II. 2.1.
TINJAUAN PUSTAKA
Pembangunan Berkelanjutan Pembangunan berkelanjutan didefinisikan sebagai pembangunan yang
dapat memenuhi kebutuhan generasi sekarang tanpa mengorbankan kemampuan generasi yang akan datang untuk memenuhi kebutuhannya (Sustainable development is development that meets the needs of the present without compromising the ability of future generations to meet their own needs) (World Commission on Environment and Development - WCED 1987). The term sustainability expresses the human desire for an environment that can provide for our needs now and for future generations. Our collective journey to find a way to live harmoniously with each other and within our social, economic, and ecological environments is a quest for sustainability. Di dalam definisi pembangunan berkelanjutan terkandung dua gagasan penting: (1) gagasan kebutuhan, khususnya kebutuhan esensial kaum miskin sedunia, yang harus diberi prioritas utama; dan (2) gagasan keterbatasan yang bersumber pada kondisi teknologi dan organisasi sosial terhadap kemampuan lingkungan untuk memenuhi kebutuhan kini dan hari depan. Pemenuhan kebutuhan dan aspirasi manusia adalah tujuan utama pembangunan. Kebutuhan esensial sejumlah besar penduduk di negara-negara berkembang: pangan, sandang, rumah, pekerjaan, belum terpenuhi dan di luar kebutuhan dasar itu orang-orang tersebut mempunyai cita-cita akan kehidupan yang lebih baik. Dunia yang di dalamnya kemiskinan dan kepincangan sudah endemik akan selalu mudah terserang krisis ekologi dan krisis-krisis lainnya. Pembangunan berkelanjutan mengharuskan dipenuhinya kebutuhan-kebutuhan dasar bagi semuanya dan diberinya kesempatan kepada semua untuk mengejar cita-cita akan kehidupan yang lebih baik. Pertumbuhan ekonomi selalu membawa risiko kerusakan lingkungan, karena hal itu meningkatkan tekanan pada sumberdaya–sumberdaya lingkungan (WCED 1987). Menurut Munasinghe (1993),
tiga tujuan pembangunan berkelanjutan
yang harus dicapai secara simultan dengan kombinasi ketiganya sesuai dengan kondisi dan tingkat kemajuan masyarakat yaitu (1) tujuan ekonomi: pertumbuhan
14
ekonomi, peningkatan output, pembentukan modal dan peningkatan daya saing; (2)
tujuan
sosial:
kesejahteraan
sosial,
pemerataan,
kenyamanan
dan
ketenteraman; (3) tujuan ekologis: pemeliharaan dan peningkatan kualitas lingkungan, mengurangi dampak eksternalitas negatif dan mendorong dampak ekternalitas positif dalam proses kegiatan pembangunan. 2.2.
Sumberdaya Alam dan Lingkungan Sumber daya alam (natural resources) adalah segala unsur lingkungan
(biotik maupun abiotik) yang bermanfaat dan digunakan oleh manusia untuk memenuhi kebutuhan dan keinginannya, baik kebutuhan primer yang bersifat lahiriah (pangan, sandang, dan papan), kebutuhan sekunder yang bersifat batiniah (estetika) maupun kebutuhan tersier dan seterusnya yang lebih bersifat hobi atau pengembangan bakat. Berdasarkan pemanfaatannya sumberdaya dikelompokkan menjadi dua yaitu (1) sumberdaya alam langsung, seperti: udara, air, dan bahan pangan dan (2) sumberdaya tidak langsung seperti: minyak, besi, dan bahan tambang. Berdasarkan jenis,
sumberdaya alam dikelompokkan
menjadi dua
yaitu: (1) sumberdaya tidak dapat diperbahurui (non renewable naural resources) seperti: tembaga, besi, emas, batubara, minyak; dan (2) sumberdaya alam yang dapat diperbaharui (renewable natural resources) seperti: hutan, satwa, deposit air tanah. Dalam Undang Undang Republik Indonesia (UURI) Nomor 23 tahun 1997 dirumuskan bahwa lingkungan hidup adalah kesatuan ruang dengan semua benda, daya, keadaan, dan mahluk hidup, termasuk manusia dan perilakunya, yang mempengaruhi kelangsungan perikehidupan dan kesejahteraan manusia serta makhluk hidup lainnya. Prinsip pengelolaan lingkungan adalah pencegahan dan penanggulangan terhadap penurunan dan kerusakan kualitas lingkungan akibat terganggunya atau rusaknya tatanan ekos. 2.3.
Kerusakan Lahan Kering Tanah sebagai bagian dari sumberdaya alam adalah suatu benda alami
heterogen yang terdiri atas komponen padat, cair dan gas, dan mempunyai sifat serta perilaku yang dinamik. Sebagai sumberdaya alam untuk pertanian, tanah mempunyai dua fungsi utama yaitu: (1) sebagai sumber unsur hara bagi
15
tumbuhan, dan (2) sebagai matrik tempat akar tumbuh berjangkar dan air tanah tersimpan, tempat unsur-unsur hara dan air ditambahkan (Arsyad 2000). Lahan adalah lingkungan fisik yang terdiri atas iklim, relief, tanah, air, dan vegetasi serta benda yang ada di atasnya sepanjang ada pengaruhnya terhadap penggunaan lahan. Lahan kering adalah hamparan lahan yang tidak pernah digenangi atau tergenang air pada sebagian besar waktu selama setahun (Hidayat et al. 2000). Keberadaan lahan kering di Indonesia, pada saat ini telah menempati lahan tanpa kendala atau pembatas, kesuburan rendah, lahan dengan tanah retak-retak, lahan dengan tanah dangkal, dan lahan perbukitan (Hidayat et al. 2000). Relief tanah yang ditentukan oleh kelerengan dan perbedaan ketinggian sangat menentukan mudah dan tidaknya pengelolaan tanah tersebut untuk usaha tani yang produktif. Sebagai gambaran, lahan kering disebut berelief perbukitan jika memiliki kelerengan 15% sampai 30% dan dengan perbedaan ketinggian 50 sampai 300 meter. Berdasarkan hasil penelitian para ahli, proporsi lahan kering berelief perbukitan di Jawa Tengah paling besar (40%), demikian pula di Daerah Istimewa Yogyakarta (60%). Ditinjau dari bentuk, kesuburan dan sifat fisik lainnya, pengelolaan lahan kering relatif lebih berat dibanding dengan lahan basah (sawah). Hingga kini, perhatian pemerintah dan pelaku ekonomi pasar terhadap pengelolaan lahan kering secara berkelanjutan relatif rendah dibandingkan dengan perhatian terhadap lahan sawah dataran rendah. Lahan perlu dikelola dengan baik agar dapat tetap berfungsi untuk memenuhi kebutuhan generasi masa kini dan generasi masa yang akan datang. Menurut Sitorus (2001) sistem pengelolaan lahan mencakup lima unsur yaitu: (1) perencanaan penggunaan lahan sesuai dengan kemampuannya,
(2) tindakan-
tindakan konservasi tanah dan air, (3) menyiapkan tanah dalam keadaan olah yang baik, (4) menggunakan sistem pergiliran tanaman yang tersusun baik, dan (5) menyediakan unsur hara yang cukup dan seimbang bagi pertumbuhan tanaman.
16
2.3.1. Beberapa Hasil Penelitian Tentang Lahan Kering Sebagai bahan acuan dan perbandingan penelitian berikut ini (Tabel 1) penulis kemukakan hasil penelitian dalam periode tahun 1996-2007 berkaitan dengan usahatani lahan kering oleh Basit (1996), Moore and Hill (2000), Syamsudin (2001), Pranaji (2005), dan Pujiharti (2007), dan Mulatsih (2006). Tabel 1 No
Beberapa hasil penelitian tentang lahan kering dalam periode tahun 1996 -2007
Penulis
Judul
1
Abdul Basit
2
Moore dan Hill
3
Syamsuddin
4
Tri Pranadji
5
Yulia Pujiharti Model Pengelolaan Lahan Kering Berkelanjutan pada Sistem Agribisnis Tanaman Pangan
6
Sri Mulatsih
Thn.
Analisis Ekonomi Pe1996 nerapan Teknologi Usaha Tani Konservasi Lahan Kering Berlereng di Wilayah Hulu DAS Jratunseluna Jawa Tengah Models of Community 2000 Development Practice. Model Evaluasi Keber- 2001 hasilan usaha tani di lahan kering Studi kasus penanaman Jambu mete di Kabupaten Lombok Barat Model pemberdayaan 2005 masyarakat pedesaan untuk pengelolaan Agroekosistem Lahan Kering. Studi penguatan modal sosial dalam desa-desa (Hulu Das) Ex proyek, Bangun Desa, Kabupaten Gu-nung Kidul dan Ex Proyek Pertanian Lahan Kering Kab. Boyolali.
2007
Faktor Sosial Ekonomi 2006 dan Kondisi Lahan yang Mempengaruhi Penggunaan Lahan Kering.
Hasil Penelitian Teknologi usahatani konservasi tersebut merupakan faktor yang paling menentukan dalam peningkatan dan pedapatan petani, selain itu peningkatan intensitas penyuluhan merupakan salah satu usaha untuk memperbaiki produksi dan pendapatan usaha lahan kering wilayah hulu DAS. Model Menghasilkan Reflective practice, yang elemen utamanya adalah pengalaman lapang yang perlu didukung oleh elemen model pemberdayaan. Berdasarkan hasil penelitian tersebut menunjukan adanya peningkatan pendapatan petani, tingkat erosi menunjukan keberhasilan pengelolaan usaha tani secara berkelanjutan
Peningkatan manajemen pertanian lahan kering melalui program UACP dan BDP tidaklah berhasil, perbedaan dari modal sosial dalam masyarakat dapat dijadikan indikator dari lemahnya masyarakat pedesaan dalam mengatur UAE dan juga lemahnya sistem pemerintahan di pedesaan. Rusaknya nilainilai dalam masyarakat menjadi menjadi faktor yang dominan dalam menciptakan suatu kemunduran sosial. Usaha untuk mengem-bangkan lahan kering ke depannya pemberdayaan lahan kering harus diintegrasikan dengan transformasi dari kebudayaan dan kondisi ekonomi pedesaan. Pemberdayaan yang efektif harus dibangun melalui peningkatan modal sosial dalam suatu masyarakat, dan akan lebih efektif jika didukung oleh kepemimpinan lokal, manajemen sosial, dan organisasi sosial pada wilayah yang kecil Teknologi yang diterapkan dalam pengelolaan lahan kering adalah pola usaha tanaman ternak yang menerapkan pola pergiliran tanaman jagung ubi. Penggunaan pupuk belum berim-bang dan tidak menggunakan pupuk kandang adalah pengelolaan lahan yang tidak berkelanjutan, karena menurunkan kesuburan dan pendapatan petani. Faktor yang mempengaruhi keputusan petani dalam menggunakan lahan kering adalah: (1) faktor sosial: pendidikan petani dan pengetahuan mengenai agroforestri; (2) faktor ekonomi: sumber utama pendapatan keluarga, kemampuan membentuk modal, dan luas persil lahan kering; (3) faktor kondisi lahan: jarak lokasi dengan rumah petani, kemiringan lahan dan status lahan.
17
2.3.2. Penyebab dan Akibat Kerusakan Lahan Kering Adapun faktor-faktor yang sering menyebabkan kerusakan tanah antara lain erosi. Erosi mengakibatkan hilangnya unsur hara dan bahan organik karena pencucian (leaching) dan atau terangkut melalui panen tanpa ada usaha untuk mengembalikannya, timbulnya senyawa-senyawa beracun dan penjenuhan air (Arsyad 2000; Sitorus 2001). Akibat kerusakan lahan secara langsung adalah kurang optimalnya produksi; dan hal ini langsung atau tidak langsung akan berdampak negatif terhadap tingkat pendapatan masyarakat yang selanjutnya mempersulit upaya pengentasan kemiskinan atau perbaikan ekonomi masyarakat. 2.3.3. Hubungan antara Mutu Lahan Kering dengan Kependudukan Sejumlah hasil penelitian para ahli menunjukkan bahwa ada hubungan antara kerusakan atau menurunnya mutu lahan kering untuk usahatani dengan faktor-faktor kependudukan, seperti tingkat pendidikan formal, pengetahuan, kepadatan penduduk, perilaku atau kebiasaan hidup, adat dan tingkat kemiskinan penduduk. Akibat dari rendahnya tingkat pendapatan maka untuk mencukupi kebutuhan hidup sehari-hari masyarakat kerapkali mengabaikan pemeliharaan lingkungan
misalnya dengan menebang pohon untuk keperluan kayu bakar,
menggunakan pupuk secara tidak teratur dan tidak proporsional. Notodarmojo (2005) mengemukakan bahwa selain faktor alami, kegiatan manusia, seperti penambangan lahan untuk kawasan permukiman dan industri, eksploitasi pertambangan, pembuangan limbah, dan kegiatan lain akan berdampak pada tanah dan air tanah di kawasan tersebut. Karakter hidrologi mungkin akan berubah, demikian pula dengan kualitas tanah dan air tanah. Kerusakan lahan juga berhubungan secara bermakna dengan derajat atau status kesehatan masyarakat. Kerusakan lahan berhubungan secara bermakna dengan tingkat ekonomi atau pendapatan masyarakat. Dua faktor penting dalam usaha pertanian yang potensial menimbulkan dampak pada sumberdaya lahan, yaitu tanaman dan manusia (sosio kultural) yang menjalankan pertanian. Diantara kedua faktor, faktor manusialah yang berpotensi berdampak positif atau negatif pada lahan, tergantung cara menjalankan pertaniannya. Kegiatan menjalankan pertanian atau cara budidaya
18
pertanian yang menimbulkan dampak antara lain meliputi kegiatan pengolahan tanah, penggunaan sarana produksi yang tidak ramah. Perubahan penggunaan lahan miring dari vegetasi permanen menjadi lahan pertanian intensif menyebabkan tanah menjadi lebih mudah terdegradasi oleh erosi tanah. Akibat degradasi oleh erosi ini dapat dirasakan dengan semakin meluasnya lahan kritis. Praktek penebangan dan perusakan hutan (deforesterisasi) merupakan penyebab utama terjadinya erosi di kawasan daerah aliran sungai (DAS). 2.3.4. Hubungan antara Mutu Lahan Kering dengan Layanan Pemerintah Pengelolaan tanah pada umumnya dimaksudkan untuk menjaga kualitas atau mutu tanah dan lingkungan serta meminimalkan dampak negatif dari aktivitas manusia, seperti pengembangan lahan, pemanfaatan lahan sebagai tempat buangan atau kegiatan lainnya yang berdampak negatif terhadap kualitas tanah dan air tanah baik secara langsung maupun tidak langsung (Notodarmojo 2005).
