10
II. TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Konsep Pembangunan Berkelanjutan Konsep pembangunan berkelanjutan akhir-akhir ini menjadi suatu konsep pembangunan yang diterima oleh semua negara di dunia untuk mengelola sumberdaya alam agar tidak mengalami kehancuran dan kepunahan. Konsep berlaku untuk seluruh sektor pembangunan termasuk pembangunan sektor perikanan. Konsep pembangunan berkelanjutan bersifat multidisiplin karena banyak aspek pembangunan yang harus dipertimbangkan, antara lain aspek ekologi, ekonomi, sosial-budaya, infrastruktur dan teknologi serta hukum dan kelembagaan. Walaupun banyak pendapat ahli yang lain memberikan persyaratan pembangunan berkelanjutan dengan aspek-aspek yang hampir sama tetapi dengan cara dan pendekatan yang berbeda. Secara prinsip, pembangunan berkelanjutan merupakan upaya terpadu dan terorganisasikan untuk mengembangkan kualitas hidup secara berkelanjutan, dengan
cara
mengatur
penyediaan,
pengembangan,
pemanfaatan,
dan
pemeliharaan sumberdaya secara berkelanjutan dengan prasyarat terselenggaranya suatu sistem kepemerintahan yang baik (good governance). Pembangunan berkelanjutan juga diartikan sebagai pemaduan tujuan sosial, ekonomi, dan ekologi. Walaupun secara konseptual pemaduan ini masuk akal, tetapi implementasinya tidaklah sederhana. Hal ini antara lain karena permasalahan sosial, ekonomi dan ekologi yang terpisahkan atau dipisahkan secara spasial. Konsep pembangunan berkelanjutan pertama kali diperkenalkan oleh the World Commission on Environment and Development (WCED) pada tahun 1987 dengan laporannya berjudul Our Common Future (Kay dan Alder, 1999). Laporan ini dibuat oleh sekelompok ahli yang diketuai oleh Gro Harlem Brundtland, sehingga laporan tersebut sering disebut sebagai Laporan Brundtland (The Brundtland Report). Dalam laporan tersebut terkandung definisi pembangunan berkelanjutan yaitu pembangunan yang dapat memenuhi kebutuhan saat ini tanpa membatasi peluang generasi mendatang untuk memenuhi kebutuhannya. Dengan pengertian ini, Belier (1990) mengemukakan prinsip justice of fairness yang bermakna manusia dan berbagai generasi yang berbeda mempunyai tugas dan
11
tanggung jawab satu terhadap yang lainnya seperti layaknya berada di dalam satu generasi. Dalam konsep pembangunan berkelanjutan akan ada perpaduan antara dua kata yang kontradiktif yaitu pembangunan yang menuntut perubahan dan pemanfaatan sumberdaya alam, dan berkelanjutan yang berkonotasi “tidak boleh mengubah” di dalam proses pembangunan yang berkelanjutan. Persekutuan antara kedua kepentingan ini pada dasarnya mengembalikan developmentalis dan environmentalis back to basic yaitu oikos dimana kepentingan ekonomi dan lingkungan hidup disetarakan (Saragih dan Sipayung, 2002). Young (1992) dalam Kay dan Alder (1999) mengemukakan adanya tiga tema yang terkandung dalam definisi pembangunan berkelanjutan, yaitu: integritas lingkungan, efisiensi ekonomi, dan keadilan kesejahteraan (equity). Pendapat ini sejalan dengan yang dikemukan oleh Munasinghe (1993), bahwa pembangunan dikatakan berkelanjutan jika memenuhi tiga dimensi, yaitu: secara ekonomi dapat efisien serta layak, secara sosial berkeadilan, dan secara ekologis lestari (ramah lingkungan). Makna dari pembangunan berkelanjutan dari dimensi ekologi memberikan penekanan pada pentingnya menjamin dan meneruskan ada generasi mendatang sejumlah kuantitas modal alam (natural capital) yang dapat menyediakan suatu hasil berkelanjutan secara ekonomis dan jasa lingkungan termasuk keindahan alam. Konsep lain yang masih berkaitan dengan hal tersebut adalah konsep pemanfaaatan sumberdaya yang berkelanjutan (sustainable use of resources) yang bermakna bahwa pemanenan, ekstraksi, ataupun pemanfaatan sumberdaya tidak boleh melebihi jumlah yang dapat diproduksi atau dihasilkan dalam kurun waktu yang sama. Reid (1995) dalam Kay dan Alder (1999) mengemukakan persyaratan agar pembangunan berkelanjutan dapat terwujud, yaitu: integrasi antara konservasi dan pengembangan, kepuasan atas kebutuhan dasar manusia, peluang untuk memenuhi kebutuhan manusia yang bersifat “non materi”, berkembang ke arah keadilan sosial dan kesejahteraan, menghargai dan mendukung keragaman budaya, memberikan peluang penentuan identitas diri secara sosial dan menumbuhkan sikap ketidak-tergantungan diri, dan menjaga integritas ekologis.
