TINJAUAN PUSTAKA Konsep Kapasitas Secara harfiah istilah kapasitas berasal dari istilah bahasa Inggris capacity yang memiliki makna: kemampuan, daya tampung yang ada. Penggunaan kata kapasitas sering diidentikan dengan istilah posisi kemampuan ataupun kekuatan seseorang yang ditampilan dalam bentuk tindakan. Konsep kapasitas dalam pembangunan telah lama dikembangkan terutama oleh Organization for Economic Co-operation and Development (OECD) dalam rangka membantu negara-negara berkembang dalam melaksanakan pembangunan. Menurut OECD (1996), pengembangan kapasitas merupakan gambaran kemampuan dari individu ataupun masyarakat untuk menghadapi permasalahan mereka sebagai bagian dari usaha mereka untuk mencapai tujuan pembangunan secara berkesinambungan. Alikodra (2004) berpendapat bahwa kapasitas individu maupun
masyarakat
menyangkut
kemampuan
dan
ketrampilan
dalam
memecahkan permasalahan yang dimiliki individu ataupun masyarakat tersebut berdasarkan tujuan pembangunan yang telah ditetapkan. Makna kapasitas yang dikembangkan oleh The Ontario Prevention Clearinghouse (2002) memberikan definisi pengertian lebih luas yaitu: “the actual knowledge, skill sets, participation, leadership and resource required by individual, organization or a community to effectively address local issues and concerns.” Demikian juga pengertian kapasitas yang dikembangkan oleh CIDA (2001): “capacity as the abilities, skills, under-standings, attitudes, values, relationships, behaviors, motivations, resources and conditions that enable individuals, organzations, network/sectors and broader social system to carry out functions and achieve thier development objectives over times. “ Secara implisit pengertian tersebut memberikan makna bahwa kapasitas merupakan kemampuan yang dimiliki oleh individu, organisasi maupun masyarakat untuk memecahkan permasalahan yang dimiliki secara efektif. Lebih jauh Goodman (Brown et al., 2001), mengatakan bahwa kapasitas diperlukan untuk membangun tingkat kesiapan yang dimiliki oleh individu, organisasi maupun masyarakat sehingga dapat ditandai dengan suatu kemajuan maupun
kemunduran. Konsep kapasitas menurut Goodman (Brown et al., 2001) memiliki makna kemampuan dalam melaksanakan tujuan yang telah ditetapkan (the ability to carry out stated objectives). Sejalan dengan pendapat Goodman tersebut, Havelock (Sumardjo, 1999) memberikan pengertian konsep kapasitas adalah suatu kemampuan untuk mengerahkan dan mengivestasikan berbagai sumber daya yang dimiliki. Dengan demikian pengertian konsep kapasitas adalah segala daya-daya yang dimiliki oleh individu, organisasi maupun masyarakat untuk dapat menetapkan tujuan yang dikehendaki secara tepat dan mencapai tujuan yang telah ditetapkan dengan cara yang tepat pula. Tingkat kapasitas yang dimiliki tersebut menyangkut perilaku tentang pengetahuan, sikap dan kemampuan dalam mengidentifikasi potensi, memanfaatkan peluang, mengatasi permasalahan dan menjaga agar tetap berkeberlanjutan. Konsep kapasitas dengan kompetensi dalam ranah (kawasan) pengetahuan, sikap dan ketrampilan pada diri seseorang sulit dipisahkan secara jelas karena keduanya merupakan unsur penting dalam pembentukan kemampuan pribadi seseorang dalam berperilaku untuk memenuhi harapan dan kebutuhannya. Walau demikian, menurut Badudu (2003) bila ditelusuri dari makna kata-kata serapan asing dalam kamus bahasa Indonesia, keduanya memliki perbedaan yang subtansial. Kapasitas yang berasal dari kata “capacity” memiliki makna adalah suatu kemampuan untuk berfungsi atau berproduksi yang berasal dari kekuatan yang dimilikinya. Kompetensi yang berasal dari kata “competency” memiliki makna sebagai suatu kemampuan yang berkaitan dengan wewenang atau hak-hak untuk menentukan/memutuskan yang menyangkut tugas dan tanggung jawabnya. Baik kapasitas maupun kompetensi yang sama-sama bergerak di ranah pengetahuan, sikap dan ketrampilan disajikan pada Gambar 1. Dari Gambar 1 tersebut dapat ditunjukkan bahwa kapasitas dan kompetensi memang tidak dapat dipisahkan karena keduanya dibentuk dari unsur pengetahuan, sikap dan ketrampilan yang saling berinteraksi. Seorang yang memiliki kompetensi juga tetap memiliki kapasitas tetapi tingkat kapasitas yang
dimiliki belum tentu tinggi/besar, sebaliknya bila seorang memiliki kapasitas tinggi sudah barang tentu memiliki kompetensi yang tinggi pula.
Kompetensi
PENGETAHUAN
Percaya diri
KAPASITAS RENDAH
SIKAP MODEL PENYULUHAN YANG
KETRAMPILAN
Komitmen
PENGETAHUAN
Percaya diri
Kompetensi
KAPASITA S TINGGI
KETRAMPILAN SIKAP Komitmen Gambar 1. Interaksi Hubungan Kapasitas dengan Pengetahuan, Sikap dan Ketrampilan
Jadi
pada
dasarnya
kapasitas
merupakan
daya-daya
kekuatan
yang
menghasilkan kemampuan, sedangkan kompetensi adalah suatu kemampuan yang bermuara pada keahlian. Persamaan antara kapasitas dan kompetensi terletak dari unsur pembentuk yang sama, tetapi interaksi dari dari unsur pembentuk kompetensi dengan kapasitas perbedaannya akan semakin mengecil sejalan dengan perkembangan meningkatnya kapasitas yang terbentuk. Dalam konteks keberhasilan usaha di bidang pertanian, kapasitas merupakan unsur utama dalam menuju keberhasilan berusaha karena menyangkut kemampuan diri dari petani yang terdiri dari kemampuan dalam mengidentifikasi potensi,
memanfaatkan
peluang,
mengatasi
permasalahan
dan
menjaga
keberlanjutan sumberdaya yang digunakan dalam berusaha tersebut.
Kapasitas Petani sebagai Faktor Bertahannya Usaha Pertanian. Kapasitas pada diri manusia akan menentukan tindakan yang
diambil.
Tindakan (actions) memiliki pengertian sesuatu yang dilakukan atau perbuatan. Semua mahluk didunia akan melakukan tindakan sesuai dengan kepentingan dan kebutuhan yang diharapkan dan diinginkan. Menurut Weber, suatu tindakan adalah perilaku manusia yang mempunyai makna subyektif bagi pelakunya. Bagi petani yang melakukan usahatani
baik
secara sadar maupun tidak akan
melakukan suatu tindakan sesuai dengan kepentingan dan kebutuhan usahatani yang dijalankan oleh petani itu. Berhasil atau tidak dari suatu tindakan yang dilakukan petani tergantung dari kapasitas yang dimiliki diri petani itu sendiri. Bila
manusia (orang) tersebut memiliki kapasitas di bidang pertanian, maka
tindakan orang tersebut akan selalu bermotifkan/kecenderungan pada pertanian. Motif tindakan seseorang juga terkait dengan faktor sosial yang melingkupi, tetapi tidak semua tindakan seseorang dapat dianggap sebagai tindakan sosial. Menurut Weber, suatu tindakan hanya memiliki makna sebagai tindakan sosial bila tindakan tersebut dilakukan dengan mempertimbangkan perilaku orang lain dan berorientasi kepada orang lain. Dalam konteks bertahannya usaha pertanian, tindakan yang dilakukan petani adalah sebagai tindakan untuk melakukan fungsi untuk pemenuhan kebutuhan.
Rocher (1975) mendefinisikan fungsi sebagai kumpulan kegiatan yang ditujukan kearah pemenuhan kebutuhan tertentu atau kebutuhan sistem. Usahatani sebagai suatu sistem tindakan untuk memenuhi kebutuhan petani dengan sebagai aktor. Kegiatan usahatani merupakan suatu tindakan petani untuk memenuhi kebutuhan pribadi petani beserta keluarganya. Suatu tindakan termasuk yang dilakukan petani menurut Weber adalah subyektif dan rasional. Dikatakan tindakan subyektif karena terkait untuk memenuhi kebutuhan pribadi dan rasional karena segala tindakan petani sesuai dengan yang dimiliki dan dikuasai petani tersebut baik menyangkut pengetahuan maupun ketrampilan. Petani sebagai manusia menurut Lippitt, Watson dan Westley (1958) memiliki potensi untuk diubah dan dikembangkan. Pengembangan sumberdaya manusia (SDM) menurut Gilley (1993) adalah meningkatkan pengetahuan dan ketrampilan sehingga mampu memperbaiki perilaku yang dimiliki secara teroganisasi
untuk
kebutuhan
dirinya
maupun
kebutuhan
profesional.
Pengembangan potensi petani sebagai SDM yang bergerak di bidang pertanian terutama berpijak kepada karakteristik pribadi petani dan faktor lingkungan yang mempengaruhi kegiatan usahatani. Kapasitas petani sebagai aktor dalam melakukan tindakan berusahatani merupakan suatu tindakan yang merujuk kepada fungsi untuk memenuhi kebutuhan. Menurut Turner (1978) dan Ritzer dan Goodman (2004) yang merujuk kepada konsep fungsi yang diajukan Parson (1960) menyebutkan, terdapat empat jenis fungsi yang penting agar suatu sistem tetap bertahan. Keempat fungsi penting yang diperlukan sistem tersebut adalah: (1) Adaptation yaitu sebuah sistem harus dapat menanggulangi situasi di luar ketika mengancam keberadaan sistem. Fungsi adaptasi ini berarti harus mampu menggali segala potensi yang ada baik yang terletak pada lingkungan eksternal maupun internal. Penyesuaian dengan situasi yang melingkupi sehingga lingkungan tersebut dapat mencukupi kebutuhan sistem. Sistem usahatani agar dapat menanggulangi kebutuhan usaha, kapasitas petani harus mampu mengidentifikasi potensi baik yang ada di luar dirinya maupun yang berada di luar misalnya kondisi pasar maupun preferensi konsumen.
