TINJAUAN PUSTAKA Ruang Menurut Undang-Undang No. 24 Tahun 1992 tentang Penataan Ruang, ruang adalah wadah yang meliputi ruang daratan, ruang lautan, dan ruang udara sebagai satu kesatuan wilayah, tempat manusia dan makhluk lainnya hidup dan melakukan kegiatan serta memelihara kelangsungan hidupnya. Ruang (space) menurut istilah geografi secara umum adalah seluruh permukaan bumi yang merupakan biosfer, tempat hidup tumbuh-tumbuhan, hewan dan manusia. Ruang menurut istilah geografi regional sering diartikan sebagai suatu wilayah yang mempunyai batas geografi, yaitu batas menurut keadaan fisik, sosial, atau pemerintahan, yang terjadi dari sebagian permukaan bumi dan lapisan tanah di bawahnya serta lapisan udara di atasnya (Jayadinata 1999). Konsep Kewilayahan Rustiadi et al. (2005) mengemukakan, beberapa istilah seperti ruang, wilayah, dan kawasan seringkali di dalam penggunaannya tidak memiliki batasan yang jelas sehingga dapat saling dipertukarkan pengertiannya. Dari sisi teoritik sebenarnya tidak ada perbedaan nomenklatur antara istilah ruang, wilayah, dan kawasan, secara umum semuanya dapat diistilahkan wilayah (region). Penggunaan istilah kawasan digunakan karena adanya penekanan-penekanan fungsional dari suatu unit wilayah.
Istilah
mengenai ruang pada dasarnya merupakan unit geografis, karena merupakan peristilahan tentang bagian di atas permukaan bumi.
Dengan demikian wilaya h dapat
didefinisikan sebagai unit geografis dengan batas-batas yang spesifik (tertentu) dimana komponen-komponen dari wilayah tersebut (sub wilayah) satu sama lain saling berinteraksi secara fungsional. Batasan wilayah lebih bersifat “meaningful” baik untuk perencanaan, pelaksanaan, monitoring, pengendalian, maupun evaluasi. Berdasarkan pengertian tersebut, maka batasan wilayah tidaklah selalu bersifat fisik dan pasti, tetapi seringkali bersifat dinamis (berubah-ubah). Lebih lanjut dikemukakan, bahwa kerangka klasifikasi konsep wilayah yang dinilai lebih mampu menjelaskan berbagai konsep wilayah yang dikenal selama ini, yaitu: (1) wilayah homogen (uniform), (2) wilayah sistem, dan (3) wilayah perencanaan/pengelolaan (planning region/programming
5
region).
Dalam pendekatan klasifikasi konsep wilayah ini,
wilayah nodal hanya
dipandang sebagai salah satu dari konsep wilayah sistem. 1. Wilayah Homogen Wilayah homogen adalah wilayah yang dibatasi berdasarkan pada kenyataan bahwa faktor-faktor dominan pada wilayah tersebut bersifat homogen, sedangkan faktor-faktor yang tidak dominan bisa saja beragam (heterogen). Homogenitas suatu wilayah secara umum disebabkan oleh faktor alamiah dan faktor artificial. Faktor alamiah yang dapat menyebabkan homogenitas suatu wilayah adalah kemampuan lahan, sedangkan faktor artific ial adalah homogenitas yang didasarkan pada pengklasifikasian atas hal yang didasarkan faktor manusia, contohnya: kemiskinan Faktor dominan suatu wilayah pada dasarnya ditentukan oleh sistem penggunaan lahan yang didukung oleh potensi sumberdaya lahan (kemampuan dan kesesuaian) lahan tersebut.
Penggunaan lahan yang sesuai dengan potensi sumberdaya lahan
cenderung memberikan output yang lebih baik dibandingkan penggunaan lahan yang tidak sesuai dengan potensi sumberdaya lahannya. Sebagai contoh, penggunaan lahan didaerah Pantura Jawa didominasi oleh pertanian sawah, hal ini karena didukung oleh potensi sumberdaya lahannya.
Dengan adaya dukungan potensi sumberdaya lahan
maka dapat terjadi penghematan-penghematan biaya proses produksi (input) sehingga budidaya padi lebih menguntungkan. Kondisi ini yang mencirikan daerah Pantura Jawa sebagai Wilayah homogen (produsen padi). Berdasarkan definisi di atas maka wilayah dapat diartikan sebagai suatu unit geografi memiliki batas -batas tertentu yang spesifik dimana komponen-komponen penyusunnya saling berinteraksi satu sama lain. Komponen-komponen dimaksud mencakup sumberdaya alam (natural resources), sumberdaya buatan (man-made resources) dan sumbedaya manusia (human resources). Interaksi yang terjadi diantara komponen-komponen tersebut membentuk suatu sistem yang sangat kompleks dan memiliki ketergantungan satu dengan lainnya. Dari pengertian tersebut dapat dikatakan bahwa batas wilayah tidak selalu bersifat fisik tetapi seringkali bersifat dinamis. 2. Wilayah Nodal Wilayah nodal (nodal region) adalah wilayah yang secara fungsional mempunyai ketergantungan antara pusat (inti) dan daerah. Konsep wilayah sebagai
6
suatu sistem dilandasi atas pemikiran bahw a komponen-komponen di suatu wilayah memiliki keterkaitan dan ketergantungan satu sama lain dan tidak terpisahkan. Berdasarkan komponen-komponen yang membentuknya maka wilayah sebagai sistem dapat dibagi menjadi wilayah sistem sederhana (dikotomis) dan wilayah sistem kompleks (non dikotomis). Sistem sederhana adalah sistem yang bertumpu atas konsep ketergantungan dua komponen wilayah (urban-rural, budidaya-non budidaya). 3. Wilayah Administratif Wilayah
administratif
adalah
wilayah
yang
batas-batas nya
ditentukan
berdasarkan kepentingan administrasi pemerintahan atau politik, seperti Propinsi, Kabupaten, Kecamatan, Desa/Kelurahan, RT/RW. Seringkali pengertian wilayah dalam konteks pembangunan lebih mengarah kepada wilayah administratif. Menurut Soekirno (1976) hal tersebut disebabkan oleh 2 faktor yakni: (a) Dalam melaksanakan kebijaksanaan dan rencana pembangunan wilayah diperlukan tindakan-tindakan dari berbagai badan pemerintahan.