Untuk itu pemerintah perlu senantiasa mengembangkan kebijakan-
kebijakan pengelolaan dan law enforcement di bidang tanah dan air tanah. Sejauh ini aspek hukum secara khusus mengatur tentang kualitas tanah belum ada, tetapi aspek hukum dari pencemaran tanah termasuk dalam aspek pencemaran lingkungan secara keseluruhan.
Peraturan perundang-undangan yang berlaku
yang berkaitan dengan pengelolaan tanah dan air tanah di antaranya yaitu Undang-Undang Nomor 23 Tahun 1997 tentang Pengelolaan Lingkungan Hidup, Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2004 tentang Pengelolaan Sumber Daya Air, Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2006 tentang Sistem Penyuluhan Pertanian, Perikanan, dan Kehutanan. 2.3.5. Hubungan antara Mutu Lahan Kering dengan Lingkungan dan Teknologi Dari beberapa penelitian diperoleh hasil bahwa terdapat hubungan yang bermakna antara kerusakan lahan kering dengan lingkungan : sumberdaya air, keadaan pohon tanaman keras, curah hujan, suhu, kelembaban udara, dan teknologi (biologi, fisika, kimia).
19
Tanah merupakan suatu ekosistem yang mendukung kehidupan flora dan fauna (Notodarmojo 2005). Tanah merupakan medium bagi mikroorganisme; beragam mikroorganisme terdapat dalam tanah. Di antara organisme yang penting dan perlu mendapat perhatian dalam kaitannya dengan keberadaan zat pencemar dalam tanah dan air tanah ialah mikroorganisme. Mikroorganisme yang terdiri dari bebagai jenis mampu mengubah atau melakukan transformasi biotis terhadap kontaminan, terutama kontaminan organik. Keberadaan mikroorganisme dalam tanah mempunyai peranan penting dalam perombakan (degradsi) zat pencemar organik dalam tanah melalui proses metabolismenya. Bakteri hidup subur dalam tanah, terutama tanah dengan kelembaban yang mencukupi dan mengandung cukup banyak substrat. Dalam kondisi kelembaban yang cukup, satu gram tanah terdapat satu juta bakteri (Foth 1984, diacu dalam Notodarmojo 2005). Selain bakteri di dalam tanah terdapat pula aktivitas hewan tanah, di antaranya cacing tanah, arthropoda, semut, dan rayap (Notodarmojo 2005). Cacing tanah membuat rongga yang dangkal dan memakan sisa organik dari tanaman yang mati. Kotoran cacing tersebut dibuang di sekitar lubang, membuat tanah di sekitarnya menjadi kaya dengan zat organik. Jaringan lubang yang dibuat cacing tanah ini membuat tanah mengalami aerasi, membuat tanah menjadi aerobik dan mempermudah infiltrasi air hujan. Demikian pula halnya dengan arthropoda, semut, dan rayap memakan sisa organik dan membuat rongga dalam tanah. Tanah dan air tanah sebagai komponen lingkungan yang merupakan sumberdaya alam adalah sama pentingnya bagi manusia. Mutu tanah sangat ditentukan oleh tersedia atau tidaknya sumberdaya air yang bermutu baik, dalam arti bukan air yang terkontaminasi zat atau bahan mencemar. Mutu lahan sangat ditentukan oleh keadaan kontaminan tanah yang berasal dari berbagai sumber. OTA (Office of Technology Assesment, United States of America) (1984) membagi sumber kontaminan air tanah dalam 6 kategori : (1) sumber yang berasal dari tempat atau kegiatan yang dirancang untuk membuang dan mengalirkan, contoh tanki septictank dan kakus, sumur injeksi; (2) sumber yang berasal dari tempat atau kegiatan yang dirancang untuk mengolah dan membuang zat atau substansi, contoh: landfill, tempat pembuangan limbah pertambangan, kolam penampungan, tempat penyimpanan limbah berbahaya dan material
20
radioaktif; (3) sumber yang berasal dari tempat atau kegiatan transportasi zat atau substansi, contoh: saluran riol atau saluran limbah; (4) sumber yang berasal dari konsekuensi suatu kegiatan yang terencana, contoh air irigasi yang berlebih dan mengandung pupuk, termasuk penggunaan pestisida dan pupuk dalam pertanian; contoh sumur bor untuk produksi atau eksplorasi minyak, gas, dan panas bumi; (5) sumber yang berasal dari kegiatan yang menyebabkan adanya jalan masuk bagi air terkontaminasi masuk ke dalam akifer, (6) sumber kontaminan yang bersifat alamiah atau terjadi secara alamiah, tetapi terjadinya pengaliran atau penyebarannya disebabkan oleh aktivitas manusia, contoh penggunaan bahan bakar minyak dan batu bara. Kandungan kimia mempengaruhi kualitas tanah dan air tanah. Kandungan kontaminan anorganik yang bersifat asam dapat melarutkan zat-zat yang membentuk struktur tanah. Pestisida merupakan salah satu kontaminan organik yang berasal dari aktivitas manusia. Penggunaan pestisida secara besar-besaran untuk keperluan pertanian telah mencemari tanah dan air tanah. Ada dua hal penting dari kontaminasi pestisida yang perlu diperhatikan dalam kaitannya dengan gangguan pada lingkungan dan manusia yaitu (1) umumnya pestisida mempunyai sifat yang relatif persisten yang menyebabkan terjadinya akumulasi dalam tanah, dan beramplifikasi pada makhluk hidup melalui rantai makanan; (2) sifat racun (toksin) pada makhluk hidup, termasuk manusia, yang mengganggu sistem syaraf, bahkan dapat menimbulkan kanker; selain itu dapat mengakibatkan kerusakan keanekaragaman hayati dan perubahan komposisi biota. Kerusakan lahan juga disebabkan karena erosi yang terjadi tidak hanya di bagian hulu (on site) akan tetapi juga di bagian hilir (off site) dari suatu daerah aliran sungai (DAS). Kerusakan di hulu menyebabkan penurunan kesuburan tanah dan berpengaruh terhadap kemunduran produktivitas tanah dan meluasnya lahan kritis. Di bagian hilir kerusakan diakibatkan oleh sedimentasi yang menyebabkan pendangkalan saluran air dan sungai dan berakibat tejadinya kekeringan di musim kemarau. Erosi merupakan faktor utama penyebab ketidakberlanjutan kegiatan usaha tani di wilayah hulu. Erosi yang intensif di lahan pertanian menyebabkan semakin menurunnya produktivitas usahatani karena hilangnya lapisan tanah
21
bagian atas yang subur dan berakibat tersembul lapisan cadas yang keras (Atmojo 2006). 2.4.
Pengendalian Mutu Lahan Kering Dari hasil studi kepustakaan diketahui bahwa pengendalian mutu lahan
kering sangat penting agar tetap berfungsi dan berproduksi dengan baik, Karena itu diperlukan upaya pengelolaan atau konversi lahan yang benar-benar efektif, bukan saja oleh pemerintah dan masyarakat tetapi juga oleh pihak swasta dan lembaga
sosial
masyarakat.
Undang-Undang
Nomor
16
tahun
2006
mengisyaratkan pentingnya pengembangan sistem penyuluhan pertanian di seluruh daerah di Indonesia. Kebijakan penting dikembangkan sesuai dengan situasi dan kondisi daerah berdasarkan prinsip-prinsip otonomi daerah. 2.5.
Pemberdayaan Masyarakat Pemberdayaan masyarakat merupakan strategi pembangunan yang
menitikberatkan pada kepentingan dan kebutuhan rakyat yang mengarah pada kemandirian masyarakat, partisipasi, jaringan kerja dan keadilan (Hikmat 2001). Dalam UU No.23 tahun 1997 dinyatakan bahwa kemandirian dan keberdayaan masyarakat merupakan prasyarat untuk menumbuhkan kemampuan masyarakat sebagai pelaku dalam pengelolaan lingkungan hidup bersama dengan pemerintah dengan pelaku pembangunan lainnya.
Pemberdayaan adalah bagian dari
paradigma pembangunan yang memfokuskan perhatiannya kepada semua aspek yang prinsipil dari manusia dan lingkungannya yakni mulai dari aspek intelektual (sumber daya manusia), aspek material dan fisik, sampai kepada aspek manajerial. Aspek-aspek tersebut bisa jadi dikembangkan menjadi aspek sosial-budaya, ekonomi, politik, keamanan dan lingkungan.
Menurut McArdle (1989)
pemberdayaan sebagai proses pengambilan keputusan oleh orang-orang yang secara konsekuen melaksanakan keputusan, orang-orang yang telah mencapai tujuan kolektif diberdayakan melalui kemandiriannya, bahkan merupakan keharusan untuk lebih diberdayakan melalui usaha mereka sendiri dan akumulasi pengetahuan, keterampilan serta sumber lainnya dalam rangka mencapai tujuan mereka tanpa bergantung pertolongan dari hubungan eksternal. Namun, bukan hanya untuk mencapai tujuannya yang penting, akan tetapi lebih pada makna
22
pentingnya proses dalam pengambilan keputusan. Sedangkan menurut Friedmann (1992) bahwa proses pemberdayaan adalah upaya menjadikan suasana kemanusiaan yang adil dan beradab menjadi semakin efektif secara struktural baik di dalam kehidupan keluarga, masyarakat, negara, regional, internasional maupun bidang politik, ekonomi dan lain-lain. Adapun proses pemberdayaan mengandung dua kecendrungan di antaranya yaitu: (1) menekankan pada proses pemberian atau mengalihkan sebagian kekuasaan, kekuatan atau kemampuan kepada masyarakat agar individu menjadi lebih berdaya; (2) kemampuan individu untuk mengendalikan lingkungannya, adalah suatu proses pemahaman situasi yang sedang terjadi sehubungan dengan politik, ekonomi dan sosial yang tidak dapat dipaksakan dari luar. Pemberdayaan masyarakat dipengaruhi pula oleh faktor sosial, politik dan psikologi. Konsep pemberdayaan masyarakat ini mencerminkan paradigma baru dalam pembangunan. Upaya pemberdayaan masyarakat adalah meningkatkan harkat dan martabat lapisan masyarakat yang kondisinya sekarang tidak mampu untuk melepaskan diri dari perangkap ketidakmampuan dan keterbelakangan. Untuk itu perlunya melibatkan masyarakat dalam perencanaan dan pengambilan keputusan dalam kegiatan pembangunan dan pemberdayaan sangat penting. Alasan utama pelibatan masyarakat menurut Uphoff (1992) ada tiga yaitu: (1) sebagai langkah awal mempersiapkan masyarakat untuk berpartisipasi dan merupakan suatu cara untuk menumbuhkan rasa memiliki dan rasa tanggung jawab masyarakat terhadap program pembangunan yang dilaksanakan, (2) sebagai alat untuk memperoleh informasi mengenai kebutuhan potensi dan sikap masyarakat setempat; (3) masyarakat mempunyai hak untuk memberikan pemikirannya dalam menentukan program-program yang akan dilaksanakan di wilayah mereka (Uphoff 1992, diacu dalam Sumarjo dan Saharudin 2004). Upaya-upayan pemberdayaan tidak hanya terpusat pada individu-individu masyarakat, tetapi juga pendukungnya misalnya peraturan, nilai-nilai modern, kerja keras, hemat, keterbukaan, rasa tanggung jawab dan lain sebagainya. Pemberdayaan masyarakat adalah kemampuan setiap individu untuk terlibat dan berperan dalam pembangunan, dengan demikian masyarakat berhak dan wajib menyumbangkan potensinya dalam pembangunan, sekecil dan selemah apapun
23
kualitas sumberdaya seseorang bisa diberdayakan dalam pembangunan di daerahnya. Untuk itu, terkait dengan keberhasilan suatu program dalam suatu masyarakat tidak terlepas dengan keadaan sosial di dalam masyarakat tersebut. Hal ini sejalan dengan pendapat Blackshaw (2004) bahwa modal sosial memiliki empat dimensi diantaranya yaitu: (1) integrasi, berupa ikatan-ikatan antara kekerabatan, agama dan etnik; (2) pertalian, ikatan dengan komunitas lain di luar komunitas asal; (3) integritas organisasional, kemampuan dan keeftifan institusi negara menjalankan fungsinya; (4) sinergi, relasi antara pimpinan dan institusi pemerintahan dengan komunitas.
