BAB II TINJAUAN PUSTAKA
2.1
Fleksibilitas
2.1.1
Definisi Fleksibilitas Fleksibilitas merupakan
kemampuan satu atau lebih sendi untuk
bergerak full ROM secara lancar, mudah, tanpa hambatan, serta bebas dari rasa sakit. Fleksibilitas berkaitan erat dengan jaringan lunak, seperti ligamen, tendon, dan otot, di samping struktur tulang itu sendiri (Kisner & Colby,2007). Fleksibilitas juga berhubungan dengan ekstensibilitas dari musculotendinous unit yang saling bersilangan sebagai dasar kemampuan otot untuk rileks atau berubah bentuk dalam proses peregangan. Terdapat dua jenis fleksibilitas, yaitu fleksibilitas dinamis dan fleksibilitas pasif. Fleksibilitas dinamis dikatakan sebagai mobilitas aktif ROM, dimana otot berkontraksi secara aktif untuk gerakan satu sendi, segmen, dan keseluruhan tubuh. Sedangkan fleksibilitas pasif dikatakan sebagai mobilisasi pasif ROM dimana otot dan jaringan ikat sendi dapat diulur secara pasif yang berfungsi sebagai penunjang fleksibilitas dinamis (Kisner & Colby, 2007). Adapun tolak ukur fleksibilitas dapat dilihat dari luas gerak suatu persendian atau gabungan beberapa persendian. Fleksibilitas merupakan fungsi relatif laksitas dan/atau ekstensibilitas jaringan kolagen dan otot
8
9
yang melewati sendi untuk sebagian besar populasi. Ketegangan ligamen dan otot yang membatasi ekstensibilitas merupakan inhibitor yang paling besar untuk ROM sendi. Ketika jaringan tersebut tidak terulur (stretch) maka extensibilitasnya akan menurun (Anshar &Sudaryanto, 2011). Tujuan dari latihan fleksibilitas adalah untuk meningkatkan elastisitas otot sehingga mencapai keadaan yang maksimal (Dwijowinoto, 1993). Untuk mencapai hasil elastisitas otot yang maksimal diperlukan suatu latihan yang dapat meningkatkan fleksibilitas, sebab fleksibilitas seseorang dapat menurun apabila tidak dilatih. Menurut Gago (2013) disebutkan bahwa terdapat beberapa faktor internal dan eksternal yang mempengaruhi fleksibilitas,yaitu: 1. Faktor internal a. Sendi: Sendi merupakan sambungan antar tulang pada tubuh manisia. Dengan memberikan latihan tertentu pada sendi maka akan terjadi peningkatkan luas gerak sendi sehingga mempengaruhi fleksibilitas. b. Ligamen: ligamen terdiri dari dua jaringan yang berbeda yakni putih dan kuning. Jaringan ikat putih tidak melar, tetapi sangat kuat sehingga bahkan jika tulang yang patah jaringan akan tetap di tempatnya. Sedangkan jaringan kuning merupakan jaringan yang elastis sehingga dapat ditarik jauh namun bisa kembali ke posisi semula.