Dengan
demikian lebih praktis apabila berbagai wilayah didasarka n pada satu wilayah administrasi yang telah ada, (b) wilayah yang batasnya ditentukan berdasarkan atas satuan administrasi pemerintahan lebih mudah di analisis, karena sejak lama pengumpulan data diberbagai bagian wilayah berdasarkan pada satuan wilayah administratisi tersebut. 4. Wilayah Perencanaan Wilayah perencanaan adalah wilayah yang dibatasi berdasarkan kenyataan terdapat sifat-sifat tertentu pada wilayah tersebut yang pada umumnya bersifat alamiah sehingga perlu perencanaan secara integral, misalnya Daerah Aliran Sungai (DAS). DAS sebagai kesatuan hidroorologis harus dikelola secara terpadu mulai dari hulu sampai hilir, karena perlakuan di hulu akan berakibat pada bagian hilir. Seringkali suatu DAS mencakup lebih dari satu wilayah administratif, oleh sebab itu perlu adanya koordinasi antar wilayah yang termasuk di dalam DAS tersebut dalam pengelolaannya. Rencana Tata Ruang Rustiadi et al. (2005) mengemukakan, Perencanaan Tata Ruang sering disalahartikan sebagai suatu proses dimana perencanaan mengarahkan masyarakat untuk melakukan aktifitasnya (top–down process). Dalam paradigma perencanaan tata 7
ruang
yang modern, perencanaan ruang diartikan sebagai bentuk pengkajian yang
sistematis dari aspek fisik, sosial dan ekonomi untuk mendukung dan me ngarahkan pemanfaatan ruang didalam memilih cara yang terbaik untuk meningkatkan produktifitas agar memenuhi kebutuhan masyarakat (publik) secara berkelanjutan. Sasaran utama perencanaan tata ruang dapat dikelompokkan atas tiga sasaran umum: (1) efisien, (2) keadilan dan akseptabilitas masyarakat, dan (3) keberlanjutan. Sasaran efisien merujuk pada manfaat ekonomi, dimana dalam konteks kepentingan publik pemanfaatan ruang diarahkan untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat (publik). Tata ruang harus merupakan perwujudan keadilan dan melibatkan partisipasi masyarakat, oleh karenanya perencanaan yang disusun harus dapat diterima oleh masyarakat. Perencanaan tata ruang juga harus berorientasi pada keseimbangan fisik lingkungan dan sosial sehingga menjamin peningkatan kesejahteraan secara berkelanjutan ( sustainable). Rencana tata ruang digambarkan dalam peta wilayah negara Indonesia, peta wilayah Propinsi, peta wilayah Kabupaten, dan peta wilayah Kota, yang tingkat ketelitiannya
diatur
dalam
peraturan
per undang-undangan.
