9
TINJAUAN PUSTAKA Konsep Pembangunan Proses pembangunan dapat diartikan sebagai upaya sistematis dan berkesinambungan untuk menciptakan keadaan yang dapat menyediakan berbagai alternatif yang sah bagi pencapaian aspirasi setiap warga negara yang paling humanistik.
Dengan perkataan lain proses pembangunan merupakan proses
memanusiakan manusia (Rustiadi et al. 2009).
UNDP juga mendefenisikan
pembangunan dan khususnya pembangunan manusia sebagai proses untuk memperluas pilihan-pilihan bagi penduduk (a process of enlarging people’s choice), dalam konsep penduduk ditempatkan sebagai tujuan akhirnya. Ini sejalan dengan pergeseran paradigma pembangunan dalam masyarakat dewasa ini, dimana konsep pembangunan mengalami pergeseran paradigma dari yang berpusat pada produksi ke pembangunan yang berpusat pada manusia/rakyat. Menurut Riyadi dan Bratakusumah (2004), pembangunan berorientasi pada masyarakat berarti hasil pembangunan yang akan dicapai akan bermanfaat dan berguna bagi masyarakat setempat, selain itu juga risiko atau cost yang akan ditimbulkan oleh upaya pembangunan akan ditanggung oleh masyarakat setempat. Dengan demikian tidak hanya benefit yang harus diketahui semenjak program pembangunan , tetapi juga cost-nya. Pembangunan berkerakyatan (people centered development/man centered development) memiliki konsep dan kebijakan yang memandang inisiatif kreatif rakyat sebagai sumber daya pembangunan yang utama dan memandang kesejahteraan material dan spiritual adalah sebagai tujuan yang ingin dicapai oleh proses pembangunan (Korten dan Sjahrir 1988), dimana salah satu konsepnya adalah dalam bentuk perencanaan partisipatif, yang dapat memberi ruang pada masyarakat untuk dapat berpartisipasi langsung pada pembangunan dengan konsep pembagian kekuasaan yang sama antara kalangan powerfull dan kalangan yang powerless. pembangunan
Dengan paradigma pembangunan yang baru ini, maka
harus
diarahkan
kepada
terjadinya
pemerataan
(equity),
pertumbuhan (eficiency), dan keberlanjutan (sustainability) yang berimbang dalam pembangunan ekonomi.
Dalam perspektif konsep keberimbangan,
10
pendekatan pembangunan dituntut untuk memperhatikan keberimbangan dan keadilan antar generasi (intergenerational equity) yang kita kenal dengan pembangunan
berkelanjutan
(sustainable
development),
yakni
konsep
pembangunan yang dapat memenuhi kebutuhan generasi saat ini tanpa mengorbankan generasi yang akan datang (Rustiadi et al. 2009). Keberlanjutan pembangunan dinilai dalam 3 (tiga) dimensi keberlanjutan yang dikenal sebagai “a triangular framework”, yakni keberlanjutan secara ekonomi, sosial, dan ekologi (Serageldin 1996, diacu dalam Rustiadi et al. 2009). Sjafrizal (2009) mengemukakan bahwa terdapat 4 (empat) tahap dalam proses pembangunan yang sekaligus menggambarkan tugas pokok badan perencana pembangunan, yaitu : (1) Penyusunan rencana, (2) Penetapan rencana, (3) Pengendalian pelaksanan rencana, dan (4) Evaluasi keberhasilan pelaksanaan rencana. Keempat tahap ini berkaitan satu sama lainnya sehingga perlu dijaga konsistensi antara satu dengan lainnya. Prioritas Pembangunan Dalam era otonomi daerah, campur tangan pemerintah pusat semakin berkurang, dimana daerah diberi kekuasaan penuh untuk mengatur wilayahnya sendiri sehingga sistem perencanaan pembangunan daerah yang semula sektoral berubah menjadi lebih bersifat regional, yang lebih memperhatikan potensi dan karakteristik khusus daerahnya.
