TINJAUAN PUSTAKA Pada bab ini dijelaskan berbagai tinjauan pustaka yang berkaitan dengan konsep pengembangan ekonomi wilayah, kebocoran wilayah, sistem agribisnis, keunggulan komparatif dan keunggulan kompetitif, kebijakan perdagangan internasional, pembangunan ekonomi berkelanjutan serta tinjauan terdahulu tentang komoditas kayu manis. Selain itu pada bab ini juga dijelaskan parameter, indikator dan spesifikasi model serta peubah-peubah yang berkaitan dengan penelitian ini. Konsep Pengembangan Ekonomi Wilayah Penggunaan istilah pembangunan atau pengembangan oleh sebagian kalangan dianggap sebagai hal yang dapat saling dipertukarkan. Sebutan tersebut sesuai dengan definisi dalam Bahasa Inggris yaitu development. Namun di Indonesia penggunaan istilah pembangunan atau pengembangan berbagai kalangan cenderung pula digunakan secara khusus (Rustiadi et al. 2005). Secara umum pembangunan merupakan proses perubahan dalam banyak aspek kehidupan yang hakekatnya bertujuan untuk memberi perbaikan tingkat kesejahteraan masyarakat ke arah yang lebih baik dan lebih merata, serta dalam jangka panjang agar dapat berlangsung secara berkelanjutan (Anwar, 2005) Selanjutnya Todaro (1998) menjelaskan bahwa pembangunan paling tidak harus memenuhi tiga komponen dasar yang dijadikan sebagai basis konseptual dan pedoman praktis. Komponen yang paling hakiki tersebut yaitu kecukupan makanan (sustenance), memenuhi kebutuhan pokok, meningkatkan rasa harga diri atau jati diri (self-esteem), serta kebebasan (freedom) untuk memilih. Selanjutnya Todaro juga mendefinisikan pembangunan merupakan proses multidimensional yang melibatkan perubahan-perubahan besar dari struktur sosial, sikap mental yang sudah terbiasa dan lembaga-lembaga nasional sebagai akselerator pertumbuhan ekonomi, pengurangan ketimpangan, dan kemiskinan absolut. Rustiadi et al. (2005) dan Anwar (2005) mengemukakan bahwa pada hakekatnya tujuan pembangunan wilayah secara umum, adalah untuk: (i) meningkatkan
produktivitas,
efisiensi
dan
pertumbuhan
(growth);
(ii)
16 meningkatkan pemerataan keadilan, keberimbangan (equity), dan (iii) mendorong keberlanjutan (sustainability). Selanjutnya pembangunan berbasis pengembangan wilayah dan lokal memandang pentingnya keterpaduan antar sektoral, antar spasial (ruang), serta antar pelaku pembangunan di dalam dan antar daerah. Pengembangan wilayah yang baik dicirikan dengan terjadinya keterkaitan antara sektor dalam suatu wilayah dengan baik, dalam arti terjadinya transfer input dan output, barang dan jasa antar sektor secara dinamis, dimana keragaman potensi sumberdaya alam serta aktivitas-aktivitas sosial ekonomi tersebar secara merata dan terjadinya interaksi spasial yang optimal, dalam arti terjadinya struktur keterkaitan antar wilayah yang berlangsung secara dinamis. Dalam pembangunan wilayah, struktur keterkaitan perekonomian wilayah merupakan faktor dasar yang membedakan antara satu wilayah dengan wilayah lainnya. Perbedaan tersebut sangat erat kaitannya dengan kondisi dan potensi suatu wilayah, baik dilihat dari aspek fisik lingkungan, ekonomi, sosial, dan kelembagaan. Oleh sebab itu pembangunan suatu wilayah harus dilihat secara dinamis dan bukan dilihat sebagai konsep yang statis. Selanjutnya memperhatikan perkembangan teori pembangunan ekonomi pasca perang dunia kedua, yang awalnya didominasi oleh pemikiran neoklasik dimana akumulasi kapital merupakan engine pertumbuhan ekonomi suatu negara atau wilayah. Salah satu model yang sering digunakan sebagai rujukannya adalah model Harrod-Domar. Pada tahun 1940-an, Roy Harrod dan Evsey Domar secara terpisah telah membangun suatu model makro dinamis melalui pengembangan teori Keynes. Pada tahun 1950-an dan 1960-an, model ini diaplikasikan untuk perencanaan ekonomi di negara berkembang. Teori ini memang berhasil membangun ekonomi Jerman dan Israel, tetapi useless untuk diterapkan di negara berkembang. Hal ini karena fakta menunjukkan bahwa melakukan pengembangan investasi ternyata tidak cukup untuk bagi peningkatan pembangunan ekonomi (Hayami, 2001). Dalam perspektif perkembangan teori pembangunan ekonomi, terlihat bahwa perkembangannya telah diwarnai oleh berbagai model seperti yang dikembangkan oleh Robert Solow tahun 1956 dan Tom Swan 1956. Dengan menggunakan fungsi produksi neoklasik, Solow 1956 dan Swan 1956 dengan
17 sudut pandang yang sangat berbeda dari model Harrod-Domar kaitannya dengan akumulasi modal dan pertumbuhan ekonomi. Perbedaannya model tersebut terletak pada asumsi fungsi produksi yang digunakan. Pada model Harrod-Domar diasumsikan bahwa rasio kapital dan output bersifat tetap. Asumsi ini berimplikasi bahwa fungsi produksi agregat memiliki bentuk Y = AK, dimana A = 1/c dan bersifat konstan; dan c = K/Y. Sementara Solow-Swan model menggunakan bentuk fungsi produksi neoclassical yakni Y = f(L,K;T); dimana Y adalah output dan L adalah tenaga kerja yang berada dalam tingkat teknologi T (Hayami, 2001). Armstrong dan Taylor (2001) menjelaskan bahwa jika memperhatikan pertumbuhan ekonomi regional dengan menggunakan pendekatan neoklasik yang memperhatikan dari sisi faktor supply seperti pertumbuhan angkatan kerja, pertumbuhan stok modal dan perubahan teknis, dengan kesimpulan utama pendekatan neoklasik dalam menjelaskan disparitas pertumbuhan regional terlihat telah mengesampingkan kontribusi potensial dari faktor-faktor dari sisi permintaan (demand). Untuk menutup kelemahan tersebut, sehingga pendekatan neoklasik telah dimodifikasi dengan mempertimbangkan aspek perdagangan antar wilayah. Dengan demikian modifikasi tersebut telah membuka kemungkinan bahwa perbedaan dalam pertumbuhan regional dapat dijelaskan selain dari sisi supply juga dapat dijelaskan dari sisi demand seperti dari aspek pertumbuhan ekspor regional. Beberapa studi historis tentang pertumbuhan dan pembangunan wilayah berbasis sumberdaya di Amerika Utara misalnya telah melahirkan model berbasis ekspor (export-base model) sebagaimana Armstrong dan Taylor (2001) menjelaskan bahwa riset terbaru dari model tersebut memperhatikan beberapa wilayah khususnya di Amerika Utara Bagian Barat Laut, telah terjadi pertumbuhan “tanpa” dibandingkan “modal dan tenaga kerja yang mengalir ke wilayah ini dalam mengeksploitasi sumberdaya alamnya. Meningkatnya permintaan dunia terhadap sumberdaya alam, maka hubungan transportasi dengan dunia luar sangat diperlukan, sehingga dalam kondisi tersebut integrasi wilayah ke dalam pasar dunia menjadi sangat penting dalam mempengaruhi pertumbuhan ekonomi wilayah.
18 Pada teorema Heckscher-Ohlin dijelaskan bahwa ekspor akan terspesialiasi pada produksi dan komoditas yang menggunakan faktornya yang relatif berlimpah. Wilayah dengan supply bahan baku yang berlimpah akan terspesialisasi pada komoditas intensif misalnya barang semi olahan atau primer (Armstrong dan Taylor 2001). Stimulus terhadap permintaan ekspor memiliki pengaruh multiplier terhadap pendapatan wilayah dan berpengaruh terhadap akselerator investasi. Di sisi lain, lebih tingginya harga faktor produksi akan menarik tenaga kerja dan modal dari wilayah lainnya. Arus masuk tenaga kerja akan meningkatkan permintaan terhadap barang yang diproduksi dan di konsumsi secara lokal, seperti transportasi, jasa personal dan layanan pemerintah. Demikian juga industri-industri subsider yang menyediakan jasa-jasa khusus, dan untuk sektor ekspor juga akan lahir dengan berlangsungnya pertumbuhan ekonomi. Sehingga akan memacu aglomerasi ekonomi lokal serta setiap ekonomi skala internal yang ada pada industri ekspor, dan lebih lanjut lagi akan memicu sektor ekspor dengan menurunkan biaya produksi dan distribusi. Dengan fleksibelnya faktor harga sehingga hukum keunggulan komparatif akan membuat wilayah dapat bertahan melalui realokasi faktor-faktor produktif ke komoditas ekspor. Artinya teori berbasis ekspor dalam bentuk yang lebih luas adalah
merangsang suatu keunggulan atas pendekatan neoklasik yang
penekanannya pada peran dari faktor permintaan tanpa mengesampingkan sisi penawaran dalam perekonomian wilayah. Pendekatan ini di kritisi karena bentuknya yang sederhana dan hanya menjelaskan perkembangan historis wilayah yang tergantung pada ekspor bahan baku. Namun demikian model tersebut telah mampu menjelaskan pentingnya ekspor dalam perekonomian wilayah. Kemudian dalam tesis Kaldor tahun 1970 dijelaskan behwa pertumbuhan output per kapita dari suatu wilayah ditentukan oleh kemampuan suatu wilayah dalam eksploitasi skala ekonomi dengan memanfaatkan spesialisasi. Manfaat ini berhubungan dengan tipe aktivitas produktif dimana suatu wilayah melakukan spesialiasi. Menurut Armstrong dan Taylor (2001) pengembangan dari tesis Kaldor dilakukan oleh Dixon-Thirlwall tahun 1970 difokus pada konstruksi penjelasan Kaldor yang lebih kuat mengenai disparitas pertumbuhan wilayah, dan memberikan
perhatian
khusus
pada
proses
penyebab
kumulatif
yang
19 mempengaruhi pertumbuhan wilayah. Proses penyebab kumulatif tersebut dimasukkan ke dalam model dengan memperhitungkan pengaruh umpan balik (feedback effect) dari pertumbuhan suatu wilayah terhadap kompetitivitas sektor ekspor. Kompetitivitas ini pada gilirannya akan mempengaruhi pertumbuhan output wilayah, yang lebih lanjut akan memberikan pengaruh terhadap produktivitas dan kompetitivitas pada sektor ekspor berikutnya. Armstrong dan Taylor (2001) menjelaskan kunci utama dari model DixonThirlwall adalah dimulai dari pertumbuhan pada produktivitas tenaga kerja. Menurut Kaldor, pertumbuhan produktivitas adalah tergantung pada dua faktor, yaitu kecepatan perubahan teknis dan pertumbuhan rasio modal/tenaga kerja. Produktivitas akan meningkat jika kemajuan teknis meningkat, atau jika rasio modal/tenaga kerja meningkat (melalui investasi pada pabrik dan alat-alat baru). Kondisi tersebut pada gilirannya akan tergantung pada pertumbuhan output, yang dengan sendirinya ditentukan oleh pertumbuhan sektor ekspor. Karena pertumbuhan pada sektor ekspor tergantung pada kompetitivitas relatif terhadap wilayah-wilayah yang memproduksi substitusinya, ini berarti bahwa harga ekspor wilayah relatif terhadap harga barang substitusi yang diproduksi di wilayahwilayah lain, dalam mempengaruhi pertumbuhan sektor ekspor suatu wilayah. Pada poin inilah terjadinya proses sebab akibat, karena harga ekspor wilayah ditentukan sebagian oleh hasil produktivitas. Kemudian Hayami (2001) menjelaskan bahwa model Harrod-Domar menunjukkan pentingnya peranan investasi di dalam proses pertumbuhan ekonomi, sebagaimana ditunjukkan dengan dampak pengganda yang diperoleh, seperti (1) investasi dapat menciptakan pendapatan, dan (2) investasi membesarkan kapasitas produksi perekonomian dengan cara meningkatkan stok modal. Pada bagian pertama disebut sebagai dampak permintaan, dan bagian kedua disebut sebagai dampak penawaran investasi. World Bank (2006) dengan Rural Investment Climate Survey (RICS) menjelaskan
bahwa
usaha
Pemerintah
Indonesia
dalam
mendorong
pengembangan investasi terlihat belum optimal terutama, dalam perbaikan iklim investasi dan kewirausahaan yang berimbang. Dengan lain perkataan bahwa Bank Dunia melihat bahwa dalam kegiatan pembangunan di Indonesia dewasa ini masih
20 ditemui adanya kesenjangan (disparity) terutama dalam pengembangan investasi di perdesaan bila dibandingkan dengan perkotaan. Dari survei tersebut World Bank merekomendasikan perlunya pemerataan dan keberimbangan pembangunan antara perdesaan dan perkotaan di Indonesia terutama dalam meningkatkan keberimbangan investasi. Dari berbagai konsep dasar pengembangan ekonomi wilayah, maka dapat diartikan bahwa pembangunan wilayah pada hakekatnya ditujukan untuk: (i) meningkatkan
produktivitas,
efisiensi
dan
pertumbuhan
(growth),
(ii)
meningkatkan pemerataan keadilan, keberimbangan (equity); dan (iii) mendorong keberlanjutan
(sustainability).
Pencapaiannya
membutuhkan
dukungan
keterkaitan antar sektor, spasial dan antar pelaku pembangunan di dalam dan antar wilayah. Peningkatan pemanfaatan sumberdaya alam, sumberdaya manusia, sumberdaya sosial, dan sumberdaya buatan, perlu dilakukan terutama melalui peningkatan investasi di daerah serta mendorong penggunaan teknologi. Peran Ekspor dalam Pengembangan Ekonomi Wilayah Armstrong dan Taylor (2001) menjelaskan bahwa pengembangan ekonomi regional dengan menggunakan pendekatan neoklasik dalam menjelaskan disparitas pengembangan ekonomi regional terlihat telah mengabaikan kontribusi potensial
faktor-faktor
dari
sisi
permintaan
(demand),
karena
hanya
memperhatikan dari sisi supply seperti angkatan kerja, pertumbuhan stok modal dan perubahan teknis. Untuk menutupi kelemahan model tersebut Armstrong dan Taylor (2001) menjelaskan pengembangan ekonomi regional dapat dimodifikasi oleh Dixon dan Thirlwall dengan aspek perdagangan antar wilayah. Dalam teori basis dijelaskan bahwa kegiatan basis merupakan kegiatan yang bersifat exogenous, artinya tidak terikat pada kondisi internal perekonomian wilayah dan sekaligus berfungsi mendorong pertumbuhan jenis pekerjaan lainnya (Tarigan, 2005). Teori basis ekspor merupakan teori yang paling sederhana dalam model perekonomian wilayah. Teori ini menganggap bahwa adanya dua bagian dalam sistem ekonomi regional, yaitu adanya daerah bersangkutan dan daerah lainnya. Dalam teori tersebut masyarakat diasumsikan sebagai suatu sistem sosial ekonomi yang melakukan perdagangan dengan masyarakat lain di luar batas
21 wilayahnya. Faktor penentu (determinant) pertumbuhan ekonomi dikaitkan secara langsung kepada permintaan barang dari daerah lain di luar batas masyarakat ekonomi regional. Pertumbuhan industri yang menggunakan sumberdaya lokal, termasuk tenaga kerja dan material untuk komoditas ekspor akan meningkatkan kesempatan kerja dan kesempatan masyarakat (Rahardjo, 2005). Aktivitas dalam perekonomian regional digolongkan dalam dua sektor kegiatan yaitu aktivitas basis dan non basis. Kegiatan basis yaitu kegiatan yang melakukan aktivitas yang berorientasi ekspor (barang dan jasa) keluar batas wilayah perekonomian tertentu. Sedangkan kegiatan non basis merupakan kegiatan yang menyediakan barang dan jasa yang dibutuhkan oleh masyarakat yang berada di dalam batas wilayah perekonomian yang bersangkutan, dimana luas lingkup produksi dan pemasaran adalah bersifat lokal (Rahardjo, 2005). Aktivitas basis memiliki peran sebagai penggerak utama (primer mover) dalam pertumbuhan suatu wilayah. Semakin besar ekspor suatu wilayah ke wilayah lain maka akan semakin majunya pertumbuhan wilayah tersebut, demikian sebaliknya. Setiap perubahan yang terjadi pada sektor basis akan menimbulkan efek ganda (multiplier effect) dalam perekonomian regional. Analisis basis ekonomi yaitu berkenaan dengan identifikasi pendapatan basis (Richardson, 1971). Bertambah banyaknya kegiatan basis dalam suatu wilayah, maka semakin mendorong arus pendapatan ke wilayah yang bersangkutan, dan selanjutnya akan menambah permintaan terhadap barang dan jasa di dalam wilayah tersebut, sehingga pada akhirnya akan menimbulkan kenaikan volume kegiatan non basis. Berkurangnya aktivitas basis akan mengakibatkan berkurangnya pendapatan yang mengalir ke dalam suatu wilayah dan akhirnya menyebabkan turunnya permintaan produk dari aktivitas non basis. Walaupun teori basis mengandung kelemahan karena membagi perekonomian regional hanya dalam dua sektor kegiatan, yakni basis dan non basis. Namun teori tersebut sangat bermanfaat sebagai sarana untuk menjelaskan struktur ekonomi suatu wilayah, dan bukan sebagai alat untuk membuat proyeksi jangka pendek atau jangka panjang. Berlangsungnya globalisasi perdagangan yang ditandai dengan semakin terbukanya akses pasar komoditas suatu negara, sehingga makin mendorong
22 ketatnya persaingan antar negara/ wilayah dalam perdagangan komoditas (Arifin et al. 2007). Dalam konteks seperti ini perekonomian suatu wilayah akan diwarnai oleh kemampuan perdagangan (ekspor). Pentingnya ekspor dalam perspektif pengembangan ekonomi wilayah dapat ditunjukkan diantaranya oleh kinerja ekspor. Untuk menganalisis basis ekonomi suatu wilayah, salah satu model yang lazim digunakan diantaranya adalah menggunakan model Location Quotient (LQ) dapat digunakan untuk mengetahui seberapa besar tingkat spesialisasi sektor basis atau unggulan (leading sectors). Selain menggunakan model LQ leading sector juga dapat ditentukan dengan menggunakan analisis model Input-Output (I-O). Dari berbagai konsep ekspor dalam pembangunan ekonomi wilayah, sehingga dapat dipahami bahwa dalam pengembangan ekonomi wilayah terutama dalam kondisi berlangsungnya globalisasi perdagangan, menunjukkan bahwa peran ekspor daerah merupakan komponen strategi yang penting dan perlu terus didorong peningkatannya. Hal ini karena ekspor dapat mempengaruhi pertumbuhan perekonomian wilayah. Artinya ketika ekspor daerah mengalami gangguan, maka keberlanjutan ekonomi wilayah yang bersumber dari ekspor akan mengalami hambatan atau permasalahan.
