BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Uraian Teoritis 2.1.1. Pembangunan Pertanian Dalam Pembangunan Ekonomi Kebijakan pembangunan pertanian diharapkan mempunyai kontribusi dalam mendorong pembangunan ekonomi. Ada beberapa teori dalam ekonomika pembangunan seperti merkantilisme, klasik, Karl Max, Shumpeter, neo-klasik, dan Post-Keynesian. Aliran klasik menekankan adanya sistem liberal dan perkembangan teknologi yang disebabkan oleh adanya akumulasi pembentukan modal dan spesialisasi. Tokoh utama aliran klasik adalah Adam Smith, David Ricardo, dan Thomas Robert Malthus. Ada kesamaan pandangan dari mereka yang pesimistik karena adanya thelaw of the diminishing return (Adam Smith), ketersediaan lahan yang terbatas (Ricardo), dan pertambahan penduduk yang lebih besar daripada pertambahan produksi (Malthus). Sejak merkantilisme, ilmu ekonomi pembangunan sudah menaruh perhatian pada pertumbuhan dan pembangunan ekonomi, tetapi ekonomika pembangunan sebagai cabang terpisah dari ilmu ekonomi baru sejak tahun 1950 (Staatz & Eicher dalam Yuwono dkk, 2011). Baru sejak dasawarsa 1970-an pembangunan pertanian diartikan sebagai pertumbuhan dengan pemerataan mencakup distribusi pendapatan, kesempatan kerja, kemiskinan, gizi dan sebagainya. Pada dasawarsa 1950-an dan 1960-an pertanian dalam pembangunan ekonomi dipandang berperan pasif. Pandangan ini sangat dipengaruhi oleh W. Arthur Lewis (1954) dalam tulisannya “Economic Development with Unlimited Supplies of Labour” dengan “zero marginal productivity of labour”, yang
Universitas Sumatera Utara
menyebabkan banyak pakar ekonomika pembangunan memusatkan pada peranan industri dalam pembangunan ekonomi (Yuwono dkk, 2011). Hal kedua yang penting pengaruhnya pada pandangan peranan penting dalam pembangunan adalah tulisan Albert Hirchman (1958) yang berjudul The Strategy of Ecnomic Development yang memperkenalkan konsepsi linkage(kaitan) bahwa investasi dalam suatu kegiatan ekonomi akan mendorong investasi pada kegiatan ekonomi lain yang akan meningkatkan pendapatan melalui hubungan input-output baik backward linkage (kaitan ke belakang) pada penghasilan input maupun forward linkage (kaitan ke depan) pada pengolah output. Hirchman mengatakan bahwa investasi pemerintah sebaiknya dipusatkan pada kegiatan yang mempunyai linkage effect terbesar, yang dimaksud sektor industry (Yuwono dkk, 2011). Sebenarnya dalam dasawarsa 1960-an beberapa pakar dalam teori dualisme sudah menyatakan pentingnya investasi di pertanian untuk mempercepat pertumbuhan surplus produksi pertanian agar tidak terperangkap pada keseimbangan pendapatan rendah (low income-equilibrium trap) pada tahap permulaan pembangunan (Fei&Ranis, Jorgenson dan Johnston&Mellor dalam Yuwono dkk, 2011) menekankan pentingnya pertanian sebagai pendorong pertumbuhan ekonomi.
Universitas Sumatera Utara
2.1.2. Teori Produksi dan Produk Marjinal Produksi adalah suatu kegiatan yang dikerjakan untuk menambah nilai guna suatu benda atau menciptakan benda baru sehingga lebih bermanfaat dalam memenuhi kebutuhan. Kegiatan menambah daya guna suatu benda tanpa mengubah bentuknya dinamakan produksi jasa. Sedangkan kegiatan menambah daya guna suatu benda dengan mengubah sifat dan bentuknya dinamakan produksi barang. Produksi tidak hanya terbatas pada pembuatannya saja tetapi juga proses penyimpanan, distribusi, pengangkutan, pengeceran, dan pengemasan kembali, atau yang lainnya (Millers dan Meiners dalam Togatorop, 2010). Produksi bertujuan untuk memenuhi kebutuhan manusia untuk mencapai kemakmuran. Kemakmuran dapat tercapai jika tersedia barang dan jasa dalam jumlah yang mencukupi. Fungsi produksi merupakan hubungan antara jumlah output maksimum yang bisa diproduksi dan input yang diperlukan guna menghasilkan output tersebut, dengan tingkat pengetahuan teknik tertentu.
