BAB II TINJAUAN PUSTAKA
2.1
Konsep Dasar Perpajakan Pembangunan nasional adalah kegiatan yang berlangsung terus menerus dan bergerak secara berkesinambungan. Pembangunan nasional bertujuan untuk meningkatkan kesejahteraan rakyat baik materiil maupun spiritual. Untuk dapat merealisasikan tujuan tersebut maka perlu perhatian utama ditujukan kepada masalah pembiayaan pembangunan. Salah satu usaha untuk mewujudkan kemandirian suatu bangsa atau negara dalam pembiayaan pembangunan yaitu menggali sumber dana yang berasal dari dalam negara berupa pajak. Pajak digunakan untuk membiayai pembangunan yang berguna baik untuk kepentingan bersama.
2.1.1
Pengertian Pajak Pengertian pajak menurut Undang-Undang No.28 Tahun 2007 tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan adalah sebagai berikut: “Pajak adalah kontribusi wajib kepada negara yang terutang oleh orang pribadi atau badan yang bersifat memaksa berdasarkan undangundang, dengan tidak mendapatkan imbalan secara langsung dan digunakan untuk keperluan negara bagi sebesar-besarnya kemakmuran rakyat.”
Pengertian pajak menurut buku Leroy Beaulieu yang berjudul Traite de la Science des Finances, 1906: L’impot et la contribution, soit directe soit dissimule, que La Puissance Publique exige des habitants ou des biens subvenir aux depenses du Government. (“Pajak adalah bantuan, baik secara langsung maupun tidak yang dipaksakan oleh kekuasaan publik dari penduduk atau dari barang, untuk menutup belanja pemerintah”.) Karianton (2013:6) mengemukakan pengertian pajak menurut Soemitro yang dapat dilihat dari dua aspek yaitu aspek ekonomis dan aspek hukum. Pengertian pajak dari aspek ekonomis yaitu peralihan kekayaan dari swasta kepada sektor publik berdasarkan undang-undang yang dapat dipaksakan dengan tidak mendapat imbalan secara langsung dapat ditunjukkan, digunakan untuk membiayai pengeluaran umum dan sebagai pendorong, penghambat atau pencegah untuk mencapai tujuan yang ada di luar bidang keuangan negara. Sedangkan dari aspek hukum, pajak adalah perikatan yang timbul karena undang-undang yang mewajibkan seseorang memenuhi syarat-syarat sesuai undang-undang untuk membayar uang kepada negara yang dapat dipaksakan tanpa mendapatkan suatu imbalan yang secara langsung dapat ditunjuk, dan digunakan untuk membiayai pengeluaranpengeluaran negara. Dari beberapa pengertian diatas dapat ditarik unsur-unsur utama dalam pajak yaitu subyek pajak, obyek pajak, beserta tarif pajak. Subyek
pajak adalah kepada siapa pajak tersebut dikenakan, obyek pajak adalah atas apa pajak tersebut dapat dikenakan, sementara tarif pajak adalah seberapa besar pajak yang akan dibebankan kepada subyek pajak atas obyek pajaknya. 2.1.2
Fungsi Pajak Menurut Erly Suandy dalam buku “Hukum Pajak” (2011:12) ada 2 fungsi pajak, yaitu: a) Fungsi Finansial (Budgetair) Pajak berfungsi memasukkan uang sebanyak-banyaknya ke kas negara, dengan tujuan untuk membiayai pengeluaran-pengeluaran negara. b) Fungsi Mengatur (Regulerend) Pajak digunakan sebagai alat untuk mengatur masyarakat baik di bidang ekonomi, sosial, maupun politik dengan tujuan tertentu. Pajak digunakan sebagai alat untuk mencapai tujuan tertentu dapat dilihat dalam contoh sebagai berikut: a. Pemberian insentif pajak (misalnya tax holiday, penyusutan dipercepat) dalam rangka meningkatkan investasi baik investasi dalam negeri maupun investasi asing. b. Pengenaan pajak ekspor untuk produk-produk tertentu dalam rangka memenuhi kebutuhan dalam negeri. c. Pengenaan bea masuk dan Pajak Penjualan atas Barang Mewah untuk produk-produk impor tertentu dalam rangka melindungi produk-produk dalam negeri.
Di samping kedua fungsi di atas, pajak masih mempunyai tujuantujuan lain seperti untuk redistribusi pendapatan dan menanggulangi inflasi. 2.1.3 Pengelompokan Pajak Pengelompokan pajak dibagi menjadi beberapa bagian yaitu : 1. Menurut golongannya a) Pajak Langsung, yaitu pajak yang harus dipakai sendiri oleh wajib pajak dan tidak dapat dibebankan atau dilimpahkan kepada orang lain. Contoh : Pajak Penghasilan. b) Pajak Tidak Langsung, yaitu pajak yang pada akhirnya dapat dibebankan atau dilimpahkan kepada orang lain. Contoh : Pajak Pertambahan Nilai. 2. Menurut sifatnya a) Pajak Subyektif, yaitu pajak yang berpangkal atau berdasarkan pada subyeknya, dalam arti memperhatikan keadaan dari wajib pajak. Contoh : Pajak Penghasilan. b) Pajak Objektif, yaitu pajak yang berpangkal pada obyeknya, tanpa memperhatikan keadaan diri wajib pajak. Contoh : Pajak Pertambahan Nilai dan Pajak Penjualan atas Barang Mewah. 3. Menurut lembaga pemungutannya a) Pajak Pusat, yaitu pajak yang dipungut oleh pusat dan digunakan untuk membiayai rumah tangga Negara. Contoh : PPh, PPN, dan PPnBM dan Bea Materai.
b) Pajak Daerah, yaitu pajak yang digunakan oleh pemerintah daerah dan digunakan untuk membiayai rumah tangga daerah. Contoh : PBB, PKB, Pajak Hotel dan Restoran, Pajak Reklame, Pajak Penerangan Jalan dan Bea Balik Nama Kendaraan Bermotor. 2.1.4 Tata Cara Pemungutan Pajak Pemungutan pajak dapat dilakukan berdasarkan tiga stelsel yaitu : 1. Stelsel Nyata (Riel Stelsel) Pengenaan pajak didasarkan pada objek (penghasilan yang nyata), sehingga pemungutan baru dapat dilakukan pada akhir tahun pajak. Kelebihan dari stelsel ini pajak yang dikenakan realistis, sesuai dengan yang seharusnya dibayarkan oleh wajib pajak. Sedangkan kelemahan dari stelsel ini pajak baru dapat dibayarkan setelah penghasilan diketahui pada akhir periode. 2. Stelsel Anggapan (Fictieve Stelsel) Pengenaan pajak didasarkan pada suatu anggapan yang diatur oleh undang-undang. Misalnya, penghasilan suatu tahun dianggap sama dengan tahun sebelumnya, sehingga pada awal tahun pajak sudah dapat ditetapkan besarnya pajak yang terutang untuk tahun pajak berjalan. Kelebihan
dari
sistem ini adalah pajak dapat dibayar selama tahun berjalan, tanpa harus menunggu akhir tahun. Sedangkan kekurangan dari sistem ini terkadang besarnya pajak yang dibayar tidak sesuai dengan besarnya pajak yang seharusnya dibayarkan.