12
Cicin-Sain dan Knecht (1998) mengemukakan bahwa pembangunan berkelanjutan mencakup tiga penekanan, yaitu: (1) pembangunan ekonomi untuk meningkatkan kualitas kehidupan manusia; (2) pembangunan yang sesuai dengan lingkungan; dan (3) pembangunan yang sesuai dengan keadilan kesejahteraan, yaitu keadilan penyebaran keuntungan dari pembangunan yang mencakup: a) intersocietal equity misalnya antar kelompok dalam masyarakat, menghargai hak khusus masyarakat lokal dan lain-lain; b) intergenerational equity yaitu tidak membatasi peluang atau pilihan bagi generasi mendatang; c) international equity yaitu memenuhi kewajiban (obligasi) terhadap bangsa lain dan terhadap masyarakat internasional mengingat adanya kenyataan saling ketergantungan secara global. Dalam hal pengelolaan sumberdaya alam, telah disepakati secara global mengenai bagaimana seharusnya sumberdaya alam dikelola agar berkelanjutan sebagai dasar bagi peningkatan kesejahteraan manusia dan kegiatan ekonomi. Kesepakatan
ini
jelas
bahwa
pengelolaan
sumberdaya
alam
harus
mempertimbangkan ketiga aspek sekaligus yakni ekonomi, ekologi, dan sosial. Sejalan dengan hal ini, upaya mengubah pola konsumsi dan produksi yang tidak berkelanjutan menjadi hal utama untuk mendukung upaya perlindungan daya dukung ekosistem dan fungsi lingkungan sebagai prasyarat peningkatan kesejahteraan masyarakat generasi sekarang dan yang akan datang. Untuk itu, harus memperhatikan prinsip: penggunaan sumberdaya tidak lebih cepat dibandingkan kemampuannya untuk melakukan pemulihan kembali (rehabilitasi), tidak menghasilkan polusi lebih cepat dibandingkan kemampuan untuk menetralisir secara alami (Radzicki dan Trees, 1995). Secara
operasional,
pembangunan
berkelanjutan
sinergik
dengan
pengelolaan lingkungan. Pengelolaan lingkungan didefinisikan sebagai upaya terpadu untuk melestarikan fungsi lingkungan hidup yang meliputi kebijakan penataan, pemanfaatan, pengembangan, pemeliharaan, pemulihan, pengawasan, dan pengendalian lingkungan hidup (UU 23/1997). Definisi ini menegaskan bahwa pengertian pengelolaan Iingkungan mempunyai cakupan yang luas, karena tidak saja meliputi upaya-upaya pelestarian lingkungan melainkan juga mencegah proses terjadinya degradasi lingkungan, khususnya melalui proses penataan
13
lingkungan. Dengan demikian, perlu disadari bahwa upaya-upaya pengelolaan lingkungan di Indonesia harus dilakukan tidak saja bersifat kuratif melainkan juga bersifat preventif. Di masa depan, upaya-upaya yang lebih bersifat preventif harus lebih diproritaskan, dan hal ini menuntut dikembangkannya berbagai opsi pengelolaan
lingkungan,
baik
melalui
opsi
ekonomi
maupun
melalui
proses–proses peraturan dan penataan penggunaan lahan (Setiawan, 2003). Hubungan timbal balik antara aspek ekonomi dan sumberdaya alam dan lingkungan kemudian menjadi sangat penting. Betapa tidak ekstraksi terhadap sumberdaya alam yang dilakukan manusia dalam rangka pemenuhan kebutuhan akan menghasilkan benefit dan limbah. Aktivitas manusia secara langsung maupun tidak langsung telah dan akan memberikan dampak terhadap resistensi sumberdaya alam dan lingkungan. Pengelolaan sumberdaya alam merupakan suatu hal yang sangat penting dibicarakan dan dikaji dalam kerangka pelaksanaan pembangunan nasional kita. Dengan potensi sumberdaya alam yang berlimpah sesungguhnya kita dapat melaksanakan proses pembangunan bangsa ini secara berkelanjutan tanpa harus dibayangi rasa cemas dan takut akan kekurangan modal bagi pelaksanaan pembangunan tersebut. Pemanfaatan secara optimal kekayaan sumber daya alam ini akan mampu membawa kesejahteraan dan kemakmuran bagi seluruh bangsa Indonesia Namun demikian perlu disadari eksploitasi secara berlebihan tanpa perencanan yang baik bukannya mendatangkan kemakmuran dan kesejahteraan namun malah sebaliknya akan membawa malapetaka yang tidak terhindarkan. Akibat pengelolaan sumberdaya alam yang tidak memperhatikan keseimbangan dan kelestarian lingkungan dapat kita lihat pada kondisi lingkungan yang mengalami degradasi baik kualitas maupun kuantitasnya. Demikian juga dengan jenis flora dan fauna di dalamnya sebagian besar sudah terancam punah. Perairan yang sangat luas sudah tercemar sehingga ekosistemnya terganggu. Demikian juga dengan dampak eksploitasi mineral yang terkandung dalam perut bumi juga mulai merusak keseimbangan dan kelestarian alam sebagai akibat proses penggalian, pengolahan dan pembuangan limbah yang tidak dilakukan secara benar.
14
Pengelolaan sumberdaya alam selama ini tampaknya lebih mengutamakan meraih keuntungan dan segi ekonomi sebesar-besarnya tanpa memperhatikan aspek sosial dan kerusakan lingkungan. Pemegang otoritas pengelolaan sumberdaya alam berpusat pada negara yang dikuasai oleh pemerintah pusat, sedangkan daerah tidak lebih sebagai penonton. Berbagai kebijakan yang dikeluarkan cenderung bersifat sektoral, sehingga kadangkala menjadi kebijakan yang tumpang tindih. Sentralisasi kewenangan tersebut juga mengakibatkan pengabaian perlindungan terhadap hak azasi manusia. Selama puluhan tahun praktek pengelolaan sumber daya alam tersebut dilaksanakan telah membawa dampak yang sangat besar bagi daerah. Berdasarkan implementasi dan UU No.23/1997 tentang pengelolaan lingkungan hidup yang mendefinisikan tiga konsep utama dalam pembangunan berkelanjutan yaitu: kondisi SDA, kualitas lingkungan dan faktor demografi. Oleh karena itu, perlu adanya optimalisasi usaha untuk menyusun penghitungan kualitas lingkungan. Tujuan dari penghitungan kualitas lingkungan adalah: a) memberikan deskripsi tujuan dan aktivitas manusia (sosial dan ekonomi) dan fenomena alami keadaan lingkungan dan demografi, b) memberikan informasi yang komprehensif untuk masyarakat dan pembuat kebijakan, c) sebagai alat yang sangat membantu dalam mengevaluasi pengelolaan demografi dan lingkungan. Agar upaya pelestarian lingkungan berjalan secara efektif dan efisien serta berkelanjutan, dibutuhkan kebijakan untuk mewujudkan hal tersebut. Dalam skenario politik ekonomi yang rumit saat ini, amatlah penting untuk menetapkan kebijakan lingkungan dan sosial yang kuat disemua tingkatan. Demikian juga penegakan hukum harus berjalan secara efektif agar pelestarian keanekaragaman hayati dapat berjalan dengan baik. Redclift (1990) mengemukakan bahwa pembangunan berkelanjutan adalah proses pemanfaatan sumberdaya alam, arah investasi pembangunan, arah pengembangan teknologi dan kelembagaan yang semuanya harmonis, dan meningkatkan berbagal potensi masa kini dan di masa depan untuk memenuhi kebutuhan dan aspirasi umat manusia.
