TINJAUAN PUSTAKA Pembangunan Pertanian dan Tantangannya Dewasa ini bangsa Indonesia tengah menghadapi sejumlah cobaan dan tantangan berat berupa krisis ekonomi dan monoter serta globalisasi yang diakselerasikan oleh perdagangan bebas dan ketidakseimbangan transformasi struktural.
Perdagangan bebas merupakan kenyataan yang sulit untuk
dihindarkan, karena sudah meliputi kecenderungan internasional, sehingga mengharuskan bangsa Indonesia untuk mempersiapkan diri menghadapi lingkungan baru tersebut (Solahuddin, 1999:1). Sejalan dengan krisis ekonomi yang telah berlangsung, dalam beberapa tahun terakhir bangsa Indonesia juga dihadapkan pada berbagai tekanan secara beruntun seperti adanya bencana gempa bumi di beberapa daerah, terjadinya kekeringan dan kebakaran hutan yang luas, terjadinya banjir di sejumlah daerah sehingga mengakibatkan pemerintah melakukan impor beras. Kondisi semua ini, tidak hanya menimbulkan ketidakstabilan sosial dan politik tetapi juga mengakibatkan rendahnya ketersediaan kebutuhan bahan pangan rakyat. Permasalahan kebutuhan pangan merupakan masalah yang sangat serius, karena dengan jumlah penduduk yang sangat besar (sekitar 203 juta orang pada tahun 1998 dan diperkirakan akan mencapai 220 juta orang pada tahun 2020) kebutuhan pasokan pangan akan bertambah besar pula. Solahuddin (1999:20) mengemukakan bahwa
sejarah pembangunan Indonesia menunjukkan bahwa
masalah keamanan pangan sangat erat kaitannya dengan stabilitas sosial politik nasional. Dengan demikian swasembada pangan mutlak harus dilaksanakan untuk memenuhi kebutuhan pangan secara mandiri.
Implikasi dari perdagangan bebas adalah menuntut produk-produk dari perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi dari masing-masing negara untuk saling berkompetisi dalam merebut dan menguasai pangsa pasar baik lokal maupun global.
Di bidang pertanian implikasinya adalah produk-produk
pertanian Indonesia harus bisa bersaing dengan prooduk-produk luar negeri dan mempunyai nilai jual yang tinggi.
Kondisi ini merupakan tantangan dalam
menghadapi pembangunan pertanian masa depan. Sejalan dengan era globalisasi, pemerintah telah memberlakukan UndangUndang No. 22 tahun 1999 yang diperbaharuhi dengan Undang-undang No32 tahun 2004 tentang Otonomi Daerah. Dengan diberlakukannya undang-undang tersebut, mengakibatkan terjadi perubahan-perubahan dalam penyelenggaraan pemerintahan, termasuk dalam hal ini penyelenggaraan penyuluhan pertanian yang telah mengalami perubahan paradigma. Penyelenggaraan
penyuluhan
pertanian
yang
dulunya
menjadi
kewenangan pemerintah pusat menjadi kewenangan pemerintah kabupaten/kota, pendekatan penyuluhan pertanian yang dahulu bersifat top down menjadi pendekatan bottom up, pendekatan penyuluhan yang bersifat intruksi menjadi pendekatan penyuluhan yang bersifat partisipatif dan pembangunan pertanian yang berorientasi produksi berubah menjadi pembangunan pertanian yang berorientasi agribisnis. Adanya perubahan-perubahan tersebut, menuntut adanya kesiapan sumberdaya manusia yang berkualitas, khususnya para petani dan penyuluh pertanian sebagai pelaku utama pembangunan pertanian.. Dengan bergulirnya era otonomi daerah ini, Sumardjo (2006:2) mengidentifikasi beberapa kendala penyuluhan pertanian yaitu (1) citra penyuluhan di mata para penyelenggara penyuluhan di daerah menjadi kurang baik, (2) pemahaman filosofi penyuluhan dari para penyelenggara penyuluhan cukup beragam, sehingga penyuluhan dianggap bertentangan dengan paradigma reformasi pembangunan, (3) penyuluhan di anggap sebagai penerangan, propaganda, indoktrinasi dan yang lebih fatal lagi adalah penyuluhan semakin ditinggalkan karena tidak tampak secara langsung meningkatkan pendapatan asli daerah (PAD).
Sejalan dengan era globalisasi dan otonomi daerah, perkembangan dan tuntutan petani juga semakin meningkat.
Kondisi petani pada masa kini
menunjukkan adanya peningkatan wawasan, pengetahuan, kemampuan dan sikap kritis terhadap pembangunan. Sebagian petani telah dapat menyelenggarakan penyuluhan pertanian sendiri yang ditandai dengan munculnya pusat pelatihan yang dimiliki oleh petani yang menyebar di seluruh Indonesia. Pada sisi lain, sebagian kondisi petani juga masih banyak yang memprihatinkan.
Data BPS (2003) menunjukkan bahwa dari aspek sosial
ekonomi, tingkat pendidikan sebagian besar petani Indonesia sangat rendah yaitu 45% tamat SD, tidak tamat SD dan 12% tidak sekolah. Mereka berusia tua, di mana 76,2% berumur antara 50-4 tahun, dan 21,46% berusia di atas 56 tahun. Selain itu, mereka berlahan sempit (di jawa kurang dari 0,25 hektar/KK), bermodal kecil dan memiliki produktivitas yang rendah dengan tingkat pendapatan rata-rata hanya mencapai Rp.2,33 juta/kapita/tahun. Melihat uraian dari pembangunan pertanian dan tantangannya seperti telah dijelaskan terdahulu, maka pembangunan pertanian, dalam hal ini penyuluhan pertanian perlu untuk mengatisipasinya dan harus bertindak untuk menghadapi perubahan yang ada. Konsekwensi logis dari tantangan tersebut, salah satunya adalah perlunya sistem penyuluhan yang jelas dan kredibel serta didukung oleh sumberdaya manusia yang berkualitas, khususnya penyuluh pertanian yang berkompeten dan profesional dalam mengimplementasikan program-program pembangunan pertanian. Kebijakan Pemerintah dalam Pembangunan Pertanian Sektor pertanian hingga saat ini masih tetap memiliki peranan yang strategis dalam pembangunan nasional, baik bagi pertumbuhan ekonomi maupun pemerataan pembangunan. Peranan strategis sektor pertanian bagi pertumbuhan ekonomi antara lain ditunjukkan oleh kedudukan sektor pertanian sebagai kontributor bagi; (1) pembentukan Produk Domestik Bruto, (2) penyediaan dan peningkatan devisa negara melalui ekspor hasil pertanian, dan (3) penyediaan bahan baku industri.
Peranan strategis sektor pertanian bagi pemerataan
pembangunan antara lain ditunjukkan oleh kedudukannya sebagai sumber: (1) ketahanan pangan, (2) penyedia lapangan kerja, (3) peningkatan pendapatan, daya beli masyarakat dan pengentasan kemiskinan, dan (4) peningkatan pasar dalam negeri. Berkaitan dengan peranan sektor pertanian tersebut, Kabinet Bersatu pimpinan Presiden Susilo Bambang Yudoyono telah menetapkan program pembangunan dengan strategi tiga jalur (triple track strategy) yang berazas progrowth, pro-employment dan pro-poor. Operasional konsep strategi tiga jalur tersebut dirancang melalui: (1) peningkatan pertumbuhan ekonomi di atas 6,5% pertahun melalui percepatan insvestasi dan ekspor; (2) pembenahan sektor rill untuk mampu menyerap tambahan angkatan kerja dan menciptakan lapangan kerja baru; dan (3) revitalisasi sektor pertanian dan pedesaan untuk berkontribusi pada pengentasan kemiskinan. Krisnamurthi (2005:11), mengemukakan bahwa revitalisasi sebagai kesadaran untuk menempatkan kembali arti penting secara proporsional dan konstektual.
Rivitalisasi juga berarti untuk menyegarkan kembali ‘vitalitas
pertanian’, memberdayakan kemampuannya, dan meningkatkan kinerjanya. Pendapat lain, Apriyanto (Sastraatmaja, 2005) mengemukakan bahwa revitalisasi pertanian adalah pilihan maupun skenario pembangunan pertanian yang cukup tepat dan akan ditempuh melalui tiga program pokok yaitu (1) program peningkatan ketahanan pangan, (2) program pengembangan agrobisnis, dan (3) program peningkatan kesejahteraan petani. Untuk menajamkan kebijakan program pembangunan pertanian berupa revitalisasi pertanian tersebut, Departemen Pertanian telah mengoperasionalkan ketiga program tersebut sebagai berikut: (1) program peningkatan ketahanan pangan, operasional program ketahanan pangan akan dilakukan melalui peningkatan produksi pangan, menjaga ketersediaan pangan yang cukup, aman dan handal di setiap daerah, setiap saat dan antisipasi agar tidak terjadi kerawanan pangan, (2) program peningkatan
pengembangan agrobisnis, operasionalisasi
program pengembangan agribisnis dilakukan melalui pengembangan sentra kawasan agribisnis komoditas unggulan. Melalui program ini diharapkan akan tumbuh kawasan-kawasan agribisnis
komoditas unggulan berdaya saing dan
bernilai tinggi, sehingga berperan dalam peningkatan kesejaterahan petani dan pengembangan ekonomi nasional maupun regional, dan (3) program peningkatan kesejahteraan petani,
operasional peningkatan kesejahteraan petani ditujukan
dalam rangka fasilitasi pemberdayaan petani terhadap sumberdaya produktif dan perlindungan terhadap petani serta usahanya. Pelaksanaannya ditempuh melalui pemberdayaan penyuluhan, pendampingan, penjaminan usaha, perlindungan harga gabah, kebijakan proteksi dan promosi lainnya. Konsekwensi logis dari kebijakan program pembangunan ini, perlu didukung oleh adanya sistem penyuluhan pertanian yang jelas dan sumberdaya manusia yang berkualitas, khususnya penyuluh pertanian yang kompeten dan profesional dalam mengimplementasikan program revitalisasi pertanian. Konsep Kompetensi Pengertian Kompetensi Konsep kompetensi diawali pada tahun 1973 oleh
Mc.Clelland yang
menulis tentang praktek-praktek rekrutmen untuk jabatan-jabatan civil service. Dalam tulisannya dikemukakan bahwa adanya ketidakcocokan penggunaan tes-tes psikologi dan intelegensi terstandaridisasi seperti tes-tes IQ dan Minnesota multiphasic personality Innventory, untuk jabatan-jabaatn tertentu. Berdasarkan ketidakcocokan tersebut, Mc.Clelland menyarankan penggunaan pengukuran kompetensi untuk menggantikan tes-tes standar semacam itu. bahwa
“Jika
anda
akan
menguji
seberapa
baik
seorang
Dikatakannya polisi
atau
memprediksikan akan seberapa baik seorang calon polisi, selidiki apa saja yang dilakukan seorang polisi, ikuti dia, buat daftar apa saja aktivitasnya, dan ambil sampel dari daftar itu sebagai bahan ujian untuk para kandidat.” Rekomendasi serupa berlaku untuk penggunaan tes-tes standar psikologi di lingkungan organisasi dan perusahaan yang ketika itu dirancang untuk memprediksi kinerja akademis di lingkup pekerjaan, manajemen dan organisasi industri (Prihadi, 2004:81-82). Pada tahun yang sama, Mc.Clelland dan rekannya mendirikan perusahaan McBer untuk mempraktekkan gagasan mengenai pengukuran kompetensi. Berawal dari penelitian yang mempelajari sampel yang terdiri dari 2000 manajer
dari 41 jenis pekerjaan (job) dari 12 organisasi untuk menentukan kompetensikompetensi yang dibutuhkan manejer Dengan menggunakan metode assessment kompetensi job, dihasilkan sebuah daftar yang terdiri dari 21 tipe karakteristik yang dikelompokkan ke dalam enam cluster : (1) goal and action, (2) leadership, (3) human resource management, (4) directing subordinates, (5) focus on other, dan (6) specialized knowledge. Keseluruhan proses penelitian, hasilnya didokumentasikan oleh Boyatzis yang ketika itu menjadi presiden dan CEO McBer Company, menjadi sebuah buku karya Boyatzis dengan judul, The Competent Manajer (1982). Dari sinilah kemudian memicu popularitas istilah kompetensi hingga sekarang. Hingga kini banyak definisi mengenai kompetensi, hal ini sebagian besar disebabkan para ahli, penggagas dan organisasi-organisasi pengguna kompetensi
cenderung lebih
menyukai definisi mereka sendiri dari pada yang pernah digunakan sebelumnya. Berikut beberapa definisi kompetensi menurut para pakar: (1) Spencer dan Spencer (1993): Kompetensi merupakan segala bentuk tentang motif, sikap, ketrampilan, pengetahuan, perilaku atau karakteristik pribadi lain yang penting, untuk melaksanakan pekerjaan atau membedakan antara kinerja rata-rata dengan kinerja superior. (2) Boyatzis (1984): Kemampuan (ability) dan keterampilan (skill) yang dimiliki seseorang untuk melakukan pekerjaan/tugas guna mencapai tujuan. Kemampuan menggambarkan sifat (bawaan atau dipelajari) yang memungkinkan seseorang untuk melakukan sesuatu yang bersifat mental dan fisik. Sedangkan keterampilan berkaitan dengan pelaksanaan tugas untuk mencapai tujuan. (3) Yamin (2004): Kompetensi merupakan kemampuan dasar yang dapat dilakukan oleh seseorang pada tahap kognitif, afektif, psikomotorik. Kemampuan dasar ini akan dijadikan landasan melakukan proses pembelajaran dan penilaian seseorang. (4) Samana (1994): Seseorang dikatakan kompeten apabila seseorang menguasai kecakapan kerja atau keahlian selaras dengan tuntutan bidang kerja yang bersangkutan. Kecakapan kerja tersebut diwujudkan dalam perbuatan yang bermakna, bernilai sosial dan memenuhi standar tertentu yang diakui oleh kelompok profesinya dan warga masyarakat yang dilayani. (5) Sumardjo (2006):
Kompetensi merupakan kemampuan dan kewenangan yang dimiliki oleh seseorang untuk melakukan suatu pekerjaan, yang didasari oleh pengetahuan, ketrampilan dan sikap sesuai dengan unjuk kerja yang ditetapkan. Dari beberapa definisi yang dikemukakan oleh para pakar, terdapat polarisasi dua sudut pandang yang didasari asumsi yang berbeda yaitu : (1) pandangan pertama meletakkan perilaku sebagai fokus pemahaman terhadap kompetensi, dengan bertumpu pada asumsi bahwa hanya perilaku yang dapat diamati dalam latihan-latihan simulasi sebagai metode utama yang seharusnya menjandi saasaran pengukuran dalam evaluasi, dan (2) pandangan kedua meletakkan karakteristik mendasar individu sebagai titik berat dalam konsep mereka mengenai kompetensi. Di sini aspek perilaku manusia dianggap sebagai pucak permukaan sebuah gunung es. Aspek terpenting dalam kompetensi justru aspek-aspek mendasar pada diri manusia yang menjadi penentu perilaku seperti motivasi, traits, self-concept dan nilai-nilai pribadi. Selain itu, penggunaan istilah kompetensi memiliki dua makna yaitu : (1) digunakan untuk merujuk pada pekerjaaan atau peranan yang mampu dilakukan oleh seseorang dengan kompeten (job specification), dan (2) digunakan untuk merujuk pada dimensi-dimensi perilaku yang terletak di balik kinerja yang kompeten (person specification). Kompetensi
merupakan
karakteristik
mendasar
pada
orang
dan
mengidentifikasikan cara-cara berpikir atau berperilaku, melakukan generalisasi di berbagai situasi, dan menetap selama waktu yang cukup lama. Spencer dan Spencer (1993:9-10) mengemukakan ada lima tipe kompetensi yaitu : (1) Knowledge, kompetensi yang berkaitan dengan ilmu yang dimiliki individu dalam bidang pekerjaan tertetu. Misalnya, pengetahuan seorang dokter bedah mengenai saraf dan otot dalam tubuh manusia. (2) Skill, kompetensi yang berkaitan dengan unjuk kenerja fisik atau mental. Misalnya, kemampuan fisik seorang dokter gigi untuk menambal gigi tanpa merusak sarafnya. (3) Self concept, kompetensi yang berkaitan dengan sikap individu, nilai-nilai yang dianut serta citra diri. Misalnya, self-confidence dan belief seseorang bahwa ia dapat efektif dalam situasi apapun adalah bagian dari konsep orang itu mengenai dirinya.
(4) Traits, kompetensi yang berkaitan dengan karakteristik fisik dan respon yang konsisten atas situasi tertentu.
Misalnya, orang-orang yang bermotivasi
achievement konsisten menetapkan tujuan yang menantang untuk dirinya sendiri, memikul tanggung jawab pribadi untuk pencapaiannya, dan menggunakan feedback agar bisa bekerja dengan lebih baik (5) Motives, kompetensi yang berkaitan dengan pemikiran yang konstan dan mendorong individu bertindak atau berperilaku.
Misalnya, orang yang
bermotivasi achievement konsisten menetapkan tujuan yang menantang untuk dirinya sendiri, memikul tanggungjawab pribadi untuk pencapaiannya. Tipe kompetensi memiliki implikasi praktis bagi perencanaan SDM. Kompetensi pengetahuan dan ketrampilan cenderung berupa karakteristik orang yang terlihat dan relatif di permukaan. Kompetensi self-concept, trait dan motive lebih tersembunyi dan pusat bagi kepribadian. Pengembangan tipe kompetensi kelompok Hay-MacBer dapat dilihat pada Gambar 1.