Namun, setiap daerah memiliki keterbatasan
tertentu, baik dari segi dana, sumberdaya, tenaga kerja dan lain-lain. Oleh karena itu dalam rangka mengoptimalkan pencapaian sasaran pembangunan maka dalam setiap rencana pembangunan perlu ditetapkan prioritas-prioritas tertentu. Tetapi ini bukan berarti bahwa aspek lain di luar prioritas tidak menjadi penting dalam pembangunan, karena prioritas pembangunan pada dasarnya menunjukkan perhatian dan tekanan utama yang harus dilakukan untuk mencapai sasaran yang digambarkan dalam visi dan misi pembangunan, sedangkan aspek lain adalah penunjang dan pendukung kegiatan utama tersebut. Sjafrizal (2010) menyatakan bahwa penetapan prioritas ini harus dilakukan dengan penuh pertimbangan tertentu, antara lain : -
Program dan sektor yang diprioritaskan sebaiknya berhubungan erat dengan misi dan visi pembangunan negara dan daerah bersangkutan;
11
-
Program dan sektor yang diprioritaskan sebaiknya mencakup sebagian besar dari kehidupan sosial ekonomi pada negara dan daerah bersangkutan;
-
Kegiatan dan sektor tersebut merupakan sektor unggulan dan mempunyai keunggulan komparatif tinggi sehingga mampu mendorong pertumbuhan ekonomi dan kesejahteraan masyarakat pada negara dan daerah bersangkutan;
-
Program dan kegiatan tersebut mendukung dan bersinergi dengan kegiatan lain sehingga proses pembangunan secara keseluruhan akan menjadi lebih maju dan berkembang;
-
Program dan kegiatan tersebut sesuai dengan kondisi sosial ekonomi daerah bersangkutan sehingga tidak mendapat reaksi negatif dari masyarakat setempat. Prioritas pembangunan seharusnya ditetapkan sesuai dengan potensi,
permasalahan pokok wilayah terkait dan tingkat perkembangan pembangunan di suatu wilayah untuk mencapai hasil (outcomes) dan pengaruh (impact) yang diharapkan, sehingga penetapan sasaran pembangunan dalam jangka panjang pun dapat direncanakan dengan efektif dan efisien.
Tanpa pemahaman mengenai
potensi dan kondisi sumber daya yang dimiliki, prioritas tidak akan dilakukan dengan tepat. Seorang perencana wilayah harus memiliki kemampuan untuk menganalisa potensi wilayahnya karena terkait dengan kewajibannya dalam menentukan sektor-sektor riil yang perlu dikembangkan. Sektor yang memiliki keunggulan, memiliki prospek yang lebih baik untuk dikembangkan dan diharapkan akan mampu mendorong sektor lainnya untuk berkembang. Untuk wilayah berkembang, alternatif prioritas pembangunan cenderung diletakkan pada pengembangan Sumber Daya Manusia (SDM), karena dengan pemikiran bilamana kualitas SDM dapat ditingkatkan dengan baik, tenaga kerja sebagai input produksi pun akan meningkat dan kinerja sektor pun akan dapat meningkat pula.
Namun demikian, Sjafrizal (2010) menambahkan bahwa
penetapan prioritas pembangunan harus pula diselaraskan dengan dinamika sosial terutama karakteristik penduduk dan besarnya intensitas interaksi dengan wilayah lain yang dapat memacu perkembangan suatu wilayah. Dinamika sosial yang terjadi dalam masyarakat menentukan tingkah laku dan etos kerja sehingga kondisi ini akan sangat mempengaruhi aktifitas pembangunan secara keseluruhan,
12
namun dinamika sosial itu sendiri dipengaruhi pula oleh budaya dan agama yang dianut masyarakat yang mempengaruhi pandangan masyarakat akan proses pembangunan. Sebagai langkah awal dalam penetapan prioritas pembangunan adalah dengan mengkaji terlebih dahulu sistem sosial, budaya, ekonomi, dan lingkungan, lalu dari pengkajian ini akan didapati tingkat perkembangan dan potensi-potensi wilayah, kebutuhan dan keinginan masyarakat dan bagaimana pula interaksinya dengan wilayah lain.
Dari sini kita akan melihat struktur
keterkaitannya dan dijadikan dasar dalam penentuan prioritas pembangunan. Potensi-potensi wilayah yang ada selanjutnya akan dikembangkan dan dioptimalkan sebaik mungkin sehingga pembangunan dilaksanakan sesuai dengan potensi yang ada sehingga pemanfaatan potensi dari luar wilayah akan dapat dihindari, dalam artian kebocoran wilayah tidak terjadi (Rustiadi et al. 2009) Sebelum kita menetapkan prioritas pembangunan di suatu wilayah, maka kita perlu menetapkan strategi pembangunan untuk pencapaian tujuan pembangunan. Strategi yang tepat dan terarah akan menghasilkan pencapaian tujuan yang efektif dan efisien, dan tentunya penetapan strategi ini harus sesuai dengan kondisi, potensi, permasalahan pokok, dan sumber daya yang dapat dimanfaatkan untuk mendukung upaya pencapaian tujuan dan sasaran pembangunan.
