5
II. TINJAUAN PUSTAKA
A. Itik Jantan Lokal Itik adalah salah satu unggas air (waterfowls) yang termasuk dalam: Kelas
: Aves
Ordo
: Anseriformes
Famili
: Anatidae
Subfamili
: Anatinae
Tribus
: Anatini
Genus
: Anas
Spesies
: Anas plathyrynchos
(Srigandono, 1997) Duck adalah sebutan itik secara umum, apabila tidak melihat umur maupun jenis kelaminnya. Duck juga mempunyai arti itik dewasa betina. Drake adalah itik jantan dewasa, sedangkan drakel atau drakeling berarti itik jantan muda. Duckling adalah sebutan untuk itik betina, atau itik yang baru menetas (Day Old Duck = DOD). Itik jantan atau betina muda yang dipasarkan sebagai ternak potong pada umur 7 sampai 10 minggu, sering disebut dengan green duck (Srigandono, 1997). Itik lokal yang tersebar di Indonesia diantaranya itik Alabio, itik Tegal, itik Mojosari, itik Bali, itik Magelang dan lainnya (Suharno, 2003). Daging itik yang dikonsumsi umumnya berasal dari itik petelur afkir, itik petelur jantan dan itik Serati. Daging itik jantan muda yang dipasarkan saat ini diakui oleh konsumen tidak menimbulkan bau amis dan tidak banyak mengandung
lemak
serta
dengan
serat
daging
yang
empuk
(Setioko et al., 1985). Itik cukup potensial bila dibandingkan dengan unggas lain untuk dikembangkan mengingat memiliki kelebihan karena mudah dalam pemeliharaan, lebih tahan terhadap penyakit serta mampu memanfaatkan ransum yang kualitasnya rendah. Itik jantan digunakan sebagai penghasil
5
6
daging
karena
pertumbuhan
itik
jantan
cenderung
lebih
tinggi
dibandingkan dengan betina (Purba dan Kateran, 2011). Konsumsi ransum itik jantan lebih tinggi dibandingkan dengan itik betina, namun nilai konversi ransum itik jantan lebih lebih rendah dari itik betina. Oleh karena itu, itik jantan lebih efisien dalam memanfaatkan ransum untuk pertumbuhan (Wulandari et al., 2005). Anggraeni (1999) menyarankan agar itik pedaging baik dipotong tidak lebih dari umur 12 minggu, agar diperoleh daging itik yang bertekstur empuk. Bobot hidup 1,3 kg dapat dicapai pada pemeliharaan itik jantan selama delapan minggu dengan kandungan protein kasar ransum sebesar 17% dan energi metabolis 2.900 kkal/kg (Bintang dan Tangendjaya, 1996). Potensi lain dari itik adalah kemampuannya mencerna serat kasar yang cukup tinggi. Sebagian besar serat kasar akan dicerna di dalam sekum, yaitu sekum itik berkembang lebih besar dibanding unggas lain (Murtidjo, 1988). B. Minyak ikan lemuru Minyak ikan lemuru merupakan limbah atau hasil samping dari proses pengalengan maupun penepungan ikan lemuru. Proses pengalengan ikan lemuru diperoleh rendaman berupa minyak sebesar 5% dan dari proses penepungan sebesar 10%. Pengalengan satu ton ikan lemuru akan diperoleh 50 kg limbah berupa minyak ikan dan selanjutnya dari satu ton bahan mentah sisa penepungan akan diperoleh kurang lebih 100 kg hasil samping berupa minyak ikan lemuru (Setiabudi, 1990). Minyak ikan lemuru di peroleh dari proses pengeresan ikan lemuru yang menghasilkan limbah berupa minyak. Ikan lemuru mula-mula ditambahkan asam, kemudian ada yang di tambahkan air tawar/ air asin namun ada yang tidak. Proses selanjutnya, ikan lemuru diekstrak secara mekanis (pengepresan) sehingga diperoleh ikan lemuru yang siap untuk dikalengkan atau sering disebut sarden. Hasil samping dari proses diatas yaitu limbah berupa minyak ikan lemuru (Kompiang et al., 1981).