Dalam teori ekonomi,
menganalisis mengenai produksi selalu dimisalkan bahwa tiga faktor produksi (tanah, modal, keahlian keusahawan) adalah tetap jumlahnya. Hanya tenaga kerja yang dipandang sebagai faktor produksi yang berubah-ubah jumlahnya. Hubungan antara faktor-faktor produksi dengan tingkat output yang dihasilkan apabila input yang digunakan adalah tenaga kerja, modal, dan kekayaan alam dapat dirumuskan melalui persamaan berikut ini : Q = f ( K, L, R, T )……………………………………………………2.1
Universitas Sumatera Utara
Dimana : Q = Jumlah produksi K = Jumlah modal L = Jumlah tenaga kerja dan ini meliputi berbagai jenis tenaga kerja dan keahlian keusahawan R = Kekayaan alam T = Selera komsumen
Soekartawi (2003) menyatakan bahwa fungsi produksi adalah hubungan fisik antara variabel yang dijelaskan (Y) dan variabel yang menjelaskan (X). Variabel yang dijelaskan biasanya berupa output dan variabel yang menjelaskan berupa input. Secara matematis, hubungan ini dapat ditulis sebagai berikut: Q = f ( X1, X2, X3,….., Xn )……………………………………………2.2 Dimana: Q = Tingkat produksi (output) dipengaruhi oleh faktor X X = Berbagai input yang digunakan atau variabel yang mempengaruhi Q.
Dalam kenyataannya pengusaha harus menentukan berapa banyak input yang perlu digunakan untuk memproduksi output yang maksimum.
Untuk
membuat keputusan, pengusaha akan memperhitungkan seberapa besar dampak penambahan input variabel terhadap produksi total. Bermula dari fungsi produksi inilah kita dapat menghitung tiga konsep produksi yang penting, yaitu produk total, produk rata-rata, dan produk marjinal (Paul A. Samuelson dalam Togatorop, 2010). Produk total adalah produk yang menunjukkan total output yang diproduksi dalam unit fisik, misalnya segantang gandum atau satu barel minyak. Produk marjinal adalah tambahan produk atau output karena tambahan input (tenaga kerja) sebanyak satu satuan. MPL = ΔQ/ΔL…………………………………………………………..2.3
Universitas Sumatera Utara
Produk rata-rata yaitu total output dibagi dengan unit total input. APL = Q/L………………………………………………………………2.4 Secara grafis hubungan fungsi dari produksi total, produksi rata-rata, dan produksi marjinal dapat dilihat pada gambar 2.1 berikut ini : Gambar 2.1 Fungsi produksi total, rata-rata dan marjinal
Sumber : Dominic Salvatore dalam Togatorop, 2010
Gambar 2.1 tersebut menunjukkan hubungan antara TPL, MPL dan APL. Gambar tersebut menunjukkan bahwa apabila tenaga kerja (input) yang dipergunakan mula-mula adalah sebanyak nol, produksi juga sama dengan nol. Apabila jumlah tenaga kerja yang dipergunakan semakin banyak, maka output akan meningkat. Mula-mula produksi total tambahan yang semakin tinggi (mulai dari 0 sampai L1), kemudian dengan tambahan yang semakin kecil (setelah
Universitas Sumatera Utara
melampaui L1 dan seterusnya).
Setelah L2, penambahan tenaga kerja justru
menurunkan tingkat output yang dihasilkan. Pola seperti ini merupakan pola umum proses produksi. pola tersebut dicerminkan oleh kurva AP dan MP. MP melukiskan perubahan total output akibat perubahan input.
MP mula-mula
menaik, kemudian menurun sampai akhirnya negatif apabila jumlah input variabel digunakan terus bertambah.
Demikian pula dengan AP, mula-mula naik
kemudian turun (Miller dan Meiners dalam Togatorop,2010). MP terlihat menaik ketika TP naik dengan laju yang semakin tinggi, MP menurun ketika TP naik dengan laju yang semakin rendah, MP sama dengan nol ketika TP mencapai maksimum dan MP negatif ketika TP menurun.
