7
TINJAUAN PUSTAKA Konsep Wilayah Wilayah menurut UU No. 26 tahun 2007 adalah ruang yang merupakan kesatuan geografis beserta segenap unsur yang terkait yang batas dan sistemnya ditentukan berdasarkan aspek administratif dan atau aspek fungsional. Sementara menurut Rustiadi et al. (2009), wilayah didefinisikan sebagai unit geografis dengan batas-batas yang spesifik (tertentu) dimana bagian-bagian dari wilayah tersebut (sub wilayah) satu sama lain saling berinteraksi secara fungsional. Dari definisi tersebut, terlihat bahwa tidak ada batasan yang spesifik dari luasan suatu wilayah. Batasan yang ada lebih bersifat “meaningful’, baik untuk perencanaan, pelaksanaan, monitoring, pengendalian, maupun evaluasi.
Dengan demikian, batasan wilayah
tidaklah selalu bersifat fisik dan pasti tetapi seringkali bersifat dinamis. Konsep wilayah yang paling klasik (Hagget et al. 1977) mengenai tipologi wilayah, membagi wilayah dalam tiga kategori, yaitu: (1) wilayah homogen (uniform/homogenous region); (2) wilayah nodal (nodal region); dan (3) wilayah perencanaan (planning region atau programming region). Wilayah homogen adalah wilayah yang dibatasi berdasarkan pada kenyataan bahwa faktor-faktor dominan pada wilayah tersebut bersifat homogen, sedangkan faktor-faktor yang tidak dominan dapat beragam (heterogen). Pada dasarnya terdapat beberapa faktor penyebab homogenitas wilayah. Secara umum terdiri atas penyebab alamiah dan penyebab non alamiah. Faktor alamiah yang dapat menyebabkan homogenitas wilayah adalah kelas kemampuan lahan, iklim, dan berbagai faktor lainnya. Sedangkan homogenitas yang bersifat non alamiah didasarkan pada pengklasifikasian berdasarkan aspek tertentu yang dibuat oleh manusia. Contoh wilayah homogen non alamiah adalah wilayah homogen atas dasar kemiskinan (peta kemiskinan).
8
Menurut Rustiadi et al. (2009), pemahaman tentang wilayah dapat dilihat pada Gambar 2, dimana wilayah dibagi menjadi tiga yaitu wilayah homogen, wilayah sistem/fungsional, dan wilayah perencanaan/pengolahan. Berdasarkan gambar tersebut terlihat bahwa wilayah merupakan suatu sistem yang mempunyai keterkaitan fungsional yang berbeda. Pendekatan perencanaan pengembangan wilayah di Indonesia sering kali lebih didasarkan pada aspek administrasi – politik dibandingkan aspek keterkaitan wilayah sebagai sebuah sistem.
Nodal (pusat - hinterland )
Sistem Sederhana
Desa - Kota
Budidaya - Lindung Homogen Sistem ekologi : DAS, hutan, pesisir
Wilayah
Sistem/ Fungsional
Sistem ekonomi : Agropolitan, kawasan produksi, kawasan industri
Sistem Komplek
Sistem Sosial – Politik : cagar budaya, wilayah etnik Umumnya disusun/dikembangkan berdasarkan: Perencanaan/ Pengelolaan
Gambar 2. Kerangka Klasifikasi Konsep Wilayah
Konsep homogen/fungsional: KSP, KATING, dan sebagainya Administrasi-politik: propinsi, Kabupaten, Kota
9