7
Ditambahkan Asam
Ikan
Tambah air tawar/air asin
(asam cuka/
Lemuru
formiat/ propionat)
Ikan Kaleng (Sarden) dan Minyak Ikan Lemuru
Tanpa air tawar/air asin
Diekstrak Mekanis (Pengepresan)
Gambar 1. Proses Pembuatan Minyak Lemuru (Sumber: Kompiang et al., 1981) Minyak ikan lemuru yang diambil dari daerah Muncar (Jawa Timur) mempunyai kandungan minyak 4,5-11,8 %. Lemuru adalah ikan laut yang mengandung 25,17 % asam lemak tak jenuh yang berkonfigurasi omega-3. Jumlah asam lemak tak jenuh yang berkonfigurasi omega-3 yang dikandung minyak ikan lemuru sangat tergantung dari banyak sedikitnya ikatan rangkap yang sudah teroksidasi. Proses oksidasi timbul karena pemanasan, penyimpanan dan filtrasi (Saerang, 2003). Sumber asam lemak omega-3 banyak dijumpai pada ikan laut utamanya ikan lemuru. Ikan lemuru apabila dilakukan pengepresan akan menghasilkan minyak ikan yang banyak mengandung asam lemak omega3 utamanya EPA (Eikosapentaenoat) dan DHA (Dokosaheksaenoat) sebanyak 33,6 % sampai 44,85 % dan 14,64 % serta mengandung lemak 5,8 % (Sudibya et al., 2007). Tabel 1. Kandungan Nutrien Minyak Lemuru Jenis Nutrien Jumlah atau Presentase (%) Energi metabolis 8280 Kkal/kg EPA (Eikosapentaenoat) 33,6% - 44,85% DHA (Dokosaheksaenoat) 14,64% Lemak 5,8% Sumber : Sudibya et al. (2007) Minyak ikan yang diperoleh dari proses pengalengan ikan pada umumnya berwarna kuning dengan bau khas minyak ikan, sedangkan dari proses penepungan umumnya berwarna coklat gelap dan baunya
8
menyengat. Proses asal minyak dapat mempengaruhi kandungan asam lemak omega-3. Kandungan total asam lemak omega-3 dari proses pengalengan ikan adalah 29,68%, sedangkan yang berasal dari proses pembuatan tepung ikan adalah 25,84% (Dewi, 1996). C. L-karnitin L-karnitin
adalah senyawa yang mengandung nitrogen dengan berat
molekul yang rendah yang melayani bolak balik gugus asil lemak melintasi membran mitokondria. L-karnitin juga disintesis dan lisin yang diikat oleh protein (Montgomery et al., 1993). Nama karnitin berasal dari bahasa latin “carnua” yang berarti daging. Istilah tersebut muncul karena penemuan karnitin pertama kali (tahun 1905) meruransum hasil isolasi lisin dari daging sapi. Penelitian pada cacing (Tenebrio molitor) menunjukkan bahwa L-karnitin memiliki fungsi mirip vitamin B1. Lkarnitin merupakan senyawa yang dapat disintesis oleh cacing tersebut dan juga organisme lain, termasuk manusi (Cyberhealth, 2006). Mekanisme L-karnitin menunjukkan bahwa L-karnitin berfungsi dalam membantu transport asam lemak ke dalam mitokondria, hal yang sama terjadi pada karetonoid. Karetonoid dan turunan-turunan vitamin A terkumpul dalam globula-globula lemak yang terdispersi di dalam usus bagian atas. Vitamin A adalah emulsi lemak tersebut selanjutnya dihidrolisis oleh esterase dari pankreas sehingga membebaskan karetonoid. Partikel-partikel teremulsi yang terbentuk mula-mula berdifusi ke dalam lapisan glikoprotein disekitar mikrofil sel-sel epitel usus dan kemudian diserap menjadi energi (Muchtadi et al.,1993). L-karnitin
memiliki dua fungsi utama yaitu pertama sebagai kofaktor