MP
mencapai maksimum lebih dulu daripada AP. Selama AP menaik, MP lebih tinggi daripada AP. Dan ketika AP menurun, MP lebih rendah daripada AP. AP mencapai maksimum ketika MP = AP ( Miller dan Meiners dalam Togatorop, 2010). Menurut Sukirno dalam Togatorop (2010), pola produksi seperti Gambar 2.1 diatas disebut kondisi “Law of Diminishing Return”. Hukum ini menyatakan bahwa apabila faktor produksi yang dapat diubah jumlahnya (tenaga kerja) terus menerus ditambah sebanyak satu unit, pada mulanya produksi total akan semakin banyak pertambahannya, tetapi sesudah mencapai suatu tingkat tertentu produksi tambahan akan semakin berkurang dan akhirnya akan mencapai nilai negatif. Berdasarkan gambar diatas kondisi “Law of Diminishing Return” ini berlaku mulai L1 ke kanan yaitu saat TP meningkat semakin lambat dan MP pun mengalami penurunan.
Universitas Sumatera Utara
Berdasarkan kurva TP, AP dan MP diatas kita bisa membagi proses produksi menjadi tiga tahapan yaitu tahap I, tahap II dan tahap III. Tahap I, kurva APL dan MPL terus meningkat. Makin banyak penggunaan faktor produksi maka semakin tinggi produksi rata-ratanya.
Tahap ini disebut tahap tidak rasional
karena jika penggunaan faktor produksi ditambah maka penambahan output total yang dihasilkan akan lebih besar dari penambahan faktor produksi itu sendiri. Seorang produsen yang rasional akan memproduksi output pada tahap yang kedua. Dalam tahap ini terjadi perpotongan antara kurva MPL dan kurva APL pada saat APL mencapai titik optimal. Pada tahap ini masih dapat meningkatkan output walaupun dalam presentasi kenaikan yang sama atau lebih kecil dari kenaikan jumlah faktor produksi yang digunakan. Penambahan satu unit faktor produksi maka akan memberikan tambahan produksi total (TP), walaupun produksi rata-rata (AP) dan marginal produk (MP) menurun tetapi masih dalam daerah yang positif. 2.1.3. Fungsi Produksi Cobb-Douglas Fungsi produksi Cobb-Douglas adalah suatu fungsi atau persamaan yang melibatkan dua atau lebih variabel, dimana variabel yang satu disebut dengan variabel dependen, yang dijelaskan (Y), dan yang lain disebut variabel independen, yang menjelaskan (X) (Soekartawi, 2003). Bentuk fungsi produksi Cobb-Douglas secara matematis adalah sebagai berikut: Y = αX1b1X2b2X3b3 …Xnbn eu …………………………………………
(2.5)
Universitas Sumatera Utara
Untuk memudahkan pandangan terhadap persamaan tersebut maka persamaan diubah dalam bentuk linear berganda dengan cara melogaritmakan persamaan tersebut menjadi persamaan berikut ini: LnY = Lnb0 + b1LnX1 + b2LnX2 + … + bnLnXn + u ………………
(2.6)
Dimana: Y
= output
Xi
= input
Lnb0
= intercept
b1
= parameter fungsi, juga merupakan elastisitas produksi
u
= kesalahan karena faktor acak
Fungsi produksi Cobb-Douglas harus dilogaritmakan dan diubah bentuk fungsinya menjadi bentuk fungsi linear dalam penggunaannya dalam penyelesaian analisis produksi, dengan syarat sebagai berikut: 1. Tidak ada pengamatan variabel penjelas (X) yang bersifat nol sebab logaritma dari nol adalah suatu bilangan yang besarnya tidak diketahui (infinite). 2. Dalam fungsi produksi, diasumsikan tidak terdapat perbedaan teknologi pada setiap pengamatan (non-neutral difference in the respective technologies). Dalam artian bahwa kalau fungsi produksi Cobb-Douglas yang dipakai sebagai model dalam suatu pengamatan dan bila diperlukan analisis yang memerlukan lebih dari satu model, maka perbedaan model tersebut terletak pada intercept dan bukan pada kemiringan garis (slope) model tersebut. 3. Tiap variabel X adalah perfect competition. 4. Perbedaan lokasi (pada fungsi produksi) seperti iklim adalah sudah mencakup pada faktor kesalahan. 5. Hanya terdapat terdapat satu variabel yang dijelaskan (Y)
Universitas Sumatera Utara
2.1.4. Return to Scale Return to scale (RTS) atau hasil terhadap skala merupakan pengaruh peningkatan skala input terhadap kuantitas yang diproduksi. Dengan kata lain, return to scale mencerminkan keresponsifan produk total bilamana semua input ditingkatkan secara proporsional. Ada tiga kasus penting yang harus dibedakan: 1. Constant return to scale, menunjukkan kasus bilamana perubahan semua input menyebabkan peningkatan output dengan jumlah yang sama (b1 + b2 + … + bn) = 1. 2. Decreasing return to scale, timbul bilamana peningkatan semua input dengan jumlah yang sama menyebabkan peningkatan total output yang kurang proporsional (b1 + b2 + … + bn) < 1. 3. Increasing return to scale, terjadi bilamana peningkatan semua input menyebabkan peningkatan output yang lebih besar (b1 + b2 + … + bn) > 1 2.1.5. Fungsi Produksi Frontier Fungsi frontier adalah hubungan teknis antara faktor-faktor produksi dan produksi pada frontier yang posisinya terletak pada garis isokuan.