3. Stelsel Campuran Stelsel ini merupakan kombinasi antara stelsel nyata dan stelsel anggapan. Stelsel ini mengombinasikan kelebihan-kelebihan dari stelsel nyata dan stelsel anggapan. Dalam stelsel ini, besarnya pajak dihitung sesuai anggapan seperti pada stelsel anggapan, besarnya penghasilan dalam tahun berjalan dianggap sama dengan tahun sebelumnya, sehingga pajak dapat dibayarkan pada awal tahun pajak. Akan tetapi pada akhir tahun besarnya pajak disesuaikan dengan kenyataan yang harus dibayarkan. Apabila ternyata pajak yang dibayarkan kurang, maka wajib pajak harus menambahnya, dan apabila yang dibayarkan berlebih maka wajib pajak berhak untuk mengambil kelebihan tersebut. 2.1.5 Sistem Pemungutan Pajak Dalam memungut pajak dikenal beberapa sistem pemungutan pajak yaitu : 1. Official Assessment System Sistem pemungutan pajak ini memberikan wewenang kepada pemerintah (petugas pajak) untuk menentukan besarnya pajak terhutang wajib pajak. Sistem pemungutan pajak ini sudah tidak berlaku lagi setelah reformasi perpajakan pada tahun 1983. Ciri-ciri sistem pemungutan pajak ini adalah (i) pajak terhutang dihitung oleh petugas pajak, (ii) wajib pajak bersifat pasif, dan (iii) hutang pajak timbul setelah petugas pajak menghitung pajak yang terhutang dengan diterbitkannya surat ketetapan pajak.
2. Self Assessment System Sistem pemungutan pajak ini memberikan wewenang kepada wajib pajak untuk menghitung sendiri, melaporkan sendiri, dan membayar sendiri pajak yang terhutang yang seharusnya dibayar. Ciri-ciri sistem pemungutan pajak ini adalah (i) pajak terhutang dihitung sendiri oleh wajib pajak, (ii) wajib pajak bersifat aktif dengan melaporkan dan membayar sendiri pajak terhutang yang seharusnya dibayar, dan (iii) pemerintah tidak perlu mengeluarkan surat ketetapan pajak setiap saat kecuali oleh kasus-kasus tertentu saja seperti wajib pajak terlambat melaporkan atau membayar pajak terhutang atau terdapat pajak yang seharusnya dibayar tetapi tidak dibayar. 3. With Holding System Sistem pengumutan pajak yang memberi wewenang kepada pihak ketiga (bukan fiskus dan bukan wajib pajak yang bersangkutan) untuk menentukan besarnya pajak yang terutang oleh wajib pajak sesuai dengan peraturan perundang-undangan perpajakan yang berlaku. Ciri-ciri sistem pemungutan pajak ini adalahwewenang menentukan besarnya pajak yang terutang ada pada pihak ketiga.
2.1.6 Tarif Pajak Tarif pajak dibagi kedalam 4 jenis, yaitu: 1. Tarif proporsional atau sebanding, berupa persentase yang tetap, terhadap berapapun jumlah yang dikenai pajak sehingga besarnya pajak yang terutang proposional terhadap besarnya nilai yang dikenai pajak. Contoh: Untuk PPN terhadap barang kena pajak dikenakan tarif 10% Jumlah Penjualan
Tarif
Pajak
Rp. 500.000,-
10%
Rp. 50.000,-
Rp. 1.000.000,-
10%
Rp. 100.000,-
Rp. 5.000.000,-
10%
Rp. 500.000,-
Rp. 10.000.000,-
10%
Rp. 1.000.000,-
2. Tarif tetap, berupa jumlah yang tetap (sama) terhadap berapapun jumlah yang dikenai pajak sehingga besarnya pajak yang terutang tetap. Contoh: Pajak materai atau bea materai yang besar tarifnya tidak berubah (tetap) dengan tarif senilai Rp. 3.000,- atau Rp. 6.000,-. 3. Tarif progresif, dimana persentase tarif yang digunakan semakin besar bila jumlah yang dikenai pajak semakin besar. Contoh: Untuk Pajak Penghasilan (PPh) Wajib Pajak Orang Pribadi dikenakan tarif progresif yaitu;
Lapisan Penghasilan Kena Pajak
Tarif Pajak
Sampai dengan Rp. 50.000.000,-
5%
Diatas Rp. 50.000.000,- s/d Rp. 250.000.000,-
15%
Diatas Rp. 250.000.000,- s/d Rp. 500.000.000,-
25%
Diatas Rp. 500.000.000,-
30%
4. Tarif degresif, dimana persentase tarif yang digunakan semakin kecil bila jumlah yang dikenai pajak semakin besar. Contoh: Untuk Pajak Penghasilan (PPh) Wajib Pajak Orang Pribadi dikenakan tarif degresif yaitu;
2.1.7
Lapisan Penghasilan Kena Pajak
Tarif Pajak
Sampai dengan Rp 10.000.000,-
30%
di atas Rp 10.000.000,- sampai dengan Rp 50.000.000,-
28%
di atas Rp 50.000.000,- sampai dengan Rp 100.000.000,-
26%
di atas Rp 100.000.000,-
24%
Pembayaran Pajak Mekanisme pembayaran pajak bagi Wajib Pajak dapat dijelaskan sebagai berikut:
1.
Membayar sendiri pajak yang terutang: a. Pembayaran
angsuran
PPh
setiap
bulan
(PPh
Pasal
25)
Pembayaran PPh Pasal 25 yaitu pembayaran Pajak Penghasilan secara angsuran. Hal ini dimaksudkan untuk meringankan beban Wajib Pajak dalam melunasi pajak yang terutang dalam satu tahun pajak. Wajib Pajak diwajibkan untuk mengangsur pajak yang akan terutang pada akhir tahun dengan membayar sendiri angsuran pajak tersebut setiap bulan. Khusus
untuk
Wajib
Pajak
Orang
Pribadi
yang
sumber
penghasilannya dari usaha dan pekerjaan bebas, pembayaran angsuran PPh Pasal 25 terbagi atas 2 yaitu: 1.