Dalam
konteks
pembangunan wilayah, perencanaan penataan ruang dapat dipandang sebagai salah satu bentuk intervensi atau upaya pemerintah untuk menuju keterpaduan pembangunan melalui kegiatan perencanaan, pemanfaatan dan pengendalian pemanfaatan ruang guna menstimulasi sekaligus mengendalikan pertumbuhan dan perkembangan pemanfaatan ruang suatu wilayah (Maryudi dan Napitupulu 2001). Menurut Undang Undang Republik Indonesia Nomor 24 Tahun 1992 tentang Penataan Ruang, rencana tata ruang dibedakan atas: a. Rencana Tata Ruang wilayah Nasional untuk jangka waktu 25 tahun. b. Rencana Tata Ruang wilayah Proponsi untuk jangka waktu 15 tahun. c. Rencana Tata Ruang wilayah Kabupaten/Kota jangka waktu 10 tahun. (saat ini sedang direvisi akibat berbagai perkembangan dan diberlakukannya undangundang no. 22/1999 tentang Otonomi Daerah yang kemudian direvisi dengan undang-undang 32/2004 mengenai Pemerintah Daerah). Rencana Tata Ruang Wilayah Nasional Rencana Tata Ruang wilayah (RTRW) Nasional merupakan strategi dan arahan kebijaksanaan pemanfaatan ruang wilayah negara. RTRW Nasional berisi:
8
a. Penetapan kawasan lindung, kawasan budidaya, dan kawasan tertentu yang ditetapkan secara nasional. b. Norma dan kriteria pemanfaatan ruang. c. Pedoman pengendalian pemanfaatan ruang. RTRW Nasional menjadi pedoman untuk: a. Perumusan kebijaksanaan pokok pemanfaatan ruang di wilayah nasional. b. Mewujudkan keterpaduan, keterkaitan, dan keseimbangan perkembangan antar wilayah serta keserasian antar sektor. c. Pengarahan lokasi investasi yang dilaksanakan Pemerintah dan atau masyarakat. d. Penataan ruang wilayah Propinsi dan wilayah Kabupaten/Kota. Rencana Tata Ruang Wilayah Propinsi Rencana Tata Ruang wilayah Propinsi merupakan penjabaran strategi dan arahan kebijaksanaan pemanfaatan ruang wilayah nasional ke dalam strategi dan struktur pemanfaatan ruang wilayah Propinsi. RTRW Propinsi berisi: a. Pengelolaan kawasan lindung dan kawasan budidaya. b. Pengelolaan kawasan perdesaan, kawasan perkotaan, dan kawasan tertentu. c. Pengembangan kawasan permukiman, kehutanan, pertanian, pertambangan, perindustrian, pariwisata dan kawasan lainnya. d. Pengembangan sistem pusat permukiman, perdesaan dan perkotaan. e. Pengembangan sistem prasarana wilayah, meliputi transportasi, telekomunikasi, energi, pengairan, dan prasarana pengelolaan lingkungan. f. Pengembagan kawasan yang dipropritaskan. g. Kebijakan tataguna tanah, tata guna air, tata guna udara, dan tata guna sumber daya alam lainnya, serta memperhatikan keterpaduan sumber daya manusia dan sumber daya buatan. RTRW Propinsi menjadi pedoman untuk: a. Perumusan kebijaksanaan pokok pemanfaatan ruang di wilayah Propinsi. b. Mewujudkan keterpaduan, keterkaitan, dan keseimbangan perkembangan antar wilayah Propinsi serta keserasian antar sektor. c. Pengarahan lokasi investasi yang dilaksanakan Pemerintah dan atau masyarakat.
9
d. Penataan ruang wilayah Kabupaten/Kota yang merupakan dasar dalam pengawasan terhadap perizinan lokasi pembangunan. Rencana Tata Ruang wilayah Kabupaten/Kota Rencana Tata Ruang wilayah Kabupaten/Kota merupakan penjabaran Rencana Tata Ruang wilayah Propinsi ke dalam strategi pelaksanaan manfaat ruang wilayah Kabupaten/Kota. RTRW Kabupaten/Kota berisi: a. Pengelolaan kawasan lindung dan kawasan budidaya. b. Pengelolaan kawasan perdesaan, perkotaan, dan kawasan tertentu. c. Sistem kegiatan pembangunan dan sistem permukiman perdesaan dan perkotaan. d. Sistem prasarana transportasi, telekomunikasi, energi, pengairan, dan prasarana pengelolaan lingkungan. e. Penatagunaan sumber daya alam lainnya, serta memperhatikan keterpaduan dengan sumber daya manusia dan sumber daya buatan. RTRW Kabupaten/Kota menjadi pedoman untuk: a. Perumusan kebijaksanaan pokok pemanfaatan ruang di wilayah Kabupaten/ Kota. b. Mewujudkan keterpaduan, keterkaitan, dan keseimbangan perkembangan antar wilayah Kabupaten/Kota serta keserasian antar sektor. c. Penetapan lokasi investasi, yang dilaksanakan Pemerintah dan atau masyarakat di Kabupaten/Kota. d. Penyusunan rencana rinci tata ruang di Kabupaten/Kota. e. Pelaksanaan
pembangunan
dalam
memanfaatkan ruang
bagi
kegiatan
pembangunan. Rencana Tata Ruang Wilayah Kabupaten Bogor (1999-2009) Tujuan penyusunan RTRW Kabupaten Bogor (Badan Perencanaan Pembangunan Daerah Kabupaten Bogor 2000) adalah: 1. Terselenggaranya
pemanfaatan
ruang
wilayah
yang
berkelanjutan
dan
berwawasan linkungan sesuai dengan kemampuan daya dukung dan daya tampung lingkungan hidup serta kebijaksanaan pembangunan nasional dan daerah. 10
2. Terselenggaranya pengaturan pemanfaatan kawasan lindung dan kawasan budidaya di perkotaan, kawasan perdesaan, dan kawasan tertentu yang ada di daerah. 3. Terwujudnya keterpaduan dalam penggunaan sumberdaya alam dan sumberdaya buatan dengan memperhatikan sumberdaya manusia. 4. Terwujudnya masyarakat yang sejahtera. 5. Terwujudnya rencana pemanfaatan ruang Kabupaten Bogor yang serasi dan optimal sesuai dengan kebutuhan dan daya dukung lingkungan serta sesuai pula dengan kebijaksanaan pembangunan nasional dan daerah. Sehubungan dengan pengembangan wilayah JABOTABEK (Jakarta, Bogor, Tangerang, Bekasi) maka RTRW Kabupaten Bogor memiliki kebijaksanaan Tiga fungsi, yakni: 1) Penyangga bagi DKI Jakarta, berupa pengembangan permukiman perkotaan sebagai bagian dalam sistem Metropolitan Jabotabek,
2)
Konservasi,
berkenaan dengan posisi geografisnya di bagian hulu dalam tata air untuk Metropolitan Jabotabek, 3) Pengembangan pertanian khususnya hortikultura, sehubungan dengan perkembangan dan keunggulan yang telah ada, yang selanjutnya makin dipacu. Arahan Pemanfaatan Ruang Kawasan Lindung Kabupaten Bogor (Badan Perencanaan Pembangunan Daerah Kabupaten Bogor 2000) Penetapan kawasan lindung didasarkan atas pola topografi, jenis tanah, pola aliran air (hidrologi), pemanfaatan lahan yang ada, serta berbagai penetapan kawasan lindung.
