonomi daerah dan pendapatan perkapita daerah. Dengan menentukan rata-rata pertumbuhan ekonomi sebagai sumbu vertikal dan rata-rata pendapatan perkapita sebagai sumbu horizontal, daerah yang diamati dapat dibagi dibagi menjadi empat klasifikasi, yaitu: daerah cepat maju dan cepat tumbuh (high growth and high income), daerah maju tapi tertekan (high income but low growth), daerah berkembang cepat (high growth but low income, dan daerah relatif tertinggal (low growth and low income) (Syafrizal, 1997: 27-38; Kuncoro, 1993; Hil, 1989). Kriteria yang digunakan untuk membagi daerah kabupaten/kota dalam
25
penelitian ini adalah sebagai berikut: (1) daerah cepat maju dan cepat tumbuh, adalah daerah yang memiliki tingkat pertumbuhan ekonomi dan pendapatan perkapita yang lebih tinggi dibanding rata-rata kabupaten/kota di Provinsi Sumatera Utara; (2) daerah maju tapi tertekan, adalah daerah yang memiliki pendapatan perkapita lebih tinggi, tetapi tingkat pertumbuhan ekonominya lebih rendah dibanding rata-rata kabupaten/kota di Provinsi Sumatera Utara; (3) daerah berkembang cepat adalah daerah yang memiliki tingkat pertumbuhan tinggi, tetapi tingkat pendapatan perkapita lebih rendah dibanding rata-rata kabupaten/kota di Provinsi Sumatera Utara; (4) Daerah relatif tertinggal adalah daerah yang memiliki tingkat pertumbuhan ekonomi dan pendapatan perkapita yang lebih rendah dibanding rata-rata kabupaten/kota di provinsi. Disebut “tinggi” apabila indikator di suatu kabupaten/kota lebih tinggi dibandingkan rata-rata seluruh kabupaten/kota di Provinsi Sumatera Utara; digolongkan “rendah” apabila indikator di suatu kabupaten/kota lebih rendah dibandingkan rata-rata seluruh kabupaten/kota di Provinsi Sumatera Utara.
2.5. Keunggulan Komparatif 2.5.1. Pengertian Keunggulan Komparatif Keunggulan komparatif adalah konsepsi sentral dalam teori perdagangan internasional
yang
menyatakan
bahwa
sebuah
negara
atau
wilayah
mengkhususkan diri pada produksi dan mengekspor barang dan jasa yang dapat dihasilkan dengan biaya relatif lebih efisien daripada barang dan jasa lain dan mengimpor barang dan jasa yang tidak memiliki keunggulan komparatif itu (Rinaldy, 2000). Menurut Tarigan (2006), keunggulan komparatif (Comparative Advantage) suatu komoditi bagi suatu negara atau daerah adalah bahwa komoditi
26
itu lebih unggul secara relatif dengan komoditi lain di daerahnya. Pengertian unggul dalam hal ini adalah dalam bentuk perbandingan dan bukan dalam bentuk nilai tambah riel. Keunggulan komparatif adalah suatu kegiatan ekonomi yang menurut perbandingan lebih menguntungkan bagi pengembangan daerah.
2.5.2. Manfaat Analisis Keunggulan Komparatif Analisis keunggulan komparatif dapat digunakan untuk melihat apakah komoditi itu memiliki prospek untuk dikembangkan walaupun saat ini belum mampu memasuki pasar global. Setidaknya kita mengetahui bahwa dalam rangka perbandingan dengan rata-rata nasional, wilayah kita berada di atas atau di bawah rata-rata nasional. Keunggulan komparatif dapat dijadikan pertanda awal bahwa komoditi itu punya prospek untuk juga memiliki keunggulan kompetitif, setidaknya komoditi itu layak untuk dikembangkan baik untuk memenuhi kebutuhan lokal maupun untuk pasar tetangga (Tarigan, 2006). Menurut Sjafrizal (2008) prinsip dasar dari model keuntungan komparatif (comparative advantage model) adalah bila mobilitas sumber daya (faktor produksi) antar wilayah tidak lancar, maka masyarakat suatu daerah akan lebih diuntungkan bila memfokuskan (berspesialisasi) pada kegiatan produksi yang dapat diproduksi oleh wilayah tersebut dengan biaya relatif lebih murah (efisien) dibanding oleh wilayah lain. Wilayah seharusnya melakukan spesialisasi pada barang yang dapat dihasilkan dengan lebih murah dan kandungan faktor produksinya besar. Melalui spesialisasi sesuai dengan keungggulan komparatifnya, maka jumlah produksi yang dihasilkan bisa jauh lebih besar dengan biaya yang lebih murah dan pada akhirnya bisa mencapai skala ekonomi yang diharapkan.