(2) Goal attainment adalah sistem yang memiliki fungsi untuk mendefinisikan dan mencapai tujuan yang telah ditetapkan. Sistem usahatani agar dapat mencapai tujuan, tentu harus terus berupaya untuk memanfaatkan peluang yang ada. Peluang yang diraih harus didiskripsikan dan didefinisikan secara jelas dalam bentuk tujuan sehingga peluang tersebut dapat diraih. (3) Integration adalah sebuah sistem yang harus mengatur komponen, sehingga dapat mengelola hubungan antara fungsi adaptasi, pencapaian tujuan dan pemeliharaan pola (A, G dan L). Fungsi pemeliharaan pola ini merupakan suatu pengelolaan yang dapat mengatasi masalah yang mungkin timbul dalam pencapaian tujuan. Kapasitas petani dalam melaksanakan usahatani harus dapat mengatasi masalah muncul sehingga koordinasi dan pengaturan komponen-komponen sistem usahatani harus dapat dikelola secara baik. (4) Latency yaitu sebuah sistem harus melengkapi, memelihara dan memperbaiki baik secara individu maupun pola-pola kultural. Hal ini memiliki makna bahwa fungsi latensi atau pemeliharaan pola adalah menjaga dan mendorong keberlanjutan
sistem.
Fungsi
latensi
dalam usahatani
adalah
menjaga
keberlanjutan sistem usahatani. Keempat fungsi tersebut saling terkait satu dengan yang lain. Dalam sistem usaha tani yang dijalankan oleh petani, fungsi-fungsi tersebut harus mampu berjalan secara optimal agar keberhasilan usahatani dapat terwujud.
Tantangan Usahatani Era ke Depan Keberhasilan usahatani pada saat ini maupun pada era ke depan masih tetap akan menjadi tumpuan utama pembangunan di Indonesia. Beberapa tantangan yang mesti dihadapi pembangunan pertanian antara lain mempertahankan dan meningkatkan keberhasilan usahatani. Hal ini karena sebagian besar penduduk sangat bergantung tingkat kesejahteraannya dari hasil usaha pertanian. Kelemahan internal usahatani yang perlu dihadapi antara lain adalah sumberdaya manusia rendah, penguasaan ilmu dan pengetahuan relatif kurang, penguasaan lahan semakin sempit, kesuburan lahan pertanian yang semakin menurun, modal untuk usaha pertanian sangat kurang dan kalau tersedia sangat mahal dan sistem
pemasaran tidak menjamin insentif yang layak bagi petani (Puslitbang Sosek, 2004). Lebih lanjut Sumardjo (1999) mengemukakan bahwa tantangan lain adalah bersumber dari keragaman kualitas petani dan sumberdaya alam yang etrsedia serta meningkatnya selera konsumen (pasar) terhadap kualitas produksi pertanian yang menyangkut aspek kesehatan dan harga yang bersaing. Tantangan lain yang datang dari sisi eksternal adalah ancaman dari luar negeri akibat globalisasi sehingga berbagai bentuk seperti perdagangan bebas dunia dan perdagangan gelap antara lain penyeludupan maupun bentuk barang yang dipalsukan. Untuk menghadapi tantang tersebut perlu berbagai upaya antara lain dengan meningkatkan daya-daya yang melekat pada pribadi petani sebagai pelaku utama pengelola sumber daya pertanian agar kapasitas yang dimiliki petani meningkat sehingga dapat bertahan dan berhasil dalam menjalan usahatani. Pemikiran yang perlu untuk meningkatkan daya-daya pada pribadi petani selain terkait dengan kegiatan produksi juga mesti dikaitkan dengan ketersedian inovasi, informasi dan pasar. Oleh karena itu perlu dikembangkan daya-daya pada pribadi petani agar menguasai dalam mengidentifikasi potensi, pemanfataan peluang yang diperoleh, dapat mengatasi permasalahan kegiatan usahatani dan dapat menjaga sumberdaya usahatani yang berkelanjutan. Selain itu menurut Sumardjo (1999) perlu dikembangkan kemandirian petani dalam melakukan usahataninya melalui proses belajar mandiri.
Petani dan Karakteristiknya Secara umum petani dapat diberi pengertian adalah seseorang yang bekerja untuk memenuhi kebutuhan hidupnya dari kegiatan usaha pertanian baik yang berupa usaha pertian di bidang tanaman pangan, hortikultura, perkebunan, peternakan dan perikanan. Batasan petani menurut Departemen Pertanian Republik Indonesia (2002) adalah pelaku utama agribisnis, baik agribisnis monokultur maupun polikultur dari komoditas tanaman pangan, hortikultura, peternakan, perikanan dan atau komoditas perkebunan. Mosher (1987) memberi
batasan bahwa petani adalah manusia yang bekerja memelihara tanaman dan atau hewan untuk diambil manfaatnya guna menghasilkan pendapatan. Lebih lanjut Wolf (1985) memberikan batasa petani adalah orang desa yang bercocok-tanam artinya mereka bercocoktanam dan beternak di daerah perdesaan, tidak di dalam ruangan-ruangan tertutup (greenhouse) di tengah-tengah kota atau dalam kotakkotak yang diletakkan di atas ambang jendela. Dari aspek tempat tinggal, secara umum petani tinggal di daerah perdesaan, dan juga di daerah-daerah pinggiran kota. Pekerjaan pokok yang dilakukan untuk mempertahankan kelangsungan hidup mereka adalah di bidang pertanian. Oleh karena itu umumnya pekerjaan petani terkait dengan penguasaan atau pemanfaatan lahan (tanah). Dengan demikian yang dimaksud petani pada penelitian ini adalah sosok manusia sebagai pelaku utama yang mengandalkan sumber daya pertanian sebagai sumber nafkah/berusaha di bidang pertanian baik berupa tanaman, ternak maupun pengelola hasil pertanian yang telah diusahakan. Kebutuhan untuk hidup mereka sebagian besar dicukupi dari hasil usaha pertanian. Petani sebagai sosok individu memiliki karakteristik tersendiri secara individu yang dapat dilihat dari perilaku yang nampak dalam menjalankan kegiatan usahatani. Karakteristik individu adalah bagian dari pribadi dan melekat pada diri seseorang. Karakteristik tersebut mendasari tingkah laku seseorang dalam situasi kerja
maupun situasi yang lainnya (Rogers dan Shoemaker, 1987).
Mardikanto (1993) mengemukakan bahwa karakteristik individu adalah sifat-sifat yang melekat pada diri seseorang dan berhubungan dengan aspek kehidupan, seperti; umur, jenis kelamin, posisi, jabatan, status sosial, dan agama. Dalam kaitannya dengan proses difusi inovasi, Slamet (1995) mengemukakan bahwa umur, pendidikan, status sosial ekonomi, pola hubungan dan sikap merupakan faktor individu yamg mempengaruhi proses difusi inovasi. Lebih lanjut Lionberger (1960) mengemukakan bahwa karakteristik individu atau personal faktor yang berhubungan dengan semua aspek kehidupan dan lingkungan adalah: umur, pendidikan dan karakteristik psikologis. Karakteristik psikologis ialah rasionalitas, fleksibilitas mental, orientasi pada usahatani sebagai bisnis dan kemudahan menerima inovasi. Hasil penelitian Agussabti (2002) menyimpulkan
bahwa terdapat tujuh karakteristik petani yang dianggap mempunyai pengaruh dalam upaya pemberdayaan petani untuk menumbuhkan kemandirian dalam pengambilan keputusan, yaitu: (1) umur, (2) pengalaman berusahatani, (3) motivasi berprestasi, (4) aspirasi, (5) persepsi, (6) keberanian mengambil resiko dan (7) kreativitas. Dengan demikian secara konseptual karakteristik individu adalah keseluruhan ciri-ciri yang melekat pada seseorang yang dapat berbeda dengan yang lainnya. Berpijak dari konsep tersebut, maka karakteristik petani adalah ciri-ciri yang melekat pada individu petani yang dapat membedakannya dengan petani lainnya.. Masing-masing individu petani memiliki karakteristik sendiri-sendiri
yang
berbeda
antara satu sama lain. Dalam penelitian ini
karakteristik pribadi petani dibatasi pada lingkup (1) pendidikan yang dialami petani, (2) umur/usia, (3) pengalaman berusahatani, (4) tingkat kosmopolitansi petani dan (5) keberanian mengambil resiko dalam menjalankan kegiatan usaha pertanian.