Angsuran PPh Pasal 25 sebagai Wajib Pajak Orang Pribadi Pengusaha Tertentu (OPPT). Wajib Pajak Orang Pribadi Pengusaha Tertentu adalah wajib pajak orang pribadi yang melakukan kegiatan usaha penjualan barang baik secara grosir maupun eceran dan usaha penyerahan jasa, yang mempunyai satu atau lebih tempat usaha termasuk yang memiliki tempat usaha yang berbeda dengan tempat tinggal. Angsuran PPh Pasal 25 Wajib Pajak OPPT : 0,75% x jumlah peredaran usaha (omset) setiap bulan dari masing-masing tempat usaha
2.
Angsuran PPh Pasal 25 sebagai Wajib Pajak Orang Pribadi Selain Pengusaha Tertentu (OPSPT). Wajib Pajak Orang Pribadi Selain Pengusaha Tertentu (OPSPT) adalah Orang Pribadi yang melakukan kegiatan usaha tanpa melalui tempat usaha misalnya sebagai pekerja bebas atau sebagai karyawan. Angsuran PPh Pasal 25 sebagai Wajib Pajak OPSPT : Penghasilan Kena Pajak x Tarif PPh Pasal 17 ayat (1) huruf a UU PPh : 12 bulan. Tarif Pasal 17 ayat (1) a UU PPh adalah :
Lapisan Penghasilan Kena Pajak
Tarif Pajak
Sampai dengan Rp 50.000.000,-
5%
Diatas Rp. 50.000.000,- s/d Rp. 250.000.000,-
15%
Diatas Rp. 250.000.000,- s/d Rp. 500.000.000,-
25%
Diatas Rp. 500.000.000,-
30%
b. Untuk Wajib Pajak Badan, besarnya pembayaran Angsuran PPh 25 yang terutang diperoleh dari penghasilan kena pajak dikalikan dengan tarif PPh yang diatur di Pasal 17 ayat (1) huruf b Undang Undang Pajak Penghasilan. Tarif Pasal 17 ayat (1) huruf b dan ayat (2a) UU PPh adalah 25%. Khusus untuk Wajib Pajak badan yang peredaran bruto setahun
sampai dengan Rp. 50.000.000.000,- mendapat fasilitas berupa pengurangan tarif sebesar 50% dari tarif pasal 17 ayat (1) huruf b dan ayat (2a) UU PPh, yang dikenakan atas penghasilan kena pajak dari peredaran bruto sampai dengan Rp. 4.800.000.000,2. Membayar PPh melalui pemotongan dan pemungutan oleh pihak lain (PPh Pasal 4 (2), PPh Pasal 15, PPh Pasal 21, 22, dan 23, serta PPh Pasal 26). Pihak lain disini adalah:
Pemberi penghasilan;
Pemberi kerja; atau
Pihak lain yang ditunjuk atau ditetapkan oleh pemerintah.
3. Membayar PPN kepada pihak penjual atau pemberi jasa ataupun oleh pihak yang ditunjuk pemerintah. Tarif PPN adalah 10% dari harga jual atau penggantian atau nilai ekspor atau nilai lainnya. 4. Pembayaran pajak-pajak lainnya: o
Pembayaran PBB yaitu pelunasan berdasarkan Surat Pemberitahuan Pajak Terutang (SPPT). Tarif PBB terdiri dari 2 tarif yaitu: a. 1/1000 dari Nilai Jual Objek Pajak (NJOP) khusus untuk yang NJOPnya kurang dari Rp. 1.000.000.000,-
b. 2/1000, dari Nilai Jual Objek Pajak (NJOP) khusus untuk yang NJOPnya kurang dari Rp. 1.000.000.000,o
Pembayaran Bea Meterai yaitu pelunasan pajak atas dokumen yang dapat dilakukan dengan cara menggunakan benda meterai berupa meterai tempel atau kertas bermeterai atau dengan cara lain seperti menggunakan mesin teraan. Meterai tempel yang terutang untuk dokumen yang menyebut jumlah (kuitansi) diatas Rp. 250.000,- sampai dengan Rp. 1.000.000,- adalah Rp. 3.000,-. Untuk dokumen yang menyebut jumlah diatas Rp. 1.000.000,dan surat-surat perjanjian, terutang materai tempel sebesar Rp. 6.000,-.
5. Pemotongan / Pemungutan Pajak Selain pembayaran bulanan yang dilakukan sendiri, ada pembayaran bulanan yang dilakukan dengan mekanisme pemotongan/pemungutan yang dilakukan oleh pihak pemberi penghasilan. Pihak pemberi penghasilan adalah pihak yang ditunjuk berdasarkan ketentuan perpajakan untuk memotong/memungut, antara lain yang ditunjuk tersebut adalah badan pemerintah, subjek pajak badan dalam negeri, penyelenggara kegiatan, bentuk usaha tetap atau perwakilan perusahaan luar negeri lainnya. Untuk subjek pajak badan dalam negeri, maka diwajibkan juga sebagai pemotong/pemungutan pajak. Adapun jenis pemotongan/pemungutan adalah: PPh Pasal 21, PPh Pasal 22, PPh Pasal 23, PPh Pasal 26, PPh Pasal 4 ayat 2, PPh Pasal 15 dan PPN dan
PPn BM. Penjelasan lebih lanjut dari masing-masing pajak tersebut adalah sebagai berikut: a. PPh Pasal 21 adalah pemotongan pajak yang dilakukan oleh pihak pemberi penghasilan kepada oleh Wajib Pajak Orang Pribadi dalam negeri sehubungan dengan pekerjaan atau kegiatan yang dilakukan. Misalnya pembayaran gaji yang diterima oleh pegawai dipotong oleh perusahaan pemberi kerja. Wajib Pajak berbentuk badan ditunjuk oleh UU Perpajakan sebagai pemotong PPh Pasal 21 atas penghasilan yang dibayarkan kepada karyawannya maupun yang bukan karyawannya. Wajib Pajak perseorangan dapat juga ditunjuk sebagai pemotong PPh Pasal 21 sepanjang ada penunjukannya dari KPP tempat Wajib Pajak terdaftar. Selain diwajibkan memotong PPh Pasal 21, Wajib Pajak perseorangan bisa juga dilakukan pemotongan PPh Pasal 21 atas penghasilan yang diterimanya. b. PPh Pasal 22 adalah pemungutan pajak yang dilakukan oleh pihak tertentu yang ditunjuk oleh Menteri Keuangan sehubungan dengan pembayaran atas penyerahan barang (seperti penyerahan barang oleh rekanan kepada bendaharawan pemerintah), impor barang dan kegiatan usaha di bidang-bidang tertentu serta penjualan barang yang tergolong sangat mewah. Pemungutan PPh Pasal 22 ini antara lain adalah: 1.
Pemungutan PPh atas pembelian barang oleh instansi Pemerintah;
2.
Pemungutan PPh atas kegiatan impor barang;
3.
Pemungutan PPh atas produksi barang-barang tertentu misalnya produksi baja, kertas, rokok, dan otomotif;
4.