Fokus perhatian adalah apakah negara
memberikan ruang gerak yang luas atau tidak bagi partisipasi warganya. Pemerintah
perlu
mengeluarkan
kebijakan-kebijakan
yang
merupakan
institusional incentive dan menjadi fasilitator untuk membangun hubungan antar kelembagaan di tingkat komunitas. Bobo (2003) menyatakan bahwa pengembangan kualitas SDM perlu secara terus menerus dilakukan sebagai alat efektif pada masa mendatang dalam mendukung pertumbuhan ekonomi yang tinggi dan sekaligus memeratakannya. Terutama pada lapisan manajemen atau keterampilan menengah yang paling dibutuhkan di berbagai sektor perekonomian dan yang memberikan imbalan pada pekerjaan secara memadai. Selain itu juga pekerja berketerampilan menengah akan dapat menjembatani pekerja berketerampilan tinggi dengan pekerjaan yang tidak berketerampilan dan sekaligus memudahkan pengadaaan transformasi dari pekerjaan tidak berketerampilan menjadi pekerja berketerampilan menengah. Untuk dapat menciptakan hal tersebut perlu adanya kerjasama kemitraan antara pemerintah dengan LSM, perguruan tinggi dan ormas sebagai katalis pembangunan, dalam upaya mendapatkan dan melibatkan masyarakat dengan dunia usaha.
Selanjutnya tindakan yang perlu diambil untuk pengembangan
ekonomi masyarakat adalah dengan: (1) mengadakan pendekatan integral mencakup isu sosial, lingkungan dan ekonomi; (2) perancangan strategi dengan melibatkan berbagai pihak terkait terutama tokoh masyarakat; (3) komitmen, kredibilitas dan kemampuan pemimpin lokal untuk menyatukan seluruh
24
stakeholder; (4) kapasitas manajemen dari Tim Pengembangan Ekonomi Lokal; (5) dukungan politik, keuangan dan teknis yang mendukung (Syaukat et al.2004). Hasil kegiatan pemberdayaan masyarakat yang dilakukan oleh Fernandez (2005) mencapai lebih dari 1,5 juta masyarakat miskin di India, yang berbasis afinitas (affinity) atau ikatan anggota kelompok yang berbasis pada saling percaya, tidak eksploitatif, saling mendukung dan saling cinta-kasih di antara mereka. Atas dasar afinitas inilah kelompok masyarakat dibangun dan diberdayakan. Pada awal kegiatannya, tahun 1984, Fernandez (2005) menyebut kelompok ini sebagai kelompok pengelola kredit (credit management groups) yang memfokuskan pada pengelolaan kegiatan simpan pinjam, bukan kelompok yang berfokus memberi kredit. Keberadaan kelompok tersebut bermula dari kekecewaan sejumlah anggota koperasi di India yang mengalami krisis kepemimpinan dan manajemen, karena koperasi tersebut dikelola oleh kalangan elit masyarakat yang tidak bisa menyatu dengan anggota dari masyarakat kalangan bawah. Lebih dari 100 orang anggota koperasi mendatangi Fernandez (2005) untuk mengembalikan pinjaman mereka kepadanya karena tidak percaya lagi kepada pengurus koperasi mereka. Fernandez (2005) menolak menerima pengembalian pinjaman tersebut karena ia tidak memberi pinjaman tersebut. Ia menyarankan dan membimbing mereka agar membentuk kelompok-kelompok kecil yang terdiri dari 10 sampai 15 orang yang saling percaya, saling mendukung dan memiliki saling cinta kasih (tidak saling eksploitatif) di antara mereka dan mengembalikan pinjaman tersebut pada kelompok yang mereka bentuk sendiri. Lambat laun kelompok afinitas ini berkembang dan pada tahun 1986-1987 Myrada mendapat kontrak kerjasama dari National Bank for Agriculture and Rural Development (NABARD) India untuk menumbuhkembangkan kelompok pengelola kredit (credit management groups). Pada tahun 1987–1992 beberapa studi terhadap kinerja kelompok afinitas telah dilakukan oleh NABARD menunjukkan bahwa strategi pengelolaan kredit yang berbasis kelompok afinitas berjalan efektif. Saat ini Fernandez (2005) telah menjalin kerjasama dengan organisasi bilateral maupun multirateral di Myanmar, Cambodia, Vietnam, Bangladesh, dan Indonesia untuk mengembangkan strategi pengembangan
25
kelompok keswadayaan mandiri (self help group) yang berbasis afinitas (affinity). Pada kasus Fernandez (2005) terdapat prinsip model pemberdayaan yang dikembangkan adalah diawali bagaimana memfasilitasi pembentukan kelompok itu berbasis afinitas. Setelah kelompok afinitas terbentuk, diperkuat kapasitasnya sekitar 12 sampai 18 bulan dengan memberikan sujumlah paket modul pelatihan penguatan kapasitas (capacity building) yang meliputi: analisis sosial, analisis sumber kredit lokal, konsep kelompok, pertemuan kelompok, komunikasi, afinitas kesatuan dalam kelompok), pembangunan visi kelompok, rencana kelompok, peraturan kelompok, pembukuan kelompok, kepemimpinan, tanggung jawab anggota kelompok, monitoring & evaluasi partisipatif, pemecahan konflik, proses pengambilan keputusan, penilaian partisipatif, evaluasi kelompok, analisis kesetaraan jender, credit plus, federasi kelompok, jejaring kelembagaan dan penilaian mandiri. Fernandez (2005) tidak akan memfasilitasi kelompok, untuk mengakses kredit dari luar atau melakukan investasi infrastruktur.
Fasilitasi
kegiatan yang bersifat penguatan kapasitas teknis (technical building) akan dilakukan setelah kelompok kuat secara kelembagaan (Fernandez 2005). 2.5.1. Model Pengembangan Masyarakat More and Hill (2000) melakukan grounded research tentang model pengembangan masyarakat (community development) pada tahun 1997-1999 melalui interview langsung, observasi, foto, dan dokumen-dokumen terkait yang melibatkan 33 praktisi pengembangan masyarakat di 5 negara (Amerika Selatan, Australia, Canada, Botswana dan Malaysia). Penelitian tersebut menghasilkan dua model pengembangan masyarakat, namun tetap saling terhubung. Gambar 2 menunjukkan model yang terefleksi dari pelaksanaan pengembangan masyarakat yang diteliti. Adapun elemen-elemen yang diusulkan oleh model tersebut adalah (1) Implicit practice–based theory. Dalam rangkaian tugasnya, para praktisi pemberdayaan cenderung untuk mengembangkan
pendapat
pribadinya
dan
melakukan
“suatu
praktek
pemberdayaan” yang dilandasi teori secara implisit yang dikombinasikan dengan pengalaman lapangan mereka; (2) Para praktisi pengembangan masyarakat harus berjuang untuk menciptakan ramuan yang tepat yang merupakan penggabungan
26
dari pengetahuan lokal, keterlibatan para ahli dari luar, menerima petunjuk dari tokoh masyarakat setempat, dan kapan waktu yang tepat untuk mengaplikasikan pengetahuan mereka untuk kegiatan pengembangan masyarakat. Mereka ditantang untuk mengetahui kapan dan bagaimana cara yang tepat untuk memasukkan pengetahuan baru ke dalam masyarakat tersebut, misalnya peraturan pemerintah atau kegiatan-kegiatan yang berkaitan dengan kemasyarakatan, (3) Dialog dan kerja bersama masyarakat serta mengamati. Para praktisi pemberdayaan belajar dengan cara bekerja saling membantu satu dengan lainnya dan juga bekerja bersama masyarakt setempat, kerja bersama dalam proyek, mengunjungi masyarakat-masyarakat lainnya, dan mengumpulkan ide-ide dan saran-saran dari pihak masyarakat yang didampingi, (4) Literature-based theories. Para praktisi pemberdayaan masyarakat membaca referensi mengenai bisnis, lingkungan, studi kebijakan, hukum, psikologi, pertanian, dan pendidikan orang dewasa secara luas. Gabungan dari berbagai teori menjadi pemandu mereka, daripada sekedar teori tunggal yang diperoleh dari referensi khusus pengembangan masyarakat, (5) Field experience and practice. Ini merupakan komponen utama dari reflective practice. Melalui pengalaman dan praktek yang berlangsung, para praktisi pemberdayaan membantu masyarakat sekaligus membangun teori secara implisit. Salah satu prinsip dari praktisi pemberdayaan masyarakat adalah percaya pada masyarakat yang diilustrasikan model 1 pada Gambar 2. Prinsip ini terkait erat dengan model dua yang diilustrasikan pada Gambar 3 yang menunjukkan ide bahwa para praktisi harus mempunyai kemampuan bekerja dalam garis kontinum mulai
dari mengkolaborasikan pengetahuan lokal setempat sampai mampu
bekerja sama dengan tenaga ahli dari pihak luar, tergantung situasinya. Garis kontinum tersebut meliputi rangkaian: (1) menerapkan pengetahuan tenaga ahli; (2) mengimpor informasi yang berguna; (3) memperoleh informasi dari masyarakat; dan (4) berkolaborasi dengan pengetahuan lokal. Poin-poin ini tidak didesain untuk menjadi satu-satunya pilihan yang mungkin dibuat oleh para praktisi; para praktisi boleh saja mengubah posisi poin-poin tersebut sesuai dengan perubahan lingkungan dan kebutuhan yang diperlukan. Di Amerika Utara, para praktisi pengembangan masyarakat lebih suka menggunakan pendekatan dari bawah ke atas (bottom-up approach) dan
27
menggabungkannya dengan ilmu pengetahuan lokal setempat. Di negara-negara lainnya banyak faktor yang mengintervensi, di antaranya adalah rendahnya kemampuan teknologi dan sumber daya, kebutuhan asli masyarakat, rendahnya tingkat pendidikan, dan meluasnya kemiskinan.
Refleksi
Literatur yang Mempengaruhi Teori
Berbicara, Bekerja Bersama, Mengamati
Refleksi
Kepercayaan Terhadap Masyarakat
Pengalaman dan Praktek Lapangan
Refleksi Refleksi
Praktek Lapang -Berdasarkan Teori (implicit)
Gambar 2 Pemberdayaan masyarakat Banyak praktisi di negara-negara seperti Malaysia dan Botswana bersandar pada acuan pengetahuan lokal setempat, namun demikian terkadang juga ditemui kemungkinan penggunaan tenaga ahli dari pihak luar. Mereka membuat pilihan terbaik berdasarkan sumber daya yang tersedia, orang-orang, dan konteks serta pemunculan yang disengaja dalam pilihan mereka untuk melakukan pendekatan dan mengenalkan tenaga ahli dari pihak luar kepada masyarakat.
- - - -# - - - - - - - - - - - - - - - - - - #- - - - - - - - - - - - #- - - - - - - - - - - - - - - -#- - - Menggunakan tenaga ahli dari pihak luar
Mengimpor informasi yang berguna
Memunculkan informasi
Gambar 3 Rangkaian situasional
Berkolaborasi dengan pengetahuan lokal setempat
28
Rangkaian situasional menggambarkan keputusan utama yang diambil oleh para praktisi pengembangan masyarakat ketika berhadapan dengan situasi lingkungan tertentu dan pihak-pihak yang terlibat.
Keputusan-keputusan ini
dipengaruhi dengan kuat oleh aspek-aspek yang digambarkan oleh Gambar 3: implicit practice-based theories, beliefs about community, referensi terkini, dan komunikasi mereka dengan praktisi-praktisi lainnya.
Apakah memilih untuk
melakukan pendekatan proyek dengan menggunakan tenaga ahli dari pihak luar, dengan mempekerjakan secara eksklusif dengan pengetahuan lokal setempat, atau posisi tertentu yang terletak di tengah-tengah poin akhir rangkaian yang merupakan keputusan penting di mana hal ini bisa menentukan irama keterlibatan para pratisi dengan masyarakat. 2.5.2. Modal Sosial Modal secara umum dikenal sebagai modal uang atau barang yang digunakan dalam proses produksi, dan dapat diinvestasikan dengan mengharapkan keuntungan dari penggunaanya. Oleh karenanya konsep modal ini sejak awal hanya dikenal dua jenis, yaitu modal finansial dan modal fisikal. Light (2004) melihat bahwa konsep modal ini dapat diperluas bila modal didefinsikan sebagai suatu simpanan yang berharga yang memfasilitasi tindakan. Dengan mengutip Bordieu (1986), Light (2004) menjelaskan tambahan tiga jenis modal lainnya, yaitu modal insani, modal budaya, dan modal sosial.