Menurut
Roger Le Rey Miller dan Roger E. Meiners dalam Togatorop, 2010), garis isokuan adalah sebuah garis dalam ruang input yang memperlihatkan semua kemungkinan kombinasi dua macam input yang secara fisik dapat menghasilkan suatu tingkatan output.
Universitas Sumatera Utara
Gambar 2.2 Kurva Isokuan
Sumber: Roger Le Rey Miller dan Roger E. Meiners dalam Togatorop, 2010
Suatu kurva isokuan menunjukkan kombinasi yang berbeda dari tenaga kerja dan barang modal yang memungkinkan dalam suatu proses produksi untuk menghasilkan jumlah output tertentu. Masing-masing kurva isokuan diatas mencerminkan kombinasi input yang berbeda. Semakin jauh letak kurva isokuan dari titik nol (semakin ke kanan) menunjukkan tingkat produksi yang semakin tinggi. Demikian pula sebaliknya, semakin ke kiri bawah maka semakin rendah tingkat outputnya. Apabila isokuan produsen bergerak ke kanan atas berarti produsen menaikkan skala produksinya atau melakukan perluasan usaha (ekspansi). Dengan ditentukannya kombinasi input maka diperlukan suatu batas kemungkinan produksi (production possibility frontier) agar produksi yang dilakukan dapat dicapai dengan optimal. Menurut Nicholson (2002), batas kemungkinan produksi (production possibility frontier) merupakan suatu grafik yang menunjukkan semua kemungkinan kombinasi barang-barang yang dapat diproduksi dengan sejumlah sumber daya tertentu seperti ditunjukkan pada gambar 2.3.
Universitas Sumatera Utara
Gambar 2.3 Batas Kemungkinan Produksi dan Efisiensi Teknis
Sumber: Nicholson, 2002
Pada gambar 2.3, garis batas PP’ memperlihatkan seluruh kombinasi dari dua barang (barang X dan Y) yang dapat diproduksi dengan sejumlah sumber daya yang tersedia dalam suatu perekonomian. Kombinasi keduanya pada PP’ dan didalam kurva cembung adalah output yang mungkin diproduksi. Alokasi sumber daya yang dicerminkan oleh titik A adalah alokasi yang tidak efisien secara teknis karena produksi dapat ditingkatkan. Titik B contohnya, berisi lebih banyak Y dan tidak mengurangi X dibandingkan dengan alokasi A.
Universitas Sumatera Utara
2.1.6. Usaha Mikro Kecil dan Menengah (UMKM) 2.1.6.1. Batasan Usaha Mikro, Kecil, dan Menengah Berbagai literature yang menjabarkan kategori usaha didasarkan pada asset, jumlah pekerja dan omset. Terdapat lima sumber yang dapat dipakai sebagai acuan yaitu, UU No. 9095 Tentang Usaha Kecil, BPS, Menteri Negara Koperasi dan UKM, Bank Indonesia, dan Bank Dunia. Pada UU No. 9/1995 terdapat defenisi untuk usaha kecil dan cenderung mengabaikan usaha mikro dan usaha menengah.
Undang-Undang tersebut
membuat klasifikasi sederhana dengan mengelompokkan dua dunia usaha, yaitu usaha kecil dan usaha besar. Bank Indonesia membuat definisi yang lebih kualitatif untuk usaha mikro. Lebih jelas mengenai penjabaran kategori usaha tersebut dapat dilihat pada Tabel 2.1.