15
2.2 Pengertian Pelabuhan Pelabuhan perikanan sebagai pelabuhan khusus adalah suatu wilayah perpaduan antara daratan dan lautan yang dipergunakan sebagai pangkalan kegiatan penangkapan ikan dan dilengkapi dengan berbagai fasilitas sejak ikan didaratkan sampai ikan didistribusikan (Lubis, 2006). Menurut Keputusan Menteri Departemen Kelautan dan Perikanan Nomor 10 tahun 2004 tentang pelabuhan perikanan, pelabuhan perikanan adalah tempat yang terdiri atas daratan dan perairan sekitarnya dengan batas-batas tertentu sebagai tempat kegiatan pemerintahan dan kegiatan sistem bisnis perikanan yang dipergunakan sebagai tempat kapal perikanan bersandar, berlabuh, dan atau bongkar muat ikan yang dilengkapi dengan fasiiitas keselamatan pelayaran dan kegiatan pelabuhan perikanan (DKP, 2005). Keputusan Menteri Departemen Kelautan dan Perikanan Nomor 10 tahun 2004 tentang pelabuhan perikanan menyatakan bahwa pelaksanaan pengelolaan pelabuhan perikanan sangat penting dilakukan guna mengoptimalkan peran pelabuhan sebagai pendorong perekonomian masyarakat. Semakin baik pengelolaan pelabuhan perikanan, diharapkan kesejahteraan masyarakat nelayan tinggi juga (DKP, 2005). Pelabuhan perikanan di Indonesia diklasifikasikan oleh Direktur Jenderal Kelautan dan Perikanan menjadi empat, yaitu Pelabuhan Perikanan Samudera (PPS), Pelabunan Perikanan Nusantara (PPN), Pelabuhan Perikanan Pantai (PPP) dan Pangkalan Pendaratan Ikan (PPI) Pengklasifikasian ini bertujuan untuk mempermudah dalam pengelolaan pelabuhan perikanan khususnya dan sebagai dasar
pedoman
pengembangan
pelabuhan
perikanan
pada
umumnya
(Lubis, 2006). Dasar pengklasifikasian ini juga dapat dipakai untuk kebijakan cara pengelolaan pelabuhan perikanan yang sesuai. Pelabuhan perikanan di Selili merupakan pelabuhan perikanan jenis pangkalan pendaratan ikan (Lubis, 2006). Ciri-ciri PPI adalah sebagal berikut: 1) Melayani kapal perikanan yang melakukan kegiatan perikanan di wilayah pedalaman dan perairan kepulauan; 2) Memiliki fasilitas tambat labuh untuk kapal perikanan berukuran sekurang-kurangnya 3 Gross Tonnage (GT);
16
3) Panjang dermaga sekurang-kurangnya 50 m, dengan kedalaman kolam sekurang-kurangnya 2 m; 4) Mampu menampung sekurang-kurangnya 20 kapal perikanan atau jumlah keseluruhan sekurang-kurangnya 60 GT kapal perikanan sekaligus; 5) Memiliki lahan sekurang-kurangnya seluas 2 ha;
2.3 Fungsi dan Peranan Pelabuhan Perikanan Keputusan Menteri Kelautan dan Perikanan No, 10 Tahun 2004 tentang pelabuhan perikanan, pelabuhan perikanan mempunyai tugas melaksanakan fasilitas produksi, fasilitas penanganan dan pengolahan, fasilitas pengendalian dan pengawasan mutu, fasilitas pemasaran hasil perikanan di wilayahnya, fasilitas melakukan
pembinaan
masyarakat
nelayan,
fasilitas
pengendalian
dan
pengawasan pemanfaatan sumberdaya ikan, fasilitas kelancaran kegiatan kapal, serta fasilitas pengumpulan data (DKP, 2005). Pasal 41 Undang-Undang Nomor 31 tahun 2004 tentang Perikanan, dalam rangka mengembangkan pelabuhan perikanan, pemerintah membangun dan membina pelabuhan perikanan yang berfungsi antara lain sebagai: 1) Tempat tarnbat labuh kapal perikanan; 2) Tempat pendaratan ikan; 3) Tempat pemasaran dan distribusi ikan; 4) Tempat pelaksanaan pembinaan mutu hasil perikanan; 5) Tempat pengumpulan data perikanan; 6) Tempat penyelenggaraan penyuluhan dan pengembangan masyarakat nelayan; 7) Tempat untuk memperlancar kegiatan operasional kapal perikanan. Selanjutnya disebutkan bahwa pelabuhan perikanan mempunyai peranan penting dan strategis dalam menunjang peningkatan produksi perikanan, memperlancar arus lalu lintas kapal perikanan, mendorong pertumbuhan perekonomian masyarakat perikanan, serta mempercepat pelayanan terhadap seluruh kegiatan yang bergerak di bidang usaha perikanan. Fungsi pelabuhan perikanan dalam arti khusus selalu berkaitan dengan jenis atau tipe dan pelabuhan
17
tersebut. Sebagai contoh, pelabuhan perikanan tipe-D (PPI) mempunyal fungsi tidak sekompleks pelabuhan perikanan tipe-A (PPS) (DKP, 2005).
2.4 Fasilitas Pelabuhan Perikanan Fasilitas pelabuhan perikanan adalah sarana dan prasarana yang tersedia di pelabuhan perikanan untuk mendukung operasional pelabuhan. Di dalam pelaksanaan fungsi dan peranannya, pelabuhan perikanan dilengkapi dengan berbagai fasilitas. Fasilitas yang ada di pelabuhan perikanan inilah yang nantinya akan mempengaruhi cara pengelolaan tiap-tiap pelabuhan perikanan. Pengelolaan tiap pelabuhan perikanan berbeda satu sama lain, bergantung dan kondisi dan kelengkapan fasilitas pelabuhan perikanan yang ada (DKP, 2005). Dalam pelaksanaan fungsi dan peranannya, pelabuhan perikanan dilengkapi dengan berbagai fasilitas. Kapasitas dan jenis fasilitas atau sarana yang ada pada umumnya menentukan skala atau tipe dan suatu pelabuhan dan akan berkaitan pula dengan skala usaha perikananrya (Lubis, 2006). Menurut Murdiyanto (2003), pelabuhan harus dapat melindungi kapal yang berlabuh dan beraktivitas di dalam areal pelabuhan. Agar dapat memenuhi fungsinya pelabuhan perlu dilengkapi dengan berbagai fasilitas baik fasilitas pokok (basic facilities) maupun fasilitas fungsional (functional facilities). Fasilitas pokok pelabuhan terdiri atas fasilitas perlindungan, fasilitas tambat dan fasilitas perairan pelabuhan, sedangkan fasilitas fungsional terdiri atas berbagai fasilitas untuk melayani berbagai kebutuhan lainnya di areal pelabuhan tersebut. Fasilitas pelabuhan perikanan terdiri atas fasilitas pokok, fungsional, dan tambahan. Fasilitas pokok berfungsi untuk melindungi kegiatan umum di pelabuhan perikanan dan gangguan alam (Lubis, 2006). Fasilitas fungsional merupakan pelengkap fasilitas pokok guna memperlancar pekerjaan atau pemberian pelayanan jasa di pelabuhan perikanan dan meninggikan nilai guna fasilitas pokok yang ada. Fasilitas tambahan berfungsi secara tidak langsung didalam menunjang fungsi pelabuhan perikanan. Fasilitas pokok memberi dukungan pada aktivitas bongkar muat dan distribusi hasil tangkapan. Fasilitas fungsional memberikan dukungan pada aktivitas pelelangan, pemasaran, serta kegiatan nelayan yang dilakukan di sekitar pelabuhan. Fasilitas tambahan memberi dukungan pada
18
kelancaran aktivitas pengguna jasa pelabuhan perikanan. Fasilitas pokok terdiri atas dermaga, kolam pelabuhan, alat bantu navigasi dan breakwater atau pemecah gelombang. Fasilitas fungsional terdiri dan Tempat Pelelangan Ikan (TPI), pabrik es, gudang es, refrigerasi (cool room. cold storage), gedung-gedung pemasaran, lapangan perbaikan alat penangkapan ikan. ruangan mesin, tempat penjemuran alat penangkap ikan, bengkel, slipways, gudang jaring, vessel lifi, fasilitas perbekalan (tangki dan instalasi air minum, tangki bahan bakar), dan fasilitas komunikasi (stasiun jaringan telepon, radio SSB). Fasilitas penunjang terdiri atas MCK, polikilnik, mess, kantin atau warung, musholla, kantor pengelola pelabuhan, ruang operator, kantor syabbandar. dan kantor beacukai (Lubis, 2006).
