24
II. TINJAUAN PUSTAKA
2.1. Konsep Pengembangan Ekonomi Lokal Pembangunan secara garis besar adalah suatu proses multidimensi yang melibatkan perubahan struktur sosial, kelembagaan nasional, percepatan pertumbuhan ekonomi, pemerataan pendapatan dan pengentasan kemiskinan yang kesemuanya itu bertujuan untuk meningkatkan kualitas hidup masyarakat (Todaro, 2000). Secara filosofi, suatu pembangunan dapat diartikan sebagai upaya yang sistematis dan berkesinambungan untuk menciptakan keadan yang dapat menyediakan berbagai alternatif yang sah bagi pencapaian aspirasi setiap warga yang paling humanistik (Rustiadi et al., 2006). Menurut Jamli (2003), terdapat tiga tujuan utama dari pembangunan ekonomi daerah; pertama, pembangunan kesempatan
kerja
yang
berkualitas
bagi
penduduk;
kedua,
mencapai
perekonomian daerah yang stabil; dan ketiga, membangun berbagai macam basis ekonomi dan kesempatan kerja. Daerah harus mengenal dengan baik potensi yang dimiliki serta memberdayakan berbagai sumber daya tersebut sebagai dasar dalam membangun daerah, khususnya perekonomian daerah dengan memperhatikan antara lain; kondisi ekonomi masyarakat, potensi sumber daya alam dan manusia, serta infrastruktur
yang
tersedia
untuk
mencapai
tujuan
di
atas.
Dengan
mempertimbangkan aspek-aspek tersebut selanjutnya disusun perencanaan pembangunan daerah dalam rangka meningkatkan pertumbuhan ekonomi. Penekanannya adalah pembangunan yang berdasarkan sumber daya manusia dan sumber daya fisik yang potensial untuk menciptakan peluang pekerjaan dan menstimulasi aktivitas ekonomi baru berbasis lokal (Blakely, 1994). Pembangunan ekonomi daerah yang berdasarkan kekhasan suatu daerah sangat cocok diterapkan pada era otonomi sekarang ini dengan menekankan pada pemanfaatan sumber daya manusia dan sumber daya alam yang potensial untuk menciptakan peluang kerja dan menstimulasi aktivitas ekonomi baru. Namun demikian, banyak terjadi di daerah, pembangunan ekonomi yang dilakukan secara seragam di setiap wilayahnya menjadikan pembangunan tidak tepat sasaran. Ini
25
karena pembangunan yang dilaksanakan tidak sesuai dengan karakteristik dan potensi dari wilayah tersebut. Daerah dalam hal ini kabupaten dibagi menjadi wilayah-wilayah yang disebut kecamatan-kecamatan maka seharusnya daerah atau kabupaten mengenali secara detail potensi dari masing-masing kecamatan tersebut. Upaya ini juga dalam rangka mengurangi kesenjangan antar wilayah. Pengembangan ekonomi lokal merupakan sebuah pendekatan yang menghubungkan daerah pedesaan atau daerah terbelakang dengan sistem ekonomi pasar guna memacu kegiatan ekonomi daerah tersebut.
Pengembangan dan
integrasi tersebut dicapai dengan berfokus pada klaster yang memberikan kesempatan bagi kaum miskin untuk memainkan peranan penting dalam kegiatan ekonomi itu. Pada gilirannya, implementasi pengembangan ekonomi lokal akan meningkatkan jumlah lapangan pekerjaan dan kesempatan, serta memunculkan strategi untuk menjaga agar sebagian besar kesempatan memperoleh pendapatan bertahan di daerah yang bersangkutan. Daerah akan menerima manfaat berupa peningkatan kegiatan ekonomi sebagai akibat dari peningkatan pendapatan rumah tangga, di samping memperoleh pendapatan langsung (Boulle et al., 2002). Pengembangan ekonomi lokal dan pengentasan kemiskinan mustahil dilakukan tanpa kemauan politik dan dukungan pemerintah, baik dalam menjamin kebijakan yang akomodatif maupun prioritas sumberdaya yang menyangkut infrastruktur, fasilitas dan dukungan jasa-jasa. Selain pihak pemerintah, ada tiga stakeholder kunci lain yang harus diajak ikut serta dalam setiap proses pengembangan ekonomi lokal yakni, sektor swasta, masyarakat dan produsen (Boulle et al., 2004). Pengembangan ekonomi lokal diarahkan untuk mencapai tiga tujuan yang saling berkaitan, yaitu a) penciptaan pertumbuhan ekonomi dan lapangan kerja; b) berkurangnya jumlah penduduk miskin; c) terwujudnya mata rantai kehidupan yang berkelanjutan (sustainable livelihood) (Dendi et al., 2004). Dalam upaya untuk mengembangkan ekonomi lokal, ada beberapa alternatif strategi yang bisa dilakukan, diantaranya (Anton, 2008) : 1) Peningkatan kemampuan produsen lokal, agar bisa bersaing dengan produk non-lokal, baik dari daerah lain maupun internasional. Dengan penguatan tersebut, diharapkan akan memperbaiki kualitas produksi dan memperbesar peluang mengekspor
26
barang-barang
hasil
produksi
tersebut;
2)
Memperbaiki
kerjasama
antarstakeholder untuk bisa saling mendukung dan mempromosikan kelompok lainnya. Dengan adanya kerjasama seperti ini, bisa memperkuat proses produksi dan perdagangan; 3) Mengalokasikan sumber daya kepada kelompok-kelompok yang mempunyai potensi berkembang yang cukup besar, akan tetapi tidak lantas melupakan kelompok lainnya; 4) Membuat suatu pusat perdagangan sebagai media interaksi antarkelompok usaha dengan pasar. Dalam proses pengembangan ekonomi lokal, harus diperhatikan pula komponen-komponen pendukung, baik dari internal maupun eksternal yang bisa mempengaruhi kelancaran proses pengembangan ekonomi lokal yang diharapkan. Beberapa faktor tersebut ialah infrastruktur dan kondisi lingkungan. Investasi di bidang infrastruktur sangat berperan besar dalam mendukung pengembangan ekonomi lokal. Akan tetapi, hati-hati dalam proses penentuan jenis infrastruktur