Ketiga jenis modal
tambahan ini, tetap sejalan dengan konsep investasi, yaitu jenis modal tersebut dapat diciptakan dan dikembangkan untuk dapat memetik keuntungan darinya. Bila modal insani terletak pada pengetahuan dan keterampilan individual, modal budaya terletak pada pengetahuan budaya yang memberikan manfaat berupa keunggulan sosial ekonomi, sedangkan modal sosial dimaknai sebagai hubunganhubungan dari kepercayaan yang tertanam dalam jaringan sosial. Gaag (2005) melihat bahwa konsep modal sosial merupakan permodelan kegiatan ekonomi terhadap pembentukan dan pemeliharaan hubungan-hubungan. Penerapan methapora modal dalam kehidupan sosial ini dilihat dari kenyataan
bahwa,
tindakan-tindakan
diperlukan
untuk
membentuk
dan
memelihara hubungan, yang pada suatu ketika dapat diambil manfaat dari adanya
29
hubungan tersebut. Proses pembentukan dan pemeliharaan hubungan sosial ini tentunya dapat dipandang sebagai investasi. Keuntungan yang dapat diperoleh dari investasi pada hubungan sosial tidak hanya bersifat material seperti mendapatkan bantuan uang atau barang, tetapi juga material, seperti mendapatkan dukungan moril ketika ditimpa musibah, kesenangan dari proses interaksi sosial, ataupun nasehat dari teman. Contoh nyata dari investasi di bidang hubungan sosial ini bisa dilihat dari seseorang yang memiliki banyak relasi sosial akan lebih mudah untuk mendapatkan sumber daya yang ia perlukan, misalnya ia dapat mendapatkan nasehat dan petunjuk untuk melaksanakan sesuatu dari temannya secara gratis. Seorang pedagang yang memiliki jaringan yang luas dan mendapatkan kepercayaan dalam jaringan itu, akan mudah untuk mendapatkan tambahan modal finansial, misalnya dengan mendapatkan barang dagangan dari pemasok dengan penundaan pembayaran setelah barang tersebut terjual. Karena sifatnya yang bisa dipupuk (storageable) dan orang yang memilikinya dapat mengambil keuntungan inilah, yang menjadi argumen. Coleman (1988) bahwa modal sosial adalah bentuk kapital yang analog dengan modal ekonomi (Coleman 1988, diacu dalam Light 2004). Lebih jauh Gaag (2005) menjelaskan bahwa hubungan-hubungan sosial ini dapat menjadi simpanan yang berharga (a store of value) karena melalui hubungan sosial ini memungkinkan seseorang untuk menggunakan sumber daya yang dimiliki oleh orang lain. Misalnya, seorang mahasiswa pascasarjana meminjamkan komputernya kepada teman, karena ia percaya kepada temannya tersebut dan tentunya mengharapkan kebaikannya akan dibalas pada suatu saat. Proses transaksi dengan menggunakan modal sosial ini (seseorang menggunakan sumber daya orang lain melalui hubungan sosial) yang dipandang oleh Gaag (2005) sebagai pemahaman mendasar dari modal sosial. Proses ini dimungkinkan dengan adanya proses timbal balik (reciprocity), kepercayaan (trust), saling melengkapi (complementary), dan adanya norma-norma yang rnendukung.
Jadi dari konsep modal sebagai investasi guna mendapatkan
keuntungan inilah, hubungan-hubungan sosial dan sumber daya yang terdapat (embeded) di dalamnya dapat dipandang sebagai modal (capital). Karenanya Lin (2001) menyimpulkan bahwa premis di balik modal sosial adalah sederhana, yaitu
30
investasi dalam hubungan sosial dengan mengharapkan keuntungan dalam suatu pasar.
Methapora pasar ini dapat diterapkan pada berbagai bidang seperti
ekonomi, politik, ketenagakerjaan ataupun masyarakat.
Karena dilihat dari
berbagai bidang atau sudut pandang, adalah wajar bila dalam perkembangannya, pemahaman
tentang
modal
sosial
ini
menjadi
beragam
begitu
pula
pendefinisiannya (Woolcock 2004; Rohe 2004). Modal sosial sebenarnya bukanlah sebuah konsep yang baru, makna modal sosial ini sudah lama dikenal sebagai ikatan yang membuat mekanisme hidup kemasyarakatan menjadi efektif. Sebagaimana Light (2004) menyebutkan bahwa makna seperti ini sudah lama dikenal seperti konsep quangxi yang sudah dikenal sejak zaman China kuno.
Konsep quangxi ini mirip seperti apa yang
dimaksudkan oleh para ilmuwan sekarang sebagai modal sosial.
Selain itu
sebagai contoh lainnya, ia juga mengutip Hanifan (1920) dan Diani (2001) yang juga sudah membahas modal sosial. Bila Hanifan menyebut modal sosial yang mengacu pada dasar penyatuan dari pusat-pusat kemasyarakatan, yang memungkinkan keefektifan mereka, maka Tocqueville menyebutkan kontribusi dari asosiasi sukarela terhadap demokrasi Amerika. Pembahasan Tocqueville inilah yang diangkat oleh Putnam (2001) berkenaan dengan modal sosial. Hal yang sama dari konsep modal sosial yang dikenal oleh para ilmuwan sekarang, dan membedakannya dengan konsep modal sosial pada masa lalu, adalah modal sosial dipandang sebagai suatu kumpulan dari ide-ide yang komplek (a collection of constructs) (Rohe 2004). Lebih jauh ia menjelaskan bahwa modal sosial ini paling baik dipandang sebagai sebuah model dari keterhubungan dari ide-ide yang komplek (a model of linking constructs). Apa yang dimaksudkan dengan linking constructs ini adalah modal sosial menghubungkan bersama-sama konsep-konsep seperti pelibatan masyarakat, kepercayaan interpersonal, dan tindakan bersama yang efektif. Konsep-konsep ini sudah lama menjadi perbincangan di antara para ahli sosiologi dan perencanaan pembangunan masyarakat. Memandang modal sosial sebagai linking constructs yang menjadi kebaruan dari konsep modal sosial dan menjadikannya penting. Meskipun modal sosial dipandang sebagai sesuatu yang berharga untuk diinvestasikan, tetapi beberapa penulis mengingatkan bahwa modal sosial juga dapat menimbulkan dampak yang negatif (Gaag 2005; Lin
31
2001; Grootaert 1998). Bentuk-bentuk dampak negatif dari modal sosial misalnya bersikap jujur dan setia kepada sesama anggota dalam suatu kelompok, tetapi berlaku sebaliknya terhadap orang di luar kelompok, jaringan dan norma pada kelompok mafia, norma sosial yang membatasi kemajuan individu dengan melarang perempuan untuk sekolah, dan lain-lain. Bila kita melihat konsep modal sosial ini sebagai suatu fenomena alamiah dari kehidupan manusia, sebagaimana konsep perencanaan di atas maka modal sosial dapat pula dilihat sebagai ciri alamiah dari manusia sebagai makhluk sosial yang tidak dapat hidup sendiri; ia membutuhkan orang lain dalam kehidupannya. Manusia mendapatkan kebutuhannya melalui kehidupan kemasyarakatan di mana ia hidup, yang memiliki karakter dan norma-norma tertentu. Dalam kehidupan kemasyarakatan ini, seseorang memupuk jaringan kerja dan kepercayaan dengan orang lain.
Dengan jaringan kerja dan kepercayaan dari orang lain yang ia
dapatkan, maka seseorang akan lebih mudah untuk memenuhi kebutuhannya. Misalnya, dalam kehidupan masyarakat desa yang masih bersifat tradisional, mereka terbiasa dengan kegiatan gotong royong dalam musim tanam dan musim panen. Bila seseorang ikut bergotong royong untuk menanam padi pada sawah orang lain, maka sekaligus ia akan mendapat kepercayaan dari si pemilik sawah dan orang-orang yang terlibat dalam gotong royong tersebut, bahwa bila diminta pertolongan maka ia akan membantu.
Kegiatan gotong royong ini tentunya
bersifat timbal balik (reciprocal), dan orang yang terlibat didalamnya sekaligus pula memupuk aset (sesuatu yang berharga), yaitu norma tolong menolong yang bersifat timbal balik, dan orang yang memupuknya bisa mendapatkan keuntungan. Keuntungan yang dapat diterima tidak hanya bersifat material namun juga imaterial.
Keuntungan material adalah seperti bantuan tenaga dalam contoh
gotong royong di atas, sedangkan keuntungan imaterial seperti hubungan persahabatan, mendapat dukungan moril dan dihibur ketika mendapat musibah, ataupun setidaknya mendapatkan nasehat atau informasi dari teman.
Dalam
kehidupan modem, pentingnya jaringan dan kepercayaan sudah lama diakui dalam perdagangan, misalnya seperti penerapan multi level marketing.
Dalam
kehidupan seseorang sebagai pegawai birokrasi, diakui pula bahwa untuk bisa naik ke jenjang karir yang lebih tinggi, diperlukan jaringan dan kepercayaan dari
32
lingkaran terdalam kekuasaan. Woolcock et al. (2000) menjelaskan bahwa ide mendasar dari modal sosial adalah keluarga, teman dan asosiasi yang memiliki aset penting, sesuatu yang dapat digunakan dalam krisis, dinikmati sebagai milik sendiri, dan digunakan untuk mendapatkan keuntungan material. 2.5.3. Kemiskinan dan Kesejahteraan Masyarakat Dalam dunia pekerjaan sosial (social work), kesejahteraan sosial oleh Baker (1993) diartikan sebagai berikut:“A condition of physical health, emotional comfort and economic security also the effect of society to help its citizens achieve that condition. The term is also the use popularly as a synonym for public assistance or other program that provide for the economic and social service of the poor”. Kesejahteraan diartikan sebagai kondisi mengenai kesehatan fisik, ketenangan emosi atau batin serta ketenangan di bidang ekonomi, juga kemampuan masyarakat untuk menolong warga dalam mencapai kondisi tertentu yang dirasakan bersama oleh seluruh warga masyarakat, atau kesejahteraan sosial mencakup tindakan yang dilakukan manusia untuk mencapai taraf hidup yang lebih baik. Taraf hidup tidak diukur secara ekonomi dan fisik tetapi aspek sosial, mental dan kehidupan spiritual. Menurut Adi (2003), kesejahteraan sosial dapat dikaji dan dicermati dalam 4 golongan: (1) kesejahteraan sebagai suatu keadaan; (2) kesejahteraan sebagai suatu ilmu; (3) kesejahteraan sebagai suatu kegiatan; dan(4) kesejahteraan sebagai suatu gerakan.
Konsep kesejahteraan yang dipakai di sini adalah konsep
kesejahteraan sebagai suatu keadaan, yaitu keadaan terpenuhinya kebutuhan pelayanan kesehatan, sanitasi, air bersih, pendidikan yang layak, dan peningkatan pendapatan untuk mencapai taraf hidup yang lebih baik. 2.5.4. Life Skill (Kecakapan Hidup) Mengenai pengertian dari pendidikan life skill atau pendidikan kecakapan hidup terdapat bermacam-macam pendapat, akan tetapi esensinya tetap sama. Life skill atau kecakapan hidup adalah sebagai pengetahuan dan kemampuan yang diperlukan oleh seseorang agar menjadi independen dalam kehidupan. Fadjar (2002) mengatakan bahwa life skill adalah kecakapan yang dibutuhkan untuk
33
bekerja selain kecakapan dalam bidang akademik. Broad Base Education Kementerian Departemen Pendidikan Nasional mendefinisikan bahwa life skill adalah kecakapan yang dimiliki oleh seseorang agar berani dan mau menghadapi segala permasalahan kehidupan dengan aktif dan proaktif sehingga dapat menyelesaikannya. Slamet (2005) mendefinisikan life skill adalah kemampuan, kesanggupan dan keterampilan
yang diperlukan oleh seseorang untuk
menjalankan kehidupan dengan nikmat dan bahagia. Kecakapan tersebut mencakup segala aspek sikap perilaku manusia sebagai bekal untuk menjalankan kehidupannya. World Health Organization (WHO) mendefinisikan life skill sebagai kemampuan untuk menyesuaikan diri dan berperilaku positif yang memungkinkan seseorang untuk menghadapi tantangan sehari-hari. Kecakapan hidup sebagai inti dari kompetensi dan hasil pendidikan adalah kecakapan yang dimiliki seseorang untuk berani menghadapi problema hidup dan kehidupan dengan wajar tanpa merasa tertekan, kemudian secara proaktif dan kreatif mencari serta menemukan solusi sehingga akhirnya mampu mengatasinya (Depdiknas 2006). Kecakapan hidup terdiri dari kecakapan hidup yang bersifat umum (general life skills) dan kecakapan hidup yang bersifat khusus (specific life skills). Menurut Fadjar (2003) kecakapan hidup yang bersifat umum terdiri dari kecakapan personal dan sosial, sedangkan kecakapan hidup yang bersifat spesifik terdiri dari kecakapan akademik dan vokasional. Kecakapan hidup tersebut sesuai dengan empat pilar pendidikan yang dicanangkan UNESCO. Empat pilar yang dicanangkan UNESCO apabila diterapkan dengan baik di sekolah-sekolah akan mampu membekali siswa dengan kecakapan hidup yang dibutuhkan siswa untuk bekal hidup di masyarakat. Empat pilar pendidikan tersebut adalah belajar untuk mengetahui (learning to know), belajar untuk berbuat atau bekerja (learning to do), belajar untuk menjadi jati diri (learning to be) dan belajar untuk hidup bermasyarakat (learning to live together). Empat pilar pendidikan tersebut merupakan prinsip yang perlu dijadikan landasan dan pedoman dalam pelaksanaan pembelajaran di sekolah-sekolah, yang ditujukan untuk menghasilkan generasi-generasi penerus bangsa sesuai dengan harapan masyarakat dan bangsa Indonesia.
34
Untuk mencapai empat pilar pendidikan yang disertai kepemilikan bekal kecakapan hidup (life skills) yang sangat dibutuhkan, seyogyanya siswa terlibat aktif dalam pembelajaran yang mempraktekkan berinteraksi dengan lingkungan fisik dan sosial, agar siswa memahami pengetahuan yang terkait dengan lingkungan sekitarnya (learning to know). Proses pembelajaran tersebut bertujuan memfasilitasi siswa dalam melakukan perbuatan atas dasar pengetahuan yang dipahaminya untuk memperkaya pengalaman belajar (learning to do). Siswa diharapkan dapat membangun kepercayaan dirinya supaya dapat menjadi jati dirinya sendiri (learning to be); dan sekaligus juga berinteraksi dengan berbagai individu dan kelompok yang beraneka ragam, yang akan membentuk kepribadiaanya, memahami kemajemukan, dan melahirkan sikap toleran terhadap keanekaragaman dan perbedaan yang dimiliki masing-masing individu (learning to live together) sesuai dengan haknya masing-masing. Konsep kecakapan hidup (life skill) dirumuskan secara beragam, sesuai dengan landasan filosofis penyusunnya atau tergantung pada sudut pandang dan tingkat kepentingan masing-masing. Namun demikian kesemuanya memiliki kesamaan di antaranya yaitu bahwa kecakapan hidup adalah merupakan urutan pilihan yang dibuat seseorang dalam bidang keterampilannya
yang spesifik.