Khusus kawasan lindung berskala luas diperoleh suatu pola bahwa kawasan
lindung dimaksud terletak di kawasan hulu yaitu bagian selatan wilayah Kabupaten Bogor (yang merupakan hulu mayor/utama). tentang Pengelolaan
Berdasarkan Keppres No. 32/1990
Kawasan Lindung, maka bentuk kawasan lindung mencakup
hutan lindung dan hutan suaka alam/taman nasional. Sementara untuk kawasan hulu minor (Kompleks Gunung Manceuri, dan Kompleks Gunung Hambalang) arahan pemanfaatan adalah budidaya terbatas, yaitu terutama berupa hutan produksi. Bentukbentuk kawasan lindung lainnya adalah kawasan perlindungan setempat (sempadan sungai, sempadan situ/danau), kawasan cagar budaya, dan kawasan bencana alam.
11
Arahan Pemanfaatan Ruang Kawasan Budidaya Kabupaten Bogor (Badan Perencanaan Pembangunan Daerah Kabupaten Bogor 2000) 1. Kawasan Hutan Produksi Kawasan hutan produksi selain mempunyai fungsi produksi juga berperan sebagai pendukung untuk konservasi. 2. Kawasan Pertanian a. Kawasan pertanian lahan basah (sawah dan tambak). b. Kawasan pertanian lahan kering (kebun campuran dan tegalan). c. Kawasan tanaman tahunan/perkebunan (selain berfungsi produksi diharapkan juga sebagai pendukung konservasi). 3. Kawasan Pertambangan Kawasan ini sangat terkait dengan deposit bahan tambang yang dieksploitasi. Bentuknya mencakup bahan galian C, dan Emas (di Gunung Pongkor). 4. Kawasan Peruntukan Industri Secara
umum
peruntukan
industri
(konsentrasi) dan menyebar (sporadis).
mencakup
industri
mengelompok
Arahan konsentrasi industri adalah
mengikuti konsentrasi industri yang telah ada, seperti di Kecamatan Citeureup, Cileungsi, dan Gunung Putri. Sementara yang tersebar tapi cenderung agak berdekatan terdapat di Kecamatan Cibinong dan Sukaraja. 5. Kawasan Pariwisata Arahan pengembangan kawasan pariwisata terkait dengan pengembangan kegiatan periwisata yang ada dewasa ini dan pengembangan kawasan yang baru. Kawasan ini diarahkan pada wilayah Kecamatan Cisarua, Megamendung, Sukaraja, Pamijahan, Ciomas, Cibungbulang, dan Ciampea. 6. Kawasan Permukiman Kawasan permukiman terdiri atas permukiman perkotaan dan perdesaan. Secara prinsip permukiman perkotaan dominan non pertanian, sementara kawasan perdesaan dominan kegiatan pertanian. Rencana Tata Ruang Wilayah Kota Bogor (Tahun 1999-2009) Tujuan penyusunan RTRW Kota Bogor (Badan Perencanaan Pembangunan Daerah Kota Bogor 2000) adalah:
12
1. Meningkatkan fungsi dan peranan Kota Bogor dalam konteks dan konstelasi regional serta mampu berfungsi sebagai sub pusat dalam sistem pengembangan regional (Tingkat Provinsi dan Jabotabek). 2. Menciptakan kelestarian lingkungan permukiman dan kegiatan kota yang merupakan usaha menciptakan hubungan yang serasi antar manusia dan lingkungannya, yang tercermin dari pola intensitas penggunaan ruang kota. 3. Meningkatkan daya guna dan hasil guna pelayanan, dengan mengembangkan fasilitas, sarana maupun prasarana yang merupakan upaya pemanfaatan ruang secara optimal. Hal ini tercermin dalam penentuan jenjang pelayanan kegiatankegiatan kota dan sistem jaringan jalan kota. 4. Memberikan kepastian hukum dalam hal pemanfaatan ruang yang merangsang partisipasi investor dalam mengembangkan potensi yang ada. 5. Mengarahkan pembangunan kota yang lebih tegas dalam rangka upaya pengendalian, pengawasan perencanaan pembangunan fisik kota baik kualitas maupun kuantitasnya. 6. Membantu
penetapan prioritas pengembangan kota dan memudahkan
penyusunan Rencana Detail Tata Ruang Kota disetiap kecamatan untuk dijadikan pedoman bagi tertib pengaturan ruang. Sebagai bagian yang integral dalam wilayah