yang akan disiapkan untuk suatu daerah, karena harus sesuai dengan karakteristik dan kebutuhan daerah yang bersangkutan. Sedangkan kondisi lingkungan dalam hal ini ialah penciptaan tools yang memudahkan proses pengembangan ekonomi lokal, seperti penciptaan peraturan dan payung hukum, prosedur administratif, pajak, dan pungutan biaya, serta biaya-biaya tak terduga lainnya (Anton, 2008). Pengembangan ekonomi lokal memainkan peranan penting dalam mendorong kapasitas produsen dan membantu mereka dalam memperkuat posisi. Program penguatan yang dikembangkan difokuskan pada : a) pembentukan basis kolektif atau mendorong kemapanan organisasi, b) meningkatkan ketrampilan dan kapasitas produsen, serta c) menyiapkan wahana bagi para produsen untuk terlibat dalam perencanaan dan pembuatan kebijakan. Produsen merupakan kelompok yang paling lemah dan memerlukan dukungan untuk menyuarakan kepentingan mereka maupun untuk meningkatkan ketrampilan mereka. Mengorganisir para produsen ke dalam sebuah kelompok hanyalah merupakan salah satu bagian dari upaya untuk perbaikan. Peningkatan ketrampilan dan kapasitas produsen dalam berproduksi dan menjalankan bisnis serta meningkatkan akses pasar, jauh lebih penting dari itu semua (Boulle et al., 2004). Kapasitas produsen harus dibangun melalui dua pendekatan. Pertama, kapasitas organisasi agar memiliki suara yang kuat dan jelas dalam kemitraan, dan
27
kedua, pengembangan ketrampilan untuk menjamin peningkatan produksi dalam klaster yang bersangkutan (Boulle et al., 2004). Konsep pengembangan ekonomi lokal yang pro-masyarakat miskin mementingkan beberapa prinsip pokok, yakni : 1) investasi pada peningkatan sumber daya manusia dan kapital sosial penduduk miskin; 2) kebijakan dan pelayanan yang menghasilkan tersedianya secara luas dan berkelanjutan kebutuhan dasar masyarakat (akses pangan, air bersih, perumahan, kesehatan dan pendidikan); 3) kebijakan dan pelayanan yang mengurangi biaya-biaya transaksi sehingga membuka peluang bagi masyarakat miskin untuk memperoleh pekerjaan dan atau nilai tambah dari usaha sendiri; 4) peningkatan akses masyarakat miskin kepada sumber daya ekonomi (modal, lahan, sarana produksi, informasi pasar dan lain-lain); dan 5) pembangunan yang ramah lingkungan (Dendi et al, 2004). Dalam kaitannya dengan prinsip pengembangan ekonomi lokal yang propoor, dalam penentuan komoditas unggulan daerah, disamping kriteria-kriteria kelayakan teknis, permintaan pasar, serta efek multiplier suatu komoditi/ produk sektoral terhadap sektor usaha lainnya, faktor potensi nilai tambah langsung bagi keluarga miskin juga sebagai kriteria penting (Dendi et al., 2004).
2.2. Pengembangan Ekonomi Berbasis Perikanan Perikanan dan kelautan merupakan salah satu sektor penting bagi perekonomian negara-negara di berbagai belahan dunia. Sektor perikanan dan kelautan di beberapa negara memiliki kontribusi yang cukup dominan terhadap PDB nasional. Sebagai contoh kontribusi perikanan dan kelautan terhadap perekonomian Jepang yang memiliki pantai sepanjang 34.386 km adalah sebesar 24,1 trilyun dollar atau 54 persen dari total PDB nasional. Adapun Cina yang memiliki pantai sepanjang 32.000 km, sektor perikanan dan kelautannya mampu menyumbangkan 17.353 trilyun dollar atau 48,40 persen dari total PDB nasional. Indonesia yang memiliki pantai sepanjang 81.000 km atau 2,5 kali panjang pantai Cina dan Jepang, pada tahun 1998 sektor perikanan dan kelautannya ternyata hanya mampu menyumbangkan sekitar 28 milyar dollar atau hanya 20,06 persen dari total PDB nasional (PKPSL, 2000 dalam Bappenas, 2005).
28
Paradigma pembangunan ekonomi berbasis perikanan dan kelautan di Indonesia memang baru memperoleh momentum emasnya beberapa tahun terakhir ini. Pada masa orde baru, pembangunan perikanan dan kelautan tidak memperoleh perhatian yang cukup akibat paradigma pembangunan yang berorientasi
agraris
semata.
Namun
sejak
terjadinya
pergantian
rezim
pemerintahan, semakin disadari bahwa aset dan sumber daya pesisir memiliki peluang yang terlalu besar untuk disia-siakan. Sejak tahun 1999, sektor maritim mulai dimasukkan ke dalam GBHN dan secara kelembagaan saat ini telah terbentuk departemen khusus yang menangani kelautan dan perikanan (Bappenas, 2005). Sebagai sumberdaya yang sangat vital dalam pembangunan ekonomi baik nasional dan daerah, proses pembangunan perikanan dan kelautan harus lebih mampu berperan dan berdaya guna. Pembangunan sumberdaya perikanan dan kelautan yang dimaksud tidak hanya bagi peningkatan hasil secara kuantitas, tetapi secara kualitas yang berarti meningkatkan serta menghasilkan nilai tambah komoditas dari perikanan dan kelautan. Pengembangan ekonomi berbasis kelautan termasuk didalamnya perikanan yang diwujudkan dalam suatu program pembangunan perikanan dan kelautan pada hakekatnya adalah rangkaian upaya untuk memfasilitasi, melayani dan mendorong
berkembangnya
suatau
sistem
bisnis
yang
berdaya
saing,
menguntungkan dan tentunya berkelanjutan untuk meningkatkan pendapatan dan kesejahteraan masyarakat. 2.3. Potensi Pengembangan Perikanan Apabila ditinjau dari sektor ekonomi, maka potensi usaha perikanan yang dapat dikembangkan di Indonesia meliputi perikanan tangkap dan perikanan budidaya beserta industri pengolahannya serta industri bioteknologi (Bappenas, 2005).