Universitas Sumatera Utara
Tabel 2.1 Penjabaran Kategori Usaha Mikro, Usaha Kecil, dan Usaha Menengah Lembaga UU No 9 Tahun 1995
BPS
Menteri Koperasi UKM
Usaha Mikro
Usaha Kecil Usaha Menengah Aset = Rp 200 juta di luar tanah dan bangunan. Omset = Rp 1 milyar setahun Pekerja < 5 orang, Pekerja 5-9 orang Pekerja 20-99 termasuk tenaga orang kerja keluarga Negara Aset < Rp 200 juta Aset > Rp 200 dan di luar tanah dan juta. Omset antara bangunan. Omset Rp 1 milyar–Rp < Rp 1 milyar 10 milyar/tahun /tahun. Independen
Bank Indonesia
Dijalankan oleh Aset < Rp 200 rakyat miskin atau juta. Omset < Rp 1 mendekati miskin, milyar bersifat usaha keluarga, menggunakan sumber daya lokal, menerapkan teknologi sederhana dan mudah keluar masuk industri.
Bank Dunia
Pekerja < 10 orang. Aset < $100 ribu. Omset < $100 ribu per tahun
Untuk kegiatan industri, aset < Rp 5 milyar, untuk lainnya (termasuk jasa) asset < Rp 600 juta di luar tanah dan bangunan. Omset < Rp 3 milyar per tahun.
Pekerja < 50 Pekerja < 300 orang. Aset < $3 orang. Aset < $ 15 juta. Omset < $3 juta. Omset < $ 15 juta per tahun juta per tahun.
Sumber : Data diolah
Dalam penelitian ini yang digunakan adalah batasan kategori usaha kecil menurut Badan Pusat Statistik (BPS). Berdasarkan kategori BPS tersebut usaha keripik ubi di kota Langsa termasuk ke dalam usaha mikro.
Universitas Sumatera Utara
2.1.6.2. Perkembangan, Prospek, dan Permasalahan Usaha Mikro Kecil dan Menengah ( UMKM ) Berdasarkan berbagai studi diketahui bahwa dalam mengembangkan usahanya UMKM menghadapi berbagai kendala baik yang bersifat internal maupun eksternal, permasalahan-permasalahan tersebut antara lain : 1. Manajemen 2. Permodalan 3. Teknologi 4. Bahan baku 5. Informasi dan pemasaran 6. Infrastruktur 7. Birokrasi dan pungutan 8. Kemitraan Dari beragamnya permasalahan yang dihadapi UMKM, nampaknya permodalan tetap menjadi salah satu kebutuhan penting guna menjalankan usahanya, baik kebutuhan modal kerja maupun investasi. Pengembangan sektor UMKM bertumpu pada mekanisme pasar yang sehat dan adil. Langkah strategis yang perlu ditempuh demi keunggulan UMKM adalah sebagai berikut: Pertama, sumberdaya lokal (local resources) harus dijadikan basis utama, Karena salah satu karakter UMKM adalah melakukan proses efisiensi dengan mendekatkan sumber bahan baku. Kedua, pembentukan infrastruktur pendamping yang dapat membantu pelaku UMKM menghadapi lembaga pembiayaan, mengadopsi teknologi, dan mengakses pasar luas. Pusat
Universitas Sumatera Utara
inkubasi bisnis dapat dimulai masyarakat, tetapi harus didukung penuh pemerintah. Ketiga, hadirnya lembaga penjamin kredit merupakan pilihan tepat, karena rendahnya aksesibilitas UMKM terhadap lembaga pembiayaan berpangkal dari ketiadaan agunan. Keempat, penggunaan teknologi yang berbasis pengetahuan lokal (indigenous knowledge) dilakukan pemerintah bekerja sama dengan perguruan tinggi. Ketergantungan terhadap teknologi asing yang berbiaya tinggi harus segera diakhiri. Kelima, penyediaan informasi bagi pelaku UMKM terkait dengan peluang pasar dan pemanfaatan teknologi.
Keenam, meningkatkan
promosi produk dalam negeri di arena perdagangan lintas Negara.
Pelaku
UMKM yang terdiri dari kelompok pengrajin, pengusaha tekstil, pengolah bahan pangan, pedagang eceran sampai asongan telah membuktikan diri mampu bertahan dimasa krisis. 2.1.6.3. Ciri Umum Usaha Kecil Menengah ( UKM ) Ada beberapa hal yang merupakan ciri UKM dan usaha mikro. Menurut Mintzberg dan Husen dalam Siregar, 2010) bahwa sektor UKM sebagai organisasi ekonomi/bisnis mempunyai beberapa karakter seperti: 1) Struktur organisasi yang sangat sederhana; 2) Mempunyai kekhasan; 3) Tidak mempunyai staf yang berlebihan; 4) Pembagian kerja yang lentur; 5) Memiliki hierarki manajemen yang sederhana; 6) Tidak terlalu formal; 7) Proses perencanaan sederhana; 8) Jarang mengadakan pelatihan untuk karyawan; 9) Jumlah karyawan sedikit; 10) Tidak ada pembedaan aset pribadi dan aset perusahaan; 11) Sistem akuntansi kurang baik (bahkan biasanya tidak punya).