Keterkaitan antar Sektor dan Multiplier terhadap Ekonomi Wilayah Meningkatkan struktur keterkaitan antar sektor dalam perekonomian dan meningkatkan keseimbangan antar sektor merupakan salah satu strategi yang perlu dilakukan dalam menggerakkan pembangunan ekonomi wilayah. Dalam ekonomi pasar, keterkaitan ekonomi dapat diwujudkan melalui peningkatan keterkaitan antar pelaku ekonomi, seperti dalam melakukan jual beli input produksi. Misalkan produsen rokok membutuhkan input tembakau sebagai bagian dari bahan bakunya, sehingga dalam produksi ia harus membeli tembakau dari petani tembakau. Sedangkan petani tembakau jika ingin meningkatkan output, membutuhkan input pupuk. Untuk mendapatkan pupuk ia harus membeli pupuk tersebut dari pabrik pupuk. Sementara pabrik pupuk untuk produksi ia membutuhkan mesin, tenaga kerja dan begitu seterusnya. Dari hubungan tersebut terlihat bahwa antar pelaku ekonomi saling terkait. Dengan demikian sulit bagi kita menentukan ujung dan pangkal dari keterkaitan ekonomi semacam itu. Tetapi
23 yang pasti, dari gambaran di atas terlihat dalam pengembangan suatu sektor ekonomi memiliki keterkaitan dengan sektor lainnya. Studi tentang keterkaitan antar sektor dalam perekonomian telah banyak dilakukan oleh peneliti terdahulu seperti Rameezdeen et al. (2003), melakukan kajian tentang keterkaitan antara sektor konstruksi dan sektor lainnya dalam perekonomian Sri Lanka, ia menjelaskan bahwa sektor konstruksi secara signifikan memiliki keterkaitan ke depan (forward linkages) dan keterkaitan ke belakang (backward linkages) dalam perekonomian Sri Lanka. Kajian keterkaitan sektor yang dibangun dilakukan dengan menggunakan model analisis InputOutput sebagaimana yang dikembangkan oleh Wassily Leontif pada tahun 1930an yang dapat digunakan untuk menjelaskan, mendefinisi, dan mengukur, serta menaksir keterkaitan antar sektor serta memprediksi indikasi kebocoran wilayah. Selain itu penggunaan model input-output juga telah digunakan untuk menganalisis dan menjelaskan serta mengukur keterkaitan antar sektor dalam perekonomian, seperti telah dilakukan oleh (Pietroforte and Gregori, 2003; dan Rameezdeen et al. 2003). Terintegrasinya sektor-sektor dan terbentuknya keseimbangan antar sektor dalam perekonomian suatu negara dan wilayah merupakan salah satu kunci keberhasilan pembangunan ekonomi sesungguhnya. Keterkaitan antar sektor secara umum dapat diidentifikasi dalam bentuk seperti; (1) efek keterkaitan antar industri (interindustry linkage effect); yaitu mengukur efek dari peningkatan satu unit permintaan akhir (final demand) terhadap tingkat produksi dalam setiap sektor, (2) efek keterkaitan ketenagakerjaan (employment linkage effect); yaitu mengukur penggunaan total tenaga kerja pada suatu sektor sebagai akibat perubahan satu unit permintaan akhir, dan (3) efek keterkaitan penciptaan pendapatan (income generation linkage effect): yaitu mengukur efek perubahan salah satu variabel eksogen dalam permintaan akhir terhadap peningkatan pendapatan (Rustiadi et al. 2005). Nazara (1997) menjelaskan bahwa analisis input-output merupakan model yang berusaha memasukkan fenomena keseimbangan umum dalam analisis empirik seperti dari sisi produksi. Selain itu Jensen (2001) menjelaskan bahwa penggunaan model leontief dapat diaplikasikan dalam model tertutup dan model
24 terbuka, terutama dalam menganalisis perencanaan dan analisis ekonomi nasional. Sedangkan model input-output modern yang merupakan pengembangan dari model leontief, sebagaimana dijelaskan Reis dan Rua (2006) dapat digunakan untuk mengukur keterkaitan antar sektor domestik dan keterkaitan antar perdagangan, dengan cara mendeteksi koefisien keterkaitan pada model inputoutput. Model input-output (I-O) pertamakali dikembangkan oleh Leontief pada dekade tahun 1930-an. Salah satu yang sering dibicarakan dari model tersebut ketika berhubungan dengan input-output yaitu dikenal dengan istilah interindustry analysis, hal ini karena tujuan dasar dalam kerangka input-output adalah menganalisis interdependence industry dalam perekonomian. Selanjutnya Leontief mengemukakan bahwa tabel Input-Output dalam analisis perekonomian dan perencanaan pembangunan merupakan bagian dari model General Equilibrium. Model dasar input-output yang telah dikembangkan oleh Leontief tersebut menggambarkan; (1) Struktur perekonomian tersusun atas beberapa sektor yang saling berintegrasi melalui transaksi jual beli antara pemenuhan input dengan penjualan produk; (2) Output suatu sektor dijual kepada sektor lainnya guna memenuhi permintaan akhir; (3) Input suatu sektor dibeli dari sektor-sektor lainnya seperti dari rumah tangga (dalam bentuk tenaga kerja), dari pemerintah (dalam bentuk pajak), penyusutan, surplus usaha, serta impor dari wilayah lain. Sedangkan (4) hubungan antara input dan output bersyarat linier, (5) dalam suatu kurun waktu analisis (biasanya dilakukan selama satu tahun) dengan total input sama dengan total output (Nazara, 1997). Berbagai kelebihan penggunaan tabel Input-Output dalam perencanaan pembangunan diantaranya adalah dapat menjelaskan dengan baik keterkaitan sektor (sectoral linkage), dampak pengganda (multiplier effect), dan tingkat kebocoran wilayah (regional leakages) berbagai sektor dalam perekonomian baik skala nasional maupun wilayah, serta dapat diketahuinya (1) besarnya output dan kebutuhan faktor produksi lain dari satu set permintaan akhir, (2) dapat di prediksi akibat yang ditimbulkan atau perubahan permintaan, baik yang disebabkan oleh sektor pemerintah maupun swasta terhadap perekonomian, (3) perubahan
25 teknologi dan harga relatif yang di integrasikan ke dalam model melalui penyesuaian koefisiennya (BPS, 2000). Berbagai keterbatasan dalam penyusunan tabel Input-Output diantaranya menggunakan asumsi-asumsi: (1) homogenitas atau keseragaman: yaitu setiap sektor hanya memproduksi satu jenis output yang seragam, dengan susunan input tunggal. Dengan kata lain antara suatu sektor dengan sektor lainnya tidak dapat saling mensubstitusi; (2) linearinitas/proporsionalitas atau kesebandingan; yaitu kenaikan penggunaan input berbanding lurus dengan kenaikan output. Selain itu setiap sektor hanya memiliki satu fungsi produksi fixed proportional. Asumsi ini menyampingkan pengaruh skala ekonomis; (3) aditivitas atau penjumlahan ; yaitu efek total dari kegiatan produksi di berbagai sektor, merupakan penjumlahan dari proses produksi masing-masing sektor secara terpisah. Ini berarti seluruh pengaruh di luar sistem input-output diabaikan (Anwar, 2004). Tabel I-O pada dasarnya merupakan uraian statistik dalam bentuk matrik yang menyajikan informasi tentang transaksi barang dan jasa serta saling keterkaitan antar-satuan kegiatan ekonomi dalam suatu wilayah pada suatu periode tertentu. Sebagai suatu model kuantitatif, Tabel I-O akan memberikan gambaran yang menyeluruh tentang (1) struktur perekonomian wilayah/ nasional yang mencakup struktur output dan nilai tambah masing-masing sektor. (2) struktur input antara, yaitu penggunaan berbagai barang dan jasa oleh sektorsektor produksi, (3) struktur penyediaan barang dan jasa baik produksi dalam negeri maupun barang-barang yang berasal dari impor, dan (4) struktur barang dan jasa, baik permintaan antara oleh sektor-sektor produksi maupun permintaan akhir untuk konsumsi, investasi dan ekspor. Penggunaan Tabel Input-Output di Indonesia dalam perkembangannya mulai dikenal sejak akhir Pelita I, dimana LIPI merupakan lembaga yang pertama kali melakukan exercise penyusunan tabel Input-Output di Indonesia tahun 1969. Namun karena keterbatasan data yang tersedia pada saat itu LIPI awalnya dalam menerapkan model Input-Output menggunakan metode tidak langsung (non survey method). Kemudian pengembangan model Input-Output tersebut di Indonesia telah dilakukan oleh Biro Pusat Statistik (BPS) kerjasama dengan Bank Indonesia dan Institute of Development Economic (IDE) dengan penyusunan
26 menggunakan metode surve (survey method) untuk tahun 1971. Dengan adanya pengembangan model Input-Output oleh BPS, sehingga sejak saat itu BPS secara terus menerus menyusun tabel Input-Output Indonesia secara berkala setiap lima tahun sekali hingga dewasa ini. Dalam perkembangannya analisis model input-output juga telah digunakan untuk analisis keseimbangan ekonomi yang didasarkan atas arus transaksi antar pelaku perekonomian, dengan penekanan utama yaitu pada sisi produksi. Sedangkan teknologi produksi yang digunakan menunjukkan berperan pentingnya analisis ini. Lebih spesifik lagi teknologi yang berperan terbesar dalam mempengaruhi hasil analisis adalah teknologi yang berkaitan dengan penggunaan input antara. Sedangkan untuk tahap tertentu, input primer dianggap sebagai variabel eksogen, seperti halnya dari sisi permintaan akhir yang sering dianggap sebagai variabel endogen. Karena dalam perkembangannya penggunaan alat analisis model inputoutput dapat digunakan untuk mengukur keterkaitan sektor (sectoral linkage), dan dampak pengganda (multiplier effect), serta indikasi tingkat kebocoran wilayah (regional leakages), baik skala nasional maupun wilayah. Dengan demikian berarti model input-output merupakan alat analisis yang masih relevan untuk digunakan dewasa ini. Walaupun kemampuannya sebagai alat analisis masih memiliki berbagai keterbatasan.
Konsep Kebocoran Wilayah Perkembangan Definisi Kebocoran Wilayah Dilihat dari unsur kata “kebocoran wilayah” terdiri dari dua unsur kata yaitu “kebocoran” dan “wilayah”. Kata kebocoran oleh beberapa ahli didefinisikan, seperti Doeksen dan Charles (1969) menjelaskan kebocoran adalah jumlah perubahan total output sebagai hasil perubahan satu dolar pada permintaan akhir yang tidak terhitung pada suatu wilayah karena berkaitan dengan impor, atau jumlah pendapatan baru yang tidak dihasilkan di dalam suatu wilayah sebagai akibat kenaikan satu dolar pada pendapatan karena adanya impor. Selanjutnya Bendavid (1991) menjelaskan bahwa kebocoran adalah tipe pengeluaran yang tidak meningkatkan tambahan pendapatan domestik seperti pada pengeluaran
27 pembelian barang-barang yang berasal dari impor, termasuk pembelian yang dilakukan di luar wilayah, pengeluaran untuk pajak, tabungan, dan sejenisnya dimana pada kegiatan pengeluaran tersebut tidak menghasilkan arus peningkatan pendapatan bagi masyarakat dan wilayah. Selain itu dalam model dasar arus melingkar pendapatan nasional (circular flow of national income model), semua pendapatan yang diterima oleh rumah tangga dibelanjakan untuk konsumsi sekarang. Dalam model arus melingkar pendapatan yang diperluas, sebagian dari pendapatan yang diterima oleh rumah tangga ditabung, sebagian digunakan untuk membayar pajak dan sebagian dibelanjakan untuk barang dan jasa yang di impor. Pada kondisi seperti ini Tabungan (saving), pajak (taxation) dan impor (imports) merupakan penarikan atau “kebocoran” arus pembelanjaan pendapatan (Bendavid, 1991). Sedangkan Reis dan Rua (2006) menjelaskan bahwa dalam ekonomi terbuka kecil, kebocoran didefenisikan adanya tambahan impor produk jika permintaan akhir untuk output meningkat sebesar satu unit. Sedangkan Rada dan Taylor. (2006) menjelaskan kebocoran dapat dilihat dari sisi agregat demand pada perubahan investasi, ekspor dan belanja pemerintah, yang menghasilkan multiplier pendapatan yang kecil bagi suatu daerah. Kemudian “kata wilayah” menurut konsep nomenklatur kewilayahan seperti “wilayah”, “kawasan”, “daerah”, “regional”,”area”, “ruang”, dan istilah-istilah sejenis, banyak dipergunakan, dan saling dapat dipertukarkan pengertiannya, walaupun masing-masing memiliki bobot penekanan pemahaman yang berbedabeda (Rustiadi et al. 2005). Namun demikian secara teoritik tidak ada perbedaan nomenklatur atara istilah wilayah, kawasan, dan daerah, semuanya secara umum dapat diistilahkan dengan wilayah (region). Dengan demikian ”wilayah” dapat didefinisikan sebagai unit geografis dengan batas-batas spesifik (tertentu) dimana komponen-komponen wilayah tersebut satu sama lain saling berinteraksi. Selain itu Anwar (2004) menjelaskan bahwa kegiatan pembangunan yang menggunakan teknologi padat modal serta kurang memanfaatkan tenaga kerja lokal berpotensi menciptakan kebocoran wilayah, hal ini karena multiplier yang ditimbulkan tidak dapat ditangkap secara optimal oleh suatu wilayah.