Pendidikan Istilah pendidikan menurut Dictionary of Education memiliki pengertian adalah: (1) proses seseorang mengembangkan kemampuan, sikap dan membentuk tingkah-laku lainnya
di dalam masyarakat pada suatu tempat yang mereka
bertempat selama mereka hidup, dan (2) proses sosial yang sering dihadapkan pada pengaruh lingkungan yang terpilih dan terkontrol (khususnya yang datang dari sekolah),
sehingga dapat memperoleh
atau mengalami perkembangan
kemampuan sosial dan kemampuan individu yang optimum. Dalam Undang Undang No. 2 tahun 1989 tentang Sistem Pendidikan Nasional disebutkan bahwa pendidikan adalah usaha sadar untuk menyiapkan peserta didik melalui kegiatan bimbingan, pengajaran dan/atau latihan bagi peranannya di masa yang akan datang. Batasan pendidikan menurut Padmowihardjo (1994) adalah sebagai usaha mengadakan perubahan perilaku berdasarkan ilmu-ilmu dan pengalaman-pengalaman yang sudah diakui dan diterima oleh masyarakat. Lebih lanjut Winkel (2006) menyebutkan bahwa
pendidikan
merupakan
proses
pembentukan
watak
seseorang
sehingga
memperoleh pengetahuan, pemahaman dan cara bertingkah laku. Sidi dan Setiadi (2005) menekankan kepada proses pembekalan karena pendidikan merupakan upaya membekali anak dengan ilmu dan iman agar mampu menghadapi dan menjalani kehidupannya dengan baik serta mampu mengatasi permasalahannya secara mandiri. Proses pembekalan tersebut menurut Winkel sebagai bantuan yang diberikan oleh orang dewasa kepada orang yang belum dewasa ataupun pada seseorang dalam proses pendewasaan agar mencapai tingkat kedewasaan. Pendidikan menurut Slamet (2003) adalah suatu usaha untuk menghasilkan perubahan-perubahan
pada perilaku
manusia. Perubahan perilaku yang
ditimbulkan oleh proses kegiatan pendidikan dapat dilihat melalui (1) perubahan dalam hal pengetahuan (2) perubahan dalam ketrampilan atau kebiasaan dalam melakukan sesuatu dan (3) perubahan dalam sikap mental terhadap segala sesuatu yang dirasakan. Pendidikan merupakan indikator utama pembangunan dan kualitas sumberdaya manusia pertanian. Pendidikan pada dasarnya merupakan usaha sadar untuk menyiapkan peserta didik melalui kegiatan bimbingan dan/atau latihan bagi peranannya dimasa yang akan datang. Pada hakikatnya pendidikan berfungsi untuk mengembangkan kemampuan, meningkatkan mutu kehidupan, dan martabat manusia baik individu maupun sosial (Prijono dan Pranarka, 1996). Secara garis besar konsep pendidikan yang dikemukakan tersebut di atas dapat dibagi dua bentuk yaitu pendidikan formal dan pendidikan non-formal. Pendidikan formal, menurut Combs dan Mansyur (1985), yaitu pendidikan di sekolah yang teratur, sistematis, mempunyai jenjang dan dibagi dalam waktuwaktu tertentu berlangsung dari taman kanak-kanak sampai perguruan tinggi. Dengan demikian pendidikan formal merupakan pendidikan yang diselenggarakan secara resmi dan tertentu di sekolah yang pelaksanaannya diatur secara sistematis berdasarkan aturan dan kurikulum yang baku serta mempunyai tujuan sesuai dengan jenis dan jenjang pendidikannya sejak dari taman kanak-kanak sampai perguruan tinggi. Proses pendidikan yang dimaksudkan adalah menyiapkan peserta didik bagi tugas perkembangan di masa datang, baik sebagai individu,
mahluk sosial, sebagai warga negara maupun yang terkait dengan tugas atau profesi tertentu melalui pengembangan kemampuan (pengetahuan, sikap dan keterampilan). Hasil penelitian Megawangi dkk. (1994) menyimpulkan bahwa tingkat pendidikan Petani (suami) dan tingkat pendapatan berhubungan secara nyata dan positif terhadap terhadap kebiasaan perencanaan anggaran keluarga yang termasuk perencanaan anggaran usahatani. Kesimpulan tersebut memberikan gambaran bahwa sekicil apapun tingkat pendidikan petani tenyata memiliki pengaruh terhadap kegiatan usahatani. Pendidikan formal dalam penelitian ini, dibatasi pada tingkat pendidikan formal yang telah ditempuh oleh petani. Pendidikan non formal menurut Tampubolon (2001) merupakan suatu kegiatan pendidikan di luar sistem pendidikan formal dan bertujuan untuk mengubah perilaku masyarakat dalam arti luas. Sasaran pendidikan non formal mencakup semua kelompok umur dan semua sektor masyarakat. Menurut Alex Inkeles (Asngari, 2001), walaupun sebagai penunjang sistem pendidikan formal, nilai dari suatu pendidikan non-formal sangat tinggi. Lebih lanjut Prijono dan Pranarka (1996), mengatakan bahwa pendidikan non formal pada umumnya merupakan jalur pendidikan luar sekolah yang diselenggarakan oleh masyarakat guna meningkatkan kemampuan menerapkan ilmu pengetahuan yang telah diperoleh peserta didik dari lingkungan pendidikan formal ke dalam lingkungan pekerjaan praktis di masyarakat. Bentuk pendidikan non formal tersebut, pelatihan, kursus, penataran, magang dan penyuluhan. Penyuluhan pertanian adalah suatu sistem pendidikan luar sekolah (pendidikan non formal) untuk petani dan keluarganya dengan tujuan agar mereka mampu dan sanggup memerankan dirinya sebagai warga negara yang baik sesuai dengan bidang profesinya, serta mampu, sanggup dan berswadaya memperbaiki/meningkatkan kesejahteraan sendiri dan masyarakatnya (Slamet, 2003). Senada dengan pendapat tersebut, Blanckenburg (1988) menyatakan bahwa pendidikan non formal merupakan kegiatan pendidikan yang diorganisasi secara sistematis dan dilaksanakan di luar jaringan sistem formal untuk menyediakan bentuk pelajaran yang dipilih untuk kebutuhan kelompok-kelompok tertentu dalam masyarakat, baik bagi orang dewasa maupun anak-anak. Supriatna (1997) menyebutkan pendidikan non formal
dapat berupa penyuluhan, penataran, kursus, maupun bentuk keterampilan teknis yang lain dengan tujuan untuk meningkatkan kecerdasan dan keterampilan kaum petani. Proses belajar non formal atau pendidikan luar sekolah sangat diperlukan dewasa ini agar beragam lapisan masyarakat yang sedang tertimpa kemalangan secara bertahap dapat diajak atau didampingi ke arah kemandirian dalam mereka memenuhi kebutuhan-kebutuhannya (Susanto, 2004). Dengan definisi tersebut, penyuluhan pertanian dan program latihan petani, penataran pekerja di luar sistem formal dan berbagai program pengajaran kemasyarakatan yang tujuan pokok pendidikan dapat dikelompok pada pendidikan non-formal. Batasan pendidikan non formal dalam penelitian ini adalah pembelajaran yang diselenggarakan dalam bentuk pendidikan non formal yang pernah diikuti oleh petani, seperti: penyuluhan, pelatihan, kursus, penataran atau kegiatan sejenis yang terkait dengan peningkatan dan pengkayaan petani dari pengetahuan, sikap dan keterampilan dalam berusahatani.
Umur Umur seseorang dapat mempengaruhi tingkat kemampuan yang dimiliki dalam melakukan aktivitas atau usaha. Secara umum, usia atau umur seseorang berkaitan dengan tingkat kematangan fisik dan mental seseorang. Hawkins, Best dan Coney (1986) mengemukakan bahwa umur, jenis kelamin dan pendidikan akan mempengaruhi perilaku seseorang. Anak yang baru berusia 10 tahun tentu belum mempunyai tingkat kematangan fisik dan mental dibandingkan dengan seseorang yang sudah berusia 20 tahun. Sebaliknya seseorang yang sudah berusia 80 tahun juga sudah tidak mempunyai kekuatan fisik yang prima dibandingkan dengan yang berusia 40 tahun. Karena setelah batas usia tertentu kemampuan kerja otot dan fungsi-fungsi indera lainnya sudah mulai menurun. Salkind (1989) mengemukakan bahwa perbedaan umur dapat membedakan tingkat kematangan. Tingkat perbedaan-perbedaan tersebut juga disebabkan oleh pengaruh lingkungan dan interaksi dengan individu sebagai diri yang bersangkutan.
Umur atau usia berdasarkan taraf perkembangan individu dikenal pada pengelompokan usia balita, usia remaja, usia dewasa dan usia lanjut. Secara ekonomis juga dikenal pengelompokan usia produktif dan usia ketergantungan. Usia produktif berkisar antara 15 sampai dengan 60 tahun. Kisaran usia tersebut, seseorang dianggap mempunyai kesiapan secara fisik dan mental untuk bekerja dan memikul tanggung jawab. Walaupun dalam realitasnya banyak orang yang memiliki kematangan fisik dan mental untuk bekerja tersebut kadangkala sudah mencapai usia 17 sampai 20 tahun. Oleh karena itu Departemen Tenaga Kerja memberi batasan usia kerja terendah pada usia 18 tahun. Kemampuan bekerja secara produktif bagi seseorang akan terus bertambah pada batas umur tertentu yang kemudian akan mengalami penurunan dengan bertambahnya umur petani. Dalam kaitannya dengan adopsi inovasi menurut Soekartawi (1998) dapat disimpulkan dari beberapa hasil penelitian bahwa difusi inovasi yang paling tinggi adalah pada petani yang berumur paruh baya (setengah tua). Petani yang berumur lanjut memiliki kebiasaan sudah kurang respon terhadap berbagai perubahan dan inovasi. Petani yang memiliki kategori muda akan lebih bersemangat dalam menjalankan kegiatan usahatani, selain itu juga untuk mencari berbagai pengalaman. Batasan umur yang digunakan pada penelitian ini adalah umur/usia petani sejak mulai bekerja mengusahakan lahan pertanian dengan tanggung jawab sendiri baik yang berupa lahan berstatus milik, sewa maupun sistem bagi hasil. Pengalaman Berusahatani Pengalaman dapat memiliki makna sebagai sesuatu yang pernah dialami (dijalani, dirasakan, ditanggung, dan sebagainya), sedangkan berusahatani adalah kegiatan pada pertanian dengan mengerahkan tenaga, pikiran, atau badan untuk mencapai suatu maksud yang telah ditentukan. Dengan demikian yang dimaksud dengan pengalaman berusahatani adalah sesuatu yang pernah dialami, dijalani, dirasakan, dan ditanggung oleh petani dalam menjalankan kegiatan usahatani dengan mengerahkan tenaga, pikiran, atau badan untuk mencapai tujuan usahatani yaitu memperoleh pendapatan bagi kebutuhan hidup petani dan keluarganya.