2.3.1. Perikanan Tangkap Dengan luas laut 5,8 juta km2, Indonesia sesungguhnya memiliki potensi sumberdaya perikanan laut yang cukup besar baik dari segi kuantitas maupun
29
ragamannya. Berdasarkan pada distribusi stok ikan, kondisi oseanografis perairan, dan kepentingan manajamen perikanan tangkap, perairan laut Indonesia dibagi menjadi sembilan Wilayah Pengelolaan Perikanan (WPP). Potensi lestari (Maximum Sustainable Yield, MSY) sumberdaya ikan laut Indonesia diperkirakan sebesar 6,4 juta ton per tahun. Hingga saat ini potensi perikanan tangkap di laut secara nasional belum dimanfaatkan secara optimal, yaitu baru mencapai 4,4 juta ton atau 69% dari potensi lestari pada tahun 2003. Kendati demikian, di beberapa WPP beberapa kelompok (stok) sumberdaya ikan telah mengalami overfishing (tingkat pemanfaatan melebihi potensi lestari atau lebih dari 100%) atau mendekati overfishing, kecuali di Kawasan Timur Indonesia yang secara umum masih dimungkinkan untuk penambahan intensitas upaya penangkapan di berbagai kelompok sumberdaya ikan. Selain di laut, kegiatan usaha perikanan tangkap juga dapat dilakukan di perairan umum. Indonesia memiliki perairan umum seluas kurang-lebih 13,7 juta ha. Jika dibandingkan dengan negaralain, Indonesia memiliki perairan umum yang relatif luas. Sebagai ilustrasi, Malaysia, Philipina, dan Thailand berturut-turut memiliki perairan umum seluas 0, 46 juta ha; 0,26 juta ha; dan 4.5 juta ha . Potensi lestari sumberdaya ikan perairan umum Indonesia diperkirakan sebesar 900.000 ton/tahun.
2.3.2. Perikanan Budidaya Hingga saat ini tingkat pemanfaatan usaha perikanan budidaya masih sangat rendah padahal luas perairan yang sesuai untuk kegiatan budidaya sangat luas, sehingga peluang pengembangan usaha perikanan budidaya di tanah air masih sangat besar. Khususnya di perairan laut, peluang pengembangan masih sangat terbuka dimana Indonesia memiliki perairan laut yang potensial (sesuai) untuk usaha budidaya laut terluas di dunia. Berdasarkan pada perhitungan sekitar 5 km dari garis pantai ke arah laut, maka potensi luas perairan laut Indonesia yang sesuai untuk kegiatan budidaya laut diperkirakan sekitar 24,53 juta ha. Luasan potensi kegiatan budidaya laut tersebut terbentang dari ujung bagian barat Indonesia sampai ke ujung wilayah timur Indonesia.
30
Dengan teknologi budidaya laut dalam atau laut lepas, maka potensi luas laut yang cocok untuk usaha budidaya laut sudah barang tentu akan bertambah luas. Adapun komoditaskomoditas yang dapat dibudidayakan pada areal laut tersebut antara lain meliputi ikan kakap, kerapu, baronang, tiram, kerang hijau, kerang darah, teripang, kerang mutiara, abalone, dan rumput laut. Sementara itu, komoditas-komoditas yang dapat dibudidayakan di perairan payau (tambak) antara lain adalah udang windu, udang vaname, bandeng, kerapu, kepiting, dan rumput
laut
jenis
Gracilaria.
Dan,
komoditas-komoditas
yang
dapat
dibudidayakan di perairan tawar antara lain mencakup ikan mas, nila, gurame, patin, bawal air tawar, dan udang galah. Potensi produksi sumberdaya perikanan yang dapat dihasilkan dari usaha perikanan budidaya diperkirakan sebesar 65 juta ton/tahun, dan baru diproduksi sebesar 6,45 juta ton (9,9%) pada tahun 2003. Tampak jelas bahwa peluang pengembangan usaha perikanan budidaya sebenarnya jauh lebih besar daripada usaha perikanan tangkap. Apabila Indonesia mampu meningkatkan produksi perikanannya, terutama yang berasal dari usaha perikanan budidaya, maka Indonesia akan menjadi produsen komoditas perikanan terbesar di dunia.
2.3.3. Industri Perikanan Keunggulan komparatif yang dimiliki Indonesia dalam bidang perikanan seperti telah diuraikan diatas sangat besar sehingga peluang pengembangan kawasan-kawasan di Indonesia yang keunggulan kompetitif ekonominya berbasis kepada industri perikanan dan kelautan sangat dimungkinkan. Fakta juga menunjukkan bahwa sumberdaya perikanan dan kelautan di Indonesia masih belum dimanfaatkan secara optimal, sementara di berbagai belahan dunia terutama di negara-negara maju potensinya sudah semakin menipis sehingga dapat menjadi prospek pasar yang menjanjikan bagi Indonesia. Namun demikian pengembangan industri perikanan yang mampu mendatangkan devisa sebesar-besarnya bagi negara dan bagi peningkatan kesejahteraan masyarakat belum dapat dicapai secara optimal. Hal ini disebabkan karena industri perikanan sebagai industri hilir di Indonesia belum berkembang sepesat negara-negara lain seperti Thailand, Hong Kong, Korea Selatan, Jepang
31
dan Taiwan, yang setiap tahunnya mampu meraup devisa miliaran dollar AS dari hasil
industri
perikanan.