KONWLEDGE SKILL SELF-CONCEPT : attitude Values,Self image TRAITS MOTIVES
Lebih Mudah diobservasi Lebih mudah dikembangkan Lebih sulit diobservasi Lebih sulit dikembangkan
Gambar 1. Konsep kompetensi model Ice Berg. Sumber : Spencer dan Spencer (Prihadi, 2004) Kompetensi-kompetensi pengetahuan dan ketrampilan relatif mudah dikembangkan. Salah satu cara pengembangannya adalah melalui pelatihan yang bisa menjamin kemampuan-kemampuan karyawan dalam aspek ini. Kompetensi self-concept terletak di antaranya. Sikap dan nilai seperti self-confidence dapat diubah melalui pelatihan, psikoterapi, dan/atau pengalaman developmental positif. Kompetensi trait dan motive berada pada gunung es kepribadian lebih sulit dikembangkan. Salah satu cara yang efektif untuk peningkatan kompetensi ini
adalah mengadakan seleksi untuk karakteristik ini Spencer dan Spencer (Prihadi, 2004:95). Jenis-jenis Kompetensi Berdasarkan Keputusan Menteri Negara Koordinator Bidang Pengawasan Pembangunan dan Pendayagunaan Aparatur Negara No. 19/KEP/MK.Waspan/5/ 1999, tugas pokok penyuluh petanian adalah menyiapkan, melaksanakan, mengembangkan, mengevaluasi, dan melaporkan kegiatan penyuluhan pertanian. Berdasarkan tugas pokok tersebut, paling tidak ada enam aspek kompetensi yang harus dimiliki oleh penyuluh pertanian yaitu: (1) persiapan penyuluhan pertanian yang meliputi identifikasi potensi wilayah agroekosistem, penyusunan programa penyuluhan pertanian dan penyusunan rencana kerja penyuluh pertanian, (2) pelaksanaan penyuluhan pertanian yang meliputi penyusunan materi penyuluhan pertanian,
penerapan
metode
penyuluhan
pertanian
dan
pengembangan
keswadayaan masyarakat, (3) evaluasi dan pelaporan penyuluhan pertanian, (4) pengembangan penyuluhan pertanian yang meliputi penyusunan petunjuk pelaksanaan dan petunjuk teknis penyuluhan pertanian, perumusan kajian arah kebijaksanaan pengembangan penyuluhan pertanian dan pengembangan metode dan sistem kerja penyuluhan pertanian, (5) pengembangan profesi penyuluhan pertanian yang meliputi penyusunan karya tulis ilmiah dan ilmiah bidang penyuluhan pertanian, penerjemahan atau penyaduran buku penyuluhan pertanian dan bimbingan penyuluh pertanian, dan (6) penunjang penyuluhan pertanian yang meliputi seminar dan lokakarya penyuluhan pertanian. Dari sudut pandang yang lebih luas Sumardjo (2006:6) mengemukakan beberapa aspek kompetensi bagi penyuluh sarjana berdasarkan kebutuhan pembangunan masyarakat yaitu (1) pemetaan agroekosistem (agroecosystem mapping), (2) komunikasi organisas,i (3) kemitraan (net working), (4) manajemen sistem agribisnis, (5) advokasi agribisnis, (6) manajemen kelembagaan kelompok/komunitas, (7) manajemen pelatihan, (8) prinsip-prinsip pendidikan orang dewasa, (9) metode pengembagan partisipasi (PRA), (10) metode dan tehnik berkomuniaksi efektif, (11) pengolahan dan analisis data agroekosistem, (12) Rapid Rural Appraisal (RRA), (13) metode dan tehnik penyuluhan, (14)
prinsip-prinsip pemberdayaan masyarakat, (15) perencanaan dan evaluasi penyuluhan, (16) teknologi informasi, (17) perancangan pesan multimedia, (18) penyusunan karya tulis ilmiah, (19) identifikasi kebutuhan, pengembangan motivasi dan kepemimpinan, dan (20) konsep-konsep pembangunan agropolitan. Dalam
kaitannya
dengan
penyelenggaraan
penyuluhan
pertanian,
Sumardjo (2006:4) mengemukakan bahwa ada delapan kompetensi yang diperlukan oleh penyuluh sarjana untuk dapat mendukung pelaksanaan pekerjaannya yaitu : (1) kemampuan berkomunikasi secara konvergen dan efektif, (2) kemampuan bersinergi kerjasama dalam tim, (3) kemampuan akses informasi dan penguasaan inovasi, (4) sikap kritis terhadap kebutuhan atau keterampilan analisis masalah, (5) keinovatifan atau penguasaan teknologi informasi dan disain komunikasi multi media, (6) berwawasan luas dan membangun jejaring kerja, (7) pemahaman potensi wilayah dan kebutuhan petani, dan (8) keterampilan berpikir logis (berpikir sistem). Pendapat lain, Kurniawan dan Jahi (2005) mengemukakan ada delapan kompetensi yang perlu dimiliki penyuluh di tingkat lapangan yaitu; (1) pengembangan program penyuluhan, (2) pengembangan partisipasi petani, (3) pendidikan petani, (4) penghargaan petani, (5) informasi petani, (6) sosial ekonomi petani, (7) komoditas pertanian , dan (8) komunikasi. Pada sudut pandang yang berbeda, sesuai dengan perkembangan atribusi dan perilaku usahatani para petani, Puspadi (2002:116-117) mengemukakan ada tujuh belas kompetensi yang perlu dikuasai penyuluh pertanian yaitu : 1) sistem sosial setempat, (2) perilaku petani, (3) analisis sistem, (4) analisis data, (5) merancang pendekatan penyuluhan, (6) perencanaan usaha pertanian, (7) manajemen teknologi, (8) ekonomi rumah tangga, (9) mengembangkan teknologi lokal spesifik, (10) memahami cara petani belajar, (11) pengembangan kelompok dan organisasi, (12) perilaku usaha, (13) peta kognitif petani, (14) teknologi produksi, (15) teknologi pasca panen, (16) usahatani sebagai bisnis, dan (17) proses pembangunan pertanian. Rogers (1983) mengemukakan bahwa seorang penyuluh dikatakan kompeten
apabila dia berhasil melaksanakan serangkaian tugasnya yang
mencakup; (1) kemauan dan kemapuan penyuluh untuk menjalin hubungan secara
langsung mamupun tidak langsung dengan masyarakat sasarannya; (2) kemauan dan kemapuan penyuluh untuk menjadi perantara/mediator antara sumber-sumber inovasi dengan pemerintah, lembaga penyuluhan dan masyarakat sasarannya; dan (3) kemauan dan kemampuan penyuluh untuk menyesuaikan kegiatan-kegiatan yang dilakukan dengan kebutuhan yang dapat dirasakan oleh pemerintah atau lembaga penyuluhan dan masyarakat sasarannya. Berdasarkan tugas-tugas penyuluh, tuntutan kompetensi sesuai dengan kebutuhan masyarakat, hasil-hasil penelitian terdahulu dan teori-teori terkait dengan kompetensi yang telah dijelaskan terdahulu, maka dapat dirumuskan kompetensi penyuluh dalam pembangunan pertanian yaitu (1) keefektivan komunikasi, (2) pemanfaatan media internet, (3) membangun jejaring kerja, (4) mengakses informasi, (5) pemahaman inovasi, (6) bekerjasama dalam tim, (7) analisis masalah, (8) berpikir secara sistem/logis, (9) pemahaman potensi wilayah, dan (10) pemahaman kebutuhan petani.
Selanjutnya, kesepuluh kompetensi
tersebut dijadikan peubah/indikator dalam penelitian ini untuk menentukan tingkat kompetensi penyuluh
dalam pembangunan.
Kesepuluh dimensi kompetensi
tersebut dijelaskan pada uraian berikut; Keefektifan Komunikasi Berlo (Levis,1996) mengemukakan bahwa komunikasi sebagai proses interaksi antara komunikator (sumber) dan komunikan (penerima), yakni komunikator memberikan pesan kepada komunikan dalam batas waktu dan ruang tertentu dengan menggunakan media dan metode tertentu.
Efektivitas
keberhasilan komunikasi ditentukan oleh unsur-unsur yang berperan dalam komunikasi yaitu (1) komunikator (sumber informasi) dan komunikan (penerima informasi), (2) isi pesan atau inovasi, dan (3) saluran/media komunikasi. Lebih jauh ditekankan bahwa, agar komunikasi berjalan secara efektif perlu diperhatikan beberapa hal berikut: (1) baik komunikator maupun komunikan harus memiliki antara lain: (a) kemampuan berkomunikasi, yang meliputi kemampuan menyusun tujuan komunikasi dan kemampuan menerjemahkan pesan ke dalam bentuk signal atau eksresi tertentu seperti dalam bentuk tulisan dan komunikasi secara interpersonal; (b) sikap, yang meliputi sikap terhadap diri
sendiri, sikap terhadap materi dan sikap terhadap sasaran atau yang diajak berkomunikasi; (c) pengetahuan tentang karakteristik sasaran, media, metode komunikasi dan sistem sosial budaya setempat; (2) isi pesan, disampaikan dengan menggunakan kode yang jelas seperti penggunaan bahasa harus jelas, tegas, lengkap dan mudah dimengerti; disajikan secara utuh, dan ada pengaturan atau treatmen; dan (3) saluran atau media, beberapa hal yang perlu diperhatikan antara lain; saluran yang sesuai dengan sasaran, saluran yang ekonomis, media mudah dibawa oleh sumber dan saluran yang sesuai dengan inovasi yang akan disampaikan. Mengacu pada konsep komunikasi di atas maka yang dimaksud dengan komunikasi secara efektif adalah proses penyampaian pesan dari seseorang kepada orang lain dengan menggunakan media atau saluran sehingga terjadi persamaan makna; artinya, pesan
yang disampaikan sumber bisa dan sama
dengan pesan yang diterima penerima dan terjadi timbal balik. Keefektifan komunikasi
dapat dilihat dari aspek perilaku seseorang yang meliputi aspek
kognitif, afektif dan psikomotorik, atas materi komunikasi (content area) dan atas teknik atau motede komunikasi (process area) terkait dengan penyampaian pesan penyuluhan kepada sasaran. Dalam kaitannya dengan materi komunikasi atau penyuluhan, Slamet (2001) mengemukakan konsep pelayanan jasa informasi, artinya petani memerlukan informasi baru yang relevan dengan
usahataninya.
Untuk itu,
penyuluh harus mampu menyiapkan, menyediakan dan menyajikan informasi yang dibutuhkan dalam bentuk dan bahasa yang mudah dimengerti petani. Hal senada, dikemukakan oleh Sumardjo (1999) bahwa selain pemahaman materi yang sesuai dengan kebutuhan petani (content area) penyuluh perlu memiliki kemampuan berkomunikasi secara interaktif/dialogis dengan petani. Sehubungan dengan itu, penyuluh perlu menguasai cara-cara berkomunikasi yang efektif dan metode-metode penyampaian pesan penyuluhan yang tepat kepada petani (process area).
Pemanfaatan Media Internet Berkaitan dengan dunia pendidikan, (Sadiman, 1986) mengemukakan bahwa media merupakaan segala sesuatu yang dapat digunakan untuk menyalurkan pesan
dan dapat merangsang pikiran, perasaan, perhatian dan
kemauaan siswa/peserta didik sehingga dapat mendorong terjadinya proses belajar pada diri siswa/peserta didik. Lionberger dan Gwin (1982) mengemukakan bahwa untuk mencapai komunikasi yang efektif media (saluran) harus dipertimbangkan dengan baik. Berlo (Levis, 1996) mengemukakan bahwa saluran komunikasi akan menentukan efektivitas komunikasi, karena itu dalam memilih saluran komunikasi perlu dipertimbangkan dulu siapa khalayaknya (Schramm dan Donald, 1973) dan bagaimana karakteristiknya (Rogers, 1983). Berdasarkan pada konsep media tersebut, media internet merupakan salah satu media yang dapat digunakan untuk menyalurkan pesan. Jaringan internet merupakan media yang paling cepat terinovasi ke segala penjuru dan paling adaptif dengan kebutuhan masyarakat dapat dihubungkan ke dalam jaringanjaringan internet. Jaringan internet menghubungkan komputer-komputer pribadi yang paling sederhana hingga komputer super canggih. Layanan yang diberikan internet saat ini sangat beragam, dan terus diinovasi sesuai dengan kebutuhan masyarakat seperti; e-mail, file transfer protocol (FTP) dan world wide web (www), e-commerce dane-fax. Dengan demikian, media internet dapat digunakan untuk mendapatkan dan bertukar informasi. Kempt (1975) mengemukakan bahwa penggunaan media (internet) dalam proses belajar mengajar akan memberikan manfaat antara lain; (1) bisa menyamakan persepsi terhadap materi yang disampaikan, (2) lebih menarik, (3) efisiensi waktu, (4) tidak terbatas ruang, dan (5) dapat meningkatkan kualitas belajar mengajar. Penggunaan media dalam proses belajar mengajar sudah tidak diragukan lagi manfaatnya. Anderson (1976) mengemukakan bahwa sebelum menggunakan media perlu dipertimbangkan alasan penggunaannya dan prosedur pemilihan media. Lebih jauh ditekankan bahwa media yang terpilih selanjutnya perlu dipertimbangan dengan beberapa kriteria seperti: (1) kemudahan diperolehnya, (2) keluwesan pemakaiannya, (3) kesesuaian dengan sumber-
sumber kondisi setempat, dan (5) keterbatasan yang ada (tenaga, fasilitas dan dana). Berdasarkan pada konsep media yang telah dijelaskan tersebut, maka yang dimaksud dengan pemanfaantan media internet adalah upaya seseorang untuk mendapatkan atau mengakses informasi melalui media internet untuk tujuan tertentu. Tujuan tersebut bisa terkait dengan pengembangan komunikasi atau pengembangan penyuluhan. Kemampuan penggunaan multimedia oleh seseorang (penyuluh pertanian) akan sangat membantu kelancaran dalam melaksanakan tugas pekerjaan.
Dalam kaitannya dengan penyelenggaraan penyuluhan,
Sumardjo (2007) mengemukakan bahwa penyuluh sudah memiliki kemampuan penggunaan media konvensional seperti kemampuan menggunakan dan memmanfaatkan poster, folder dan peta singkap, tetapi penggunaan multi media (internet) terkait dengan tugas-tugas penyuluh dirasakan masih kurang.
Membangun Jejaring Kerja Wayne
(Arsyad,
2002:11)
mengemukakan
bahwa
jejaring
kerja
merupakan proses aktif membangun dan mengelola hubungan-huungan yang produktif. Dalam aplikasi organisasi, jejaring kerja dirumuskan sebagai proses atau kegiatan untuk memelihara (nurture) dan mengintergrasikan (integrate) empat hal terpilih yaitu (1) kemampuan (capability), (2) bakat (talents), (3) hubungan (relationship), dan (4) mitra kerja (partners) untuk peningkatan kinerja organisasi.
Lebih jauh, dikemukakan tahapan yang dapat ditempuh dalam
membangun jejaring kerja adalah (1) mengadakan seleksi (selecting), (2) mengadakan penggalian (cultivating), dan (3) mengadakan mitra kerja (partnering). Menurut Hickman (Arsyad, 2002:12), beberapa tujuan yang dapat dibangun melalui jejaring kerja diantaranya; mempersatukan bakat, potensi, kemampuan, baik secara individu, kelompok maupun seluruh jajaran organisasi sehingga tercipta kemampuan pribadi maupun kemampuan bersama yang semakin besar.
Unsur pokok yang dapat membantu tercapainya tujuan jejaring kerja
adalah: (1) membina dan mengembangkan SDM, (2) mengembangkan kemampuan organisasi, (3) mewujudkan pencapaian tujuan bersama, dan (4)
membantu mengembangkan berbagai ragam maupun warna organisasi sehingga dapat mewujudkan peningkatan kemampuan di setiap jenjang organisasi secara menyeluruh. Konsep membangun jejaring kerja bisa dianalogikan dengan kemitraan. Hafsah (2003:43) mengemukakan bahwa kemitraan adalah suatu strategi bisnis yang dilakukan oleh dua pihak atau lebih dalam jangka waktu tertentu untuk meraih keuntungan bersama dengan prinsip saling membutuhkan dan saling membesarkan. Keberhasilan kemitraan sangat ditentukan oleh adanya kepatuhan di antara yang bermitra dalam menjalankan etika bisnis. mengemukakan bahwa
Mariotti (1996)
ada enam dasar etika berbisnis yaitu (1) karakter;
intergritas dan kejujuran; (2) kepercayaan; (3) komunikasi yang terbuka; (4) adil; (5) keinginan pribadi dari pihak yang bermitra; dan (6) keseimbangan antara insentif dan risiko. Lebih jauh, dikemukakan kemitraan merupakan proses yang dimulai dengan mengenal calon mitra, mengetahui posisi keunggulan dan kelemahan usahanya, memulai membangun strategi, melaksanakan dan terus memonitoring dan mengevaluasi sampai target sasaran tercapai. Mengacu pada konsep membangun jejaring kerja diatas maka yang dimaksud dengan membangun jejaring kerja adalah upaya membina hubungan kerja dengan pihakpihak lain yang terkait dalam rangka pencapaian tujuan bisnis. Dalam
kaitannya
dengan
program
agribisnis
Slamet
(2001)
mengemukakan bahwa dalam pembangunan pertanian berorientasi agribisnis, penyuluh pertanian perlu untuk merekontruksi dirinya kearah agribisnis. Kerja sama dengan koordinasi dengan badan-badan yang menangani produk-produk pengolahan dan pemasaran hasil serta pihak-pihak penyedia modal perlu dilakukan penyuluh untuk kepentingan bisnis petani. Dengan demikian, agar penyuluh bisa membantu bisnis petani dan melaksanakan program agribisnis dengan baik maka kemampuan penyuluh dalam membangun jejaring kerja atau menjalin kemitraan usaha perlu ditingkatkan. Akses informasi Globalisasi yang diiringi lompatan
teknologi dan komunikasi telah
menimbulkan pergeseran paradigma penyuluhan. Kini, saung pertemuan bukan lagi satu-satunya tempat berlangsungnya proses belajar mengajar. Mengapa bisa
begitu ? Pasalnya, kehadiran internet membuat siapa saja, termasuk petani, dapat mengakses informasi dari berbagai sumber. Informasi tersebut bisa berupa informasi pasar, teknologi, informasi iklim dan lain-lain. Pemanfaatan E-mail (elektronic mail) memungkinkan petani untuk bertukar informasi dengan sumber informasi dari berbagai tempat, bahkan berinteraksi dengan para pakar dari seluruh dunia. Konsekuensi logis dari perubahan tersebut, menuntut penyuluh untuk bisa berinteraksi dengan lingkungan dan sumber-sumber belajar yang lebih luas, dan memiliki kemampuan akses informasi melalui internet. Akses secara harfiah bisa diartikan jalan masuk. Akses merupakan upaya untuk mendapatkan informasi dari media atau sumber informasi. Slamet (2001:6) mengemukakan bahwa, informasi merupakan bahan mentah untuk dijadikan pengetahuan, dimana pengetahuan tersebut diperlukan untuk meningkatkan kualitas hidup. Lead (1996:18) mengemukakan bahwa informasi adalah data yang telah diproses atau data yang memiliki arti. Wiryanto (2004:29) mengemukakan bahwa informasi yang berkualitas ditentukan oleh kecermatan, ketepatan waktu dan relevansinya saat diperlukan. Pada sudut pandang petani, Van den Ban dan Hawkins (1999:43-45) mengemukakan bahwa untuk kepentingan usaha tani, petani mendapatkan pengetahuan dan informasi dari berbagai sumber baik dari lembaga penelitian maupun sumber informasi yang lain. Dengan demikian bisa dikatakan bahwa akses informasi merupakan
upaya atau aktivitas untuk
mendapatkan dan memanfaatkan informasi dari sumber informasi (internet) untuk tujuan tertentu. Dalam kaitannya dengan penyuluhan, Slamet (2003) mengemukakan bahwa untuk menjalankan profesinya, petani memerlukan informasi tentang usahataninya seperti teknologi budidaya, sarana produksi dan permintaan pasar. Dengan adanya informasi yang relevan dengan usaha taninya, akan membantu petani dalam mengubah keputusannya usahatani yang lebih menguntungkan. Kondisi ini, menuntut penyuluh untuk mampu menyiapkan dan menyediakan informasi yang dibutuhkan petani. Penguasaan Inovasi Inovasi merupakan gagasan, tindakan, atau teknologi, termasuk barang yang dianggap baru oleh seseorang (Rogers dan Shoemaker, 1971;Levis, 1996:21)
jika dikaitkan dengan perilaku manusia, suatu ide dianggap baru oleh seseorang maka ide itu adalah inovasi. Pada sudut pandang yang berbeda, Drucker (1994:21) mengemukkan bahwa inovasi adalah suatu alat untuk memanfaatkan perubahan sebagai peluang bagi bisnis/jasa yang berbeda. Rogers dan Shoemaker (1971:21-22) mengemukakan bahwa ada lima sifat-sifat inovasi yang dapat mempengaruhi tingkat adopsi inovasi; (1) inovasi akan dapat diadopsi jika memberikan keuntungan yang lebih dibanding dengan teknologi yang sudah ada sebelumnya (relative advantage), (2) inovasi akan lebih cepat diadopsi jika mempunyai kecocokan dengan nilai-nilai yang sudah ada sebelumnya (compatibility), (3) inovasi akan cepat diadopsi jika tidak rumit untuk dilaksanakan (complexity), (4)inovasi akan cepat diadopsi jika inovasi tersebut mudah untuk dicoba pada situasi dan kondisi yang ada ( triability), dan (5) inovasi akan mudah dan cepat diterima jika dengan cepat dapat dilihat hasilnya (observability). Butz (Dixon,1982:49-50) kemudian menambahkan satu unsur lagi yaitu (6) “input complementer” yaitu tersedianya sarana pelengkap untuk menerapkan inovasi tersebut. Salah satu permasalahan yang dihadapi dalam penyediaan dan pemanfaatan sumber daya penyuluhan pertanian adalah sulitnya mendapatkan informasi dan teknologi yang sesuai dengan kebutuhan spesifik lokalita karena terbatasnya kemampuan penyuluh pertanian untuk mengakses sumber-sumber informasi dan teknologi. Kondisi ini menyebabkan kurang berkembangnya pengetahuan, kemampuan dan wawasan penyuluh penyuluh pertanian untuk menyediakan materi penyuluhan yang dibutuhkan petani. Dalam kaitannya dengan kebutuhan teknologi oleh petani, Slamet (2001) mengemukakan bahwa teknologi yang dianjurkan pada petani haruslah teknologi yang telah diuji coba dan berhasil baik di daerah. Teknologi yang dikembangkan bukan terbatas pada aspek teknologi budidaya tetapi juga menyangkut aspekaspek sosial, ekonomi, dan budaya pertanian setempat serta informasi pasar dan bisnis
setempat.