Keputusan petani yang diambil dalam menjalankan kegiatan usahatani lebih banyak mempergunakan pengalaman baik yang berasal dari dirinya maupun pengalaman petani lain.
Menurut Tohir (1983) bahwa selain menggunakan
pengalaman juga petani menggunakan perasaan. Menurut Padmowihardjo (1994), pengalaman adalah suatu kepemilikan pengetahuan yang dialami seseorang dalam kurun waktu yang tidak ditentukan. Dalam otak manusia dapat digambarkan adanya pengaturan pengalaman yang dimiliki oleh seseorang sebagai hasil belajar selama
hidupnya.
Dalam
proses
belajar,
seseorang
akan
berusaha
menghubungkan hal yang dipelajari dengan pengalaman yang dimiliki. van den Ban dan Hawkins
(2001) menyatakan bahwa seseorang yang belajar dapat
memperoleh atau memperbaiki kemampuan untuk melaksanakan suatu pola sikap melalui pe-ngalaman dan praktik. Dalam prinsip belajar, Slamet (1995) mengemukakan bahwa seseorang cenderung lebih mudah menerima atau memilih sesuatu yang baru (inovasi), bila inovasi tersebut memiliki kaitan dengan pengalaman masa lalunya, sehingga inovasi tersebut tidak terlalu asing baginya. Bila pengalaman usahatani banyak mengalami kegagalan maka mereka (petani) akan sangat berhati-hati dalam memutuskan untuk menerapakan suatu inovasi yang diperolehnya. Sebaliknya, bila pengalaman menerapkan inovasi pada kegiatan usahatani yang lalu sering berhasil, cenderung lebih tanggap terhadap inovasi-inovasi yang diperkenalkan ataupun yang diperolehnya. Pengalaman berusahatani dalam penelitian ini adalah lamanya waktu dalam tahun yang telah dicurahkan oleh petani untuk kegiatan berusahatani. Tingkat Kekosmopolitan Kosmopolitan diartikan seseorang yang memiliki wawasan dan pengetahuan yang luas. Sifat kekosmopolitan menurut Mardikanto (1993) adalah tingkat hubungan seseorang dengan dunia luar di luar sistem sosialnya sendiri. Kekosmopolitan seseorang dapat dicirikan oleh frekuensi dan jarak perjalanan yang dilakukan, serta pemanfaatan media massa. Bagi warga masyarakat yang lebih kosmopolit, adopsi inovasi dapat berlangsung lebih cepat, tetapi bagi yang ”localite” (tertutup, terkungkung di dalam sistem sosialnya sendiri) proses adopsi
inovasi akan berlangsung sangat lamban karena tidak adanya keinginan-keinginan baru untuk hidup lebih ”baik” seperti yang telah dapat dinikmati oleh orang-orang lain di luar sistem sosialnya sendiri (Mardikanto, 1993). Tingkat kekosmopolitan dalam penelitian ini dibatasi pada tingkat hubungan seseorang dengan dunia luar di luar sistem sosialnya sendiri dan dicirikan oleh frekuensi dan jarak perjalanan yang dilakukan oleh petani untuk memperoleh informasi. Keberaniaan Mengambil Resiko Mengembangkan usaha pertanian yang berpotensi dan memiliki keunggulan kompetitif dalam banyak kenyataan pada era global dan masa ke depan masih dihadapkan pada masalah resiko dan ketidakpastian. Permasalahan resiko dan ketidakpastian pada usaha pertanian tidak hanya akibat dari dinamika perubahan pasar, tetapi juga karena usaha pertanian sebagian besar banyak bergantung kepada kondisi alam. Adanya resiko dan ketidakpastian tersebut dapat mempengaruhi perilaku petani dalam pengambilan keputusan agar usaha pertanian yang berhasil dapat tercapai. Penerapan inovasi (teknologi baru) memiliki resiko yang lebih besar dibandingkan dengan cara konvensional yang telah membudaya di tingkat petani. Bagi petani yang sering mengalami kegagalan dalam menerapkan inovasi-inovasi pada kegiatan usahatani yang dijalankan akan mempengaruhi sikap dan perilaku petani pada kegiatan usahatani berikutnya. Kesediaan petani dalam memilih resiko, menurut Soekartawi (2002) pada dasarnya akan tergantung pada sifat pembawaan psikis dan kepuasaan yang diterima petani dari keluaran produksi yang dihasilkan pada kegiatan usahatani yang dijalankan. Olek karena itu, maksimalisasi tingkat kepuasan petani sering dijadikan tolok ukur dalam memilih inovasi. Lebih lanjut Young (1979) mengatakan bahwa perbedaan sikap petani dalam menghadapi resiko dikarenakan faktor-faktor seperti (1) ketidaklengkapan maupun ketidak-akutan informasi pasar maupun teknis, (2) perbedaan sumber daya alam, (3) kendala modal, (4) perbedaan fungsi tujuan dan perbedaan penaksiran peluang subyektif. Tingkat keberanian petani dalam mengambil resiko
yang tinggi pada kegiatan usaha pertanian terutama ditunjukkan oleh petani yang memiliki modal usaha yang kuat (Hammal, 1983). Hasil penelitian Purwoto (1993) pada petani padi di sentra produksi padi di Jawa Tengah menyebutkan bahwa petani yang selalu menghindar dari resiko usahatani atau kurang berani mengambil resiko adalah petani padi yang memiliki luas garan sempit dan letaknya terpencar-pencar sebaliknya bagi petani yang memiliki luas garapan yang cukup luas dan lahan yang digarap relatif menyatu cenderung lebih berani dalam mengambil resiko usahatani. Lebih lanjut Soekartawi dkk. (1993), menyimpulkan dari beberapa kajian usaha pertanian adalah petani yang memiliki tingkat kosmopolitansi tinggi dan berjiwa wira usaha akan cenderung lebih berani mengambil resiko karena petani tersebut relatif tahu saat kapan dan cara bagaimana dapat mengurangi resiko bahkan menghindar dari resiko yang akan dihadapinya. Dengan demikian keberanian petani dalam mengambil resiko terjadi bila perhitungan terhadap faktor-faktor pendukung keberhasilan usaha pertanian bersifat positif. Tingkat keberanian petani dalam mengambil resiko pada penelitian ini terbatas pada tingkat pemahaman tentang resiko dan tingkat pelaksanaan usahatani yang beresiko.
Penyuluhan sebagai Pilihan Pendekatan Untuk Meningkatkan Kapasitas Penggunaan istilah penyuluhan menjadi populer di Indonesia, tatkala pemerintah menerapkan kebijakan pembangunan pertanian dengan prioritas peningkatan produksi tanaman pangan terutama beras dengan penugasan sejumlah tenaga penyuluh lapangan pertanian. Secara garis besar penyuluhan dapat didefinisikan sebagai proses pendidikan non formal bagi orang dewasa beserta keluarganya dalam rangka merubah perilaku masyarakat agar tahu, mau dan mampu menolong dirinya sendiri untuk menuju peningkatan kesejahteraan. Menurut Slamet (2003), penyuluhan merupakan proses pendidikan luar sekolah dengan tujuan (a) memberdayakan sasaran, (b) meningkatkan kesejahteraan secara mandiri, dan (c) membangun masyarakat madani. Penyuluhan sebagai proses pendidikan yang memberdayakan masyarakat harus meninggalkan prinsip
menggurui sebagaimana lazimnya pendidikan formal. Menurut Freire (1974), penyuluhan yang bersifat top down dan menggurui sama halnya dengan penindasan sehingga harus dibangun kesadaran kritis dari sasaran penyuluhan agar mampu mengembangkan dirinya sendiri. Pengembangan diri sasaran ini sesuai dengan falsafah penyuluhan tentang pentingnya individu dan membantu klien/sasaran
untuk menolong dirinya sendiri. Lebih lanjut Slamet (1987)
mengatakan bahwa walaupun sasaran penyuluhan itu banyak yang hidup diperdesaan dengan kondisi yang sangat terbatas, tetapi mereka adalah manusia juga yang memiliki potensi dan kemampuan, kebutuhan dan keinginan. Oleh karena itu falfasah kerja penyuluhan adalah meningkatkan potensi kemampuan dan keluarganya sehingga dapat mengatasi sendiri kekurangannya dan dapat memenuhi kebutuhan dan keinginannya. Konsep kapasitas yang merupakan daya-daya kemampuan untuk melaksanakan tujuan yang telah ditetapkan
adalah menekankan pentingya
individu. Menurut Asngari (2003), pentingnya pribadi individu untuk ditonjolkan dalam penyuluhan, sebab potensi pribadi seseorang memiliki nilai yang tiada taranya untuk berkembang dan dikembangkan. Kelsey dan Hearne (Asngari, 2003) menyebutkan: “the philosophy of extension work: . . . is based on the importance of individual in promotion of progress for rural [and urban] people and for the nation. Extesion educators work with people to help them develop themselves and achieve superior personal well being.”