Hal
diindikasikan
disebabkan
oleh
beberapa
permasalahan, antara lain : Pertama, kesulitan dalam memperoleh bahan baku ikan dari kapal-kapal penangkap. Kedua, hadirnya isu-isu yang menghambat ekspor produk perikanan Indonesia, Ketiga, terdapatnya ekonomi biaya tinggi akibat beban biaya dari pungutan resmi yang tumpang tindih maupun pungutan liar, sehingga berakibat pada lemahnya daya saing dengan negara lain. Keempat, kurangnya perhatian pemerintah dalam hal pemberian insentif untuk mendorong industrialisasi, terutama fiskal dan perpajakan dalam rangka menekan biaya produksi, seperti yang dilakukan Thailand, Cina dan Filipina dengan memberikan insentif berupa pajak. Kelima, kurangnya kesadaran pelaku industri untuk meningkatkan mutu produk. Sedangkan di sisi lain, ketentuan mutu dan kesehatan pangan dari negara pengimpor semakin ketat. Keenam, penerbitan berbagai peraturan di daerah yang menciptakan iklim investasi kearah tidak kondusif. Berbagai peraturan daerah (Perda) yang mengharuskan pungutan tidak perlu, birokratisasi perizinan yang membuat pengurusan izin atau dokumen semakin berbelit-belit, dan ketujuh, meningkatnya suku bunga bank untuk investasi jangka panjang, sedangkan profit margin industri masih kecil. Dalam menghadapi permasalahan dan tantangan tersebut, dan lebih jauh lagi untuk menangkap berbagai peluang dalam era globalisasi, maka pembangunan perikanan harus dilakukan melalui kebijakan yang bersifat komprehensif baik dalam tataran mikro-teknis maupun makro-struktural (Dahuri, 2005 dalam Bappenas, 2005). Dalam tataran mikro-teknis, pengembangan suatu kawasan berbasis industri perikanan perlu didukung oleh sifat keunggulan (excellence) pada setiap mata rantai dalam sistem bisnis perikanan yaitu produksi, penanganan dan pengolahan hasil, serta pemasaran. Kawasan akan berkembang pesat jika investor, pengusaha, dan kalangan perbankan atau lembaga keuangan lainnya telah mempersepsikan usaha-usaha dalam kawasan tersebut merupakan bisnis yang penuh kepastian dan menguntungkan. Selain kebijakan dalam tataran mikro-teknis, pengembangan perikanan dan kelautan juga perlu didukung dalam tataran makro-struktural dengan
32
menempatkan perikanan dan kelautan sebagai platform pembangunan ekonomi nasional. Hal ini bertujuan untuk mewujudkan pertumbuhan ekonomi secara berkesinambungan, terciptanya lapangan kerja guna mengatasi permasalahan pengangguran, dan peningkatan kesejahteraan rakyat. Untuk itu dibutuhkan dukungan penuh pemerintah, swasta, perbankan, dan seluruh rakyat Indonesia dalam mendukung strategi pembangunan yang berbasis sumberdaya kelautan dan perikanan. Upaya ini perlu diikuti dengan kebijakan revitalisasi sektor riil, peningkatan ekspor, investasi dan konsumsi produk-produk berbasis SDA. Kesemua ini hanya dapat dilakukan bila terdapat iklim usaha yang baik, diantaranya dengan adanya kebijakan fiskal dan moneter yang memberikan peluang dan keringanan bagi setiap kegiatan investasi dan produksi, situasi keamanan yang kondusif, infrastruktur yang mendukung, adanya kepastian hukum, serta adanya birokrasi dan peraturan yang kondusif dalam berinvestasi dan berusaha. Pengembangan kawasan yang berbasis kepada industri perikanan perlu memadukan seluruh potensi sumberdaya perikanan dan industri perikanan secara optimal serta menyatu dengan potensi ekonomi lainnya dari satu kawasan. Kusumastanto (2002) dalam Bappenas (2005), menyatakan bahwa pengembangan perikanan perlu dilakukan dengan konsep fishery aquabusiness system, dimana terdapat setidaknya 7 aspek utama yang harus menjadi perhatian dalam pengembangan kawasan yang berbasis aquabisnis perikanan, antara lain sumberdaya perikanan dan kawasan, prasarana dan sarana, keuangan/permodalan, hukum dan kelembagaan, sumberdaya manusia, pasar, dan IPTEK. Selanjutnya, beberapa strategi yang dapat dilakukan dalam mengembangkan sistem aquabisnis perikanan secara terpadu adalah dengan : 1. Membangun sub-sub kawasan sebagai pusat pengembangan hulu dan hilir dalam sistem aquabisnis sesuai dengan sumberdaya perikanan yang dapat dikembangkan.
Upaya
yang
dapat
dilakukan
diantaranya
adalah
mengembangkan kawasan desa-desa pantai sebagai pusat pengembangan, lengkap dengan sarana dan prasarana pendukungnya. 2. Meningkatkan aktivitas produksi dengan memanfaatkan potensi penangkapan, budidaya, industri pengolahan, maupun industri berbasis teknologi tinggi
33
seperti biotekbologi kelautan. Hal tersebut dilakukan dengan memperhatikan aspek kelestarian sumberdaya yang menekankan pada efisiensi dan optimalisasi teknologi serta daya dukung lingkungan. 3. Mengembangkan hukum dan kelembagaan yang sesuai dengan karakteristik usaha sektor perikanan. 4. Melakukan penataan lahan dan perairan pesisir/lautan sebagai kawasan perikanan dengan menentukan daerah penangkapan, budidaya, dan industri secaraserasi antara perikanan skala kecil dan besar (skala industri), secara koeksistensi dan terpadu dengan sektor lain. Penataan ruang dilakukan dengan menetapkan zonasi maupun peta operasional usaha per komoditi untuk setiap usaha perikanan berdasarkan kemampuan operasi (perikanan rakyat dan industri), serta membangun keterkaitan dengan sektor lain (pariwisata, transportasi laut, dan industri pendukung). 5. Pengembangan kelayakan bisnis, pengembangan pasar dan dukungan keuangan, serta penciptaan iklim usaha yang menarik bagi investor.