28 Dari berbagai konsep dan pendefinisian kata kebocoran dan wilayah, maka dapat diartikan bahwa ”kebocoran wilayah” merupakan jenis aktivitas pengeluaran/penerimaan wilayah yang tidak meningkatkan tambahan pendapatan suatu wilayah, atau dengan kata lain kebocoran wilayah merupakan kondisi terjadinya aliran nilai tambah ke wilayah lainnya karena adanya potensi nilai tambah yang tidak dapat dimanfaatkan secara optimal, sehingga menyebabkan kecilnya multiplier yang dapat ditimbulkan dari kegiatan ekonomi suatu wilayah. Isu-Isu Kebocoran Wilayah Dalam bidang ekonomi regional isu-isu tentang kebocoran wilayah merupakan salah satu hal penting yang sering menjadi perhatian para ahli ekonomi wilayah. Untuk mendapatkan jawaban mengapa kebocoran wilayah dipermasalahkan dalam bidang ekonomi regional, beberapa literatur menjelaskan seperti Rustiadi et al. (2005) bahwa kebocoran wilayah dapat mendorong semakin besarnya perangkap kemiskinan serta dapat mendorong semakin lebarnya ketimpangan ekonomi antar wilayah. Selain itu ditinjau dari tujuan pembangunan yaitu perlu diarahkan pada pertumbuhan (growth), efisiensi (effeciency) dan pemerataan (equity) serta keberlanjutan (sustainability), terutama dalam memberi panduan kepada alokasi sumberdaya, baik pada tingkatan nasional maupun regional (Anwar, 2005) maka terjadinya kebocoran wilayah dapat menghambat laju pertumbuhan pembangunan wilayah. Sedangkan Hayami (2001), menjelaskan bahwa pertumbuhan ekonomi perlu memperhatikan faktor-faktor yang berkaitan dengannya serta perlu dilihat dari peningkatan rata-rata nilai tambah per kapita (pendapatan) yang diwujudkan melalui peningkatan penggunaan sumberdaya per kapita dan/atau “kemajuan teknologi” sebagai peningkatan nilai tambah ekonomi bagi masyarakat, baik melalui input tenaga kerja, modal dan sumberdaya alam dalam periode tertentu, dengan “nilai tambah” yang didistribusikan ke pemilik sumberdaya sebagai pendapatannya, sehingga secara agregasi pendapatan masyarakat dapat menjadi pendapatan wilayah. Karena dalam pembangunan ekonomi wilayah peningkatan nilai tambah dan pendapatan, merupakan sasaran pentingnya yang perlu dilakukan. Dengan demikian sehingga terjadi kebocoran nilai tambah tentu mempengaruhi
29 pendapatan wilayah. Artinya kebocoran wilayah dapat merugikan pembangunan ekonomi wilayah. Hal tersebut sesuai dengan Bendavid (1991) menjelaskan bahwa
dalam
pembangunan
ekonomi
wilayah,
multiplikasi
pendapatan
merupakan inti dari proses pertumbuhan ekonomi. Terjadi kebocoran nilai tambah sehingga multiplier yang dihasilkan dari pembangunan ekonomi di suatu wilayah akan semakin kecil, atau dengan kata lain semakin besar kebocoran yang terjadi maka semakin besar multiplier pendapatan yang hilang. Dari berbagai konsep di atas sehingga dapat dipahami alasan mengapa para ahli ekonomi regional melihat kebocoran wilayah sebagai persoalan dalam pembangunan ekonomi wilayah. Selain itu Gonarsyah (1977) menjelaskan bahwa kecilnya pendapatan suatu wilayah dapat mendorong terjadinya kesenjangan dan ketidakadilan serta dapat mengurangi tingkat kepercayaan masyarakat kepada pemerintah, terutama ketidakpercayaan pada kemauan baik (good will) dan kemampuan pemerintah dalam mengelola sumberdaya alam untuk sebesar-besarnya bagi kemakmuran rakyat dan menciptakan pembangunan yang merata. Dengan kata lain terjadinya kebocoran wilayah dapat mengakibatkan kecilnya pendapatan suatu wilayah. Kecilnya pendapatan mendorong kurangnya kepercayaan masyarakat terhadap pemerintah, dan pada akhirnya dapat menghambat pertumbuhan wilayah. Beberapa ahli melihat beberapa penyebab terjadi kebocoran wilayah (regional leakages) diantaranya karena adanya international dan interregional demonstration effect, yaitu adanya sifat masyarakat tertinggal yang cenderung mencontoh pola konsumsi di kalangan masyarakat modern. Artinya wilayahwilayah yang telah lebih maju memperkenalkan produk-produk yang mutunya "lebih baik" sehingga wilayah-wilayah masyarakat tradisional mengimpor dan mengkonsumsi barang-barang tersebut, dan pada akhirnya sejumlah modal yang telah terakumulasi bukan digunakan untuk meningkatkan pertumbuhan ekonomi wilayahnya melainkan mendorong terjadi kebocoran wilayah (Anwar, 2004). Kemudian Rustiadi el al. (2005) juga menjelaskan bahwa beberapa kekuatan penting yang menyebabkan kondisi kebocoran wilayah diantaranya yakni: (a) wilayah-wilayah yang telah lebih maju menciptakan keadaan yang “menghambat” perkembangan wilayah-wilayah yang masih terbelakang (backwash effects);(b) Wilayah-wilayah yang telah lebih maju menciptakan keadaan
30 yang “mendorong” perkembangan wilayah-wilayah yang masih terbelakang (spread effects). Selain itu fenomena backwash pada kawasan perdesaan dan daerah-daerah tertinggal berlangsung melalui beberapa tahap aliran, seperti: (1) aliran bahan mentah/bahan baku (sumberdaya alam), (2) aliran sumberdaya manusia berkualitas/produktif (brain drain), (3) aliran sumberdaya finansial (capital outflow), (4) aliran sumberdaya informasi, dan (5) aliran kekuasaan (power). Berlangsung aliran bahan baku/mentah berupa sumberdaya alam seperti kayu, ikan, serta berbagai produk pertanian dan hasil ekstraksi sumberdaya alam yang dialirkan ke perkotaan untuk diolah (processing) guna menghasilkan produk-produk olahan. Pada tahap awal memang diyakini memiliki nilai tambah, dan proses masih dapat dianggap netral (tidak merugikan) jika: (1) pusat-pusat pengolahan di perkotaan merupakan lokasi-lokasi yang memiliki locational rent terbaik untuk kegiatan-kegiatan pengolahan, (2) proses ekstraksi sumberdaya alam di perdesaan dilakukan tanpa mengurangi daya dukung dan kualitas lingkungan (tidak menyebabkan degradasi atau kerusakan sumberdaya alam dan lingkungan hidup), serta (3) diiringi dengan terjadinya peningkatan produktivitas di perdesaan. Sedangkan pada saat perdesaan dan kawasan hinterland ditinggalkan oleh sumberdaya manusia yang berkualitas sehingga produktivitas perdesaan menjadi stagnan atau lebih rendah dibandingkan perkotaan. Selain itu dari sisi sumberdaya terjadi proses "brain-drain" dalam arti mengalirnya intelektual perdesaan ke kota atau disedotnya intelektual-intelektual desa oleh perkotaan. Rendahnya kapasitas sumberdaya manusia perdesaan akibat mengalirnya sumberdaya manusia berkualitas ke kawasan perkotaan disatu sisi, dan terkonsentrasinya aktivitas-aktivitas pengolahan yang menghasilkan nilai tambah tinggi di kawasan perkotaan yang didukung oleh sumberdaya manusia yang lebih produktif, dan mengakibatkan terjadinya aliran konsentrasi kapital ke perkotaan. Lemahnya kapasitas produksi kawasan perdesaan menyebabkan masyarakat desa semakin tergantung pada konsumsi produk-produk manufaktur perkotaan. Akibat output barang/jasa yang dihasilkan di kawasan perdesaan bersifat inferior terhadap produk-produk olahan dari perkotaan, sehingga
31 menyebabkan perdesaan mengalami net-capital outflow, atau dalam kondisi demikian berarti desa mengalami "kebocoran". Kemudian Anwar (2004) menjelaskan bahwa beberapa hal yang menyebabkan terjadinya kebocoran wilayah antara lain karena: (1) Sifat komoditas yang bersifat eksploitatif. Seperti pada umumnya natural resources mempunyai kecenderungan mengalami kebocoran wilayah yang tinggi apabila dalam sistem produksinya membutuhkan persyaratan-persyaratan tertentu, baik kualitas sumberdaya manusia, teknologi yang dipakai, kedekatan dengan pasar maupun persyaratan lainnya yang mengakibatkan aktivitas ekonomi suatu komoditas yang berasal dari suatu wilayah dilaksanakan di wilayah lain, sehingga sebagian besar nilai tambah ditangkap wilayah lainnya, (2) Sifat kelembagaan, yaitu menyangkut kepemilikan (owners). Dari berbagai isu dalam kebocoran wilayah sehingga dapat diartikan bahwa kebocoran wilayah merupakan isu penting yang memiliki peran dalam mempengaruhi pertumbuhan ekonomi suatu wilayah. Dengan demikian sehingga terjadinya kebocoran wilayah maka multiplier yang dihasilkan dari pembangunan ekonomi di suatu wilayah tentu semakin kecil, atau dengan kata lain semakin besar kebocoran yang terjadi maka semakin besar potensi multiplier pendapatan bagi suatu wilayah yang hilang. Dengan lain perkataan bahwa untuk meningkatkan laju pertumbuhan ekonomi wilayah maka perlu menekan tingkat kebocoran wilayah.
Pengukuran Kebocoran Wilayah Beberapa literatur menjelaskan bahwa untuk melakukan identifikasi tentang kebocoran wilayah dalam perspektif ekonomi wilayah dapat digunakan pendekatan analisis model input-output, sebagaimana digunakan Doeksen dan Charles (1969); Bendavid (1991); Reis dan Rua (2006). Dalam melakukan pendeteksian kebocoran wilayah Doeksen dan Charles (1969) menjelaskan dapat diidentifikasi dari aspek multiplier output, dan multiplier income. Sedangkan Bendavid (1991) menjelaskan bahwa kebocoran wilayah dapat dilihat dari besar kecilnya komponen input antara yang berasal dari impor, termasuk juga pembelian yang dilakukan di luar wilayah. Selain itu Rada dan Lance (2006)
32 menjelaskan bahwa kebocoran dapat dilihat dari sisi aggregat demand ketika terjadinya perubahan dalam injeksi investasi, ekspor dan belanja pemerintah. Kemudian Rodriguez dan Kroijer (2008) menjelaskan kebocoran dapat dilihat dari sisi pengeluaran lokal kaitannya dengan desentralisasi fiskal. Landesmann dan Robert (2006) kebocoran dapat dilihat dari derajat integrasi pasar modal (FDI, tenaga kerja asing). Sun (2007) Kebocoran dapat dilihat dari besar kecilnya rasio barang impor. Sedangkan Christopher dan Bryan (1994) menjelaskan kebocoran dapat ditandai oleh besarnya aspek tabungan (saving), pajak (taxation) dan besarnya belanja input impor, namun tidak meningkatkan pendapatan wilayah. Kemudian menurut Reis dan Rua (2006) kebocoran wilayah dapat dilihat dari kebocoran ke belakang (backward leakage) dan kebocoran ke depan (forward leakage). Untuk mengidentifikasi kebocoran ke depan dapat digunakan nilai koefisien kebocoran sektor (Reis dan Rua, 2006) yaitu analog dengan pengukuran keterkaitan sektor yaitu, ditunjukkan rendahnya rata-rata koefisien sektor yang terboboti pada backward leakage atau forward leakage. Skema pembobotan pada impor, dan secara alami pada barang impor i tidak harus sama dengan impor sektor produksi. Untuk memboboti backward leakage yaitu menggunakan barang impor. Sedangkan untuk forward leakage digunakan sektor impor. Misalkan l j adalah jumlah elemen pada kolom ke-j dari matrik Am(I - Ad)-1 dan li* yaitu jumlah elemen pada baris ke-i dari matrik (I– A*d)-1A*m. Selanjutnya Doeksen dan Charles (1969) menjelaskan bahwa di Oklahoma secara umum daerah yang memiliki tingkat keterkaitan sektor ekonomi yang rendah, merupakan daerah yang mengalami kebocoran yang tinggi. Demikian juga daerah yang memiliki keterkaitan sektor ekonomi yang tinggi, karena daerahnya memiliki tingkat pengeluaran impor yang lebih besar, maka daerah tersebut juga memiliki tingkat kebocoran yang tinggi. Sedang Reis dan Rua (2006) hasil penelitiannya menunjukkan bahwa kebocoran wilayah sektor jasa di Portugal lebih rendah dibandingkan dengan kebocoran sektor lainnya, dan multiplier effect sektor akan lebih tinggi jika keterkaitan menyebar dalam perekonomian serta berdampak pada rendahnya kebocoran wilayah. Dari berbagai konsep tentang pengukuran kebocoran wilayah maka dapat diartikan bahwa untuk mendeteksi indikasi, potensi dan dampak kebocoran
33 wilayah, maka dapat diidentifikasi dengan memperhatikan (i) koefisien keterkaitan sektor ke depan dan koefisien keterkaitan ke belakang pada model input output; yaitu semakin kecil nilai koefisien keterkaitan sektor maka semakin besar potensi terjadinya kebocoran wilayah, dan begitu juga sebaliknya semakin kuat keterkaitan antar sektor maka semakin kecil terjadinya kebocoran wilayah (ii) rasio input dan impor; yaitu semakin besar input impor yang digunakan dalam proses produksi maka semakin besar terjadinya potensi kebocoran wilayah, (iii) rasio permintaan antara dengan ekspor; yaitu semakin kecil permintaan antara dibandingkan dengan ekspor menunjukkan kecilnya nilai tambah yang diperoleh suatu wilayah atau semakin besarnya potensi kebocoran yang terjadi (iv) Dalam konteks sistem agribinis, dominan nilai tambah yang dimanfaatkan atau mengalir ke wilayah lain, menciptakan potensi kebocoran wilayah.
Konsep Sistem Agribisnis Sistem agribisnis merupakan suatu konsep pengelolaan pertanian secara luas dan utuh yang dimana peran antar subsistem-subsistem saling terkait dalam membangun sistem pertanian yang utuh, yang terdiri dari subsistem input, produksi, pengolahan hasil, dan pemasaran serta faktor penunjang. Pengembangan konsep agribisnis pertama kali dipelopori oleh Business School di Harvard University. Sedangkan di Indonesia pembahasan tentang agribisnis (agribusiness) dewasa ini telah berkembang sedemikian rupa sehingga menarik perhatian banyak kalangan, baik bagi kalangan yang menggeluti bidang pertanian maupun non pertanian. Hal ini karena adanya pergeseran kondisi perekonomian Indonesia yang semula dari dominasi peran sektor primer khususnya pertanian, yang akhir-akhir ini peran tersebut mulai bergeser ke sektor lainnya. Selain itu karena adanya kemauan politik (political will) pemerintah yang mengarahkan perlu keberimbangan perekonomian Indonesia yaitu antara sektor pertanian dengan sektor industri, sebagai upaya membangun keterkaitan sektor (Soekartawi, 2003). Selanjutnya Soekartawi (2004) menjelaskan bahwa agribisnis adalah suatu kesatuan usaha yang meliputi salah-satu atau keseluruhan dari mata rantai produksi, pengolahan hasil dan pemasaran yang ada hubungannya dengan
34 pertanian dalam arti luas; yaitu usaha yang menunjang kegiatan pertanian dan kegiatan usaha yang ditunjang oleh kegiatan pertanian, sebagaimana dijelaskan dengan bagan mata rantai kegiatan agribisnis seperti pada Gambar 2 di bawah ini.
Gambar 2. Mata Rantai Kegiatan Agribisnis.