Bahkan dalam perumusan prioritas pembangunan perlu
memperhatikan perubahan strategis yang telah dan akan terjadi di masa yang akan datang agar proses pembangunan tersebut dapat disesuaikan dengan perubahan kondisi sosial ekonomi yang mungkin terjadi di masa akan datang. Menurut Rustiadi et al. 2009, skala prioritas pembangunan yang cenderung mengejar sasaran-sasaran
makro
pada
akhirnya
dapat
menimbulkan
berbagai
ketidakseimbangan pembangunan berupa meningkatnya kesenjangan desa-kota, kesenjangan struktural dan sebagainya. Dalam Perencanaan pembangunan daerah adalah suatu proses perencanaan pembangunan yang dimaksudkan untuk melakukan perubahan menuju arah perkembangan yang lebih baik bagi suatu komunitas masyarakat, pemerintah dan lingkungannya dalam wilayah atau daerah tertentu, dengan memanfaatkan atau mendayagunakan berbagai sumber daya yang ada, dan harus memiliki orientasi yang bersifat menyeluruh, lengkap, tetapi berpegang pada azas prioritas (Riyadi
13
dan Bratakusumah 2004). Jadi perencanaan pembangunan daerah adalah suatu proses penyusunan tahapan-tahapan kegiatan yang melibatkan berbagai unsur di dalamnya guna pemanfaatan dan pengalokasian sumber-sumber daya yang ada dalam rangka meningkatkan kesejahteraan sosial dalam suatu lingkungan wilayah/daerah dalam jangka waktu tertentu. Indikator Pembangunan Pengalaman menunjukkan bahwa di berbagai negara bahwa ada salah satu syarat yang diperlukan untuk menunjukkan tingginya tingkat keberhasilan pembangunan yang dilaksanakan oleh Pemerintah yaitu dimulai dari mantapnya pemahaman dari para aparat terkait tentang makna indikator-indikator dan variabel-variabel pembangunan serta pengertian kebijaksanaan yang diterapkan oleh pemerintah pusat dan daerah, dimana kedua kebijaksanaan tersebut harus saling melengkapi atau searah. Pemahaman yang memadai tentang indikator pembangunan daerah ini akan mengakibatkan semakin terarahnya pelaksanaan pembangunan yang dilaksanakan dan semakin tingginya respon masyarakat dalam menyukseskan dan mencapai sasaran yang telah ditargetkan. Rustiadi et al. (2009) menjelaskan bahwa indikator adalah ukuran kuantitatif dan atau kualitatif yang menggambarkan tingkat pencapaian suatu sasaran atau tujauan yang telah ditetapkan. Dengan demikian, indikator kinerja harus dapat diukur serta dijadikan dasar dalam menilai atau melihat tingkat kinerja baik dalam tahap perencanaan, pelaksanaan maupun monitoring dan evaluasi. Sjafrizal (2010) mendefenisikan indikator sebagai angka statistik dan hal normatif yang menjadi perhatian para perencana dalam membantu pembuatan penilaian ringkas, komprehensif dan berimbang terhadap kondisi dan aspek penting dalam masyarakat. Dengan kata lain, indikator adalah variabel-variabel yang mengindikasikan atau memberi petunjuk kepada kita tentang suatu keadaaan tertentu, sehingga dapat digunakan untuk mengukur perubahan yang terjadi (Green 1992, diacu dalam Sjafrizal 2010).
Dengan demikian indikator
pembangunan dapat kita artikan sebagai ukuran tingkat capaian pelaksanaan suatu kebijakan, program atau kegiatan pembangunan di suatu daerah. Selain itu, kita juga harus memahami bahwa indikator kinerja tidak cukup hanya menekankan pada aspek biaya (cost) dan manfaat (benefit) saja, tapi juga mencakup manfaat
14
terhadap pembangunan ekonomi, sosial dan budaya secara keseluruhan. Karena itu disamping aspek efisiensi keuangan, indikator kinerja juga mencakup aspek pemuasan kebutuhan masyarakat secara luas.
Karena itulah maka indikator
kinerja tidak semuanya dapat diukur secara kuantitatif, namun juga kualitatif yang tentunya lebih bersifat subjektif. Sjafrizal (2010) menjelaskan manfaat, fungsi dan peranan indikator kinerja. Adapun manfaatnya adalah sebagai alat penilaian terhadap keberhasilan pelaksanaan pembangunan suatu negara atau daerah baik pada tahap perencanaan (ex-ante), pelaksanaan (on-going) maupun setelah program pembangunan selesai dilaksanakan (ex-post). Selanjutnya fungsi dan peranan dari indikator kinerja adalah : 1. Memperjelas tentang what, how, who and when suatu program dan kegiatan dilakukan; 2. Menciptakan konsensus yang dibangun oleh pihak yang berkepentingan dengan pembangunan (stakeholder); 3. Membangun landasan yang jelas untuk pengukuran dan analisis pencapaian sasaran pembangunan; 4. Alat untuk melakukan evaluasi terhadap kinerja pembangunan yang telah dapat dilaksanakan dalam periode waktu tertentu. Rustiadi et al. (2009) menjelaskan bahwa beberapa pertimbangan dalam indikator pembangunan berkelanjutan berwawasan lingkungan adalah : (1) Sederhana, (2) Skop nya harus meliputi seluruh aktifitas manusia, (3) Elemennya harus dapat diukur, (4) Elemennya harus dapat dipantau untuk menunjukkan kecenderungan, (5) Sensitif terhadap perubahan, dan (6) memiliki batas waktu dalam pelaksanaan program. Indikator kinerja ini baru memiliki arti jika dikaitkan dan dibandingkan dengan target kinerja, dimana target ini ditentukan dengan memperhatikan capaian yang diraih pada masa lalu dan kemampuan sumberdaya wilayah tersebut pada masa yang akan datang. Dalam penetapan indikator pembangunan, menurut Rustiadi et al. (2009), ada 3 (tiga) pendekatan yang dilakukan, yaitu : 1. Berbasis tujuan pembangunan yakni produktifitas-efisiensi-pertumbuhan (growth), pemerataan (equity), dan keberlanjutan (sustainability);