Universitas Sumatera Utara
Menurut
Prawirokusumo
dalam Siregar, 2010, jika dilihat
dari
kontribusinya terhadap PDB dan penyerapan tenaga kerja, UKM secara umum memiliki karakteristik sebagai berikut: 1. Fleksibel, dalam arti jika menghadapi hambatan dalam menjalankan usaha akan mudah berpindah ke usaha lain. 2. Dari sisi permodalan, tidak selalu tergantung pada modal dari luar, UKM bisa berkembang dengan kekuatan modal sendiri. 3. Dari sisi pinjaman (terutama pengusaha kecil sektor tertentu seperti pedagang) sanggup mengembalikan pinjaman dengan bunga yang cukup tinggi 4. UKM tersebar diseluruh Indonesia dengan kegiatan usaha di berbagai sektor, merupakan sarana distributor barang dan jasa dalam rangka melayani kebutuhan masyarakat. Berdasarkan penjabaran diatas UKM merupakan suatu unit organisasi yang sederhana. Karena lingkup usahanya terbatas maka UKM tidak menggunakan tenaga kerja secara berlebihan. Tenaga yang ada sering dimanfaatkan secara maksimal. Hal ini dilihat bahwa tenaga di UKM dapat mengerjakan beberapa jenis pekerjaan yang berlainan. Dengan demikian mereka dapat menekan biaya tenaga kerja. Biasanya tenaga kerja yang terlibat di UKM bisa bertahan lama karena hubungan yang dikembangkan di sana adalah pola kekeluargaan. Ini menjadi karakteristik UKM di mana hubungan antara pengusaha dan pekerja besifat tidak formal. 2.1.7. Efisiensi Efisiensi tertumpu pada hubungan antara output dan input. Efisiensi mencerminkan hasil perbandingan antara output fisik dan input fisik. Semakin
Universitas Sumatera Utara
tinggi rasio output terhadap input maka semakin tinggi tingkat efisiensi yang dicapai
(Widyananto,
2010).
Dikatakan
efektif
bila
produsen
mengalokasikan sumberdaya yang mereka miliki sebaik-baiknya.
dapat
Dikatakan
efisien bila tidak ada barang yang terbuang percuma atau penggunaannya seefektif mungkin untuk memenuhi keinginan masyarakat (Paul Samuelson dalam Togatorop, 2010). Miller dan Meiners dalam Banjarnahor, 2013) memperjelas konsep efisiensi dengan membaginya ke dalam dua jenis yaitu efisiensi teknis dan efisiensi ekonomis. 2.1.7.1. Efisiensi Teknis Alokasi sumber
daya yang efisien secara teknis adalah suatu
pengalokasian sumber daya yang tersedia sedemikian rupa, sehingga untuk memproduksi satu atau lebih produk menyebabkan pengurangan produksi barang-barang lainnya (Nicholson, 2002). Menurut Miller dan Meiners dalam Togatorop, 2010) efisien teknis (technical efficiency) mensyaratkan adanya proses produksi yang dapat memanfaatkan input yang sedikit demi menghasilkan output dalam jumlah yang sama. Efsiensi teknis didalam usaha keripik ubi ini dipengaruhi oleh kuantitas penggunaan faktor-faktor produksi. Proporsi penggunaan masing-masing faktor produksi berbeda-beda pada setiap pedagang, sehingga masing-masing faktor produksi memiliki tingkat efisiensi yang berbeda-beda. Seorang pengusaha dapat dikatakan lebih efisien dari pengusaha lain jika pengusaha tersebut mampu menggunakan faktor-faktor produksi lebih sedikit atau sama dengan pengusaha
Universitas Sumatera Utara
lainnya, namun dapat menghasilkan tingkat produksi yang sama atau bahkan lebih tinggi dari pengusaha lainnya. 2.1.7.2. Efisiensi Ekonomis Secara implisit, dalam konsep efisiensi ekonomis (economy efficiency), terkandung gagasan bahwa yang terbaik adalah yang paling hemat biaya (leastcost).