10
c. Tendon: tendon tidak elastis bahkan kurang elastis. Tendon dikategorikan sebagai
jaringan
ikat
yang mendukung,
mengelilingi, dan mengikat serat-serat otot. d. Jaringan otot: jaringan otot terbuat dari bahan elastis yang diatur dalam bundel dari serat paralel. e. Reseptor peregangan: reseptor ini memiliki dua bagian yaitu sel spindle dan tendon golgi. Sel spindle terletak di pusat otot yang bertugas untuk mengirim pesan pada otot untuk berkontraksi. Sedangkan tendon golgi terletak dekat ujung dari serat otot dan bertugas mengirim pesan pada otot untuk berelaksasi. 2. Faktor eksternal a. Kurang aktif: orang yang aktivitasnya banyak diam akan berpengaruh pada fleksibilitasnya. Hal ini terjadi karena jaringan lunak dan sendi menyusut sehingga kehilangan daya regang otot, dimana jika seseorang tidak aktif maka otot-otot dipertahankan pada posisi memendek dalam waktu yang lama. b. Cedera: akibatadanya cidera pada sendi, otot, dan tulang maka seseorang akan takut menggerakkan anggota gerak karena nyeri sehingga akan berpengaruh terhadap fleksibilitasnya. c. Usia: pengaruh usia terhadap fleksibilitas digambarkan seperti kurva. Dimana diawali pada usia anak-anak yang semakin
11
meningkat fleksibilitasnya namun sesudah remaja mulai menurun. Penurunan ini dipicu oleh berkurangnya sekresi growth hormone oleh pituitari gland sehingga kemampuan cecovery jaringan semakin melambat. Growth hormone pada manusia mencapai puncak pada umur 20-25 tahun dan akan menurun drastis pada lansia. d. Pengalaman: seseorang yang memiliki pengalaman berolahraga yang membutuhkan gerakan dinamis yang besar akan memiliki jangkauan gerak yang lebih baik daripada seseorang dengan gaya hidup biasa saja. 2.1.2
Fleksibilitas Otot Upper Trapezius Fleksibilitas otot upper trapezius sangat ditentukan dari panjang otot upper trapezius itu sendiri. Apabila otot upper trapezius mengalami pemendekan maka fleksibilitas otot tersebut juga akan menurun. Penurunan fleksibilitas menandakan
bahwa
sendi dan otot tidak dapat digerakkan secara full ROM baik aktif ataupun pasif. Hal ini bisa terjadi karena suatu kondisi seperti terjadinya kekakuan sendi dan pemendekan otot. Keadaan tersebut akan mudah menimbulkan cedera yang biasa terjadi pada tendon upper trapezius. Penurunan fleksibilitas upper trapezius dapat disebabkan oleh beberapa faktor, seperti pemendekan otot upper trapezius,
12
cidera akut ataupu kronis pada otot upper trapezius, menurunnya fungsi sendi cervical, aktivitas yang berlebihan, serta pola latihan yang tidak benar. Upper trapezius yang berfungsi untuk gerakan elevasi bahu, ekstensi dan lateral fleksi cervical dalam aktivitas sehari-hari jarang diberikan latihan khusus (Miller, 2010). Penggunaan otot upper trapezius yang berlebihan
merupakan
penyebab utama ketegangan pada otot upper trapezius. Adanya postur yang kurang baik yang melibatkan kontraksi otot secara terus menerus seperti misalnya pada kasus forward head posture menyebabkan keadaan statik pada otot. Jika berlangsung lama hal tersebut akan mempengaruhi kekuatan otot untuk berelaksasi dan fleksibilitasnya sehingga sering timbul nyeri. 2.1.3
Pengukuran fleksibilitas Fleksibilitas merupakan
kemampuan satu atau lebih sendi
untuk bergerak full ROM secara lancar, mudah, tanpa hambatan, serta bebas dari rasa sakit. Pada penelitian ini untuk menghitung fleksibilitas otot upper trapezius akan digunakan gerakan lateral fleksi cervical dimana titik bawah dari rentangan fleksibiltas yang normal adalah 40 derajat (Neumann,2002). Pengukuran dari fleksibilitas tersebut dapat diukur dengan menggunakan alat berupa goniometer dengan cara meletakan axis (fulcrum) di posisi ataupun di suatu titik pengukuran kemudian lengan proksimal (stationary
13
arm) posisi diam dan lengan distal (moving arm) bergerak mengikuti gerakan sendi. Sudut yang ditunjukan pada goniometer diinterpretasikan sebagai ROM dari sendi tersebut.
Gambar 2.1 Goniometer (Sumber: Reese,2002)
2.2 Biomekanik dan Anatomi Terapan Cervical 2.2.1 Regio Cervical Regio cervical disusun oleh 3 sendi penyusun yaitu atlantooccipital joint (C0-C1), atlanto-axial joint (C1-C2)
dan vertebra
joints (C2-C7). Regio ini merupakan regio yang paling sering bergerak dari seluruh bagian tulang vertebra. Hal itu dapat terlihat dari peranannya yaitu
untuk mengatur sendi dan memfasilitasi
posisi dari kepala, termasuk penglihatan (vision), pendengaran, penciuman dan
keseimbangan tubuh.