Pemungutan atas pembelian bahan-bahan untuk keperluan industri atau ekspor oleh badan usaha industri atau eksportir di bidang perhutanan, perkebunan, pertanian dan perikanan dari pedagang pengumpul;
5.
Pemungutan PPh atas penjualan atas barang yang tergolong mewah.
Wajib Pajak dapat ditunjuk sebagai pemungut PPh Pasal 22 atau dapat juga sebagai pihak yang dipungut PPh Pasal 22. c. PPh Pasal 23 adalah pemotongan pajak yang dilakukan oleh pihak pemberi penghasilan sehubungan dengan pembayaran berupa deviden, bunga, royalti, sewa, dan jasa kepada WP badan dalam negeri, dan BUT. Wajib Pajak berbentuk badan ditunjuk untuk memotong PPh Pasal 23, sedangkan Wajib Pajak perseorangan tidak ditunjuk untuk memotong PPh Pasal 23. Demikian sebaliknya, apabila Wajib Pajak menerima penghasilan yang merupakan objek pemotongan PPh Pasal 23 dan pemberi penghasilan (pemberi kerja) juga merupakan pemotong PPh Pasal 23, maka atas penghasilan yang diterima Wajib Pajak akan dipotong
PPh
Pasal
23
oleh
si
pihak
pemotong
tersebut.
Contohnya adalah pemotongan dan penghitungan PPh Pasal 23 atas jasa
tertentu (jasa servis mesin atau komputer) yang pemotongannya dilakukan oleh Wajib Pajak berbentuk badan. d. PPh Pasal 26 adalah pemotongan pajak yang dilakukan oleh pihak pemberi penghasilan sehubungan dengan pembayaran berupa deviden, bunga, royalti, hadiah dan penghasilan lainnya kepada WP luar negeri. Wajib Pajak baik yang berbentuk perseorangan maupun badan ditunjuk untuk memotong PPh Pasal 26. Contohnya adalah pemotongan dan penghitungan PPh Pasal 26 atas penghasilan tertentu (royalti) yang dilakukan oleh Wajib Pajak berbentuk badan. e. PPh Final (Pasal 4 ayat (2)) Pemotongan pajak yang dilakukan oleh pihak pemberi penghasilan sehubungan dengan pembayaran untuk objek tertentu seperti sewa tanah dan/atau bangunan, jasa konstruksi, pengalihan hak atas tanah dan/atau bangunan dan lainnya. Yang dimaksud final disini bahwa pajak yang dipotong, dipungut oleh pihak pemberi penghasilan atau dibayar sendiri oleh pihak penerima penghasilan, penghitungan pajaknya sudah selesai dan tidak dapat dikreditkan lagi dalam penghitungan Pajak Penghasilan pada SPT Tahunan. Wajib Pajak berbentuk badan ditunjuk untuk memotong PPh Pasal 4 ayat (2), sedangkan Wajib Pajak perseorangan tidak ditunjuk untuk memotong PPh Pasal 4 ayat (2). Demikian sebaliknya, apabila Wajib Pajak
menerima penghasilan yang merupakan objek pemotongan PPh Pasal 4 ayat (2) dan pemberi penghasilan (pemberi kerja) juga merupakan pemotong PPh Pasal 4 ayat (2), maka atas penghasilan yang diterima Wajib Pajak akan dipotong PPh Pasal 4 ayat (2) oleh si pihak pemotong tersebut. Namun, apabila Wajib Pajak menerima penghasilan yang merupakan objek PPh Pasal 4 ayat (2) dan pihak pemberi penghasilan adalah orang pribadi (bukan pemotong), maka Wajib Pajak tersebut wajib menyetor sendiri PPh Pasal 4 ayat (2) tersebut. f. PPh Pasal 15 adalah pemotongan pajak penghasilan yang dilakukan oleh pihak pemberi penghasilan kepada Wajib Pajak tertentu yang menggunakan norma penghitungan khusus. Wajib Pajak tertentu tersebut adalah perusahaan pelayaran atau penerbangan international, perusahaan asuransi luar negeri, perusahaan pengeboran minyak, gas dan panas bumi, perusahaan dagang asing, perusahaan yang melakukan investasi dalam bentuk bangun guna serah. Wajib Pajak berbentuk badan ditunjuk untuk memotong PPh Pasal 15, sedangkan Wajib Pajak perseorangan tidak ditunjuk untuk memotong PPh Pasal 15. Demikian sebaliknya, apabila Wajib Pajak menerima penghasilan yang merupakan objek pemotongan PPh Pasal 15 dan pemberi penghasilan (pemberi kerja) juga merupakan pemotong PPh Pasal 15, maka atas penghasilan yang diterima Wajib Pajak akan dipotong PPh Pasal 15 oleh si pihak pemotong tersebut. Namun, apabila
Wajib Pajak menerima penghasilan yang merupakan objek PPh Pasal 15 dan pihak pemberi penghasilan adalah orang pribadi (bukan pemotong), maka Wajib Pajak tersebut wajib menyetor sendiri PPh Pasal 15 tersebut. g. PPN dan PPnBM adalah pemungutan PPN dan PPnBM oleh Pengusaha Kena Pajak (PKP) atau Pemungutan yang ditunjuk (misalnya Bendahara Pemerintah) atas pengkonsumsian barang dan/atau jasa kena pajak. Pengusaha Kena Pajak yang ditunjuk untuk memungut PPN dan PPnBM adalah pengusaha yang memiliki peredaran bruto (omzet) melebihi Rp. 4.800.000.000,- (empat miliar delapan ratus juta rupiah) selama 1 (satu) tahun bukuatau pengusaha yang memilih sendiri untuk dikukuhkan sebagai Pengusaha Kena Pajak. Wajib Pajak baik berbentuk perseorangan maupun badan yang telah dikukuhkan sebagai Pengusaha Kena Pajak, wajib memungut PPN dan juga PPnBM (bila barangnya yang diserahkan tergolong mewah) dari pembeli atau pemakai jasanya. Wajib Pajak juga wajib membayar PPN dan PPnBM bila mengkonsumsi barang atau jasa dari Pengusaha Kena Pajak. Apabila pihak-pihak yang diberi kewajiban oleh Undang-Undang Perpajakan untuk melakukan pemotongan/pemungutan tidak melakukan sesuai dengan ketentuan yang berlaku, maka dapat dikenakan sanksi administrasi berupa bunga 2% dan kenaikan 100%.