Dilihat dari unsur kata “agribisnis” terdiri dari dua unsur kata yaitu “agri dan bisnis”. Agri yaitu berasal dari kata agriculture (pertanian) dan kata bisnis berasal dari kata “bisnis” (usaha). Dari dua unsur kata tersebut sehingga kata agribisnis dapat diartikan “usaha dalam bidang pertanian”. Dalam arti luas Soekartawi (2003) menjelaskan bahwa kegiatan agribisnis yaitu kegiatan pertanian sejak produksi, pengolahan, dan pemasaran hingga kegiatan lainnya yang berkaitan dengan pengembangan pertanian. Selain itu pertanian dilihat dari kegiatan usaha terdiri dari kegiatan usaha tani tanaman pangan, perkebunan, perhutanan, peternakan, dan perikanan. Usaha di bidang pertanian di Indonesia bervariasi dalam corak dan ragam. Dari aspek skala usaha terdapat skala usaha seperti skala usaha besar (seperti perusahaan perkebunan, industri minyak sawit, dan lain-lain), kemudian yang berskala menengah (seperti beberapa agroindustri menengah dan perkebunan menengah), serta ada yang berskala kecil seperti usaha tani-usaha tani dengan luas lahan di bawah 25 hektar dan berbagai industri skala rumah tangga (Gumbira, 2001). Namun, apabila dikaji dari jumlah usahanya, maka usaha berskala kecil adalah yang paling banyak. Diperkirakan jumlahnya mencapai 90% dari seluruh usaha
35 agribisnis di Indonesia. Dengan demikian, pengembangan sektor agribisnis hendaknya terus dikembangkan dengan pendekatan sistem agribisnis yang berorientasi industri pedesaan dan pertanian rakyat yang modern. Tidak dapat dipungkiri bahwa secara global bidang pertanian telah maju, baik teknologi maupun sistem dan orientasinya, tetapi penerapannya masih sangat kurang, terutama di negara-negara dunia ketiga. Teknologi pertanian, melalui pengembangan bioteknologi dan bio proses, teknologi mesin dan peralatan pertanian, teknik kimia, serta teknologi penunjang pertanian, seperti teknologi elektrik dan mikrochip, teknologi dirgantara, teknologi perhubungan dan telekomunikasi,
dan
lain-lain
akan
semakin
nyata
pengaruhnya
bagi
pengembangan sektor agribisnis, terutama untuk memasuki milenium ketiga. Selain itu kemajuan lain dalam bidang agribisnis ditandai dengan semakin menyempitnya spesialisasi fungsional dan semakin jelasnya pembagian kerja berdasarkan fungsi-fungsi sistem agribisnis. Selain itu Gumbira (2001) juga menjelaskan fungsi-fungsi agribisnis terdiri atas kegiatan pengadaan dan penyaluran sarana produksi, kegiatan produksi primer (budidaya), pengolahan (agroindustri), dan pemasaran. Fungsi-fungsi tersebut kemudian disusun menjadi suatu subsistem dari sistem agribisnis, seperti Gambar 3 di bawah ini.
SS I Pengadaan dan Penyaluran Sasaran Produksi
SS II (Produksi Primer)
SS III (Pengolahan)
SS IV (Pemasaran)
Lembaga Penunjang Agribisnis
Gambar 3. Sistem Agribisnis dan Lembaga Penunjangnya Konsep agribisnis merupakan suatu sistem, dimana bila akan dikembangkan harus terpadu dan selaras dengan semua subsistem yang ada di dalamnya.
36 Pengembangan
agribisnis
tidak
akan
efektif
dan
efisien
bila
hanya
mengembangkan salah satu subsistem yang ada di dalamnya. Selain itu Gumbira (2004), sebagai sebuah sistem agribisnis terdiri atas beberapa subsistem (Gambar 2). Sistem tersebut akan berfungsi baik apabila tidak ada gangguan pada salah satu subsistem (SS). Pengembangan agribisnis harus mengembangkan semua subsistem di dalamnya karena tidak ada satu subsistem yang lebih penting dari subsistem lainnya. Setiap subsistem dalam sistem agribisnis mempunyai keterkaitan ke belakang dan ke depan. Tanda panah kebelakang (ke kiri) pada subsistem pengolahan (SS-III dalam Gambar 2) menunjukkan bahwa SS-III akan berfungsi dengan baik apabila ditunjang oleh ketersediaan bahan baku yang dihasilkan oleh SS-II. Tanda panah ke depan (ke kanan) pada SS-III menunjukkan bahwa subsistem pengolahan (SS-III) akan berhasil dengan baik jika menemukan pasar untuk produknya. Agribisnis memerlukan lembaga penunjang termasuk kebijakan pemerintah seperti dari aspek pembiayaan/keuangan, pendidikan, penelitian, perhubungan dan pertanahan. Lembaga pendidikan dan pelatihan mempersiapkan para pelaku agribisnis yang profesional. Sedangkan lembaga penelitian memberikan sumbangan berupa teknologi dan informasi. Keberadaan lembaga-lembaga penunjang kebanyakan berada di luar sektor pertanian. Dengan demikian dapat diartikan bahwa pengembangan sektor pertanian terkait dengan sektor lainnya. Dalam pengelolaan agribisnis, keterkaitan antar pelaku dari berbagai pihak seperti penghasil produk primer, pengolah, pedagang, distributor, importir, eksportir, dan lain-lain sangat dibutuhkan. Semakin baiknya keterkaitan dalam pengelolaan sistem agribisnis maka semakin besarnya pula perannya terhadap pembentukan perekonomian wilayah, terutama dalam memberikan sumbangan terhadap produk domestik bruto (PDB). Selain itu agribisnis juga berperan sebagai penyedia bahan kebutuhan hidup (pangan, perumahan, dan pakaian), penghasil devisa, pencipta lapangan kerja, dan sumber pendapatan masyarakat. Menurut Austin (1981), agroindustri adalah usaha yang mengolah bahan baku hasil pertanian menjadi berbagai produk yang dibutuhkan konsumen. Dalam penggunaan sehari-hari istilah agroindustri sering dibagi menjadi agroindustri
37 hulu dan agroindustri hilir. Agroindustri hulu mencakup industri penghasil input pertanian, seperti pupuk, pestisida, alat-alat dan mesin-mesin pertanian, dan bahkan yang lebih luas lagi mencakup perusahaan penghasil bibit (pengertian industri yang lebih luas lagi). Sedangkan agroindustri hilir yaitu industri pengolahan hasil-hasil pertanian primer dan bahkan lebih luas lagi, mencakup industri sekunder dan tersier yang mengolah lebih lanjut produk olahan hasil pertanian primer, seperti tekstil dari benang, dan benang dari kapas atau ulat sutra, sepatu dari kulit dan kulit dari hewan, industri kue dari tepung (dan lain-lain produk antara) dan tepung dari gandum atau beras. Kajian mengenai sistem agribisnis dan agroindustri dapat dilakukan dengan dua pendekatan analisis, yaitu pendekatan analisis makro dan mikro. Pendekatan analisis makro memandang agribisnis sebagai unit sistem industri dari suatu komoditas tertentu, yang membentuk sektor ekonomi secara regional atau nasional. Di lain sisi pendekatan analisis mikro memandang agribisnis sebagai suatu unit perusahaan yang bergerak, baik dalam salah satu subsistem agribisnis maupun bergerak pada lebih dari satu subsistem agribisnis komoditas. Sistem agribisnis secara makro dipengaruhi oleh lingkungan ekonomi, politik, sosial budaya, hankam, dan teknologi, baik nasional, regional, maupun internasional. Dalam pengembangan sistem agribisnis nasional yang tangguh peran kebijakan pemerintah sebagai penuntun, pendorong, pengawas, dan pengendali berlangsungnya sistem agribisnis tersebut masih sangat dibuhkan, hal ini karena agribisnis berada dalam suatu lingkaran yang tidak terlepas dari kebijakan pemerintah. Dari berbagai tinjauan literatur tentang konsep agribisnis sehingga dapat diartikan bahwa agribisnis sebagai sistem merupakan konsep pengelolaan pertanian secara luas dan utuh yang terdiri dari subsistem, yang membutuhkan keterkaitan yang erat dan utuh antar subsistem seperti subsistem input, produksi, pengolahan hasil, pemasaran dan faktor penunjang, terutama dalam upaya peningkatan pertanian dalam arti luas. Artinya kinerja sistem agribisnis sangat ditentukan oleh efektivitas masing-masing subsistem. Karena efektivitas pengelolaan sistem agribisnis dapat mempengaruhi pendapatan pelaku agribisnis, dengan demikian berarti agribisnis dapat mempengaruhi perekonomian wilayah.
38 Konsep Integrasi Harga Peran pasar dalam penentuan harga merupakan hal pokok dalam perekonomian. Bagi sektor pertanian selain letak geografis, faktor pasar merupakan
hal
yang
sangat
penting
untuk
diperhitungkan
dalam
pengembangannya. Pentingnya pertimbangan faktor pasar karena sifat-sifat dari produk-produk pertanian umumnya bersifat mudah rusak (perishable) dan adanya kondisi lokasi produsen dan konsumen yang cenderung terpisah jauh dari pasar, sehingga harga produk dan biaya transportasi menjadi sangat mempengaruhi dalam transaksi. Artinya batas-batas geografis menjadi penting dalam penentuan permintaan dan penawaran, yang akhirnya dapat mempengaruhi pembentukan harga dan struktur kompetisi komoditas yang diperdagangkan (Ravallion,1986). Dalam kegiatan perdagangan asumsi bekerjanya mekanisme pasar merupakan bagian penting yang dapat mempengaruhi kenerja perdagangan, sebagaimana konsep ekonomi klasik-David Ricardo dan konsep NeoklasikHeckscher serta Ohlin serta konsep perdagangan modern Paul R. Krugman dan Michael E. Porter, menjelaskan bahwa asumsi sinyal harga di suatu pasar dapat ditransmisikan ke pasar lain atau terjadinya interaksi, sehingga gains from trade yang diwujudkan sebagai asumsi bekerjanya mekanisme pasar (Kasliwal, 1995). Integrasi pasar yang dapat mentransmisikan harga secara sempurna merupakan tanda terjadinya struktur pasar yang kompetitif. Selain itu informasi pasar yang sempurna, serta tidak adanya biaya-biaya transaksi yang mendistorsi harga pasar (Goletti et al. 1995) juga merupakan tanda terjadinya integrasi pasar yang sempurna. Dengan kata lain menunjukkan terjadinya tingkat inefisiensi pemasaran. Ravallion (1986) juga menjelaskan bahwa model integrasi pasar dapat digunakan untuk mengukur harga di pasar produsen dengan harga di pasar konsumen yang mempertimbangkan harga pada waktu yang lalu dan harga pada saat ini. Aktivitas pasar-pasar tersebut dihubungkan oleh arus produk, sehingga harga dan jumlah produk yang dipasarkan akan berubah bila terjadi perubahan harga di pasar lain. Selain itu Simatupang (1999) mengungkapkan bahwa jika distribusi harga sepenuhnya diatur oleh kekuatan pasar, maka pedagang perantara akan selalu menyalurkan komoditas ke daerah pemasaran yang memberikan
39 keuntungan yang lebih besar bagi pedagang. Selanjutnya untuk memudah memahami konsep integrasi vertikal maka dapat dilihat Gambar 3, yang menggambarkan keterpaduan sistem komoditas secara vertikal yang membentuk suatu rangkaian pelaku-pelaku yang terlibat dalam sistem komoditas tersebut, mulai dari produsen/penyedia input/sarana produksi pertanian, distributor input/ sarana produksi pertanian, usaha tani, pedagang pengumpul, pedagang besar, usaha pengolahan hasil pertanian, pedagang pengecer, eksportir, sampai dengan konsumen domestik dan luar negeri (Gumbira, 2001) seperti Gambar 4.
Gambar 4. Model Integrasi Vertikal Sistem Agribisnis Arah panah ke atas menunjukkan aliran produk/ barang dan sebaliknya arah panah ke bawah menunjukkan aliran uang atau nilai produk/barang. Di luar sistem aliran produk dan uang tersebut terdapat fasilitator dari berbagai lembaga pendukung bekerjanya makanisme sistem komoditas secara vertikal yang terpadu. Studi integrasi pasar yang dilakukan dengan pendekatan metode tradisional dapat menggunakan korelasi pasangan (bivariate correlation) terutama untuk
40 harga antar wilayah (region). Dengan menggunakan metode tersebut korelasi dan koefisien regresi dapat diduga dari data deret harga spot pada lokasi pasar yang berbeda. Namun menurut Ravallion (1986) metode korelasi pasangan memiliki beberapa kelemahan inferensia dalam menjelaskan integrasi pasar, terutama apabila harga antar lokasi diasumsikan dalam bentuk fungsi linier dengan sudut kemiringan (slope) sama dengan satu (unity). Selain itu Ardeni (1989) menjelaskan bahwa pendekatan konvensional untuk pengujian integrasi pasar adalah tidak tepat karena mengabaikan sifat-sifat data deret waktu (time-series). Sedangkan secara spesifik, korelasi serial dapat menyebabkan uji empiris integrasi pasar menjadi terganggu karena tidak konsisten dan bias serta kemungkinan menghasilkan persamaan regresi yang spurious. Selanjutnya Ravallion (1986) menjelaskan bahwa integrasi pasar dapat dipisahkan dalam bentuk jangka pendek dan jangka panjang pada model dinamik untuk diferensiasi harga spasial. Dengan demikian maka integrasi pasar dan segmentasi pasar dapat ditunjuk dalam bentuk umum dan diuji dalam bentuk restriksi. Dengan menggunakan model dinamik maka dapat diungkap lebih banyak lagi tentang informasi pasar dibandingkan dengan model tradisonal atau konvensional yang bersifat statik. Namun demikian model dinamik yang dikembangkan Ravallion juga mengalami keterbatasan yaitu tidak mampu mengakomodasi sifat nonstasioner dari data deret harga yang digunakan. Berbagai metode alternatif untuk mengevalusi keterkaitan/integrasi pasar telah dikembangkan seperti Engle dan Granger (1987) dengan menggunakan konsep kointegrasi, sebagai contoh Goodwin dan Schroder (1991) melakukan analisis kointegrasi untuk pasar ternak di Amerika Serikat, serta Ismet et al. (1998) untuk pasar beras di Indonesia. Prosedur kointegrasi yang digunakan secara umum menunjukkan bahwa deviasi (et) dari keseimbangan untuk dua peubah/variabel ekonomi untuk masing-masing yang nonstasioner adalah stasioner. Dengan demikian maka uji kointegrasi dapat membuktikan khususnya keterkaitan harga jangka panjang antar harga dalam kawasan, dan juga keterkaitan harga jangka pendek. Kemudian menurut Barrett (2001) metode analisis harga telah mengalami peningkatan, dimana data harga deret waktu yang mempunyai masalah otokorelasi
41 atau nonstasioner sudah dapat ditanggulangi dengan metode yang telah diperkenalkan pada akhir tahun 1980-an yaitu dengan menggunakan metode kointegrasi (cointegration) kausalitas Granger (Granger Causality) dan mekanisme koreksi galat (error correction mechanisms). Penggunaan metode tersebut dapat dimanfaatkan untuk menguji: (1) hubungan jangka panjang antar harga di dua pasar, (2) ada tidaknya hubungan satu atau dua arah untuk kekuatan proyeksi harga antar pasar, dan (3) penyesuaian dinamik deviasi keseimbangan jangka pendek dari keseimbangan jangka panjang. Walaupun
metode-metode
tersebut
mempunyai
kelemahan
karena
menggunakan asumsi biaya-biaya transaksi perdagangan antar dua lokasi/pasar adalah konstan serta pengujian hipotesis efisiensi pasar tidak dipisahkan dengan pengujian dari kebenaran asumsi yang dapat mengganggu spesifikasi model. Selanjutnya dijelaskan bahwa pengujian integrasi harga dengan uji kausalitas Granger (Granger causality test) akan diperoleh hasil yang menyesatkan (misleading), selain itu pendekatan dengan model vector auto regression akan termisspesifikasi (misspecified), sehingga analisis yang dilakukan tersebut terfokus hanya pada sifat dinamik jangka panjang. Oleh karena itu disarankan dalam melihat hubungan harga suatu komoditas yang diperdagangkan secara internasional dapat menggunakan error correction model (ECM) yang mengakomodasikan studi hubungan harga jangka pendek dan jangka panjang. Penggunaan model analisis kointegrasi dan model korelasi galat (ECM) dalam mengkaji transmisi harga telah dilakukan oleh beberapa peneliti sebelumnya seperti Krivonos (2004) mengukur transmisi harga untuk pasar kopi internasional ke pasar lokal di negara-negara produsen seperti Brazilia, Ethiopia, Kenya, Kolombia dan Mexico untuk periode sebelumnya dan sesudah dilakukan reformasi perdagangan, menjelaskan bahwa transmisi harga terjadi lebih cepat pada saat harga turun dibandingkan dengan ketika kondisi harga naik. Dengan demikian produsen menanggung biaya ketika terjadi penurunan harga tersebut. Selain itu Rapsomanikis et al. (2002) juga menggunakan uji kointegrasi Johansen untuk mengetahui adanya integrasi pasar dan transmisi harga gandum di Mesir dan pasar dunia, serta menunjukkan adanya integrasi antar pasar kopi Ethiopia dan Uganda dengan pasar internasional.