Adapun gerakan yang
dihasilkan pada regio ini yaitu fleksi-ektensi, rotasi dan lateral fleksi cervical.
14
2.2.1.1 Atlanto-occipital Joint (C0-C1) Atlanto-occipital Joint berperan dalam gerakan fleksi-ekstensi dan lateral fleksi cervical. Arthrokinematika pada gerakan fleksi condylus yang conveks akan slide ke arah belakang terhadap facet articularis yang concaf sebesar 10 derajat.
Sedangkan pada gerakan
ekstensi
condylus yang conveks akan slide ke arah depan terhadap facet articularis yang concaf sebesar 17derajat. Pada gerakan lateral fleksi cervical akan terjadi roll dari sisi-sisi pada jumlah yang kecil pada condylis occipital yang conveks terhadap facet articularis(atlas) yang concaf sebesar 5derajat 2.2.1.2 Atlanto-axial Joint (C1-C2) Gerakan utama pada atlanto-axial joint adalah gerakan rotasi cervical ditambah dengan gerakan fleksi dan ekstensi. Pada gerakan fleksi akan terjadi gerakan pivot kedepan dan sedikit berputar pada atlas terhadap axis (C2) sebesar 15 derajat sedangkan pada gerakan ekstensi gerakan pivot kebelakang dan sedikit berputar pada atlas terhadap axis (C2). Gerakan rotasi pada sendi ini sebesar 45 derajat dimana atlas yang berbentuk cincin akan berputar disekitar
15
procesus odonthoid bagian procesus articularis inferior atlas yang sedikit concaf akan slide dengan arah sirkuler (melingkar) terhadap procesus articularis superior axis. 2.2.1.3 Vertebra joints (C2-C7) Pada vertebra joint terjadi gerakan fleksi-ekstensi, rotasi dan lateral fleksi cervical. Pada gerakan fleksi permukaan procesus articularis inferior vertebra superior yang berbentuk concaf akan slide ke arah atas dan depan terhadap procesus articularis superior vertebra inferior sebesar 40 derajat, sedangkan pada gerakan ekstensi permukaan procesus articularis inferior vertebra superior yang berbentuk concaf akan slide ke arah bawah dan belakang terhadap procesus articularis superior vertebra inferior sebesar 70 derajat. Pada gerakan rotasi akan terjadi slide pada procesus articularis inferior vertebra superior ke arah belakang dan bawah pada ipsilateral arah rotasi dan akan terjadi slide ke arah depan atas pada sisi contralateral terhadap procesus articularis superior vertebra inferior sebesar 45 derajat. Gerakan lateral fleksi cervical, procesus articularis inferior vertebra superior pada sisi ipsilateral slide ke arah bawah dan sedikit ke belakang dan pada sisi contralateral
16
akan slide ke arah atas dan sedikit kedepan sebesar 35 derajat. Inlinasi pada bentuk facet joint akan menghasilkan gerakan coupling yang searah dimana selama gerakan rotasi akan disertai dengan lateral fleksi yang searah (Neuman, 2002). 2.2.2Biomekanik Terapan pada Upper Trapezius Otot trapezius adalah salah satu grup otot besar pada tubuh manusia, otot ini dibagi menjadi 3 bagian yaitu upper, midle dan lower trapezius. Otot upper trapezius merupakan grup otot pada tubuh manusia yang berfungsi untuk elevasi bahu, ekstensi dan lateral fleksi cervical. Otot upper trapezius merupakan otot yang berperan sentral dapan stabilisasi postur kepala. Stabilisasi tersebut dikarenakan adanya otot agonis dan antagonis yang dimainkan olrh upper trapezius kiri dan kanan. Otot ini memberikan arah tarikan ke inferolateral pada cervical sehingga dengan adanya suatu gangguan pada otot ini akan menyebabkan postur kepala yang tidak seimbang antara kanan dan kiri (Neuman, 2002).