Secara konseptual, kecakapan hidup adalah urutan pilihan yang memperkuat kehidupan psikologis yang dibuat seseorang dalam bidang keterampilan yang spesifik. Sumber lain memaknai kecakapan hidup sebagai pengetahuan yang luas dan interaksi kecakapan yang diperkirakan merupakan kebutuhan esensial bagi manusia dewasa untuk dapat hidup secara mandiri (Brolin diacu dalam Goodship 2002). Atau kecakapan hidup merupakan pedoman pribadi untuk tubuh manusia yang membantu anak belajar bagaimana menjaga kesehatan tubuh, tumbuh sebagai individu, bekerja dengan baik, membuat keputusan logis, menjaga mereka sendiri ketika diperlukan dan menggapai tujuan hidup (Davis 2000). Kecakapan hidup juga dimaknai sebagai kecakapan yang dimiliki seseorang untuk berani menghadapi problema hidup dan kehidupan secara wajar tanpa merasa tertekan, kemudian secara proaktif dan kreatif mencari serta menemukan solusi sehingga akhirnya mampu mengatasinya.
35
Atas dasar batasan-batasan tersebut pendidikan berorientasi kecakapan hidup
diartikan
sebagai
pendidikan
untuk
meningkatkan
kemampuan,
kesanggupan, dan keterampilan yang diperlukan oleh seseorang untuk menjaga kelangsungan hidup dan pengembangan dirinya (Depdiknas. 2002). Kemampuan adalah realisasi dari kecakapan hidup yang bersifat kognitif (mengetahui cara mengerjakan), kesanggupan adalah realisasi dari kecakapan hidup yang lebih bersifat afektif (kemauan atau dorongan untuk berperilaku), dan keterampilan adalah realisasi dari kecakapan hidup yang bersifat psikomotorik (tindakan yang dilakukan atas dasar pengetahuan dan kemauan). Kecakapan hidup itu menunjuk kepada kegiatan dalam (inner-games) dan kegiatan luar (outer-games). Sebagai kegiatan dalam, kecakapan hidup berkaitan dengan apa yang sedang berlangsung dalam diri seseorang, yaitu bagaimana seseorang berpikir atau keterampilan berpikir, sedangkan sebagai kegiatan luar berkaitan dengan apa yang sedang berlangsung di luar diri seseorang, yaitu bagaimana ia bertindak atau keterampilan bertindak. Menurut pandangan ini, inti dari kecakapan hidup adalah kecakapan berpikir dan bertindak. Pandangan ini tampaknya memperkuat rumusan kecakapan hidup yang dikemukakan oleh Depdiknas, karena aspek kemampuan dan kesanggupan tercakup dalam keterampilan berpikir, sementara aspek keterampilan ada dalam keterampilan bertindak. Pendidikan berorientasi kecakapan hidup seyogyanya dilaksanakan untuk menangani masalah-masalah spesifik atau khusus, maka dalam penggunaannya untuk pembelajaran di sekolah hendaknya selalu memperhatikan kekhususan yang akan dikembangkan. Hal ini perlu diperhatikan karena akan berkaitan dengan masalah pengelompokkan kecakapan hidup. Salah satu pengelompokan kecakapan hidup dikemukakan oleh Depdiknas, bahwa kecakapan hidup ada yang bersifat generik (generic life skills atau GLS) dan ada kecakapan hidup yang bersifat spesifik (spesific life skills atau SLS). Kecakapan hidup generik adalah kecakapan yang harus dimiliki oleh setiap manusia yang terdiri atas kecakapan personal (personal skill) dan kecakapan sosial (social skill). Kecakapan personal mencakup kesadaran diri atau memahami diri atau potensi diri, serta kecakapan berpikir rasional. Kesadaran diri merupakan penghayatan diri sebagai makhluk Tuhan Yang Maha Esa, anggota
36
masyarakat dan warga negara, serta menyadari dan mensyukuri kelebihan dan kekurangan yang dimiliki, sekaligus menjadikannya sebagai modal dalam meningkatkan dirinya sebagai individu yang bermanfaat bagi diri sendiri dan lingkungannya. Kecakapan berpikir rasional mencakup kecakapan: (1) menggali dan menemukan informasi; (2) mengolah informasi dan mengambil keputusan; dan (3) memecahkan masalah secara kreatif. Kecakapan sosial atau kecakapan antar pribadi (inter-personal skill) meliputi kecakapan berkomunikasi dengan empati dan kecakapan bekerja-sama (collaboration skill). Pada kecakapan komunikasi seperti empati, sikap penuh pengertian, dan seni berkomunikasi dua arah perlu ditekankan, karena berkomunikasi bukan sekedar menyampaikan pesan, tetapi isi dan sampainya pesan disertai dengan kesan baik yang akan menumbuhkan hubungan harmonis. Kecakapan komunikasi sangat diperlukan, karena manusia berinteraksi dengan manusia lain melalui komunikasi, baik secara lisan, tertulis, tergambar, maupun melalui kesan. Kecakapan komunikasi terdiri dari dua bagian, yaitu verbal dan non-verbal. Komunikasi verbal meliputi kecakapan mendengarkan berbicara, dan membaca-menulis. Komunikasi non-verbal meliputi pemahaman atas mimik, bahasa tubuh, dan tampilan atau peragaan. Dengan demikian, dalam kecakapan komunikasi tercakup kecakapan mendengarkan, berbicara, dan kecakapan menulis pendapat dan gagasan. Sementara itu, dalam kecakapan bekerjasama tercakup kecakapan sebagai teman kerja yang menyenangkan dan sebagai pemimpin yang berempati. Sebagai teman yang menyenangkan, seseorang harus mampu membangun iklim yang kondusif dalam bersosialisasi di antaranya menghargai orang lain secara positif, membangun hubungan dengan orang lain dan sikap terbuka. Dalam kepemimpinan tercakup aspek tanggungjawab, sosialisasi, teguh, berani, mampu mempengaruhi dan mengarahkan orang lain. Kecakapan hidup spesifik adalah kecakapan yang diperlukan seseorang untuk menghadapi problema bidang khusus seperti pekerjan atau kegiatan dalam keadaan tertentu, yang terdiri atas kecakapan akademik dan vokasional. Kecakapan akademik mencakup antara lain kecakapan mengidentifikasi variabel dan menjelaskan hubungannya dengan suatu fenomena tertentu, merumuskan
37
hipotesis terhadap suatu rangkaian kejadian, serta merancang dan melaksanakan penelitian untuk membuktikan suatu gagasan atau keingintahuan. Kecakapan vokasional terkait dengan bidang pekerjaan atau kegiatan tertentu yang terdapat di masyarakat dan lebih memerlukan keterampilan motorik. Dalam kecakapan vokasional tercakup kecakapan vokasional dasar atau pravokasional yang meliputi kecakapan menggunakan alat kerja, alat ukur, memilih bahan, merancang produk; dan kecakapan vokasional penunjang yang meliputi kecenderungan untuk bertindak dan sikap kewirausahaan. Ini tidak berarti siswa Sekolah Menengah Pertama harus dibekali dengan jenis-jenis keterampilan kerja tetapi memberi kesempatan mengembangkan wawasan kerja, etos kerja dan aktivitas produktif. Perlu disadari, bahwa di dalam kehidupan nyata, antara GLS dengan SLS, yaitu antara kecakapan memahami diri, berpikir rasional, kecakapan sosial, akademik, dengan kecakapan vokasional tidak berfungsi secara terpisah-pisah, atau tidak terpisah secara eksklusif. Artinya, dalam kehidupan nyata seluruh kecakapan tersebut saling melengkapi, sehingga menyatu menjadi tindakan individu yang melibatkan aspek fisik, mental, emosional, dan intelektual. Derajat kualitas tindakan individu dalam banyak hal dipengaruhi oleh derajat kualitas berbagai aspek pendukung tersebut. Pendeskripsian secara kategorial bertujuan mempermudah dalam perumusan indikator yang dapat dijadikan kriteria keberhasilan suatu program yang dikembangkan; atau lebih jauh untuk kepentingan studi dan kegunaan praktis. Inti kecakapan hidup seperti dikemukakan di atas secara tegas adalah kemampuan, kesanggupan dan keterampilan, yang jika dikelompokkan secara lain aspek kemampuan dan kesanggupan tercakup dalam kecakapan berpikir, sedangkan keterampilan tercakup dalam aspek kecakapan bertindak. Dari uraian di atas dapa disarikan bahwa kecakapan berpikir meliputi 12 ranah berpikir yaitu:(1) tanggung jawab untuk memilih (memilih atas keinginan sendiri tanpa dipengaruhi orang lain, (2) pemahaman hubungan antara cara berpikir, merasa dan bertindak, (3) menganalisis perasaan-perasaan sendiri yaitu berusaha memahami atau mengerti perasaan yang sedang dialaminya, (4) mempergunakan self-talk yang menunjang dia bertanya pada dirinya sendiri tentang masalah yang sedang
38
dialaminya, (5) memilih aturan-aturan pribadi yang realistis atau membuat aturan yang dapat dilaksanakan dan masuk akal, misalnya : tidak usah selalu menjadi nomor satu di kelas, (6) mengamati secara akurat, (7) menjelaskan sebab-sebab secara akurat, (8) membuat prediksi yang realistis atau membuat dugaan berdasarkan alasan yang dapat diterima akal, (9) menetapkan tujuan-tujuan yang realistis, (10) menggunakan keterampilan-keterampilan visual, contoh: membuat bagan untuk memberi penjelasan, (11) membuat keputusan yang realistis,(12) mencegah dan mengatasi permasalahan yang dihadapi. Sementara itu kecakapan bertindak meliputi : (1) pesan verbal, (2) pesan suara, (3) pesan melalui gerak tubuh, (4) pesan melalui sentuhan, dan (5) pesan melalui tindakan, misalnya mengirim bunga dan sebagainya. Perlu ditegaskan kembali bahwa setiap kecakapan hidup mengandung kemampuan dan kesanggupan (kecakapan berpikir) serta keterampilan (kecakapan bertindak). Sebagai contoh, kesadaran sebagai mahluk Tuhan mengandung kesanggupan dan kemampuan mengakui dan meyakini diri sebagai ciptaan Tuhan serta mulai melakukan tindakan seperti berdoa atau sembahyang. Dalam kecakapan berkomunikasi, dituntut pengembangan kemampuan berpikir, merasa dan bertindak. Misalnya, ketika siswa merasa senang terhadap seseorang maka siswa harus berpikir bagaimana seharusnya bertindak agar hubungannya dengan teman tersebut menjadi ramah dan berkembang menjadi lebih baik. Berdasarkan contoh-contoh di atas dapat dikemukan bahwa tidak setiap kecakapan hidup selalu mengandung
12 jenis ranah kecakapan berpikir
melainkan mungkin hanya satu atau dua jenis ranah berpikir dengan satu atau dua jenis kecakapan bertindak. Inti kecakapan hidup siswa SMP adalah kecakapan berpikir dan bertindak atau kemampuan, kesanggupan dan keterampilan yang seyogyanya berkembang pada siswa SMP. Tingkat perkembangan siswa SMP berada pada tahap ambivalen yaitu kondisi dimana siswa merasa bimbang atau ragu dalam membuat keputusan karena pada satu sisi masih terikat atau tergantung pada orang tua atau dewasa sementara pada sisi lain ingin menunjukkan dirinya sendiri. Implikasinya guru harus hati-hati dalam melakukan pembelajaran agar kecenderungan ke arah perkembangan negatif dapat dihindari.