Kapasitas yang dimiliki petani perlu secara terus menerus ditingkatkan sesuai dengan perkembangan, hal ini sesuai dengan falsafah kontinyu pada penyuluhan yang dimulai dari tahu, mau dan mampu. Usaha pertanian yang banyak ditekuni dan menjadi sumber kehidupannya petani hingga kini tingkat kesejahteraannya masih rendah bahkan sebagian besar jauh ketinggalan bila dibandingkan dengan usaha lain (misalnya industri). Untuk itu, perlu penyadaran tentang kapasitas yang dimiliki petani agar mereka tahu masalah yang dihadapi, mau untuk berubah dan mampu untuk memecahkan masalahnya. Berikut pokok-pokok pemikiran strategi
penyuluhan pembanguan untuk peningkatan kapasitas petani yang diolah dan dimodifikasi dari Sumardjo (1999) dan Slamet (2003) disajikan pada Tabel 1.
Tabel 1. Pokok-pokok Pemikiran Strategi Penyuluhan Pembanguan untuk Peningkatan Kapasitas Petani. Aspek Pokok Model
Prinsip/strategi o Petani sebagai Subyek o Bottom up lateral o Falsafah pembelajaran
Penyuluh
o Profesional ( Competent, Confidance and Commitment) o Sebagai fasilitator, mediator dan pembimbing o Demokratis, dan egaliter
Klien/Petani
o Mitra pembelajaran o Partisipatif o Sebagai sumber informasi/data
Metode dan materi kebutuhan
o Berbasis kepada kebutuhan, pengalaman dan pengembangam IPTEK spesifik o Adragogi, komunikasi interatif, belajar sambil berbuat
Proses Penyuluhan
o Berkesinambungan o Menggali, menemukan dan pengembangan IPTEK
Ukuran Keberhasilan
o Tingkat perkembangan kapasitas (harmonisasi antara pengetahuan, keterampian dan sikap) o Meningkatnya jaringan kerja dan kemitraan o Peningkatan kesejahteraan
Diolah dan dimodifikasi dari Sumardjo (1999) dan Slamet (2003)
Kemandirian Usahatani Konsep kemandirian pada hakekatnya adalah suatu kebebasan dari seseorang untuk bertindak sesuai dengan kebutuhan yang diperlukan tanpa merasa ada intervensi dari pihak luar. Menurut Doyal dan Grough (1991), seseorang yang dipaksa untuk melakukan tindakan, tidak akan melahirkan sikap kreatif karena
tindakan
itu
dilakukan
kadang-kadang bertentangan dengan keinginan dan
kebutuhan orang tersebut. Konsep mandiri tidak hanya memuat pengertian pemenuhan kebutuhan secara mandiri (self suffiency), tetapi juga menyangkut faktor kemampuan dalam mengidentifikasi kebutuhan dan jati diri (self discovery) berdasarkan percaya diri (self confidance) pada diri seseorang. Kant (1962) berpendapat bahwa kemandirian memiliki nilai-nilai moral, yang harus ditaati
sehingga timbul suatu kebebasan tetapi tetap bertanggung jawab. Orang yang mandiri akan bertanggung jawab terhadap pilihan keputusan (tindakan) dan akan menerima segala konsekuensinya. Seseorang yang merasa mandiri akan sadar bahwa tindakan yang dilakukan menggambarkan suatu hak dan kewajibannya terhadap lingkungan sosialnya. Kemandirian tidak serta merta muncul begitu saja pada setiap orang, tetapi melalui suatu proses bekerja keras individu untuk mengembangkan potensi yang dimiliki secara terus menerus. Menurut Slamet (1995), untuk menumbuhkan dan membina kemandirian pada seorang petani perlu diarahkan agar dengan kekuatan dan kemampuan yang dimiliki dapat berupaya bekerjasama untuk mencapai segala yang dibutuhkan dan yang menjadi keinginannya. Dengan demikian, kemandirian adalah suatu sikap yang mengutamakan kemampuan diri sendiri dalam mengatasi berbagai masalah untuk mencapai tujuan yang diinginkan, tanpa menutup diri terhadap berbagai kemungkinan bekerja sama yang saling menguntungkan. Ismawan (1999) mengungkapkan bahwa konsep kemandirian menjadi faktor penting dalam pembangunan karena kemandirian tidak hanya mencakup pengertian kecukupan dalam bidang ekonomi tetapi juga menjadi faktor penting sebagai sumberdaya manusia yang dapat menemukan kepercayaan diri sehingga dapat menentukan pilihan yang terbaik bagi kebutuhan dirinya. Adapun ciri-ciri manusia mandiri adalah (1) sadar terhadap masalah yang dihadapi dan memiliki dorongan untuk mengatasinya, (2) aspiratif, (3) rasional, (4) inovatif, (5) inisiatif, (6) berwawasan kedepan, dan (7) memiliki jiwa wirausaha, (8) ulet tidak mudah menyerah dalam menghadapi tantangan dan memiliki identitas diri (Hubeis, 1992; Rahardjo, 1992; dan Slamet, 1995). Lebih
lanjut Hubeis (2000) menjelaskan bahwa kemandirian adalah perwujudan dari kemampuan seseorang dalam mengatasi masalah yang dihadapi dengan memanfaatkan potensi dan kekuatan yang dimiliki untuk pencapaian kebutuhan hidupnya. Kemampuan yang dimaksud terutama berkaitan dengan kebebasan untuk menentukan pilihan yang terbaik. Kebebasan pada sikap kemandirian ini terkait dengan tanggung jawab dan nilai-nilai moral yang harus dipatuhi (Kant, 1962). Menurut Soebiyanto (1998), kemandirian petani adalah suatu perwujudan kekuatan yang dimiliki petani dalam mengantisipasi pengaruh dari perubahan permintaan pasar, perkembangan teknologi ataupun perubahan kondisi alam sehingga masih mampu mendapatkan keuntungan yang layak dari usahataninya dengan tetap memperhatikan moral dan kaidah dalam mendapatkannya. Sejalan dengan pendapat tersebut, menurut Sumardjo (1999), yang dikatakan petani mandiri adalah: “petani yang memiliki kognitif, afektif dan psikomotorik/ keterampilan yang maju, efisien dan berdaya saing tinggi sehingga mempunyai kemampuan untuk mengambil suatu keputusan yang tepat secara cepat dalam mengelola dan mengusahakan pertaniannya tanpa tersubordinasi oleh pihak lain dalam situasi yang saling menguntungkan.” Kemandirian di dalam bidang usaha pertanian juga dapat terkait dengan aspek permodalan. Modal seringkali menjadi penentu berhasil tidaknya suatu usaha, ragam jenis usaha maupun besar dan kecilnya usaha. Petani dalam melakukan usaha pertanian seringkali dihadapkan pada modal menjadi salah satu pertimbangan dalam memilih komoditas yang akan diusahakan. Hasil penelitian Puspadi (2002), melaporkan ada keterkaitan antara kecukupan modal dan jenis tanaman yang akan diusahakan oleh petani. Semakin tinggi (cukup) modal yang dimiliki petani mengakibatkan pilihan usahataninya akan semakin luas. Petani yang memiliki cukup modal cenderung memilih usaha tanaman sayuran dan buahbuahan (hortikultura), sedangkan petani yang belum cukup modal cenderung memilih tanaman pangan seperti padi dan palawija. Dalam kekurangan modal biasanya petani akan mencari sumber pinjaman dan sering dalam dalam kondisi ini petani mudah diatur oleh pihak pemberi pinjaman modal sehingga segala aktivitas yang dilakukan dalam usaha pertanian
menjadi terkendali dan tersubordinasi oleh pemberi modal. Oleh karena itu, tingkat kemandirian petani dalam melakukan usaha pertanian dapat juga diukur dari kemampuan dalam mengatasi kebutuhan modalnya. Dari uraian tersebut di atas tampak bahwa tingkat kemandirian petani dalam mewujudkan keberhasilan usaha pertanian yang dilakukan dapat diukur dengan tingkat kemampuan mengambil keputusan, kemampuan bekerjasama yang saling menguntungkan (partnership) dan tingkat kemampuan dalam mengatasi permodalan.
Kebutuhan Petani dalam Usaha Pertanian Kebutuhan-kebutahan petani yang berkaitan dengan pencapaian tujuan rumah tangga petani merupakan langkah awal dari perencanaan peningkatan kapasitas petani dalam mewujudkan keberhasilan usaha pertanian. Tujuan rumah tangga petani juga merupakan tujuan penyelenggaraan penyuluhan. Menurut Asngari (2001), tujuan penyuluhan pembangunan merupakan suatu proses dalam rangka untuk memberdayakan sumberdaya manusia pembangunan (SDM). Keberhasilan pembangunan dalam mengembangkan SDM ditandai dengan tingkat kesejahteraan kehidupan sasaran/klien menjadi lebih sejahtera. Tujuan penyuluhan pembangunan dalam proses pemberdayaan SDM, menurut Asngari (2001) dapat dilihat pada Gambar 2: Menurut Reintjes et al. (1999), tiap rumah tangga petani dan individu yang ada di dalamnya memiliki kebutuhan dan keinginan khusus, apabila terpenuhi akan merasakan suatu kehidupan yang lebih tentram, aman dan sejahtera. Kebutuhan dan keinginan khusus tersebut dalam melakukan usaha pertanian dapat digolongkan
menjadi
beberapa
tujuan
yaitu
produktivitas,
keamanan,
kesinambungan dan kebutuhan identitas. Maslow (1970), menyusun teori kebutuhan manusia menjadi lima kategori yang masing-masing telah dimiliki oleh manusia dalam kualitas dan kuantitas yang berbeda. Kelima kebutuhan tersebut meliputi kebutuhan fisiologis, keamanan, kebutuhan sosial, kebutuhan penghargaan dan kebutuhan aktualisasi diri.