Lebih
jauh
dikemukakan
bahwa
penyuluhan
yang
diselenggarakan untuk mendukung program pertanian (programme based extension) perlu diganti dengan penyuluhan yang dimaksud untuk memecahkan masalah dengan menggunakan hasil-hasil penelitian dan pengkajian lokal
(research based extension).
Untuk itu peran dan fungsi BPTP dalam
mengembangkan teknologi spesifik lokasi perlu ditingkatkan, dan perlu adanya keterkaitan antara peneliti, penyuluh dan petani (research extension lingkage) Kerjasama Tim Karnadi (2004:71) mengemukakan bahwa kerja sama merupakan kemampuan untuk menjalin hubungan dengan orang lain yang menjadi bagian dari suatu kelompok dalam melaksanakan suatu tugas. Montana (2005:14) mengemukakan bahwa dalam bekerja sama harus bisa menerima perbedaanperbedaan yang ada pada setiap orang. Dalam hal ini, seseorang harus bisa memperlakukan orang yang berbeda dengan kita respek atau menghormatinya dan memiliki hubungan pertemanan dengan orang yang berbeda. Tjiptono dan Diana (1998:165-166) mengemukakan bahwa kerja sama (tim) merupakan salah satu unsur fundamental dalam TQM. Tim merupakan kelompok orang yang memiliki tujuan bersama. Faktor-faktor yang mendasari perlunya dibentuk tim-tim dalam suatu perusahaan adalah (1) saling ketergantungan, (2) perluasan tugas, (3) penjajaran (4) bahasa yang umum, (5) kepercayaan/respek, (6) kepemimpinan, (7) keterampilan pemecahan masalah, (8) keterampilan menangani konflik, (9) penilaian / tindakan, dan (10) perayaan. Menurut Curtis (Wirasasmita, 2002:152), sebuah kelompok memiliki lebih banyak akses sumber informasi dibandingkan seseorang yang bertindak sendirisendiri.
Sebuah kelompok memiliki kesempatan yang lebih besar dalam
mengembangkan penyelesaiaan yang berkualitas suatu masalah daripada seseorang yang bertindak sendiri-sendiri,
kecuali jika satu-satunya pembuat
keputusan itu adalah seseorang yang ahli menyelesaikan masalah tertentu. Lebih jauh dikemukakan, kekuatan gabungan orang-orang yang berpikir bersama menghasilkan produk yang lebih baik daripada yang dipikirkan oleh individu pemikir terbaik dalam suatu kelompok tersebut. Pengaruh kerja sama ini merupakan salah satu kebutuhan terpenting dalam kerja pada sebuah kelompok kecil. Pemikiran kelompok kecil yang bekerja sama tidak dapat dicapai oleh individu yang berpikir sendirian.
Dengan demikian bisa dikatakan bahwa
kerjasama dalam tim merupakan upaya seseorang untuk menjalin hubungan dengan pihak lain dalam rangka untuk mencapai tujuan kelompok/tim.
Analisis Masalah Setiap orang atau organisasi pasti menghadapi masalah. Menurut Tjiptono dan Diana (1998:187), masalah adalah setiap situasi di mana apa yang terjadi tidak sesuai dengan apa yang diharapkan. Semakin besar perbedaan tersebut, semakin besar pula masalahnya. Masalah yang ada perlu dicari pemecahaannya dengan menggunakan pendekatan analisis masalah (berpikir analitis). Menurut Karnadi (2004:76), berpikir analitis atau analisis masalah adalah kemampuan untuk memahami situasi atau masalah dengan menguraikan masalah tersebut menjadi bagian-bagian yang lebih rinci, dan mengidentifikasi penyebab dari situasi atau masalah tersebut serta memprediksikan akibatnya. Soemartopo (1999:25) mengemukakan bahwa analisis masalah merupakan suatu pendekatan sistematis untuk menemukan penyebab dari suatu masalah. Ada beberapa pendekatan dalam analisis masalah. Soemartopo (1999:25) mengemukakan ada enam langkah dalam analisis masalah yaitu; (1) merumuskan masalah, (2) membuat spesifikasi penyimpangan, (3) mencari perbedaan dan perubahan, (4) membuat daftar kemungkinan penyebab, (5) menguji kemungkinan penyebab, dan (6) verifikasi penyebab yang sebenarnya..
Menurut Daming
(Tjiptono dan Diana, 1998:188), ada empat langkah dalam pemecahan masalah (Siklus Daming) yaitu (1) mengembangkan rencana untuk perbaikan (plan), (2) melaksanakan rencana yang dibuat (do), (3) memeriksa hasil yang dicapai (study), dan (4) melakukan penyesuaian bila diperlukan (act). Perry Johnson (Goetsch dan Davis, 1994:232-240) mengemukakan bahwa ada tiga karakteristik dalam pemecahan masalah yaitu 1) mengutamakan kerjasama tim dalam pemecahan masalah, 2) berpikir pada perbaikan berkesinambungan, dan 3) memperlakukan masalah sebagai suatu yang wajar atau normal karena adanya perubahan. Lebih jauh dikemukakan bahwa ada delapan langkah dalam pemecahan masalah yaitu (1) membentuk tim pemecahan masalah, (2) mendiskusikan daftar masalah yang dihadapi, (3) membatasi daftar masalah, 4) mendefinisikan masalah, (5) memilih dan memprioritaskan masalah yang akan diatasi, (6) mengumpulkan informasi mengenai masalah yang dihadapi, (7) berusaha menemukan solusi yang optimal, dan (8) implementasi solusi optimal.
Model-model pemecahan masalah yang ada dapat menghasilkan keputusan yang baik asalkan keputusannya berdasarkan fakta. Bila informasinya terdistorsi opini pribadi, maka keputusannya tidak mungkin baik. Daming (Tjiptono dan Diana, 1998:1192-199) mengajukan cara pemecahan masalah melalui Statistical Process Control (SPC) yang dilandasi dengan tujuh alat statistik yaitu (1) diagram sebab dan akibat, (2) Check sheet, (3) diagram,Pareto, (4) run chart dan control chart, (5) histogram, (6) stratifikasi, dan (7) scatter diagram. Alat-alat ini berguna dalam mengumpulkan informasi yang obyektif untuk dijadikan dasar pengambilan keputusan. Berkaitan dengan penjelasan di atas, maka yang dimaksud dengan analisis masalah adalah upaya
mengidentifikasi dan memecahkan masalah
dengan menggunakan pendekatan atau metode pemecahan masalah untuk maksud mencapai tujuan tertentu. Dalam
kaitannya
dengan
permasalahan
petani,
Slamet
(2003)
mengemukakan bahwa penyuluhan pertanian di tingkat lapangan perlu diberi otonomi untuk menentukan sendiri bersama kelompok tani program-program yang akan dilaksanakan.
Untuk itu, penyuluh harus benar-benar mampu
mengidentifikasi permasalahan atau kepentingan petani dan menuangkannya dalam program-program penyuluhan melalui kerjasama sejati dengan petani. Konsekwensi dari kondisi ini, perlu adanya peningkatan kemampuan penyuluh dalam menganalisis permasalahan penyuluhan dan permasalahan yang dihadapi petani. Berpikir Sistem/logis Secara umum sistem berarti benda, peristiwa, kejadian atau cara yang terorganisasi yang terdiri atas bagian-bagian yang lebih kecil dan seluruh bagian tersebut secara bersama-sama berfungsi untuk mencapai tujuan tertentu (Suparman, 1997:4). Suatu benda atau peristiwa disebut sistem bila memenuhi empat karakteristik secara serentak yaitu (1) dapat dibagi menjadi bagian-bagian yang lebih kecil, (2) setiap bagian tersebut mempunyai fungsi tersendiri, (3) seluruh bagian itu melakukan fungsi secara bersama, dan (4) fungsi bersama yang dilakukannya mempunyai suatu tujuan tertentu. Contoh sistem antara lain; mobil, televisi dan proses peredaran darah.
Menurut Gordon (Suryadi dan Ramdhani, 2002:7), sistem sebagai suatu agregrasi atau kumpulan obyek-obyek yang terangkai
dalam interaksi dan
kesalingketergantungan yang teratur. Robert dan Michael (1991) mengemukakan bahwa sistem sebagai suatu kumpulan dari elemen-elemen yang saling berinteraksi membentuk kesatuan, dalam interaksi yang kuat maupun lemah dengan pembatas sistem yang jelas. Murdick et,al. (1995) mengemukakan bahwa sistem sebagai sekumpulan elemen-elemen yang berada dalam keadaan yang saling berhubungan untuk suatu tujuan yang sama. Pada sudut pandang yang berbeda, berkaitan dengan pengembangan intruksional,
menurut Gagne (Suparman, 1997:8-10), sistem intruksional
merupakan set peristiwa yang mempengaruhi mahasiswa sehingga terjadi proses belajar mengajar. Lebih jauh, dikemukakan bahwa untuk mengembangkan sistem intruksional yang sesuai dengan mata pelajaran, program pendidikan dan mahasiswa
tertentu
telah
pengembangan intruksional.
berkembang
suatu
teknologi
yang
disebut
Pendekatan sistem pengembangan intruksional
meliputi mengidentifikasi subsistem yang menjadi bagian dari sistem, mengidentifikasi fungsi dan kaitan setiap subsistem yang satu dengan yang lain, mengembangkan setiap sub sistem, mensintesis semua sub sistem yang ada di dalamnya menjadi satu kesatuan, dan kemudian mengevaluasi fungsinya sebagai suatu sistem keseluruhan. (Gambar 2) Mengidentifikasi
Mengembangkan
Mengevaluasi
Merevisi Gambar 2 . Bagan sederhana pendekatan sistem Penyuluhan pertanian merupakan suatu sistem pendidikan non formal dengan tujuan untuk mengubah perilaku klien sesuai dengan yang direncanakan yakni upaya memberdayakan
klien agar lebih berdaya secara mandiri.
Penyuluhan terdiri dari subsistem atau bagaian-bagian seperti subsistem/bagian pengembangan SDM (penyuluh dan sasaran penyuluhan), bagian perencanaan
program, bagian kelembagaan, bagian sarana prasarana dan administrasi dan keuangan. Agar tujuan penyuluhan pertanian bisa tercapai, maka bagian-bagian tersebut harus saling berinteraksi dan bekerjasama dalam mencapai tujuan penyuluhan Berdasarkan pada konsep sistem yang telah dijelaskan di atas, maka yang dimaksud dengan berfikir sistem/logis dalam penyuluhan adalah upaya untuk mensistesis dan
mengembangkan komponen-komponen penyuluhan seperti
kelembagaan, metode,
sarana, SDM penyuluhan
dan program penyuluhan
menjadi satu kesatuan fungsi untuk mencapai penyuluhan. Pemahaman Potensi Wilayah Dalam pelaksanaan penyuluhan pertanian, seorang penyuluh perlu mengenal sasarannya dan beragam kekuatan yang mempengaruhi proses perubahan, yang menyangkut lingkungan fisik, sosial dan lainnya atau potensi wilayah.
Departemen pertanian ( 2001:22) mengemukakan bahwa potensi
wilayah merupakan semua sumberdaya yang tersedia, yang dapat digunakan untuk mengatasi masalah yang ada dalam upaya untuk mencapai tujuan. Potensi wilayah bisa berupa fisik seperti lahan dan sumber air, dan berupa non fisik seperti minat dan pengetahuan petani. Mardikanto (1996:221-222) mengemukakan bahwa dalam pelaksanaan penyuluhan, seorang penyuluh mutlak harus mengenal potensi wilayah kerja. Karena dengan mengenal dan memahami potensi wilayah akan dapat membantu penyuluh dalam memahami; (1) keadaan masyarakat yang akan menjadi sasaran penyuluhan, (2) keadaan lingkungan fisik dan sosial masyarakat sasaran, (3) masalah-masalah yang pernah, sedang, dan akan dihadapi oleh masyarakat sasaran di masa datang, (4) kendala-kendala yang akan dihadapi dalam melaksanakan penyuluhan, dan (5) faktor-faktor pendukung dan pelancar kegiatan penyuluhan yang akan dilaksanakannya. Informasi dan data tentang potensi wilayah sangat diperlukan dalam pengembangan usahatani. Untuk itu, diperlukan penyuluh pertanian yang mampu untuk mengidentifikasi dan menganalisis potensi wilayah.
Identifikasi dan
analisis potensi wilayah merupakan proses penggalian informasi (masalah, potensi
dll), berupa data primer dan sekunder, dan menterjemahkannya untuk merumuskan alternatif pola pengembangan usahatani, berupa rancangan pemanfaatan sumberdaya, alternatif jenis komoditas prioritas serta sistem usahatani yang sesuai di wilayah tersebut. Dalam kaitannya dengan pemahaman potensi wilayah, Slamet (2003) mengemukakan bahwa penyuluh perlu lebih memusatkan
kepada kebutuhan
pertanian dan petani setempat, ekosistem daerah kerja, ciri-ciri lahan dan iklim di daerah setempat harus dikuasai serta informasi-informasi yang disediakan harus sesuai dengan wilayah setempat.
Dengan demikian bisa dikatakan bahwa
pemahaman potensi wilayah adalah upaya untuk
menggali, mengidentifikasi
sumberdaya yang tersedia, untuk merumuskan keadaan dan mengatasi masalah yang ada terkait dengan kebutuhan petani. Pemahaman Kebutuhan Petani Kebutuhan merupakan kesenjangan antara fakta, situasi yang ada dengan apa yang seharusnya terjadi atau situasi yang diinginkan.
Menurut Maslow;
Doyal dan Gough (Ibrahim, 2001:44), kebutuhan menjadi suatu yang melatarbelakangi tindakan manusia dan interaksi manusia. Kebutuhan dapat menimbukan dorongan
(drivers) bagi seorang atau sekelompok orang untuk
melakukan sesuatu. Kebutuhan bisa mengarahkan tujuan dan strategi baik secara implisit dan eksplisit. Newton (Ibrahim, 2001:144), seseorang akan lebih termotivasi bila orang tersebut sedang berusaha mencari atau memenuhi kebutuhan yang sedang dicari daripada kebutuhan yang sudah mereka penuhi. Maslow (1970) mengemukakan bahwa ada lima kebutuhan dasar manusia yaitu (1) kebutuhan fisiologis (the phycological needs), (2) kebutuhan rasa aman (the safety needs), (3) kebutuhan rasa memiliki dan cinta (the belongingness and love needs), (4) kebutuhan akan penghargaan (the esteem needs), dan (5) kebutuhan aktualisasi diri (the needs for self-actualization). Pada sudut pandang yang berbeda, Ibrahim (2001:91-95) mengemukakan beberapa kebutuhan petani yaitu (1) kebutuhan untuk meningkatkan produktivitas, (2) kebutuhan keamanan usaha, (3) kebutuhan kesinambungan usaha, dan (4) kebutuhan identitas petani.
Dalam kaitannya dengan kebutuhan petani, Slamet (2003) menekankan bahwa kebutuhan atau kepentingan petani harus
selalu menjadi titik pusat
perhatian penyuluhan pertanian. Kebutuhan petani sederhana yaitu mendapatkan imbalan yang wajar dan adil dari jerih payah dan pengorbanan lainnya dalam berusahatani, dan mendapatkan kesempatan untuk memberdayakan dirinya sehingga mampu mensejajarkan dirinya dengan unsur masyarakat lainnya. Sehubungan dengan itu, penyuluh harus lebih mendekatkan diri dengan petani. Penyuluh harus benar-benar mampu mengidentifikasi dan menetapkan kebutuhan petani serta menuangkan dalam program-program penyuluhan
dipecahkan
melalui kerjasama sejati dengan petani. Dalam kaitannya dengan peningkatan kompetensi penyuluh dalam pembangunan pertanian, maka kompetensi penyuluh berdasarkan tugas-tugas pokok penyuluh seyogianya perlu disesuaikan dengan kompetensi berdasarkan tuntutan kebutuhan masyarakat yang terus berkembang. Sehubungan dengan itu, perlu ada rumusan baru tentang kompetensi penyuluh. Penelitian ini mencoba merumuskan sepuluh kompetensi penyuluh dalam pembangunan pertanian yang selanjutnya
diharapkan
bisa
meningkatkan
kinerja
penyuluh
dalam
memberdayakan petani. Ciri-ciri kompetensi penyuluh yang memberdayakan dan cenderung kurang memberdayakan petani disajikan pada Tabel 1.
Dimensi Kompetensi Keefektivan Komunikasi
Pemanfaatan Media Internet
Membangun Jejaring Kerja
Akses Informasi
Penguasaan Inovasi
Tabel 1. Ciri-ciri Kompetensi Penyuluh yang Memberdayakan Petani Kompetensi Penyuluh yang Kompetensi Penyuluh yang Cenderung Kurang Memberdayakan Petani Memberdayakan Petani (1) Penyuluh mampu menyiapkan, (1) Materi penyuluhan yang menyediakan dan menyajikan disampaikan penyuluh informasi sesuai dengan kurang sesuai dengan kebutuhan petani dalam kebutuhan dan kurang bisa bentuk dan bahasa yang dipahami petani mudah dimengerti petani. (2) Penerapan metode (2) Penyuluh mampu menerapkan penyuluhan oleh penyuluh berbagai metode penyuluhan kurang sesuai dengan sesuai dengan karakteristik karakteristik petani petani (3) Komunikasi penyuluh (3) Penyuluh mampu dengan petani cenderung berkomunikasi secara dialogis bersifat linier atau interaktif dengan petani (1) Sikap positif terhadap (1) Kurang tertarik terhadap perkembangan teknologi perkembangan teknologi informasi informasi (2) Mampu mendisain multi media (2) Kemampuan dalam untuk pengembangan mendisain komunikasi penyuluhan multi media terbatas (3) Penyuluh mampu (3) Jarang bahkan tidak pernah menggunakan dan menggunakan dan memanfatkan multi media memanfaatkan multi media (internet) terkait dengan tugas(internet) ) terkait dengan tugas penyuluh tugas-tugas penyuluh (1) Memiliki jiwa kewirausahaan (1) Kurang berminat terhadap dan berorientasi ke depan pengembangan usaha atau (2) Kemampuan agribisnis, bisnis membaca peluang dan (2) Kemampuan terbatas pada permintaan pasar relatif baik produksi dan kurang (3) Mampu menjalin hubungan memperhatikan permintaan kerja dengan pihak lain untuk pasar kepentingan bisnis petani (3) Kemitraan usaha untuk kepentingan bisnis dengan pihak lain kurang berjalan (1) Tanggap terhadap (1) Kurang tanggap terhadap perkembangan informasi yang perkembangan informasi ada terkait dengan penyuluhan terkait dengan penyuluhan (2) Mampu mengakses dan (2) Pemanfatan informasi oleh memanfaatkan informasi dari penyuluh cenderung pada berbagai sumber informasi program-program terkait dengan kebutuhan pemenrintah. petani (1) Penyuluh mampu melakukan (1) Penyuluh jarang melakukan ujicoba dan pengujian ujicoba dan pengujian teknologi spesifik lokasi dan teknologi spesifik lokasi bekerjasama dengan sumberdan interaksi dengan sumber IPTEK sumber-sumber IPTEK (2) Penyuluh mampu karena kemampuannya menyediakan dan terbatas memanfaatkan teknologi (2) Kemampuan penyuluh
Dimensi Kompetensi
Kerjasama Tim
Analisis Masalah
Berpikir secara Sistem
Pemahaman Potensi Wilayah
Pemahaman Kebutuhan Petani
Tabel 1 (lanjutan) Kompetensi Penyuluh yang Memberdayakan Petani spesifik lokasi dan teknologi dari luar terkait dengan kebutuhan petani (1) Sikap positif terhadap pendapat dan kritikan orang lain (2) Mampu mempengaruhi orang lain, menciptakan suasana kondusif dan menyelesaikan tugas tim (1) Mampu berfikir secara analistis dan cepat dalam mengambil keputusan (2) Mampu mengidentifikasi, menetapkan dan memecahkan permasalahan penyuluhan (petani) (1) Memahami pentingnya berfikir sistem dalam penyuluhan pertanian (2) Mampu mensintesa dan mengembangkan komponenkomponen penyuluhan seperti kelembagaan, metode materi , sarana dan SDM penyuluhan menjadi satu kesatuan fungsi untuk mencapai tujuan penyuluhan (1) Bersikap positif terhadap pengembangan potensi wilayah terkait dengan pengembangn penyuluhan (2) Mampu mengidentifikasi, menggali dan menetapkan sumberdaya yang ada untuk kepentingan petani (1) Bersikap positif terhadap kebutuhan yang dihadapi petani (2) Mampu menetapkan kebutuhan dan memecahkan permasalahan/kebutuhan yang dihadapi petani.