15
2. Kapasitas sumberdaya yakni berdasarkan sumberdaya alam, manusia, buatan dan modal sosial; 3. Proses pembangunan yakni harus mengarahkan pada peningkatan kapasitas dari sumberdaya-sumberdaya pembangunan. Indikator kunci pembangunan sosial ekonomi lainnya versi United Nations Research Institute on Social Development (UNRISD) yang dikeluarkan pada tahun 1970, terdiri atas 7 indikator ekonomi dan 9 indikator sosial, masing-masing: 1. Harapan Hidup 2. Persentase penduduk di daerah sebanyak 20.000 atau lebih 3. konsumsi protein hewani per kapita per hari 4. Kombinasi tingkat pendidikan dasar dan menengah 5. Rasio pendidikan luar sekolah 6. Rata-rata jumlah orang per kamar 7. Sirkulasi surat kabar per 1000 penduduk 8. Persentase penduduk usia kerja dengan listrik, gas, air dan sebagainya 9. Produksi pertanian per pekerja pria di sektor pertanian 10. Persentase tenaga kerja pria dewasa di pertanian 11. Konsumsi listrik, kw per kapita 12. Konsumsi baja, kg per kapita 13. konsumsi energi, ekuivalen kg batu bara per kapita 14. Persentase sektor manufaktur dalam GDP 15. Perdagangan luar negeri per kapita 16. Persentase penerima gaji dan upah terhadap angkatan kerja. Kuncoro (2006) juga membagi indikator pembangunan dalam dua aspek yaitu aspek ekonomi dan sosial. Indikator ekonomi diantaranya GDP per kapita, laju pertumbuhan ekonomi, dan lainnya, sedangkan indikator sosial diantanya Human Development Index (HDI) dan Physical Quality Life Index (PQLI). Di Indonesia yang paling umum digunakan adalah HDI atau Indeks Pembangunan Manusia yang berdasarkan atas 3 tujuan pembangunan, yaitu: 1) Tingkat Harapan Hidup, 2) Pengetahuan yang diukur dengan rata-rata tertimbang dari jumlah orang dewasa yang dapat membaca (diberi bobot dua pertiga) dan rata-rata tahun sekolah (diberi bobot sepertiga), 3) Penghasilan yang diukur dengan pendapatan
16
per kapita riil yang telah disesuaikan, yaitu disesuaikan menurut daya beli mata uang masing-masing negara dan asumsi menurunnya utilitas marginal penghasilan dengan cepat. Sedangkan untuk PQLI komponen utamanya yaitu : 1) Tingkat Harapan Hidup, 2) Angka Kematian, dan 3) Tingkat Melek Huruf. Pengembangan wilayah Wilayah adalah kesatuan wadah yang meliputi ruang darat, ruang laut, dan ruang udara, termasuk ruang di dalam bumi, maupun sebagai sumber daya, perlu ditingkatkan upaya pengelolaannya secara bijaksana, berdaya guna, dan berhasil guna dengan berpedoman pada kaidah penataan ruang sehingga kualitas ruang wilayah nasional dapat terjaga keberlanjutannya demi terwujudnya kesejahteraan umum dan keadilan sosial sesuai dengan landasan konstitusional UUD RI 1945 (UU No. 26/2007 tentang Penataan Ruang). Pengertian wilayah sangat penting diperhatikan apabila kita berbicara tentang program-program pembangunan yang terkait
dengan
pengembangan
wilayah
dan
pengembangan
kawasan.
Pengembangan kawasan terkait dengan pengembangan fungsi tertentu dari suatu unit wilayah, mencakup fungsi sosial, ekonomi, budaya, politik maupun pertahanan dan keamanan.
Menurut Rustiadi et al. (2009), konsep wilayah
dikenal sebagai : (1) Wilayah homogen yaitu lebih menekankan aspek homogenitas (kesamaan) dalam kelompok dan memaksimumkan perbedaan antar kelompok tanpa memperhatikan hubungan fungsional, (2) Wilayah fungsional yaitu menekankan pada adanya hubungan fungsional antar wilayah (nodeshinterland), dan (3) Wilayah perencanaan yaitu wilayah yang tidak selalu berwujud wilayah administratif, tapi wilayah yang dibatasi atas sifat-sifat tertentu sehingga perlu direncanakan dalam kesatuan wilayah perencanaan. Di Indonesia, konsep pengembangan wilayah mengalami perkembangan. Pada awal abad 20, lebih ke arah memadukan aspek ekonomi, pertumbuhan dan lingkungan. Memasuki abad 21, konsep pengembangan wilayah harus mengikuti kaidah penataan ruang sesuai dengan bunyi Undang-Undang No. 17 tahun 2006 tentang Pembangunan Jangka Panjang Indonesia. UU No 26/2007 pun disusun atas dasar keinginan mengoptimalkan pemanfaatan sumber daya alam dan buatan untuk kesejahteraan rakyat, sehingga harus dikelola dengan prinsip keberlanjutan dan menjaga keserasian.