2.2
Tinjauan Umum Tentang Penagihan Pajak
2.2.1 Pengertian penagihan pajak Menurut Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 19 Tahun 1997 Tentang Penagihan Pajak Dengan Surat Paksa, pengertian penagihan pajak adalah serangkaian tindakan agar penanggung pajak melunasi utang pajak dan biaya penagihan pajak dengan menegur atau memperingatkan, melaksanakan penagihan seketika dan sekaligus, memberitahukan surat paksa, mengusulkan pencegahan, melaksanakan penyitaan, melaksanakan penyanderaan, menjual barang yang telah disita. Dasar hukum penagihan pajak sesuai dengan undang-undang pasal 18 ayat 1 UU No. 6 tahun 1983 sebagaimana telah diubah dengan UU No.9 tahun 1994 dan UU No. 16 Tahun 2000 tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan menyatakan dasar adanya tindakan penagihan pajak dan hak negara untuk melakukan penagihan pajak berawal dari adanya utang pajak yang jatuh tempo, belum atau kurang bayar. Dalam pelaksanaannya, penagihan pajak terbagi dua yaitu: 1. Penagihan Pajak Pasif Penagihan pajak pasif dilakukan dengan menggunakan Surat Tagihan Pajak (STP), Surat Ketetapan Pajak Kurang Bayar (SKPKB), Surat Ketetapan Pajak Kurang Bayar Tambah (SKPKBT), Surat Keputusan Pembetulan (SKP), Surat Keputusan Keberatan (SKK), Surat Keputusan Banding (SKB) yang menyebabkan pajak terutang menjadi bertambah
lebih besar. Jika dalam jangka waktu 30 hari utang pajak masih belum dilunasi, maka tujuh hari setelah jatuh tempo akan diikuti dengan penagihan pajak secara aktif yang dimulai dengan Surat Teguran. 2. Penagihan Pajak Aktif Penagihan pajak aktif merupakan kelanjutan dari penagihan pajak pasif, dimana dalam upaya penagihan ini fiskus/pejabat juru sita berperan aktif dalam arti bukan mengirimkan surat tagihan atau surat ketetapan pajak melainkan akan diikuti dengan tindakan sita dan dilanjutkan dengan pelaksanaan lelang. Jurusita pajak adalah pelaksanaan tindakan penagihan pajak yang meliputi penagihan seketika dan sekaligus, pemberitahuan Surat Paksa, penyitaan, dan penyanderaan. Menurut undang-undang perpajakan Ikatan Akuntansi Indonesia, pada penagihan PBB untuk pajak terutang yang pada saat jatuh tempo pembayaran tidak dibayar atau kurang dibayar, dikenakan denda administrasi sebesar 2% sebulan, yang dihitung dari saat jatuh tempo sampai dengan hari pembayaran untuk jangka waktu paling lama 24 bulan. 2.2.2
Penanggung Pajak Menurut pasal 1 angka 3 UU No. 19 Tahun 1997 tentang Penagihan Pajak dengan Surat Paksa sebagaimana telah diubah dengan UU No.19 Tahun 2000 (UU PPSP): “Penanggung pajak adalah orang pribadi atau badan yang bertanggung jawab atas pembayaran pajak, termasuk wakil yang
menjalankan hak atau memenuhi kewajiban wajib pajak menurut ketentuan perundang-undangan perpajakan”. 2.2.3 Pejabat dan Juru sita Pajak Mardiasmo (2006:113) menyatakan bahwa; “Pejabat adalah yang berwenang mengangkat dan memberhentikan juru sita pajak, menerbitkan perintah penagihan seketika dan sekaligus, Surat Paksa, Surat Perintah Melakukan Penyitaan (SPMP), surat pencabutan sita, pengumumkan lelang, surat penentuan harga limit, pembatalan lelang, surat perintah penyanderaan, dan surat lain yang diperlukan untuk penagihan pajak sehubungan dengan penaggung pajak tidak melunasi sebagian atau seluruh utang pajak menurut undang-undang dan peraturan daerah”. Menteri keuangan berwenang menunjuk pejabat untuk penagihan pajak pusat, dilain sisi, kepala daerah berwenang menunjuk pejabat untuk penagihan pajak daerah. Penyitaan dilakukan oleh jurusita. Tugas keseluruhan dari jurusita adalah melaksanakan surat perintah penagihan seketikda dan sekaligus, memberitahukan
Surat
Paksa,
melaksanakan
penyitaan
atas
barang
penanggung pajak berdasarkan Surat Perintah Melaksanakan Penyitaan dan melaksanakan penyanderaan berdasarkan Surat Perintah Penyanderaan (Karianton, 2013:124)
2.2.4
Penagihan Pajak dengan Surat Teguran Surat Teguran, surat peringatan atau surat lainnya sejenis adalah surat yang diterbitkan oleh pejabat untuk menegur atau memperingatkan kepada wajib pajak untuk melunasi utang pajaknya. Surat Teguran, surat peringatan atau surat lain yang sejenis diterbitkan apabila penanggung pajak tidak melunasi utang pajaknya sampai dengan tanggal jatuh tempo pembayaran. Pengertian surat lain yang sejenis, meliputi surat atau bentuk lain yang fungsinya sama dengan Surat Teguran atau surat peringatan dalam upaya penagihan pajaksebelum Surat Paksa diterbitkan. Surat Teguran tidak diterbitkan terhadap penanggung pajak
yang telah disetujui untuk
mengangsur atau menunda pembayaran pajaknya. Jika dalam jangka waktu 30 hari utang pajak masih belum dilunasi, maka tujuh hari setelah jatuh tempo akan dimulai penagihan pajak secara aktif dengan Surat Teguran. 2.2.5 Penagihan Pajak dengan Surat Paksa Surat Paksa diterbitkan apabila: 1) Penanggung pajak tidak melunasi utang pajak dan kepadanya telah diterbitkan Surat Teguran atau surat peringatan atau surat lain yang sejenis. 2) Terhadap penanggung pajak telah dilaksanakan penagihan seketika dan sekaligus.
3) Penanggung pajak tidak memenuhi ketentuan sebagai mana tercantum dalam keputusan persetujuan angsuran atau penundaan pembayaran pajak. Surat Paksa diberitahukan oleh jurusita pajak dengan pernyataan dan penyerahan salinan Surat Paksa kepada penanggung pajak. Mengingat Surat Paksa mempunyai kekuatan eksekutorial dan kedudukan hukum yang sama dengan grosse akte, yaitu putusan pengadilan perdata yang telah mempunyai kekuatan hukum tetap, maka pemberitahuan kepada penanggung pajak dilaksanakan dengan cara membacakan isi Surat Paksa dan kedua belah pihak menandatangani berita acara sebagai pernyataan bahwa Surat Paksa telah diberitahukan. 2.2.6 Penagihan Seketika dan Sekaligus Pengertian penagihan seketika dan sekaligus adalah penagihan pajak tanpa menunggu tanggal jatuh tempo pembayaran terhadap seluruh utang pajak dan semua jenis pajak, masa pajak dan tahun pajak. Jurusita pajak melaksanakan penagihan seketika dan sekaligus tanpa menunggu tanggal jatuh tempo pembayaran berdasarkan surat perintah penagihan seketika dan sekaligus yang diterbitkan oleh pejabat apabila: a. Penanggung pajak akan meninggalkan Indonesia untuk selama-lamanya atau berniat untuk itu.