Pada setiap tingkatan output, suatu perusahaan akan memiliki proses
produksi secara ekonomis efisien jika perusahaan itu memanfaatkan sumber daya dan biaya paling murah / rendah untuk setiap unit outputnya (berapa pun total outputnya). Konsep efisiensi ekonomis juga diperjelas oleh Nicholcon (2002), dengan mendefinisikan bahwa alokasi sumber daya yang efisien secara ekonomis adalah sebuah alokasi sumber daya yang efisien secara teknis dimana kombinasi output yang diproduksi juga mencerminkan preferensi masyarakat. Menurut Soekartawi (2003), dalam terminologi ilmu ekonomi, maka pengertian efisiensi dibedakan menjadi tiga yaitu: efisiensi teknis, efisiensi harga dan efisiensi ekonomis. Penggunaan faktor produksi dikatakan efisien secara teknis (efisiensi teknis) jika faktor produksi yang dipakai menghasilkan produksi yang maksimum. Dikatakan efisiensi harga atau efisiensi alokatif jika nilai produk marginal sama dengan harga faktor produksi yang bersangkutan dan dikatakan efisiensi ekonomis jika usaha pertanian tersebut mencapai kedua efisiensi yaitu efisiensi teknis dan efisiensi harga atau alokatif.
Untuk
menghitung efisiensi harga maka fungsi produksi yang digunakan adalah : Y
= AXb …………………………………………………………… (2.7)
Atau Log Y = Log A + b Log X
Universitas Sumatera Utara
Maka kondisi produksi marginal adalah : 𝜕𝜕𝜕𝜕
𝜕𝜕𝜕𝜕
= b (koefisien regresi)
b adalah koefisien regresi yang sekaligus menggambarkan elastisitas produksi. Dengan demikian, maka nilai produksi marginal (NPM) faktor produksi X, dapat ditulis sebagai berikut : NPM = bYPy / X ………………………………………………………
(2.8)
Dimana : b
= elastisitas produksi
Y
= produksi
Py
= harga produksi
X
= jumlah faktor produksi X
Kondisi efisiensi harga menghendaki NPMx sama dengan harga faktor produksi X, atau dapat dituliskan sebagai berikut : bYPy / X
= Px ……………………………………………………...
(2.9)
atau bYPy / XPx
=1
Dimana : Px
= harga faktor produksi X Dalam praktek, nilai dari Y, Py, X dan Px adalah diperoleh dari nilai rata-
ratanya, sehingga persamaan ialah: bYPy / XPx = 1 ………………………………………………………… (2.10) Jika (bYpy / XPx) > 1, hal ini berarti penggunaan faktor produksi X belum efisien. Agar bisa mencapai efisien, maka penggunaan faktor produksi X perlu ditambah.
Universitas Sumatera Utara
Jika (NPM / XPx ) < 1, hal ini berarti penggunaan faktor produksi X tidak efisien, sehingga perlu dilakukan pengurangan faktor produksi X agar dapat tercapai efisiensi. Nicholson (2002), mengatakan bahwa alokasi sumber daya disebut efisien secara teknis jika alokasi tersebut tidak mungkin meningkatkan output suatu produk tanpa menurunkan produksi jenis barang lainnya. 2.1.8. Produk Olahan Ubi Kayu Ubi kayu merupakan jenis bahan makanan yang memiliki rasa yang enak, mudah diolah, serta awet. Oleh karena itu, ubi kayu bisa diolah menjadi berbagai macam produk olahan. Produk olahan olahan ubi kayu diantaranya adalah tepung tapioka, peuyeum, keripik, tape, donat, tiwul dan sebagainya. Tepung tapioka telah banyak dimanfaatkan untuk bahan makanan, antara lain berbagai macam gorengan dan kue. Peuyeum dan tape dibuat dari ubi kayu yang dikukus, kemudian diberi ragi, makanan ini memiliki rasa asam manis. Produk olahan ubi kayu yang paling terkenal adalah keripik ubi kayu, yang dibuat dengan cara dipotong-potong, dikeringkan lalu digoreng. 2.2. Penelitian Terdahulu Pada penelitian ini, terdapat beberapa penelitian terdahulu yang digunakan sebagai referensi. Amri (2011), dengan judul penelitian “Analisis Efisiensi Produksi dan Pendapatan Usahatani Ubi Kayu (Studi Kasus Desa Pasirlaja, Kecamatan Sukaraja, Kabupaten Bogor)”. Menganalisis penerapan pedoman usahatani ubi kayu, pendapatan dan efisiensi penggunaan faktor-faktor produksi usahatani ubi kayu di Desa Pasirlaja. Analisis data yang digunakan adalah analisis kualitatif
Universitas Sumatera Utara
dan analisis kuantitatif. Analisis kualitatif meliputi keadaan umum usahatani ubi kayu serta penerapan pedoman usahatani ubi kayu.