untuk mengangkut asam lemak ikatan panjang menyeberangi bagian dalam membran mitokondria dan semua jaringan tubuh, kecuali otak, menggunakan asam lemak ikatan panjang untuk menghasilkan bioenergi. Pada jaringan otot dan jantung, kontribusi bioenergi berasal dari reaksi beta oksidasi terhadap asam lemak ikatan panjang. Asam lemak ikatan panjang membutuhkan L-karnitin untuk mengangkutnya menyeberangi
9
bagian dalam membran mitokondria. Fungsi kedua L-karnitin adalah memindahkan asam lemak ikatan sedang (medium) dan pendek dari dalam mitokondria untuk menjaga jumlah koenzim A dalam sel tetap stabil (BPOM RI, 2005) D. Konsumsi Ransum Konsumsi ransum dapat dipengaruhi oleh berbagai faktor antara lain kandungan gizi dalam ransum (Hernandez et al., 2004; Fan et al., 2008). Kebutuhan gizi itik pedaging umur 2-7 minggu disarankan ransum mengandung protein kasar sebanyak 16%, sedangkan energi metabolis 3000 kkal/kg (NRC, 1994). Kandungan gizi termasuk energi metabolis (EM) ransum yang diberikan telah memenuhi kebutuhan itik sehingga sangat mendorong terhadap jumlah ransum yang dikonsumsi untuk pertumbuhan itik. Fan et al. (2008) menyatakan bahwa pemberian ransum yang mengandung energi tinggi dapat meningkatkan konsumsi ransum yang erat hubungannya dengan pertumbuhan ternak unggas. Konsumsi ransum sangat berpengaruh terhadap pertumbuhan itik. Wahju (1985) menyatakan bahwa konsumsi ransum unggas dipengaruhi oleh kesehatan, bentuk ransum, imbangan zat-zat makanan, kecepatan pertumbuhan, produksi telur dan stress. Menurut Hardjosworo et al. (1980) konsumsi ransum itik Tegal adalah 139,11 gram per ekor/hari, sedangkan Ulupi (1990) melaporkan kisaran konsumsi ransum itik antara 128,40-162,03 gram. Suharno dan Amri (1996) menyatakan bahwa itik masa produksi membutuhkan ransum dengan kandungan energi metabolis 2.700 kkal/kg, protein kasar 16%-18%, kalsium 2,90%-3,25% dan fosfor 0,47%. Hasil penelitian Sinurat et al. (1996) menyatakan bahwa konsumsi ransum pada itik lokal jantan umur satu hari sampai umur sembilan minggu sebesar 7,444 kg/ekor dengan pemberian ransum yang mengandung energi metabolis sebesar 2.700 kkal/kg dan kandungan protein 18,2%. Penelitian lain yang dilaporkan oleh Iskandar et al. (2001) diperoleh rataan konsumsi ransum sebesar 7,5 kg/ekor pada pemeliharaan
10
umur dua sampai sepuluh minggu dengan pemberian ransum yang mengandung protein kasar sebesar 23,1% dan energi metabolis 2.625 kkal/kg. Konsumsi ransum pada itik jantan pada umur satu minggu sampai delapan minggu yang sedang tumbuh dengan pemberian fermentasi lumpur sawit sampai level 15% adalah 970 gram/ekor/minggu. Assa (1995) melaporkan rataan konsumsi ransum itik Tegal yang diberi singkong fermentasi yaitu sebesar 917 gram/ekor/minggu. Farrel (1995) melaporkan bahwa penggunaan omega-3 dalam ransum ayam akan menurunkan konsumsi dan efisiensi ransum dibanding dengan ransum komersial E. Pertambahan bobot badan harian Kemampuan ternak untuk mengubah zat-zat nutrisi yang terdapat dalam ransum menjadi daging ditunjukkan dengan pertambahan bobot badan. Pertambahan bobot badan meruransum salah satu kriteria yang digunakan
untuk
mengukur
pertumbuhan.
