Suryana dan Muhammad Yasin: Studi Tingkah Laku pada ….
STUDI TINGKAH LAKU PADA ITIK ALABIO (Anas platyrhynchos Borneo) DI KALIMANTAN SELATAN Suryana dan Muhammad Yasin Balai Pengkajian Teknologi Pertanian Kalimantan Selatan
ABSTRAK Itik Alabio (Anas platyrhynchos Borneo) merupakan salah satu plasma nutfah unggas lokal di Kalimantan Selatan, yang mempunyai keunggulan sebagai penghasil telur produktif. Tingkah laku adalah tindak tanduk hewan yang terlihat, baik secara individual maupun bersama-sama (kolektif). Tingkah laku hewan merupakan suatu kondisi penyesuaian terhadap lingkungannya. Pada tingkat adaptasi, tingkah laku hewan ditentukan oleh kemampuan belajar untuk menyesuaikan terhadap lingkungan yang baru. Kegiatan penelitian dilaksanakan di Kecamatan Daha Utara dan Angkinang, Kabupaten Hulu Sungai Selatan (HSS), Kecamatan Labuan Amas Selatan dan Labuan Amas Utara, Kabupaten Hulu Sungai Tengah (HST), Kecamatan Amuntai Selatan dan Amuntai Tengah, Kabupaten Hulu Sungai Utara (HSU), Kalimantan Selatan. Pengamatan dilakukan pada kegiatan tingkah laku menetas, memilih pakan dan kawin terhadap 600 ekor itik Alabio, yang terdiri atas 525 ekor itik betina dan 75 ekor itik pejantan. Hasil penelitian menunjukkan bahwa pada tingkah laku memilih pakan yang berbentuk pellet merupakan pakan ideal untuk itik dewasa, sehingga dapat dijadikan sebagai salah satu pedoman dalam penentuan bentuk pakan yang efisien. Waktu perkawinan itik Alabio yang tepat dilakukan pagi hari pada kandang terkurung, untuk memperoleh fertilitas telur yang optimal, sedangkan tingkah laku menetas itik Alabio meliputi enam tahapan yaitu telur yang sudah berumur 26 hari mulai retak karena adanya gigi untuk memotong kerabang, dorongan paruh kerabang mulai retak dan membesar, dengan menggunakan leher bagian belakang dan paruh bagian atas mendorong hingga kerabang pecah, telur mulai pecah dan terjadi hentakan menjelang anak itik keluar dari kerabang telur, anak itik dengan kondisi bulu masih basah berusaha mulai berdiri dan berjalan dan mematuk-matuk bekas sisa kerabang telur yang pecah. Kata kunci: tingkah laku, memilih pakan, menetas, kawin, itik Alabio
PENDAHULUAN Itik lokal Indonesia yang ada sekarang dikenal sebagai itik Indian Runner (Hetzel, 1985). Meskipun merupakan satu rumpun, tetapi ada beberapa itik lokal yang tersebar di seluruh wilayah nusantara, dengan berbagai nama menurut daerah atau lokasinya masing-masing (Solihat et al. 2003). Beberapa bangsa lokal yang cukup dikenal antara lain itik Tegal, itik Bali, itik Mojosari, itik Magelang (Hetzel 1985; Suwindra 1998), dan itik Alabio (Rohaeni dan Tarmudji
1994). Itik Alabio (Anas
platyrhynchos Borneo) merupakan salah satu plasma nutfah unggas lokal di Kalimantan Selatan (Hamdan dan Zuraida 2007), yang mempunyai keunggulan sebagai penghasil telur produktif (Biyatmoko 2005; Suparyanto 2005; Suryana 2007).