39
2.5.5. Strategi Coping dan Jenisnya Strategi coping menunjuk pada berbagai upaya, baik mental maupun perilaku, untuk menguasai, mentoleransi, mengurangi, atau meminimalisasikan suatu situasi atau kejadian yang penuh tekanan. Dengan perkataan lain strategi coping merupakan suatu proses di mana individu berusaha untuk menangani dan menguasai situasi stres yang menekan akibat dari masalah yang sedang dihadapinya dengan cara melakukan perubahan kognitif maupun perilaku guna memperoleh rasa aman dalam dirinya. Para ahli menggolongkan dua strategi coping yang lazim digunakan oleh individu, yaitu: (1) problem-solving focused coping, di mana individu secara aktif mencari penyelesaian dari masalah untuk menghilangkan kondisi atau situasi yang menimbulkan stres; dan (2) emotion-focused coping, di mana individu melibatkan usaha-usaha untuk mengatur emosinya dalam rangka menyesuaikan diri dengan dampak yang akan ditimbulkan oleh suatu kondisi atau situasi yang penuh tekanan. Hasil penelitian membuktikan bahwa individu menggunakan kedua cara tersebut untuk mengatasi berbagai masalah yang menekan dalam berbagai ruang lingkup kehidupan sehari-hari (Lazarus dan Susan 1985). Faktor yang menentukan strategi mana yang paling banyak atau sering digunakan sangat tergantung pada kepribadian seseorang dan sejauhmana tingkat stres dari suatu kondisi atau masalah yang dialaminya. Contoh,
seseorang
cenderung menggunakan problem-solving focused coping dalam menghadapai masalah-masalah yang menurutnya bisa dikontrol seperti masalah yang berhubungan dengan sekolah atau pekerjaan; sebaliknya ia akan cenderung menggunakan strategi emotion-focused coping ketika dihadapkan pada masalahmasalah yang menurutnya sulit dikontrol seperti masalah-masalah yang berhubungan dengan penyakit yang tergolong berat seperti kanker atau acquired immunodeficiency syndrome (AIDS). Hampir senada dengan penggolongan jenis coping seperti dikemukakan di atas, dalam literatur tentang coping juga dikenal dua strategi coping ,yaitu active & avoidant coping strategy sementara Lazarus (1987) mengkategorikan menjadi Direct Action & Palliative. Active coping merupakan strategi yang dirancang untuk mengubah cara pandang individu terhadap sumber stres, sementara
40
avoidant coping merupakan strategi yang dilakukan individu untuk menjauhkan diri dari sumber stres dengan cara melakukan suatu aktivitas atau menarik diri dari suatu kegiatan atau situasi yang berpotensi menimbulkan stres. Apa yang dilakukan individu pada avoidant coping strategy sebenarnya merupakan suatu bentuk mekanisme pertahanan diri yang sebenarnya dapat menimbulkan dampak negatif bagi individu karena cepat atau lambat permasalahan yang ada haruslah diselesaikan oleh yang bersangkutan. Permasalahan akan semakin menjadi lebih rumit jika mekanisme pertahanan diri tersebut justru menuntut kebutuhan energi dan menambah kepekaan terhadap ancaman. Pengertian coping, menurut Friendman (1992), adalah perilaku yang terlihat dan tersembunyi yang dilakukan untuk mengurangi atau menghilangkan ketegangan psikologi dalam kondisi yang penuh stres (Friendman 1992). Lazarus dan Susan (1984) mengemukakan secara lebih spesifik yaitu bahwa coping adalah usaha kognitif dan tingkah laku untuk mengatur kebutuhan eksternal atau internal dan dinilai dapat mengurangi atau melampaui sumberdaya yang dimiliki seseorang. Coping sebagai respon terhadap ketegangan eksternal berfungsi untuk mencegah, menghindari, atau mengendalikan tekanan emosional. Dalam pengertian lebih luas Monat dan Richard (1977) mengemukakan bahwa proses koping adalah usaha mengatasi kondisi bahaya, ancaman atau tantangan dan tuntutan lingkungan harus memberikan solusi untuk berperilaku yang harus disesuaikan untuk dapat menghadapi stres. Menurut Stuart dan Sundeen (1991), mekanisme coping adalah berbagai usaha yang dilakukan individu untuk menanggulangi stres yang dihadapi. Menurut Lazarus dan Susan (1984) keadan stres
yang
dialami
seseorang
akan
menimbulkan
efek
yang
kurang
menguntungkan baik secara fisiologis maupun psikologis. Individu tidak akan membiarkan efek negatif ini terus terjadi, ia akan melakukan suatu tindakan untuk mengatasi atau menangani hal ini.
Tindakan yang diambil individu ini di
namakan koping. Mekanisme coping pada hakekatnya dipengaruhi oleh latar belakang budaya pengalaman dalam menghadapi masalah, faktor lingkungan kepribadian, konsep diri individu, faktor sosial dan lain-lain. Semua aspek tersebut akan sangat berpengaruh pada kemampuan individu, faktor sosial dan lain-lain dalam menyelesaikan masalah.
41
Menurut John et al. (1998), ada dua jenis mekanisme koping yang terjadi pada individu yaitu koping yang berpusat pada masalah (problem foused form of coping mechanism) dan koping yang berpusat pada emosi (emotion focused of coping). Coping yang berpusat pada masalah diarahkan untuk mengurangi tuntutan situasi yang menimbulkan stres atau mengembangkan sumberdaya atau mengatasinya.
Mekanisme coping ini bertujuan untuk menghadapi tuntutan
secara sadar, realistis, objektif, dan rasional. Menurut Stuart dan Sundeen (1991), hal-hal yang berhubungan dengan mekanisme coping yang berpusat pada masalah adalah: (1) koping konfrontasi adalah mengambarkan usaha-usaha untuk mengubah keadaan atau masalah secara agresif, juga menggambarkan tingkat kemarahan serta pengambilan resiko; (2) isolasi, individu berusaha menarik diri dari lingkungan atau tidak mau tahu dengan masalah-masalah yang dihadapi; (3) kompromi, menggambarkan usaha untuk mengubah keadaan secara berhatihati, meminta bantuan dari orang lain dan kerja sama dengan orang lain. Menurut Stuart dan Sundeen (1995), jenis mekanisme coping yang berpusat pada emosi adalah: (1) denial, menolak masalah dengan mengatakan hal tersebut tidak terjadi pada dirinya; (2) rasionalisasi, menggunakan alasan yang dapat diterima oleh akal dan diterima oleh orang lain untuk menutupi ketidakmampuan
dirinya;
dengan
rasionalisasi
kita
tidak
hanya
dapat
membenarkan apa yang kita lakukan, tetapi kita juga merasa sudah selayaknya berbuat demikian menurut keadilan. (3) kompensasi, menunjukan tingkah laku untuk menutupi ketidakmampuan dengan menonjolkan sifat yang baik, atau karena frustasi dalam suatu bidang maka dicari kepuasan secara berlebihan dalam bidang lain; kompensasi timbul karena adanya perasaan kurang mampu; (4) represi, yaitu dengan melupakan masa-masa yang tidak menyenangkan dari ingatan dengan hanya mengingat waktu-waktu yang menyenangkan; (5) regresi, yaitu sikap seseorang yang kembali ke masa lalu atau bersikap seperti anak kecil yang dalam regresi secara tidak sadar manusia mencoba berperilaku pada masa lalu; (6) sublimasi, yaitu seseorang mengekspresikan atau menyalurkan perasaan, bakat atau kemampuan dengan bersikap positif; (7) identifikasi, yaitu meniru cara berfikir, ide dan tingkah laku orang lain; pada umumnya seseorang manusia ini mengidentifikasikan dirinya dnegan seseorang yang mirip sekali dengan dirinya;
42
(8) proyeksi, yaitu menyalahkan orang lain tentang kesulitannya sendiri atau melampiaskan kepada orang lain; (9) konversi, yaitu mentransfer atau memindahkan reaksi psikologi ke gejala fisik; (10) displacement, yaitu reaksi emosi terhadap seseorang atau suatu benda yang diarahkan kepada seseorang atau suatu benda lain; (11) reaksi formasi, yaitu membentuk reaksi baru yang bertolak belakang atau tidak sesuai dengan perasaan sendiri. Menurut Lazarus dan Susan (1984), secara umum strategi coping dapat dibagi menjadi dua yaitu coping berfokus pada masalah dan coping berfokus pada emosi. Coping berfokus pada masalah, individu melakukan suatu tindakan yang diarahkan kepada pemecahan masalah. Individu akan cenderung menggunakan perilaku ini bila dirinya menilai masalah yang dihadapi dapat dikontrol dan diselesaikan. Adapun yang termasuk dalam jenis coping ini adalah: (1) planful problem solving yaitu bereaksi dengan melakukan usaha-usaha tertentu yang bertujuan untuk mengubah keadaan, diikuti dengan pendekatan analitis dalam menyelesaikan
masalah; (2) confrontative
mengubah keadaan
coping
yaitu bereaksi untuk
yang dapat menggambarkan tingkat resiko yang harus
diambil; (3) seeking social support yaitu bereaksi dengan mencari dukungan dari pihak luar, baik berupa informasi, bantuan nyata, maupun dukungan emosional. Coping terfokus emosi individu melakukan usaha mengubah stresor secara langsung.
Ada lima cara yang termasuk coping ini, yaitu: (1) self controling
yaitu bereaksi dengan melakukan regulasi baik dalam perasaan maupun tindakan; (2) distancing adalah tidak melibatkan diri dalam permasalahan; (3) escape avoidance yaitu menghindarkan diri dari masalah yang dihadapi; (4) accenting responsibility yaitu bereaksi dengan menumbuhkan kesadaran akan peran diri dalam permasalahan yang dihadapi, dan berusaha mendudukkan segala sesuatu sebagaimana mestinya; (5) positive reappraisal adalah berekasi dengan menciptakan makna positif dalam diri yang bertujuan untuk mengembangkan diri termasuk melibatkan dalam hal-hal yang religius. Perilaku koping yang berpusat pada masalah cenderung dilakukan jika individu merasa bahwa sesuatu yang konstruktif dapat dilakukan terhadap situasi tersebut atau ia yakin bahwa sumberdaya yang dimiliki dapat mengubah situasi. Sebagai contoh strategi coping yang digunakan masyarakat rumah tangga
43
dalam mengatasi masalah kekurangan pangan akbat banjir besar di Bangladesh adalah strategi koping berpusat pada masalah yaitu: (1) melakukan pinjaman ke bank, (2) membeli makanan dengan kredit, (3) mengubah perilaku makan, dan (4) menjual aset yang dimiliki. 2.5.6. Strategi Perubahan Sosial Upaya perubahan sosial dan kelembagaan yang diarahkan kepada peningkatan produktivitas sektor dan orientasi kegiatan hendaknya sejalan dengan perkembangan dan tujuan kelembagaan lokal di lokasi yang bersangkutan. Faktorfaktor yang layak dipertimbangkan antara lain: (1) tujuan kelembagaan,(2) peran kepemimpinan, (3) pola komunikasi, (4) tatanan sosial, (5) strategi pendekatan, dan (6) langkah kegiatan. Tujuan kelembagaan (institutional goal) merupakan faktor terpenting yang seyogyanya dipahami secara mendalam.
Tujuan komunal suatu lembaga lokal
memiliki daya ikat sosio-teknis yang besar.