b. Penanggung pajak memindahtangankan barang yang dimiliki atau dikuasai dalam rangka memberhentikan atau mengecilkan kegiatan perusahaan atau pekerjaan yang dilakukannya di Indonesia. c. Terhadap tanda-tanda bahwa penanggung pajak akan membubarkan badan usahanya, atau penggabungan badan usahanya, atau memindahtangankan perusahaan yang dimiliki atau dikuasainya, atau melakukan perubahan bentuk lainya. d. Badan usaha akan dibubarkan oleh negara; atau e. Terjadi penyitaan atas barang penanggung pajak oleh pihak ketiga atau terdapat tanda-tanda kepailitan. Penyampaian surat perintah penagihan seketika dan sekaligus dilaksanakan secara langsung oleh jurusita pajak kepada penanggung pajak. 2.2.7 Penyitaan Penyitaan terhadap barang milik penanggung pajak dilaksanakan oleh jurusita pajak berdasarkan Surat Perintah Melakukan Penyitaan (SPMP) yang diterbitkan oleh pejabat. Penyitaan dilaksanakan terhadap barang milik penanggung pajak yang berada ditempat tinggal, tempat usaha, tempat kedudukan, atau ditempat lain termasuk yang termasuk penguasanya berada ditangan pihak lain atau yang dijaminkan sebagai pelunasan utang tertentu. Penyitaan
dapat
dilaksanakan
penanggung pajak yang dapat berupa:
terhadap
barang-barang
milik
1) Barang bergerak, termasuk mobil, perusahaan, uang tunai dan deposito berjangka, tabungan, saldo rekening koran, giro, atau bentuk yang disamakan dengan itu, obligasi saham atau surat berharga lainya, piutang dan penyerahan modal pada perusaan lain, dan atau 2) Barang tidak bergerak termasuk tanah, bangunan, dan kapal atau isi kantor tertentu. Barang yang dikecualikan dari penyitaan: 1) Pakaian dan tempat tidur berserta perlengkapannya yang digunakan oleh penanggung pajak dan keluarga yang menjadi tunggakannya. 2) Persediaan makanan dan minuman untuk keperluan satu bulan beserta peralatan memasak yang berada dirumah. 3) Perlengkapan penanggung pajak yang bersifat dinas yang diperoleh dari negara. 4) Buku-buku yang berkaitan dengan jabatan atau pekerjaan penanggung pajak dan alat-alat yang dipergunakan untuk pendidikan, kebudayaan, dan keilmuan. 5) Peralatan
dalam
melaksanakan
keadaan
pekerjaan
jalan atau
yang
usaha
masih
digunakan
untuk
sehari-hari
dengan
jumlah
seluruhnya tidak lebih dari Rp. 20.000.000,00 (dua puluh juta rupiah). 6) Peralatan penyandang cacat yang digunakan oleh penanggung pajak dan keluarga yang menjadi tanggungannya.
Pada dasarnya penyitaan dilaksanakan dengan mendahulukan barang bergerak, namun dalam keadaan tertentu penyitaan dapat dilaksanakan langsung terhadap barang tidak bergerak tanpa melaksanakan penyitaan terhadap barang bergerak. Dengan permisalan,
jurusita pajak tidak
menjumpai barang bergerak yang dapat dijadikan obyek sita, atau barang bergerak yang dijumpainya tidak mempunyai nilai, atau harganya tidak memadai jika dibandingkan dengan utang pajaknya. 2.2.8 Penyitaan Tambahan Penyitaan tambahan dilakukan jika terdapat kondisi dimana barang yang disita nilainya tidak cukup untuk melunasi biaya penagihan pajak dan utang pajak dan hasil lelang barang yang telah disita tidak cukup untuk melunasi biaya penagihan pajak dan utang pajak. 2.2.9 Pencabutan Sita Pencabutan sita dilaksanakan apabila penanggung pajak telah melunasi biaya penagihan pajak dan utang pajak atau berdasarkan putusan pengadilan atau putusan badan peradilan pajak atau ditetapkan lain dengan Keputusan Menteri atau Keputusan Kepala Daerah. 2.2.10 Lelang Apabila utang pajak dan biaya penagihan pajak tidak dilunasi setelah dilaksanakan penyitaan, pejabat berwenang melaksanakan penjualan secara lelang terhadap barang yang disita melalui kantor lelang. Sekalipun penanggung pajak telah melunasi utang pajak tetapi belum melunasi biaya
penagihan pajak, penjualan secara lelang terhadap barang yang telah disita tetap dapat dilaksanakan. Lelang tetap dapat dilaksanakan walaupun keberatan yang dilakukan wajib pajak belum memperoleh keputusan keberatan, lelang juga tetap dapat dilaksanakan tanpa dihadiri oleh wajib pajak. Disisi lain, pejabat jurusita pajak tidak diperbolehkan untuk membeli barang sitaan yang dilelang. Larangan ini berlaku juga terhadap istri, keluarga sedarah dan dalam keturunan garis lurus, serta anak angkat. Barang sitaan yang dikecualikan dari penjualan secara lelang berupa: 1) Uang tunai dan surat-surat berharga (deposito, tabungan, saldo rekening koran, giro atau bentuk lain yang dipersamakan dengan itu) obligasi, saham, piutang, penyertaan modal dan surat berharga lainnya. 2) Barang yang mudah rusak atau cepat busuk. Apabila penanggung pajak tidak melunasi utang pajak dan biaya penagihan pajak setelah 14 (empat belas) hari sejak penyitaan barang yang penjualannya dikecualikan dari penjualan secara lelang, pejabat segera menggunakan, menjual, dan atau memindah bukukan barang sitaan untuk pelunasan biaya penagihan pajak dan utang pajak. Yang dimaksud dengan “menggunakan” adalah menyetor ke kas negara atau ke kas daerah.
2.3
Tunggakan Pajak Pencairan tunggakan pajak merupakan usaha-usaha yang telah diambil oleh fiskus dalam rangka mencairkan pajak yang terutang yang
belum dibayar oleh wajib pajak oleh suatu hal. Untuk mengurangi besarnya tunggakan pajak, telah diambil langkah-langkah antara lain dengan: 1.
Pelunasan Tunggakan Pelunasan tunggakan dilakukan oleh wajib pajak sebelum atau sesudah tanggal jatuh tempo pembayaran Surat Tagihan Pajak (STP), Surat Ketetapan Pajak Kurang Bayar (SKPKB), Surat Ketetapan Pajak Kurang Bayar Tambah (SKPKBT), Surat Keputusan Pembetulan (SKP), Surat Keputusan Keberatan (SKK), dan Putusan Banding.
2.