Disparitas Pembangunan Definisi pembangunan oleh para ahli dapat bermacam-macam, namun secara umum bahwa pembangunan merupakan proses untuk melakukan perubahan. Secara sederhana menurut Riyadi dan Bratakusumah (2004), pembangunan diartikan sebagai suatu upaya untuk melakukan perubahan menjadi lebih baik, sedangkan menurut Saefulhakim (2008) pembangunan merupakan perubahan terencana (planned changes). Artinya bahwa suatu perubahan dapat dikatakan pembangunan manakala proses perencanaan memberikan kontribusi penting terhadap perubahan tersebut, sehingga perubahan tanpa perencanaan tidak dapat dikatakan sebagai pembangunan. Rustiadi et al. (2009) berpendapat bahwa secara filosofis suatu proses pembangunan dapat diartikan sebagai upaya yang sistematik dan berkesinambungan, untuk menciptakan keadaan yang dapat menyediakan berbagai alternatif yang sah bagi pencapaian aspirasi setiap warga yang paling humanistik. Selanjutnya Todaro (2003) dalam Rustiadi et al. (2009) menyatakan bahwa pembangunan harus dipandang sebagai suatu proses multidimensional yang mencakup berbagai perubahan mendasar atas struktur sosial, sikap-sikap masyarakat,
dan institusi-
institusi nasional, disamping tetap mengejar akselerasi pertumbuhan ekonomi, penanganan ketimpangan pendapatan, serta pengentasan kemiskinan. Pembangunan berbasis pengembangan wilayah memandang pentingnya keterpaduan antar sektoral, spasial, serta pelaku pembangunan di dalam maupun antar daerah. Keterpaduan sektoral menuntut adanya keterkaitan fungsional dan sinergis antar sektor pembangunan sehingga setiap program pembangunan sektoral selalu dilaksanakan dalam kerangka pembangunan wilayah (Rustiadi et al. 2009). Namun demikian seringkali pembangunan wilayah yang dilaksanakan tidak merata, baik antar sektor maupun antar wilayah sehingga mengakibatkan terjadinya kesenjangan atau disparitas pembangunan antar wilayah.
10
Secara makro dapat dilihat terjadinya ketimpangan pembangunan yang nyata misalnya antara desa-kota, antara wilayah Indonesia Timur dan Indonesia Barat, wilayah Jawa dan luar Jawa, dan sebagainya. Menurut Rustiadi et al. (2009) faktorfaktor utama yang menyebabkan terjadinya disparitas tersebut adalah sebagai berikut: Tabel 1. Faktor utama penyebab ketimpangan Faktor
Indikator
Geografi
Topografi, Iklim, Curah Hujan, Sumber Daya Mineral, dll.
Sejarah
Bentuk kelembagaan atau kebudayaan masa lalu
Politik
Stabil atau tidak stabilnya
Kebijakan
Sentralistik atau desentralistik
Administratif
Administrasi yang baik (efisien, jujur, terpelajar, terlatih ) atau bukan
Sosial
Masyarakat tertinggal atau maju
Ekonomi
Kuantitas dan kualitas faktor produks (contoh ; lahan, infrastruktur, tenaga kerja), akumulasi berbagai faktor (contoh; lingkaran kemiskinan, standar hidup rendah), pasar bebas (contoh; speread effect dan backwash effect), distorsi pasar (contoh; immobilitas, kebijakan harga, keterbatasan spesialisasi)
Sumber : Rustiadi et al. (2009) 1. Faktor geografis Suatu wilayah atau daerah yang sangat luas akan terjadi variasi pada keadaan fisik alam berupa topografi, iklim, curah hujan, sumberdaya mineral dan variasi spasial lainnya. Apabila faktor-faktor lainnya baik dan ditunjang dengan kondisi geografis yang baik, maka wilayah tersebut akan berkembang dengan lebih baik. 2. Faktor historis Perkembangan masyarakat dalam suatu wilayah tergantung dari kegiatan atau budaya hidup yang telah dilakukan masa lalu. Bentuk kelembagaan atau budaya dan kehidupan perekonomian pada masa lalu merupakan penyebab yang cukup penting terutama yang terkait dengan sistem insentif terhadap kapasitas kerja.