42 Selain itu peran pasar dalam penentuan harga merupakan hal pokok dalam perekonomian, sehingga bagi sektor pertanian, selain letak geografis, faktor pasar merupakan hal yang sangat penting untuk diperhitungkan dalam pengembangan ekonomi. Pentingnya pertimbangan faktor tersebut karena adanya pertimbangan sifat-sifat dari produk-produk pertanian bersifat mudah rusak (perishable) dan adanya kondisi lokasi produsen dan konsumen yang cenderung terpisah jauh dari pasar,
sehingga harga
produk
dan
biaya
transportasi
menjadi
sangat
mempengaruhi dalam transaksi. Dalam kondisi seperti ini maka batas-batas geografis menjadi penting dalam penentuan permintaan dan penawaran, karena dapat mempengaruhi pembentukan harga dan struktur kompetisi. Agar studi tentang integrasi pasar lebih dapat dimengerti dan bermanfaat, bagi keakuratan penagmbilan kebijakan harga dan pasar, maka tidak hanya harga yang difokuskan dalam hubungan antar pasar, tetapi juga perlu memperhatikan tentang aliran barang, kebijakan perdagangan, dan biaya-biaya perdagangan yang disebabkan oleh hambatan tarif dan atau nontarif. Selanjutnya integrasi pasar yang dapat mentransmisikan harga secara sempurna, menandai terjadinya struktur pasar yang kompetitif. Sedangan informasi pasar yang sempurna ditunjukkan dengan tidak adanya biaya-biaya transaksi yang mendistorsi harga pasar. Berbagai penggunaan model kointegrasi (cointegration), kausalitas Granger (Granger causality) dan mekanisme koreksi galat (error correction mechanisms) dalam analisis integrasi pasar telah digunakan oleh para peneliti terdahulu, seperti telah digunakan (Corbae and Ouliaris, 1988; Saikkonen, 1992). Kelebihan dari penggunaan model kointegrasi menurut Gujarati (2003), adalah metodenya sederhana, tidak perlu dipisahkan antara variable endogen dan eksogen, estimasinya sederhana yaitu dengan menggunakan metode OLS, dan forecastingnnya lebih baik dari persamaam simultan. Akan tetapi penggunaan metode tersebut juga memiliki beberapa kelemahan, yaitu: sedikit menggunakan prior information, tidak cocok untuk analisis kebijakan, membutuhkan data yang terlalu panjang karena adanya lag, dan variabel yang digunakan harus stationer dan jika tidak stationer maka transpormasi data mengalami kesulitan. Dari berbagai konsep integrasi, dapat diartikan bahwa harga dan pasar merupakan hal pokok yang sangat penting untuk diperhitungkan dalam
43 pengembangan ekonomi wilayah yang berorientasi perdagangan. Karena sinyal harga di suatu pasar dapat menunjukkan transmisi harga satu pasar dengan pasar lain sehingga tingkat integrasi harga dapat dijadikan asumsi berkerja atau tidaknya mekanisme pasar. Selain itu karena model integrasi harga dapat digunakan untuk mengukur harga di pasar produksi dengan harga di pasar konsumsi yang mempertimbangkan harga pada waktu yang lalu dan harga pada saat ini. Sehingga perubahan harga dan jumlah produk yang dipasarkan akan berubah bila terjadi perubahan harga di pasar lain, serta jika distribusi harga sepenuhnya diatur oleh kekuatan pasar, maka pedagang perantara akan selalu menyalurkan komoditas ke daerah pemasaran yang memberikan keuntungan yang lebih besar bagi pedagang.
Konsep Keunggulan Komparatif dan Keunggulan Kompetitif Konsep
daya
saing
(competitiveness)
atau
keunggulan
kompetitif
(competitive advantage) sejatinya bukanlah konsep ekonomi, melainkan konsep politik Sharples dan/atau konsep bisnis yang digunakan sebagai dasar bagi banyak analisis strategis untuk meningkatkan kinerja perusahaan Gonarsyah (2005). Namun dalam perkembangannya para ekonom dan pakar lainnya (misalnya, Barkema, Drabenstotti dan Tweeten, serta Sharples) mengartikan keunggulan kompetitif merupakan kombinasi dari adanya distorsi pasar dan keunggulan komparatif (comparative advantage). Selain itu Porter (1993) menjelaskan bahwa konsep keunggulan daya saing dapat digunakan untuk melihat kemampuan suatu daerah/perusahaan untuk mempertahankan dan meningkatkan pangsa pasarnya melalui pemanfaatan keunggulan komparatifnya. Perubahan kekuatan bersaing dapat diakibatkan oleh faktor daya saing harga dan non harga, faktor harga seperti perbedaan laju peningkatan produktivitas, perubahan nilai tukar, perubahan pajak/subsidi ekspor dan perbedaan laju peningkatan tingkat harga nasional. Sedangkan dari sisi non harga dapat ditentukan seperti laju perbaikan kualitas ekspor, pengembangan produk baru, perbedaan laju perbaikan efisiensi pemasaran, dan perbedaan perubahan pemenuhan permintaan ekspor. Apabila tidak ada analisis harga dan non-harga dalam penentuan perubahan daya saing, maka dapat digunakan pangsa ekspor suatu negara sebagai refleksi dari perubahan daya saing. Walaupun perubahan
44 pangsa ekspor tidak menggambarkan secara keseluruhan daya saing, namun paling tidak dapat digunakan sebagai ukuran dalam menggambarkan daya saing suatu negara di pasar internasional (Chen dan Duan, 1999). Analisis daya saing atau keunggulan kompetitif (competitive advantage) dapat digunakan untuk mengetahui kemampuan suatu daerah untuk memasarkan produknya di luar daerah atau di pasar global. Keunggulan kompetitif tidak lagi membandingkan potensi komoditas yang sama di suatu daerah dengan daerah lainnya (seperti pada keunggulan komparatif), melainkan membandingkan potensi komoditas dari suatu daerah dalam mengakses pasar global dibandingkan potensi komoditas yang sama dari semua daerah pesaingnya dalam pasar global. Kemampuan memasarkan barang di pasar global sangat terkait dengan tingkat harga yang berlaku, dimana harga tersebut selalu berfluktuasi. Sedangkan keunggulan komparatif tidak dipengaruhi oleh fluktuasi harga pasar global tersebut. Walaupun demikian keunggulan komparatif dapat dijadikan sebagai pertanda awal bagi suatu komoditas dalam melihat prospek untuk memiliki keunggulan kompetitif (Tarigan, 2004). Selain itu Saragih (2001) mengungkapkan bahwa keunggulan daya saing adalah kemampuan suatu daerah/perusahaan untuk mempertahankan dan meningkatkan pangsa pasar secara menguntungkan dan berkelanjutan melalui pemanfaatan keunggulan komparatifnya. Bahkan menurut Gonarsyah (2005), memberikan pengertian yang lebih operasional tentang keunggulan daya saing, yakni kemampuan untuk memasok barang dan jasa pada waktu, tempat dan bentuk yang diinginkan konsumen, baik di pasar domestik maupun di pasar internasional, pada harga yang sama atau lebih baik dari yang dipasarkan pesaing, dengan memperoleh keuntungan paling tidak sebesar biaya oportunitas, (opportunity cost) sumberdaya yang digunakan. Selanjutnya distorsi dapat terjadi karena adanya kebijakan pemerintah (government policy), baik yang bersifat langsung (seperti tarif) maupun tak langsung (seperti regulasi), dan/atau karena adanya ketidaksempurnaan pasar (market
imperfection),
misalnya
adanya
monopoli/monopsoni
domestik.
Sementara keunggulan komparatif, yang dicirikan oleh rendahnya biaya relatif di tingkat produsen dapat terjadi karena adanya keunggulan statik (static advantage)
45 akibat relatif kaya akan sumberdaya alam tertentu, sumberdaya manusia dan lokasi yang strategis; atau karena adanya keunggulan pembelajaran (learning advantage) yang bersifat dinamik, yang diperoleh dari proses pendidikan, pelatihan, pengalaman dan penelitian; atau kombinasi dari keunggulan statik dan keunggulan pembelajaran, termasuk kearifan tradisional. Oleh karena itu walaupun di tingkat produsen suatu komoditas dapat dikatakan memiliki keunggulan komparatif, karena biaya oportunitas (opportunity cost) relatif rendah, namun di tingkat konsumen komoditas tersebut dapat saja tidak memiliki daya saing (keunggulan kompetitif), hal ini karena adanya distorsi pasar dan/atau biaya transaksi yang tinggi. Atau hal sebaliknya juga dapat terjadi: karena adanya dukungan (campur tangan) kebijakan pemerintah, suatu komoditas memiliki daya saing di tingkat konsumen padahal ia tidak memiliki keunggulan komparatif di tingkat produsen. Dengan meningkatnya proses liberalisasi perdagangan sebagaimana disepakati dalam WTO, hanya komoditas yang memiliki keunggulan komparatif yang dapat memiliki keunggulan kompetitif (daya saing), karena berbagai campur tangan pemerintah makin tidak dimungkinkan lagi akibat disepakatinya prinsip tarifikasi dalam WTO. Sementara monopoli domestik semakin tertekan oleh makin terbukanya pasar domestik akibat makin gencarnya arus globalisasi. Jadi, ke depan upaya peningkatan daya saing harus lebih bertumpu pada upaya peningkatan produktivitas dan efisiensi daripada upaya yang bersifat protektif semata (Gonarsyah, 2005). Selain itu Arifin et al. (2007) menjelaskan bahwa rendahnya daya saing produk Indonesia di pasar internasional disebabkan oleh beberapa faktor, secara umum diantaranya: (1) rendahnya produktivitas; (2) biaya tinggi; yakni tingginya biaya yang harus dikeluarkan oleh pengusaha Indonesia dalam melakukan produksi, (3) iklim investasi yang kurang kondusif; (4) penguasaan teknologi yang masih redah, belum berkembangnya merek produk atau paten nasional; (5) penerapan hambatan tarif dan non tarif di berbagai wilayah; (6) tren peningkatan permintaan produk berkualitas tinggi (aman, sehat dan ramah lingkungan). Oleh karena itu dalam konteks peningkatan daya saing, peran pemerintah menjadi sangat krusial, sebagai fasilitator, regulator, dan bahkan dinamisator, melalui berbagai kebijakan yang secara langsung ataupun tidak langsung guna
46 mendukung upaya peningkatan produktivitas dan efisiensi seperti melalui penelitian dan pengembangan, penyuluhan, peningkatan akses terhadap kredit dan pasar, perbaikan infrastruktur dan sarana informasi pasar dan sebagainya. Karena dalam perspektif jangka panjang upaya-upaya demikian lebih memberikan perlindungan (proteksi) bagi masyarakat dalam era globalisasi ini daripada kebijakan proteksi yang sempit (seperti pengenaan tarif impor). Esensi dari keunggulan komparatif adalah efisiensi. Bagaimana kaitannya dengan aspek pemerataan (equity) dan aspek keberkelanjutan (sustainability). Teori ekonomi mengatakan bahwa setiap keseimbangan pasar yang efisien Pareto bertumpu pada landasan bawaan awal (initial endowments). Sebagaimana diketahui, dimungkinkan terdapat tak terhingga banyaknya keseimbangan pasar yang efisien Pareto, masing-masing dengan alokasi bawaan awal yang berbeda. Secara teoritis sebenarnya tidak ada alih tukar (trade-off) antara efisiensi pemerataan sepanjang kondisi-kondisi berikut terpenuhi, terutama (1) pasar bersifat komplit dan kompetitif sempurna, dan (2) dimungkinkan untuk melakukan transfer kekayaan di antara konsumen yang sifatnya incentive-neutral atau secara lump sum. Adanya alihtukar efisiensi-pemerataan tentunya disebabkan oleh tidak dimungkinkannya transfer pendapatan secara lump sum, dan oleh informasi yang asimetris sehingga transfer tersebut tidak baik (Gonarsyah, 2005). Dalam prakteknya keputusan politik (konsensus nasional) lebih dominan dalam menentukan alokasi bawaan awal mana yang dipilih agar lebih dapat mencerminkan pemerataan pendapatan yang lebih “adil”. Dalam konteks inilah munculnya tuntutan akan reformasi agraria harus dipahami. Lebih jauh, kalau konklusi teoritis di atas diperluas dengan memasukkan faktor waktu dan lebih dari satu generasi, maka hasilnya adalah dimungkinkan terjadinya jalur waktu yang efisien bagi suatu perekonomian, masing-masing tergantung pada alokasi bawaan antara generasi yang berbeda. Selanjutnya keunggulan komparatif merupakan teori yang dikembangkan untuk menunjukkan bahwa suatu negara dapat memperoleh keuntungan dari perdagangan. Prinsip teori ini menyatakan bahwa apabila sumberdaya dapat berpindah antar negara, maka penduduk di suatu wilayah akan mengkhususkan diri pada komoditas-komoditas yang dapat mereka olah secara relatif lebih efisien.