Kompetensi Penyuluh yang Memperdayakan Petani terbatas pada pemanfatan teknologi lokal yang kurang berkembang dan bersaing dengan teknologi luar. (1) Kurang bisa menerima pendapat dan kritikan orang lain dalam bekerja sama tim (2) Kurang memiliki jiwa kepemimpinan dalam kerjasama tim (1) Keputusan yang diambil kurang sesuai dengan harapan yang diinginkan. (2) Lambat dalam mengidentifikasi, menetapkan dan memecahkan masalah penyuluhan (petani) (1) Kurang memahami pentingnya berfikir sistem dalam penyuluhan pertanian (2) Kemampuan dalam mensintesa dan mengembangkan komponen-komponen penyuluhan untuk mencapai tujuan penyuluhan terbatas (1) Kurang tanggap terhadap pengembangan potensi wilayah di tempat tugas (2) Kemampuan dalam mengidentifikasi, menggali dan menetapkan sumberdaya yang ada di tempat tugas terkait dengan kepentingan petani terbatas (1) Kurang tanggap terhadap kebutuhan petani (2) Kemampuan dalam menetapkan dan memecahkan permasalahan/kebutuhan yang dihadapi petani terbatas
Faktor-faktor yang Berpengaruh terhadap Kompetensi Permasalahan yang paling rumit dalam pengelolaan sumberdaya manusia yang dihadapi oleh berbagai organisasi adalah tidak adanya perencanaan yang sistematis dan matang, serta prosedur yang terstruktur rapi dan sistematis dalam menjalankan fungsi dan aktivitas-aktivitas pengelolaan sumber daya manusianya. Menurut Prihadi (2004:27), fungsi esensial manajemen sumber daya manusia adalah memastikan agar organisasi dapat mencapai tujuan-tujuan strategis dengan memiliki sumber daya manusia yang dapat diandalkan untuk memenuhi kebutuhan organisasi secara kuantitas maupun kualitas, kompeten, dan menghasilkan kinerja yang efektif hingga superior pada jabatan dan peranan masing-masing serta berkontribusi optimal dalam memajukan organisasi. Untuk memenuhi fungsi vital tersebut, manajemen sumberdaya manusia menjalankan berbagai aktivitas mulai dari rekrutmen, seleksi, penempatan, pelatihan dan pengembangan, rotasi, promosi, dan suksesi untuk memastikan terisinya setiap posisi, jabatan, dan peranan dengan orang-orang yang tepat. Beberapa faktor yang diduga berpengaruh terhadap kompetensi penyuluh diantaranya pelatihan, pengembangan diri, karakteristik pribadi dan karakteristik lingkungan.. Faktor-faktor tesebut dijelaskan secara ringkas sebagai berikut; Pelatihan Tim Wentling (1993:15) mengemukakan bahwa pelatihan merupakan alat yang penting untuk keperluan pengambilan keputusan pimpinan dalam pengembangan personal dan para ahli penyuluhan serta pertanian dalam merealisasikan perencanaan dan tujuan suatu program. Bernadin dan Russel (1993:297)
mengemukakan
bahwa
pelatihan
merupakan
upaya
untuk
memperbaiki perfomansi pekerja pada suatu pekerjaan tertentu yang menjadi tanggungjawabnya. Menurut Blanchard dan Huszeza (Gomes, 2002:196), pelatihan secara bersamaan harus didesain untuk mewujudkan tujuan organisasi dan tujuan pekerja secara individu. Pelatihan yang efektif, hendaknya mencakup pengalaman belajar (learning experience), aktivitas-aktivitas yang terencana (be a planned organizational) dan didesain berdasarkan kebutuhan yang ada.
Simamora (1996:48-49) mengemukakan bahwa tujuan pelatihan dan pengembangan meliputi ; (1) memperbaiki kinerja, (2) memutahirkan keahlian para karyawan sejalan dengan kemajuan teknologi, (3) mengurangi waktu belajar bagi karyawan baru supaya menjadi kompeten, (4) membantu memecahkan persoalan operasional, (5) mempersiapkan karyawan untuk promosi dan (6) memenuhi
kebutuhan-kebutuhan
pertumbuhan
pribadi.
Pelatihan
dan
pengembangan keduanya penting karena merupakan cara yang digunakan oleh organisasi untuk mempertahankan, menjaga, memelihara pegawai dalam organisasi dan meningkatkan keahlian serta kompetensi para pegawai untuk kemudian dapat meningkatkan produktivitas kerjanya. Berbagai permasalahan sering dijumpai dalam pelatihan.
Menurut
Rothwell (Departemen Pertanian, 2001:9), terdapat empat permasalahan berkaitan dengan pendekatan pelatihan yaitu : (1) kegiatan pelatihan sering kali tidak fokus terutama berkaitan dengan materi yang diberikan, (2) lemahnya dukungan manejeman, (3) pelatihan kadang tidak direncanakan dan diselenggarakan secara sistematis, dan (4) materi pelatihan tidak sesuai dengan kebutuhan organisasi. Pada sisi lain, organisasi saat ini dihadapkan pada perubahan lingkungan strategis dimana; (1) organisasi dituntut untuk tetap berkembang sesuai dengan perubahan lingkungan eksternal, (2) organisasi selalu berusaha untuk menciptakan iklim yang kondusif sehingga orang-orang yang bekerja di dalamnya dapat bekerja dengan baik, (3) aktivitas pekerjaan cenderung untuk diorganisasikan secara inovatif, dan (4) pekerja sendiri harus menyiapkan timnya dengan jalan meningkatkan kemampuannya saat ini. Berkaitan dengan permasalahanpermasalahan yang ada tersebut, maka agar pelatihan bisa berjalan dengan efektif perlu kiranya dilakukan perencanaan yang matang, penyelenggaraan pelatihan yang efektif dan disertai evaluasi agar bisa diketahui kekurangan-kekurangan untuk perbaikan dimasa yang akan datang. Tim Wentling (1993:15) mengemukakan bahwa ada tiga tahapan dalam proses pelatihan yaitu; (1) perencanaan pelatihan, (2) implementasi/pelaksanaan pelatihan, dan (3) evaluasi pelatihan.
Lebih jauh ditekankan bahwa dalam
perencanaan pelatihan perlu dipertimbangan hal-hal berikut : (1) penentuan kebutuhan pelatihan, (2) tujuan spesifik pelatihan, (3) pengelolaan materi
pelatihan, (4) pemilihan teknik dan metode pelatihan, (5) identifikasi kebutuhan peserta pelatihan, (6) perencanaan paket pelatihan, (7) pengembangan dukungan sarana pelatihan, (8) pengembangan tes untuk pengukuran pembelajaran pelatih, dan (9) uji coba dan revisi kurikulum pelatihan. Bernadin dan Russel (1993:111-112) mengemukakan bahwa ada tiga aktivitas dalam program pelatihan yaitu : (1) penilaian kebutuhan pelatihan (need assement), bertujuan mengumpulkan informasi untuk menentukan dibutuhkan atau tidaknya program pelatihan, (2) pengembangan program pelatihan (development), bertujuan untuk merancang lingkungan pelatihan dan metodemetode yang dibutuhkan guna mencapai tujuan pelatihan, dan (3) evaluasi program pelatihan (evaluation), bertujuan untuk menguji dan menilai apakah program pelatihan yang telah dilaksanakan, secara efektif mampu mencapai tujuan yang telah dilaksanakan.
Agar penyuluh meningkat kompetensinya,
pelatihan bagi penyuluh harus dilaksanakan secara efektif. Ciri-ciri palatihan penyuluh yang efektif dan kurang berhasil disajikan pada (Tabel 2). Tabel 2 Ciri-ciri Pelatihan Penyuluh yang Efektif Pelatihan penyuluh yang Pelatihan penyuluh yang Aspek pelatihan efektif cenderung kurang berhasil (1)
Perencanaan
(1) Materi atau kurikulum sesuai dengan kebutuhan kompetensi penyuluh (2) Kesesuaian antara bobot materi dengan jumlah jam pelajaran/berlatih (3) Jumlah pelatihan sebanding dengan jumlah penyuluh yang ada
(1) Materi atau kurikulum cenderung dari programprogram pemerintah (2) Pelatihan terlalu singkat waktunya dan tidak sesuai dengan bobot materi yang dilatihkan (3) Tidak semua penyuluh bisa mengikuti pelatihan yang ada.
(2)
Pelaksanaan
(1) Materi pelatihan yang disampaikan oleh widyaswara mudah untuk dipahami (2) Kesesuaian latar belakang widyaswara dengan materi yang dilatihkan (3) Ketepatan penerapan metode belajar (4) Ketepatan dan variasi penggunaan alat bantu belajar (5) Ketersediaan dukungan sarana pelatihan
(1) Materi yang disampaikan oleh widyaswara kurang fokus dan sulitdipahami (2) Setiap widyaswara bisa mengajar pada pelatihan penyuluhan (3) Penggunaan metode belajar kurang sesuai dengan tujuan belajar (4) Penggunaan alat bantu mengajar kurang tepat dan monoton (5) Sarana pelatihan terbatas
Tabel 2. (Lanjutan) Aspek pelatihan
(3)
Evaluasi
Pelatihan penyuluh yang efektif (6) Komitmen panitia penyelenggara terhadap kelancaran jalannya pelatihan
Pelatihan penyuluh yang cenderung kurang berhasil (6) Penyelenggara kurang memperdulikan terhadap kelancaran jalannya pelatihan
(1) Konsistensi evaluasi awal, tengah dan akhir pelatihan
(1) Evaluasi awal, tengah dan akhir kadang dilaksanakan bahkan tidak pernah (2) Evaluasi penyelenggara pada akhir pelatihan kadang dilaksanakan kadang tidak (3) Dari tahun ketahun tidak
(2) Evaluasi penyelenggaran pada akhir pelatihan (3) Konsistensi perbaikan
pelatihan
ada peningkatan mutu pelatihan
Pengembangan Diri Werther dan Davis (1996:282) mengemukakan bahwa pengembangan diri merupakan
kesempatan-kesempatan
belajar
(learning
opportunity)
yang
direncanakan guna membantu pengembangan seseorang atau karyawan yang berorientasi pada masa depan. Soeprihanto (2000;85-86) mengemukakan bahwa pengembangan atau pendidikan merupakan suatu kegiatan untuk memperbaiki kemampuan karyawan dengan cara meningkatkan pengetahuan dan pengertian tentang pengetahuan umum serta peningkatan penguasaan teori pengambilan keputusan dalam menghadapi persoalan-persoalan organisasi. Pengembangan diri seseorang dapat dilakukan dari sudut pandang individu (melalui kemandirian belajar seseorang) dan sudut pandang organisasi (pengembangan profesionalisme dan pengembangan karir seseorang oleh organisasi). Dari sudut pandang organisasi, Whitaker (Kydd, 2004:1) menekankan pentingnya hubungan antara individu dan pengembangan profesional serta kultur organisasi dan lingkungan terhadap tersalurnya potensi manusia. Lebih jauh, ditekankan bahwa meningkatnya pandangan tentang jati diri dan potensi manusia dari pihak para manajer akan menentukan ke manajemen yang lebih efektif dalam tubuh organisasi. Soeprihanto (2000:3) mengemukakan bahwa, agar dapat memberikan kepuasan kerja pada setiap individu, yang berakibat pada peningkatan prestasi kerja bagi kepentingan organisasi diperlukan adanya
pembinaan atau pengembangan karier para karyawan yang dilakukan melalui pendidikan, pelatihan dan pengembangan atau peningkatan profesional karyawan. Dari sudut pandang individu, pengembangan diri bisa dianalogikan dengan kemandirian belajar (belajar secara mandiri).
Menurut Sumardjo (1999;99),
kemandirian belajar merupakan upaya sadar dan aktif seseorang untuk meningkatkan sendiri kualitas perilakunya sesuai dengan kemampuan yang dimiliki. Berkaitan dengan kemandirian petani, Slamet (1995:12) menekankan bahwa untuk menumbuhkan dan membina kemandirian petani diperlukan kerjasama disertai tumbuh berkembangnya aspirasi, kreativitas, keberanian menghadapi resiko, dan prakarsa seseorang untuk bertindak atas dasar kekuatan sendiri dalam kebersamaan (collection self-reliance).
Susanto (2001:2)
mengemukakan bahwa, secara empirik dan teoritik tidak ada kemandirian yang bersifat mutlak, yang ada umumnya bersifat relatif. Seseorang tidak mungkin hidup dan berdiri sendiri, sebagai makhluk sosial seseorang memerlukan orang lain dalam kehidupannya. Karena itu, dalam belajar secara mandiri seseorang akan dipengaruhi oleh faktor-faktor lingkungan seperti sumber belajar/informasi. Banyak faktor yang berpengaruh terhadap proses belajar seseorang untuk mencapai hasil yang optimal.
Klausmeier dan Goodwin (1971:12-15)
mengemukakan bahwa ada tujuh lingkungan belajar yang berpengaruh terhadap efektivitas proses belajar seseorang yaitu: (1) objectives, (2) subject matter, (3) instructional materials and related technology, (4) learner characteristics and behaviours, (5) teacher behaviors and classroom interactions, (6) organization for intruction and school facilities, (7) home-school-community relations. Mengacu dari konsep Klausmeier dan Goodwin (Sumardjo, 1999:100) mengadaptasikan dan menganalogikan faktor-faktor yang mempengaruhi proses belajar mandiri, dengan mengalami perubahan-perubahan yang disesuaikan dengan kondisi proses belajar mandiri (penyuluh) sebagai berikut (1) karakteristik sumber informasi (analog dengan teacher characteristic), (2) interaksi sumber informasi dengan penyuluh (analog dengan leaner-teacher behaviour), (3) fasilitas (analog dengan facilities), (4) karakteristik penyuluh (analog dengan learner characteristic), (5) inovasi/informasi (analog dengan subyect matter), (6)
karakteristik kelompok kerja penyuluh (analog dengan group characteristic), dan (7) kelembagaan pendukung (analog dengan outside forces) Menurut Sumardjo (1999:57-58), seorang penyuluh pertanian dikatakan mandiri bila penyuluh tersebut mampu menciptakan situasi belajar yang kondusif bagi pengembangan kualitas perilaku petani dalam meningkatkan taraf kehidupannya. Lebih jauh dikemukakan, kemandirian tersebut dtandai dengan adanya inisiatif yaitu kemampuan mereka melihat kesempatan, memilih alternatif (kreatif) dan memutuskan pilihan yang terbaik bagi peranannya dalam masyarakat, serta berusaha meraih kesempatan dengan segala kemampuan yang telah dan perlu dimiliki.
Kemandirian bukan berarti tidak mau bekerjasama
dengan orang lain atau tergantung pada bantuan pihak lain, tetapi kemandirian justru menekankan perlunya kerjasama dan keberadaan pihak lain diposisikan sebagai mitra kerja yang saling menguntungkan. Kemandirian belajar sangat erat kaitannya dengan sumber belajar, artinya bahwa seseorang belajar tidak harus ada guru yang langsung mengajar, melainkan guru dalam proses belajar mandiri dianalogikan dengan sumber belajar. Sadiman (1986) mengemukakan bahwa sumber belajar merupakan segala macam sumber yang ada di luar diri seseorang dan yang memungkinkan terjadinya proses belajar. Menurut Rohani (2004:161), sesungguhnya tidak ada bahan yang jelas mengenai sumber belajar, sebab segala apa yang bisa mendatangkan manfaat atau mendukung dan menunjang individu untuk berubah ke arah yang lebih baik, positif, dinamis atau menuju perkembangan, dapat disebut sebagai sumber belajar. Dengan memanfaatkan sumber belajar yang ada, seseorang dapat meningkat wawasan, pengetahuan dan kemampuannya, yang pada akhirnya dapat meningkatkan perfomansi dirinya, untuk membantu pelaksanan tugas-tugas yang diembannya. Untuk
meningkatkan
kompetensi,
penyuluh
perlu
dibangun
pengembangan diri penyuluh ke arah kemandirian. Ciri-ciri pengembangan diri penyuluh menuju kemandirian belajar dan pengembangan diri penyuluh yang cenderung apatis disajikan pada Tabel 3.
Tabel 3. Ciri-ciri Pengembangan Diri Penyuluh Menuju Kemandirian Belajar Indikator Pengembangan Diri Pengembangan Diri Penyuluh Pengembangan Penyuluh yang Menuju Kemandirian Belajar Diri Penyuluh Cenderung Apatis (1) Kemandirian (1) Sumber belajar selalu tersedia (1) Terbatasnya sumber Belajar baik di rumah, tempat tugas belajar yang Penyuluh maupun lingkungan belajar dibutuhkan penyuluh (2) Interaksi dengan sumber belajar (2) Penyuluh kurang merupakan suatu kebutuhan berinterkasi dengan untuk meningkatkan kompetensi sumber belajar terkait dengan peningkatan (3) Sarana belajar selalu tersedia kompetensinya untuk menunjang kegiatan (3) Keterbatasan sarana belajar mandiri belajar untuk peningkatan kompetensi penyuluh (4) Adanya materi belajar yang (4) Ketidaksesuaian antara sesuai dengan kebutuhan materi belajar yang kompetensi penyuluh ada dengan kebutuhan kompetensi penyuluh (5) Minat belajar yang tinggi dari (5) Penyuluh malas untuk dalam diri penyuluh untuk meningkatkan peningkatan kompetensi kompetensi terkait dengan tugas-tugasnya (6) Suasana belajar yang kondusif (6) Suasana belajar kurang di kelompok penyuluh mendukung di lingkungan kelompok penyuluh (7) Kelembagaan tempat penyuluh (7) Kelembagaan tempat bertugas, memberikan penyuluh bertugas dukungan terhadap kurang peduli terhadap kemandirian belajar peningkatan kompetensi penyuluh (2) Pengembangan Karir Penyuluh
(1) Terbukanya kesempatan mengikuti pendidikan formal ke jenjang yang lebih tinggi (2) Terbukanya kesempatan mengikuti kegiatan seminar. lokakarya dan pelatihan terkait dengan penyuluhan (3) Adanya kejelasan pengembangan promosi karir di masa depan (4) Sistem penghargaan yang menarik sesuai dengan prestasi kerja
(1) Kesempatan mengikuti pendidikan formal ke jenjang yang lebih tinggi terbatas (2) Kesempatan mengikuti kegiatan seminar. lokakarya dan pelatihan bidang penyuluhan terbatas (3) Kurang kejelasan pengembangan promosi karir di masa depan (4) Sistem penghargaan yang tidak jelas
Karateristik Pribadi Rogers dan Shoemaker (1971) mengemukakan bahwa karateristik pribadi merupakan bagian dari individu dan melekat pada diri seseorang yang mendasari tingkah laku seseorang dalam situasi kerja maupun situasi lainnya. Lionberger dan Gwin (1982:45), mengemukakan bahwa karakteristik individu petani yang berhubungan dengan semua aspek kehidupan dan lingkungan adalah umur, pendidikan
dan
karakteristik
psikologis.