11
3. Faktor politis Tidak stabilnya suhu politik sangat mempengaruhi perkembangan dan pembangunan di suatu wilayah. Instabilitas politik akan menyebabkan orang ragu untuk berusaha atau melakukan investasi sehingga kegiatan ekonomi di suatu wilayah tidak akan berkembang. Bahkan terjadi pelarian modal ke luar wilayah, untuk diinvestasikan ke wilayah yang lebih stabil. 4. Faktor kebijakan Terjadinya kesenjangan antar wilayah bisa diakibatkan oleh kebijakan pemerintah. Kebijakan pemerintah yang sentralistik hampir di semua sektor, dan lebih menekan pertumbuhan dan membangun pusat-pusat pembangunan di wilayah tertentu menyebabkan kesenjangan yang luar biasa antar daerah. 5. Faktor administratif Kesenjangan wilayah dapat terjadi karena kemampuan pengelola administrasi. Wilayah yang dikelola dengan administrasi yang baik cenderung lebih maju. Wilayah yang ingin maju harus mempunyai administrator yang jujur, terpelajar, terlatih, dengan sistem administrasi yang efisien. 6. Faktor sosial Masyarakat dengan kepercayaan-kepercayaan yang primitif, kepercayaan tradisional dan nilai-nilai sosial yang cenderung konservatif dan menghambat perkembangan ekonomi.
Sebaliknya masyarakat yang relatif maju umumnya
memiliki institusi dan perilaku yang kondusif untuk berkembang. Perbedaan ini merupakan salah satu penyebab kesenjangan wilayah. 7. Faktor Ekonomi. Faktor ekonomi yang menyebabkan kesenjangan antar wilayah yaitu: a) Perbedaan kuantitas dan kualitas dari faktor produksi yang dimiliki seperti: lahan, infrastruktur, tenaga kerja, modal, organisasi dan perusahaan; b) Terkait akumulasi dari berbagai faktor. Salah satunya lingkaran kemiskinan, kemudian kondisi masyarakat yang tertinggal, standar hidup rendah, efisiensi rendah,
konsumsi
rendah,
pengangguran meningkat.
tabungan
rendah,
investasi
rendah,
dan
Sebaliknya diwilayah yang maju, masyarakat
12
maju, standar hidup tinggi, pendapatan semakin tinggi, tabungan semakin banyak yang pada akhirnya masyarakat semakin maju; c) Kekuatan pasar bebas telah mengakibatkan faktor-faktor ekonomi seperti tenaga kerja, modal, perusahaan dan aktifitas ekonomi seperti industri, perdagangan, perbankan, dan asuransi yang dalam ekonomi maju memberikan hasil yang lebih besar, cenderung terkosentrasi di wilayah maju; d) Terkait dengan distorsi pasar, kebijakan harga, keterbatasan spesialisasi,
keterbatasan ketrampilan tenaga kerja dan sebagainya. Di Indonesia faktor-faktor penyebab terjadinya ketimpangan ekonomi antar provinsi atau wilayah menurut Tambunan (2003) diantaranya adalah sebagai berikut : 1. Konsentrasi Kegiatan Ekonomi Wilayah 2. Alokasi Investasi 3. Tingkat Mobilitas Faktor Produksi yang Rendah Antar Daerah 4. Perbedaan Sumberdaya Alam Antar Provinsi 5. Perbedaan Kondisi Demografis Antar Wilayah 6. Kurang Lancarnya Perdagangan Antar Provinsi
Pendapatan Regional Pendapatan regional sering didefinisikan sebagai nilai produksi barang-barang dan jasa-jasa yang diciptakan dalam suatu perekonomian di dalam suatu wilayah selama satu tahun atau tingkat pendapatan masyarakat pada suatu wilayah analisis (Tarigan, 2007). Tingkat pendapatan regional dapat diukur dari total pendapatan wilayah ataupun pendapatan rata-rata masyarakat pada wilayah tersebut. Beberapa istilah yang sering digunakan untuk menggambarkan pendapatan regional, diantaranya adalah : 1) Produk Domestik Regional Bruto (PDRB), jumlah nilai tambah bruto (gross value added) yang timbul dari seluruh sektor perekonomian di suatu wilayah atau propinsi. Pengertian nilai tambah bruto adalah nilai produksi (output) dikurangi
13