2.5 Pengelolaan Pelabuhan Perikanan Menurut Undang - Undang Nomor 31 tahun 2004 tentang Perikanan bahwa
pengelolaan
sumberdaya
ikan
adalah
rangkaian
kegiatan
yang
berhubungan dengan perencanaan, pembuatan keputusan, alokasi sumberdaya ikan, dan implementasi serta penegakan hukum dari peraturan perundangundangan di bidang perikanan. Pengelolaan sumberdaya ikan harus sesuai dengan tujuan yang telah ditetapkan dan pengaturananya diatur melalui berbagai perangkat peraturan sehingga diharapkan dapat menjadikan sektor perikanan berkembang dengan mengoptimalkan potensi yang dimilikinya (DKP, 2005). Selanjutnya dikatakan dalam Undang-Undang tersebut bahwa pengelolaan perikanan dalam wilayah pengelolaan perikanan Republik Indonesia dilakukan untuk tercapainya manfaat yang optimal dan berkelanjutan, serta terjaminnya kelestarian sumberdaya ikan. Pengelolaan perikanan untuk kepentingan penangkapan ikan dan pembudidayaan ikan harus mempertimbangkan hukum adat dan atau kearifan lokal serta memperhatikan peran serta masyarakat (DKP, 2005). Menurut Undang-Undang Nomor 31 tahun 2004 tentang Perikanan Pengelolaan perikanan dilaksanakan dengan tuiuan (DKP, 2005): 1) Meningkatkan taraf hidup nelayan kecil dan pembudidaya ikan kecil; 2) Meningkatkan penerimaan dan devisa negara; 3) Mendorong perluasan dan kesempatan kerja;
19
4) Meningkatkan ketersediaan dan konsumsi sumber protein ikan; 5) Mengoptimalkan pengelolaan sumberdaya ikan; 6) Meningkatkan produktivitas, mutu. nilai tambah, dan daya saing; 7) Meningkatkan ketersediaan bahan baku untuk industri pengolahan ikan; 8) Mencapai pemanfatan sumberdaya ikan, lahan pembudidayaan ikan, dan lingkungan sumberdaya ikan secara optimal; dan 9) Menjamin kelestarian sumberdaya ikan, lahan pembudidayaan ikan, dan tata ruang. Dalam rangka mendukung kebijakan pengelolaan sumberdaya ikan, Menteri Kelautan dan Perikanan menetapkan (DKP, 2005): 1)
Rencana pengelolaan perikanan;
2)
Potensi dan alokasi sumberdaya ikan di wilayah pengelolaan perikanan Republik Indonesia;
3)
Jumlah tangkapan yang diperbolehkan di wilayah pengelolaan perikanan Republik Indonesia;
4)
Jenis, jumlah, dan ukuran alat penangkapan ikan;
5)
Jenis, jumlah, ukuran, dan penempatan alat bantu penangkapan ikan,
6)
Daerah, jalur, dan waktu atau musim penangkapan ikan;
7)
Persyaratan atau standar prosedur operasional penangkapan ikan;
8)
Sistem pemantauan kapal perikanan;
9)
Jenis ikan baru yang akan dibudidayakan;
10) Jenis ikan dan penebaran kembali serta penangkapan ikan berbasis budidaya; 11) Pencegahan pencemaran dan kerusakan sumberdaya ikan serta lingkungannya; 12) Rehabilitasi dan peningkatan surnberdaya ikan serta iingkungannya; 13) Ukuran atau berat minimum jenis ikan yang boleh ditangkap; 14) Suaka perikanan; 15) Jenis ikan yang dilindungi.
20
Pengelolaan
pelabuhan
perikanan
bertujuan
antara
lain
untuk
mengoptimalkan peran pelabuhan dalam meningkatkan aktivitas kepelabuhanan termasuk di dalamnnya pendaratan, pemasaran, dan pengolahan hasil tangkapan serta pelayanan untuk meningkatkan pendapatan pihak pengelola pelabuhan perikanan dan mendorong peningkatan pendapatan para pelaku/pengguna di pelabuhan perikanan. Keberhasilan dalam pengelolaan suatu pelabuhan antara lain banyak tergantung pada para pengguna yang ada di pelabuhan, misalnya terhadap kuantitas dan kualitas sumberdaya manusianya. Keterkaitan dan keharmonisan hubungan antara staf pengelola pelabuhan antara lain kepala pelabuhan dan pegawainya, para pedagang, nelayan, pengolah dan buruh. Para pengguna tersebut harus dapat bekerja secara profesional, saling berkerja sama dalam pelaksanaan pengoperasian dan taat terhadap peraturan-peraturan yang berlaku. Di samping itu pengguna pelabuhan harus menguasai dan bertanggung jawab terhadap tugas atau pekerjaannya masing-masing (Lubis, 2006). Selanjutnya menyatakan, agar pengorganisasian dan pengelolaan dapat berjalan dengan baik sesuai dengan fungsi pelabuhan, maka perlu diketahui terlebih dahulu rincian kegiatan-kegiatan dan fasilitas yang akan dikelola oleh suatu pelabuhan dan kesiapan sumberdaya manusianya dalam mengelola kegiatan dan fasilitas tersebut baik dan segi jumlah maupun kualitasnya (Lubis, 2006). Terdapat tiga kelompok kegiatan utama yang berkaitan erat dengan pengelolaan pelabuhan. Kegiatan-kegiatan tersebut ada kalanya berhubungan atau terpisah antara satu dengan lainnya. Ketiga kelompok tersebut adalah kegiatan yang berhubungan dengan: 1) Pengelolaan
infrastruktur,
suprastruktur
dengan
semua
aktivitas
penunjang, antara lain investasi pelabuhan, penyusunan anggaran. perencanaan
pembangunan,
pajak,
perbaikan
dan
pemeliharaan
fasilitasnya seperti alur pelayaran, mercusuar dan jalan-jalan di lingkungan pelabuhan. 2) Adanya kontak antara penjual dan pemakai jasa pelabuhan (klien), terhadap kapal dan barang-barang atau komoditi perikanan serta pemeliharaannya. Kontak ini secara eksplisit dapat berupa kegiatankegiatan ataupun jasa-jasa yang diberikan oleh pelabuhan.