27
2.5.3. Ukuran Keunggulan Komparatif Menurut Tarigan (2006) dan Syafrizal (2008), keunggulan komparatif daerah dapat dianalisis menggunakan alat analisis Location Quotient (LQ) dan Shift Share. Location Quotient (LQ) adalah suatu perbandingan tentang besarnya peranan suatu sektor/industri di suatu daerah terhadap besarnya peranan sektor/industri tersebut secara nasional. Variabel yang biasa digunakan untuk perbandingan adalah nilai tambah (tingkat pendapatan). Kriteria pengukuran LQ, yaitu : 1. LQ>1 artinya peranan sektor tersebut di daerah itu lebih menonjol daripada peranan sektor itu secara nasional. Sebagai petunjuk bahwa daerah tersebut surplus akan produk sektor i dan mengekspornya ke daerah lain atau dapat juga dikatakan sektor i sebagai sektor basis dan daerah tersebut memiliki keunggulan komparatif untuk sektor i dimaksud. 2. LQ<1 artinya peranan sektor itu di daerah tersebut lebih kecil daripada peranan sektor tersebut secara nasional. Penggunaan analisis LQ sebagai alat ukur keunggulan komparatif hanya dapat digunakan bagi sektor-sektor yang telah lama berkembang, sedangkan bagi sektor yang baru atau sedang tumbuh apalagi yang selama ini belum pernah ada tidak dapat digunakan karena produk totalnya belum menggambarkan kapasitas riil daerah tersebut. Analisis LQ memang sangat sederhana, akan tetapi dapat dibuat menarik apabila dilakukan dalam bentuk time series/trend. Perkembangan LQ bisa dilihat untuk suatu sektor tertentu pada kurun waktu yang berbeda, apakah terjadi
28
kenaikan
atau
penurunan.
Hal
ini
dapat
membantu
untuk
melihat
kekuatan/kelemahan wilayah kita dibandingkan secara relatif dengan wilayah yang lebih luas. Potensi yang positif digunakan dalam strategi pengembangan wilayah, dan faktor yang membuat potensi sektor di suatu wilayah lemah, perlu dipikirkan apakah perlu ditanggulangi atau dianggap tidak prioritas (Tarigan, 2006).
2.6. Penelitian Terdahulu Aswandi dan Kuncoro (2002) dalam penelitiannya yang berjudul Evaluasi Penetapan Kawasan Andalan: Studi Empiris di Kalimantan Selatan 1993-1999 menguji penetapan kawasan andalan yang tertuang dalam Peraturan Pemerintah No. 47 tahun 1997 tentang Rencana Tata Ruang Wilayah Nasional (RTRWN). Alat analisis yang digunakan pada penelitian ini adalah Location Quotient (LQ), Klassen Typology dan Logistic Regression. Berdasarkan penelitian ini diperoleh hasil bahwa penetapan kawasan andalan di Kalimantan Selatan hanya mengacu pada pendapatan perkapita dan subsektor unggulan. Pertumbuhan PDRB dan spesialisasi daerah tidak dipergunakan sebagai bahan pertimbangan dalam penetapan kawasan andalan. Analisis Tipologi Klassen menunjukan bahwa dari tiga daerah di kawasan andalan hanya Kabupaten Kotabaru yang terdapat pada daerah cepat-maju dan cepattumbuh. Kota Banjarmasin merupakan daerah yang masuk dalam kategori daerah maju tapi tertekan, sedangkan Kabupaten Hulu Sungai Selatan merupakan daerah dengan kategori tertinggal. Indeks spesialisasi regional menunjukan kemampuan kawasan andalan sebagai daerah yang memiliki keterkaitan dengan perekonomian daerah lain masih sangat rendah. Hal ini terlihat dari semakin terdiversifikasikan
29