17
Pengembangan wilayah pada dasarnya bertujuan agar suatu wilayah berkembang menuju tingkat perkembangan yang diinginkan. Pengembangan ini dilaksanakan melalui optimasi pemanfaatan sumberdaya yang dimiliki secara harmonis, serasi, dan terpadu melaui pendekatan terpadu, komprehensif. Keterpaduan ini mencakup bidang ilmu, sektoral, spasial, dan hirarki pemerintah. Komprehensif terhadap aspek fisik, ekonomi, sosial, budaya, dan lingkungan hidup (Djakapermana 2010). Aspek-aspek ini saling berinteraksi satu sama lain dan saling mempengaruhi, artinya peningkatan ataupun penurunan salah satu aspek akan mempengaruhi aspek lainnya. Rustiadi et al. (2009) menambahkan pula bahwa pembangunan berbasis pengembangan wilayah memandang penting keterpaduan antar sektoral, antar spasial, dan antar pelaku pembangunan di dalam maupun antar daerah.
Keterpaduan sektoral menuntut adanya keterkaitan
fungsional dan sinergis antar sektor pembangunan. Pendekatan sektoral dapat memacu pertumbuhan beberapa sektor yang potensial melalui berbagai kemudahan yang disediakan pemerintah terhadap rangsangan untuk percepatan perkembangannya.
Sedangkan pendekatan spasial lebih ke arah penggunaan
ruang saat ini, analisis aktifitas yang mengubah penggunaan ruang dan perkiraan atas bentuk pada masa yang akan datang. Kedua pendekatan ini harus saling sinergis dan terpadu dalam pendekatan pengembangan wilayah sehingga tercipta keberimbangan pembangunan wilayah. Adisasmita (2008) mengemukakan bahwa dalam suatu perencanaan pengembangan wilayah, kita mengenal istilah perencanaan kegiatan yang diatur dalam perencanaan pembangunan wilayah dan perencanaan penggunaan ruang (termasuk perencanaan pergerakan, diatur dalam bentuk perencanaan tata ruang). Dalam perencanaan pembangunan wilayah, maka kita mengenal Konsep Wilayah Pengembangan, yang selanjutnya di dalamnya dibentuk satu atau lebih Pusat Pengembangan
(Growth
Poles)
yang
berfungsi
sebagai
“penggerak”
pembangunan wilayah bersangkutan. Dengan penetapan wilayah pengembangan ini, maka akan dapat ditetapkan strategi, kebijakan dan perencanaan yang lebih terarah sesuai dengan kondisi sosial ekonomi daerah setempat.
Diharapkan,
interaksi antar aspek pun akan dapat saling mendukung satu sama lain, sehingga wilayah tersebut dapat terus berkembang.
18
Strategi pengembangan suatu wilayah ditentukan oleh karakteristik dan potensi yang dimiliki oleh daerah yang bersangkutan. Oleh sebab itu, sebelum kita melakukan perumusan kebijakan pembangunan, maka kita perlu memahami tipe wilayahnya terlebih dahulu. Menurut Adisasmita (2010) secara umum ada 4 (empat) kelompok tipe wilayah dalam suatu negara yaitu : 1. Wilayah berpendapatan per kapita rendah dan kurang berkembang atau low per capita and stagnant regions (LS) 2. Wilayah berpendapatan per kapita tinggi tetapi kurang berkembang atau high per capita and stagnant regions (HS) 3. Wilayah berpendapatan per kapita rendah tetapi berkembang atau low per capita and growing regions (LG) 4. Wilayah berpendapatan per kapita tinggi dan berkembang atau high per capita and growing regions (HG) Perlu dipahami bahwa pengelompokan ini bersifat dinamis karena sangat bergantung pada tingkat perkembangan pembangunan di wilayah tersebut dan sangat berperan dalam pertimbangan perumusan kebijakan dan program pembangunan daerah. Disparitas Wilayah Pendekatan pembangunan yang menekankan pada pertumbuhan ekonomi saja cenderung akan menimbulkan kesenjangan (disparitas) pembangunan antar wilayah. Investasi dan sumberdaya terserap dan terkonsentrasi di perkotaan dan di pusat-pusat pertumbuhan, sementara di wilayah hinterland-nya mengalami pengurasan sumberdaya yang berlebihan yang menimbulkan backwash effect. Kesenjangan ini akhirnya akan menimbulkan efek makro dalam perekonomian sehingga merugikan proses pembangunan itu sendiri.
Ketidakseimbangan
pembangunan antar wilayah terjadi dalam bentuk buruknya distribusi dan alokasi pemanfaatan sumberdaya yang menciptakan inefisiensi dan tidak optimalnya sistem ekonomi. Selanjutnya kemiskinan di wilayah belakang ini akan tidak dapat dihindari lagi.