Karakteristik
psikologis
ialah
rasionalitas, fleksibilitas, mental, orientasi pada usaha tani sebagai bisnis dan kemudahan menerima inovasi. Menurut Mardikanto (1993:213), karakteristik pribadi adalah sifat-sifat yang melekat pada diri seseorang dan berhubungan dengan aspek kehidupan, antara lain umur, jenis kelamin, posisi, jabatan, motivasi, status sosial, dan agama. Selanjutnya dijelaskan oleh Slamet (1992:16), bahwa umur, pendidikan, status sosial ekonomi, pola hubungan dan sikap merupakan faktor-faktor individu yang mempengaruhi proses difusi inovasi. Dalam penelitian ini, karakteristik pribadi penyuluh
yang
dilihat
meliputi
umur,
pendidikan,
pengalaman
kerja,
kekosmopolitan dan motivasi. Umur seseorang (penyuluh pertanian) merupakan salah saatu karakteristik pribadi yang ikut mempengaruhi fungsi biologis dan psikologis individu tersebut. Umur juga akan berpengaruh terhadap kemampuan seseorang dalam mempelajari, memahami, menerima dan mengadopsi suatu teknologi serta peningkatan produksivitas kerjanya. Dengan demikian, diduga umur bisa mempengaruhi terhadap tingkat kompetensi penyuluh pertanian. Secara umum pendidikan akan berpengaruh terhadap cara dan pola pikir seseorang.
Pendidikan yang relatif tinggi dan umur yang produktif akan
menyebabkan seseorang menjadi lebih dinamis.
Semakin tinggi tingkat
pendidikan seseorang, ada kecenderungan semakin tinggi pula pengetahuan, sikap dan keterampilan (Slamet, 1992:40), efisien bekerja dan semakin banyak tahu cara-cara dan teknik bekerja yang lebih baik dan lebih menguntungkan (Mardikanto, 1993:213). Dengan demikian, diduga tingkat pendidikan penyuluh pertanian akan berpengaruh terhadap tingkat kompetensi penyuluh pertanian.
Mardikanto (1993:217) mengemukakan bahwa pengalaman seorang petani akan mempengaruhi mereka dalam mengelola usahatani yang dilakukan. Hal ini secara tidak langssung akan berpengaruh pada proses pengambilan keputusan, sehingga petani yang memiliki pengalaman berusahatani lebih lama cenderung sangat selektif dalam pengambilan keputusan. Pernyataan ini, juga berlaku bagi penyuluh pertanian dalam kaitannya dengan pelaksanaan kegiatan penyuluhan pertanian. Dengan demikian diduga bahwa pengalaman kerja penyuluh pertanian akan berpengaruh terhadap tingkat kompetensi penyuluh pertanian. Kekosmopolitan merupakan sikap keterbukaan seseorang terhadap ide, gagasan, pengetahuan dan informasi dari luar.
Mardikanto (1996:350)
mengemukakan bahwa kekosmopolitan merupakan hubungan dengan lingkungan luar, di luar sistem sosialnya, yang dapat dilihat dari frekuensi dan jarak kegiatan bepergian maupun pemanfaatan media massa. Bagi masyarakat yang memiliki tingkat kekosmopolitan tinggi akan cenderung lebih mudah mengadopsi inovasi dibanding dengan masyarakat yang tingkat kekosmopolitannya rendah (lokalit) Dalam penelitian ini yang dimaksud dengan kekosmopolitan adalah sikap keterbukaan penyuluh pertanian pada informasi melalui hubungan mereka dengan berbagai sumber informasi, frekuensi bepergian ke luar daerahnya, frekuensi pemanfaatan media massa untuk mendapatkan informasi terkait dengan penyuluhan pertanian.
Sikap kekosmopolitan penyuluh akan berpengaruh
terhadap wawasan dan pengetahuan penyuluh, yang pada akhirnya akan dapat berpengaruh terhadap kemampuan dan kinerjanya dalam melaksanakan kegiatan penyuluhan. Kekosmopolitan penyuluh dalam penelitian ini, akan dilihat dari hubungan penyuluh dengan sumber informasi, frekuensi bepergian ke luar daerah terkait dengan penambahan pengetahuan penyuluhan dan pemanfaatan media massa. Robbins (1993) mengemukakan bahwa motivasi merupakan suatu dorongan yang timbul dari diri seseorang ke suatu arah perilaku yang diawali oleh adanya kebutuhan yang belum terpuaskan sehingga menimbulkan dorongan untuk mewujudkan keinginannya. Motivasi bisa berasal dari dalam (intrisik) dan dari luar (ekstrisik).
Teori tentang motivasi banyak dikemukakan oleh para ahli. Dalam penelitian ini akan digunakan teori motivasi yang dikemukakan oleh Frederick Herzberg atau dikenal dengan teori dua faktor tentang motivasi. Steers et.al (1996:17-18) dan Gibson et.al (1989:107-108) mengemukakan bahwa hasil penelitian Herzberg menunjukkan dua kesimpulan yaitu pertama serangkaian kondisi ekstrinsik, keadaan pekerjaan (job context), yang menghasilkan ketidakpuasan di kalangan karyawan jika kondisi tersebut tidak ada. Jika kondisi tersebut ada, maka tidak perlu memotivasi karyawan. Kondisi tersebut adalah faktor-faktor yang membuat orang merasa tidak puas (dissartisfier) atau disebut faktor iklim baik (hygiene factors). Faktor-faktor tersebut meliputi upah, jaminan kerja, kondisi kerja, status, prosedur perusahaan, mutu supervisi dan mutu hubungan antarpribadi diantara rekan sekerja, dengan atasan dan dengan bawahan. Kedua, serangkaian kondisi intrinsik, isi pekerjaan (job content), yang apabila ada dalam pekerjaan tersebut akan menggerakkan tingkat motivasi yang kuat, yang dapat menghasilkan prestasi kerja yang baik. Jika kondisi tersebut tidak ada, maka tidak akan
timbul rasa ketidakpuasan yang berlebihan.
Faktor-faktor
tersebut disebut pemuas atau motivator yang meliputi prestasi, pengakuan, tanggung jawab, kemajuan, pekerjaan itu sendiri dan kemungkinan berkembang. Mengacu pada konsep teori motivasi tersebut, maka yang dimaksud dengan motivasi penyuluh adalah dorongan dari dalam diri dan luar penyuluh ke suatu arah perilaku yang diawali oleh adanya kebutuhan yang belum terpuaskan sehingga menimbulkan dorongan untuk mewujudkan keinginannya. Dalam penelitian ini motivasi penyuluh akan disoroti melalui motivasi intrinsik dan motivasi ekstrinsik. Diasumsikan bahwa motivasi penyuluh akan berpengaruh terhadap peningkatan kompetensi dan kinerja penyuluh. Karakteristik Lingkungan Karakteristik lingkungan merupakan faktor-faktor di luar diri atau individu yang mempengaruhi dalam kehidupannya. Menurut Sumaryanto, dkk (2003), faktor eksternal (pengaruh lingkungan luar) tidak dapat dikendalikan oleh seseorang (petani), karena berada di luar kendalinya maka perilaku faktor eksternal tersebut dianggap “given”. Lebih jauh dikemukakan bahwa, ada dua
faktor eksternal yaitu : 1) strictly external (berada di luar kendali seseorang), dan 2) quasi external (seseorang bisa mengendalikan dengan bantuan orang lain). Pengaruh karakteristik lingkungan tersebut jika mendukung atau sesuai dengan kebutuhan seseorang maka akan membantu dalam kelancaran pelaksanaan tugas-tugas.
Beberapa faktor eksternal atau pengaruh lingkungan luar yang
berpengaruh terhadap seseorang diantaranya; iklim, bencana alam, kebijakan pemerintah, dukungan kelembagaan, ketersediaan sarana dan teknologi. Karakteristik lingkungan dalam penelitian ini meliputi kebijakan pemda, struktur organisasi, dukungan kepemimpinan.
teknologi dan dukungan sarana penyuluhan, dan pola
Diduga
bahwa
karakteristik
lingkungan
penyuluh
akan
berpengaruh terhadap tingkat kompetensi dan kinerja penyuluh dalam pembangunan pertanian. Kebijakan Pemda Kebijakan Pemda merupakan dukungan yang diberikan oleh kelembagaan atau pemerintah daerah setempat kepada
penyuluh dan penyuluhan, guna
kelancaran penyelenggaraan dan peningkatan kualitas penyuluhan pertanian. Kebijakan pemda yang mendukung
terhadap penyuluh dan penyelenggaraan
penyuluhan akan meningkatkan kemampuan dan kinerja penyuluh. Begitu juga sebaliknya dukungan kelembagaan/pemda yang kurang memadai terhadap penyuluh dan penyelenggaraan penyuluhan akan menurunkan kemampuan dan kinerja penyuluh. kebijakan Pemda yang dimaksud dalam penelitian ini meliputi komitmen dukungan pendanaan Pemda terhadap penyelenggaraan penyuluhan dan dukungan terhadap keberadaan kelembagaan penyuluhan yang tidak dibawah Dinas Pertanian. Struktur Organisasi Menurut Slamet (2005), struktur organisasi menggambarkan bagaimana organisasi itu mengatur dirinya sendiri, bagaimana mengatur hubungan antar orang dan antar organisasi.
Struktur organisasi merupakan keputusan yang
diambil oleh organisasi itu sendiri berdasarkan situasi, kondisi dan kebutuhan organisasi. Ada delapan faktor yang berpengaruh terhadap struktur organisasi yaitu (1) ukuran, (2) rentang kendali, (3) jumlah dan tingkatan hirarki, (4) struktur
kewenangan, (5) struktur komunikasi, (6) struktur tugas, (7) struktur status dan prestise, dan (8) jarak psikologis. Berdasarkan dari konsep di atas, maka yang dimaksud struktur organisasi dalam penelitian ini adalah peranan kelembagaan penyuluhan di tingkat kabupaten yang memungkinkan penyuluh untuk bekerja secara efektif. Dalam penelitian ini, struktur organisasi penyuluhan akan disoroti melalui ke enam faktor yang mempengaruhi yaitu ukuran organisasi, rentang kendali, struktur tugas, struktur komunikasi, struktur kewewenang dan struktur status dan prestise. Diduga bahwa peranan organisasi penyuluhan akan berpengaruh terhadap kemampuan kerja penyuluh dalam melaksanakan kegiatan penyuluhan pertanian. Dukungan Teknologi Dukungan teknologi adalah ketersediaan atau kemudahan mendapatkan teknologi yang dibutuhkan oleh penyuluh pertanian dalam pelaksanaan tugastugasnya sebagai penyuluh. Aspek teknologi tersebut meliputi ketersediaan dan keterjangkauan teknologi spesifik lokasi pertanian yang dibutuhkan petani. . Diuga bahwa
dukungan teknologi berpengaruh terhadap tingkat kompetensi
penyuluh dalam pembangunan pertanian. Semakin tinggi dukungan teknologi terhadap penyuluh akan semakin tinggi pula kemampuan dan kinerja penyuluh dalam kegiatan penyuluhan pertanian. Sebaliknya dukungan teknologi terhadap penyuluh yang rendah akan mengurangi/menurunkan kemampuan dan kinerja penyuluh dalam kegiatan penyuluhan pertanian. Dukungan Sarana Dukungan sarana penyuluhan adalah ketersediaan atau kemudahan mendapatkan sarana yang dibutuhkan penyuluh untuk membantu kelancaran pelaksanaan tugas-tugas penyuluhan pertanian.
Dukungan sarana penyuluhan
yang memadai akan berpengaruh terhadap tingkat kompetensi penyuluh dalam pembangunan pertanian. Sebaliknya, dukungan sarana penyuluhan yang kurang memadai akan menurunkan kemampuan kerja penyuluh. Dukungan sarana dalam penelitian ini berkaitan dengan ketersediaan bahan-bahan publikasi, audiovisual, transportasi dan komunikasi untuk penyuluhan.
Pola Kepemipinan Slamet (2005) mengemukakan bahwa kepemimpinan adalah kemampuan mempengaruhi orang lain agar mau bertindak sesuai dengan apa yang dikehendaki. Kepemimpinan adalah proses dan tindakan mempengaruhi orang lain yang dapat berakibat orang lain akan mengikuti apa yang membantu kelompok untuk mencapai tujuan bersama.
Stoner dan Freeman (1994:53)
mengemukakan bahwa kepemimpinan merupakan proses mempengaruhi dan mengarahkan aktivitas yang berkaitan dengan tugas-tugas anggota kelompok. Pendapat
lain,
Cartwright
dan
Zander
(1968)
mengemukakan
bahwa
kepemimpinan sebagi kegiatan yang membantu kelompok untuk mencapai tujuan bersama. Hemhill dan Coon (Yukl, 1981) mengemukakan bahwa kepemimpinan merupakan perilaku dari individu yang memimpin aktivitas-aktivitas kelompok ke suatu tujuan yang ingin dicapai. Dari beberapa definisi tersebut, bisa dikatakan bahwa kepemimpinan merupakan suatu proses mempengaruhi orang lain agar mau bertindak sesuai dengan tujuan bersama yang diinginkan kelompok. Suatu kelompok atau organisasi memerlukan seseorang atau pemimpin untuk bisa menjalankan fungsi kepemimpinan. Seorang pemimpin perlu memiliki pola atau gaya kepemimpinan untuk menjalankan
aktivitas-aktivitas dalam
kelompok/organisasi. Slamet (2005) mengemukakan bahwa gaya kepemimpinan merupakan suatu perilaku yang pada prinsipnya berorientasi pada dua kutub yaitu otoriter dan demokratik. Pemimpin yang baik tidak cenderung memilih salah satu gaya kepemimpinan, melainkan menyesuaikan dengan kondisi yang berlangsung. Gaya otoriter merupakan gaya kepemimpinan yang berorientasi pada satu orang dalam pengambilan keputusan dan tidak melibatkan orang lain. Gaya demokratis adalah gaya kepemimpinan
yang menunjukkan bahwa keputusan diambil
bersama setelah mendengarkan pendapat orang banyak. Selain kedua gaya kepemimpinan tersebut, Stoner dan Freeman (1994:58-59) mengemukakan
bahwa
pilihan
memperhitungkan kekuatan situasi.
gaya
kepemimpinan
seseorang
harus
Berkaitan dengan gaya kepemimpinan
situasional, Slamet (2005) mengemukakan bahwa gaya kepemimpinan yang diperagakan tergantung pada situasi yang terdapat di dalam kelompok. Jadi gaya
kepemimpinan perlu fleksibel, disesuaikan dengan keadaan dan kebutuhan kelompok. Konsep Penyuluhan Pengertian penyuluhan Slamet (1992:24) mengemukakan bahwa penyuluhan sebagai suatu disiplin ilmu yang mempelajari bagaimana pola perilaku manusia pembangunan dibentuk, bagaimana perilaku manusia dapat berubah atau diubah sehingga mau meninggalkan kebiasaan lama dan menggantikan dengan perilaku baru yang berakibat pola perilaku kualitas kehidupan orang yang bersangkutan menjadi lebih baik. Asngari (2003:183) mengemukakan bahwa penyuluhan merupakan kegiatan menndidik orang (kegiatan pendidikan) dengan tujuan mengubah perilaku kelayan sesuai dengan yang direncanakan atau diinginkan yakni upaya memberdayakan kelayan agar lebih berdaya secara mandiri. Pendapat lain, van den Ban dan Hawkins (1999:25) mengemukakan bahwa penyuluhan merupakan keterlibatan seseorang untuk melakukan komunikasi informasi secara sadar dengan tujuan membantu sesamanya memberikan pendapat sehingga bisa membuat keputusan yang benar. Dalam Undang-undang No 16 tahun 2006 disebutkan bahwa penyuluhan pertanian didefinisikan sebagai proses pembelajaran bagi petani dan keluarganya serta pelaku usaha pertanian lainnya agar mereka mau dan mampu menolong dan mengorganisasikan dirinya dalam mengakses informasi pasar, teknologi, permodalan dan sumberdaya lainnya, sebagai upaya untuk
meningkatkan
produktivitas, efisiensi usaha, pendapatan dan kesejahteraannya. Dari beberapa pengertian tersebut, maka dapat dikatakan bahwa penyuluhan merupakan kegiatan pendidikan non formal dengan tujuan ada perubahan perilaku dari kelayan menjadi lebih baik dari sebelumnya atau mampu mengambil keputusan sendiri mengenai cara-cara mencapai tujuan yang diinginkan. Untuk mencapai tujuan penyuluhan, seorang penyuluh dalam kaitannya dengan pelaksanaan tugasnya perlu memahami falsafah dan prinsip-prinsip penyuluhan.
Falsafah Penyuluhan Kata falsafah berasal dari bahasa Arab. Dalam bahasa Yunani adalah Philosophia (philo = cinta ; Sophia = hikmah). Dalam bahasa Greek adalah Love of Wisdom artinya cinta akan kebijaksanaan yaitu menunjukkan harapan untuk mencari fakta dan nilai kehidupan yang luhur. Butt (Mardikanto,1993:55) mengartikan falsafah sebagai suatu landasan pemikiran yang bersumber pada kebijakan moral tentang segala sesuatu yang akan dan harus diterapkan dalam perilaku atau praktek kehidupan sehari-hari. Berkaitan dengan penyuluhan, Kelsey dan Hearne (Mardikanto,1993:55) merumuskan falsafah penyuluhan yaitu “ Sebagai upaya membantu masyarakat agar mereka dapat membantu dirinya sendiri dan meningkatkan harkatnya sebagai manusia”. Dalam kontek ini ada tiga pokok pikiran yaitu; (1) penyuluhan harus mengacu kebutuhan sasaran yang akan dibantu dan bukannya sasaran harus menuruti keinginan penyuluh, (2) penyuluhan harus mengarah pada terciptanya kemandirian, buka membuat sasaran semakin menggantungkan diri pada penyuluh, dan (3) penyuluhan harus mengacu kepada perbaikan kualitas hidup atau kesejahteraan sasaran dan bukannya lebih mengutamakan target-target fisik yang sering kali tidak banyak manfaatnya bagi kualitas hidup sasaran. Asngari (2003:184-185) merumuskan beberapa falsafah yang bisa digunakan dalam kegiatan penyuluhan seperti: (1) Falsafah pendidikan, penyuluhan merupakan sistem pendidikan non formal untuk mengubah perilaku klien sesuai dengan yang direncanakan agar mereka lebih berdaya dan mandiri. Melalui proses pendidikan/penyuluhan, kelayan dikembangkan potensinya secara optimal agar mereka menjadi manusia yang berkualitas. Proses pendidikan perlu dilandasi suasana yang bebas atau demokratis (kondusif untuk proses belajar), komunikasi dan interaksi yang akrab antara SDM- kelayan dengan penyuluh (agen perubahan) sehingga terjadi proses belajar mengajar (proses mendidik yang baik). Proses mendidik ini bisa dimulai dengan memberikan informasi atau contoh (ing ngarso sung tulodo); SDM- kelayan aktif bertanya, berdiskusi dan memberi tanggapan (ing madyo mangun karso) proses mendidik memberikan penjelasan penguasaan materi (IPTEK) dll tersebut. Dikuasai sampai SDM- kelayan mampu memanfaatkannya (tut wuri handayani), (2) Falsafah pentingnya individu,
pentingnya individu ditonjolkan dalam pendidikan/penyuluhan pada umumnya, sebab potensi pribadi seseorang individu merupakan hal yang tiada taranya untuk berkembang dan dikembangkan, (3) Falsafah bekerja sama, falsafah Ki Hajar Dewantara “ing madyo mangun karso” mengandung makna adanya kerjasama antara penyuluh dengan kelayan. Penyuluh bekerjasama dengan klien agar klien aktif berprakarsa mengembangkan usaha bagi dirinya, (4) Falsafah berkelanjutan, penyuluhan merupakan proses pendidikan yang berkelanjutan. Manusia, ilmu, teknologi, sarana usaha dll selalu berkembang, untuk itu materi penyuluhan, cara penyajian dan alat bantu yang harus digunakan sesuai dengan tuntutan perkembangan zaman. Ini berarti usaha yang terus menerus dan selalu hidup dan berkembang merupakan salah satu falsafah bagi para pendidik yang terpupuk, (5) Falsafah membakar sampah, penyuluhan ibarat membakar sampah, artinya dalam menunggu sampah yang terbakar perlu kesabaran. Kesabaran adalah kunci proses mendidik. Selain kesabaran dalam penyuluhan perlu kebersamaan penyuluh dan klien serta ditunjang dengan iklim yang kondusif dan sarana yang memadai, dan (6) Falsafah membantu kelayan membantu dirinya sendiri, penyuluhan harus dapat mengarahkan atau membantu masyarakat (kelayan) agar mampu menolong dirinya sendiri. Prinsip-Prinsip Penyuluhan Kata prinsip berasal dari bahasa Inggris yaitu prinsip artinya dasar. Menurut Poerwadarminta (1976), prinsip berarti kebenaran yang menjadi dasar berpikir atau bertindak. Mathwes (Mardikanto,1993:61) menyatakan bahwa prinsip adalah pernyataan tentang kebijaksanaan yang dijadikan pedoman dalam pengambilan keputusan dan melaksanakan kegiatan secara konsisten. Prinsip berlaku umum dan telah diyakini kebenarannya dari beberapa pengamatan dalam kondisi yang beragam. Dalam kaitannya dengan penyuluhan, Leagans (Mardikanto, 1993:61) mengemukakan bahwa setiap penyuluh dalam melaksanakan penyuluhan harus berpegang teguh pada prinsip-prinsip penyuluhan. Tanpa berpegang pada prinsipprinsip yang sudah disepakati, seorang penyuluh tidak mungkin dapat melaksanakan pekerjaannya dengan baik.