21
3) Peraturan-peraturan kepelabuhanan antara lain peraturan-peraturan lokal, nasional maupun internasional dalam rnenentukan sirkulasi maritim, perhitungan statistik, pencatatan keluar masuknya kapal, pencatatan dan pemeliharaan kesehatan awak kapal. Ada beberapa prinsip penting bilamana pengoperasian suatu pelabuhan perikanan dikatakan berhasil (Lubis, 2006): 1
Sangat baik dipandang dan sudut ekonomi, yang berarti hasil pengoperasian pelabuhan itu dapat menguntungkan baik bagi pengelola pelabuhan itu sendiri maupun bagi pemiliknya. Disamping itu hasil dan pengoperasian pelabuhan tersebut mempunyai pangaruh positif terhadap perkembangan kota khususnya dan nasional umumnya;
2
Sistem penanganan ikan yang efektif dan efIsien. Dengan kata lain pembongkaran ikan dapat dilakukan secara cepat disertai penseleksian yang cermat, pengangkutan dan penanganan yang cepat;
3
Fleksibel dalam perkembangan teknologi. Dalam hal pengembangan suatu pelabuhan perikanan adakalanya diperlukan mekanisasi dari fasilitasfasilitas pelabuhan tersebut, misalnya perlunya vessel lifi pada fasilitas dock, tangga berjalar (tapis roulant) untuk pemnbongkaran dan penyeleksian ikan. Di samping itu diperlukan perluasan fasilitas pelabuhan karena semakin meningkatnya produksi perikanan pelabuhan, misalnya perluasan gedung pelelangan, dan perluasan dermaga;
4
Pelabuhan dapat berkembang tanpa merusak lingkungan sekitarnya (lingkungan alam dan lingkungan sosial), bersih dan higienis;
5
Para pengguna di pelabuhan perikanan dapat bekerja secara aktif dan terorganisasi baik dalam kegiatannya. Sehingga segala aktivitas yang dilakukan dapat berjalan dengan baik dan sesuai dengan standar dan jadwal kerja yang telah ditetapkan.
2.6
Pengelolaan Aktifitas Pelabuhan Perikanan
2.6.1 Pendaratan Hasil Tangkapan Pengelolaan aktifitas pendaratan ikan di pelabuhan perikanan meliputi proses pembongkaran, penyotiran, dan pengangkutan kegedung pangkalan
22
pendaratan ikan yang bertujuan utama agar ikan yang didaratkan dan diangkut ke pangkalan pendaratan ikan sebelum dijual dapat dipindah/diangkut dengan cepat dan terjaga mutunya. Aktivitas pendaratan ikan hasil tangkapan di pelabuhan perikanan sangat bergantung kepada kelengkapan fasilitas yang ada di pelabuhan perikanan, seperti dermaga, kolam pelabuhan, dan alur pelayaran yang dapat memperlancar kapal-kapal perikanan untuk bertambat-labuh. Oleh karena itu pada hakekatnya pengelolaan aktivitas pendaratan terkait pula dengan pengelolaan fasilitas-fasilitasnya. Kelancaran proses pendaratan di pelabuhan perikanan sangat ditentukan oleh fasilitas yang tersedia di pelabuhan perikanan dan tingkat pengetahuan para pelaku di lapangan. Semakin baik tingkat pengetahuan pelaku di lapangan maka akan semakin lancar pula proses pendaratan hasil tangkapan di pelabuhan perikanan (Lubis, 2006). Aktivitas pendaratan di pelabuhan perikanan sangat erat hubungannya dengan proses penanganan ikan hasil tangkapan karena kedua kegiatan tersebut berjalan atau dilakukan pada waktu yang bersamaan. Proses ini nantinya sangat menentukan kualitas atau mutu ikan hasil tangkapan yang didaratkan. Mutu hasil tangkapan (ikan) tersebut haruslah selalu dipertahankan agar harganya selalu tinggi. Menurut Ilyas (1983), pengelompokan hasil tangkapan berdasarkan tingkat kesegarannya dibedakan atas tiga kelornpok, yaitu ikan segar, kurang segar, dan tidak segar. Penanganan hasil tangkapan bertujuan mengusahakan agar kesegaran hasil tangkapan dapat dipertahankan selama mungkin, atau setidaknya masih cukup segar pada saat hasil tangkapan sampai ke tangan konsumen. Jadi begitu hasil tangkapan tertangkap dan dinaikkan ke atas kapal harus secepat mungkin ditangani dengan baik dan hati-hati. Demikian selanjutnya sampai hasil tangkapan disimpan beku dalarn cold storage atau diolah (Moeljanto, 1982). Penanganan harus dilakukan dengan cepat dan cermat serta menerapkan aspek sanitasi dan higienis agar diperoleh daya awet yang lama (Aziza, 2000). 2.6.2 Pemasaran ikan Pemasaran merupakan salah satu tindakan suatu keputusan yang berhubungan dengan pergerakan barang dan jasa dan produsen sampai konsumen (Hanafiah dan Saefudin, 1983). Kegiatan pemasaran yang dilakukan di suatu
23
pelabuhan perikanan bersifat 1okal nasional maupun ekspor bergantung dan tipe pelabuhan tersebut. Pada dasarnva, pemasaran produk perikanan bertujuan untuk menciptakan mekanisme pasar yang menguntungkan baik bagi para nelayan maupun pedagang. Usaha pemasaran ikan dan hasil perikanan lainnya merupakan kegiatan yang berperan dalam pembentukan harga. peningkatan mutu, peningkatan produksi, pengembangan modernisasi perikanan, peningkatan pendapatan, dan kesejahteraan nelayan. Pemasaran biasanya tidak dilakukan oleh satu tangan melainkan oleh beberapa pelaku perantara yang membentuk tataniaga yang panjang, sehingga mengakibatkan biaya pemasaran yang tinggi. Pemasaran ikan hasil tangkapan nelayan Selili masih bersifat lokal. Daerah pemasarannya meliputi Bontang, Balikpapan, Tenggarong, dan Sanggata. Sebagian besar, ikan yang dipasarkan biasanya dalam bentuk ikan segar. Mekanisme pemasaran ikan di Selili dimulai dan nelayan menurunkan hasil tangkapannya ke pangkalan pendaratan ikan Selili yang kemudian dilelang. Proses pelelangan tersebut, ikan hasil tangkapan dibeli oleh bakul-bakul yang nantinya akan dijual lagi ke pedagang kecil atau restoran yang nantinya akan sampai ke konsurnen. Selain itu, bakul juga menjual ikanya ke pengolah ikan yang kemudian dijual ke grosit ia1am bentuk ikan yang sudah diolah (Aprianti, 2006).