SDM Klien
Penyuluhan Pembangunan
Mengubah perilaku Pengetahu an Sik
Tahu
Mau
Mampu memanfaatk an IPTEK
Bertani lebih baik (better farming ) Berusahatani lebih baik (better business)
Ditunjang Sarana usaha yang memadai (agri-support) Iklim usaha yang kondusif (agri-climate)
Pendapatan meningkat
TUJUAN JANGKA PANJAN
Hidup lebih baik Hidup lebih sejahtera
Masyarakat Makmur Gambar 2. Tujuan Penyuluhan Pembangunan (Asngari, 2001)
Kebutuhan fisiologik menyangkut kebutuhan akan makanan, minuman, kesehatan, pakaian dan perumahan. Dalam konteks petani, kebutuhan fisiologis ini akan terpenuhi apabila ada usaha pertanian yang dilakukan mendapatkan hasil dan memiliki produktivitas yang tinggi. Kebutuhan keamanan antara lain kebutuhan kebebasan, keterlindungan, bebas dari tirani dan bebas dari kegelisahan. Dalam melakukan usaha pertanian perlu meminimalkan resiko sehingga petani memiliki kepastian dan rasa aman untuk mencukupi kebutuhan dari hasil usahataninya. Kebutuhan sosial menurut Maslow adalah kebutuhan kasih sayang dari keluarga (istri/suami/anak), memiliki hubungan baik dengan keluarga lain atau masyarakat. Kebutuhan sosial dalam masyarakat petani adalah kebutuhan agar petani dan keluarganya dapat melanjutkan cara-cara hidup yang baik, dapat bebas berkelompok, dapat mempertahankan sumberdaya, dapat mengikuti perubahan sosial di lingkungan petani yang bersangkutan. Kebutuhan harga diri menyangkut status, penghargaan, kehormatan dan perasaan diperlukan
diapresiasi. Kebutuhan ini oleh Reintjes et al. (1999) digolongkan pada tujuan untuk mendapatkan indentitas. Kebutuhan aktualisasi diri adalah kebutuhan yang dapat memuaskan diri sendiri setelah kebutuhan yang lain terpenuhi. Kebutuhan ini antara lain adalah kebutuhan untuk meningkatkan prestasi sebagai petani. Aktualisasi diri ini menurut Reintjes et al. (1999), termasuk tujuan untuk mencari identitas yakni mengembangkan kemampuan pribadi, mencapai status sosial lebih tinggi, kebutuhan akan kebanggaan diri sebagai petani, dan dapat menyalurkan aspirasi. Jiwa Kewirausahaan Jiwa secara harfiah adalah “roh” yaitu sesuatu yang utama dan berada pada diri manusia yang dapat menjadi sumber tenaga/kekuatan dan semangat bagi orang tersebut. Wirausaha berasal dari kata entepreneur yang berarti mendirikan, mengelola,
mengembangkan dan melembagakan suatu kegiatan dengan
mengarahkan tenaga dan pikiran untuk mencapai suatu maksud tujuan tertentu. Dengan demikian, jiwa wirausaha adalah sesuatu yang utama yang berada pada diri manusia untuk mendirikan dan memanfaatkan suatu kegiatan dengan menggunakan sumber pikiran dan kemampuan yang ada untuk mencapai suatu maksud tertentu. Menurut Meredith et al. (1995), wirausaha merupakan sesuatu tindakan yang memiliki motivasi tinggi dalam menghadapi resiko dalam mengejar suatu tujuan. Dalam berwirausaha melibatkan dua unsur pokok penting yaitu (1) peluang, dan (2) kemampuan dalam memanfaatkan peluang. Menurut Sukardi (1991), seorang wirausaha yang berhasil dalam melakukan usahanya, memiliki ciri-ciri psikologis sebagai berikut: (1)
selalu tanggap terhadap peluang dan kesempatan yang berkaitan dengan peluang kinerjanya.
(2)
Selalu berusaha memperbaiki tingkat prestasi yang telah dicapai
(3)
selalu memanfaatkan umpan balik sebagai tantangan dan pantang menyerah
(4)
memiliki sikap mudah menyesuaikan dengan kondisi yang dihadapi untuk pencapaian tujuan atau prestasi yang diharapkan
(5)
selalu membina hubungan baik dengan orang lain
(6)
percaya diri, bergairah, dan optimistis terhadap tindakan yang dilakukan
(7)
cermat dan antisipatif terhadap segala kemungkinan
(8)
penuh perhitungan dan bertanggung jawab terhadap tindakan yang dilakukan
(9)
selalu bekerja keras dan kreatif untuk meningkatkan kinerjanya
(10) keberhasilan dan kegagalan yang dilakukan selalu dikaitkan dengan tindakan pribadinya sendiri (11) selalu terlibat dalam situasi kerja hingga selesai. Dari pengertian makna dan ciri sifat wirausaha tersebut dapat diasumsikan bahwa setiap orang secara normatif dapat melakukan kegiatan wirausaha asal mau dan mempunyai kesempatan untuk berusaha dan belajar. Demikian pula halnya dengan petani yang melakukan usaha di bidang pertanian, agar dapat berhasil sesuai dengan tujuan yang dikehendaki dalam era globalisasi ini, harus meningkatkan jiwa wirausaha yang ada pada dirinya. Hal ini sangat diperlukan, sebab hasil dari usahatani harus dapat memenuhi dan sesuai dengan kebutuhan konsumen/pasar. Analog dengan makna dan ciri sifat seorang wirausaha yang berhasil, seorang petani dalam melakukan usahataninya agar mencapai kebutuhan yang diinginkan diperlukan pula ketangguhan dalam berusahatani. Ciri-ciri manusia yang tangguh menurut Sukardi (1993), meliputi (1) etos kerja yang tinggi, (2) prestatif, (3) peka dan tanggap terhadap perubahan, (4) inovatif, (5) religius, (6) bermoral, (7) mandiri, dan (8) mampu mengendalikan diri. Hadiwigeno (1985) memberikan pendapat, ciri-ciri petani tangguh dalam melaksanakan usahatani adalah (1) mempunyai pengetahuan dan keterampilan dalam menerapkan ide-ide baru (inovasi), (2) mempunyai tingkat pendapatan yang layak, (3) berani menghadapi resiko, (4) mampu menarik manfaat dari azas skala ekonomi, dan (5) memiliki kekuatan untuk mandiri dalam berusahatani. Sejalan dengan pendapat tersebut, Abbas (1995), menyebutkan ciri-ciri petani yang tangguh meliputi (1) mampu untuk memanfaatkan sumberdaya secara optimal dan efisien, (2) mampu mengatasi hambatan dan tantangan, (3) mampu menyesuaikan diri dalam pola dan struktur produksinya terhadap perubahan seperti musim, pasar dan perkembangan
teknologi, (4) berperan aktif dalam peningkatan produksi, dan (5) mampu meraih/ menciptakan pasar yang menguntungkan. Uraian tersebut di atas, menjelaskan bahwa jiwa wirausaha yang tangguh harus dimiliki oleh setiap petani agar usaha yang dilakukan dapat tercapai. Jiwa wirausaha ini tidak dapat muncul dengan sendirinya tetapi harus dikembangkan dengan memanfaatkan kemampuan yang telah dimiliki petani. Kemampuan yang perlu terus ditingkatkan untuk menjadi wirausaha pada petani adalah sifat kreatif, inisiatif, inovatif dan daya saing. Sifat kreatif diperlukan karena setiap usaha yang dilakukan dapat dipastikan akan selalu menghadapi tantangan. Inisiatif sering diperlukan untuk menimbulkan sikap untuk berprakarsa dan mencoba terlebih dahulu sehingga timbul rasa percaya diri untuk melaksanakan usaha yang dilakukan. Sikap inovatif yang merupakan salah satu ciri manusia tangguh untuk mencapai keberhasilan akan memegang faktor penting yang menentukan dalam era globalisasi maupun informasi. Apabila hal tersebut dimiliki oleh setiap petani dengan tingkat kualitas yang tinggi, akan dapat dipastikan keberhasilan usaha pertanian yang dilaksanakan dapat ditingkatkan sehingga tujuan rumah tangga petani dan kesejahteraan petani juga meningkat.