2.3.4. Bioteknologi Aplikasi industri bioteknologi perairan secara garis besar mencakup 3 bidang, yaitu ekstraksi bahan-bahan alamiah untuk berbagai jenis industri perikanan budidaya, dan bioremediasi lingkungan. Mengingat bahwa dasar dari industri bioteknologi perairan adalah kekayaan dan keanekaragaman biota perairan, maka Indonesia berpotensi untuk menjadi negara produsen produkproduk bioteknologi perairan terbesar di dunia. Potensi aplikasi bioteknologi dalam mengekstraksi bahan-bahan alamiah dari biota perairan untuk bahan dasar industri makanan dan minuman, farmasi, kosmetika, bioenergy, dan industri lainnya di Indonesia sangat besar dengan perkiraan nilai ekonomi sebesar US$ 40 milyar per tahun. Banyak sekali biota laut dan perairan umum Indonesia yang mengandung bahan-bahan alamiah untuk industri farmasi, kosmetika, makanan dan minuman, bioenergy, dan industri lainnya. Aplikasi bioteknologi yang kedua adalah dalam mendukung perikanan budidaya, yaitu melalui rekayasa genetik untuk menghasilkan induk dan benih unggul dengan sifat-sifat sesuai yang diinginkan., seperti cepat tumbuh, tahan
34
terhadap serangan hama dan penyakit, tahan terhadap kondisi lingkungan tercemar, dan sifat-sifat baik lainnya. Penerapan bioteknologi yang ketiga adalah dalam produksi mikroba (bakteri) yang secara genetis direkayasa guna menghasilkan mikroba yang dapat memakan (melumat) bahan pencemar (polutan), seperti minyak bumi dan bahan kimia lainnya. Salah satu negara yang telah menikmati devisa dari industri bioremediasi ini adalah Inggris dimana nilai ekspornya mencapai US$ 2 milyar/tahun.
2.4. Teori Shift-Share Untuk memahami pergeseran struktur suatu aktivitas atau sektor serta menghitung seberapa besar share masing-masing sektor atau aktivitas tersebut di suatu wilayah tertentu dibandingkan dengan suatu referensi dengan cakupan wilayah yang lebih luas dalam bentuk dua titik waktu, dapat digunakan beberapa alat analisis, diantaranya adalah Shift-Share Analysis. Analisis Shift-Share ini menganalisis perubahan berbagai indikator kegiatan ekonomi, seperti produksi dan kesempatan kerja, pada dua titik waktu di suatu wilayah. Dari hasil analisis ini akan diketahui bagaimana perkembangan suatu sektor di suatu wilayah jika dibandingkan secara relatif dengan sektor-sektor lainnya, apakah bertumbuh cepat atau lambat. Hasil analisis ini juga dapat menunjukkan bagaimana perkembangan suatu wilayah dibandingkan wilayah lainnya, apakah bertumbuh cepat atau lambat (Budiharsono, 2005). Hasil analisis Shift-Share mampu menjelaskan kinerja suatu aktivitas atau sektor di suatu wilayah dan membandingkan dengan kinerjanya di dalam wilayah total. Disamping itu hasil analisis dapat juga memberikan gambaran sebab-sebab terjadinya pertumbuhan suatu aktivitas di suatu wilayah. Sebab-sebab yang dimaksud dibagi menjadi tiga bagian yaitu; a) sebab yang berasal dari dinamika lokal (sub wilayah), b) sebab dari dinamika aktivitas/sektor dari ttal wilayah, dan c) sebab dari dinamika wilayah secara umum. Secara umum, gambaran kinerja seperti yang disebutkan diatas dapat dijelaskan dari tiga komponen hasil analisis yaitu; 1) komponen laju pertumbuhan total atau komponen share, yang menyatakan pertumbuhan total wilayah pada dua titik waktu yang menunjukkan dinamika total wilayah; 2) komponen pergeseran
35
proporsional, yang menjelaskan pertumbuhan total aktivitas atau sektor tertentu secara relatif, dibandingkan dengan pertumbuhan secara umum dalam total wilayah yang menunjukkan dinamika sektor atau aktivitas total dalam wilayah; serta 3) komponen pergeseran diferensial, yang menggambarkan bagaimana tingkat competitiveness suatu wilayah tertentu dibandingkan dengan pertumbuhan total sektor atau aktivitas tersebut dalam wilayah (Fonna, 2004).