Jabotabek maka Kota Bogor
diarahkan sebagai: (1) Kota yang difungsikan sebagai Counter Magnet bagi perkembangan DKI Jakarta,
(2) Pusat Kegiatan Wilayah (PKW) dengan kegiatan
utama perdagangan regional, jasa, permukiman dan industri dengan kapasitas tampung mencapai 1.5 juta jiwa pada tahun 2005, dan (3) Kota yang dapat membantu DKI Jakarta dalam pengendalian banjir melalui pembangunan sodetan Ciliwung–Cisadane. Rencana Penggunaan Lahan Kota Bogor (Badan Perencanaan Pembangunan Daerah Kota Bogor 2000) Secara umum rencana penggunaan lahan Kota Bogor diklasifikasikan menjadi Kawasan Lahan Terbangun, Kawasan Belum Terbangun dan Kawasan Lahan yang Tidak Boleh Dibangun atau Lahan Konservasi. 1. Kawasan Lahan Terbangun Kawasan lahan terbangun terdiri dari pemanfaatan lahan permukiman, pendidikan,
peribadatan,
kesehatan,
perdagangan
dan
jasa,
industri, 13
perkantoran/pemerintahan,
rumah
potong
hewan/pasar
hewan,
Instalasi
Pengolahan Air Limbah (IPAL), terminal/sub-terminal dan stasiun kereta api serta jalan. 2. Kawasan Lahan Belum Terbangun Kawasan lahan belum terbangun terdiri dari jenis pemanfaatan lahan pertanian dan kebun campuran. 3. Kawasan Lahan Tidak Boleh Dibangun/Lahan Konservasi Kawasan konservasi terdiri dari kebun raya, hutan kota, taman dan jalur hijau, kawasan hijau, lapangan olah raga, daerah aliran sungai serta situ-situ alami maupun buatan. Land Rent Land rent dapat diartikan sebagai pendapatan bersih yang diterima suatu bidang lahan per satuan luas dalam waktu tertentu sebagai akibat dilakukannya kegiatan ekonomi pada lahan tersebut.
Land rent umumnya bervariasi menurut kondisi fisik
dan aktivitas sosial ekonomi pada lahan tersebut. Kondisi fisik lahan seperti topografi, jenis tanah, vegetasi, iklim dan lain-lain merupakan faktor -faktor pembatas dalam menentukan aktivitas pemanfaatan suatu lahan untuk tujuan produksi.
Sedangkan
tingkat kepadatan penduduk dan tingginya interaksi spasial antar wilayah merupakan bagian dari faktor sosial ekonomi yang berpengaruh terhadap land rent. Land rent dapat dibedakan menjadi ricardian rent, location rent, dan environment rent. Rustiadi et al. (2005) mengemukakan, ricardian rent adalah rent yang timbul sebagai akibat dari kualitas dan daya dukung fisik (faktor intrinsik) lahan. Nilai intrinsik yang terkandung dalam sebidang lahan seperti kesuburan dan topografi merupakan keunggulan produktifitas dari lahan lain. Location rent adalah rent atau surplus yang timbul sebagai akibat lokasi/jarak suatu lahan relatif terhadap suatu kegiatan tertentu (konsep Charles Trobout). Environmental rent adalah rent yang timbul karena pada dasarnya setiap bidang lahan mempunyai fungsi ekologis. Jika penggunaan lahan tersebut mengganggu fungsi ekologis, maka akan terjadi biaya sosial yang ditanggung oleh orang lain. Misalnya salah satu persyaratan tata kota yang baik adalah suplai air, karena itu intensitas penutupan vegetasi lahan di daerah peresapan air harus tinggi untuk meningkatkan penyerapan air, karena jika faktor -faktor lain tetap, maka peresapan air tergantung pada intensitas penutupan vegetasi.
14
Penutupan dan Penggunaan Lahan Lahan adalah suatu lingkungan fisik yang meliputi tanah, iklim, relief, hidrologi dan vegetasi, dimana faktor-faktor tersebut mempengaruhi potensi penggunaannya. Termasuk di dalamnya akibat-akibat kegiatan manusia, baik pada masa lalu maupun sekarang, seperti reklamasi daerah-daerah pantai, penebangan hutan, dan akibat-akibat yang merugikan seperti erosi dan akumulasi garam.