Meningkatkan Pelaksanaan Kegiatan Penagihan Sejak berlaku undang-undang perpajakan, Direktorat Jendral Pajak meningkatkan
pelaksanaan
kegiatan
melalui
penagihan
dengan
menerbitkan STP, SKPKB, SKPKBT, SKK, SKP dan putusan banding kepada para wajib pajak yang mempunyai tunggakan, selain itu Direktorat Jenderal Pajak juga mengeluarkan Surat Teguran, Surat Paksa, Surat Perintah Melakukan Penyitaan (SPMP). Serta Surat Pelelangan. 3.
Peningkatan Penyelesaian Permohonan Keberatan Proses penyelesaian keberatan berhubungan erat dengan pencairan tunggakan karena apabila keberatan tersebut tidak diterima maka akan menunda pembayaran pajak yang terutang. Sebaliknya bila keberatan itu diterima seluruhnya maka tunggakan pajak dapat dicairkan dengan sendirinya melalui proses.
4.
Penghapusan Piutang Pajak Maksud
dari
penghapusan
piutang
pajak
adalah
untuk
dapat
memperkirakan secara efektif besarnya saldo piutang yang masih dapat ditagih atau dicairkan. 2.3.1
Penyebab Timbulnya Tunggakan Pajak Ada beberapa hal-hal yang menyebabkan timbulnya tunggakan pajak karena adanya: 1. Penetapan Pajak Sesuai dengan Undang-Undang No.16 tahun 2000 sebagai perubahan dari Undang-Undang No.6 tahun 1983 tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan, bahwa produk dari penetapan pajak adalah STP / SKPKB / SKPKBT. 2. Kesulitan Likuiditas Masalah perpajakan mempunyai kaitan yang erat dengan keadaan perekonomian. Apabila perekonomian Indonesia baik, maka wajib pajak dapat membayar kewajiban perpajakannya dengan baik. Sebaliknya apabila keadaan perekonomian semakin memburuk maka wajib pajak akan mengalami kesulitan likuiditas. Dengan demikian apabila sudah ada Surat Ketetapan Pajak maka belum tentu wajib pajak yang bersangkutan tidak akan menimbulkan tunggakan pajak.
3. Keadaan Geografis Mengingat wajib pajak tersebar di seluruh Indonesia maka menyebabkan adanya kesulitan untuk mengadakan komunikasi dengan lancar dan pelaksanaan penagihan dengan cepat. Hal ini akan membutuhkan waktu yang lama, terutama dalam hal penyampaian Surat Paksa yang harus dilaksanakan langsung oleh jurusita pajak kepada wajib pajak dimana jurusita pajak dapat melihat langsung adanya objek yang disita, dan dalam hal ini pula jumlah pajak akan menjadi tunggakan pajak.
2.4
Efektivitas Pengertian efektivitas pada dasarnya berhubungan dengan pencapaian tujuan atau target kebijakan. Mardiasmo mengemukakan bahwa efektivitas merupakan hubungan antara keluarandengan tujuan atau sasaran yang harus dicapai. Kegiatan operasional dikatakan efektifa pabila proses kegiatan mencapai tujuan dan sasaran akhir kebijakan. N. Anthony (2004:14) mendefinisikan efektivitas sebagai berikut; “Efektivitas merupakan hubungan antar output yang dihasilkan oleh pusat pertanggungjawaban dengan tujuan jangka pendek (objektivitas), semakin besar output yang dikontribusikan terhadap jangka pendek perusahaan, maka semakin efektiflah unit tersebut.”
Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa efektivitas adalah kemampuan suatu unit kerja untuk mencapai tujuan perusahaan yang diukur dengan membandingkan realisasi terhadap target yang direncanakan. Dalam konteks perpajakan, yang digunakan untuk mengukur efektivitas adalah perbandingan realisasi pajak terhadap target pajak yang dapat dirumuskan dengan: Efektivitas
2.5
=
Realisasi Pajak Target Pajak
x 100%
Penelitian Terdahulu Pitnawati
(2009)
melakukan
penelitian
mengenai
efektivitas
pelaksanaan penagihan aktif dalam pencairan tunggakan pajak pada KPP Pasar Minggu, Jakarta dengan menggunakan teknik analisis kualitatif. Hasil dari penelitian ini menunjukkan pelaksanaan penagihan aktifdalam pencairan tunggakan pajak pada KPP Pratama Jakarta Pasar Minggu efektif yaitu sebesar 87%. Faktor-faktor yang mempengaruhi pencairan tunggakan pajak terhadap pelaksanaan penagihan aktif pada KPP Pasar Minggu adalah:
a. Faktor sistem Surat Teguran: Dengan Surat Teguran yang tidak perlu diterbitkan bila wajib pajak menyetujui pembayaran secara angsuran 100% dari responden merasa sangat sesuai. Sedangkan dengan Surat Teguran dilayangkan
pada
wajib
pajak
sampai
tanggal
jatuh
tempo,
78,7%responden merasa sesuai. b. Faktor sistem Surat Paksa: Sebesar 97,2% dari responden merasa sangat sesuai dengan Surat Paksa diterbitkan apabila penanggung pajak tidak memenuhi
ketentuan
sebagai
mana
tercantum
dalam
keputusan
persetujuan angsuran atau penundaan pembayaran pajak. Sedangkan dengan pemberitahuan Surat Paksa diterbitkan oleh juru sita pajak dengan pernyataan dan penyerahaan salinan Surat Paksa kepada penanggung pajak, 95,1% responden merasa sesuai. c. Faktor penagihan seketika dan sekaligus: Dengan penagihan seketika dan sekaligus penagihan pajak tidak menunggu tanggal jatuh tempo. Nana Adriana (2012) telah melakukan penelitian mengenai efektivitas penagihan pajak dengan Surat Teguran dan Surat Paksa terhadap penerimaan pajak pada KPP Pratama Makassar Selatan. Teknik analisis yang dilakukan dalam penelitian ini adalah analisis deskriptif. Hasil penelitian tersebut menunjukkan bahwa penagihan pajak dengan Surat Paksa di KPP Pratama Makassar Selatan tergolong tidak efektif baik ditinjau dari segi jumlah lembar maupun nilai nominal yang tertera dalam Surat Teguran dan Surat Paksa. Penyebab pencairan Surat Paksa tidak mencapai 100% antara lain
penanggung pajak tidak mengakui adanya utang pajak, penanggung pajak tidak mampu melunasi utang pajaknya, penanggung pajak mengajukan permohonan
angsuran
pembayaran
karena
kondisi
keuangan
tidak