47 Efisiensi relatif ditentukan oleh opportunity cost, yaitu hilangnya sejumlah unit komoditas atau jasa karena berkonsentrasi pada komoditas tertentu. Tiap negara tidak mungkin memiliki opportunity cost yang sama. Bila sebuah negara menghasilkan komoditas yang memiliki keunggulan komparatif dan kemudian diperdagangkan dengan komoditas lain dari negara luar, dimana spesialisasi dan perdagangan tersebut akan menguntungkan kedua belah pihak (Blair,1991). Teori perdagangan yang didasarkan doktrin keunggulan komparatif ini berimplikasi bahwa perdagangan akan selalu menguntungkan bahkan ketika sebuah negara dapat memproduksi semua komoditas secara lebih murah dibanding semua negara lain. (Kasliwal, 1995). Lebih lanjut diuraikan bahwa, pada dasarnya teori perdagangan yang menjelaskan keunggulan komparatif suatu negara telah berkembang dalam tiga versi yaitu (1) Teori Perdagangan Ricardian (Paradigma Ekonomi Klasik): Teori ini didasarkan pada teori nilai tenaga kerja (labor theory of value), David Ricardo mengasumsikan bahwa perbedaan limpahan sumberdaya alam sebagai sumber perbedaan keunggulan komparatif antar wilayah dan hanya tenaga kerja yang merupakan faktor utama dalam proses produksi. Produktivitas tenaga kerja dan sumberdaya alam (endowment) menentukan kombinasi maksimum dari barang yang dapat diproduksi suatu daerah (Kasliwal, 1995). Selain itu David Ricardo berpendapat bahwa di dunia ini, di satu pihak terdapat negara yang faktor-faktor produksinya, seperti tenaga kerja dan alam lebih menguntungkan, dan di lain pihak ada negara yang faktor-faktor produksinya kurang menguntungkan dibandingkan negara lainnya, sehingga dalam menghasilkan beberapa barang suatu negara lebih unggul dan lebih produktif dibandingkan negara lainnya. Bahkan suatu negara dapat tertinggal dalam menghasilkan barang tertentu dibandingkan dengan negara lainnya. Dengan demikian menurut konsep perbedaan biaya mutlak (Adam Smith), kedua negara itu tidak dapat mengadakan pertukaran atau perdagangan. Akan tetapi menurut David Ricardo sekalipun suatu negara itu tertinggal dalam segala rupa, ia dapat juga ikut serta dalam perdagangan internasional asalkan setiap negara yang berdagang itu dapat mengkhususkan dirinya dalam memproduksi sejenis barang yang paling menguntungkan (Sobri, 2001). Berdasarkan pandangan
48 teori ini, maka dalam konteks perdagangan antar pulau, alasan kegiatan perdagangan antar pulau tidak hanya memperhatikan tingkat keuntungan mutlak saja, melainkan cukup dengan adanya perbedaan biaya komparatif (yang menimbulkan keuntungan komparatif), akan memberikan keuntungan di masingmasing daerah yang melakukan kegiatan perdagangan. Teori ini dikritik karena asumsinya bahwa tenaga kerja merupakan satusatunya faktor produksi. Teori nilai tenaga kerja menjelaskan mengapa terdapat perbedaan dalam comparative advantage itu karena adanya perbedaan di dalam fungsi produksi antara dua negara. Jika fungsi produksinya sama, maka kebutuhan tenaga kerja juga akan sama nilai produksinya sehingga tidak akan terjadi perdagangan internasional. Oleh karena itu syarat timbulnya perdagangan antar negara adalah perbedaan fungsi produksi di antara dua negara tersebut. Namun teori ini tidak dapat menjelaskan mengapa terdapat perbedaan fungsi produksi antara dua negara (Nopirin, 1997). Walaupun demikian David Ricardo dikenal sebagai penemu teori perdagangan internasional modern (Halwani dan Tjiptoherijanto, 1993). Teori Perdagangan Neoklasik oleh Heckscher dan Ohlin (1930-an) yang dikenal dengan teori proporsi faktor yaitu menyoroti perbedaan kelangkaan (scarcity) relatif dari produktivitas faktor K (capital) dan L (labor) yang mempengaruhi perbedaan harga faktor PK/PL yang berlaku dan mempengaruhi biaya produksi, serta berpengaruh pada harga produk (Kasliwal, 1995). Heckscher dan Ohlin beranggapan bahwa perdagangan antar daerah sesungguhnya adalah masalah harga. Harga suatu barang itu terjadi karena ada permintaan dan penawaran. Perbedaan harga inilah yang menjadi dasar terjadinya perdagangan antar daerah yang disebabkan perbedaan komposisi dan proporsi faktor-faktor produksi yang dimiliki oleh negara-negara di dunia ini (Sobri, 2001). Implikasi penting dari teori ini adalah bahwa setiap negara hendaknya melakukan spesialisasi dan mengekspor barang-barang sesuai dengan kelimpahan karunia sumberdaya yang dimiliki. Negara yang memiliki kelimpahan faktor tenaga kerja hendaknya melakukan spesialisasi dan mengekspor barang-barang yang produksinya bersifat padat karya (Iabor intensive), sementara itu negara-negara yang memiliki
49 kelimpahan faktor modal hendaknya memproduksi dan mengekspor barangbarang yang produksinya bersifat padat modal (capital intensive). Teori Heckscher-Ohlin juga memperkenalkan factor price equalization theorem, yang menyatakan bahwa perdagangan yang bebas antara dua negara cenderung
akan
menyamakan
tidak
hanya
harga
barang-barang
yang
diperdagangkan saja, tetapi juga harga faktor produksi yang homogen di kedua negara tersebut. Teori Perdagangan Modern: Dynamic Comparative Adventage Porter (1985), menjelaskan teori ini menyoroti arti penting teknologi disamping faktor produksi lainnya (modal dan tenaga kerja) dalam proses produksi sebagai sumber keunggulan komparatif. Negara yang memiliki keunggulan komparatif dalam industri dimana perusahaan mendapatkan keuntungan yang pasti atas pengaruh teknologi (Kasliwal, 1995). Akan tetapi menurutnya, teknologi mengalami perubahan dan penyebaran yang cepat, sehingga inovasi baru (produk) yang didasarkan pada teknologi pada awalnya mampu memiliki posisi monopoli dan kemudahan mengakses pasar luar, namun lambat laun gap teknologi akan semakin tipis antar perusahaan (daerah) sehingga produk cepat mencapai tahap kejenuhan (mature stage) dalam tahap siklus produk (product life cycle). Implikasi dari teori ini mengungkapkan bahwa keunggulan komparatif tidak statis, tapi bersifat dinamis dan dapat diciptakan atau dikembangkan. Secara umum, perubahan keunggulan komparatif terjadi ketika faktor endowment yang dimiliki suatu daerah berubah. Jenjang perubahan keunggulan komparatif suatu daerah, diawali dari mengekspor komoditas yang dihasilkan dengan menggunakan faktor-faktor dasar (basic factors), seperti sumberdaya alam dan tenaga kerja yang kurang atau tidak terampil (unskilled or semiskilled labor) kemudian meningkat menjadi mengekspor komoditas yang dihasilkan dengan menggunakan faktorfaktor spesial dan maju, seperti infrastruktur komunikasi data digital modern, tenaga
kerja
terampil
dan
berpendidikan
tinggi,
aktivitas
riset
dan
pengembangannya (Meier et al. 1995). Lebih lanjut diuraikan bahwa keunggulan komparatif menurut tipeRicardian dan tipe-Ohlin merupakan jenjang dasar dari keunggulan komparatif yang didominasi oleh faktor-faktor dasar (basic factors) dimana barang-barang yang dihasilkan berdasarkan pada “natural” comparative adventage. Sedangkan
50 pada jenjang puncak, faktor-faktor yang lebih maju (advanced factors) mendominasi dimana faktor-faktor tersebut harus selalu di kembangkan atau diciptakan melalui investasi sumberdaya manusia dan modal fisik (investment in humand and physical capital) dalam rangka untuk mencapai keunggulan komparatif (“created” comparative adventage) Implikasi penting dari pengertian keunggulan komparatif adalah suatu negara hanya dapat mengekspor produknya ke negara lain karena mampu menghasilkan produk secara lebih murah atau lebih efisien dibandingkan daerah lain (Kasliwal, 995). Dengan demikian konsep keunggulan komparatif pada prinsipnya menekankan pada produksi komoditas perdagangan tertentu yang didasarkan pada limpahan faktor-faktor endowment (Sumberdaya alam, tenaga kerja, modal dan atau teknologi) yang dimiliki wilayah, sehingga wilayah dapat lebih produktif atau lebih efisien dalam menggunakan sumberdayanya dibandingkan wilayah lain. Dengan kata lain keunggulan komparatif komoditas tertentu di suatu wilayah memungkinkan komoditas tersebut dapat diproduksi relatif lebih murah dibandingkan jika diproduksi di wilayah lain, yang berarti pula komoditas tersebut memiliki prospek untuk dapat diperdagangkan ke wilayah lain yang memiliki harga relatif lebih tinggi. Semakin tinggi tingkat keunggulan komparatif yang dimiliki
oleh
suatu
wilayah,
maka
semakin
tinggi
pula
daya
saing
(competitiveness) komoditas yang dihasilkannya dalam perdagangan antar daerah. Berdasarkan uraian tersebut di atas maka tingkat keunggulan komparatif komoditas yang di hasilkan dapat menunjukkan apakah penggunaan faktor-faktor endowment (sumberdaya) untuk menghasilkan komoditas yang digunakan relatif lebih efisien atau tidak. Apabila komoditas unggulan suatu daerah produktif (lebih efisien) dibadingkan daerah lain, maka prospek daya saing dalam perdagangan komoditas akan meningkat. Sebaliknya jika kurang efisien, berarti terjadi kebocoran sumberdaya wilayah dan pemborosan, yang harus ditanggung masyarakat suatu wilayah. Untuk menganalisis arah daya saing ekspor, salah satu diantaranya dapat menggunakan model constant market share (CMS) sebagaimana studi daya saing produk pangan/pertanian di Kanada dengan kompetitor di pasar Asia periode tahun 1980-1997 Chen dan Duan (1999). Model Constan Market Share (CMS)
51 pertama kali digunakan oleh Tysznsky pada tahun 1951, yang merupakan pengembangan dari model Creamer. Asumsi dasar yang digunakan dalam analisis model CMS untuk mengukur daya saing ekspor kelompok komoditas pada tingkatan yang sama yaitu pangsa pasar yang konstan, dimana setiap perbedaan antara perubahan aktual ekspor suatu negara dan penjumlahannya dapat menyebabkan perubahan komposisi ekspor/ daya saing suatu negara. Asumsi yang digunakan pada model pangsa pasar konstan (CMS) adalah pangsa pasar dalam pasar dunia tidak berubah antar waktu. Karena itu, pendekatan ini sangat rentan bila rentang waktunya terlalu panjang. Menurut pendekatan ini perbedaan antar pertumbuhan ekspor dalam kondisi konstan dan keragaman ekspor aktual berasal dari tiga sumber yaitu efek komposisi komoditas, efek distribusi pasar, dan efek daya saing. Lebih jauh lagi, efek daya saing dapat bersumber dari daya saing harga dan non harga seperti kualitas, pelayanan, dan peningkatan pemasaran. Pengembangan lebih lanjut dari model CMS seperti yang dilakukan oleh Chen dan Duan (1999); Anwar (2005) dimana efek struktural telah didekomposisi menjadi beberapa effek diantaranya: efek pertumbuhan, efek pasar, efek komoditas, dan efek interaksi struktural. Sedangkan efek kompetitif didekomposisi menjadi efek kompetitif umum dan efek kompetitif spesifik; kemudian efek ordo kedua didekomposisi menjadi efek ordo kedua murni dan residual struktural dinamik. Selain rentan terhadap panjang waktu, kelemahan lainnya masalah sifatnya yang statik dan deterministik. Perkembangan analisis daya saing ekspor suatu negara dalam perdagangan internasional melalui pendekatan model Constant Market Share (CMS) telah beberapa kali mengalami penyempurnaan dan penggunaannya seperti Leamer dan Stern (1970), selanjutnya disempurnakan oleh Richardson (1971), Fagerberg dan Sollie (1987); Chen dan Duan (1999); Djaja (1992); Johnson and Shachmurove (2002); dan Kellman (2003); menjelaskan bahwa kinerja dan pertumbuhan ekspor dipengaruhi oleh empat komponen utama yaitu (a) efek perdagangan dunia, (b) efek komposisi komoditas/ jenis mutu, (c) efek distribusi pasar, dan (d) efek daya saing. Selain itu penggunaan model CMS telah dikembangkan Chen dan Duan (1999); Djada (1992); dan Anwar (2005) dengan mendekomposisi serta
52 menghitung beberapa efek struktural yang didekomposisi menjadi efek pertumbuhan, efek pasar, efek komoditas, dan efek interaksi struktural. Selanjutnya efek kompetitif di dekomposisi lagi menjadi efek kompetitif umum dan efek kompetetitif spesifik, serta efek ordo kedua yang didekomposisi menjadi efek ordo kedua murni dan efek residual struktural dinamik. Selain itu model tersebut dianggap masih relevan untuk mendukung analisis daya saing ekspor yang akan dilakukan, terutama guna melihat arah daya saing komoditas suatu negara. Selain itu Djaja (1992) dengan menggunakan model CMS menjelaskan bahwa pertumbuhan ekspor produk kehutanan Indonesia yang meningkat drastis periode tahun 1970-1989 merupakan efek positif dari perdagangan dunia dan efek daya saing. Sedangkan dilihat dari efek komposisi komoditas, ekspor produk kehutanan Indonesia memiliki nilai negatif. Studi tersebut hanya menggunakan perubahan nilai ekspor untuk melihat daya saing ekspor. Dengan demikian maka penggunaan model CMS dapat digunakan untuk mengetahui arah daya saing komoditas di pasar internasional, namun analisis dengan menggunakan model tersebut juga mempunyai beberapa keterbatasan diantaranya adalah; (1) persamaan yang digunakan sebagai dasar untuk mendekomposisi pertumbuhan ekspor adalah masih dalam bentuk suatu identitas, akibatnya penjelasan dari perubahan daya saing ekspor tidak dapat dievaluasi lebih rinci, (2) analisis dalam membandingkan daya saing ekspor hanya antara dua titik waktu, dan tidak mampu menjelaskan perubahan daya saing selama periode dua titik waktu, lainnya (3) penggunaan model Constant Market Share (CMS) sensitif terhadap penentuan tahun dasar analisis. Walaupun memiliki keterbatasan dan kelemahan dalam penggunaannya, namun model CMS hingga dewasa ini terbukti masih cukup berguna untuk menunjukkan arah daya saing ekspor suatu komoditas bagi suatu negara. Dari pengembangan model analisis daya saing yang menggunakan model Constan Market Share (CMS) terlihat bahwa secara umum model tersebut dapat digunakan untuk mengetahui daya saing ekspor suatu negara/kelompok komoditas dalam perdagangan dunia, serta memiliki kemampuan memprediksi pangsa perdagangan berdasarkan observasi historis. Deteksi daya saing dapat dilakukan dengan memperhatikan naik turunnya nilai pada komponen efek daya saing, (Richardson,
53 1971). Selanjutnya Djaja (1992) menyarankan bahwa untuk mendapatkan hasil analisis yang komprehensif untuk pengambilan kebijakan, sebaiknya penggunaan model Constant Market Share (CMS) perlu dilengkapi dengan analisis permintaan ekspor komoditas negara bersangkutan. Permintaan Ekspor Studi tentang permintaan pasar komoditas menurut Gonarsyah (2005) dengan menggunakan model Armington menunjukkan bahwa perubahan pada harga dan permintaan karet alam di Amerika Serikat berpengaruh terhadap kinerja ekspor Indonesia. Sedangkan peningkatan
harga faktor
produksi akan
menurunkan permintaan karet, sebagai konsekuensi akibat dari kenaikan harga. Selain itu studi juga menjelaskan bahwa devaluasi mata uang rupiah dan pengurangan pajak ekspor karet alam memberi efek positif terhadap kinerja ekspor karet Indonesia, dengan asumsi model yang digunakan yaitu elastisitas substitusi adalah konstan. Sedangkan Simatupang (1999) dengan menggunakan model perdagangan umum Armintong dalam mengevaluasi prospek permintaan dunia terhadap kopi Indonesia data 1973-1995 menunjukkan bahwa peningkatan total impor kopi di Amerika Serikat dan Jepang berpengaruh positif terhadap kontribusi impor kopi arabika dan kopi robusta dari Indonesia. Studi tersebut menganalisis penawaran ekspor kopi Indonesia ke negara tujuan ekspor utama. Namun studi ini belum menganalisis penawaran kopi di negara-negara produsen pesaing. Selain itu Akiyama dan Duncan (1982) dengan menggunakan model ekonometrika memproyeksi tingkat konsumsi, produksi dan harga kopi. Pada tingkat permintaan dan penawaran di negara-negara produsen dan konsumen utama. Hasil studi tersebut menunjukkan bahwa adanya ramalan yang pesimistik untuk pertumbuhan konsumsi dan harga, dimana permintaan Amerika Serikat diproyeksi stagnan, sedangkan permintaan Eropa Barat sangat bergantung pada pertumbuhan
pendapatan.
Selain
itu
simulasi
model
dilakukan
untuk
menunjukkan kerentanan harga kopi dan penerimaan ekspor. Selanjutnya Malian et al. (2004) dengan menggunakan model ekonometrika mengkaji permintaan ekspor dan daya saing panili di Provinsi Sulawesi Utara,
54 dengan menggunakan persamaan dan fomula Simatupang (1999) menjelaskan bahwa ekspor panili dunia dikuasi oleh tiga negara yaitu Indonesia, Madagaskar dan Komoro. Hasil analisis menunjukkan bahwa permintaan pasar ekspor panili Indonesia di Amerika Serikat dipengaruhi oleh total nilai impor panili dan Product Domestic Bruto (PDB) Amerika Serikat (USA). Sedangkan dilihat dari sisi elastisitasnya dijelaskan bahwa komoditas panili Indonesia merupakan barang substitusi yang pangsa ekspornya akan meningkat jika negara pesaing menaikkan harga ekspornya. Kemudian Anwar (2005) dalam studi prospek karet alam Indonesia di pasar internasional, dengan menggunakan model kointegarsi dan ECM, menjelaskan bahwa permintaan ekspor karet alam Indonesia pada beberapa kawasan/ konsumen utama yaitu Amerika Serkat, Uni Eropa, Jepang dan China, Hasil analisis menunjukkan bahwa permintaan karet alam Indonesia di Jepang dan China dipengaruhi oleh pertumbuhan GDP, sedangkan di negara-negara lainnya (ROW), selain dipengaruhi oleh pertumbuahn GDP juga dipengaruhi oleh harga minyak mentah, dan selanjutnya di Amerika Serikat permintaan karet alam dipengaruhi oleh rasio harga karet sintetik dan karet alam. Persamaan permintaan ekspor dispesifikasi dalam variabel pendapatan sebagai representasi dengan kendala anggaran pada pasar yang dituju. Tanda dari variabel ini diharapkan positif dan lebih besar dari satu, yang berarti bahwa pasar tersebut tidak mengimpor barang-barang inferior dari negara eksportir. Dengan demikian maka model yang dapat digunakan untuk menganalisis permintaan komoditas Indonesia di pasar utama yaitu dapat menggunakan modifikasi model Krugman and Obstfeld (2000), dimana perilaku fungsi permintaan dalam banyak situasi dapat digambarkan dalam bentuk dinamis, hal tersebut terjadi karena perubahan harga dan pendapatan tidak direspon segera oleh konsumen komoditas. Perilaku fungsi permintaan dalam banyak situasi, dapat digambarkan dalam bentuk dinamis. Hal tersebut karena perubahan harga dan pendapatan tidak selalu direspon segera oleh konsumen. Selain itu perlunya waktu untuk penyesuaian, karena konsumen memiliki kebiasaan tertentu serta kekakuan (rigidity) dari teknologi dan kelembagaan. Dengan demikian adalah penting untuk melihat fungsi permintaan dalam bentuk jangka pendek dan jangka panjang. Jika
55 menggunakan data deret waktu, sebagaimana model kointegrasi Johansen (1990) Sedangkan teknik uji kointegrasi telah dijelaskan oleh (Engle dan Grenger,1987; Rao,1994; Enders,1995; Thomas,1997; dan Juanda, 2007). Dampak Kesejahteraan dari Kebijakan Perdagangan Internasional Dengan menggunakan analisis partial equilibrium dengan asumsi pasar persaingan sempurna dalam melihat dampak kesejahteraan dari penerapan instrumen kebijakan perdagangan internasional, dengan mengakomodasi interaksi antara ekspor dan impor serta melihat dampak kebijakan pada banyak sektor ekonomi dapat dianalisis dengan menggunakan ilustrasi model consumer surplus (CS) dan producer surplus (PS). Konsep consumer surplus (CS) dan producer surplus (PS) digunakan mengukur dampak kesejahteraan (walfare effect) bagi konsumen dan produsen. Consumer surplus didefinisikan sebagai perbedaan antara harga sebuah barang dimana konsumen bersedia membayar dari harga sebenarnya yang dibayar oleh konsumen tersebut. Selanjutnya produser surplus merupakan perbedaan antara harga jual sebuah barang yang sebenarnya diperoleh oleh perusahaan dengan harga jual (minimal) yang bersedia diterima oleh perusahaan tersebut seperti ditunjukkan oleh ilustrasi luas area LMN yang merupakan total produser surplus. Dalam kaitan ini, total consumer surplus dapat direpresentasikan oleh area KLM seperti grafik pada Gambar 5 di bawah ini.