Faktor-faktor sosial ekonomi
secara murni tidak termasuk dalam konsep lahan ini. Penggunaan lahan secara umum (major kinds of land use) adalah penggolongan penggunaan lahan secara umum seperti pertanian tadah hujan, pertanian beririgasi, padang rumput, kehutanan, atau daerah rekreasi. Penggunaan lahan secara umum biasanya digunakan untuk evaluasi lahan secara kualitatif atau dalam survai tinjau (reconnaissance ) (Hardjowigeno dan Widiatmaka 2001). Saefulhakim (1994) mengemukakan, bahwa lahan terkait dengan karakteristik fisik lahan seperti kemiringan (slope), pola drainase, resiko banjir, bencana erosi, lokasi, dan tempat tumbuh tanaman. Lahan dalam pengertian yang lebih luas termasuk yang telah dipengaruhi oleh berbagai aktivitas flora, fauna, dan manusia di masa lalu maupun di masa kini. Penutupan lahan (land cover) dan penggunaan lahan (land use) merupakan dua istilah yang digunakan untuk memberikan gambaran tentang kondisi permukaan bumi. Menurut Marsh (1991) diacu dalam Saefulhakim (1994), penutupan lahan diartikan sebagai bahan-bahan dari vegetasi dan fondasi yang menutup tanah, sedangkan penggunaan lahan (land use) dianalogkan dengan aktivitas manusia di atas lahan dalam upaya memenuhi kebutuhannya. Disamping itu, penggunaan lahan dapat pula diartikan sebagai aktivitas manusia
yang mencirikan suatu daerah sebagai daerah pertanian,
industri dan permukiman. Arsyad (2000) mengemukakan, bahwa penggunaan lahan diartikan sebagai bentuk intervensi (campur tangan) manusia terhadap lahan dalam rangka memenuhi kebutuhan hidupnya baik materiil maupun spiritual.
Penggunaan lahan dapat
dikelompokkan ke dalam dua golongan besar yaitu penggunaan lahan pertanian dan penggunaan lahan bukan pertanian. Penggunaan lahan pertanian itu sendiri dibedakan berdasarkan penyediaan air dan komoditi yang diusahakan, dimanfaatkan atau yang terdapat di atas lahan tersebut.
Berdasarkan hal ini dikenal macam penggunaan lahan
15
seperti tegalan, sawah, kebun kopi, kebun karet, padang rumput, hutan produksi, hutan lindung, padang alang-alang, dan sebagainya. Menurut Saefulhakim dan Nasoetion (1995), penggunaan lahan merupakan suatu proses yang dinamis, perubahan yang terus menerus sebagai hasil dari perubahan pola dan besarnya aktivitas manusia sepanjang waktu, sehingga masalah yang berkaitan dengan lahan merupakan masalah yang kompleks. Rustiadi et al. (2005) mengemukakan bahwa penutupan lahan dan penggunaan lahan dapat memiliki pengertian yang sama untuk hal-hal tertentu, namun sebenarnya mengandung penekanan yang berbeda. Penutupan lahan (land cover) lebih bernuansa fisik, sedangkan penggunaan lahan (land use) menyangkut aspek aktivitas pemanfaatan oleh manusia. Istilah pemanfaatan lahan (ruang) dan penggunaan lahan sering juga memiliki pengertian yang saling dipertukarkan.
Istilah penggunaan lahan didasarkan atas
pertimbangan efektifitas atau kemampuan/kesesuaian lahan.
Sedangkan istilah
pemanfaatan ruang le bih didasarkan atas pertimbangan efisiensi atau berhubungan dengan keuntungan, jadi pemanfaatan ruang bisa dilakukan untuk suatu aktifitas produksi yang sesuai dengan kemampuan/kesesuaian lahan dan bisa juga tidak sesuai dengan kemampuan/kesesuaian lahan. Perubahan Penggunaan Lahan Perubahan penggunaan lahan dapat di artikan sebagai suatu proses pilihan pemanfaatan ruang guna memperoleh manfaat yang optimum, baik untuk pertanian maupun non pertanian.
Menurut Saefulhakim (1999) secara umum struktur yang
berkaitan dengan perubahan penggunaan lahan dapat dikelompokkan menjadi tiga, yakni: (1) struktur permintaan atau kebutuhan lahan, (2) struktur penawaran atau ketersediaan lahan, dan (3) struktur penguasaan teknologi yang berdampak pada produktifitas sumber daya alam. Secara umum, struktur permintaan atau kebutuhan lahan dapat dikelompokkan menjadi tiga kelompok utama, yakni: (1) deforestasi baik ke arah pertanian maupun non-pertanian, (2) konversi lahan pertanian ke non-pertanian, (3) penelantaran lahan. Aspek permintaan lahan memiliki keterkaitan dengan kebijakan dan program pemerintah untuk meningkatkan efisiensi sosial ekonomi, industri dan kelembagaan, penurunan tingkah laku spekulatif dan pengontrolan peningkatan jumlah penduduk.
16
Penawaran sumberdaya lahan/ketersediaan lahan memiliki keterbatasan yakni luasan permukaan yang tetap dan kualitas lahan yang bervariasi serta penyebarannya secara spasial tidak merata, hal tersebut menyebabkan penawaran penggunaan lahan bersifat inelastik terhadap besarnya permintaan akan lahan.
Hal lain yang juga
berpengaruh terhadap penawaran sumberdaya lahan adalah penggunaan lahan saat ini. Penggunaan lahan untuk permukiman, industri dan fasilitas sosial ekonomi memiliki elastisitas yang rendah untuk berubah. Sedangkan penggunaan lahan untuk pertanian, kehutanan dan perkebunan memiliki elastisitas yang lebih tinggi untuk berubah ke penggunaan lainnya. Hal ini disebabkan perbedaan efisiensi dalam penggunaan lahan, dimana penggunaan lahan untuk permukiman dan fasilitas sosial memiliki efisiensi lebih tinggi dibandingkan penggunaan lahan pertanian dan kehutanan. Struktur penguasaan teknologi berkaitan langsung dengan produktivitas lahan. Penggunaan teknologi yang tepat dan benar akan memberikan manfaat atau produksi yang maksimum.