Terjadinya ketimpangan antar wilayah ini berimplikasi pada
formulasi kebijakan pembangunan wilayah yang dilakukan Pemerintah Daerah. Menurut Sjafrizal (2008), ketimpangan sering terjadi di negara yang sedang berkembang, ini disebabkan karena pada waktu proses pembangunan baru dimulai
19
di negara berkembang, kesempatan dan peluang pembangunan yang ada umumnya dimanfaatkan oleh daerah-daerah yang yang kondisi pembangunannya lebih baik, sementara daerah yang terbelakang masih memiliki keterbatasan baik dalam bidang ekonomi, sosial dan budaya sehingga terjadi ketimpangan antar wilayah karena pertumbuhan ekonomi di daerah yang kondisinya lebih baik akan cenderung lebih cepat dibandingkan dengan daerah yang terbelakang tadi. Ketimpangan ini akan menimbulkan permasalahan dalam bidang ekonomi, sosial, politik, budaya, dan lingkungan. Menurut Rustiadi et al. (2009), terdapat beberapa faktor utama yang menyebabkan terjadinya disparitas antar wilayah, dimana faktor-faktor ini terkait dengan variabel-variabel fisik dan sosial ekonomi wilayah, antara lain : 1. Faktor Geografis Suatu wilayah yang luas akan menimbulkan variasi dalam keadaan fisik seperti iklim, kemiringan, curah hujan dan lain-lain. 2. Faktor Historis Sejarah menjadi faktor penting dalam sistem yang terkait dengan insentif terhadap kapasitas kerja. 3. Faktor Politis Terkait dengan stabilitas dan kenyaman orang untuk melakukan investasi atau berusaha di suatu wilayah 4. Faktor Kebijakan Kebijakan yang desentralisasi akan cenderung mengurangi kesenjangan karena tingginya kewenangannya sendiri dalam mengelola dan mengatur kapasitas fiskal dan non fiskal wilayahnya.
Kewenangan sentralistik
menyebabkan kesenjangan yang besar antar daerah 5. Faktor Administratif Terjadi karena perbedaan dalam pengelolaan administrasi. Wilayah yang mampu mengelola administrasinya dengan baik akan cenderung lebih maju 6. Faktor Sosial Masyarakat yang memiliki modal sosial yang baik akan cenderung untuk lebih berkembang dan maju karena didalamnya ada unsur kepercayaan, norma dan keterkaitan yang tinggi.
20
7. Faktor Ekonomi Faktor yang menyebabkan kesenjangan ekonomi adalah : - Perbedaan kualitas dan kuantitas faktor produksi - Terkait akumulasi dari berbagai faktor diantaranya lingkaran kemiskinan, konsumsi rendah, pendapatan rendah, investasi rendah, standar hidup rendah, dan pengangguran yang tinggi pada wilayah yang tidak berkembang. Sedangkan wilayah yang berkembang adalah kebalikannya. - Kekuatan pasar bebas. Kebijakan
dan
upaya
dalam
menangulangi
masalah
ketimpangan
pembangunan wilayah sangat ditentukan oleh faktor yang menentukan ketimpangan tersebut. Sjafrizal (2008) mengemukakan bahwa diperlukan kebijakan, baik dari pemerintah pusat maupun daerah dalam penanggulangan ketimpangan antar daerah dalam suatu negara atau wilayah, diantaranya : 1. Penyebaran pembangunan prasarana perhubungan sehingga mendorong kelancaran mobilitas barang dan faktor produksi antar daerah; 2. Mendorong transmigrasi dan migrasi spontan sehingga kekurangan tenaga kerja yang dialami oleh daerah terbelakang dapat diatasi; 3. Pengembangan pusat pertumbuhan (growth poles) sehingga menganut konsep konsentrasi dan desentralisasi sekaligus; 4. Pelaksanaan otonomi daerah sehingga aktifitas pembangunan dapat dilakukan sesuai dengan potensi dan permasalahan yang ada di wilayah tersebut Sedangkan menurut Rustiadi et al. (2009), untuk membangun keterkaitan antar wilayah dan mengurangi terjadinya disparitas antar wilayah, maka secara umum dapat dilakukan secara simultan antara lain : (1) Mendorong pemerataan investasi pada semua sektor dan semua wilayah secara simultan sehingga infrastruktur wilayah berkembang; (2) Mendorong pemerataan permintaan (demand) dengan pengembangan setiap industri dan wilayah secara simultan sehingga dapat menciptakan demand untuk tiap-tiap produk; (3) Mendorong pemerataan tabungan agar dapat memacu investasi.