subsektor usaha di kawasan andalan bahkan cenderung terjadinya penurunan spesialisasi antar kawasan. Penelitian Rudatin (2002) yang berjudul Analisis Sektor Basis dalam rangka Pengembangan Pembangunan Wilayah (Studi Kasus KabupatenKabupaten di Jawa Tengah 1996-2001) bertujuan untuk mengidentifikasi dan menganalisis sektor-sektor yang potensial, keunggulan kompetitif dan spesialisasi sektor-sektor yang ada serta tipologi daerah di seluruh Kabupaten di Jawa Tengah dalam kurun waktu 1996-2001. Data yang digunakan data sekunder yang terdiri atas data runtut waktu (1996-2001). Model analisis yang digunakan Analisis Location Quotient (LQ), Shiftshare, Tipologi Klassen dan Analisis Regresi Linier. Kesimpulan yang didapat adalah masing-masing kabupaten mempunyai sektor potensial tersendiri sesuai dengan kondisi masing-masing. Sebagian besar kabupaten (22 kabupaten) mempunyai sektor basis di sektor pertanian, sektor keuangan, persewaan dan jasa perusahaan serta sektor jasa. Dari 9 (sembilan) sektor yang diteliti hanya sektor pertambangan dan penggalian yang tidak mempunyai keunggulan kompetitif, namun hanya sektor pertanian dan sektor perdagangan hotel dan restoran saja yang mempunyai spesialisasi, sektor industri tidak mempunyai spesialisasi namun kontribusinya paling banyak. Berdasarkan analisis Tipologi Klassen diketahui dari 29 kabupaten hanya 2 kabupaten yang termasuk daerah maju dan cepat tumbuh, 4 kabupaten termasuk daerah maju tapi tertekan, 9 kabupaten merupakan daerah yang berkembang cepat dan 14 kabupaten lainnya merupakan daerah relatif tertinggal. Dari Analisis Location Quotient (LQ), Shiftshare dan Tipologi Klassen dapat ditentukan sektor-sektor yang dapat diunggulkan di masing-masing daerah untuk pemilihan prioritas sektor
30
basis sebagai salah satu dasar pengembangan pembangunan yang akan dilaksanakan baik untuk tingkat Jawa Tengah maupun tingkat kabupaten. Dari hasil penelitian Purba (2007) mengenai Tipologi Pertumbuhan dan Spesialisasi Regional Kabupaten-Kabupaten di Pantai Timur Sumatera Utara, terdapat perbedaan tipologi antar kabupaten di daerah Pantai Timur Provinsi Sumatera Utara. Pengamatan tahun 2005, Kabupaten Labuhanbatu, Asahan dan Karo dalam posisi maju tetapi tertekan, Kabupaten Serang Bedagai dalam posisi sedang bertumbuh sedangkan Simalungun, Deli Serdang dan Langkat dalam posisi relatif tertinggal. Indeks spesialisasi ketujuh kabupaten di Pantai Timur Provinsi Sumatera Utara bervariasi antara satu kabupaten dengan kabupaten lainnya yang sebagian besar nilainya tetap lebih kecil dari satu. Walaupun terdapat kecenderungan menurun, hanya satu dari indeks tersebut dengan nilai lebih besar dari satu, yaitu indeks spesialisasi Kabupaten Karo dengan Deli Serdang. Angka ini menunjukkan bahwa, baik tahun 2000 maupun tahun 2005, kedua daerah mempunyai spesialisasi. Dari hasil perhitungan indeks spesialisasi menunjukkan adanya kenaikan nilai rata-rata indeks spesialisasi antar kabupaten di Pantai Timur Provinsi Sumatera Utara sebesar 0,011 yaitu peningkatan dari nilai 0,572 pada tahun 2000 menjadi 0,583 pada tahun 2005. Kenaikan nilai ratarata indeks spesialisasi tersebut didorong oleh kenaikan nilai rata-rata indeks spesialisasi pada masing-masing kabupaten kecuali Kabupaten Karo. Kenaikan rata-rata indeks spesialisasi ini menunjukkan bahwa perkembangan tingkat spesialisasi antar kabupaten di kawasan Pantai Timur Provinsi Sumatera Utara masih sangat rendah.