17
elevasi bahu
Latera fleksi cervical ekstensi cervical
Gambar 2.2 Upper Trapezius (Sumber: Lippert, 2011)
Sebagaimana yang telah dijelaskan bahwa salah satu peran dari otot upper trapezius adalah lateral fleksi, gerakan ini juga berfungsi untuk membatasi gerakan kearah contralateral untuk menghasilkan ROM yang normal sehingga dibutuhkan fleksibilitas pada upper trapezius yang baik untuk dapat bergerak dalam lingkup gerak sendinya tanpa adanya keterbatasan.. Pada otot
upper trapezius yang mengalami penurunan
fleksibilitas baik secara patologis akan menyebabkan jaringan lunak pada upper trapezius tidak dapat bergerak leluasa dengan ditandai oleh penurunan ROM dan nyeri ketika lateral fleksi.
18
muscle strech muscle contraction
Gambar 2.2 Lateral fleksi cervical
Gambar 2.3 Lateral Fleksi Cervical (Sumber :Neumann, 2002)
2.2.3
Biomekanik Otot Skeletal Otot upper trapezius merupakan salah satu jenis otot skeletal yang terdiri dari banyak serabut otot berbentuk seperti benang/serabut. Membran yang membungkus serabut otot dinamakan dengan sarkolema. Sarkolema berbentuk seperti neuron yang mengandung potensial membran. Neuron tersebut akan mengeluarkan impuls yang berjalan ke sarkolema yang mengakibatkan sel otot berkontraksi. Transverse tubulus merupakan lubang yang ada pada sarkolema yang berfungsi menghantarkan impuls dari sarkolema ke dalam sel terutama pada struktur lain di dalam sel yang menyelubungi miofilamen yang disebut sarcoplasmic reticulum. Tranverse tubules mempunyai lubang yang berhubungan dengan sarcoplasmic reticulum dalam menghantarkan impuls serta tempat penyimpanan ion
19
kalsium.Antara sarcoplasmicreticulum dengan sitoplasma sel otot disebut sarkoplasma.Pada sarkoplasmatersebut terjadi pemompaan ion kalsium. Ketika impuls saraf ada pada membransarcoplasmic reticulum maka terjadi pembukaan membran yang memungkinkan ion kalsium melewati menuju pada sarkoplasma yang akan mempengaruhi miofibril untuk berkontraksi (Fatmawati, 2012). Sarkoplasma pada setiap serabutotot mengandung sejumlah nukleus dan mitokondria, serta sejumlah benang/serabut miofibril yang berjalan paralelsejajar satu sama lain. Miofibril mengandung 2 tipe filamen protein yang susunannya menghasilkan karakteristik pola striated sehingga dinamakan otot striated atau otot skeletal (Anshar &Sudaryanto, 2011). Miofibril terbuat dari molekul protein yang panjang disebut miofilamen. Miofilamen terdiri dari 2 jenis yaitu thick miofilamen yang berwarna lebih gelap dan thin miofilamen yang berwarna lebih terang. Kedua jenis miofilamen tersebut membentuk sub unit yang saling berhubungan dalam miofibril. Sub unit tersebut dinamakan sebagai sarkomer yang merupakan unit strukural dasar dari serabut otot. Di dalam sarkomer, thick miofilamen berada di tengah dan diapit oleh thin miofilamen. Jika dilihat dalam microscopis daerah tengah sarkomer akan terlihat lebih gelap yang disebut dengan I-band sedangkan daerah pinggir terlihat lebih terang yang disebut dengan A-
20