21
Suburbanisasi Kota didefenisiskan sebagai permukiman yang berpenduduk relatif besar, luas areal terbatas, pada umumnya bersifat nonagraris, kepadatan penduduk relatif tinggi, tempat sekelompok orang dalam jumlah tertentu dan bertempat tinggal dalam suatu wilayah geografis tertentu, dan cenderung berpola rasional, ekonomis dan individualis (Ditjen Cipta Karya 1997, diacu dalam Pontoh dan Kustiawan 2009). Pembangunan perkotaan diarahkan untuk mewujudkan pengelolaan kota yang berkualitas, menciptakan kawasan perkotaan yang layak huni, berkeadilan, berbudaya dan sebagai wadah bagi peningkatan produktifitas dan kreatifitas masyarakat, serta mewujudkan pusat pelayanan sosial ekonomi dan pemerintahan. Pembahasan mengenai kota dan perkembangannya tidak akan terlepas dari pembahasan proses migrasi sebagai suatu fenomena global. Oleh sebab itu, kita perlu memahami apa yang menjadi pendorongnya dan bagaimana proses itu berlangsung dalam suatu negara. Migrasi pada dasarnya suatu upaya manusia untuk meningkatkan kesejahteraan hidupnya dengan berpindah ke wilayah lain. Menurut Rustiadi et al. (2009) terdapat 3 (tiga) jenis proses perpindahan penduduk (migrasi), yaitu : 1. Urbanisasi adalah proses berkembangnya penduduk di daerah urban, bukan berarti perpindahan penduduk dari desa ke kota; 2. Suburbanisasi adalah proses perpindahan penduduk dari kota menuju penggiran kota; 3. Kontra urbanisasi adalah proses perpindahan masyarakat kota menuju pedesaan. Dalam skala wilayah metropolitan, kecenderungan migrasi yang terjadi adalah migrasi lapisan masyarakat atas (middle and upper classes) ke wilayah pinggiran (suburbanisasi) untuk menghindari dampak negatif sosial dan lingkungan sebagai akibat aglomerasi aktifitas ekonomi. Kota-kota metropolitan terus bertumbuh, dan proses suburbanisasi terus berlangsung dengan pola distribusi yang semakin menyebar (dispersed) secara spasial. Proses suburbanisasi adalah salah satu proses pengembangan wilayah yang semakin menonjol dan akan semakin berpengaruh nyata di dalam proses penataan ruang di sekitar wilayah perkotaan ( Rustiadi et al. 2009). Di satu sisi, proses ini
22
dipandang sebagai perluasan daerah urban ke wilayah pinggir kota yang berdampak meluasnya skala manajemen wilayah urban secara riil. Di lain pihak, proses ini dinilai kontradiktif mengingat prosesnya yang selalu diiringi dengan proses konversi lahan pertanian yang sangat produktif, akulturasi budaya, dan spekulasi lahan. Proses suburbanisasi dinilai pula sebagai proses terbentuknya pemukiman-pemukiman baru dan juga kawasan industri di pinggir wilayah perkotaan sebagai akibat dampak urbanisasi. Di negara-negara dunia ketiga, proses urbanisasi dan suburbanisasi dipandang sebagai suatu pengulangan proses yang sudah berlangsung di negara maju. Kota-kota utama di negara berkembang banyak mengalami kedua proses ini dan bahkan berlebihan (over urbanization) yang disebabkan karena tidak siapnya kota dalam menyediakan fasilitas pelayanan pokok dan kesempatan kerja yang memadai (Rustiadi et al. 2009). Pontoh dan Kustiawan (2009) menjelaskan faktor yang mempengaruhi suburbanisasi adalah daya sentripetal dan daya sentrifugal. Daya sentripetal ( ke dalam urbanisasi) adalah tekanan dari desa dan tarikan dari kota.
Daya
sentrifugal (ke luar suburbanisasi) adalah (1) tekanan berupa masalah lingkungan, kepadatan tinggi, pencemaran, dan (2) daya tarik kawasan pinggiran dalam hal ini luas lahan.
Tumbuhnya kawasan pinggiran karena proses
suburbanisasi dan redistribusi kegiatan ekonomi dalam kota dapat mendorong tumbuhnya pusat-pusat kegiatan baru di kawasan pinggiran yang ditandai dengan 2 (dua) ciri utama yaitu : (1) terbentuknya pola tata ruang wilayah suburban sprawl, dan (2) ketergantungan kawasan pinggiran yang baru tumbuh terhadap kawasan pusat. Urban sprawl Perkembangan kota secara fisik terus berlangsung secara dinamis seiring dengan
semakin
bertambahnya
penduduk
dan
kebutuhan
masyarakat.