Sedangkan analisis
kuantitatif berupa analisis pendapatan usahatani menggunakan R/C rasio dan analisis efisiensi produksi dengan model Cobb-Douglas.
Berdasarkan
pengolahan data diperleh hasil bahwa petani ubi kayu Desa Pasirlaja belum sepenuhnya menerapkan pedoman usahatani ubi kayu, usahatani ubi kayu Desa Pasirlaja memberikan keuntungan secara ekonomi bagi petani, penggunaan input pada usahatani ubi kayu Desa Pasirlaja belum optimal, dan terdapat ketidaksesuaian antara hasil analisis dengan literatur, dalam hal penggunaan input optimal untuk pupuk urea dan pupuk kandang. Banjarnahor
(2013),
dengan
judul
penelitian
“Analisis
Efisiensi
Penggunaan Faktor-Faktor Produksi Pada Tanaman Kopi Di Kabupaten Dairi”. Yang menganalisis pengaruh faktor produksi luas lahan, tenaga kerja, umur pohon, pupuk dan jenis kopi terhadap jumlah produksi kopi di kabupaten Dairi dan menganalisis efisiensi penggunaan faktor-faktor produksi dalam produksi kopi di Kabupaten Dairi. Teknik analisis data yang digunakan adalah analisis fungsi produksi Cobb-Douglas dan uji efisiensi. Berdasarkan pengolahan data diperoleh hasil bahwa faktor produksi yang berpengaruh positif dan signifikan terhadap produksi kopi pada taraf signifikan 1% adalah luas lahan, tenaga kerja dan jenis kopi. Sedangkan faktor produksi umur pohon berpengaruh negatif tetapi signifikan terhadap produksi kopi. Faktor produksi pupuk berpengaruh positif tetapi tidak signifikan terhadap produksi kopi. Faktor produksi pupuk, umur pohon kopi, lahan dan tenaga kerja belum efisien.
Universitas Sumatera Utara
Sinurat (2011), dengan judul penelitian “Analisis Peranan Sektor Industri Kecil Kacang Sihobuk Dalam Meningkatkan Pendapatan Masyarakat Di Kecamatan Sipoholon Tapanuli Utara”. Menganalisis pengaruh jumlah produksi, lama usaha dan modal awal usaha terhadap pendapatan pedagang kacang sihobuk di Kecamatan Sipoholon, dan menganalisis pengaruh industri kecil kacang sihobuk terhadap pendapatan masyarakat di Kecamatan Sipoholon.
Metode
analisis data yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode deskriptif dan metode analisis regresi linear berganda. Dari pengolahan data maka diperoleh hasil bahwa jumlah produksi, lama usaha, dan modal usaha memberikan pengaruh terhadap pendapatan pedagang kacang sihobuk di kecamatan Sipoholon, jumlah produksi dan lama usaha mempunyai pengaruh nyata terhadap pendapatan pedagang kacang sihobuk, tetapi modal awal tidak berpengaruh secara nyata terhadap pendapatan pedagang kacang sihobuk. 2.3. Kerangka Konseptual Beberapa variabel yang diperkirakan dapat menjelaskan produksi usaha keripik ubi yaitu: bahan baku yang tersedia, jumlah tenaga kerja, dan modal kerja. Variabel-variabel tersebutlah yang akan diteliti untuk membuktikan keefisienan usaha keripik ubi di daerah penelitian. Keterkaitan antar variabel tersebut digambarkan dalam kerangka konseptual pada gambar 2.4 Gambar 2.4 Kerangka Konseptual Usaha Keripik Ubi
• Produksi
• •
Jumlah Tenaga Kerja Bahan Baku Modal Kerja
Efisiensi Usaha Keripik Ubi
Universitas Sumatera Utara
2.4. Hipotesis Hipotesis dalam penelitian ini adalah : 1. Jumlah tenaga kerja berpengaruh positif terhadap jumlah produksi dalam usaha keripik ubi di Kecamatan Langsa Baro. 2. Bahan Baku berpengaruh positif terhadap jumlah produksi dalam usaha keripik ubi di Kecamatan Langsa Baro. 3. Modal kerja berpengaruh positif terhadap jumlah produksi dalam usaha keripik ubi di Kecamatan Langsa Baro.
Universitas Sumatera Utara