2.6.3 Pengolahan Ikan Ikan hasil tangkapan yang telah didaratkan di pelabuhan perikana selanjutnya akan diolah menjadi beberapa produk olahan dan ada yang langsung dipasarkan dalam bentuk ikan segar. Pengolahan terhadap ikan hasil tangkapan dilakukan untuk meningkatkan dan mengendalikan mutu ikan dalarn rangka menghindari kerusakan pasca tangkapan. Jenis olahan yang umumnya berada di pelabuhan perikanan di Indonesia masih bersifat tradisional dan belum memperhatikan kualitas ikan, sanitasi dan cara pengepakan yang baik seperti pengasinan dan pemindangan (Lubis, 2006). Jenis olahan lainnya yang serirg dijumpai di lingkungan pelabuhan perikanan adalah kerupuk ikan dan terasi. Pengolahan ikan di pangkalan pendaratan ikan Selili masih kurang berkembang. Pengolahan hasil tangkapan hanya dilakukan oleh nelayan atau
24
pedagang eceran bila ikan hasil tangkapannya tidak habis terjual dalam keadaan segar.
Cara
pengolahan
yang dilakukan
biasanya
adalah
pengeringan,
penggaraman dan pengasapan. Hal ini juga disebabkan karena sebagian besar produksi ikan dipasarkan dalam bentuk segar (Aprianti, 2006).
2.6.4 Pengelolaan SDM Pelabuhan Perikanan Pengelolaan SDM pelabuhan perikanan bertujuan untuk melancarkan kegiatan dan pelayanan di pelabuhan perikanan/pangkalan pendaratan ikan. Agar tujuan tersebut dapat dicapai tentu harus didukung oleh kernampuan yang mernadai dan para pengelola pelabuhan perikanan. Oleh karena itu setiap sumberdaya manusia (SDM) pengelola pelabuhan perikanan harus dibekali dengan pengetahuan dan keterampilan yang cukup mengenai pelabuhan perikanan (DKP, 2005). Secara umum SDM pengelola pelabuhan perikanan untuk klasifikasi Pangkalan Pendaratan Ikan terdiri atas Kepala PPI, sub bagian tata usaha, bagian pelelangan ikan, bagian fasilitas pendaratan dan bagian sarana prasarana permukiman nelayan lihat Gambar 2, (Lubis, 2006). Pendidikan yang sesuai dengan bidang kerja SDM pengelola pelabuhan perikanan adalah syarat mutlak pengelola pelabuhan perikanan, sedangkan untuk lebih meningkatkan kemampuannya perlu dilakukan pelatihan-pelatihan dan pembinaan teknis dan pihak terkait terutama yang bersifat teknis dan adminsitrasi kepelabuhanan, dan ditunjang pula dengan pembinaan yang menunjang terhadap peningkatan moral SDM pengelola pelabuhan perikanan.
25
KEPALA UPT-PP1
Sub Bagian Tata Usaha
Seksi Fasilitas Prasarana Pendaratan
Seksi Sarana dan Pemukiman Ne1ayan
Seksi Pelelangan Ikan
Sumber: Lubis (2002)
Gambar 2 Bagan struktur organisasi PPI 2.6.5 Pengelolaan Fasilitas Pelabuhan Perikanan Pengelolaan fasilitas pelabuhan perikanan berarti pengelolaan fasilitas yang tersedia di pelabuhan perikanan untuk mendukung operasional pelabuhan. Fasilitas pelabuhan perikanan terdiri atas fasilitas pokok, fungsional, dan tambahan (Lubis, 2006). Rincian fasilitas pelabuhan perikanan lebih jelas dapat dilihat pada tabel 1. Tabel 1 Fasilitas pelabuhan perikanan menurut kriteria dan jenis fasilitas. No
Kriteria Fasilitas Pokok
Fungsional
Tambahan
Jenis Fasilitas -
Dermaga Kolam Pelabuhan Alat bantu navigasi Pemecah gelombang TPl Pabrik es Gudang es Refrigerasi Gedung pemasaran Lapangan perbaikan alat penangkapan ikan Tempat penjemuran alat penangkap ikan Bengkel Slipways Gudang jarring Vessel lift Fasilitas perbekalan (tangki dan instalasi air minum, tangki bahan bakar) - Fasilitas koinunikasi
- MCK
26
-
Poliklinik Asrama Kantin/warung Mushola Kantor pengelola pelabuhan Ruang operator - Kantor syahbandar Sumber : Lubis (2006)
Menurut Direktur Jenderal Kelautan dan Perikanan (1994), bahwa aspekaspek tersebut secara terinci adalah sebagai berikut: 1.
Produksi : bahwa pelabuhan perikanan sebagai tempat para nelayan melakukan kegiatan kegiatan produksinya, mulai dan memenuhi kebutuhan perbekalan untuk menangkap ikan di laut sampai membongkar hasil tangkapannya;
2.
Pengolahan : bahwa pelabuhan perikanan menyediakan sarana yang dibutuhkan untuk mengolah hasil tangkapannya;
3.
Pemasaran : bahwa pelabuhan perikanan merupakan pusat pengumpulan dan pemasaran hasil tangkapannya. Pelabuhan perikaaan juga dapat diklasifikasikan menurut letak dan jenis
usaha perikanannya. Pelabuhan perikanan apabila dilihat dari banyaknya faktor yang ada pengklasifikasian dapat dipengaruhi oleh berbagai parameter, antara lain: 1. Luas Lahan, letak dan jenis konstruksi bangunan, 2. Tipe dan ukuran kapal-kapal yang masuk pelabuhan, 3. Jenis penikanan dan skala usahanya, 4. Distribusi dan tujuan ikan hasil tangkapan. Pelabuhan perikanan menurut tipe konstruksi bangunan. dibagi menjadi: 1. Pelabuhan perikanan alam 2. Pelabuhan perikanan buatan; 3. Pelabuhan perikanan semi alam. Pelabuhan Perikanan berdasarkan jenis dan skala usaha perikanannya Lubis (1989) dapat dibagi menjadi : 1. Pelabuhan perikanan berskala besar atau perikanan laut dalam; 2. Pelabuhan perikanan berskala menengah; 3. Pelabuhan perikanan berskala kecil perikanan pantai.