Upaya perubahan sosial melalui
rekayasa, atau lebih tepat: penyesuaian struktur, kelembagaan akan lebih mudah terlaksana bila memiliki tujuan yang jelas. Upaya perubahan sosial melalui rekayasa kelembagaan hendaknya memenuhi prasyarat berikut: (a) memiliki dampak yang jelas dan dapat dicapai oleh para stakeholder; (b) tersedia sistem pendukung internal, pengetahuan stakeholder, dan eksternal yaitu infrastruktur fisik dan sosial lain; dan (c) stakeholder bersedia berpartisipasi. Ketiga elemen ini saling terkait satu sama lain dan kekurangan salah satu faktor saja akan memperlambat upaya perubahan sosial setempat. Introduksi lembaga baru yang bersifat coercive dan top-down banyak menemukan halangan dalam mencapai tujuannya karena lemahnya partisipasi stakeholder dan berbedanya persepsi tujuan kelembagaan. Sebaliknya introduksi norma tanam serempak mampu dipahami tujuan dan jelas dampaknya sehingga di beberapa lokasi bahkan menggeser peran lembaga tata pengaturan kegiatan usahatani tradisional. Peran kepemimpinan (leadership) dalam kelembagaan lokal suatu komunitas memainkan peran signifikan dalam menanamkan nilai dan norma kemasyarakatan setempat. Lembaga kepemimpinan mampu menentukan arah, dan dalam kebanyakan kondisi bahkan mampu menghentikan proses dan progres perubahan
44
sosial di wilayahnya. Fungsi utama lembaga kepemimpinan lokal adalah sebagai mobilisator anggota lembaga organisasi lokal, sebagai pusat dan penyalur informasi dan berbagai fungsi sosial lainnya. Dalam kelompok masyarakat yang berada dalam tahap awal evolusi organisasi, lembaga kepemimpinan umumnya berupa seorang individu sebagai kepala suku dengan berbagai nama: keret (Arfak), ondoafie (Sarmi), pah-tuaf (Tetun), raja-soa (Maluku) dan lain-lain. Dalam masyarakat yang telah berevolusi lebih jauh, kepemimpinan cenderung bersifat kolektif dengan struktur dan pendelegasian kewenangan yang lebih jelas. Etnis Dani di Papua mengenal lembaga kepemimpinan kolektif otini-tabenak yang memainkan peran penting dalam mengalirkan informasi dari atas ke bawah (top-down). Lembagalembaga kepemimpinan memiliki potensi yang besar untuk dimanfaatkan secara positif dalam berbagai upaya reformasi kelembagaan sosial untuk mempercepat laju pembangunan sektor. Pola komunikasi dalam suatu kelembagaan lokal berkaitan dengan tingkat kohesi atau daya ikat sosial. Pola komunikasi juga merupakan indikator tingkat partisipasi stakeholder kelembagaan tersebut. Masyarakat dengan kohesi sosial tinggi memiliki tingkat kesetaraan sosial yang tinggi, atau sebaliknya. Namun demikian pola komunikasi suatu kelembagaan bersifat spesifik lokasi, tergantung pada bentuk dan struktur kelembagaan tersebut. Pada masyarakat dengan kohesi sosial rendah dan lembaga kepemimpinan tunggal, pola komunikasi yang tumbuh umumnya berupa pola rantai satu arah atau dua arah. Sedangkan pada komunitas denhgan kesetaraan sosial tinggi serta memiliki organisasi kelembagaan dengan struktur lebih rumit memiliki pola komunikasi yang beragam: pola roda, lingkaran, multi-arah. Para petugas penyuluh sebagai change agent seyogyanya dibekali dengan pemahaman dan keterampilan komunikasi dalam berbagai hierarki kelembagaan. Tatanan sosial (social setting) memiliki potensi sebagai entry point pertama bagi seorang diseminator dalam menyampaikan gagasan awal terkait perubahan kelembagaan. Kohesi sosial dan social interplay (hubungan sosial) merupakan dua diantara beragam elemen tatanan sosial yang memiliki pengaruh dalam memilih strategi pendekatan kelembagaan. Kelompok masyarakat yang memiliki daya ikat sosial tinggi pada umumnya membuka kesempatan besar bagi
45
anggotanya untuk melakukan kontak dan hubungan sosial. Masyarakat petani yang sangat terikat dengan kohesifitas ekosistem dan kohesifitas sosial memiliki social interplay yang relatif tinggi dan hal ini dimanifestasikan dalam bentuk komunikasi setara multi-arah (horisontal multilateral) secara baik. Kondisi seperti ini hendaknya dimanfaatkan dalam berbagai program pembangunan dengan misi meningkatkan produktivitas sektor secara lebih baik melalui inovasi teknologi. Dalam prosesnya, upaya mencapai tujuan seperti diatas seringkali memanfaatkan kondisi social interplay melalui penerapan berbagai strategi pendekatan yang disesuaikan dengan norma sosial dan kelembagaan spesifik lingkungan dimana kegiatan dilaksanakan. Lebih jauh lagi patut pula dipertimbangkan daya lenting sosial (social resilience) kelompok stakeholder yang akan menerima perubahan kelembagaan tersebut. Daya lenting sosial seringkali berperan sebagai salah satu elemen kunci dalam suatu proses perubahan karena calon penerima perubahan memerlukan waktu dan kelenturan mental sebelum menerima perubahan yang akan mengubah jalan hidupnya. Kondisi seperti ini akan lebih dipersulit lagi oleh pertanyaan dalam bentuk apa dan sejauh mana perubahan tertentu harus diterapkan? Apa yang harus dilakukan terhadap kelompok yang tersisihkan karena tidak mampu menerima dan menjalankan perubahan tersebut? Dengan memahami pola pikir seperti di atas, strategi pendekatan perubahan sosial masyarakat pedesaan menghadapi dua pilihan: (a) strategi intrusif, dan (b) strategi introduksi. Strategi intrusif menerapkan paradigma evolusi sesuai dengan perjalanan evolusi kelembagaan secara alami dimana inovasi kelembagaan dilakukan sedekat mungkin dengan bentuk dan struktur kelembagaan lokal yang masih berjalan. Strategi ini memakan waktu relatif lama dan perubahan terjadi secara bertahap karena kelompok stakeholder diberi cukup waktu untuk memahami dan melakukan eksperimentasi penerapan inovasi secara gradual. Sebaliknya, strategi introduksi menerapkan paradigma revolusi di mana kelembagaan lokal yang ada digantikan secara total dengan lembaga baru dengan struktur yang disesuaikan dengan tuntutan kebutuhan. Hal ini terjadi dalam era orde baru dimana kelembagaan lokal (lembaga kepala suku) digantikan secara total oleh lembaga kepemimpinan formal (organisasi struktural pemerintahan). Dalam beberapa kondisi strategi ini memberikan hasil yang diharapkan, namun
46
dalam kenyataan ternyata lebih banyak keberhasilan yang bersifat artifisial karena sifat pendekatan koersif top-down dalam pembentukan lembaga baru tersebut. Implementasi strategi perubahan sosial melibatkan seluruh stakeholder institusi di seluruh hierarki struktural pemerintahan dan lembaga-lembaga terkait. Kelompok ilmuwan bersama dengan lembaga penyuluhan, lembaga perancang pembangunan daerah dan masyarakat bersama-sama merancang bentuk dan pola lembaga
baru
yang
diarahkan
guna
mengembangkan,
mengubah
atau
mengintroduksi nilai dan norma sosial yang diperlukan. Upaya perubahan sosial diawali dengan diagnosa situasi lintas sektor dan lintas aspek terhadap elemenelemen terkait di suatu wilayah. Dalam tahap ini kelompok perekayasa kelembagaan (peneliti dan ilmuwan) merupakan aktor utama dalam proses identifikasi dan diagnosa masalah lapangan. Semakin jauh waktu berjalan dan semakin dekat proses ke fase terakhir, semakin menurun peran peneliti dan ilmuwan. Sebaliknya, peran penyuluh semakin meningkat sehingga pada akhirnya keberhasilan proses rekayasa kelembagaan sangat dipengaruhi oleh pengetahuan dan kemampuan berkomunikasi petugas lapang. Tahap diagnostik dilanjutkan dengan tahap rancang bangun di mana peran lembaga penyuluhan meningkat secara teknis, dan lembaga perancangan pembangunan secara politis mulai berperan dalam kegiatan koordinasi dan administratif kewilayahan. Lembagalembaga sektor di tingkat otonom merancang kegiatan uji lapang di lokasi-lokasi percontohan. Fase selanjutnya adalah tahap uji lapang di mana seluruh komponen pembangunan kelembagaan mengevaluasi dan memantau proses perubahan sosial di lingkungan setempat. Pilihan strategi (intrusif atau introduksi) dipilih dan disepakati dalam fase uji lapang. Fase verifikasi dan implementasi merupakan tahap terahir dimana lembaga penyuluhan beserta aparatnya memikul tanggung jawab terbesar dalam sosialisasi dan penyebaran kelembagaan dan norma sosial yang baru. 2.5.7. Beberapa Program Pemberdayaan Masyarakat 2.5.7.1. Pembinaan Peningkatan Pendapatan Petani Nelayan Kecil (P4K) Pembinaan Peningkatan Pendapatan Petani Nelayan Kecil (P4K) merupakan suatu proyek pendidikan yang membimbing dan mengarahkan petani
47
nelayan kecil, agar mau dan mampu menjangkau fasilitas dan kemudahan pembangunan yang tersedia untuk meningkatkan pendapatan dan kesejahteraan keluarganya. Upaya penanggulangan kemiskinan haruslah dilakukan dengan cara memberdayakan si miskin yang dilaksanakan melalui suatu proses pendidikan yang berkelanjutan dengan menerapkan prinsip "Menolong Diri Sendiri" melalui prinsip belajar menemukan sendiri.
Dengan pendidikan, diharapkan pada
waktunya, si miskin akan mencapai tingkat keswadayaan dan kemandirian tertentu, sehingga mereka mampu menjangkau (akses) secara normal terhadap sumber pelayanan yang tersedia, yang meliputi sumber : permodalan , informasi, dan teknologi. Warga binaan pada proyek P4K adalah: (1) penerima manfaat dari proyek P4K yaitu penduduk yang hidup di bawah garis kemiskinan; yang memerlukan pengembangan keterampilan yang sesuai, pelatihan dan dukungan (termasuk pelayanan keuangan mikro) guna mengubah status ekonomi mereka secara berkelanjutan; (2) mereka yaitu para petani pemilik, pengelola lahan sempit, penggarap, penyakap, buruh tani, buruh nelayan, pendega, nelayan dengan peralatan sederhana, peternak kecil, pengrajin kecil dan sebagainya. Tujuan
proyek
P4K
yaitu
membangun
sistem
partisipatif
dan
berkelanjutan untuk membantu keluarga miskin di pedesaan, memperbaiki taraf hidup dan kesejahteraan keluarganya, melalui pencapaian kemandirian dan mengantarkan mereka keluar dari kemiskinan dengan kekuatan sendiri. P4K memiliki tiga komponen utama yang semuanya saling terkait yaitu (1) penumbuhkembangan kelompok swadaya (KPK), (2) pelayanan keuangan mikro, dan (3) penguatan kapasitas manajemen. Penumbuhan dan pengembangan kelompok-kelompok swadaya telah terbukti merupakan instrumen yang amat efektif bagi penduduk miskin dari kemiskinan. Pelayanan keuangan mikro diperlukan untuk membantu kelompok swadaya memobilisir tabungan dan akses kredit untuk menambah pembiayaan usaha kelompok yang mendukung usaha kelompok dari usahanya sendiri. Untuk membangun sistem manajemen proyek yang aktif diperlukan penugasan
48
manajemen dan staf proyek yang mememmi syarat kecakapan dan kemajuan baik di tingkat pusat, propinsi maupun kabupaten. 2.5.7.2. Program Peningkatan Pendapatan Petani Melalui Inovasi (P4MI) Untuk meningkatkan pendapatan, petani harus dapat merespon peluang pasar dengan berinovasi dalam produksi dan pemasaran pertanian. Hal ini menemui kendala dikarenakan terbatasnya teknologi yang tepat guna, kurangnya investasi, dan keterbatasan akses petani terhadap informasi. Untuk itu diperlukan peningkatan akses petani terhadap informasi pertanian, dukungan pengembangan inovasi pertanian, serta upaya pemberdayaan petani. Poor Farmer’s Income Improvement through Innovation Project (PFI3P) atau disebut Program Peningkatan Pendapatan Petani Melalui Inovasi (P2MI). Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian atau Balitbangtan Kementerian Pertanian atau Kemtan. bermaksud: membangun sistem agribisnis di lahan marjinal, melalui pemberdayaan petani, pengembangan kelembagaan desa, dan perbaikan sarana dan prasarana pendukung di desa (investasi desa) secara partisipatif, serta meningkatkan akses pada jaringan informasi untuk menunjang inovasi teknologi, guna meningkatkan pendapatan dan kesejahteraan petani miskin. Adapun tujuan program P4MI adalah meningkatkan pendapatan petani miskin melalui inovasi produksi pertanian dan pemasaran (agribisnis) dengan cara: (1) memberdayakan petani melalui mobilisasi kelompok dan pengembangan kelembagaan serta memperbaiki sarana dan prasarna tingkat desa yang dibutuhkan petani dalam mendukung pengembangan agribisnis, (2) meningkatkan akses petani terhadap informasi pertanian; dan (3) melakukan reorientasi penelitian di daerah marjinal (lahan kering atau tadah hujan). Target dari program P4MI adalah desa-desa miskin atau desa yang dihuni oleh >75% keluarga miskin. Ciri petani miskin yang dijadikan target dalam kegiatan P4MI yaitu: (1) memiliki lahan sempit atau kurang dari 0,1 hektar, (2) berproduktivitas relatif rendah, (3) hanya mengusahakan makanan pokok, (4) pendapatan rata-rata di bawah Rp.1.000.000,-/ kapita/tahun, dan (5) merambah sumber daya hutan dan laut untuk mencukupi kebutuhan dasar hidupnya.
49
Program ini dirancang untuk masa 5 (lima) tahun dan terdiri atas empat komponen, yaitu: (1) pemberdayaan petani, (2) pengembangan sumber informasi nasional dan lokal, (3) dukungan pengembangan inovasi pertanian dan diseminasinya, dan (4) manajemen program. 2.5.7.3. Participatory Integrated Development in Rainfed Areas (PIDRA) Program PIDRA adalah program pengembangan pertanian di lahan kering yang diarahkan dalam upaya pengentasan kemiskinan yang dilaksanakan atas kerjasama antara Pemerintah Indonesia dengan IFAD.
Pendanaan program
bersumber pada pinjaman lunak dari IFAD sebesar US$ 23.570.000,-- dengan bunga pinjaman 0,75% per tahun, grace period 10 tahun dan jangka waktu pengembalian pinjaman selama 30 tahun tanpa management fee. Jangka waktu pelaksanaan program selama 8 tahun yang dibagi menjadi 2 fase, yaitu fase I (2001-2004) dan fase II (2005-2008). Pelaksanaan kegiatan komponen PIDRA berorientasi program yang dicirikan (1) berbasis membangun kelembagaan masyarakat miskin secara partisipatip untuk mewujudkan kemandirian masyarakat dan berkesinambungan, (2) tumbuhnya perhatian dan kontribusi pemerintah daerah bersama unsur instansi teknis terkait dalam memperkuat dan memperluas program, (3) kontribusi lembaga non pemerintah untuk memperkuat basis kelembagaan masyarakat yang mandiri yang mendukung kelangsungan program, dan (4) kaderisasi fasilitator dari
masyarakat
untuk
mendampingi
masyarakat
miskin
secara
berkesinambungan. Tujuan program adalah untuk meningkatkan pendapatan masyarakat dan produksi pertanian berwawasan lingkungan, dalam rangka mewujudkan ketahanan pangan secara
berkesinambungan, serta memperbaiki taraf hidup 100.000
penduduk miskin, yang akan dicapai melalui: (1) pembentukan dan penumbuhan kelompok mandiri dengan memperkuat kemampuan manajemen kelompok, baik pada kelompok pria, wanita maupun campuran, (2) peningkatan produksi pertanian melalui konservasi dan perbaikan sumber daya alam, dan (3) perbaikan prasarana dan sarana pedesaan.