Gambar 5. Konsep Consumer Surplus (CS) dan Producer Surplus (PS), dan Dampak Kesejahteraan dari Kebijakan Perdagangan Internasional
56 Selanjutnya dengan menggunakan asumsi (i) perdagangan hanya untuk dua negara yaitu Indonesia dan Jepang misalnya, dimana Jepang diperlakukan sebagai negara lainnya (rest of the world); (ii) kedua negara ini memiliki produsen dan konsumen dari barang yang diperdagangkan di pasar internasional, sehingga dengan menggunakan grafik pada Gambar 6 dapat dilihat dampak kesejahteraan yang ditimbulkan atas penerapan tarif impor oleh suatu negara.
Gambar 6. Dampak Kesejahteraan dari Kebijakan Perdagangan Internasional (Suranovic, 1997). Konsumen
Indonesia
mengalami
kemunduran
kesejahteraan
akibat
penerapan tarif, misalnya untuk komoditas beras. Kenaikan harga beras impor maupun produksi domestik mengurangi consumer surplus sebesar -(A+B+C+D). Sebaliknya, kesejahteraan produsen beras Indonesia meningkat seiring dengan kenaikan harga beras. Selain itu, kenaikan harga beras juga mendorong peningkatan produksi beras Indonesia dan perbaikan kesempatan kerja. Produser surplus di Indonesia meningkat sebesar +A. Sedangkan penerimaan Pemerintah Indonesia dari pengenaan tarif meningkat sebesar +(C+D). Akibat penerapan tarif impor beras, Indonesia sebagai negara besar, dalam perdagangan beras dapat menikmati net dari kenaikan atau pun penurunan kesejahteraan sebesar +G-(B+D). Bila kenaikan kesejahteraan yang berasal dari keuntungan terms of trade +G lebih besar dari distorsi negatif baik dari produksi –B
maupun
konsumsi
–D,
berarti
Indonesia
mengalami
peningkatan
kesejahteraan. Namun bila yang terjadi sebaliknya, berarti Indonesia mengalami
57 penurunan kesejahteraan. Sedangkan secara umum dengan ilustrasi penerapan tarif impor, Indonesia terlihat akan mengalami kenaikan kesejahteraan, hal ini karena keuntungan dari terms of trade yang terjadi melebihi deadweight loss yang diakibatkan penerapan tarif (Arifin et al. 2007) seperti Tabel 1 di bawah ini. Tabel 1. Dampak Kesejahteraan dari Pengenaan Tarif dalam Perdagangan Internasional Dampak Kesejahteraan dari Pengenaan Tarif Negara Importir Negara Eksportir Komponen (Indonesia) (Jepang) Consumer Surplus (CS) -( A+B+C+D ) +e Produser Surplus (PS) +A - (e+f+g+h) Penerimaan Pemerintah +(C+G ) 0 Kesejahteraan Nasional +G–(B+D) - (f+g+h) Kesejahteraan Dunia -(B+D) – (f +h) Sedangkan dari ilustrasi di atas terlihat bahwa Jepang sebagai negara eksportir beras secara umum dirugikan dengan pengenaan tarif impor oleh pemerintah Indonesia, penurunan harga beras di pasar domestik Jepang menyebabkan penurunan produser surplus. Harga yang turun juga mendorong kelesuan produksi dan menambah pengangguran. Secara keseluruhan, produser surplus menurun sebesar –(e+f+g+h). Hanya konsumen beras di Jepang yang menikmati keuntungan dari pengenaan tarif impor beras di Indonesia, dimana consumer surplus meningkat sebesar +e sebagai akibat penurunan harga beras. Dengan demikian secara agregat kesejahteraan nasional Jepang berkurang sebesar –(f+g+h). Penurunan tersebut berasal dari kerugian terms of trade sebesar –g, serta akibat dari distorsi negatif dari konsumsi – f dan dari produksi – h. Selanjutnya untuk kesejahteraan dunia yang merupakan penjumlahan kesejahteraan nasional Indonesia dan Jepang terlihat mengalami penurunan sebesar –(B+D+f+h) sebagai akibat penerapan tarif impor beras di Indonesia. Dengan menganggap keuntungan dan kerugian terms of trade di Indonesia (+G) dan Jepang (-g) dengan nilai absolut yang sama dan karena saling meniadakan, sehingga penurunan kesejahteraan dunia disumbangkan oleh distorsi negatif dari produksi –B dan konsumsi –D di Indonesia serta distorsi negatif dari produksi –h dan konsumsi –f di Jepang. Dengan kata lain, dapat disimpulkan bahwa
58 pengenaan tarif impor akan mengurangi baik efisiensi produksi maupun efisiensi konsumsi, serta menekan kesejahteraan dunia. Dari Ilustrasi di atas dapat disimpulkan bahwa dengan kebijakan perdagangan internasional akan terdapat pihak yang mengalami peningkatan kesejahteraan, namun ada juga yang dirugikan. Namun secara umum penerapan instrumen kebijakan perdagangan internasional yang jauh dari semangat perdagangan bebas cenderung menyebabkan penurunan kesejahteraan dunia, karena dapat mengurangi efisiensi konsumsi dan produksi (Arifin et al. 2007).
Pembangunan Ekonomi Berkelanjutan Pembangunan ekonomi berkelanjutan pada hakekatnya bertujuan untuk meningkatkan produktivitas, efisiensi, pertumbuhan (growth), meningkatkan tujuan sosial seperti pemerataan, keberimbangan, dan keadilan (equity), serta meningkatkan keberlanjutan (sustainability) ekologi. Menurut Laporan Komisi Lingkungan dan Pembangunan (The Burdtland Comission) yang berjudul Our Common Future 1987, menjelaskan bahwa pembangunan berkelanjutan artinya bagaimana memenuhi kebutuhan generasi saat ini tanpa harus mengorbankan kebutuhan generasi yang akan datang. Lebih jauh lagi Seragaldin (1996) menjelaskan bahwa tujuan pembangunan berkelanjutan terdiri dari tiga tujuan pokok yang saling berkaitan, yakni: (1) tujuan ekonomi, yaitu pertumbuhan berkelanjutan dan efisiensi kapital, (2) tujuan sosial, yaitu pengentasan kemiskinan dan pemerataan, (3) tujuan ekosistem, yaitu pengelolaan sumberdaya yang menjamin keberlanjutan. Kemudian Bishop dan Woodward tahun 1994 mengilustrasikan keterkaitan antara kebijakan berdasarkan efisiensi dan kebijakan berdasarkan keberlanjutan dalam kasus antar generasi (intergeneration) secara sederhana yaitu suatu dunia ekonomi yang terdiri hanya dari dua generasi yang tak tumpang tindih (nonoverlapping generations) dengan besar populasi yang sama, yang memanfaatkan satu sumberdaya yang tak terbarukan (non-renewable). Dalam ekonomi yang efisien keberlanjutan (sustainability) dapat didefinisikan dalam bentuk distribusi bawaan (distribution of endowments) atau dalam bentuk hasil (outcomes) yang dinikmati, dimana dalam dunia nyata bawaan (endowment) yang dimiliki tiap
59 generasi sangat luas, meliputi bawaan sumberdaya alam seperti minyak bumi, mineral, lahan, air, tumbuhan, binatang dan bahkan atmosfir. Bawaan sumberdaya terdiri dari aset (misalnya cadangan minyak bumi) dan tanggungan (misalnya limbah nuklir). Selain itu juga termasuk dalam bawaan sumberdaya adalah komponen non-sumberdaya termasuk di dalamnya sains dan teknologi, kelembagaan (institusi), budaya, modal sosial, modal insani, dan infrastruktur. Tiap generasi cenderung memanfaatkan segala sumberdaya alam yang dapat dieksploitasinya dengan teknologi dan cara-cara ekonomi yang dimilikinya. Secara historis, deplesi dan degradasi sumberdaya dibatasi oleh kendala teknologi, tenaga kerja, dan modal yang tidak memungkinkan untuk mengeksploitasi dalam skala seperti kini (Gonarsyah, 2005). Selain itu dijelaskan bahwa pemanfaatan sumberdaya tak terbarukan (nonrenewable) oleh generasi kini terjadi dengan laju yang begitu cepat. Lebih jauh dalam skala global, sumberdaya terbarukan (renewable) juga tereksploitasi dan terdegradasi makin berat. Oleh karena itu, tidak dapat dipungkiri bahwa sumberdaya alam yang diwariskan kepada generasi mendatang akan semakin berkurang dan semakin terdegradasi. Kecenderungan ini diperparah lagi dengan berlakunya hukum thermodinamika II, The Entropy Law, bahwasanya jumlah energi yang tersedia untuk dimanfaatkan akan cenderung berkurang, dan hal ini tidak dapat dihindari. Sejarah menunjukkan bahwa dahulu masyarakat dapat meningkatkan bawaan sumberdaya alam melalui penaklukan dan eksplorasi untuk mengimbangi deplesi dan degradasi sumberdayanya. Dewasa ini, walau kegiatan tersebut masih terus berlangsung namun, upaya tersebut terlihat cenderung semakin berkurang (diminishing returns) hal ini karena tidak ada lagi daratan atau pulau penuh dengan sumberdaya perawan dengan sedikit populasi tanpa kedaulatan yang tersedia. Dengan demikian sehingga orang mempertanyakan berapa banyak lagi cadangan minyak bumi Timur Tengah atau bahkan Lereng Utara Alaska yang tersedia untuk ditemukan. Demikian juga di Indonesia. Oleh karena itu di masa akan datang keberlanjutan sangat tergantung pada peningkatan (augmentation) dari bawaan non-sumberdaya (non-resource components), seperti pada kemajuan sosial (social progress) disamping dari sumberdaya alam yang tersisa.
60 Dalam aspek kemajuan sosial seperti kemajuan sains dan teknologi, perbaikan kelembagaan (institusi), peningkatan aspek budaya (misalnya seni), dan akumulasi sumberdaya manusia dan fisik yang makin berkualitas. Kemajuan sosial membantu mengeksploitasi kemungkinan substitusi untuk mengurangi atau mengatasi efek-buruk dari penurunan sumberdaya alam. Substitusi sumberdaya yang lebih banyak untuk sumberdaya yang lebih sedikit, substitusi sumberdaya terbarukan untuk sumberdaya tak terbarukan, substitusi modal (capital)dan tenaga kerja untuk sumberdaya alam, dan substitusi barang-barang dan jasa-jasa yang kurang intensif sumberdaya untuk yang lebih intensif sumberdaya yang semuanya dapat membantu mengimbangi deplesi dan degradasi sumberdaya. Institusi, terutama yang berkaitan dengan pasar dapat menciptakan insentif bagi penggantian sumberdaya yang menjadi semakin langka dan juga dapat mendorong pengembangan teknologi baru untuk meningkatkan kemungkinan substitusi. Dalam konteks pengembangan pertanian yang merupakan sumber perekonomian
masyarakat,
keberlanjutan
dapat
diwujudkan
apabila
pengelolaannya sumberdaya untuk menghasilkan kebutuhan pokok manusia (sandang, pangan, dan papan) sekaligus dapat meningkatkan kualitas lingkungan dan melestarikan sumberdaya alam (Sabiham, 2008). Selain itu dijelaskan bahwa pertanian yang berkelanjutan akan terwujud apabila lahan dipergunakan untuk usaha pertanian yang tepat dengan cara pengelolaan yang sesuai. Penggunaan lahan yang tepat tidak hanya menjamin bahwa lahan akan memberi kemaslahatan untuk pemakaian masa kini dan juga untuk generasi masa-masa mendatang. Dari berbagai konsep pembangunan ekonomi berkelanjutan dapat diartikan bahwa tujuan ganda efisiensi dan keberlanjutan dapat dicapai apabila memperlakukan keberlanjutan sebagai kendala. Artinya masyarakat yang berpegang
pada
kedua
tujuan
tersebut
akan
membatasi
diri
dengan
mempertimbangkan jalur-jalur efisiensi yang berkelanjutan (sustainable). Sejauhmana kendala keberlanjutan mengikat (binding) atau tidak tergantung kepada kemajuan sosial dan peningkatan (augmenting) sumberdaya. Lepas dari polemik antara kubu optimis dan kubu pesimis mengenai keberlanjutan ekonomi maka yang lebih penting adalah bagaimana mempertimbangkan kebijakan yang dapat meningkatkan tercapainya jalur yang efisien dan keberlanjutan.
61 Penelitian Terdahulu tentang Kayu Manis Kayu Manis sebagai Komoditas Berbagai penelitian terdahulu yang pernah dilakukan berkaitan dengan kajian kayu manis diantaranya seperti Rusli dan Abdullah (1988) dengan menggunakan metode analisis deskriptif, menjelaskan bahwa kayu manis di Indonesia memiliki prospek yang baik untuk mendukung kegiatan penghijauan, merehabilitasi tanah kritis terutama bagi daerah aliran sungai serta di kawasan konservasi. Selanjutnya Muklis (1994) dalam penelitian tata niaga kayu manis dengan menggunakan metode deskriptif, menjelaskan bahwa KUD dapat berperan memotong jalur pemasaran kayu manis yang dianggap terlalu panjang. Sedangkan Dhalimi et al. (1994) dalam penelitian budidaya kayu manis, dengan menggunakan metode deskriptif menjelaskan bahwa, produksi dan mutu kayu manis serta hasil olahannya sangat ditentukan oleh ketepatan dalam budidaya, sedangkan dalam budidaya hal yang perlu diperhatikan diantaranya adalah kualitas bibit, cara penyemaian dan jarak penanaman. Kemudian Yohono et al. (2000) dalam penelitian kayu manis (cassiavera) dengan menggunakan metode survei dan analisis deskriptif, menjelaskan bahwa pola budidaya cassiavera secara monokultur dapat berfungsi merehabilitasi lahan kritis dan memperbaiki tata air serta dapat berfungsi sebagai penyerap tenaga kerja. Selanjutnya Sari (2002) dalam studi pengembangan usaha kecil kayu manis di Kabupaten Kerinci, dengan menggunakan metode deskriptif dan analisa usaha tani, menjelaskan bahwa dari sisi kelayakan usaha tani, pengembangan usaha tani kayu manis di Kabupaten Kerinci dinyatakan layak untuk di kembangkan secara ekonomi. Sedangkan Suherdi et al. (2003) dalam penelitian panen dan pasca panen kayu manis dengan menggunakan metode analisis deskriptif, dijelaskan bahwa produk cassiavera petani umumnya dalam peningkatan nilai tambah dilakukan pengolahan kembali oleh eksportir sebelum di ekspor ke pasar internasional. Sedangkan kegiatan pengolahan tersebut umumnya masih difokuskan pada peningkatan kebersihan dan keseragaman serta penurunan kadar air komoditas kayu manis yang dinilai masih relatif tinggi. Selanjutnya hasil penelitian BPTRO (2003) dengan menggunakan metode kualitatif dan kuantitatif, menjelaskan bahwa kayu manis dapat berperan dalam
62 memperbaiki lahan konservasi serta penata tata air khusus di daerah Sumatera Barat dan Jambi. Sedangkan MaRI (2006) menjelaskan bahwa keberadaan tanaman obat-obatan dan tanaman rempah-rempah seperti kayu manis, memiliki prospek yang baik pada masa yang akan datang untuk memenuhi kebutuhan dunia, serta menyarankan perlunya upaya peningkatan dan pengembangannya pada masa yang akan datang. Dari berbagai penelitian terdahulu yang telah ditelusuri menunjukkan bahwa kajian kebocoran wilayah dalam sistem agribisnis komoditas kayu manis rakyat serta dampaknya terhadap perekonomian wilayah di Indonesia belum pernah dilakukan oleh peneliti lainnya. Dengan demikian maka dari keterbatasan tersebut menarik untuk dikembangkan dewasa ini, terutama dalam upaya meningkatkan kesejahteraan masyarakat dan perekonomian wilayah.