2.5. Analytical Hierarchi Process Perancangan suatu program yang bertujuan untuk pengembangan ekonomi lokal berbasis perikanan dapat dilakukan dengan metode Analytical Hierarchy Process (AHP). AHP merupakan suatu model pendukung keputusan yang dikembangkan oleh Saaty (1993). AHP menguraikan masalah multifaktor atau multikriteria yang kompleks menjadi suatu hirarki. Menurut Saaty (1993), hirarki didefinisikan sebagai suatu representasi dari sebuah permasalahan yang kompleks dalam suatu struktur multilevel dimana level pertama adalah tujuan, yang diikuti level faktor, kriteria, sub kriteria, dan seterusnya ke bawah hingga level terakhir dari alternatif. Dengan hirarki, suatu masalah yang kompleks dapat diuraikan ke dalam kelompok-kelompoknya yang kemudian diatur menjadi suatu bentuk hirarki sehingga permasalahan akan tampak lebih terstruktur dan sistematis. Sebagai sebuah metode analisis, AHP pun memiliki kelebihan dan kelemahan dalam system analisisnya. Kelebihan-kelebihan analsis ini adalah : 1. Kesatuan (Unity) AHP membuat permasalahan yang luas dan tidak terstruktur menjadi suatu model yang fleksibel dan mudah dipahami. 2. Kompleksitas (Complexity) AHP memecahkan permasalahan yang kompleks melalui pendekatan sistem dan pengintegrasian secara deduktif. 3. Saling ketergantungan (Inter Dependence) AHP dapat digunakan pada elemen-elemen sistem yang saling bebas dan tidak memerlukan hubungan linier. 4. Struktur Hirarki (Hierarchy Structuring)
36
AHP mewakili pemikiran alamiah yang cenderung mengelompokkan elemen sistem ke level-level yang berbeda dari masing-masing level berisi elemen yang serupa. 5. Pengukuran (Measurement) AHP menyediakan skala pengukuran dan metode untuk mendapatkan prioritas. 6. Konsistensi (Consistency) AHP mempertimbangkan konsistensi logis dalam penilaian yang digunakan untuk menentukan prioritas. 7. Sintesis (Synthesis) AHP mengarah pada perkiraan keseluruhan mengenai seberapa diinginkannya masing-masing alternatif. 8. Trade Off AHP mempertimbangkan prioritas relatif faktor-faktor pada sistem sehingga orang mampu memilih altenatif terbaik berdasarkan tujuan mereka. 9. Penilaian dan Konsensus (Judgement and Consensus) AHP tidak mengharuskan adanya suatu konsensus, tapi menggabungkan hasil penilaian yang berbeda. 10. Pengulangan Proses (Process Repetition) AHP mampu membuat orang menyaring definisi dari suatu permasalahan dan mengembangkan
penilaian
serta
pengertian
mereka
melalui
proses
pengulangan. Sedangkan kelemahan metode AHP adalah sebagai berikut : 1. Ketergantungan model AHP pada input utamanya. Input utama ini berupa persepsi seorang ahli sehingga dalam hal ini melibatkan subyektifitas sang ahli selain itu juga model menjadi tidak berarti jika ahli tersebut memberikan penilaian yang keliru. 2. Metode AHP ini hanya metode matematis tanpa ada pengujian secara statistik sehingga tidak ada batas kepercayaan dari model yang terbentuk. Dalam memecahkan persoalan dengan analisis logis eksplisit, ada tiga prinsip menurut Falatehan (2007), yaitu:
37
a. Menyusun Hirarki Menyusun hirarki ialah menggambarkan dan menguraikan secara hirarki, yaitu dengan memecah persoalan menjadi unsur-unsur yang terpisah. Menurut Saaty (1993) sasaran keseluruhan yang sifatnya luas disebut sebagai fokus dan merupakan tingkat puncak hirarki yang terdiri dari satu elemen. Tingkat berikutnya dapat terdiri dari beberapa elemen menurut hubungan esensial yang sama dan berada dalam tingkat hirarki yang sama. Hirarki antara beberapa elemen dalam level yang sama disebut sebagai hirarki fungsional. Sedangkan hubungan setiap elemen dalam suatu tingkat yang dibandingkan satu dengan lainnya terhadap kriteria yang berada di atasnya disebut sebagai hirarki struktural. Hirarki ini memiliki karakteristik sistem yang kompleks dalam urutan menurun berdasarkan sifat strukturalnya. Jumlah tingkat dalam suatu hirarki tidak dibatasi. Bila elemen-elemen dalam suatu tingkat tidak dapat dibandingkan dengan mudah, maka suatu tingkat baru dapat dibuat lagi, karena hirarki bersifat luas. TUJUAN
KRITERIA 1
KRITERIA 2
KRITERIA 3
ALTERNATIF 1
ALTERNATIF 2
ALTERNATIF 3
1
Gambar 2. Struktur dan Hierarki AHP b. Menentukan Prioritas Penentuan prioritas ini berdasarkan atas perbedaan prioritas dan sintesis, yaitu menentukan peringkat elemen-elemen menurut relatif tingkat kepentingannya. Langkah pertama dalam menentukan prioritas yaitu dengan membuat perbandingan berpasangan dari setiap elemen yang berpasangan. Bentuk dari perbandingan ini biasanya dalam bentuk matriks. Langkah ini dapat dimulai pada puncak hirarki untuk memilih kriteria atau sifat yang akan digunakan
38
untuk melakukan perbandingan yang pertama (C). Lalu elemen tingkat bawahnya dibandingkan, misalnya A1, A2, A3, dan seterusnya. Proses perbandingan berpasangan dapat dilihat pada Tabel 2. Tabel 2. Contoh Matriks untuk Perbandingan Berpasangan C