50
Sasaran program diarahkan kepada 3 propinsi: Jawa Timur (Jatim), Nusa Tenggara Barat (NTB), dan Nusa Tenggara Timur (NTT). Lokasi di Propinsi Jatim mencakup 6 kabupaten yaitu Pacitan, Ponorogo, Trenggalek, Tulungagung, Blitar, dan Lumajang, dengan sasaran sebanyak 225 desa atau 34.000 hingga 56.000 kepala keluarga. Lokasi di Propinsi NTB mencakup 3 kabupaten, yaitu Sumbawa, Dompu, dan Bima dengan sasaran sebanyak 75 desa atau 11.000 hingga 19.000 kepala keluarga. Lokasi di Propinsi NTT mencakup 5 kabupaten, yaitu Timor Tengah Utara (TTU), Timor Tengah Selatan (TTS), Sumba Barat, Sumba Timur, dan Alor dengan sasaran sebanyak 200 desa atau 30.000 hingga 50.000 kepala keluarga. Desa-desa tersebut dipilih berdasarkan kriteria desa miskin yang meliputi aspek-aspek: topografi dan geografi, tingkat kesejahteraan desa, persentase lahan kering, persentase perempuan sebagai kepala rumah tangga, akses terhadap ketersediaan air bersih dan sarana transportasi serta persentase tenaga kerja yang pergi ke luar negeri. Pendekatan yang dilakukan dalam program ini meliputi: (1) partisipatif, upaya pemberdayaan masyarakat dalam membangun dan meningkatkan kemampuan sendiri; (2) fleksibel,
mengakomodasi aspirasi keluarga miskin
selaku perencana, pelaksana dan pengawas dalam pembangunan; dan (3) pemberdayaan yang berperspektif jender, semua komponen program dilaksanakan dengan mengacu pada kesetaraan dan keadilan jender; (4) pendampingan oleh LSM, pembinaan proses transformasi untuk meningkatkan kemampuan kelompok dan anggotanya;(5) keberlanjutan, pelaksanaan program didasarkan untuk tumbuhnya kemandirian dalam menetapkan dan mengembangkan usaha yang bermanfaat dan menguntungkan yang dilakukan secara terus menerus; (6) desentralisasi, pendelegasian penuh dalam proses perencanaan dan pelaksanaan program, dari tingkat masyarakat desa sebagai pelaksana sampai dengan manajemen program tingkat kabupaten; manajemen program tingkat propinsi dan pusat sebagai pelaksana koordinasi, pemantauan dan pengawasan. 2.6.
Pendekatan Sistem Pendekatan sistem merupakan cara penyelesaian persoalan yang dimulai
dengan dilakukannya identifikasi terhadap adanya sejumlah kebutuhan-kebutuhan
51
sehingga dapat menghasilkan suatu operasi dari sistem yang dianggap efektif. Pendekatan sistem adalah suatu pendekatan analisis organisatoris yang menggunakan ciri-ciri sistem sebagai titik tolak analisis (Marimin 2007). Pendekatan sistem merupakan cara pandang bersifat menyeluruh (holistik) yang memfokuskan pada integrasi dan keterkaitan antar komponen (Hartrisari 2007). Tahapan pendekatan sistem menurut Manetsch dan Park (1977) dalam Hartrisari (2007) yaitu: mulai, analisis kebutuhan, formulasi masalah, identifikasi sistem, pemodelan sistem, verifikasi dan validasi, implementasi dan selesai. 2.6.1. Analisis Kebutuhan Pada tahap analisis kebutuhan ini diidentifikasi kebutuhan-kebutuhan dari masing-masing pelaku sistem (stakeholder). Setiap pelaku sistem memiliki kebutuhan yang dapat mempengaruhi kinerja sistem. Pelaku mengharapkan kebutuhan tersebut dapat terpenuhi jika mekanisme sistem tersebut dijalankan (Hartrisari 2007). Pada tahap analisis kebutuhan, dapat ditentukan komponenkomponen yang berpengaruh dan berperan dalam sistem. Komponen-komponen tersebut mempunyai kebutuhan yang berbeda-beda sesuai dengan tujuannya masing-masing dan saling berinteraksi satu sama lain serta berpengaruh terhadap keseluruhan sistem yang ada (Marimin 2005). 2.6.2. Formulasi Permasalahan Formulasi
permasalahan
merupakan
identifikasi
dari
kebutuhan
stakeholder yang kontradiktif, yang dapat menyebabkan kejadian konflik pada pencapaian tujuan. Dari hasil analisis kebutuhan
akan tampak kebutuhan-
kebutuhan yang sejalan (sinergis) maupun yang kontradiktif (Hartrisari 2007). 2.6.3. Identifikasi Sistem Identifikasi sistem merupakan hubungan antara pernyataan kebutuhankebutuhan dengan pernyataan-pernyataan khusus dari masalah yang harus dipecahkan untuk mencukupi kebutuhan-kebutuhan tersebut (Marimin 2007). Pada tahap identifikasi sistem, salah satu pendekatan yang dapat digunakan adalah dengan menyusun diagram lingkar sebab-akibat (causal-loop-diagram) atau diagram input-output (black box diagram). Hal yang terpenting dalam
52
mengidentifikasi sistem adalah melanjutkan interpretasi diagram lingkar ke dalam konsep kotak gelap (black box). Para analis harus mampu mengkonstruksi diagram kotak gelap (Marimin 2005). 2.6.4. Pemodelan Sistem Menurut Hartrisari (2007) model merupakan penyederhanaan sistem. Karena sistem sangat kompleks, tidak mungkin membuat model yang dapat menggambarkan seluruh proses yang terjadi dalam sistem. Model disusun dan digunakan untuk memudahkan dalam pengkajian sistem karena sulit dan hampir tidak mungkin untuk bekerja pada keadaan sebenarnya. Oleh sebab itu, model hanya memperhitungkan beberapa faktor dalam sistem dalam rangka mencapai tujuan yang telah ditetapkan sebelumnya. Model adalah suatu bentuk yang dibuat untuk menirukan suatu gejala atau proses. 2.6.5. Validitas dan Sensitivitas Model Model yang baik adalah model yang valid atau lulus uji validitas. Model yang telah melewati uji validitas struktur akan menghasilkan keyakinan pemodel tentang bangunan model yang dapat dipertanggungjawabkan secara ilmiah (building confidence), dan model yang melewati uji validitas kinerja akan menghasilkan keyakinan pemodel tentang tingkat ketelitian metode yang dapat dipertanggungjawabkan secara ilmiah (level of confidence). Ringkasnya model ilmiah yang baik adalah yang memenuhi kedua syarat tersebut yaitu logis-empiris (logico-empirical). Selain uji validitas juga diperlukan uji sensitivitas model. Uji sensitivitas model dapat dilakukan dengan dua macam intervensi yaitu intervensi fungsional dan intervensi struktural. Intervensi fungsional ialah dengan memberikan fungsi-fungsi khusus terhadap model dengan menggunakan fasilitas, antara lain: fungsi step, pulse, graph, dan delay. Intervensi struktural ialah dengan mempengaruhi hubungan antar unsur atau struktur model dengan cara mengubah struktur modelnya. Sensitivitas model mengungkapkan hasil-hasil intervensi terhadap unsur dan struktur sistem. di samping itu, analisis sensitivitas model juga berfungsi dalam menemukan alternatif tindakan atau kebijakan, baik untuk mengakselerasi
kemungkinan
pencapaian
mengantisipasi kemungkinan dampak negatif.
hasil
positif
maupun
untuk
53
2.7.
Teori Keputusan dan Model serta Teknik Analisis Marimin (2005) mengemukakan beberapa teknik pengambilan keputusan
berbasis indeks kinerja, di antaranya ialah Proses Hierarki Analitik Hierarchy Process-AHP)
(Analytical
dan Interpretative Structural Modelling (ISM). AHP
dikembangkan oleh Dr.Thomas L. Saaty dari Wharton School Of Business pada tahun 1970-an untuk mengorganisasikan informasi dan judgment dalam memilih alternatif yang paling disukai (Marimin 2005). Analisis ini ditujukan untuk membuat model permasalahan yang tidak terstruktur dan biasanya diterapkan untuk memecahkan masalah-masalah terukur maupun masalah-masalah yang memerlukan pendapat (judgement) (Ma‟arif et al. 2003). Prinsip kerja AHP adalah penyederhanaan suatu persoalan kompleks yang tidak terstruktur, stratejik, dan dinamik menjadi bagian-bagiannya, serta menata dalam suatu hierarki. Kemudian tingkat kepentingan setiap variabel diberi nilai numerik secara subjektif tentang arti penting variabel tersebut secara relatif dibandingkan dengan variabel yang lain. Dari berbagai pertimbangan tersebut kemudian dilakukan sintesis untuk menetapkan variabel yang memiliki prioritas tinggi dan berperan untuk mempengaruhi hasil pada sistem tersebut. Adapun ide dasar prinsip kerja AHP menurut Marimin (2005) yaitu penyusunan hierarki, penilaian kriteria dan alternatif, penentuan prioritas dan konsistensi logis. Penjelasan langkah tersebut adalah sebagai berikut: 1. Persoalan yang akan diselesaikan, diuraikan menjadi unsur-unsurnya, yaitu kriteria dan alternatif, kemudian disusun menjadi struktur hierarki, 2. Kriteria dan alternatif dinilai melalui perbandingan berpasangan. Menurut Saaty (1983), untuk berbagai persoalan, skala 1 sampai 9 adalah skala terbaik dalam mengekspresikan pendapat. Nilai dan definisi pendapat kualitatif dari skala perbandingan Saaty tampak dalam Tabel 2. Nilai perbandingan A dengan B adalah 1 (satu) dibagi dengan nilai perbandingan B dengan A (Saaty T.L. 1983, diacu dalam Marimin 2005).
54
Tabel 2
Nilai dan definisi pendapat kualitatif dari skala perbandingan menurut Saaty (1983)
Nilai
Keterangan
1
Kriteria atau alternatif A sama penting dengan kriteria atau alternatif B
3
A sedikit lebih penting dari B
5
A jelas lebih penting dari B
7
A sangat jelas lebih penting dari B
9
A mutlak lebih penting dari B
2,4,6,8
Apabila ragu-ragu antara dua nilai yang berdekatan
3. Penentuan prioritas.Untuk setiap kriteria dan alternatif, perlu dilakukan perbandingan berpasangan (pairwise comparisons). Nilai-nilai perbandingan relatif kemudian diolah untuk menentukan peringkat relatif dari seluruh alternatif. Baik kriteria kualitatif maupun kriteria kuantitatif, dapat dibandingkan sesuai dengan judgement yang telah ditentukan untuk menghasilkan bobot dan prioritas. Bobot atau prioritas dihitung dengan manipulasi matriks atau melalui penyelesaian persamaan matematik. 4. Konsistensi logis. Semua elemen dikelompokkan secara logis dan diperingkatkan secara konsisten sesuai dengan suatu kriteria yang logis. Consistency ratio merupakan parameter yang digunakan untuk memeriksa apakah perbandingan berpasangan telah dilakukan dengan konsekuen atau tidak. Pengolahan pendapat pakar berdasarkan AHP dapat dilakukan dengan bantuan perangkat lunak. Adapun diagram alir metoda AHP ialah seperti tampak pada Gambar 4.
55
Mulai
Identifikasi sistem Penyusunan hierarki Pengisian matriks pendapat individu Tidak
Revisi pendapat
CR memenuhi Ya
Menyusun matriks gabungan Pengolahan vertikal Menghitung vektor prioritas Selesai Sumber: Saaty T.L.1980,
Gambar 4 Diagram alir metoda AHP 2.8.
Analisis Kebijakan Menurut Ma‟arif (2007) analisis kebijakan didefinisikan sebagai advis
yang berorientasi kepada klien yang relevan dengan keputusan publik dan dipengaruhi oleh nilai sosial. Kebijakan generik (generic policies), adalah berbagai macam tindakan pemerintah yang dilakukan untuk memecahkan masalah kebijakan yang dihadapi dan biasanya berupa suatu strategi umum. Kebijakan generik seharusnya berujung pada suatu keadaan yang spesifik untuk menghasilkan alternatif kebijakan yang dapat dilaksanakan serta berkelanjutan. Terdapat lima hal penting yang termasuk dalam kebijakan generik, yakni: (1) membebaskan, fasilitasi dan simulasi pasar, (2) penggunaan pajak dan subsidi sebagai pilihan insentif, (3) penetapan peraturan perundangan, (4) penyediaan
barang barang melalui
mekanisme
penyelenggaraan asuransi dan jaring pengaman.
bukan
pasar,
dan
(5)
56
2.9.
Indeks Pembangunan Manusia (IPM) Indeks pembangunan manusia (IPM) atau human development index
(HDI) yaitu indikator komposit tunggal yang mengukur tiga dimensi pokok pembangunan manusia yang dinilai mencerminkan status kemampuan dasar (basic capabilities) penduduk. Ketiga kemampuan dasar itu adalah (1) tingkat kesehatan yang tercermin dengan umur panjang dan sehat yang mengukur peluang hidup, (2) berpengetahuan dan berketerampilan, serta (3) akses terhadap sumberdaya yang dibutuhkan untuk mencapai standar hidup layak (Rustiadi et al. 2007). 2.10. Stakeholder Menurut Freeman (1984) stakeholder ialah sebagai kelompok atau individu yang dapat mempengaruhi dan atau dipengaruhi oleh suatu pencapaian tujuan tertentu. Stakeholder adalah masyarakat yang memiliki daya untuk mengendalikan penggunaan sumber daya seolah-olah mereka tidak terkena pengaruh, tetapi kehidupannya dipengaruhi oleh perubahan penggunaan sumber daya tersebut. Stakeholder berbeda dengan pelaku (actor). Stakeholder adalah bagian yang secara langsung terkait dengan hasil kajian. Mereka menjadi pengguna di masa depan dari suatu hasil kajian; sedangkan pelaku semua masyarakat dalam suatu wilayah yang memainkan suatu peran dalam suatu sektor tertentu. Mereka bukan kelompok sasaran (target group) bagi hasil suatu kajian. 2.11. Focus Group Discussion (FGD) dan Wawancara Mendalam FGD adalah salah satu teknik dalam mengumpulkan data kualitatif, di mana sekelompok orang berdiskusi dengan pengarahan dari seorang moderator atau fasilitator mengenai suatu topik. Wawancara mendalam atau indepth interview merupakan salah satu teknik pengumpulan data kualitatif, di mana wawancara dilakukan antara seorang responden dengan pewawancara yang terampil, yang ditandai dengan penggalian yang mendalam dan menggunakan pertanyaan terbuka.