Ada tiga prinsip dalam penyuluhan yaitu (1) mengerjakan, artinya kegiatan penyuluhan harus banyak melibatkan masyarakat untuk mengerjakan sesuatu. Dengan mengerjakan mereka akan mengalami proses belajar yang terus diingat untuk jangka waktu yang lama, (2) akibat, artinya kegiatan penyuluhan harus memberikan akibat/pengaruh yang bermanfaat, dan (3) asosiasi, artinya setiap kegiatan penyuluhan harus dikaitkan dengan kegiatan lainnya. Dahama dan Bhatnagar (1980) mengemukakan bahwa ada beberapa prinsip penyuluhan yang meliputi; (1) minat dan kebutuhan penyuluhan akan efektif jika selalu mengacu pada minat dan kebutuhan masyarakat, (2) organisasi masyarakat bawah, penyuluhan akan efektif jika mampu melibatkan/membentuk organisasi masyarakat bawah mulai dari keluarga, (3) perubahan budaya, setiap kegiatan penyuluhan akan mengakibatkan perubahan budaya, (4) kerjasana dan partisipasi, penyuluhan akan efektif jika mampu menggerakkan partipasi msyarakat
untuk
bekerja
sama
dalam
melaksanakan
program-program
pembangunan, (5) demokrasi dan penerapan ilmu, penyuluhan harus memberikan kesempatan kepada masyarakat untuk menawarkan setiap ilmu alternatif yang akan diterapkan, (6) belajar sambil bekerja, kegiatan penyuluhan harus diupayakan agar masyarkat dapat belajar atau bekerja atau belajar dari pengalaman yang ia kerjakan, (7) penggunaan metode yang sesuai, penyuluhan harus dilakukan dengan penerapan metode yang selalu disesuaikan dengan kondisi sasaran,
(8)
kepemimpinan,
penyuluh
harus
mampu
mengembangkan
kepemimpinan sasaran, (9) spesialis yang terlatih, penyuluh harus memperoleh latihan khusus tentang sesuatu yang sesuai dengan fungsinya, dan (10) segenap keluarga, penyuluhan harus mampu mewujudkan tercapainya kepuasan sasaran. Perkembangan Penyuluhan Pertanian Pembahasan tentang perkembangan penyuluhan pertanian, tidak terlepas dari sejarah penyuluhan masa lalu atau paradigma lama penyuluhan pertanian. Kuhn (1970:11)) mengemukakan bahwa paradigma merupakan suatu ide atau gagasan, pengalaman dalam filosofi ilmu pengetahuan. Hasil penelitian Patton (Karsidi, 2001) menyebutkan bahwa paradigma sebagai cara untuk memecahkan kompleksitas di dunia nyata.
Fenomena
ini dikembangkan dalam rangka
memahami kondisi sejarah dan keadilan sosial untuk memberikan kerangka konsepsi dalam memberi makna realitas sosial. Paradigma merupakan tempat kita berpijak dalam melihat suatu realitas. Perkembangan penyuluhan pertanian pada masa lalu, merupakan pijakan dalam merumuskan paradigma baru penyuluhan. Dalam konteks penelitian ini, perkembangan penyuluhan pertanian dijelaskan mulai dari era BIMAS (19701980), era pasca Bimas (1980-190), era menjelang otonomi daerah (1990-1999) dan era otonomi daerah (2000 – sekarang), yang semua dijelaskan secara ringkas. Keberhasilan dalam mencapai produksi padi, diawali dengan program BIMAS (1970-1980) melalui revolusi hijau dengan penerapan irigasi padi pada lahan persawahan. Penyelenggaraan penyuluhan pertanian pada waktu itu berupa sistem latihan dan kunjungan (LAKU) yang berdasarkan pada model alih teknologi (tranfer of technology). Sistem LAKU ini menunjukkan hasil yang signifikan dalam mencapai tujuan jangka pendek program pembangunan pertanian, khususnya padi yang dicanangkan oleh pemeritah pusat. Keberhasilan program produksi padi, karena sistem LAKU dapat dijadikan alat yang berguna dalam melaksanakan program pembangunan pertanian yang dirancang secara terpusat, selian itu juga kondisi masyarakat yang hirakis dan struktur demokrasi yang masih lemah (Abbas, 1999). Pada awal tahun 1980-an program BIMAS terus berkembang yang ditunjukkan dengan puncak keberhasilannya pada tahun 1984 di mana Indonesia telah mencapai swasembada pangan (beras) dan sekaligus menjadi negara pengekspor beras yang sebelumnya menjadi negara pengimpor beras di dunia. Saefudin (2005:2) mengemukakan bahwa program pembangunan pertanian pada masa itu, teknologi yang dikembangkan oleh pusat-pusat penelitian diberikan kepada kontaktani andalan melalui para penyuluh pertanian dengan asumsi bahwa petani lain akan mengambil alih teknologi tersebut ketika mereka melihat bukti keberhasilannya. Namun, banyak teknologi baru tersebut ternyata tidak sesuai dengan kondisi spesifik lokasi, khususnya pada petani-petani yang miskin sumberdaya. Ketika diadopsi oleh kontaktani, proses trickle down ini tidak berfungsi dan kesenjangan dengan petani yang miskin sumberdaya malah menjadi semakin tinggi.
Lebih jauh dikemukakan bahwa, pada era ini masyarakat lokal tidak memiliki pengaruh dan kontrol terhadap program penelitian dan penyuluhan, dan teknologi yang tidak tepat sering dipromosikan oleh lembaga-lebaga penyuluhan pertanian. Penyuluhan pertanian juga kurang mengadopsi kebutuhan petani, dan tidak dapat mengatisipasi keberagaman yang ada di masyarakat Indonesia, secara agro-ekologis, sosial ekonomi dan budaya.
Penyuluhan pertanian juga tidak
memperhatikan pengetahuan lokal masyarakat dan tidak merangsang masyarakat untuk menjadi lebih inovatif dan kreatif. Selain ketidaksesuaian, penyuluhan pertanian dulunya menjadi alat pendukung paket program pemerintah.
Hal ini menciptakan ketergantungan
petani terhadap lembaga kredit serta lembaga lainnya, yang sebagaian besar milik pemerintah.
Penyuluhan pertanian selama ini berdasarkan proyek dan bukan
aktivitas rutin pelayanan.
Berdasarkan keadaan tersebut, kebutuhan terhadap
pendekatan pelayanan yang spesifik lokasi, berpusat pada masyarakat dan partisipatif mulai muncul. Pada awal tahun 1990-an pemerintah Indonesia mulai berfokus pada pemberian pelayanan penyuluhan pertanian terdesentralisasi untuk lebih memenuhi kebutuhan petani dan mengakomodasikan perbedaan-perbedaan di daerah.
Sebuah laporan Bank tahun 1995 mengidentifikasi
kelemahan-
kelemahan penyuluhan pertanian di Indonesia antara lain ; kurangnya partisipsi masyarakat, kesalahan penempatan pada fokus penyuluhan, mekanisme dan metodologi penyuluhan yang top down serta kurangnya koordinasi antara subsektor. Pada tahun 1996, Departemen Pertanian telah menelorkan SK.No.54 tahun 1996.301/Kpts/LP.120/4/96 tentang Penyelenggaraan Penyuluhan Pertanian, dimana salah satu isinya adalah mentransfer aktivitas penyuluhan pertanian dari empat dinas yang berhubungan dengan pertanian (peternakan, perikanan, pertanian dan perkebunan) ke badan lain yang baru dibentuk yaitu Balai Informasi dan Penyuluhan Pertanian (BIPP) pada tingkat kabupaten. Pada surat keputusan tersebut menjelaskan bahwa penyuluhan pertanian sebagai bentuk pendidikan non formal bagi petani dan keluarganya untuk mengembangkan dinamika dan kapasitasnya dalam rangka peningkatan taraf hidup mereka dan peran mereka
sebagai pelaku dan pengontrol pembangunan pertanian.
Definisi ini
mengimplikasikan adanya sebuah perubahan besar pada fokus, metodologi dan peran penyuluhan pertanian. Namun tuntutan dan dukungan praktis terhadap BIPP tidak diberikan, maka kebanyakan dari penyuluh pertanian bekerja kembali seperti semula (http:/www.deliveri.org/Guidelines/implementation). Pada tahun 2000-an dinamika perubahan global menuntut keterbukaan dan kebebasan mendapatkan informasi.
Sejalan dengan itu, pemerintah telah
menelorkan Undang-Undang No.22 tahun 1999 yang diperbaharuhi dengan Undang-undang No.32 tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah. Dengan adanya dinamika perubahan globalisasi dan undang-undang otonomi daerah, telah terjadi perubahan sistem pemerintahan yang semula terpusat menjadi terdesentralisasi, yang
mengakibatkan perilaku penyuluh pertanian yang masih mengikuti
kebijakan top down tidak lagi sesuai. Untuk itu maka diperlukan suatu perubahan mendasar tentang penyuluhan pertanian, mulai dari sisi kebijakan sampai dengan teknis operasional. Pada tahun 2006, telah lahir undang-undang no 16 tentang Sitem Penyuluhan Pertanian, Perikanan dan Kehutanan. Dalam undang-undang tersebut disebutkan bahwa penyelenggaraaan penyuluhan berada pada kewenangan pemerintah
kabupaten/kota,
pemeritah
provinsi
berkewenangan
sebagai
koordinator lintas kabapaten/kota dan pemerintah pusat berkewenangan sebagai perumusan kebijakan tingkat nasional. Dalam undang-undang tersebut, penyuluhan pertanian didefinisikan sebagai proses pembelajaran bagi petani dan keluarganya serta pelaku usaha pertanian lainnya agar mereka mau dan mampu menolong dan mengorganisasikan dirinya dalam mengakses informasi pasar, teknologi, permodalan dan sumberdaya lainnya, sebagai upaya untuk
meningkatkan produktivittas, efisiensi usaha,
pendapatan dan kesejahteraannya. Sejalan dengan itu, Departemen Pertanian telah mencanangkan program revitalisasi pertanian. Pada tataran operasional, program ini menekankan pada tiga program pokok yaitu (1) peningkatan ketahanan pangan, (2) pengembangan agribisnis dan (3) peningkatan kesejahteraan petani.
Operasional
program ketahanan pangan dilakukan melalui peningkatan
produksi pangan, menjaga ketersediaan pangan yang cukup, aman dan handal di setiap daerah, setiap saat dan antisipasi agar tidak terjadi kerawanan pangan. Operasionalisasi
program
pengembangan
agribisnis
dilakukan
melalui
pengembangan sentra kawasan agribisnis komoditas unggulan. Melalui program ini diharapkan akan tumbuh kawasan-kawasan agrobisnis komodiitas unggulan berdaya saing dan bernilai tinggi, sehingga berperan
dalam peningkatan
kesejahteraan petani dan pengembangan ekonomi nasional maupun regional. Operasional program peningkatan kesejahteraan petani ditujukan dalam rangka fasilitasi pemberdayaan petani, pengembangan kelembagaan, peningkatan akses petani terhadap sumberdaya produktif dan perlindungan terhadap petani serta usahanya.
Pelaksanaannya ditempuh melalui pemberdayaan penyuluhan,
pendampingan, penjaminan usaha, perlidungan harga gabah, kebijakan proteksi dan promosi lainnya. Slamet (2001) mengemukakan bahwa paradigma baru memang diperlukan, bukan untuk mengubah-prinsip-prinsip penyuluhan tetapi
untuk mampu
merespon tantangan-tantangan baru yang muncul dari situasi baru. Paradigma baru tersebut meliputi; (1) jasa informasi, (2) lokalitas, (3) berorientasi agribisnis, (4) pendekatan kelompok, (5) fokus pada kepentingan petani, (6) pendekatan humanistik-egaliter, (7) profesionalisme, (8) akuntabilitas, dan (9) memuaskan petani. Jasa informasi, artinya perlu adanya pelayanan jasa informasi, agar petani memiliki kemampuan membuat keputusan yang lebih baik dan menguntungkan bagi dirinya.
Untuk itu diperlukan adanya informasi-informasi yang relevan
dengan usahataninya.
Penyuluhan pertanian seyogyanya dapat berfungsi
melayani kebutuhan informasi para petani. Sehubungan dengan itu, penyuluh harus mampu menyiapkan, menyediakan dan menyajikan segala informasi seperti informasi berbagai komoditas, pemasaran dan perkembangan harga pasar yang diperlukan petani dalam bentuk dan bahasa yang mudah dimengerti. Lokalitas, artinya penyuluhan pertanian harus lebih memusatkan perhatian pada kebutuhan pertanian dan petani di daerah kerja masing-masing. Informasi yang disediakan harus sesuai dengan daerah dan teknologi yang dianjurkan harus
sudah diujicobakan dan berhasil dengan baik di daerah. Untuk itu, peranan Balai Pengkajian Teknologi Pertanian dan lembaga sejenisnya harus lebih diaktifkan. Penelitian hendaknya bertujuan memecahkan permasalahan atau kebutuhan petani setempat Berorientasi agribisnis, artinya usahatani adalah bisnis, untuk itu petani perlu mengadopsi prinsip-prinsip agribisnis agar mereka memperoleh pendapatan yang lebih besar.
Penyuluhan pertanian harus berorientasi agribisnis,
memperhatikan dan memperhitungkan masalah pendapatan dan keuntungan petani. Konsekwensinya, para penyuluh pertanian perlu mereorientasi dirinya ke arah agribisnis. Prinsip-prinsip dan teknologi-teknologi yang berkaitan dengan agribisnis harus lebih banyak dikembangkan dan dipelajari penyuluh. Kerjasama dan koordinasi dengan badan-badan yang menangani pengolahan pemasaran produk-produk pertanian perlu dilakukan oleh penyuluh dan kelembagaan penyuluhan. Pendekatan kelompok, artinya pendekatan kelompok disarankan bukan hanya karena pendekatan ini lebih efisien, tetapi karena pendekatan ini mempunyai konsekwensi dibentuknya kelompok-kelompok tani, dan terjadinya interaksi antar petani dalam wadah kelompok. Terjadinya interaksi antar petani dalam kelompok merupakan forum yang demokratis di tingkat akar rumput (grass root). Forum kelompok merupakan forum belajar dan pengambilan keputusan untuk
memperbaiki nasib petani.
Melalui forum-forum ini pemberdayaan
ditumbuhkan yang akan berlanjut pada tumbuh dan berkembangnya kemandirian rakyat petani serta kepemimpinan tani.
Sehubungan dengan itu, penyuluh
pertanian perlu memahami cara mengembangkan kelompok dan kepemimpinan kelompok.
Kelompok dengan anggota-anggotanya yang sudah dinamis, akan
menjadi kader dan pimpinan untuk melancarkan pembangunan masyarakat desa yang berasal dari bawah (bottom up). Fokus pada kepentingan petani, artinya kepentigan petani harus selalu menjadi pusat perhatian penyuluhan pertanian.
Penyuluhan harus berpihak
kepada petani dan bukan kepada pihak lain (pengusaha).
Kepentingan petani
sederhana yaitu mendapatkan imbalan yang wajar dan adil dari jerih payah dan pengorbanan lainnya dalam berusaha tani, dan mendapatkan kesempatan untuk
memberdayakan dirinya sehingga mampu mensejajarkan dirinya dengan masyarakat lainnya. Konsekuensinya, penyuluh harus mampu mengidentifikasi kepentingan petani dan menuangkan dalam program-program penyuluhan. Para penyuluh harus memahami dan mendekatkan pada petani dan mengubah pola loyalitasnya kepada atasan dan tempat instasi bekerja. Kondisi ini akan dapat dilaksanakan bila penyuluhan pertanian di tingkat lapangan diberi otonomi untuk menentukan sendiri bersama kelompok tani
program-program yang akan
dilaksanakan. Pendekatan humanistik-egaliter, artinya menempatkan petani dalam kedudukan yang sejajar dengan penyuluh dan diperlakukan sebagai manusia yang memiliki kepentingan, kebutuhan, pendapatan, pengalaman, kemampuan, harga diri dan martabat. Dengan pendekatan ini, akan tumbuh sikap saling menghargai antara penyuluh dan petani, dan akibatnya kepentingan-kepentingan petani akan mendapat perhatian dari penyuluh dan petani akan memperhatikan usaha-usaha penyuluh.
Untuk itu, para penyuluh perlu dibekali dengan pengetahuan dan
ketrampilan berkaitan dengan masalah seperti komunikasi sosial dan psikologi sosial agar mereka mampu memerankan penyuluhan yang humanistik-egaliter. Profesionalisme, artinya penyuluhan harus tepat, dan benar secara teknis, sosial, budaya dan politik serta efektif karena direncanakan, dilaksanakan dan didukung oleh tenaga-tenaga ahli dan terampil yang telah disiapkan secara baik dalam suatu sistem penyuluhan yang baik. Penyuluhan yang profesional perlu didukung oleh faktor-faktor pendukung yang tepat dan memadai seperti peralatan dan
fasilitas
informasi,
data
dan
tenaga-tenaga
ahli
yang
relevan.
Konsekwensinya, perlu dipersiapkan generasi penyuluh yang profesional dan yang sub profesional, dan penyuluh yang telah ada (belum profesional) perlu ditatar agar meningkat menjadi profesional. Untuk maksud ini, perlu adanya lembaga diklat yang menangani penyuluhan yang tersebar di setiap kabupaten, melaksanakan pelatihan penyuluh secara berkala dengan materi-materi yang disesuaikan dengan kebutuhan kompetensi penyuluh. Akuntabilitas, artinya setiap hal yang dilakukan dalam rangka penyuluhan pertanian harus dipikirkan, direncanakan dan dilaksanakan dengan sebaik-baiknya agar
proses
dan
hasilnya
dapat
dipertanggungjawabkan.