A1
A1
1
A2 A3
A2
A3
…
An
1 1
…
…
An
1
Matriks dalam Tabel 4 dapat diisi dengan menggunakan angka yang berdasarkan skala nilai antara nilai 1 hingga 9. Tabel 3 menguraikan tentang definisi dari nilai 1 hingga 9 tersebut. Tabel 3. Skala Banding Secara Berpasangan Intensitas
Keterangan
1
Kedua elemen sama pentingnya
3
Elemen yang satu sedikit lebih penting daripada elemen yang lainnya
5
Elemen yang satu lebih penting daripada elemen yang lain
7
Elemen sang satu jelas lebih penting daripada elemen yang lain
9
Elemen yang satu mutlak lebih penting daripada elemen yang lain
2, 4, 6, 8
Nilai-nilai antara dua nilai pertimbangan yang berdekatan Jika untuk aktivitas ke-I mendapat satu angka bila dibandingkan dengan aktivitas ke-j, maka j mempunyai nilai kebalikannya bila dibandingkan dengan i. Sumber : Saaty (1993) dalam Falatehan (2007) • •
Langkah selanjutnya adalah sintesis, yaitu proses menyatukan atau mensintesis pertimbangan yang telah dibuat dalam perbandingan berpasangan,
39
dengan cara pembobotan dan penjumlahan untuk menghasilkan satu bilangan tunggal yang menunjukkan prioritas setiap elemen. Semakin tinggi nilai suatu pilihan, semakin tinggi prioritasnya. Langkah dalam melakukan sintesis adalah sebagai berikut setelah matriks terisi dilakukan sintesis pertimbangan dengan cara membagi nilai perbandingan dengan jumlah setiap kolom untuk memperoleh matriks yang dinormalisasi. Sebagai contoh adalah pemilihan prioritas alokasi anggaran dengan kriteria ketersediaan dana, prioritas anggaran, dan dukungan kelembagaan. Misalnya ketersediaan dana (Dana) setengah kali lebih penting dibanding prioritas anggaran (PA) dan seperempat kali dari dukungan kelembagaan (DK). Dari Tabel 4 terlihat bahwa prioritas anggaran dua kali lebih penting dari ketersediaan dana dan dukungan kelembagaan empat kali lebih penting dari ketersediaan dana. Tabel 4. Mensintesis Pertimbangan Alokasi
Dana
PA
DK
Dana
1
½
¼
PA
2
1
½
DK
4
2
1
Jumlah
7
3,5
1,75
Setelah dimasukkan matriks tersebut dinormalisasi dengan cara membagi setiap entri kolom dengan jumlah pada kolom tersebut sehingga diperoleh matriks yang dinormalisasi dan disajikan pada Tabel 5. Tabel 5. Matriks yang Dinormalisasi Alokasi
Dana
PA
DK
Dana
1/7
1/7
1/7
PA
2/7
2/7
2/7
DK
4/7
4/7
4/7
7
3,5
1,75
Jumlah
40
Setelah mendapatkan nilai matriks yang dinormalisasi kemudian dirataratakan dengan cara menjumlahkan nilai dalam setiap baris dari matriks yang dinormalisasi tersebut, lalu membaginya dengan banyaknya entri dari setiap baris.
, , ,
Sintesis ini menghasilkan persentase prioritas relatif menyeluruh. Dari contoh di atas maka prioritasnya adalah dukungan kelembagaan dengan bobot 57, prioritas anggaran dengan bobot 29 dan ketersediaan dana dengan bobot 14. Dari hasil tersebut dapat diartikan bahwa dalam pengalokasian anggaran dukungan kelembagaan empat kali lebih penting dibanding ketersediaan dana. Semakin tinggi bobot suatu pilihan, semakin tinggi prioritasnya. c. Konsistensi Logis Konsistensi logis yaitu menjamin bahwa semua elemen dikelompokkan secara logis dab diperingkat secara konsisten sesuai dengan suatu kriteria yang logis. Dalam pengambilan keputusan, perlu diketahui tingkat konsistensinya. Konsistensi sampai pada tingkatan tertentu diperlukan untuk memperoleh hasil yang optimal dengan keadaan di dunia nyata. AHP mengukur konsistensi menyeluruh dari berbagai pertimbangan melalui suatu rasio konsistensi. Nilai rasio konsistensi paling tinggi 10 persen, jika lebih maka pertimbangan yang telah dilakukan perlu diperbaiki. Contoh di atas jika terjadi ketidakkonsistenan misalkan untuk prioritas alokasi anggaran diatas, prioritas dukungan kelembagaan 4 kali lebih pening dibanding prioritas anggaran maka cara perhitungannya adalah sebagai berikut (Falatehan, 2007):
41
1) Melakukan sintesis pertimbangan, setelah diolah maka didapatlah persentase prioritas relatif menyeluruh, yaitu 13, 21 dan 66 persen. Tabel 6 akan menyajikan contoh dalam mensisntesis pertimbangan sedangkan Tabel 7 menunjukkan matriks yang dinormalisasi, jumlah baris, dan prioritas menyeluruh. Tabel 6. Contoh Mensintesis Pertimbangan Alokasi
Dana
PA
DK
Dana
1
½
¼
PA
2
1
¼
DK
4
4
1
Jumlah
7
5,5
1,5
Tabel 7. Matriks yang Dinormalisasi, Jumlah Baris dan Prioritas Menyeluruh Dana
PA
DK
Jumlah Baris
Rataan
Dana
1/7
1/11
1/6
0,40
0,40/3 = 0,13
PA
2/7
2/11
1/6
0,63
0,63/3 = 0,21
DK
4/7
8/11
4/6
1,97
1,97/3 = 0,66
7
5,5
1,5
Alokasi
Jumlah
2) Menghitung besarnya ketidakkonsistenan tersebut dengan cara mengalikan kolom pertama pada matriks yang baru (tidak konsisten) dengan prioritas relatif dari Dana (0,13), kolom kedua dengan Prioritas Anggaran (0,21) dan kolom ketiga dengan Dukungan Kelembagaan (0,66). Lalu entri dalam baris-baris tersebut dijumlahkan.