band. Bagian yang memisahkan antara kedua daerah tersebut adalah Z-line (Sherwood, 2006). Kepala miosin mempunyai dua tempat tautan yaitu ATP, binding site dan aktin binding site. Pergeseran miosin yang terjadi disebabkan karena kepala dari miosin bertemu dengan molekul aktin di dalam miofilamen.Thin miofilamen terdiri dari tiga komponen protein yaitu aktin, troponin dan tropomiosin. Pada otot yang rileks, molekul miosin menempel pada benang molekul tropomiosin, ketika ion kalsium mengisi troponin maka akan mengubah bentuk dan posisi troponin. Perubahan tersebut membuat molekul tropomiosin terdorong dan menjadikan kepala miosinbersentuhan dengan dengan molekul aktin.Persentuhan tersebut membuat kepala miosin bergeser.Pada akhir gerakan ATP masuk dalam crossbridge dan memecah ikatan antara aktin dan miosin. Kepala miosin kembali bergerak ke belakang dan ATP dipecah sebagai ADP + P. Kepala miosin kembali berikatan dengan molekul aktin yang lain. ikatan ini membuat terjadinya lagi gerakan aktin terdorong oleh kepala miosin(Fatmawati, 2012). Pada keadaan rileks, otot skeletal akan terjadi apabila impuls saraf melalui end plates. Akibat dari ketiadaan impuls tersebut maka tidak ada ion kalsium yang masuk ke dalam sitoplasma karena pintu masuk kalsium menjadi tertutup sehingga kalsium akan kembali masuk ke dalam sarcoplasmic reticulum. Selanjutnya akibat
21
kembalinya kalsium ke dalam sarcoplasmic reticulum menyebabkan posisi troponin kembali normal sehingga posisi tropomiosin kembali normal dan memutus hubungan antara kepala miosin dan aktin. Otot akan kembali rileks pada saat kepala miosin dan aktintidak lagi saling berhubungan sehingga tak ada lagi pergeseran molekul.
Gambar 2.4 Struktur Otot dan Mekanisme Kontraksi dan Relaksasi Otot (Sumber: Sherwood, 2006) MenurutAzizah & Hardjono (2006), ada 2 tipe serabut yang utama yaitu serabut slow-twitch dan serabut fast-twitch. Kedua tipe serabut tersebut terdapat didalam suatu otot tunggal. 1. Tipe I atau slow twitch (tonik muscle fibers) : disebut juga red muscle karena berwarna lebih gelap dari otot yang lainnya. Otot ini memiliki karakteristik tertentu, yaitu menghasilkan
22
kontraksi yang lambat (kecepatan kontraktil yang lambat), banyak mengandung hemoglobin dan mitokondria, kekuatan motor unit yang rendah, tahan terhadap kelelahan, memiliki kapasitas
aerobik
yang
tinggi
dan
berfungsi
untuk
mempertahankan sikap. 2. Tipe II atau fast twitch (phasic muscle fibers) : disebut juga white muscle karena berwarna lebih pucat. Otot ini memiliki karakteristik menghasilkan kontraksi yang cepat (kecepatan kontraktil yang cepat), tidak tahan terhadap kelelahan (cepat lelah), memiliki kapasitas aerobik yang rendah, banyak mengandung miofibril, durasi kontraksi lebih pendek dan berfungsi untuk melakukan gerakan yang cepat dan kuat. Kontraksi otot skeletal ada dua yaitu kontraksi isotonik dan isometrik. Kontraksi otot isotonik dibagi menjadi konsentrik dan eksentrik.Kontraksi konsentrik merupakan kontraksi otot yang membuat otot memendek dan terjadi gerakan pada sendi sedangkan kontraksi eksentrik merupakan kontraksi otot pada saat memanjang untuk menahan beban.Kontraksi isometrik merupakan kontraksi otot yang tidak disertai dengan perubahan panjang otot (Lippert, 2011).
23
2.3 Proprioceptive Neuromuscular Facilitation PNF
atau (Proprioceptive
Neuromuscular
Facilitation)
merupakan metode gerakan peningkatan dan fasilitasi neuromuscular dengan sendirinya, sehingga memerlukan blocking yang berlawanan. Dalam proses ini, reaksi mekanisme neuromuscular dimanfaatkan, difasilitasi
dan
dipercepat
melalui
stimulasi
reseptor-reseptor.