27
Pelabuhan perikanan berdasarkan daerah operasi penangkapan dibagi menjadi: 1. Pelabuhan perikanan lam lepas; 2. Pelabuhan perikanan lepas pantai; 3. Pelabuhan perilcanan pantai. Di Indonesia, Direktur Jenderal Kelautan dan Perikanan mengelompokkan pelabuhan perikanan menjadi 4 tipe yaitu: Ciri Pelabuhan Samudra (A), 1. Diperuntukkan bagi kapal-kapal diatas 100 GT, 2. Melayani kapal-kapal perikanan 100 unit / hari, 3. Jumlah ikan yang didaratkan lebih dan 200 ton/ hari, 4. Pemasaran lokal dan luar negeri, 5. Tersedianya fasilitas pembinaan mutu, sarana pemasaran dan lahan kawasan industh perikanan. Nusantara (B), 1. Diperuntukkan bagi kapal-kapal 50-100 GT, 2. Melayani kapal-kapal penikanan 50 unit /hari, 3. Jumlah ikan yang didaratkan 100 ton/ hari, 4. Pemasaran lokal dan luar negeri, 5. Tersedianya fasilitas pembinaan mutu sarana pemasaran dan lahan kawasan industry. Pantai (C), 1. Diperuntukkan bagi kapal-kapal 10-30 GT, 2. Melayani kapal-kapal perikanan 25 unit/ hari, 3. Jumlah ikan yang didaratkan 50 ton/ hari, 4. Pemasaran lokal dan antar daerah, 5. Tersedianya fasilitas pembinaan mutu, pemasaran dan lahan kawasan industry. Pendaratan ikan (D), 1. Diperuntukkan kapal-kapal <30 GT, 2. Melayani kapal-kapal perikanan 15 unit per hari, 3. Jumlah ikan yang didaratkan> 10 ton per hari, 3. Pemasaran lokal, 4. Tersedianya fasilitas pembinaan mutu sarana pemasaran
dan lahan kawasan
industri perikanan (Direktur Jenderal Kelautan dan Perikanan, 1994) Pada umumnya fasilitas pelabuhan perikanan terdiri dari: 1.
Fasilitas pokok adalah fasilitas dasar/pokok yang diperlukan dalam kegiatan di suatu pelabuhan. Fasilitas ini berfungsi untuk melindungi kapal yang akan masuk dan keluar pelabuhan terhadap gangguan alam dan memberikan kemudahan serta keamanan bagi kapal dalam pelayarannya. Fasilitas pokok ini terdiri dan dermaga, kolam pelabuhan, alat bantu navigasi, pernecah gelombang (break water).
2.
Fasilitas Fungsional adalah fasilitas yang berfungsi meningkatkan nilai guna dan fasilitas pokok yang dapat menunjang aktivitas di pelabuhan. Fasilitas ini
28
tidak sama di setiap pelabuhan dan disediakan sesuai dengan kebutuhan operasional pelabuhan tersebut. Fasilitas fungsional ini dapat dikelompokkan: a.
Penanganan hasil tangkapan dan pemasaran yaitu Tempat Pelelangan Ikan (TPI), pabrik es, cold storage dan lain-lain;
b.
Fasilitas pemeliharaan dan perbaikan armada dan alat penangkap ikan yaitu bengkel, ruangan mesin, slip way dan lain-lain;
3.
Fasilitas Penunjang adalah fasilitas yang secara tidak langsung meningkatkan peranan pelabuhan atau para pelaku mendapatkan kenyamanan dalam melakukan aktivitis di pelabuhan, misalnya fasilitas kesejaliteraan (poliklinik, musholla, kantin dan warung), fasiitas administrasi (kantor pengelola pelabuhan, ruang operator).
2.8 Analisis Kebijakan Secara umum istilah kebijakan dipergunakan untuk menunjuk perilaku seorang aktor atau sejumlah aktor dalam suatu bidang kegiatan tertentu (Anderson, 1999). Kebijakan publik didefinisikan oleh Eyestone (1971) sebagai hubungan suatu unit pemerintah dengan lingkungan. Dunn (1999) memberikan pengertian kebijakan publik adalah apapun yang dipilih oleh pemerintah untuk dilakukan dan tidak dilakukan. Jadi kebijakan merupakan arah tindakan yang mempunyai maksud yang ditetapkan oleh seorang aktor atau sejumlah aktor dalam mengatasi suatu masalah atau suatu persoalan. Kebijakan adalah peraturan yang telah dirumuskan dan disetujui untuk dilaksanakan guna mempengaruhi suatu keadaan (mempengaruhi pertumbuhan) baik besaran maupun arahnya yang melingkupi kehidupan masyarakat umum. Kebijakan dikatakan efektif apabila penerapan kebijakan dan instrumennya dapat menghasilkan perubahan sesuai dengan tujuan yang ditetapkan. Sementara itu, dikatakan efisien jika kebijakan tersebut membutuhkan biaya yang rendah. Tahapan kebijakan terdiri dan fase formulasi kebijakan dan fase implementasi kebijakan, sedangkan analisis kebijakan aktivitas menciptakan pengetahuan tentang proses pembuatan kebijakan (Clay dan Shaffer, 1984 dalam Sanim, 2003). Kebijakan publik adalah segala ketentuan yang ditetapkan oleh pejabat publik yang bersangkut paut dengan publik dan apa yang dilakukan atau tidak
29
dilakukan oleh pejabat publik sesuai dengan kewenangannya. Masalah dalam perumusan kebijakan publik terletak pada aktor, mekanisme dan proses kebijakan publik, dan substansi. Untuk itu dalam mencapai tujuan terciptanya suatu kebijakan publik yang berpihak pada rakyat serta Iahirnya kebijakan yang menjamin partisipasi publik, diperlukan beberapa strategi. Strategi yang perlu dilalcukan, adalah penguatan organisasi kelompok masyarakat. Advokasi kebijakan dengan merancang aturan main dalam formulasi kebijakan publik yang proposional dan partisipatif komunikasi politik dengan memperbanyak ruang interaksi antar pihak dalam hal-hal yang menyangkut kebijakan publik. Dampak dan suatu kebijakan mempunyai beberapa dimensi dan semua harus diperhitungkan yaitu: (1) Dampak kebijakan pada masalah-masalah publik .dan dampak kebijakan pada orang-orang yang terlibat, dengan demikian mereka atau individu-individu yang diharapkan uniuk dipengaruhi oleh kebijakan harus dibatasi. Ada juga dampak yang diinginkan (intended consequences) dan ada dampak yang tidak diinginkan (unintended consequences); (2) Kebijakan yang mungkin mempunyai dampak pada keadaan-keadaan atau kelompok-kelompok diluar sasaran atau tujuan kebijakan, atau
juga dinamakan dampak yang