Ketersediaan Inovasi Inovasi memiliki makna sesuatu yang spesifik, yang dapat digunakan untuk mengadakan perubahan ke arah yang lebih baik dari kondisi sebelumnya. Rogers dan Shoemaker (1987) mengartikan inovasi sebagai ide-ide baru, praktekpraktek baru atau objek-objek yang dapat dirasakan sebagai sesuatu yang baru bagi individu atau masyarakat. Lionberger dan Gwin (1982) mengartikan lebih luas tentang inovasi tidak sekedar sesuatu yang baru yaitu sesuatu yang dinilai baru atau dapat mendorong terjadinya pembaharuan dalam masyarakat atau pada lokalitas tertentu. Penggunaan inovasi secara tepat dapat juga bermanfaat dari segi waktu, tingkat manfaat, hasil maupun keamanan sosial psikologis bagi yang menggunakan inovasi tersebut. Sumber keberadaan inovasi ini dapat berasal dari luar sistem sosial masyarakat maupun terkadang sering muncul dari diri petani atau sistem sosial masyarakat itu sendiri misalnya karena pengalaman-
pengalaman maupun kreativitas individu. Menurut van den Ban dan Hawkins (2001), inovasi bukan hanya bentuk objek ataupun teknik yang dianggap baru, tetapi termasuk suatu gagasan baru yang dapat mengubah sesuatu yang lama menjadi yang baru. Pengertian ini memberikan makna bahwa inovasi bukan hanya dari hasil penelitian-penelitian yang mutahir tetapi juga dapat dari penemuanpenemuan dari suatu kreasi petani itu sendiri. Ketersediaan inovasi dapat dilihat dari macamnya, sifat dan bentuk pilihan bagi keputusan pengguna apabila ingin menerapkan. Macam (Jenis) Inovasi Secara ringkas inovasi di bidang pertanian dapat dipilah menjadi dua macam yaitu yang bersifat teknis dan sosial ekonomi. Inovasi yang berupa teknis telah banyak digunakan terutama dalam rangka meningkatkan produksi usaha pertanian. Bahkan di era revolusi hijau, dominasi inovasi yang berupa teknis telah banyak diciptakan dan diterapkan mulai dari teknik penyiapan lahan, benih/bibit, pengelolaan tanaman hingga penanganan pasca panen. Penciptaan dan penerapan inovasi yang bersifat sosial ekonomi lebih banyak diarahkan sebagai faktor penunjang untuk kelancaran peningkatan produksi usaha pertanian. Dominasi penerapan inovasi yang bersifat teknis mulai nampak berkurang tatkala sumber faktor produksi, terutama sumberdaya lahan yang tidak dapat diperbaharui mulai menunjukkan penurunan produktivitasnya. Pengabaian inovasi yang bersifat sosial ekonomi ini tidak disadari dan telah berdampak pula kepada ketidak berlanjutan produktivitas usaha pertanian. Inovasi sosial ekonomi adalah suatu inovasi yang ditekankan kepada sumber daya manusia dan masyarakat maupun pembentuk kebijakan sebagai penggerak dan pelaku disektor pertanian termasuk para petani. Oleh karena itu dalam rangka mewujudkan keberhasilan usaha pertanian, pendekatan dengan penggunaan inovasi masih tetap strategis dan relevan, tetapi jenis inovasi yang diterapkan harus sesuai dan tepat atau bahkan harus seimbang antara inovasi yang bersifat teknis dengan inovasi yang bersifat sosial ekonomi. Prioritas untuk masing-masing inovasi masih tetap dibutuhkan dan harus disesuaikan dengan sasaran pembangunan.
Sifat Karakteristik Inovasi Menurut Rogers dan Shoemaker (1987), agar inovasi dapat diterima secara mudah dan berkelanjutan oleh pengguna/sasaran harus memiliki lima sifat dasar yaitu (1) dapat memiliki sifat memberikan keuntungan, (2) sesuai (kompatibel) dengan kondisi sasaran, (3) Inovasi tersebut tidak rumit, (4) suatu inovasi harus dapat dicoba oleh pengguna , dan (5) inovasi dapat diamati baik oleh pengguna maupun orang lain. Berbagai hasil penelitian telah membuktikan bahwa semakin lengkap sifat suatu inovasi memenuhi kelima sifat dasar tersebut, akan semakin cepat dapat diterima dan terapkan oleh para pengguna/sasaran. Tingkat keuntungan dari suatu penerapan inovasi sering hanya dinyatakan atau dalam bentuk ekonomi. Keuntungan yang dapat ditunjukkan atau didapat secara cepat memberikan hasil akan sangat mungkin memberikan peluang bagi petani untuk segera menerapkan inovasi tersebut pada usaha yang dilakukan. Keuntungan suatu inovasi harus dapat dikalkulasi atau ditunjukkan secara ekonomi. Perhitungan ekonomi tidak hanya dilihat dari hasil produksi saja tetapi juga dapat dari penggunaan input maupun cara pengadaan dan ketersediaan faktor produksi yang lain. Kompatibilitas suatu inovasi berkaitan dengan nilai-nilai sosial budaya dan kepercayaan pada masyarakat dengan inovasi yang diperkenalkan sebelumnya atau dengan keperluan yang dirasakan oleh petani. Permasalahan kompatibilitas inovasi akan muncul terutama apabila lingkungan sosial budaya petani dan petani itu sendiri juga harus berubah. Tingkat kompatibilitas inovasi ini menjadi faktor determinan pada suatu sistem masyarakat yang masih tradisional dibandingkan dengan tingkat sosial ekonomi masyarakat yang telah maju. Sebagai misal akan sangat sulit untuk memperkenalkan suatu inovasi teknik usahatani yang ramah lingkungan apabila pada diri petani ataupun masyarakat tersebut telah terjadi pengalaman bahwa dengan teknik usahatani ramah lingkungan tersebut menyebabkan pendapatannya turun. Demikian juga untuk memperkenalkan sistem peternakan babi di lingkungan umat Islam akan mengalami kesulitan walaupun peternakan tersebut dapat memberikan keuntungan yang sangat besar.
Tingkat
kerumitan
inovasi
adalah
berkaitan
tingkat
kemudahan
penggunaan inovasi dengan tingkat pengetahuan dan tingkat kemampuan keterampilan dalam menerapkan suatu inovasi. Suatu inovasi dari sifat kerumitan yang melekat dapat digambarkan sebagai garis kontinum dari yang bersifat paling mudah hingga yang bersifat paling sulit. Pengetahuan, sikap dan keterampilan pengguna akan saling mempengaruhi dalam menilai tingkat kerumitan suatu inovasi. Menurut van den Ban dan Hawkins (2001), adakalanya lebih baik mengenalkan inovasi yang relatif sederhana tetapi saling berkaitan, walaupun masing-masing kaitan itu sulit dipahami oleh penggunan inovasi. Sesuatu inovasi harus dapat dicoba oleh para pengguna. Cara mencoba inovasi harus dalam skala kecil sehingga terkadang nampak terasa lamban tetapi akan memiliki keterjaminan hasil akhir yang berkelanjutan lebih besar. Bahkan percepatan penerimaan akan meluas secara cepat dan memperbesar tingkat penerapan inovasi. Tindakan mencoba inovasi Hal ini berkaitan dengan tingkat resiko yang akan dihadapi sasaran apabila suatu inovasi tersebut mengalami sedikit gangguan dari kondisi alam. Kemudahan suatu inovasi untuk dicoba terkait juga dengan tingkat kepercayaan para pengguna lebih lanjut sehingga keterjaminan manfaat dari inovasi itu sendiri akan semakin tinggi. Inovasi harus memiliki sifat dapat diamati yang bukan hanya bagi yang mencoba atau yang menerapkan tetapi juga bagi orang lain. Sifat mudah dilihat berkaitan dengan penyebarluasan inovasi karena terkadang para pengguna awal akan perlu suatu penghargaan (recognition) dari pengguna kemudian (yang lain) sehingga pencoba (pengguna awal) akan merasa tidak tersaingi oleh pengguna yang lain. Selain itu petani (masyarakat) lain akan mudah terpancing untuk mengetahui lebih banyak tentang sesuatu inovasi yang dicoba tersebut, sehingga secara tidak langsung mereka dapat belajar dengan cara mengamati, berdiskusi mengenai pengalaman rekannya itu. Dasar Keputusan Pilihan Inovasi Penerimaan ataupun penolakan atas keberadaan suatu inovasi merupakan bentuk pilihan keputusan yang dibuat oleh seseorang (pengguna). Pilihan
keputusan terhadap inovasi adalah suatu proses mental, sejak seseorang itu mengetahui ada inovasi hingga penerapannya. Menurut Rogers dan Shoemaker (1987), pilihan keputuan terhadap inovasi merupakan suatu tipe pengambilan keputusan yang khas karena memiliki ciri-ciri tersendiri yang tidak dapat diketemukan dalam situasi pembuatan keputusan lainnya. Dalam kasus inovasi, seorang harus memilih alternatif baru setelah inovasi itu ada. Alternatif tingkat kebaruan tersebut yang menjadi aspek pembeda dengan keputusan yang lain. Bentuk pilihan keputusan terhadap inovasi terdiri tiga macam yaitu: (a) keputusan yang bersifat opsional (secara individual), (b) yang bersifat kolektif, dan (c) keputusan otoritas.