Penggunaan gerakan kompleks berdasarkan pada prinsip-prinsip stimulasi organ neuromuscular dengan bantuan tambahan dari seluruh gerakan. Reseptor-reseptor dalam otot dan sendi merupakan elemen penting dalam stimulasi sistem motorik. 2.3.1 Teknik Reversal Antagonistic Teknik reversal antagonistic merupakan salah satu teknik dalam Proprioceptive Neuromuscular Facilitation (PNF) yang
melibatkan
kontraksi isometrik dan isotonik dari otot agonis dan antagonis yang mengalami ketegangan. Mekanisme dari teknik ini adalah dengan menginstruksikan pasien untuk mengkontraksikan otot yang lebih kuat kemudian
mengkontraksikan otot antagonis denga tahanan tanpa
relaksasi atau berhenti. Menurut Sugijanto (2006) menyebutkan bahwa pada peregangan cara PNF, diperlukan adanya bantuan dari orang lain atau menggunakan peralatan lain untuk membantu memudahkan gerakan peregangan agar mencapai target yang diinginkan. Adapun tujuan dari pemberian teknik reversal antagonistic adalah untuk
24
memanjangkan/mengulur struktur jaringan lunak, seperti otot, fasia, tendon dan ligamen yang memendek secara patologis maupun non patologis sehingga dapat meningkatkan lingkup gerak sendi dan mengurangi nyeri akibat spasme, pemendekan otot/akibat fibrosis. Reversal antagonistic diindikasikan apabila ditemukan adanya keterbatasan lingkup gerak sendi akibat adanya perlengketan, pembentukan jaringan parut, yang berperan untuk menimbulkan ketegangan otot, jaringan ikat dan kulit. Reversal antagonistic tidak dapat dilakukan pada pasien dengan fraktur yang masih baru (Sugijanto, 2006). Sedangkan menurut Kisner & Colby (2007), menyebutkan indikasi dari stretching berupa, lingkup geraksendi yang terbatas kerena jaringan lunak yang kehilangan ekstensibilitas, gerakan yang terbatas akibat deformitas struktural, kelemahan otot dan pemendekan dari jaringan antagonis, serta sebagai bagian dari total program fitnes yang didesain untuk mencegah cedera muskuloskeletal. Kontraindikasi dari stretching adalah sebuah tulang menonjol yang membatasi gerakan sendi, fraktur yang masih baru, terdapat penyatuan tulang yang belum komplit, adanya infeksi akut, proses inflamasi, atau penyembuhan jaringan lunak didaerah itu, nyeri akut yang tajam pada gerakan sendi atau elongasi otot, serta terjadi perdarahan atau indikasi lain dari trauma jaringan yang masih diobservasi.
25
2.3.2 Dynamic Reversals Dynamic revelsals merupakan salah satu bagian dari teknik reversal antagonistic dimana teknik ini memberikan efek penambahan fleksibilitas pada lingkup gerak sendi dengan melibatkan kontraksi otot agonis dan antagonis. dalam pelaksanaannya terapis memberikan tahanan sedangkan pasien mengkontraksikan otot yang lebih kuat hingga ROM yang diinginkan dan setelah itu tanpa adanya pengurangan kontraksi atau relaksasi otot dilanjutkan dengan memberi tahanan kontraksi pada otot yang antagonis. Kontraksi maksimal pada otot yang dipanjangkan akan memprovokasi perubahan struktur dari aktin-miosin.Gerakan yang pelan akan memastikan setiap otot yang diinginkan berkontraksi secara maksimal. 2.3.3 Rythmic Stabilization Teknik ini merupakan metode aplikasi dari reversal antagonist yang melibatkan
peranan otot agonis dan antagonis untuk
memperbaiki fleksibilitas dari otot. Teknik rythmic stabilization menggunakan prinsip kontraksi isometrik otot, dimana dalam pengaplikasiannya pasien tidak boleh melakukan gerakan atau pasien harus menahan gerakan yang diberikan oleh terapist. Tahanan atau kontraksi isometrik dilakukan dimulai dari arah yang ototnya lebih kuat kemudian terapis memberikan dorongan dan pasien harus menahannya