31
Widyastuti (2009) dalam tesisnya yang berjudul tentang Analisis Aspek Ekonomi Sebagai Perspektif Pengembangan Kawasan Andalan (Kasus Kabupaten Banyumas) yang bertujuan untuk menganalisis dan mengetahui kemajuan perekonomian antar kecamatan di Kabupaten Banyumas, kecamatan yang memiliki share tertinggi di Kabupaten Banyumas dan kecamatan yang memiliki pergeseran positif di Kabupaten Banyumas, sektor ekonomi unggulan (sektor basis) apa yang dapat dikembangkan dan berpotensi untuk dikembangkan pada masing-masing
kecamatan
di
Kabupaten
Banyumas,
kegiatan
ekonomi
terspesialisasi antar kecamatan di Kabupaten Banyumas, kecamatan di Kabupaten Banyumas yang dapat ditetapkan sebagai kawasan andalan, variabel yang mempengaruhi kawasan andalan di Kabupaten Banyumas. Alat analisis yang digunakan adalah Analisis Tipologi Klassen, Analisis Location Quotient (LQ), Analisis Shift Share, Analisis Spesialisasi Regional dan Binary Logistic Regression. Hasil penelitian menunjukkan bahwa perekonomian antar kecamatan di Kabupaten Banyumas mengalami kemajuan yang berbeda. Daerah yang tergolong cepat maju dan cepat tumbuh yaitu Kecamatan Sokaraja, Purwokerto Selatan, Purwokerto Barat dan Purwokerto Timur. Kecamatan Purwokerto Utara satu-satunya daerah yang termasuk daerah yang berkembang cepat. Kecamatan Wangon, Somagede, Kalibagor, Banyumas, Ajibarang dan Baturaden termasuk kedalam daerah maju tapi tertekan. Kecamatan-kecamatan yang dapat dikelompokkan sebagai daerah yang relatif tertinggal adalah Kecamatan Lumbir, Jatilawang, Rawalo, Kebasen, Kemranjen, Sumpiuh, Tambak, Patikraja, Purwojati,
Gumelar,
Pekuncen,
Cilongok, Karanglewas,
Kedungbanteng,
32
Sumbang, dan Kembaran. Kecamatan yang memiliki share tertinggi di Kabupaten Banyumas adalah kecamatan Purwokerto Timur. Hal ini ditunjukkan oleh Kecamatan Purwokerto Timur yang memiliki share sebesar 12,72 persen terhadap perekonomian Kabupaten Banyumas. Kecamatan yang memiliki pergeseran positif di Kabupaten Banyumas adalah Kecamatan Purwokerto Timur, Purwokerto Barat, Purwokerto Selatan, Purwokerto Utara, Ajibarang, Sokaraja dan Banyumas, hal ini ditunjukkan oleh nilai Proportionality Shift yang positif. Sektor ekonomi unggulan (sektor basis) yang dapat di kembangkan dan berpotensi untuk dikembangkan pada masing-masing kecamatan di Kabupaten Banyumas adalah sektor perdagangan, hotel dan restoran. Tidak ada kegiatan ekonomi yang terspesialisasi antar kecamatan di Kabupaten Banyumas. Berdasarkan atas hasil analisis kawasan andalan yang telah dilakukan, maka Kecamatan Wangon, Sumpiuh, Banyumas, Ajibarang, Purwokerto Selatan, Purwokerto Barat, Purwokerto Timur, Purwokerto Utara, dapat dijadikan sebagai kawasan andalan di Kabupaten Banyumas. Pengujian dengan model penuh 3 variabel bebas, memberikan indikasi bahwa variabel pertumbuhan PDRB, PDRB perkapita dan spesialisasi daerah secara simultan mampu untuk membedakan kinerja kawasan andalan dan bukan andalan secara meyakinkan. Kemampuan prediksi model cukup bagus, dengan tingkat sukses total 83 persen, dengan 94,7 persen kawasan bukan andalan dan 55 persen kawasan andalan telah mampu diprediksi secara benar. Variabel yang dapat diandalkan untuk memprediksi kawasan andalan dan bukan andalan adalah variabel PDRB perkapita dan spesialisasi daerah. Penelitian Suhermanto (2009) mengenai Analisis Pemetaan Sektor Unggulan dan Strategi Pengembangannya di Kabupaten Sumenep Tahun
