TINJAUAN PUSTAKA Itik (Anas platyrhynchos) Menurut Achmanu (1997), itik termasuk ke dalam unggas air (waterfowl) yang mempunyai klasifikasi sebagai berikut : kelas Aves, ordo Anseriformes, family Anatidae, sub family Anatinae, rumpun (tribe) Anatini, genus Anas, spesies Anas platyrhynchos. Itik lokal merupakan potensi sumber protein hewani yang dapat dikembangkan. Salah satu contoh itik lokal adalah itik. Itik cihateup berasal dari Desa Cihateup, Kecamatan Rajapolah, Kabupaten Tasikmalaya, Propinsi Jawa Barat. Selain di Tasikmalaya, Itik cihateup juga dikembangbiakan di daerah Garut (Wulandari, 2005). Selain itik cihateup, itik yang cukup banyak dikembangbiakan di Indonesia adalah itik alabio. Itik ini merupakan salah satu galur itik lokal yang sudah cukup lama dikenal. Meskipun tergolong sebagai jenis itik penghasil telur, itik alabio jantan juga dapat dimanfaatkan sebagai sumber penghasil daging (Hardjosworo et al., 2001).
Itik ini telah lama dipelihara dan berkembang di Kalimantan Selatan
(Suryana, 2007). Menurut Randa (2007), itik alabio jantan memiliki persentasi karkas yang lebih besar dari itik cihateup. Menurut Standar Nasional Indonesia (2009), persyaratan itik alabio jantan adalah kondisi fisik harus sehat, kaki normal dan dapat berdiri tegak, mata bersinar, tampak segar dan aktif, tidak ada kelainan bentuk dan tidak cacat fisik. Secara kualitatif, persyaratan itik alabio jantan adalah postur tubuh tegak membentuk sudut 700, paruh berwarna kuning sampai kuning jingga dengan bercak hitam pada bagian ujung, terdapat bulu putih membentuk garis mulai dari pangkal paruh sampai ke bagian belakang kepala dan bulu kepala bagian atas berwarna hitam, kaki berwarna kuning jingga, bulu leher bagian depan berwarna putih, sedangkan bagian belakang berwarna hitam, bulu dada berwarna coklat kemerahan, bulu punggung dan perut berwarna abu-abu dengan bercak coklat, bulu sayap sekunder berwarna biru kehijauan dan mengkilap, bulu ekor berwarna hitam dan melingkar keatas. Ciri-ciri itik alabio jantan dapat dilihat seperti pada Gambar 1.
3
Gambar 1. Itik Alabio Jantan Sumber : SNI (2009)
Beluntas ( Pluchea indica L.) Menurut Asiamaya (2003), klasifikasi tanaman beluntas (Gambar 2) adalah sebagai berikut: Kelas Magnoliophyta, sub-kelas Asteridae, ordo Asterales, famili Asteraceae, genus Plucheacass, dan spesies Pluchea Indica L. Secara tradisional, daun beluntas biasa digunakan sebagai penghilang bau badan, obat turun panas, obat batuk, obat diare, dan mengobati sakit kulit. Tanaman beluntas mengandung senyawa flavonoid yang efektif dalam menangkap radikal bebas atau sebagai antioksidan (Panovskai, 2005). Menurut Winarno (1997), antioksidan adalah senyawa yang memiliki kemampuan sebagai zat anti radikal bebas. Radikal bebas adalah suatu senyawa yang mengandung molekul yang tidak berpasangan dan menyebabkan senyawa tersebut sangat reaktif, sehingga untuk menstabilkan dirinya, radikal bebas akan menarik molekul lain seperti asam lemak tidak jenuh, protein, polisakarida. Kandungan antioksidan dalam tepung daun beluntas yaitu senyawa flavonoid, vitamin C dan -karoten dengan masing-masing sebanyak 4,47%, 98,25 mg/100g dan 2,552 mg/100g. Beluntas juga mengandung antinutrien yaitu tanin. Daun beluntas kering mengandung tanin sebesar 1,88% (Rukmiasih et al., 2010). Tanin dengan level 0,5% atau lebih dalam pakan menyebabkan penurunan pertumbuhan, ketersediaan energi pakan dan protein, kematian lebih tinggi, juga menghambat aktivitas enzim (tripsin, amilase dan lipase) (Johri, 2005).