(a) Bentuk keputusan opsional Keputusan opsional yakni keputusan yang dibuat oleh seseorang terhadap inovasi yang ada terlepas dari keputusan-keputusan dari orang lain. Jadi bersifat mandiri tanpa pengaruh intervensi dari kelompok, organisasi maupun pemerintah. Keputusan menerima ataupun menolak inovasi yang merupakan suatu proses, menurut para ahli difusi yang sebagian besar pakar-pakar sosiologi dapat digambarkan menjadi lima tahapan yakni (1) tahap kesadaran, (2) tahap menaruh minat, (3) tahap penilaian, (4) tahap mencoba, dan (5) tahap penerimaan (adopsi). Kelima tahap proses adopsi ini banyak yang tidak sependapat, karena terkesan disederhanakan hingga terlihat kelemahannya antara lain: (1) proses kelima tahap terhadap inovasi selalu berakhir dengan keputusan penerimaan padahal secara faktual banyak juga yang pada tahap akhir tidak menerima atau menolak, (2) lima tahap sebagai model suatu keputusan tidak selalu terjadi secara hirarki tetapi bisa saja dalam proses memutuskan terjadi secara simultan ataupun tidak sampai pada tahap akhir tetapi telah menerima atau menolak inovasi,
(3) proses keputusan penerimaan inovasi seringkali masih terus berproses dengan mencari informasi lebih lanjut untuk memperkuat keputusan yang telah ditetapkan atau bahkan sebaliknya setelah mendapat beberapa informasi menjadi menolak inovasi, dan (4) proses pengambilan keputusan untuk menerima bisa saja hanya dua tahap (awal dan akhir), tidak harus tergambar sistematis dan terpisah menjadi lima tahap yaitu hanya tahap pengenalan dan tahap penerimaan atau penolakan. Atas dasar kekurangan itu, Rogers dan Shoemaker (1987) lebih lanjut menyusun model proses keputusan terhadap inovasi menjadi tiga komponen utama yaitu (1) antisiden, (2) proses dan (3) konsekuensi. Antisiden adalah variabel-variabel yang ada pada situasi sasaran sebelum ada inovasi seperti misalnya karakteristik petani/pengguna. Proses adalah semua variabel-variabel yang ada pada komponen antisiden yang mempengaruhi proses keputusan seseorang terhadap inovasi. Lebih lanjut hasil proses tersebut memberikan konsekuensi terhadap inovasi yang diperkenalkan, apakah dapat menerima (adopsi) atau menolak inovasi tersebut. Dengan demikian model proses keputusan seseorang terhadap inovasi dapat terjadi pada empat tahapan yaitu: (1) tahap perkenalan yaitu seseorang mengetahui ada inovasi termasuk pengertian dan cara menggunakan inovasi tersebut. (2) tahap persuasi adalah sikap yang dibentuk oleh seseorang terhadap pengambilan keputusan terhadap inovasi yang hasilnya dapat ber-kenan dan bisa jadi tidak berkenan. (3) tahap keputusan yaitu keterlibatan seseorang terhadap inovasi tersebut sehingga dapat menerima atau menolak menerapkan inovasi. (4) Tahap konfirmasi yaitu tindakan perilaku seseorang untuk mencari informasi penguat terhadap keputusan yang telah diambil terhadap inovasi tersebut. (b) Bentuk keputusan kolektif Proses keputusan untuk menerima atau menolak terhadap keberadaan inovasi yang dibuat secara indivdual (opsional), seringkali diikuti pula oleh anggota-
anggota dalam sistem sosial tersebut. Hal yang demikian seringkali terjadi pada inovasi-inovasi yang digunakan secara kolektif dalam sistem sosial. Pengambilan keputusan secara kolektif memiliki proses lebih panjang dan lebih banyak memakan waktu. Proses pengambilan keputusan inovasi kolektif terdiri dari lima tahapan yaitu: (1) Simulasi yaitu minat ke arah kebutuhan akan ide-ide baru atau inovasi (oleh stimulator) (2) Inisiasi yakni ide-ide baru ke dalam sistem sosial (oleh inisiator) (3) Legitimasi suatu inovasi (ide-ide baru) oleh pemegang kekuasaan atau legitimator. (4) Keputusan untuk melaksanakan penggunaan ide-ide baru oleh anggota sistem sosial (5) Tindakan atau pelaksanaan penerapan inovasi di masyarakat oleh anggota sistem sosial.
(3) Bentuk keputusan otoritas Keputusan otoritas adalah keputusan terhadap inovasi yang dihasilkan oleh seseorang atau organisasi yang memiliki kewenangan. Keputusan inovasi otoritas adalah suatu tekanan terhadap seseorang oleh orang lain yang berada pada status lebih tinggi. Dalam proses keputusan otoritas paling tidak melibatkan dua unsur yaitu (1) unit penerima yakni seseorang, kelompok sebagai penerima inovasi, (2) unit pengambit keputusan yakni seseorang, kelompok ataupun organisasi yang memiliki status dan posisi kekuasaan yang lebih tinggi dari unit penerima. Perbedaan utama antara keputusan otoritas dengan keputusan opsional dan kelompok adalah terletak pada pengaruh sistem sosial terhadap anggotanya sebagai penerima inovasi. Dalam keputusan opsional hanya sedikit pengaruh sistem sosial terhadap keputusan seseorang terhadap inovasi, sedangkan pada keputusan otoritas pengaruh sistem sosial sangat besar melalui pengaruh kekuasaan. Secara garis kontinum, pengaruh sistem sosial terhadap pilihan
keputusan inovasi adalah keputusan otoritas berada pada titik paling tinggi, sedangkan keputusan opsional berada pada posisi paling redah dan keputusan kolektif terletak di antara keputusan opsional dan otoritas. Tahap-tahapan dalam proses keputusan otoritas tidak selalu berdiri sendiri, juga tidak selalu terjadi dalam urutan kronologis, tetapi antara tahap pembuatan keputusan dan tahap implementasi keputusan dapat dilihat atau tersirat secara nyata. Tahapan pembuatan keputusan ditandai dengan: (1) pengenalan kebutuhan untuk berubah dan inovasi, (2) persuasi dan penilaian terhadap inovasi oleh unit pengambil keputusan dan (3) keputusan berupa penerimaan atau penolakan oleh unit penerima inovasi. Tahap implementasi keputusan meliputi: (1) komunikasi keputusan kepada unit penerima dalam kelompok atau organisasi, (2) tindakan atau implementasi keputusan yakni penerimaan atau penolakan oleh unit penerima inovasi.
Pentingnya Akses Petani terhadap Informasi Usaha Pertanian Informasi memiliki peran yang sangat penting pada berbagai kegiatan manusia tanpa terkecuali petani. Peran informasi bagi diri petani terutama adalah untuk membuka dan memperluas wawasan berpikir petani terhadap segala aktivitas usahatani yang dihadapi. Sejumlah informasi yang diperoleh petani akan memiliki pengaruh terhadap pola pikir petani sehingga petani akan menyesuaikan, memperbaiki atau bahkan mengubah segala aktivitas usahatani yang dijalankan. Semakin banyak informasi yang diperoleh petani kemungkinan besar akan mengakibatkan petani dalam menjalankan kegiatan usahatani akan semakin dinamis baik dalam bentuk usaha-usaha yang diperbaiki atau disesuaikan dengan sejumlah informasi yang telah diperoleh atau bahkan petani akan mengubah usahatani yang selama ini dijalankan dengan bentuk usahatani yang baru. Informasi yang dikomunikasikan secara massal memiliki peran yang penting untuk membangun pertanian. Menurut Gonzales ( Jahi, 1988), ada tiga efek dari
informasi yang disebarkan dengan cara komunikasi massal yaitu: kognitif, afektif dan konatif (psikomotorik). Efek kognitif meliputi peningkatan kesadaran, belajar dan tambahan pengetahunan, Efek afektif berhubungan dengan emosi, perasaan dan sikap (attitude), sedangkan efek konatif terkait dengan perilaku dan niat untuk melakukan sesuatu tindakan menurut cara tertentu. Tuntutan kondisi seperti tersebut di atas akan membangkitkan petani untuk selalu mengakses informasiinformasi baru pada bidang pertanian atau yang terkait dengan usahatani yang dijalankan sehingga membuat petani tersebut menjadi dinamis. Petani yang memiliki akses terhadap sumber informasi cenderung memperoleh informasi yang lebih banyak. Untuk mengetahui pokok permasalahan petani dalam menjalankan kegiatan usahatani sering ditemukan langkah-langkah petani dengan mengumpulkan sebanyak mungkin informasi. Sebagai akibatnya, tanpa sadar dapat menyulitkan diri petani itu sendiri untuk membedakan dan memilih
informasi
yang
benar-benar
dibutuhkan
untuk
memecahkan
permasalahan yang dihadapi. Perkembangan teknologi informasi yang begitu pesat dalam era globalisasi mengakibatkan berbagai informasi dapat segera diketahui dan tersedia serta dapat diakses begitu cepat. Orang dapat memilih berbagai alternatif informasi dan untuk memperolehnya sesuai dengan yang dibutuhkan. Berbagai sumber dan macam informasi yang relatif mudah tersedia tersebut menjadikan petani dapat memperoleh berbagai informasi yang dibutuhkan untuk dapat mengembangkan kegiatan usaha pertanian yang dijalankan sesuai dengan yang diinginkan petani. Agar informasi yang diperoleh dapat secara tepat sesuai dengan keinginan dan kebutuhan petani, Kaye (1997) menawarkan beberapa langkah pengelolaan informasi. Faktor-faktor yang perlu dipertimbangkan untuk mengelola informasi yang telah diperoleh tersebut meliputi: (1) Relevansi: apakah informasi itu berkaitan erat dengan permasalahan yang sedang dihadapi? Apakah informasi tersebut sesuai dengan pandangan kita dan kondisi yang ada? (2) Akurasi: apakah informasi tersebut layak untuk dapat dipercaya dan dapat diuji kebenarannya?
(3) Kelengkapan: apakah informasi tersebut sudah dapat menjelaskan secara keseluruhan yang terkait dengan sesuatu permasalahan yang sedang dipertimbangkan? (4) Ketajaman: apakah informasi yang telah diperoleh dapat menunjukkan perbedaan-perbedaan antara pilihan yang satu dengan pilihan yang lain? (5) Ketepatan waktu: apakah informasi beserta data yang ada tersebut masih berlaku dan valid, atau sebaliknya? (6) Keterwakilan: apakah informasi yang diperoleh dan terkumpul cukup mewakilki dari seluruh yang sedang dipertimbangkan? Informasi yang telah diperoleh petani menurut Kaye (1997) akan lebih berdaya guna bila mempetimbangkan faktor-faktor yang telah disebutkan di atas. Informasi pertanian yang disebarkan dari sumber informasi, secara umum dirancang sebagai bentuk-bentuk pilihan alternatif untuk memperbaiki usaha pertanian bagi para petani baik melalui media elektronik maupun non-elektronik. Sumber informasi yang bersifat massal antara lain melalui: Radio, Televisi, CD, Situs Internet, Brosur, Leaflet, Surat kabar, sedangkan sumber informasi lain yang bersifat kontal personal antara lain melalui: penyuluh/agen pembaharu, pedagang, tokoh masyarakat, kerabat/famili dan sesama petani. Akses petani terhadap informasi yang dimaksud dalam penelitian ini adalah kemampuan petani dalam berinteraksi dengan berbagai informasi baik melalui kontak personal maupun melalui media. Agar penelitian lebih terfokus, maka akses informasi petani dibatasi pada sumber informasi, tingkat kesesuaian (relevansi), macam informasi dan kredibilitas pemberi informasi.