Botani Tanaman Kayu Manis Tanaman kayu manis merupakan Genus Cinnamommum yang memiliki species sekitar 300 jenis. Beberapa jenis species yang dikenal dalam dunia perdagangan, yaitu species jenis C.zeylanicum atau “true cinnamon” atau dikenal dengan nama lain seperti cinnamon Sri Lanka, kemudian jenis Cassia [C. aromaticum atau C. Cassia], C. Camphor Laurel [C.camphora], Cinnamon Saigon [C.loureiroi] atau dikenal sebagai cinnamon Vietnam, Malabathrum [C.tamala] yang dikenal sebagai C. tejpat (tetj pat Hindi) atau disebut dengan “ Indian bay leaf serta Cinnamon burmanni yang merupakan jenis cinnamon yang dikembangkan di Indonesia. Sedangkan dalam penyebaranya, tanaman kayu manis tumbuh dengan baik di daerah tropis dan subtropis seperti di Amerika Utara, Amerika Tengah, Amerika Selatan, Asia (Sri lanka, India, Indonesia, Vietnam dan China), Oceania dan Australia (Dep.Perdagangan, 2004). Species jenis Cinnamon burmanni, merupakan jenis cinnamon yang bentuk pohonnya dengan ciri-ciri tinggi batang rata-rata mencapai 15 meter, bercabangcabang, dan daun bentuk tunggal, lanset, warna merah muda pucat ketika dalam keadaan muda, dan berwarna hijau tua ketika daun kondisi tua. Dengan buahnya berwarna hijau ketika muda dan berwarna hitam ketika tua, dengan sistem perakarannya berbentuk akar tunggal. Di Indonesia jenis tanaman seperti ini,
63 merupakan
tanaman
asli
dengan
jenis
cinamommum
burmani.
Dalam
perkembangannya di Indonesia species ini diberi nama Cassia Indonesia. Nama ini disepakati pertama kali pada waktu pertemuan tehnis konsensus revisi standar casia tahun 1987 dan pada sidang International ISO TC 34/SC7 yang ke-18 bulan November 1992 di Jakarta, tentang pembahasan nomenklatur untuk species komoditas. Komoditas kayu manis untuk Indonesia semula dalam perdagangan komoditas dunia disebut dengan nama Batavia Cassia, Java Cassia, Padang Cassia, Korintji Cassia, dan Cassiavera. Namun sejalan dengan perkembangan penggunaan nama komoditas dalam dunia perdagangan, sehingga komoditas kayu manis di Indonesia sering disebut dengan nama Cassia Indonesia atau Cassiavera, (Departemen Perdagangan, 2004). Dalam penggunaan dan konsumsi, kayu manis dikelompokkan dalam bagian komoditas tanaman rempah dan obat-obatan, yang berfungsi sebagai penyedap dan bahan baku masakan dan minuman, dengan pengunaannya dalam berbentuk bubuk (powder), stick, sirup, atau instant serta minyak atsiri. Dalam bidang obatobatan kayu manis sering digunakan sebagai bahan pembuatan jamu/farmasi, kosmetika, aromatika dan bahan campuran rokok kretek. Kayu manis memiliki ciri kulit batangnya dengan rasa pedas dan manis, berbau wangi serta bersifat hangat. Dengan kandungan kimia yang terkandung di dalamnya diantaranya adalah minyak eugenol, safrole, sinamaldehide, tannin, kalsium oksalat, damar dan zat penyamak serta memiliki efek farmakologis seperti dapat menjadi peruluh keringat (diaphoretic), peluruh kentut (carminative), anti reumatik, penambah nafsu makan (stomachica) dan penghilang rasa sakit (analgetic) (BPTRO, 2003). Dari berbagai kajian terdahulu tentang komoditas kayu manis menunjukkan bahwa keberadaan kayu manis baik dalam dunia perdagangan maupun dalam memenuhi konsumsi dunia terlihat sangat penting artinya dan menarik untuk diperhatikan, karena prospek penggunaannya masih cukup baik. Dengan demikian pengembangannya perlu diperhatikan, baik dari sisi budidaya, pengolahan maupun pemasaran hasilnya.
64 Pembudidayaan Tanaman Kayu Manis Tanaman kayu manis akan tumbuh baik pada lokasi yang beriklim lembab dan banyak curah hujan yaitu pada daerah yang memiliki curah hujan (berkisar 2.000-2.500 mm/tahun), dan tumbuh paling baik pada ketinggian 500-1.500 m dpl, dengan jenis tanah gembur agak berpasir, dengan pH 5,0-6,5, serta memiliki tekstrurnya lempung berpasir, debu berpasir serta tumbuh baik pada lahan yang kaya humus (Disperta Kerinci, 2005). Selanjutnya penanaman komoditas kayu manis dapat bersumber dari bibit yang berasal dari hasil penyemaian biji kayu manis yang sudah berumur (>15 tahun), dan dapat pula bersumber dari hasil pungutan bibit yang tumbuh di bawah pohon induk. Kemudian jarak tanam yang menguntungkan dan menghasilkan kulit yang berkualitas tinggi adalah jarak tanam berukuran 3 x 3 meter atau 4 x 4 meter (BPTP, 2003). Selanjutnya dari sisi teoritis, menunjukkan bahwa sebaiknya tanaman kayu manis pada umur 6 tahun dapat dilakukan pemanenan I (pertama), yang merupakan bagian dari kegiatan penjarangan I (pertama), yang bertujuan selain mendapatkan hasil panen juga untuk mengatur jarak tanam agar mencapai jarak tanam ideal menjadi 3 x 3 meter atau 4 x 4 meter. Selanjutnya pada umur 10 tahun dapat dilakukan kembali pemanenan II (kedua) atau bersamaan dengan kegiatan penjarangan ke 2 (dua), pemanenan ini selain bertujuan untuk mendapatkan hasil panen, juga merupakan upaya untuk mengatur jarak tanam menjadi 8 x 8 meter, dalam upaya mendapatkan hasil kulit yang bermutu tinggi, karena semakin jarang tanaman maka semakin tebal kualitas kulit yang dihasilkan. Dalam kegiatan pemeliharaan tanaman sebaiknya dilakukan kegiatan penyiangan dan pemupukan. Penyiangan tanaman kayu manis sebaiknya dilakukan 2 atau 3 kali setahun, untuk kondisi jika tidak terdapat tanaman penyela waktu penanaman, sesuai dengan BPTP (2003) menjelaskan sebaiknya setiap tanaman kayu manis diberi pemupukan yang cukup guna merangsang pertumbuhan dan meningkatkan kualitas kayu manis. Pemeliharaan tanaman kayu manis yang berumur 2,5 tahun sampai 3,5 tahun saat pertumbuhannya sudah menutupi permukaan tanah sebaiknya dilakukan penjarangan. Penjarangan dan pemangkasan (thinning and pruning) tersebut dapat berupa penjarang batang atau penjarangan dahan dan ranting. Penjarangan tersebut dilakukan dengan cara
65 memotong cabang-cabang atau ranting yang dianggap menggangu pertumbuhan batang kayu manis. Penjarangan tersebut sebaiknya dilakukan setahun sekali. Proses pemanenan kayu manis dilakukan pada tanaman yang mencapai umur 4-5 tahun keatas, yaitu awal musim hujan, ketika warna daun telah hijau tua. Pada kondisi seperti ini getah kayu manis cukup banyak diantara kayu dan kulit sehingga mudah untuk melakukan pengupasannya. Sebelum kegiatan pengupasan sebaiknya dilakukan terlebih dahulu pembersihan kulit batang dari lumut-lumut/ kotoran yang ada pada pohon, dan selanjutnya digores dengan potongan melingkar seperti garis pada batang, dengan ketinggian 50-100 cm atau 100150cm. Kemudian dilanjutkan dengan pencongkelan atau pengupasan secara keseluruhan. Setelah dilakukan pengupasan kulit sebaiknya, tanaman kayu manis ditebang dengan cara memotong batang pada ketinggian 10 cm dari permukaan tanah. Bagian kulit ranting dan dahan tanaman kayu manis waktu pemanenan juga ikut dikupas. Tahapannya seperti dijelaskan Tabel 2 di bawah ini. Tabel 2. Tahapan Proses Pemanenan Kayu Manis No 1.
Proses Pemanenan Kayu Manis
Sortir tanaman yang akan di panen dipilih dengan kriteria umur tanaman 2. Kulit batang dikupas 1-1,5 meter dari bagian pangkal tanaman, lalu dibiarkan 1 bulan 3. Penebangan dengan posisi tergantung 4. Kulit dikupas dengan panjang 0,5 - 1 meter, sedangkan cabang, ranting pengupasan sesuai dengan selera petani 5. Kulit batang dikikis, dan kulit cabang, ranting tidak dikikis 6. Hasil kikisan di simpan satu malam hingga (warna komoditas menjadi kuning dan aromanya muncul ) 7. Hasil kikisan dijemur selama 3 hari, hingga kadar air (17-20%) 8. Melakukan sortir jenis grade KA, KB dan KC, kemudian secara khusus dipisahkan menjadi grade KM,KF,KS,KA,KTP,KB dan KC. 9. Dikemas 10. Siap dijual ke pedagang. Sumber: Dinas Pertanian Kab.Kerinci, 2005.
Keterangan Umur minimal antara 4-5 tahun Untuk mempermudah pengupasan dan meningkatkan ketebalan kulit. Mempermudah pengupasan Secara umum sesuai selera petani atau pesanan pedagang. Untuk membersihkan dan peningkatan mutu. Untuk meningkatkan aroma
Untuk meningkatkan mutu Memisahkan grade kulit
Packing/Pengarungan Penjualan
66 Karena pemanenan kayu manis merupakan bagian dari proses untuk menghasilkan produk, maka tahapannya setelah dilakukan pengupasan dilanjutkan dengan pembersihan melalui pengikisan hingga bersih, kemudian disimpan selama satu malam hingga mengeluarkan aroma dan munculnya warna merah, setelah itu dijemur diterik matahari 2-3 hari untuk memperoleh kulit yang kering yang dicirikan dengan telah menggulungnya kulit kayu manis secara alami. Beberapa jenis produk kayu manis yang dihasilkan petani diantaranya terdiri dari “kayu manis asalan” dengan kondisi komoditas kayu manis yang dihasilkan masih relatif basah dan tidak memenuhi persyaratan ekspor karena kurang bersih dan kadar airnya masih tinggi serta berpeluang tumbuhnya jamur, dan kecenderungan adanya serangga di dalam gulungan kayu manis tersebut. Secara umum produk yang dihasilkan petani tergolong dalam kualitas B dan C dengan nilai dan harga yang ditawarkan relatif murah, kadar air berkisar 1720%. Sedangkan produk yang siap diekspor memiliki kadar airnya berkisar 14% (Disperta Kerinci, 2005). Beberapa jenis produk yang diolah untuk di eksportir sebagian besar masih berupa kayu manis gulungan, broken serta sebagian sudah dalam bentuk olahan seperti berbentuk bubuk (powder) dan bentuk lain seperti minyak atsiri. Sedangkan standar mutu kayu manis dapat dibedakan berdasarkan bagian-bagian dan komponen tanaman yang dimanfaatkan, seperti jenis grade KA merupakan jenis grade/mutu yang berasal dari bagian kulit batang, KB merupakan jenis grade yang berasal dari kulit dahan, dan KC merupakan grade kayu manis yang berasal dari kulit ranting. Penggolongan mutu biasanya didasarkan atas syarat umum yang diperdagangkan. Berdasarkan standar minimal mutu komoditas kayu manis yang di dipersyaratkan dalam perdagangan dijelaskan bahwa standar minimal mutu yang dibutuhkan dalam pengolahan kayu manis terdiri dari: pengikisan harus dikikis bersih, warna kulit kuning, kuning tua atau kuning kecoklatan, dengan rasa pedas, persyaratan lain seperti serangga masih ditolerasi dalam komoditas yaitu kondisi mati maksimal 2 dari sub contoh, kotoran mamalia (mg/lb) maksimal 1, seperti Tabel 3 di bawah ini.
67 Tabel 3. Standar Mutu yang Harus dipenuhi dalam Perdagangan Kayu Manis Nomor Kriteria 1. Pengikisan 2. Warna 3. Rasa 4. Serangga utuh mati 5. Kotoran mamalia 6. Kotoran binatang lain 7. Kadar jamur 8. Cemara serangga 9. Bahan asing 10. Kadar air 11. Kadar abu 12. Kadar pasir Sumber: Dewan Rempah Indonesia, 2006.
Kualitas harus dikikis bersih kuning, kuning tua, kuning kecoklatan Pedas maksimal 2 dari sub contoh (mg/lb) maksimal 1 (mg/lb) maksimal 1 (B/B) maksimal 5% (B/B) maksimal 2,5% (B/B) maksimal 0,5% (B/B) maksimal 14% (B/Bobot dry basis) maksimal 5% (B/Bobot dry basis) maksimal 1%
Sedangkan Standar Nasional Indonesia (SNI) untuk komoditas kayu manis olahan nasional terlihat hanya baru jenis kayu manis bubuk, yaitu berdasarkan Keputusan Menteri Perdagangan dengan SNI 01-3714-1995 ICS 67.220.10, sebagaimana dijelaskan pada Tabel 4 di bawah ini. Tabel 4. Syarat Mutu Kayu Manis Bubuk berdasarkan Standar Nasional Indonesia (SNI 01-3714-1995 ICS 67.220.10) No 1. 2. 3. 4. 5. 6. 7.
Kriteria Uji Keadaan (Bau, rasa dan warna) Air Abu Abu larut dalam asam Minyak atsiri Kahalusan Lolos ayakan No.40(425u) Cemaran Logam 7.1. Timbal (Pb) 7.2. Tembaga (Cu) 8. Cemaran Arsen (As) 9. Cemaran Mikroba 9.1. Angka lempeng total 9.2. Escherichia coli 9.3. Kapang 10. Aflatoksin Sumber: Dewan Rempah Indonesia, 2006.
Satuan % b/b % b/b % b/b % b/b % b/b
Persyaratan Normal Maksimum 12,0 Maksimum 3,0 Maksimum 0,1 Maksimum 0,7 Maksimum 96,0
Mg/Kg Mg/Kg Mg/Kg
Maksimum 10 Maksimum 0,1 Maksimum 0,1
Koloni/g APM/g Koloni/g Mg/Kg
Maksimum 10,6 Maksimum 10,3 Maksimum 10,4 Maksimum 20
Selanjutnya untuk standar mutu jenis produk lainnya secara rinci, standarnya masih ditentukan oleh permintaan dan kebutuhan pasar serta selera konsumen baik dari dalam maupun dari luar negeri. Sedangkan untuk standar mutu Mutu Kayu Manis bubuk dapat berdasarkan Standar Nasional Indonesia (SNI 01-3714-1995 ICS 67.220.10).
68 Dari berbagai tinjauan tentang pembudidayaan dan pemasaran komoditas kayu manis menunjukkan bahwa untuk mendapatkan hasil komoditas yang baik sejak aspek pembudidayaan dan pengolahan untuk menghasilkan produk siap jual memerlukan beberapa tahapan, serta dalam pemasaran membutuhkan beberapa standar yang harus dipenuhi. Dengan kata lain berarti dalam pengembangannya diperlukan keterkaitan yang utuh sejak dari proses input, produksi, pengolahan hasil hingga pemasarannya.