4
Berdasarkan hasil penelitian Wahyudin (2006), pemberian tepung daun beluntas sebanyak 1% hingga 2% dalam pakan tidak memberikan pengaruh terhadap konsumsi pakan, bobot badan akhir, pertambahan bobot badan, persentase karkas, dada dan paha itik. Akan tetapi, konversi pakan itik yang mendapat beluntas lebih tinggi dari kontrol. Konversi pakan itik yang mendapat 1% beluntas sebesar 4,17, sedangkan yang tidak mendapat beluntas (kontrol) sebesar 3,42 (Gunawan, 2005). Rataan persentase dada yang diperoleh pada penelitian tersebut adalah 24,09%24,95% dan persentase paha yang adalah 24,44%- 25,71% (Wahyudin, 2006).
Gambar 2. Tanaman Beluntas Vitamin Menurut Widodo (2002), vitamin merupakan sejumlah persenyawaan organik yang secara umum tidak ada hubungan atau kesamaan kimiawi satu sama lain. Vitamin merupakan komponen dari bahan makanan tetapi bukan karbohidrat, lemak, protein dan air dan terdapat dalam jumlah yang sedikit. Vitamin esensial dibutuhkan untuk perkembangan jaringan normal dan untuk kesehatan, pertumbuhan dan hidup pokok karena tubuh tidak dapat mensintesis sendiri kecuali beberapa vitamin seperti vitamin C pada ayam dan vitamin B kompleks pada ruminansia (Widodo, 2002). Ayam sangat peka terhadap defisiensi vitamin karena ayam sangat sedikit sekali mendapat vitamin yang disintesa oleh mikroorganisme dalam saluran pencernaan, sedangkan ayam membutuhkan banyak sekali vitamin untuk reaksireaksi metabolik dalam tubuhnya, selain itu cekaman yang tinggi membuat ayam membutuhkan vitamin yang tinggi pula (Widodo, 2002).
5
Vitamin C adalah salah satu bahan yang bekerja sebagai antioksidan sekunder. Antioksidan sekunder bekerja dengan memproses senyawa-senyawa tertentu agar tidak berpotensi membentuk suatu radikal. Aktifitas antioksidan sekunder akan bertambah efektif
bilamana disertai dengan adanya antioksidan
primer seperti vitamin E. Antioksidan primer bekerja dengan mengubah radikalradikal lipid menjadi produk yang lebih stabil (Gordon, 1990). Menurut Widodo (2002), pengaruh pemberian vitamin C dalam air minum pada broiler sebelum dipotong menghasilkan karkas yang tidak mudah mengalami penyusutan sehingga kualitas karkas terjaga. Selain itu vitamin C juga dapat mencegah katabolisme protein, sehingga pada ayam yang diberi vitamin C sebelum dipotong, timbangan karkas menjadi lebih baik. Dosis yang dianjurkan adalah 9001.000 ppm dalam air minum pada waktu 24 jam sebelum dipotong. Menurut Kusnadi (2006), pemberian vitamin C 250 ppm dapat digunakan untuk mengatasi cekaman panas pada ayam broiler. Selain itu penambahan vitamin C pada suhu ruang panas dapat meningkatkan pertumbuhan dan konsumsi pakan ayam broiler. Vitamin E banyak digunakan dalam bentuk suplemen yang sekaligus berfungsi sebagai sumber antioksidan. Vitamin E berfungsi melindungi asam-asam lemak dan kolesterol dari oksidasi dengan cara menangkap radikal-radikal bebas (Niki et al., 1995). Vitamin E terdapat dalam tiga bentuk yaitu ,
dan -tokoferol,