Sistem
pertanggunjawaban harus ada dan mengandung konsekuensi-konsekuensi tertentu bagi penyuluh, baik itu konsekuensi positif (penghargaan) maupun negatif (sanksi/hukuman).
Konsekuensinya, harus diciptakan sistem evaluasi dan
akuntabilitas yang dapat dioperasikan secara tepat dan akurat.
Setiap jenis
kegiatan penyuluhan harus jelas dan terukur tujuannya, biaya penyuluhan harus dipertimbangkan dengan hasil dan dampak dari penyuluhan. Memuaskan petani, artinya kegiatan penyuluhan harus membuahkan rasa puas kepada petani dan bukan sebaliknya kekecewaan. disajikan dengan sikap kepelayanan sepenuh hati.
Penyuluhan harus
Konsekuensinya, lembaga
diklat penyuluhan harus mengemban misi peningkatan keteladanan, fasilitas yang ada perlu dilengkapi seperti perpustakaan, internet dan jaringan kerjasama dengan instansi-instansi terkait agar membantu penyuluh memberikan pelayanan sepenuh hati. Dari sudut pandang yang lain, Soedijanto (2004:27-37) mengemukakan beberapa hal yang perlu diperhatikan dalam kaitannya dengan paradigma baru penyuluhan pertanian yaitu; (1) sasaran penyuluhan tidak hanya petani melainkan pelaku agribisnis yang berada di empat sub sistem. Petani bukan sebagai obyek pembangunan pertanian melainkan sebagai pelaku dan
penyuluh pertanian
sebagai fasilitator dalam pembangunan pertanian, (2) tujuan penyuluhan mengubah perilaku petani agar menghasilkan manusia pembelajar, penemu teknologi, pengusaha agribisnis yang unggul, pemimpin di masyarakatnya, guru dari petani lainnya, yang bersifat mandiri, (3) citra penyuluhan pertanian bergeser dari
petani sebagai alat produksi berubah menjadi pengusaha dan pedagang
pertanian. Penyuluhan pertanian bukan proses transfer teknologi semata tetapi proses pembelajaran dan pemberdayaan masyarakat, (4) peran penyuluh sebagai pemandu petani untuk menemukan teknologi yang mereka butuhkan dalam memecahkan masalah yang dihadapi, (5) pendekatan penyuluhan lebih ditekankan pada pendekatan masyarakat dihadapinya.
agar mereka bisa memecahkan masalah yang
Penyuluh pertanian harus menggunakan teori pengembangan
masyarakat (community development) yaitu (a) datanglah ke masyarakat, (b) tinggallah bersama mereka, (c) tidurlah dengan mereka, (d) belajarlah bersama mereka mulai dari yang sudah diketahui ke yang belum diketahui, (e) pecahkan
masalah bersama mereka, dan (f) suatu saat tinggalkan mereka pada saat mereka telah mandiri, (6) prinsip penyuluhan pertanian yang digunakan mengarah pada prinsip egaliter bukan struktur tata kerja yang hirakhis, (7) model penyuluhan dari paket teknologi ke model farmers driven atau model linier ke research and development atau dari model tranfer teknologi ke model pemberdayaan, dan (8) makna penyuluhan pertanian lebih ditekankan pada proses pencerahan (enlightening). Penyuluh Pertanian Istilah penyuluh dewasa ini banyak digunakan berbagai kalangan dalam upaya membantu untuk kegiatan pembangunan. Rogers (1983) mengemukakan bahwa penyuluh merupakan seseorang yang atas nama kelembagaan penyuluhan berkewajiban untuk mempengaruhi proses pengambilan keputusan yang dilakukan sasaran penyuluhan dalam mengadopsi inovasi. Dalam bidang pertanian, istilah penyuluh terus berkembang. Ada beberapa sebutan nama penyuluh seperti; Penyuluh Pertanian Pegawai Negeri Sipil, Penyuluh Pertanian Swasta dan Penyuluh Pertanian Swakarsa. Semua penyuluh ini adalah perorangan yang melakukan kegiatan penyuluhan pertanian. Penyuluh Pertanian Swakarsa adalah petani yang berhasil dalam usaha taninya yang dengan kesadarannya sendiri mampu menjadi penyuluh pertanian. Penyuluh Pertanian Swasta adalah perorangan yang berasal dari dunia usaha bidang pertanian dan masyarakat lainnya yang melakukan kegiatan penyuluhan pertanian. Berdasarkan Keputusan Menteri Negara Koordinator Bidang Pengawasan Pembangunan dan Pendayagunaan Aparatur Negara No.19/KEP/MK.Waspan/5/ 1999, yang dimaksud dengan penyuluh pertanian adalah pegawai negeri sipil yang diberi tugas, tanggung jawab, wewenang, dan hak secara penuh oleh pejabat yang berwenang pada satuan organisasi lingkup pertanian untuk melakukan kegiatan penyuluhan pertanian. Penyuluh Pertanian Pegawai Negeri terdiri dari dua jabatan fungsional yaitu (1) Penyuluh Pertanian Terampil yaitu jabatan fungsional Penyuluh Pertanian keterampilan yang dalam pelaksanaan pekerjaannya menggunakan prosedur dan
teknik kerja tertentu.
Golongan pendidikan penyuluh tersebut berbasis non
sarjana dengan pendidikaan: SMTA kejuruan pertanian (SPMA, SPP, SNAKMA), Akademi, DI, DII dan DIII, dan (2) Penyuluh Pertanian Ahli adalah jabatan Penyuluh Pertanian yang dalam pelaksanaan pekerjaannya didasarkan atas disiplin ilmu pengetahuan, metodologi dan teknik analisis tertentu. Golongan pendidikan penyuluh tersebut berbasis sarjana pertanian atau sarjana lain yang sesuai dengan tugas pokok dan fungsi penyuluh pertanian (DIV dan SI). Kedudukan dan Tugas Penyuluh Berdasarkan Keputusan Menteri Negara Koordinator Bidang Pengawasan Pembangunan dan Pendayagunaan Aparatur Negara No. 19/KEP/MK.Waspan/5/ 1999, Penyuluh Pertanian berkedudukan sebagai pelaksana teknis fungsional penyuluhan pertanian pada instansi pemerintah baik tingkat pusat maupun daerah. Tugas pokok Penyuluh Pertanian adalah (1) menyiapkan penyuluhan yang meliputi identifikasi potensi wilayah agroekosistem, penyusunan programa penyuluhan pertanian dan penyusunan rencana kerja penyuluh pertanian, (2) melaksanakan penyuluhan meliputi penyusunan materi penyuluhan pertanian, penerapan metode penyuluhan pertanian dan pengembangan keswadayaan masyarakat, (3) evaluasi dan pelaporan penyuluhan, (4) pengembangan penyuluhan meliputi penyusunan petunjuk pelaksanaan dan petunjuk teknis penyuluhan pertanian, perumusan kajian arah kebijaksanaan pengembangan pneyuluhan pertanian dan pengembangan metode dan sistem kerja penyuluhan pertanian, (5) pengembangan profesi penyuluhan meliputi penyusunan karya tulis ilmiah dan ilmiah penyuluhan pertanian, penerjemahan atau penyaduran buku penyuluhan pertanian dan bimbingan penyuluh pertanian, dan (6) penunjang penyuluhan meliputi seminar dan lokakarya penyuluhan pertanian serta mangajar pada diklat bidang penyuluhan. Peran Penyuluh Peran Penyuluh dalam penyelenggaraan penyuluhan lebih mengarah pada perubahan berencana. Boyle (1981) mengemukakan bahwa perubahan berencana sebagai kegiatan yang disadari, sengaja dan bersama-sama untuk meningkatkan
suatu sistem sosial secara operasional, baik itu sistem sosial sendiri, sistem sosial atau sistem kebudayaan melalui pemanfatan pengetahuan yang tepat. Perubahan yang diinginkan atau berencana harus diidentifikasi dan ditentukan. Perubahan tersebut, merupakan deskripsi dari kondisi yang ada antara ”what is” dan ”what should be”, atau antara apa yang ada dan mana yang lebih diinginkan. Kemudian warga masyarakat atau kelompok sasaran dimotivasi melalui pendidikan (penyuluhan) untuk memenuhi kebutuhan atau menentukan pengganti yang dapat menyebabkan keseimbangan antara ”what is” dan ”what should be” dapat dipelihara. Perubahan yang direncanakan mengimplikasikan pentingnya peran pendidik atau penyuluh dalam pengembangan program penyuluhan. Levin (Asngari, 2004) mengemukakan ada tiga peran utama penyuluh yaitu (1) peleburan diri dengan masyarakat sasaran, (2) menggerakkan masyarakat untuk melakukan perubahan berencana, dan (3) memantapkan hubungan sosial dengan masyarakat sasaran. Lebih jauh Lippitt (Asngari, 2004) mengembangkan peranan penyuluh sebagai berikut: (1) Mengembangkan kebutuhan untuk melakukan perubahan berencana yang meliputi tahapan ; (a) mengenal masalah dan kebutuhan sistem sosial kelayan untuk mengadakan pembaruan, (b) menilai motivasi dan sumber daya agen pembaharuan, (c) menyeleksi tujuan-tujuan pembaharuan dengan tepat, dan (d) memilih tipe peran dan bantuan yang akan dimainkan dengan tepat, (2) Menggerakkan masyarakat untuk melakukan perubahan dengan melakukan tindakan ; (a) membina dan mengembangkan hubungan akrab dengan sistem klien, (b) memperlihatkan pada masyarakat tentang pentingnya mengikuti tahaptahap perubahan berencana, dan (c) memilih secara spesifik teknik dan metode perilaku yang sesuai dengan pembangunan progresif, dan (3) Memantapkan hubungan dengan masyarakat sasaran melalui upaya; (a) membina hubungan baik dan kerja sama terus-menerus dengan masyarakat sasaran dan tokoh formal dan informal, (b) dengan tokoh masyarakat bersama-sama merencanakan upaya perubahan sesuai dengan tahap-tahap pembangunan pertanian jangka panjang, dan (c) mampu menyumbangkan
pengetahuan dan keahlian sebagai tenaga
profesional dalam membangun khalayak sasaran di wilayahnya.
Berkaitan
dengan
perannya,
Mosher
(Mardikanto,
1996:140-141)
mengemukakan bahwa seorang penyuluh harus mampu melakukan peran ganda yaitu: (1) sebagai guru, artinya seorang penyuluh harus trampil menyampaikan inovasi untuk mengubah perilaku sasarannya, (2) sebagai analisator, artinya seorang penyuluh harus memiliki keahlian untuk melakukan pengamatan terhadap keadaan, masalah dan kebutuhan masyarakat sasaran serta mampu memecahkan masalah petani, (3) sebagai konsultan, artinya seorang penyuluh harus ketrampilan dan keahlian untuk memilih alternatif perubahan yang paling tepat, yang secara teknis dapat dilaksanakan, secara ekonomi menguntungkan dan dapat diterima oleh nilai-nilai budaya sosial setempat, dan (4) sebagai organisator, artinya seorang penyuluh harus memiliki ketrampilan dan keahlian
untuk menjalin
hubungan baik dengan segenap lapisan masyarakat, mampu menumbuhkan kesadaran dan menggerakkan partisipasi masyarakat, mampu berinisiatif bagi terciptanya perubahan-perubahan, dapat memobilisasi sumberdaya, mengarahkan dan membina kegiatan maupun mengembangkan kelembagaan yang efektif untuk melaksanakan perubahan yang direncanakan. Sejalan dengan peran yang dilakukan penyuluh, Berlo (Levis,1996) mengemukakan empat kualifikasi yang harus dimiliki penyuluh yaitu; (1) kemampuan untuk berkomunikasi, yang mengandung tidak hanya kemampuan retorika, memilih dan menggunakan saluran komunikasi, memilih dan menerapkan metode penyuluhan, tetapi juga menyangkut kemampuan dan keterampilan penyuluh untuk berempati dan berinteraksi dengan masyarakat sekitar, (2) sikap penyuluh, seperti sikap penghayatan dan bangga dengan profesinya, sikap bahwa inovasi yang dilakukan bermanfaat bagi kelompok sasaran serta sikap mencintai masyarakat yang menjadi kelompok sasaran, (3) kemampuan pengetahuan penyuluh, seperti isi, fungsi dan manfaat serta nilai-nilai yang terkandung dapat disampaikan baik secara ilmiah maupun praktis, kemampuan membaca peta dan latar belakang masyarakat yang menjadi sasaran maupun watak masyarakat sasaran, dan (4) kemampuan terhadap sosial budaya, artinya penyuluh perlu memahami latar belakang sosial budaya sasarannya seperti bahasa, agama, kebiasaan-kebiasaan, nilai dan norma yang dianut, sehingga lebih bisa membantu menentukan keberhasilan tugas-tugas yang diembannya.
Teori Belajar Beberapa ahli pendidikan (psikologi) memberikan batasan yang berbeda tentang belajar.
Bourne dan Bruce
(1976) mengemukakan bahwa belajar
merupakan perubahan tingkah laku yang relatif tetap yang diakibatkan oleh pengalaman dan pelatihan.
Gagne dan Briggs (1984) mengemukakan bahwa
belajar sebagai suatu proses dimana organisme berubah perilakunya diakibatkan pengalaman.
Pendapat lain, Winkel (1987) mengemukakan bahwa belajar
merupakan aktivitas mental yang berlangsung dalam interaksi aktif dengan lingkungan, yang menghasilkan perubahan-perubahan dalam pengetahuan, pemahaman, sikap-sikap dan ketrampilan yang relatif konstan dan berbekas. Dari beberapa batasan
tersebut, dapat dikatakan bahwa belajar sebagai suatu
perubahan pada individu yang relatif tetap, yang disebabkan oleh pengalaman yang terjadi dengan banyak cara baik disenngaja maupun tidak disengaja. Dengan kata lain, belajar akan memberikan manfaat pada individu untuk mampu mengubah perilaku dan membawa pada perubahan individu-individu belajar yang memiliki pengetahuan, sikap dan ketrampilan. Pada pendidikan formal, di dalam proses belajar biasanya seorang guru menyampaikan materi belajar kepada peserta didik yang beragam latar belakang karakter dan perilakunya.
Agar materi belajar yang disampaikan guru bisa
diterima oleh peserta didik, maka seorang guru perlu memahami tentang teoriteori belajar. Beberapa ahli pendidikan (Brophy dan Good. 1990) mengemukakan teori belajar sebagai berikut: E.L Thorndike (The Law Effect) Teori Thorndike dikenal dengan teori pertautan atau pertalian (Connectionisme). Dia berpendapat bahwa belajar adalah pembentukan hubungan antara koneksi stimulus dan respon dan penyelesaian masalah yang dilakukan melalui ‘trial and error’ yang dipengaruhi oleh; (1) reward, pengakuan kepuasan dari suatu kejadian (hukuman tidak penting), (2) hukum latihan (law exercise), peningkatan hubungan stimulus dan respon, semakin sering semakin baik, dan (3) hukum pengaruh (the law effect), berupa pemberian hadiah, nilai dan pujian adalah penting.
Ivan Pavlov (Reflex Conditioning) Ia mengemukakan bahwa belajar adalah respon melalui penggantian stimulus kepada yang lain.
Salah satu hasil penelitiannya menyebutkan bahwa reflek
bersyarat yang dibentuk bisa dihilangkan (reconditioning) dengan cara stimulus bersyarat dimunculkan berulang-ulang. Dengan kata lain, belajar bagi seseorang perlu diulang-ulang, Teori ini banyak digunakan pada bidang psikologi. B.F Skinner (Operant Conditioning) Teori belajar ini menekankan pada proses pembentukan perilaku yaitu; (1) menentukan hadiah bagi perilaku yang diinginkan, (2) mengidentifikasi komponen-komponen yang dianggap bisa membentuk perilaku, (3) menyusun komponen-komponen secara sistematis, (4) mengidentifikasi hadiah tiap-tiap komponen secara sistemasis, dan (5) melakukan pembentukan perilaku dengan memakai urutan komponen yang telah disusun. Dalam bukunya yang berjudul “Beyond Freedom and Dignity” Skinner (1971) mengemukakan bahwa manusia dapat direkayasa. Kita harus ingat bahwa manusia bukanlah sebuah manusia, tetapi seorang manusia.
Disini terlihat bahwa dalam diri manusia ada suatu
potensi, dan potensi tersebut bisa dikembangkan melalui proses belajar. Selain memahami tentang teori belajar, seorang guru juga perlu memahami tentang prinsip-prinsip
belajar.
Rogers (Mustaqin, 2004) menyebutkan ada
sepuluh prinsip belajar yaitu; (1) manusia dapat belajar secara alami, (2) belajar yang signifikan bila materi sesuai dengan kebutuhan, (3) belajar yang mengandung perubahan dianggap mengancam dan cenderung ditolak, (4) tugas belajar mudah diasimilasikan bila ancaman dari luar diperkecil, (5) proses belajar akan terjadi apabila ancaman terhadap siswa rendah, (6) belajar akan bermakna bila disertai dengan praktek, (7) belajar dapat lebih lancar bila siswa dilibatkan langsung (8) belajar atas inisiatif sendiri dapat memberikan hasil yang mendalam, (9) kepercayaan terhadap diri sendiri akan mudah dicapai bila siswa dibiasakan mawas diri, dan (10) belajar yang paling berguna bagi kepentingan sosial adalah belajar mengenai proses belajar. Pada sudut pandang yang berbeda Weber (Ritzer dan Goodman, 2004) menyebutkan bahwa manusia dibentuk oleh nilai-nilai budaya di sekitarnya khususnya nilai-nilai agama (Etika Protestan). Adanya kepercayaan ini, orang-
orang bekerja keras dan sungguh-sungguh untuk meraih sukses lepas dari imbalan materialnya. Mereka bekerja keras sebagai pengabdian untuk agama mereka, bukan untuk mengumpulkan harta (walaupun terjadi sebaliknya). Konsep Weber tersebut merupakan studi pertama yang meneliti hubungan agama dengan pertumbuhan ekonomi (rasionalitas). Konsep Weber tersebut terus berkembang dan digunakan oleh peneliti lainnya terkait dengan kemasyarakatan.
studi-studi budaya dan
Dalam kaitannya dengan penyuluhan, teori Weber sangat
relevan digunakan untuk pengembangan sumberdaya manusia penyuluhan. Dengan prinsip kerja keras dan sunguh-sungguh melalui proses belajar, seorang penyuluh bisa ditingkatkan kompetensinya. Dalam kaitannya dengan pola mengajar yaitu (1) pola mengajar direktif, materi disampaikan secara terprogram, sistematik dan terorganisasi oleh guru kepada siswa, dan (2) pola non direktif, materi bisa disampaikan secara langsung dan secara mandiri, tampaknya Rogers lebih cenderung menekankan pentingnya pengembangan pada pola mengajar non direktif. Beberapa alasan yang mendasari antara lain; (1) materi yang disampaikan oleh guru kepada peserta didik tidak hanya berlangsung secara tatap muka, seperti pada direktif tetapi juga langsung melalui belajar mandiri baik yang dilakukan secara individu maupun kelompok kecil dan besar sesuai dengan kesepakatan bersama, (2) ranah kognitif jelas ada hubungannya yang terkait dengan pola pengajaran non direktif, tetapi dengan pola pengajaran ini lebih banyak penekanannya atau hubungannya dengan ranah afektif dengan tidak melupakan ranah psikomotorik.
Dengan belajar mandiri sesuai
dengan hasil kesepakatan antara guru dan peserta didik, maka peserta didik dapat melakukan observasi, penggalian permasalahan sendiri
dan memecahkannya
sendiri. Dengan berkreativitas sendiri dan dibantu oleh guru maka akan terjadi perubahan sikap dan peningkatan keterampilan peserta didik. Konsep belajar yang dikemukakan oleh Rogers ini, tampaknya sejalan dengan prinsip-prinsip pendidikan dalam penyuluhan yaitu pendidikan untuk orang dewasa dengan maksud terjadinya perubahan perilaku sesuai dengan yang direncanakan. Keberhasilan penyuluhan sangat dipengaruhi oleh proses belajar yang dialami dan dilakukan oleh sasaran penyuluhannya. Berkaitan dengan proses belajar di dalam penyuluhan, Slamet (1979) menekankan pentingnya pemahaman
terhadap jenis belajar, cara-cara belajar, prinsip-prinsip belajar, ciri-ciri belajar dan faktor-faktor psikologis yang mempengaruhi proses belajar.