Keterbatasan ruang kota dalam menampung semua kebutuhan baik itu ekonomi, sosial, budaya dan lingkungan menimbulkan terjadinya alih fungsi lahan pada kawasan pinggiran. Proses perluasan/perembetan kawasan terbangun kota ke arah luar sebagai dampak meningkatnya jumlah penduduk dan kegiatan perkotaan didefenisikan sebagai urban sprawl (Pontoh dan Kustiawan 2009), dimana akan
23
membentuk pola ruang menyebar berserakan karena penggunaan lahan yang tak terencana. Urban sprawl berpengaruh terhadap struktur tata ruang dapat dilihat dari 3 (tiga) struktur yaitu struktur fisik, kependudukan dan ekonomi. Pengaruh urban sprawl dari struktur fisik adalah terjadinya pola penyebaran permukiman yang semakin meluas/melebar ke samping kiri kanan jalur transportasi, dengan kata lain terjadi pemusatan fasilitas umum perkotaan di nodes; bagian wilayah tertentu. Dari struktur kependudukan adalah terjadinya pola penyebaran penduduk diperlihatkan dengan penyebaran lahan terbangun (permukiman) yang semakin melebar ke samping kiri kanan jalan arteri. Sedangkan dari struktur ekonomi, pengaruh sprawl adalah terjadinya perubahan pola kegiatan ekonomi penduduk ke arah non pertanian. Hal ini terlihat dengan semakin berkurangnya penduduk yang bekerja di sektor pertanian dan meningkatnya penduduk yang bekerja di sektor non pertanian (pedagang, buruh industri dan jasa). Ruchyat (2010) menjelaskan urban sprawl merupakan suatu proses perubahan fungsi dari wilayah pedesaan menjadi wilayah perkotaan, sedangkan Yudhistira dan Harmadi (2008) memandang urban sprawl sebagai proses pertumbuhan kota yang ditandai dengan pertumbuhan inti kota yang meluber ke daerah sekitarnya sehingga memunculkan daerah kekotaan baru di daerah tersebut, yang membentuk kota dengan banyak pusat (Kota Polisentris).
Selain itu,
Nechyba dan Walsh (2004) mengemukakan akan pengaruh sprawl yang dapat menimbulkan eksternalitas negatif di lingkungan perkotaan (misalnya kebisingan dan polusi udara), dimana terdapat hubungan antara polusi udara dan urban sprawl yaitu dapat meningkatkan emisi per mil perjalanan karena besarnya kemacetan lalu lintas dan peningkatan mil perjalanan kendaraan karena keberadaan pembangunan transportasi yang rendah. Menurut Staley (1999), diacu dalam Pontoh dan Kustiawan (2009), ada 4 (empat) faktor sebagai karakteristik urban sprawl yaitu : 1. Pengembangan perumahan berkepadatan rendah; 2. Pengembangan kawasan komersial di sepanjang jalur transportasi; 3. Pembangunan yang tersebar (scattered development) dengan kawasan komersil, pemukiman dan perdagangan retail yang tidak terintegrasi satu sama lainnya;
24
4. Leap frog developments yaitu terdapatnya lahan yang tidak terbangun dengan rentang jarak yang jauh diantara kawasan-kawasan terbangun. Suburbanisasi dan sprawl berhubungan satu sama lain. Jika suburbanisasi itu terjadi berulang-ulang dan acak, tidak berpola dalam suatu wilayah, maka akan membentuk urban sprawl, dan ini hanya dapat dihindari melalui perencanaan yang komprehensif. Fenomena urban sprawl ditinjau dari prosesnya, secara garis besar terdapat 3 (tiga) macam proses (Pontoh dan Kustiawan 2009) yaitu : 1. Perembetan konsentris (concentric development) merupakan perembetan areal kekotaan yang paling lambat; 2. Perembetan memanjang (ribbon development) merupakan perembetan areal kekotaan ke semua bagian sisi luar kota utama; 3. Perembetan meloncat (leap frog development) merupakan perembetan berpencar secara sporadis dan tumbuh di tengah-tengah lahan pertanian. Selain faktor penyebab di atas, Pontoh dan Kustiawan (2009) menambahkan faktor penyebab proses urban sprawl lainnya yaitu : 1. Kebijakan perencanaan dari pemerintah, terutama kebijakan pembangunan transportasi dan perumahan -
Pembangunan jalan besar antarkota sehingga mendorong munculnya lokasi pemukiman baru.
-
Pemberian subsidi bagi perumahan yang tidak memandang lokasi sehingga banyak real estate dibangun secara lompat katak.
2. Spekulasi tanah karena pengaruh pembangunan lompat katak tadi dimana mereka menunggu harga tanah naik terlebih dahulu baru mulai melakukan pembangunan 3. Peraturan guna lahan yang ketat di kota sehingga mengundang para investor mencari tanah di luar kota 4. Perhitungan beban biaya layanan fasilitas perkotaan yang mahal. Olanrewaju
(2008)
menambahkan
bahwa
pertumbuhan
penduduk,
peningkatan pendapatan rumah tangga, subsidi investasi infrastruktur seperti jalan, pemanfaatan lahan yang tidak efektif, pertumbuhan berlebihan, masalah
25
sosial di kota-kota pusat dan kebijakan pertanahan dianggap penyebab utama urban sprawl. Sprawl juga mengarah pada pola penggunaan lahan yang tidak menguntungkan bagi pengembangan model transportasi berkelanjutan dan karenanya, meningkatkan penggunaan mobil pribadi yang pada gilirannya mengakibatkan kemacetan, peningkatan konsumsi bahan bakar dan polusi udara. Dengan demikian, maka sebaiknya urban sprawl ini dihindari karena merupakan pola perkembangan perkotaan yang tidak efisien dari segi pelayanan dan terlebih merusak tata kota dan lingkungan perkotaan. Dalam penanganan ini, diperlukan kerjasama antar daerah (Kabupaten/Kota) sehingga akan tercipta lingkungan perkotaan yang berkelanjutan.