42
Tabel 8. Menjumlahkan Entri
Dana (0,13) 1
PA (0,21) ½
DK (0,66) ¼
PA
2
1
¼
DK
4
4
1
Alokasi Dana
Alokasi
Dana
PA
DK
Jumlah
Dana
0,13
0,11
0,17
0,41
PA
0,26
0,21
0,17
0,64
DK
0,52
0,48
0,66
2,02
2.6. Penelitian Terdahulu Mintarti
(2007)
yang
melakukan
penelitian
tentang
Strategi
Pengembangan Ekonomi Lokal Berbasis Komoditas Kelapa di Kabupaten Pacitan menemukan bahwa komoditas kelapa terbukti memiliki keunggulan komparatif dan potensial menjadi basis perekonomian di Kabupaten Pacitan. Wilayah kecamatan di Kabupaten Pacitan dengan sektor basis kelapa yaitu Kecamatan Pacitan, Arjosari, Kebonagung, Punung, Donorojo, Pringkuku, Tulakan, Ngadirojo, serta Sudimoro, ternyata memiliki kedekatan geografis sehingga dimungkinkan pembangunan suatu kawasan industri berbasis produk kelapa yang mencakup semua kegiatan dari pra produksi sampai pasca produksi, dengan melibatkan pelaku dari hulu ke hilir. Hasil penelitiannya juga menemukan bahwa sub sektor perkebunan di Kabupaten Pacitan secara agregat masih memberikan kontribusi pertumbuhan produksi sebesar 14.08 persen pada tingkat wilayah Propinsi Jawa Timur. Komoditas kelapa terbukti memiliki keunggulan kompetitif yang ditunjukkan dengan nilai pergeseran yang positif untuk jumlah produksi dibandingkan dengan kabupaten lain pada tingkat wilayah Propinsi Jawa Timur selama kurun waktu tahun 2003 dan tahun 2006. Tetapi potensi keunggulan komoditas kelapa ini, masih kurang disertai dengan upaya yang sungguh-sungguh untuk terus menjaga
43
dan memelihara agar keunggulan ini tetap bertahan. Hal ini disebabkan nilai jual kelapa butiran dan kopra yang cenderung merosot, sehingga gairah petani dalam memelihara kebun dan juga perhatian Pemda Pacitan terhadap komoditas ini, menjadi menurun. Selanjutnya Rahmat (2009) dalam hasil penelitian tentang Strategi Pengembangan Produk Unggulan Wilayah Pegunungan dan Pesisir Kabupaten Lampung Barat dengan menggunakan alat analisis Location Quotient. Hasil penelitian menunjukkan bahwa terdapat beberapa komoditas unggulan di Kabupaten Lampung Barat. Komoditas unggulan tersebut adalah kopi robusta, padi, damar, ikan dan lada. Damar mata kucing merupakan komoditas unggulan untuk wilayah pesisir. Semua kecamatan pesisir menempatkan damar sebagai sektor basis kecuali Kecamatan Karya Penggawa. Sementara kopi robusta menjadi komoditas unggulan di wilayah penggunungan. Sementara daerah pesisir hanya Kecamatan Lemong yang menjadikan kopi sektor basis. Ikan merupakan komoditas unggulan Kecamatan Pesisir Tengah, Lemong dan Pesisir Utara. Sementara lada menjadi unggulan Kecamatan Belalau, Sekincau, Lemong dan Bengkunat. Untuk komoditas padi hampir merata baik di wilayah pegunungan maupun pesisir. Kajian Pengembangan Ekonomi Lokal yang dilakukan oleh Bappenas (2008) mengenai Revitalisasi Pengembangan Ekonomi Lokal di Kota Gorontalo dengan menggunakan metode analis RALED (Rapid Assessment Technique for Local Economic Development) yang dikembangkan oleh Sugeng Budiharsono sebagai modifikasi dari Metode RAPFISH (Rapid Appraisal Technique for Fisheries), dengan langkah-langkah dalam analisis data adalah : 1. Penentuan dimensi dan indikator pengembangan ekonomi lokal; 2. Analisis dengan metode Multidimensional Scaling (MDS); 3. Analisis sensitivitas; 4. Simulasi Montecarlo Hasil analisis RALED dan penentan bobot gabungan diperoleh bahwa status PEL Kota Kendari adalah sebesar 55,29. Hal ini menunjukkan bahwa secara keseluruhan, status pengembangan ekonomi lokal Kota Kendari berada dalam kondisi baik.dimensi atau aspek yang memiliki nilai indeks tertinggi adalah aspek
44
Pengembangan Berkelanjutan yaitu sebesar 63,02 dan aspek yang memiliki nilai indeks teredah adalah aspek Tata Pemerintahn yaitu sebesar 49,93. Dan analisis RALED juga menunjukkan ada enam faktor pengungkit aspek kelompok sasaran, empat faktor pengungkit aspek pembangunan berkelanjutan, enam faktor pengungkit aspek tata pemerintahan dan tiga faktor pengungkit aspek proses manajemen. Berdasarkan faktor pengungkit tersebut, maka dirumuskan enam puluh lima strategi pengembangan ekonomi lokal di Kota Kendari. Kajian Pengembangan Ekonomi Lokal juga dilakukan oleh Utukaman (2010) mengenai Strategi Pengembangan Pengembangan Ekonomi Lokal Berbasis
Agribisnis
Perikanan
di
Kabupaten
Kepulauan
Aru
dengan
menggunakan metode analis RALED (Rapid Assessment Technique for Local Economic Development). Hasil penelitian menunjukkan bahwa faktor pengungkit yang diperoleh adalah : (1) Upaya fsilitasi permodalan dari Pemda; (2) Upaya Pemda untuk peningkatan teknologi, manajemen dan kelembagaan lokal; (3) Keamanan; (4) Peluang kerjasama dalam industri sejenis mupun industri huluhilir; (5) Jumlah Lembaga Keuangan Lokal; (6) Lembaga Penelitian; (7) Kebijakan
pengurangan
pengembangan
jaringan
kemiskinan usaha
secara
antar
pelaku
partisipatif;
(8)
Kebijakan
ekonomi;
(9)
Kebijakan
pengembangan komunitas; (10) PEL mempertimbangkan keberadaan adat dan kelembagaan lokal; (11) Reformasi sistem insentif pengembangan SDM Aparatur; (12)
Prosedur
pelayanan
administrasi
publik;
(13)
Peran
Asosiasi
Industri/komoditi/ forum bisnis terhadap perbaikan kebijakan pemerintah di bidang PEL; (14) identifikasi stakeholder PEL; dan (15) Analisis pemetaan potensi ekonomi.