Untuk itu,
seorang penyuluh dalam melaksanakan penyuluhan perlu memahami kelima faktor belajar tersebut. Berkaitan dengan belajar dan kebutuhan di dalam penyuluhan, Slamet (2003) mengemukakan bahwa orang akan belajar (mengubah perilakunya sendiri) bila dia tahu dengan belajar itu akan dapat memenuhi kebutuhan-kebutuhan dasarnya. Kebutuhan-kebutuhan tersebut meliputi; (1) kebutuhan akan kepastian atau keamanan dalam bidang ekonomi, sosial, psikologi dan spiritual, (2) kebutuhan akan pengalaman baru seperti petualangan, minat baru, gagasan baru dan cara-cara baru dalam mnengerjakan sesuatu, (3) kebutuhan akan keakraban seperti persahabatan, kebersamaan, keramah-tamahan dan perasaan ikut memiliki, dan (4) kebutuhan akan pengakuan seperti status, prestise dan pengakuan. Konsep Pengembangan SDM Gilley dan Eggland (1989) mengemukakan bahwa pengembangan sumberdaya manusia (human resource development) merupakan kegiatan proses belajar yang terorganisir dan terencana di dalam suatu kelompok, kelembagaan atau organisasi guna meningkatkan kinerja dan pertumbuhan pribadi yang bertujuan
untuk
meningkatkan
kualitas
pekerjaan
individu,
kelompok,
kelembagaan atau organisasi yang bersangkutan. Dalam hal ini, pengembangan sumberdaya manusia juga merupakan upaya peningkatkan pengetahuan, keterampilan , kompetensi dan perbaikan perilaku manusia (dalam organisasi) yang direncanakan untuk digunakan secara personal dan profesional. Lebih jauh dikemukakan bahwa ada tiga misi dalam pengembangan sumberdaya manusia yaitu (1) menyediakan pengembangan individu yang terpusat pada perbaikan prestasi sehubungan dengan pekerjaan saat ini, (2) menyediakan pengembangan karir yang terpusat pada perbaikan prestasi berhubungan dengan tugas pada pekerjaan pada masa yang akan datang, dan (3) menyediakan pengembangan organisasi yang menghasilkan pemanfaatan optimal dari potensi manusia dan perbaikan prestasi, yang bersamaan dengan perbaikan efisiensi organisasi.
Pengembangan individu berhubungan dengan pengembangan pengetahuan baru, ketrampilan dan/atau perbaikan perilaku sebagai hasil dari peningkatan prestasi dan perbaikan yang terkait dengan salah satu pekerjaan saat ini. Kegiatan belajar yang bisa dilakukan antara lain melalui pelatihan, dan pendidikan. Pengembangan karir terpusat pada penyediaan kebutuhan analisis untuk mengidentifikasi minat individu, nilai, kompetensi, aktivitas dan kebutuhan tugas untuk menghasilkan ketrampilan yang dibutuhkan oleh pekerjaan di masa yang akan datang. Kegiatan belajar yang bisa dilakukan antara lain seminar, lokakarya, penilaian prestasi dan program terobosan karir.
Pengembangan organisasi
berhubungan dengan perkembangan baru dan merupakan solusi kreatif organisasi untuk mencari solusi terkait dengan prestasi, di antaranya dengan mempertinggi kesesuaian struktur organisasi, budaya cara kerja dan strategi bidang sumberdaya manusia.
Tujuan akhir dari pengembangan organisasi adalah membangun
kapasitas kemandirian organisasi. Kegiatan belajar yang bisa dilakukan melalui kolaborasi anggota-anggota organisasi dengan agen perubahan (change agent). Pengukuran sumberdaya manusia tidaklah mudah.
Gilley (Sumardjo,
1999:95) mengemukakan ada dua alasan kesulitan dalam pengukuran yaitu (1) sulitnya menggunakan ukuran standar seperti sumberdaya yang lain, dan (2) sumberdaya manusia tidak bisa didepriasikan seperti halnya sumberdaya yang lain.
Untuk itu, ada cara lain untuk mengukur pengembangan sumberdaya
manusia yaitu (1) menghitung biaya perekrutan, pengalokasian kembali, pengurangan produktivitas dan biaya pelatihan, dan (2) mengukur tingkat pengetahuan, sikap dan keterampilan. Dalam
kaitannya dengan topik penelitian ini, pengukuran pengembangan
sumberdaya manusia dalam hal ini penyuluh pertanian disoroti dari aspek pengukuran tingkat kompetensi penyuluh berkaitan dengan pelaksanaan tugastugasnya sebagai penyuluh. Konsep Kinerja Kinerja merupakan hal yang penting untuk mengukur keberhasilan suatu organisasi dalam mencapai tujuannya. Kinerja dapat diartikan sebagai tingkat keberhasilan seseorang di dalam melaksanakan pekerjaannya. Miner (1980:19)
mengemukakan bahwa dimensi kinerja produktivitas adalah ukuran-ukuran dan penilaian dari perilaku yang aktual di tempat pekerjaan. Dimensi kinerja yang digunakan adalah 1) quality of output, (2) quantity of output, dan (3) time at work. Stoner mengemukakan teori bahwa kinerja merupakan fungsi dari motivasi (motivation), kemampuan (ability) dan pemahaman peran (role perception). Kinerja = ( Kemampuan, Motivasi, Pemahaman peran ) Yang dimaksud pemahaman peran adalah pemahaman seeorang atas tugas dan perilaku yang diperlukan untuk mencapai kinerja tinggi. Seseorang dikatakan mempunyai pemahaman peran yang tinggi bila ia tahu dengan persis tentang bagaimana mengerjakan dan menyelesaikan tugasnya dengan sebaik-baiknya (Stoner and Freeman, 1994:406). Blumberg dan Pringle (Stoner and Freeman, 1994) mengemukakan teori bahwa kinerja merupakan fungsi perkalian dari kemampuan, motivasi dan kesempatan untuk berprestasi (opportunity to perform) dengan rumusan : Kinerja = ( Kemampuan X Motivasi X Opportunity to Perform ) Yang dimaksud dengan kesempatan untuk berprestasi (Opportunity to perform ) adalah kesempatan untuk mencapai kinerja yang lebih tinggi bila mendapatkan dukungan, bantuan atau fasilitas dari luar seperti kondisi tempat kerja, tercukupi peralatan dan perlengkapan kerja, adanya teman yang mau membantu, tercukupinya informasi yang diperlukan, adanya aturan dan prosedur kerja. (Robbins, 1993:233). Soeprihanto (1988:2) mengemukakan bahwa penilaian kinerja (prestasi kerja) tidak hanya dilihat hasil fisik yang telah dihasilkan oleh seseorang, melainkan dalam artian keseluruhan, sehingga dalam penilaian kinerja ditunjukkan pada berbagai bidang seperti kemampuan kerja, kerajinan, disiplin, hubungan kerja, prakarsa, kepemimpinan atau hal-hal khusus sesuai dengan bidang dan level pekerjaan yang dijabatnya. Robbins (1993) mengemukakan bahwa kinerja dipengaruhi atau dapat ditentukan berdasarkan faktor-faktor internal dan eksternal. Faktor internal merupakan sifat-sifat yang melekat atau ciri-ciri pribadi setiap individu yang disebut karakteristik biografi seperti usia, jenis kelamin, masa kerja, banyaknya tanggungan, pendidikan dan pangkat. Faktor eksternal merupakan lingkungan dan
iklim organisasi seperti filsafat dan kebijakan manajemen, sistem kompensasi, syarat kerja, kelompok dan hakekat kerja serta fasilitas yang mendukung kerja. Menurut
Rothwell
(Departemen
Pertanian,
2001:10-11),
perkembangan kinerja manusia adalah terpusat untuk meningkatkan hasil kerja sekarang dan masa datang secara sistematik dan holistik yang disesuaikan dengan organisasi.
Lebih jauh ditekankan bahwa ada sebelas hal yang mendasari
pengembangan kinerja manusia yaitu; (1) kinerja dan perilaku adalah suatu hal yang berbeda, karena itu permasalahan terhadap perbedaan tersebut merupakan hal penting untuk mencapai tujuan dalam suatu aktivitas, (2) kinerja manusia pada umumnya berkaitan dengan kinerja organisasinya, (3) biaya yang dibutuhkan untuk meningkatkan kinerja harus dianggap sebagai insvestasi SDM, yang akan memberikan hasil dalam bentuk meningkatnya potensi kerja, (4) tujuan organisasi dan tujuan individu harus ditentukan sesuai dengan kinerjanya, (5) area pengembangan
perfoman
seseorang
meliputi
fungsi
manajemen,
fungsi
pengembangan dan sistem komponen, (6) pemahaman merekasaya kinerja manusia dan kondisi yang mempengaruhinya sangat penting untuk mengetahui perilaku yang terjadi, (7) untuk mendiagnosis permasalahan, seseorang harus menganalisis kondisi sekarang dan menganalisis perbedaan antara keadaan sekarang dan keadaan ideal. Untuk menghindari permasalahan yang diantisipasi, seseorang harus menganalisis sistem yang direncanakan dan memperbaikinya sesuai dengan sistem ideal, (8) kondisi kinerja yang terbaik, merupakan sumber terpenting dalam menyusun kinerja standar, (9) permasalahan dalam kinerja manusia
dapat
disebabkan
oleh
penyebab
yang
berbeda,
dan
dapat
diklasifikasikan penyebab dari individu dan organisasi, (10) kinerja dari suatu sub sistem akan mempengaruhi kinerja sub sistem lainnya, dan (11) penyelesaiaan yang berbeda dibutuhkan untuk memperbaiki kinerja manusia. Memperhatikan sebelas hal perkembangan kinerja manusia, Gillbert (Rothwell, 1994:34 ) mengemukakan bahwa sitem kinerja dapat dianalisiss ke dalam enam tingkatan yaitu; (1) keyakinan dimana suatu organisasi bekerja (the philosophical level), (2) lingkungan yang lebih luas di mana organisasi bekerja (the cultural level ), (3) misi yang menetapkan fungsi dasar untuk organisasi (the policy level ), (4) rencana organisasi untuk mencapai misinya ( the strategic level
), (5) aktivitas tertentu untuk merealisasikan rumusan ( the tactical level ), dan (6) aktivitas pendukung yang membantu seseorang untuk bekerja sesuai dengan fungsinya (the logistical level ). Menurut
Soeprihanto
(2000:43-44),
dipertimbangkan dalam membangun
ada
tiga
hal
yang
perlu
sistem manajemen kinerja yaitu; (1)
identifikasi kompetensi-kompetensi yang disyaratkan untuk kinerja superior pada jabatan-jabatan masa kini dan masa depan (kompetensi-kompetensi yang diperlukan untuk implementasi perubahan strategis yang dikehendaki), (2) mengembangkan suatu sistem majajemen kinerja model campuran untuk mengassess hasil-hasil kinerja dan perilaku-perilaku kompetensi yang memprediksikan kinerja dalam jabatan, dan (3) melatih para karyawan dan manajer dalam manajemen kinerja, antara lain coaching untuk improvement kinerja Dalam profesionalisme
kaitannya
penyuluh
untuk
pertanian
memotivasi
dalam
dan
penyelenggaraan
membangun penyuluhan
pertanian, Departemen Pertanian menyatakan ada sembilan indikator kinerja (patokan kerja) penyuluhan pertanian yaitu; (1) tersusunnya programa penyuluhan pertanian di tingkat BPP/Kecamatan sesuai dengan kebutuhan petani, (2) tersusunnya kinerja penyuluh pertanian di wilayah kerja masing-masing, (3) tersusunnya
peta
wilayah
komoditas
unggulan
spesifik
lokasi,
(4)
terdiseminasinya informasi teknologi pertanian secara merata dan sesuai dengan kebutuhan petani, (5) tumbuhkembangnya keberdayaan dan kemandirian petani, kelompok tani, usaha/asosiasi petani dan usaha formal (koperasi dan kelembagaan lainnya), (6) terwujudnya kemitraan usaha antara petani dengan pengusaha yang saling menguntungkan, (7) terwujudnya akses petani ke lembaga keuangan, informasi, sarana produksi pertanian dan pemasaran, (8) meningkatnya produktivitas agribisnis komoditi unggulan di masing-masing wilayah kerja, dan (9) meningkatnya pendapatan dan kesejahteraan petani di masing-masing wilayah kerja. Kesembilan indikator kinerja penyuluhan pertanian tersebut, juga dilengkapi dengan sembilan alat verikasi yaitu; (1) naskah programa penyuluhan pertanian di BPP kabupaten/kota, provinsi dan nasional, (2) naskah rencana kerja penyuluhan pertanian di BPP, kabupaten/kota, provinsi dan nasional, (3) peta
wilayah perkembangan komoditas unggulan spesifik lokasi, (4) materi informasi teknologi pertanian sesuai dengan kebutuhan petani, (5) jumlah kelompok tani, usaha/asosiasi petani yang berkembang menjadi koperasi dan lembaga formal lainnya, (6) jumlah petani/kelompok tani yang sudah menjalin kemitraan yang saling menguntungkan dengan pengusaha, (7) jumlah petani yang sudah mengakses lembaga keuangan, informasi, sarana produksi pertanian dan pemasaran, (8) produksi persatuan skala usaha untuk komoditas unggulan di masing-masing wilayah kerja, dan (9) pendapatan dan kesejahteraan petani di masing-masing wilayah kerja. Berdasarkan Keputusan Menteri Negara Koordinator Bidang Pengawasan Pembangunan dan Pendayagunaan Aparatur Negara No. 19/KEP/MK.Waspan/5/ 1999, tugas pokok penyuluh pertanian adalah (1) menyiapkan penyuluhan yang meliputi identifikasi potensi wilayah agroekosistem, penyusunan programa penyuluhan pertanian dan penyusunan rencana kerja penyuluh pertanian, (2) melaksanakan penyuluhan meliputi penyusunan materi penyuluhan pertanian, penerapan metode penyuluhan pertanian dan pengembangan keswadayaan masyarakat, (3) evaluasi dan pelaporan penyuluhan, (4) pengembangan penyuluhan meliputi penyusunan petunjuk pelaksanaan dan petunjuk teknis penyuluhan pertanian, perumusan kajian arah kebijaksanaan pengembangan pneyuluhan pertanian dan pengembangan metode dan sistem kerja penyuluhan pertanian, (5) pengembangan profesi penyuluhan meliputi penyusunan karya tulis ilmiah dan ilmiah penyuluhan pertanian, penerjemahan atau penyaduran buku penyuluhan pertanian dan bimbingan penyuluh pertanian, dan (6) penunjang penyuluhan meliputi seminar dan lokakarya penyuluhan pertanian.serta mangajar pada diklat bidang penyuluhan. Berdasarkan konsep kinerja yang telah dijelaskan dan tugas-tugas penyuluh, maka seorang penyuluh bisa dikatakan memiliki kinerja yang berhasil apabila ia bisa menerapkan dengan baik tugas-tugasnya. Kondisi ini dicerminkan dengan adanya perubahan perilaku petani kearah yang lebih baik dan kepuasan petani terhadap pelayanan yang diberikan oleh penyuluh. Ciri-ciri kinerja penyuluh yang bermutu dan kinerja penyuluh yang cenderung kurang berhasil disajikan pada Tabel 4.
Tabel 4. Ciri-ciri Kinerja Penyuluh yang Bermutu dan yang Cenderung Kurang Berhasil Aspek Kinerja Penyuluh yang Kinerja Penyuluh yang Bermutu Kinerja Cenderung Kurang Berhasil Persiapan Penyuluhan
(1) Tersusunnya rumusan hasil pengumpulan data potensi wilayah dan agroekosistem tepat waktu (2) Tersedianya rumusan hasil kebutuhan teknologi spesifik lokasi sesuai dengan kebutuhan petani (3) Programa penyuluhan tersusun dengan jelas, terukur dan mengakomodir kekebutuhan petani (4) Rencana kerja penyuluh tersusun dengan jelas, terukur dan terealisasi setiap tahunnya
(1) Rumusan hasil pengumpulan data potensi wilayah dan agroekosistem tidak tersusun tepat waktu (2) Rumusan hasil kebutuhan teknologi spesifik lokasi kurang sesuai dengan kebutuhan petani (3) Programa penyuluhan yang disusun kurang jelas, sulit diukur dan cenderung mengakomodir programprogram pusat (4) Rencana kerja penyuluh kurang disusun secara jelas, tidak terukur dan kurang bisa direalisasikan setiap tahunnya
Pelaksanaan Penyuluhan
(1) Materi penyuluhan disusun dan disajikan sesuai dengan kebutuhan petani, dalam bentuk dan bahasa yang mudah dipahami petani (2) Penerapan metode penyuluhan bervariasi dan sesuai dengan karakteristik petani (3) Berkembangnya kelompok tani menjadi kelompok yang lebih besar terkait dengan pengembangan usahataninya
(1) Materi penyuluhan cenderung dari program pusat dan kurang bisa dipahami petani (2) Penerapan metode penyuluhan g monoton dan kurang sesuai dengan karakteristik petani (3) Kelompok tani kurang berkembang dalam meningkatkan usahataninya
Evaluasi dan Pelaporan Penyuluhan
(1) Setiap melaksanakan kegiatan penyuluhan selalu dibuat pelaporan dan evaluasi hasilnya (2) Evaluasi dampak penyuluhan dilakukan setiap dua tahun sekali Pengembangan (1) Tersusunnya pedoman teknis dan pelaksanaan penyuluhan Penyuluhan untuk acuan penyuluh dalam melaksanakan tugasnya (2) Adanya rumusan hasil kajian arah kebijakan penyuluhan (3) Adanya rumusan hasil konsep baru metode penyuluhan
(1) Tidak semua kegiatan dibuat pelaporan dan evaluasi hasilnya (2) Evaluasi dampak penyuluhan tidak pernah dilakukan (1) Penyuluh kurang terlibat dalam penyusunan pedoman penyuluhan (2) Penyuluh kurang bahkan tidak pernah melakukan kajian arah kebijakan penyuluhan (3) Penyuluh kurang bahkan
Pengembangan (1) Penyuluh selalu menghasilkan karya tulis ilmiah bidang Profesi penyuluhan Penyuluhan
(2) Penyuluh selalu menghasilkan karya tulis ilmiah populer bidang penyuluhan yang dipublikasikan pada media massa (3) Penyuluh selalu menghasilkan sauran dan terjemahan bidang penyuluhan
Penunjang Penyuluhan
(1) Sering mendapat kesempatan mengikuti kegiatan seperti seminar, lokakarya dan pelatihan bidang penyuluhan (2) Sering mendapat kesempatan mengajar pada diklat terkait dengan bidang penyuluhan (3) Sering mendapat penghargaan atas prestasi kerjanya
(1)
(2)
(3)
(1)
(2)
(3)
tidak pernah menghasilkan rumusan konsep baru metode penyuluhan Karya tulis ilmiah bidang penyuluhan jarang dihasilkan dan bahkan tidak pernah Jarang menghasilkan karya tulis ilmiah populer bidang penyuluhan dan bahkan tidak pernah Kurang atau bahkan tidak pernah melakukan penyaduran dan penerjemahan bidang penyuluhan Kesempatan mengikuti kegiatan seperti seminar, lokakarya dan pelatihan bidang penyuluhan terbatas Kesempatan mengajar pada diklat terkait dengan bidang penyuluhan terbatas Kurang atau bahkan tidak pernah mendapat penghargaan atas prestasi yang diraihnya