dengan biaya antara (intermediate cost). Komponen-komponen nilai tambah bruto mencakup komponen-komponen faktor pendapatan (upah dan gaji, bunga, sewa tanah dan keuntungan), penyusutan dan pajak tidak langsung neto. Jadi dengan menghitung nilai tambah bruto dari dari masing-masing sektor dan kemudian menjumlahkannya akan menghasilkan produk domestik regional bruto (PDRB). 2) Produk Domestitk Regional Neto (PDRN), PDRN dapat diperoleh dengan cara mengurangi PDRB dengan penyusutan. Penyusutan yang dimaksud disini adalah nilai susut (aus) atau pengurangan nilai barang-barang modal (mesin-mesin, peralatan, kendaraan dan yang lain-lainnya) karena barang modal tersebut dipakai dalam proses produksi. Jika nilai susut barang-barang modal dari seluruh sektor ekonomi dijumlahkan, hasilnya merupakan penyusutan keseluruhan. Tetapi bila PDRN di atas dikurangi dengan pajak tidak langsung neto, maka akan diperoleh PDRN atas dasar biaya faktor. Ada tiga pendekatan untuk menghitung pendapatan regional dengan menggunakan metode langsung (Tarigan, 2007), yaitu: 1. Pendekatan Pengeluaran; cara penentuan pendapatan regional dengan cara menjumlahkan seluruh nilai penggunaan akhir dari barang dan jasa yang diproduksi di dalam negeri. Kalau dilihat dari segi penggunaan maka total penyediaan atau produksi barang dan jasa itu digunakan untuk : konsumsi rumah tangga; konsumsi lembaga swasta yang tidak mencari untung; konsumsi pemerintah; pembentukan modal tetap bruto (investasi); perubahan stok, dan ekspor neto (total ekspor dikurangi dengan total impor). 2. Pendekatan Produksi; perhitungan pendapatan regional berdasarkan pendekatan produksi dilakukan dengan cara menjumlahkan nilai produksi yang diciptakan oleh tiap-tiap sektor produksi yang ada dalam perekonomian. Maka itu, untuk menghitung pendapatan regional berdasarkan pendekatan produksi, maka pertama-tama yang harus dilakukan ialah menentukan nilai produksi yang diciptakan oleh tiap-tiap sektor di atas. Pendapatan regional diperoleh dengan cara menjumlahkan nilai produksi yang tercipta dari tiap-tiap sektor.
14
3. Pendekatan
Penerimaan;
pendapatan
regional
dihitung
dengan
cara
menjumlahkan pendapatan faktor-faktor produksi yang digunakan dalam memproduksi barang-barang dan jasa-jasa. Jadi yang dijumlahkan adalah: upah dan gaji, surplus usaha, penyusutan, dan pajak tidak langsung neto.
Analisis Spasial Perencanaan pembangunan wilayah adalah konsep yang utuh dan menyatu dengan pembangunan wilayah. Secara luas, perencanaan pembangunan wilayah diartikan sebagai suatu upaya merumuskan dan mengaplikasikan kerangka teori ke dalam
kebijakan
ekonomi
dan
program
pembangunan
yang
didalamnya
mempertimbangkan aspek wilayah dengan mengintegrasikan aspek sosial dan lingkungan menuju tercapainya kesejahteraan yang optimal dan berkelanjutan (Nugroho dan Dahuri, 2004). Sedangkan proses perencanaan pembangunan wilayah selalu berhadapan dengan objek-objek perencanaan yang memiliki sifat keruangan (spasial). Oleh karena itu dalam analisis perencanaan wilayah, analisis yang menyangkut objek-objek dalam sistem keruangan (analisis spasial) menjadi sangat penting Rustiadi et al. (2009). Selanjutnya Rustiadi et al. (2009) menyatakan bahwa analisis spasial dipahami secara berbeda antara ilmuan berlatar belakang geografi dengan ilmuwan berlatar belakang sosial (termasuk ekonomi). Perbedaan keduanya bersumber dari perbedaan dalam dua hal, pertama perbedaan pengertian kata spasial atau ruang itu sendiri dan kedua fokus kajiannya. Pandangan geografi, pengertian spasial adalah pengertian yang bersifat rigid (kaku), yakni segala hal yang menyangkut lokasi atau tempat. Anasisis spasial berkembang seiring dengan perkembangan geografi kuantitatif
dan
ilmu
wilayah
(regional
science)
pada
awal
1960-an.