perbedaannya terletak pada gugus R1, R2, dan R3. Bentuk vitamin E yang paling aktif atau paling efektif adalah -tokoferol (Widodo, 2002). Berbagai penelitian menggunakan vitamin E pada berbagai jenis ternak seperti ayam, kalkun, babi, sapi dan ikan, memperlihatkan bahwa terdapat pengaruh signifikan dari vitamin E terhadap penurunan oksidasi lipid di dalam daging dan jaringan adipose ternak-ternak tersebut (Skibsted et al., 1998). Tanpa pengontrolan terhadap oksidasi lipid menyebabkan kualitas daging, terutama kualitas organoleptik seperti flavor dan warna daging menurun (Berges, 1999). Menurut Widodo (2002), umumnya vitamin-vitamin yang larut dalam lemak memerlukan absorbsi lemak normal untuk ikut diserap. Vitamin E yang larut dalam lemak ditranspor ke dalam jaringan adipose dalam berbagai jangka waktu. Aktivitas vitamin C sebagai agen pereduksi dapat semakin efektif bilamana terdapat bersama vitamin E (Gordon, 1990). Dari penelitian secara in vitro diperoleh
6
informasi bahwa vitamin E dan C berinteraksi sinergistik dalam fungsinya sebagai antioksidan (Niki et al., 1995). Persentase Karkas dan Bagian-bagiannya Karkas adalah bagian tubuh unggas setelah dilakukan penyembelihan secara halal, pencabutan bulu, dan pengeluaran jeroan, tanpa kepala, leher, kaki (Standar Nasional Indonesia, 2009). Persentase bobot karkas terhadap bobot hidup sering dijadikan acuan ukuran produksi dari seekor ternak potong. Persentase karkas dipengaruhi oleh genetik, fisiologi, umur dan berat tubuh dan kandungan nutrien pakan selama ternak itik hidup. Berdasarkan Standar Nasional Indonesia (SNI) (2009), daging adalah otot skeletal dari karkas ayam yang aman, layak, dan lazim dikonsumsi manusia. Menurut Soeparno (2005), daging adalah semua jaringan hewan dan semua produk hasil pengolahan jaringan-jaringan tersebut yang sesuai untuk dimakan serta tidak menimbulkan gangguan kesehatan bagi yang memakannya. Menurut Soeparno (2005), faktor genetik dan lingkungan mempengaruhi laju pertumbuhan dan komposisi tubuh. Faktor lingkungan dapat terbagi menjadi dua kategori yaitu faktor fisiologis dan nutrien. Proporsi tulang, otot dan lemak sebagai komponen karkas dipengaruhi oleh umur, berat hidup dan kadar laju pertumbuhan. Bila proporsi salah satu variabel lebih tinggi, maka proporsi salah satu atau kedua variabel lainnya lebih rendah (Soeparno, 2005). Bagian dada dan paha adalah salah satu bagian karkas yang memiliki nilai ekonomis yang tinggi (Omojola, 2007). Menurut Bintang dan Antawidjaja (1995), semakin menurunnya taraf energi dalam pakan terdapat kecenderungan penurunan lemak abdominal ternak entog. Lemak abdominal pada entok jantan nyata lebih tinggi dibandingkan dengan betina (P<0,05), namun tidak terdapat interaksi antara level energi dengan jenis kelamin terhadap lemak abdominal. Menurut Abbas dan Rusmana (1995), serat kasar berpengaruh terhadap kandungan lemak tubuh itik fase pertumbuhan. Persentase lemak abdomen itik lokal jantan yang mendapat pakan kontrol, mendapat pakan mengandung tepung daun beluntas 0,5% dan 1% berturut-turut 0,79%, 0,72% dan 0,64% dari bobot potong (Setiyanto, 2005).
7