Produktivitas lahan dengan teknologi yang tepat akan mampu
menurunkan ketergantungan terhadap ekstensifikasi usahatani dan upaya meningkatkan produksi pertanian. Alih fungsi lahan berskala luas maupun kecil seringkali memiliki permasalahan klasik berupa: (1) efisiensi alokasi dan distribusi sumberdaya dari sudut ekonomi, (2) keterkaitannya dengan masalah pemerataan dan penguasaan sumberdaya, serta (3) keterkaitannya dengan proses degradasi dan kerusakan sumberdaya alam dan lingkungan hidup. Ketiga masalah di atas memiliki keterkaitan yang sangat erat antara satu dengan yang lainnya, sehingga permasalahan-permasalahan tersebut tidak bersifat independen dan tidak dapat dipecahkan dengan pendekatan-pendekatan yang parsial namun memerlukan pendekatan-pendekatan yang integratif (Rustiadi et al. 2005). Klasifikasi Penutupan Lahan Kondisi penutupan lahan dapat berbeda dari satu lokasi ke lokasi yang lain dan dapat berubah dari waktu ke waktu. Salah satu upaya untuk mengenali/membedakan kondisi te rsebut guna mengetahui perubahan yang terjadi adalah dengan melakukan klasifikasi yang umumnya disesuaikan dengan kebutuhan. Penutupan lahan di kawasan Jabotabek dapat diklasifikasikan menjadi 5 klasifikasi penutupan lahan (Lembaga Penelitian IPB 2002), yakni: Badan air, Hutan dan Vegetasi Lebat, Tanaman Pertanian Lahan Basah (TPLB), dan Tanaman Pertanian
17
Lahan Kering (TPLK). Badan Air merupakan area penutupan lahan berupa air yang memiliki fungsi utama konservasi. Hutan dan vegetasi lebat merupakan area penutupan lahan berupa vegetasi dengan tajuk rapat, dan memiliki kemampuan daya resap air hujan serta tidak memiliki bentuk/pola tertentu. TPLB merupakan penutupan lahan berupa vegetasi/air yang memiliki fungsi utama budidaya dan memiliki bentuk dengan pola tertentu serta teridentifikasi sebagai sawah/tambak.
TPLK merupakan area
penutupan lahan berupa vegetasi tidak rapat yang memiliki fungsi utama budidaya dan memiliki bentuk/pola tertentu
serta teridentifikasi sebagai tegal, kebun campuran,
rumput semak, belukar. Sistem Informasi Geografi (SIG) SIG adalah suatu sistem berdasarkan komputer yang mempunyai kemampuan untuk menangani data yang bereferensi geografi yang mencakup (a) pemasukan, (b) manajemen data (penyimpanan data dan pemanggilan lagi), (c) manipulasi dan analisis, (d) pengembangan produk dan pencetakan (Aronof 1989 diacu dalam Barus dan Wiradisastra 2000). Definisi lain mengatakan, SIG adalah sistem komputer yang digunakan untuk mengumpulkan, memeriksa, mengintegrasikan, dan menganalisa informasi-informasi yang berhubungan dengan permukaan bumi (Demers 1997 diacu dalam Prahasta 2002). Komponen SIG SIG di dalam prosesnya memiliki beberapa komponen utama (Prahasta 2002), yakni: a. Data Input Subsistem ini bertugas untuk mengumpulkan dan mempersiapkan data spasial dan atribut dar i berbagai sumber. Subsistem ini pula yang bertanggungjawab dalam mengkonversi atau mentransformasikan format-format data-data aslinya ke dalam format yang dapat digunakan oleh SIG. b. Data Output Subsistem ini menampilkan atau menghasilkan keluaran seluruh atau sebagian basisdata baik dalam bentuk softcopy maupun bentuk hardcopy seperti: tabel, grafik, peta, dan lain lain.
18
c. Data Management Subsistem ini mengorganisasikan ba ik data spasial maupun atribut ke dalam sebuah basisdata sedemikian rupa sehingga mudah dipanggil, di-update, dan di-edit.
d. Data Manipulation dan Analysis Subsistem ini menentukan informasi-informasi yang dapat dihasilkan oleh SIG. Selain itu, subsistem ini juga melakukan manipulasi dan pemodelan data untuk menghasilkan informasi yang diharapkan. Fungsi Analisis Kemampuan SIG dapat juga dikenali dari fungsi-fungsi analisis yang dapat dilakukannya. Secara umum, terdapat dua jenis fungsi analisis, yakni: fungsi analisis spasial dan fungsi analisis atribut (Prahasta 2002). 1. Fungsi analisis spasial a. Klasifikasi dan Reklasifikasi (classify and reclassify) Fungsi ini mengklasifikasikan atau mengklasifikasikan kembali suatu data spasial (atau atribut) menjadi data spasial yang baru dengan menggunakan kriteria tertentu. Misalnya, dengan menggunakan data spasial ketinggian permukaan bumi (topografi), dapat diturunkan data spasial kemiringan atau gradien permukaan bumi yang dinyatakan dalam persentase nilai-nilai kemiringan. Nilai-nilai persentase kemiringan ini dapat diklasifikasikan hingga menjadi data spasial baru yang dapat digunakan untuk merancang perencanaan pengembangan suatu wilayah. Adapun contoh kriteria yang digunakan adalah 0-14% untuk pemukiman, 15-29% untuk pertanian dan perkebunan, 30-44% untuk hutan produksi, dan 45% ke atas untuk hutan lindung dan taman nasional. Contoh lain dari manfaat analisis spasial ini adalah untuk mendapatkan data spasial kesuburan tanah dar i data spasial kadar air atau kedalaman air tanah, kedalaman efektif, dan sebagainya. b. Network Fungsi ini merujuk data spasial titik-titik (point) atau garis -garis (lines) sebagai suatu jaringan yang tidak terpisahkan.