Anggorodi
(1985)
mendefinisikan pertumbuhan adalah pertambahan dalam bentuk dan berat jaringan-jaringan seperti otot, tulang, jantung dan semua jaringan tubuh lainnya. Faktor-faktor yang berpengaruh terhadap pertumbuhan adalah bangsa, tipe itik, jenis kelamin, energi metabolis, kandungan protein dan suhu lingkungan Wahju (1992). Respon pertumbuhan ternak ditentukan oleh beberapa faktor yaitu kesehatan, ransum dan manajemen pemeliharaan (Rose, 1997). Rose (1997) menyebutkan empat komponen utama pertumbuhan yaitu: (1) peningkatan berat otot yang terdiri dari protein dan air; (2) peningkatan ukuran tulang; (3) peningkatan lemak tubuh total pada jaringan lemak; (4) peningkatan ukuran bulu, kulit dan organ dalam. Sinurat et al. (2000) melaporkan bahwa pertambahan bobot badan itik lokal jantan pada umur satu minggu sampai dengan umur delapan minggu yang diberi fermentasi lumpur sawit sampai level 15% adalah sebesar
11
127,75 gram/ekor/minggu. Abadi et al. (2007) melaporkan bahwa penggunaan minyak ikan lemuru dan L-karnitin pada induk ayam pedaging mampu meningkatkan performa. F. Konversi Ransum Anggorodi (1979) menyatakan bahwa konversi ransum meruransum salah satu indikator teknis penggunaan ransum oleh ternak. Semakin rendah nilai konversi ransum maka semakin efisien penggunaan ransum. Konversi ransum meruransum cara untuk mengukur efisiensi penggunaan ransum yaitu meruransum perbandingan antara jumlah ransum yang dikonsumsi pada waktu tertentu dengan produksi yang dihasilkan (pertambahan bobot badan atau jumlah bobot telur) dalam kurun waktu yang sama. Konversi ransum yang diperoleh pada penelitian Iskandar et al. (2001) pada pemeliharaan mulai umur dua sampai sepuluh minggu dengan pemberian ransum berbentuk pasta dengan kandungan protein kasar sebesar 23,1% dan energi metabolis 2.625 kkal/kg adalah 6,59. Selanjutnya Ketaren dan Prasetyo (1999) memperoleh konversi ransum sebesar 3,43 pada itik Mojosari Alabio yang sedang tumbuh dengan pemberian ransum dalam bentuk pellet pada umur 5-8 minggu. Hasil penelitian yang dilakukan oleh Iskandar et al. (2001) diperoleh konversi ransum sebesar 6,59 pada itik Mojosari Alabio jantan yang sedang tumbuh dengan pemberian ransum dalam bentuk pasta. Ketaren et al. (1999) menyebutkan bahwa buruknya konversi ransum itik disebabkan oleh perilaku makan itik termasuk kebiasaan itik yang segera mencari air minum setelah makan. Ransum umumnya terbuang pada saat itik tersebut pindah dari tempat ransum ke tempat minum maupun juga terlarut di dalam wadah air minum. Ransum yang efisien diperoleh bila ransum mengandung perbandingan energi yang tepat terhadap zat-zat makanan lainnya yang diperlukan untuk pertumbuhan atau hasil akhir yang diinginkan (Anggorodi, 1985). Selanjutnya
12
disebutkan bahwa faktor-faktor yang berpengaruh terhadap konversi ransum adalah suhu lingkungan, laju perjalanan ransum melalui alat pencernaan, bentuk fisik ransum, produksi telur, kandungan nutrisi, bobot badan, komposisi kimia ransum dan laju perjalanan ransum dalam organ pencernaan. Farrel (1995) melaporkan bahwa penggunaan Omega-3 dalam ransum ayam akan menurunkan konsumsi dan konversi ransum dibanding dengan ransum komersial. G. Income Over Feed Cost (IOFC) Income Over Feed Cost (IOFC) adalah selisih total pendapatan dengan biaya ransum yang digunakan selama usaha penggemukan ternak. IOFC ini merupakan barometer untuk melihat seberapa besar biaya ransum yang merupakan biaya terbesar dalam usaha penggemukan ternak. IOFC diperoleh dengan menghitung selisih pendapatan usaha peternakan dikurangi biaya ransum. Pendapatan merupakan perkalian antara produksi peternakan atau pertambahan bobot badan akibat perlakuan dengan harga jual (Prawirokusumo, 1990). Income Over Feed Cost (IOFC) merupakan salah satu cara dalam menentukan indikator keuntungan. IOFC ini biasa digunakan untuk mengukur performa pada program pemberian ransum. Analisis pendapatan dengan cara didasarkan pada harga jual ternak dan biaya ransum selama pemeliharaan. Tujuan akhir dari pemeliharaan ternak adalah untuk memperoleh keuntungan secara ekonomis. Kasim (2002) menambahkan
bahwa
IOFC
dapat
dihitung
dengan
pendekatan
penerimaan dari nilai pertambahan bobot badan ternak dengan biaya ransum yang dikeluarkan selama penelitian. Faktor yang berpengaruh penting dalam perhitungan IOFC adalah pertambahan bobot badan selama penggemukan, konsumsi ransum dan harga ransum. Pertumbuhan yang baik belum tentu menjamin keuntungan maksimum, tetapi pertumbuhan yang baik dan diikuti dengan konversi ransum yang baik pula serta biaya ransum yang minimal akan mendapatkan keuntungan yang maksimal pula.
13
HIPOTESIS Suplementasi minyak ikan lemuru dan L-karnitin dalam ransum berpengaruh positif terhadap konsumsi ransum, pertambahan bobot badan harian, FCR dan IOFC pada itik lokal jantan.