26
dan selanjutnya tanpa adanya penurunan dari relaksasi otot diberikan kontraksi isometrik pada sisi lainnya sehingga tidak ada fase relaksasi dari otot. Indikasi dari teknik ini adalah ketika terjadi nyeri regang saat pasien menggerakan sendi atau otot yang mengalami pengurangan fleksibilitas. Teknik ini juga dapat melatih stabilitas sendi dari penguatan otot agonis dan antagonis yang terus dilatih sehingga dapat meningkatkan stabilitas jaringan. 2.4 Mekanisme Peningkatan Fleksibilitas Otot Upper Trapezius Melalui Teknik Intervensi Dynamic Reversals dan Rhythmic Stabilization Mekanisme peningkatan fleksibilitas otot upper trapezius dengan intervensi reversal antagonistic, baik dynamic reversals dan rhythmic stabilization sama-sama dapat meningkatkan relaksasi dan pemanjangan otot hingga 20 persen melalui neuromuscular fasilitation sehingga nyeri regang, spasme, ataupun pemendekan otot dapat diturunkan. Motor unit yang ada pada seluruh serabut otot akan teraktivasi akibat dari adanya kontraksi isometrik dan isotonik (Chaitow, 2006). Konsep dari teknik dynamic reversals pada dasarnya terjadi pada komponen elastik (aktin dan miosin) yang menyebabkan ketegangan dalam otot meningkat dengan tajam, sarkomer akan memanjang dan bila hal ini dilakukan terus-menerus otot akan beradaptasi. Saat pengaplikasian teknik intervensi dynamic reversals akan terjadi mekanisme yang
disebut
reciprocal innervations/inhibition. Reciprocal inhibition mengacu pada
27
inhibisi otot antagonist ketika kontraksi isotonik yang terjadi dalam otot agonis. Hal ini terjadi karena reseptor strecth dalam serabut otot agonis muscle spindle. Muscle spindle bekerja untuk mempertahankan panjang otot secara tetap dengan memberikan umpan balik pada perubahan kontraksi, dalam hal ini arah muscle spindle memainkan bagian dalam proprioceptif. Dalam respon untuk peregangan, muscle spindle menghentikan impuls saraf yang meningkatkan kontraksi, hingga mencegah over stretching. Pada dynamic reversals juga terjadi penguluran komponen elastik pada otot. sehingga akan mempengaruhi komponen elastik sarkomer pada otot dimana melepaskan perlengketan ataupun taut band aktin dan moisin sehingga akan mempengaruhi dari pemanjangan otot (Azizah &Hardjono, 2006).
Gambar 2.10 Reciprocal Inhibition (Sumber: Chaitow, 2006)
28
Pada intervensi teknik rhythmic stabilization akan terjadi mekanisme post isometric relaxation (PIR). Post isometric relaxation mengacu pada pengurangan tonus otot agonist setelah kontraksi isometrik. Hal ini terjadi karena pengaruh reseptor stretch yang disebut golgi tendon organ pada otot agonis. Reseptor ini bereaksi terhadap overstretching otot oleh inhibisi otot yang selanjutnya berkontraksi. Hal ini secara natural melindungi reaksi terhadap regangan berlebih, mencegah ruptur dan memiliki pengaruh pemanjangan karena relaksasi yang terjadi tiba-tiba pada seluruh otot dibawah pengaruh stretching.
Gambar 2.9 Post Isometric Relaxation (Sumber: Chaitow, 2006)
Dalam teknik ini, kekuatan kontraksi otot terhadap perlawanan yang sama memicu reaksi golgi tendon organ. Impuls saraf afferent dari golgi
29
tendon organ masuk ke bagian dorsal spinal cord dan bertemu dengan inhibitor motor neuron. Hal ini menghentikan impuls motor neuron efferent dan oleh karena itu terjadi pencegahan kontraksi lebih lanjut, tonus otot menurun, yang menghasilkan relaksasi dan pemanjangan otot agonist (Azizah &Hardjono, 2006).