Fungsi ini sering digunakan dalam bidang-
bidang transportasi dan utility (misalnya aplikasi jaringan kabel listrik, komunikasi, pipa minyak dan gas, air minum, saluran pembuangan). Sebagai contoh, dengan fungsi analisis spasial network , untuk menghitung jarak terdekat antara dua titik tidak
19
menggunakan selisih absis dan ordinal titik awal dan titik akhirnya ,
teta pi
menggunakan cara lain yang terdapat di dalam lingkup network , yakni cari seluruh kombinasi jalan-jalan (segmen-segmen) yang menghubungkan titik awal dan titik akhir yang dimaksud. Pada setiap kombinasi, hitung jarak titik awal dan akhir dengan mengakumulasikan jarak-jarak segmen-segmen yang membentuknya. Pilih jarak terpendek (terkecil) dari kombinasi-kombinasi yang ada (Prahasta 2002). c. Overlay (Tumpang susun) Fungsi ini menghasilkan data spasial baru dari minimal dua data spasial yang menjadi masukkannya. Sebagai contoh, bila untuk menghasilkan wilayah-wilayah yang sesua i untuk budidaya tanaman tertentu (misalnya padi) diperlukan data ketinggian permukaan bumi, kadar air tanah, dan jenis tanah, maka fungsi analisis spasial overlay akan dikenakan terhada p ketiga data spasial (dan atribut) tersebut. d. Buffering Fungsi ini akan menghasilkan data spasial baru yang berbentuk poligon atau zone dengan jarak tertentu dari data spasial yang menjadi masukannya.
Data spasial
titik akan menghasilkan data spasial baru yang berupa lingkaran-lingkaran yang mengelilingi titik -titik pusatnya. Untuk data spasial garis akan menghasilkan data spasial baru yang berupa poligon-poligon yang melingkupi garis-garis. Demikian pula untuk data spasial poligon, akan menghasilkan data spasial baru yang berupa poligonpoligon yang lebih besar dan konsentris. e. 3D analysis Fungsi ini terdiri dari sub-sub fungsi yang berhubungan dengan presentasi data spasial dalam ruang 3 dimensi. Fungsi analisis spasial ini banyak menggunakan fungsi interpolasi. Sebagai contoh, untuk mena mpilkan data spasial ketinggian, tataguna tanah, jaringan jalan dan utility dalam bentuk model 3 dimensi, fungsi analisis ini banyak digunakan. f. Fungsi Pengolahan Citra Digital (Digital Image Processing) Fungsi ini dimiliki oleh perangkat SIG yang berbasiskan raster. Karena data spasial permukaan bumi (citra digital) banyak didapat dari perekaman data satelit yang berformat raster, maka banyak SIG raster yang juga dilengkapi dengan fungsi analisis ini. Fungsi analisis spasial ini terdiri dari banyak sub-sub fungsi analisis pengolahan citra digital. Sebagai contoh adalah sub fungsi untuk koreks i radiometrik, geometrik,
20
filtering, clustering dan sebagainya. Dan masih banyak fungsi-fungsi analisis spasial lainnya yang umum dan secara rutin digunakan di dalam SIG . 2. Fungsi analisis atribut terdiri dari: a. Operasi dasar basisdata mencakup: •
Membuat basisdata baru (create database).
•
Menghapus basisdata (drop database).
•
Membuat tabel basisdata (create table).
•
Menghapus tabel basisdata (drop table).
•
Mengisi dan menyis ipkan data (record) ke dala m tabel (insert).
•
Membaca dan mencari data (field atau record) dari tabel basisdata (seek, find, search, retrieve).
•
Mengubah dan meng-edit data yang terdapat di dalam tabel basisdata (update)
•
Menghapus data dari tabel basisdata (delete, zap, pack).
•
Membuat indeks untuk setiap tabel basisdata. b. Perluasan operasi basisdata mencakup:
•
Membaca dan menulis basisdata dalam sistem basisdata yang lain (export dan import).
•
Dapat berkomunikasi dengan sistem basisdata yang lain.
•
Dapat menggunakan bahasa basisdata standard SQL (structured query language).
•
Operasi-operasi atau fungsi analisis lain yang sudah rutin digunakan di dalam sistem basisdata. Berdasarkan beberapa definisi dan fungsi
analisis SIG di atas, maka dapat
dikatakan bahwa SIG merupakan teknologi informasi berbasis komputer yang bukan hanya semata-mata sebagai alat bantu pemetaan saja, tetapi memiliki kemampuan dalam melakukan analisis, prediksi, pemodelan dan pengolahan data atribut.
21