melimpah (externalities or spillover effects), (3) Kebijakan yang mungkin mempunyai dampak pada keadaan-keadaan sekarang dan keadaan-keadaan dimasa yang akan datang, dengan kata lain kebijakan yang berdampak berdasarkan dimensi waktu yakni masa sekarang dan masa yang akan datang; (4) Kebijakan yang mempunyai dampak dalam bentuk biaya langsung dan biaya tidak langsung, artinya ada biaya yang langsung dikeluarkan oleh program tersebut dan ada biaya tidak langsung dikeluarkan oleh pihak lain, apakah oleh pemerintah, swasta atau masyarakat; dan (5) Kebijakan yang mempunyai dampak terhadap biaya-biaya yang tidak biasa dihitung, tetapi dapat dirasakan oleh semua pihak. Analisis kebijakan menyediakan informasi yang berguna untuk menjawab pertanyaan: (1) apa hakekat permasalahan, (2) kebijakan apa yang sedang atau pernah dibuat untuk mengatasi masalah dan apa hasilnya, (3) seberapa berinakna hasil tersebut dalam memecahkan masalah, (4) alternatif kebijakan apa yang tersedia untuk menjawab masalah, dan hasil apa yang dapat diharapkan. Jawaban
30
terhadap pertanyaan tersebut membuahkan informasi tentang: masalah kebijakan, masa depan kebijakan, aksi kebijakan, hasil kebijakan, dan kinerja kebijakan. Metodologi analisis kebijakan merupakan perpaduan elemen-elemen dari berbagai disiplin seperti ilmu politik, sosiologi, psikologi, ekonomi, ilmu terapan ain dan tennasuk ilmu lingkungan. Analisis kebijakan bersifat deskriptif, valuatif dan dapat pula bersifat normatif yang bertujuan menciptakan dan dan melakukan kritik terhadap klaim pengetahuan tentang nilai kebijakan untuk generasi masa lalu, masa kini, dan masa mendatang (Dunn, 2004). Metodologi analisis kebijakan menggabungkan lima prosedur umum yang lazim dipakai dalam pemecahan masalah manusia, yaitu: (1) perumusan masaiah menghasilkan informasi mengenai kondisi-kondisi yang menimbulkan masalah kebijakan; (2) peramalan menyediakan informasi mengenai konsekuensi di masa mendatang dan penerapan alternatif kebijakan, termasuk tidak melakukan sesuatu; 3) rekomendasi menyediakan informasi mengenai nilai atau kegunaan relative dari konsekuensi di masa depan dan suatu pemecahan masalah; (4) pemantauan menghasiikan informasi tentang konsekuensi sekarang dan masa lalu dan diterapkannya alternatif kebijakan; dan (5) evaluasi menyediakan informasi mengenai nilai atau kegunaan dan konsekuensi pemecahan masalah. Analisis kebijakan diambil dan berbagai macam disiplin dan profesi yang tujuannya bersifat deskriptif, evaluatif dan preskriptif. Sebagai disiplin ilmu terapan, analisis kebijakan meminjam tidak hanya ilmu sosial dan perilaku tetapi juga administrasi publik, hukum, etika dan berbagai macam cabang analisis sistem ai matematika terapan. Analisis kebijakan dapat diharapkan untuk menghasilkan informasi dan argumen-argumen yang masuk akal mengenai tiga macam pertanyaan: (1) nilai yang pencapaiannya merupakan tolok ukur utama untuk melihat apakah masalah telah teratasi, (2) fakta yang keberadaannya dapat membatasi atau meningkatkan pencapaian nilai-nilai, dan (3) tindakan yang penerapannya dapat menghasilkan pencapaian nilai-nilai. Analisis kebijakan pada dasarnya adalah suatu upaya untuk mengetahui apa yang sesungguhnya dilakukan pemerintah, mengapa mereka melakukan hal tersebut dan apa yang menyebabkan mereka melakukannya dengan cara yang berbeda-beda. Analisis kebijakan merupakan suatu proses pencarian kebenaran
31
yang bermuara pada penggambaran dan penjelasan mengenai sebab-sebab dan akibat dan tindakan pemerintah. Ada tiga jenis analisis kebijakan, yaitu: (1) analisis prospektif, (2) analisis retrospektif, dan (3) analisis terintegrasi (Dunn, 1994). Analisis prospektif merupakan analisis kebijakan yang terkait dengan produksi dan transformasi informasi sebeluin tindakan kebijakan dilakukan. Analisis retrospektif, sebaliknya serkaitan dengan produksi dan transformasi informal setelah tindakan kebijakan dilakukan. Analisis tenintegrasi adalah analisis kebijakan yang secara utuh mengkaji seluruh daur kebijakan dengan menggabungkan analisis prospektlf dan retrospektif.
2.9. Hasil Penelitian Terdahulu Fauzi dan Anna (2002) menggunakan metode MDS untuk melakukan analisis keberlanjutan pengelolaan sumberdaya perikanan diperairan pesisir DKI Jakarta secara berkelanjutan dengan cara menyusun sebanyak 47 atribut dan 15 faktor sensitive yang digunakan untuk menentukan nilai indeks keberlanjutan yang dikelompokkan ke dalam lima dimensi, yaitu: dimensi ekonomi, dimensi sosial, dimensi teknologi, dimensi etika, dan dimensi ekologi. Susilo (2003), dan Mersyah (2005) menggunakan metode MDS untuk menilai keberlanjutan pengelolaan suatu sumberdaya dengan mengelompokkan atribut ke dalam lima dimensi, yaitu: dimensi ekologi, dimensi ekonomi, dimensi sosial-budaya,
dimensi
teknologi,
dimensi
hukum
dan
kelembagaan.
Pengelompokan atribut ke dalam dimensi tersebut didasarkan atas konsep dasar pembangunan berkelanjutan yang secara ekonomi harus layak, secara sosial berkeadilan, dan secara ekologi ramah lingkungan (Munasinghe, 1993). Hardy Benry Simbolon (2009) menggunakan metode MDS untuk menilai keberlanjutan pengelolaan suatu sumberdaya dengan mengelompokkan atribut ke dalam lima dimensi, yaitu: dimensi ekologi, dimensi ekonomi, dimensi sosialbudaya, dimensi infrastruktur dan teknologi, dimensi hukum dan kelembagaan (Munasinghe, 1993). Dan menggunaka Analisis prospektif untuk menentukan faktor kunci kemungkinan dimasa akan datang tentang pengelolaan Kawasan transmigrasi Rasau Jaya Kabupaten Pontianak (Godet, 1999)