33
2004-2008 bertujuan untuk: 1) menentukan dan memetakan sektor unggulan, 2) merumuskan kebijakan pengembangan sektor unggulan di Kabupaten Sumenep. Alat analisis yang digunakan dalam penelitian ini adalah: Analisis Klassen Typology, Analisis Shift Share (SSA), Analisis Location Quotient (LQ) dan Sustainable Livelihood Approach (SLA). Hasil Analisis Shift Share menunjukkan bahwa sektor yang memiliki tingkat kekompetitifan yang semakin meningkat adalah sektor pertanian dan sektor bangunan. Analisis Location Quotient menunjukkan sektor pertanian, sektor pertambangan dan penggalian, serta sektor jasa merupakan sektor basis di Kabupaten Sumenep. Hasil analisis gabungan dari ketiga alat analisis tersebut menunjukkan bahwa sektor pertanian merupakan sektor unggulan di Kabupaten Sumenep. Berdasarkan pemetaan sektor unggulan menunjukkan bahwa di wilayah daratan lebih produktif pada pengembangan sub sektor tanaman pangan dengan komoditi unggulan adalah jagung. Sedangkan di wilayah kepulauan lebih produktif pada pengembangan sub sektor perikanan dengan perikanan laut sebagai komoditi unggulan. Berdasarkan hasil perhitungan indeks Pentagon Capital menunjukkan bahwa di wilayah daratan mempunyai kelemahan pada modal alam dan modal fisik, sementara di wilayah kepulauan mempunyai kelemahan pada modal fisik dan modal sosial. Setelah diketahui kelemahan-kelemahan yang menjadi kendala dalam pengembangan sektor unggulan, maka strategi kebijakan dalam
pengembangan
sektor
unggulan
di
Kabupaten
memperhatikan modal wilayah yang lemah tersebut.
Sumenep
harus
34
2.7. Kerangka Pemikiran
Perencanaan Pembangunan Daerah
Analisis aspek ekonomi - PDRB - Pendapatan perkapita - Laju pertumbuhan ekonomi - Indeks Spesialisasi Regional
Analisis kondisi wilayah : - Tipologi daerah - Subsektor unggulan - Jumlah Penduduk
Prediksi Kawasan Andalan
Klasifikasi Daerah: - Daerah cepat maju & tumbuh - Daerah maju tapi tertekan - Daerah berkembang - Daerah tertinggal
Prediksi Kawasan Bukan Andalan
Kebijakan Pembangunan Ekonomi Regional
Gambar 2.1. Kerangka Pemikiran
35
2.8. Hipotesis Penelitian 1.
Ada perbedaan karakteristik perekonomian masing-masing kabupaten/kota di Provinsi Sumatera Utara.
2.
Sektor ekonomi unggulan (sektor basis) yang berpotensi untuk dikembangkan pada masing-masing kabupaten/kota di Provinsi Sumatera Utara adalah sektor pertanian.
3.
Tidak ada kegiatan ekonomi yang terspesialisasi antar kabupaten/kota di Provinsi Sumatera Utara
4.
Kabupaten di Provinsi Sumatera Utara yaitu Kabupaten Mandailing Natal, Labuhan Batu, Asahan, Simalungun, Deli Serdang, Langkat, Serdang Bedagai dan Kota Medan dapat ditetapkan sebagai kawasan andalan di Provinsi Sumatera Utara.
5.
Pertumbuhan PDRB perkapita dan spesialisasi daerah secara bersamasama mempengaruhi kawasan andalan di Provinsi Sumatera Utara.