memungkinkan jika dibayarkan sekaligus, penanggung pajak mengajukan keberatan atas jumlah tunggakan pajaknya, dan penanggung pajak lalai. Mala Rizkika Velayati (2012) juga telah melakukan penelitian mengenai analisis efektivitas dan kontribusi tindakan penagihan pajak aktif dengan Surat Teguran dan Surat Paksa sebagai upaya pencairan tunggakan pajak, dengan menggunakan teknik analisis deskriptif. Hasil dari penelitian ini menunjukkan bahwa penagihan pajak aktif dengan Surat Teguran di Kantor Pelayanan Pajak Pratama Batu dari tahun 2010-2012 tergolong tidak efektif baik dilihat dari jumlah lembar maupun nilai nominal yang tertera dalam Surat Teguran. Penyebabnya antara lain Wajib Pajak lalai dalam melaksanakan kewajibannya untuk melunasi utang pajak, tidak mampu untuk melunasi utang pajak, dan tempat tinggal Wajib Pajak tidak dapat ditemui. Selain itu, penagihan pajak aktif dengan Surat Paksa di tahun 2010 dan 2012 termasuk kategori efektivitas yang tidak efektif, namun pada tahun 2011 tingkat efektivitasnya tergolong dalam kategori sangat efektif dalam hal nilai nominal maupun nilai yang tertera dalam Surat Paksa. Pencairan tunggakan pajak dengan Surat Paksa belum bisa tercapai sepenuhnya dikarenakan adakalanya
Wajib
Pajak
mengajukan
keberatan
ataupun
angsuran
pembayaran atas utang pajak tersebut. Penelitian ini juga menunjukkan
kontribusi penagihan pajak aktif dengan Surat Teguran dan Surat Paksa di Kantor Pelayanan Pajak Pratama Batu di tahun 2010-2012 tergolong dalam kriteria sangat kurang terhadap penerimaan pajak. Penagihan pajak aktif mempunyai tingkat kontribusi dengan persentase kurang dari 10%. Agustinus Paseleng (2013) juga telah melakukan penelitian mengenai efektivitas penagihan pajak dengan Surat Teguran dan Surat Paksa terhadap penerimaan pajak penghasilan pada KPP Pratama Manado. Penelitian ini menggunakan teknik analisis statistik deskriptif. Hasil dari penelitian ini menunjukkan bahwa penagihan tunggakan pajak penghasilan dengan Surat Teguran dan Surat Paksa pada KPP Pratama manado berdasarkan pengujian dengan formula efektivitas dan klasifikasi pengukuran efektivitas, tergolong tidak efektif karena memiliki persentase efektivitas berada di bawah 60%. Hasil lain dari penelitian ini adalah dimana kontribusi penagihan pajak dengan Surat Teguran dan Surat Paksa terhadap penerimaan pajak penghasilan di KPP Pratama Manado tergolong sangat kurang karena rasio kontribusinya berada pada kisaran 0,00% s.d. 10 %. Irigandi (2014)
telah melakukan penelitian mengenai pengaruh
penagihan pajak dengan Surat Paksa terhadap pencairan tunggakan pajak pada Kantor Pelayanan Pajak Pratama Kayu Agung. Beliau menggunakan teknik analisis kuantitatif. Hasil dari penelitian ini menunjukkan bahwa terdapat pengaruh yang signifikan antara penagihan pajak dengan Surat Paksa terhadap pencairan tunggakan pajak.
Tabel 2.1 Ringkasan Penelitian Terdahulu No.
Peneliti
Variabel Dependen (Y)
Variabel Independen (X)
Pelaksanaan Penagihan aktif (melalui Surat Teguran, Surat Paksa, Penagihan Seketika dan Sekaligus) Surat Teguran, Surat Paksa
1.
Pitnawati (2009)
Pencairan Tunggakan Pajak
2.
Nana Adriana (2012)
Penerimaan Pajak
3.
Mala Rizkika Velayati (2012)
Pencairan Tunggakan Pajak
Surat Teguran, Surat Paksa
Analisis
Deskriptif Kualitatif
Hasil
Pelaksanaan penagihan aktif dalam pencairan tunggakan pajak dengan menggunakan Surat Teguran, Surat Paksa dan Penagihan Seketika dan Sekaligus pada KPP Pratama Jakarta Pasar Minggu tergolong efektif.
Deskriptif Penagihan pajak dengan Komparatif di KPP Pratama Makassar Selatan tergolong tidak efektif baik ditinjau dari segi jumlah lembar maupun nilai nominal yang tertera dalam Surat Teguran dan Surat Paksa. Deskriptif 1. Penagihan pajak Komparatif aktif dengan Surat Teguran di Kantor Pelayanan Pajak Pratama Batu dari tahun 2010-2012 tergolong tidak efektif baik dilihat dari jumlah lembar maupun nilai nominal yang tertera dalam Surat Teguran. 2. Penagihan pajak aktif dengan Surat
4.
Agustinus Penerimaan Surat Paseleng Pajak Teguran, (2013) Penghasilan Surat Paksa
Statistik Deskriptif
Paksa di tahun 2010 dan 2012 termasuk kategori efektivitas yang tidak efektif, namun pada tahun 2011 tingkat efektivitasnya tergolong dalam kategori sangat efektif dalam hal nilai nominal maupun nilai yang tertera dalam Surat Paksa. 1. Penagihan tunggakan pajak penghasilan dengan Surat Teguran dan Surat Paksa pada KPP Pratama manado berdasarkan pengujian dengan formula efektivitas dan klasifikasi pengukuran efektivitas, tergolong tidak efektif karena memiliki persentase efektivitas berada di bawah 60%. 2. Kontribusi penagihan pajak dengan Surat Teguran dan Surat Paksa terhadap penerimaan pajak penghasilan di KPP Pratama Manado berdasarkan pengujian dengan formula rasio penerimaan tunggakan pajak dan
5.
Irigandi (2014)
Pencairan Tunggakan Pajak
Surat Paksa
Deskriptif Kuantitatif
klasifikasi kriteria kontribusi, tergolong sangat kurang. Terdapat pengaruh yang signifikan antara penagihan pajak dengan Surat Paksa terhadap pencairan tunggakan pajak.
Sumber: Berbagai Jurnal
2.6
Kerangka Konseptual Gambar 2.1 Kerangka Konseptual
Surat Teguran (X1) H0 Surat Paksa
Efektivitas Penagihan Pajak
(X2)
(Y)
H1 Surat Perintah Melakukan Penyitaan (SPMP) (X3)
2.7
Perumusan Hipotesis
Hipotesis Penelitian H0
: Pelaksanaan penagihan pajak dengan Surat Teguran, Surat Paksa dan Surat
Pelaksanaan Melakukan Penyitaan (SPMP) secara simultan memiliki pengaruh yang signifikan terhadap efektivitas penagihan pajak pada KPP Medan Kota pada periode 2012-2014. H1
: Pelaksanaan penagihan pajak dengan Surat Teguran, Surat Paksa dan Surat
Pelaksanaan Melakukan Penyitaan (SPMP) secara simultan tidak memiliki pengaruh yang signifikan terhadap efektivitas penagihan pajak pada KPP Medan Kota pada periode 2012-2014.