Perkembangannya diawali dengan digunakannya prosedur-prosedur dan teknikteknik kuantitatif (terutama statistik) untuk menganalisis pola-pola sebaran titik, garis, dan
15
area pada peta atau data yang disertai koordinat ruang dua atau tiga dimensi. Pada perkembangannya, penekanan dilakukan pada indigenous features dari ruang geografis pada proses-proses pilihan spasial (spasial choices) dan implikasinya secara spatio-temporal. Di samping perkembangan metode-metode analisis spasial, peranan sistem informasi geografis (SIG) di dalam visualisasi data spasial akhir-akhir ini semakin signifikan. SIG sebagai suatu perangkat alat untuk mengumpulkan, menyimpan, memanggil kembali, mentransformasi dan menyajikan data spasial dari aspek – aspek permukaan bumi, Burrough (1989), dalam Barus & Wiradisastra, (2000). Dari pengertian di atas dapat disimpulkan secara inpilisit menyatakan SIG berkaitan langsung dengan sistem informasi yang berorientasi teknologi otomatis, meskipun tidak menyebutkan secara spesifik apakah harus menggunakan komputer atau tidak. Selanjutnya secara lebih detil Aronoff (1993) mendefinisikan SIG sebagai suatu sistem berdasarkan komputer yang mempunyai kemampuan untuk menangani data yang bereferensi geografis yang mencakup: a. pemasukan; b. manajemen data (penyimpanan dan pemanggilan kembali; 3. manipulasi dan analisis, dan 4. pengembangan produk dan pencetakan. Komponen utama sistem informasi geografis (SIG) terbagi empat kelompok yaitu perangkat keras, perangkat lunak, organisasi (manajemen) dan pemakai. Porsi masing-masing komponen tersebut berbeda dari satu sistem ke system lainnya, tergantung dari tujuan dibuatnya SIG tersebut (Barus dan Wiradisastra, 2000). Sistem informasi geografis (SIG) mempunyai peran penting dalam berbagai aspek kehidupan dewasa ini. Melalui sistem informasi geografis, berbagai macam informasi dapat dikumpulkan, diolah dan dianalisis dan dikaitkan dengan letaknya di muka bumi. Dengan mengembangkan SIG maka informasi yang berkenaan dengan pewilayahan (spasial) dan pemodelannya serta permasalahan spasial dapat dianalisis dengan lebih baik dan sesuai dengan kebutuhan (Prahastra, 2007).
16
Menurut Barus & Wiradisastra (2000), kelebihan sistem informasi geografis (SIG) adalah merupakan alat yang handal untuk menangani data spasial. Dalam SIG, data dipelihara dalam bentuk digital. Data ini lebih padat dibandingkan dalam bentuk peta cetak, tabel dan bentuk konvensional lainnya. Dalam SIG tidak hanya data yang berbeda dapat diintegrasikan, prosedur yang berbeda juga dapat dipadukan. Sebagai contoh, prosdur penanganan data seperti: pengumpulan data, verifikasi data dan pembaharuan data. Prosedur juga dapat diintegrasikan seperti pemisahan operasi menjadi beberapa tahap, misalnya dalam melakukan registrasi lahan maka secara langsung dalam kegiatan tersebut menghasilkan data yang dapat digunakan dalam pemantauan penggunaan lahan, dalam hal ini keduanya berada dalam SIG yang sama. Dalam hal ini SIG digunakan untuk mengecek keakuratan perubahan, zona mana yang kena dampak, dan pada saat yang bersamaan memperbaiki peta dan data tabel yang relevan. Dengan cara ini pemakai mendapatkan lebih banyak informasi baru dan dapat memanipulasinya sesuai dengan spesifikasi yang dibutuhkan. Software yang digunakan untuk melakukan analisis spasial dalam penelitian ini adalah ArcView versi 3.3 yang dikeluarkan ESRI. Fasilitas yang terdapat dalam ArcView versi 3.3 sangat beragam, sementara pada penelitian ini analisis yang digunakan adalah metode overlay. Melalui overlay dapat diketahui hasil interaksi atau gabungan dari beberapa peta sehingga nanti akan menghasilkan satu peta yang menggambarkan luasan atau poligon yang terbentuk dari irisan beberapa peta dan juga menghasilkan gabungan data dari beberapa peta yang saling beririsan.