22
Seminar Nasional Inovasi Teknologi Pertanian, 2013
Tingkah laku adalah tindak tanduk hewan yang terlihat, baik secara individual maupun bersama-sama (kolektif). Hewan liar yang telah didomestikasi masih memperlihatkan adanya perbedaan dalam tingkah lakunya. Hal ini disebabkan oleh kebutuhan hidup yang berbeda, walaupun tetap ada naluri (instinct) yang identik untuk hidup bersama. Tingkah laku hewan merupakan suatu kondisi penyesuaian terhadap lingkungannya. Pada tingkat adaptasi, tingkah laku hewan ditentukan oleh kemampuan belajar untuk menyesuaikan terhadap lingkungan yang baru (Warsono 2009). Perilaku hewan merupakan campuran dari komponen-komponen yang diturunkan/diwariskan atau dibawa dari lahir (naluri) dan yang diperoleh semasa hidupnya. Komponenkomponen yang dibawa dari lahir terdiri atas refleks-refleks sederhana, responsrespons dari berbagai unsur dan pola-pola perilaku kompleks yang dipelajari sehingga menjadi kebiasaan (Craig 1981). Penampilan tingkah laku individu selain dipengaruhi oleh faktor genetik tetuanya (Craig 1981), juga faktor lingkungan internal atau status fisiologis (umur, jenis kelamin, rasa lapar dan kesehatan) (Kilgour & Dalton 1989), serta faktor eksternal lingkungan fisik (nutrisi, temperatur, kelompok seksual dan kontak parental) (Applegate et al. 1998). Perilaku sosial dalam kelompok misalnya pada ternak ayam dapat saja berbeda dan pembentukannya terjadi baik secara lambat maupun cepat, bergantung kepada kondisi kelompok, sifat individu dan banyaknya kelompok (Dukas
2004). Macam-
macam tingkah laku pada hewan antara lain: bergerak, bernafas, makan, minum, berkelahi, tingkah laku sosial, tingkah reproduksi dan kawin (Mignon-Grasteau, 2005), tingkah laku menyusui anak (Kilgour & Dalton 1989), mandi debu (Buitenhuis et al. 2005), berinteraksi sosial (Farland 1986; Tomaszewska & Putu 1989). Ewing et al. (1995) dan Appleby et al. (2004), membagi tingkah laku berdasarkan kebutuhan pokok yang bersifat naluri yaitu: makan, bereaksi, bergerak, mencari tempat hidup, berkelompok, berintorial, mempertahankan diri, bertelur, tidur dan istirahat. Sistem tingkah laku hewan (misalnya tingkah laku makan, minum, tidur dan kawin) terdiri atas tiga fase aktivitas yang terjadi dalam satu rangkaian yaitu fase hasrat (appetite behavior), fase kebiasaan yang konsisten atau naluri (consummatory behavior) dan fase respon kelanjutan yang menguntungkan (refractory behavior) (Craig
1981).
Rangsangan atau respons dalam tubuh berupa perasaan lapar, sifat bermusuhan dan nafsu untuk kawin dipengaruhi oleh sistem syaraf dan reaksi hormonal dalam tubuh dan rangsangan dari luar tubuh berupa suara, pandangan mekanis dan kimia. Kriteria tingkah laku pada ternak menurut Dukas (2004), yaitu tingkah laku merumput, memilih habitat, variasi membedakan benda, mendengar, membau, merasa, memilih warna, makan, minum dan kawin. Setioko (2001) menguraikan tingkah laku kawin alami pada 23
Suryana dan Muhammad Yasin: Studi Tingkah Laku pada ….
itik ada lima tahapan, yaitu tahap perayuan (courtship), tahap naik diatas punggung dan mengatur posisi (mounting and positioning), perangsangan betina (stimulating), ereksi dan ejakulasi (erection and ejaculation), dan gerakan setelah kawin (post coital display). Saerang (2010) menyatakan bahwa tingkah laku yang teridentifikasi pada burung maleo, dapat dikelompokkan dalam tiga macam yaitu: tingkah laku berpindah tempat (jalan, lari dan terbang), tingkah laku makan (mencari makan, mengais pakan, makan dan minum), dan tingkah laku istirahat. Tingkah laku makan dan minum merupakan bagian dari seluruh proses energi (baik lingkungan luar maupun dalam). Pada unggas yang termasuk karakteristik tingkah laku makan yaitu mengkonsumsi pakan, berapa rataan banyaknya konsumsi/ekor, rataan makan harian, rataan
jumlah makan
berdasarkan ukuran dan bentuk pakan (Schulze et al. 2003), lama membau, lama makan dan distribusi aktivitas mengkonsumsi pakan secara simultan (Barnard 2004; Cook et al. 2005; Fraser & Broom 2005). Faktor yang mempengaruhi tingkah laku makan ada dua, yaitu faktor internal dan eksternal. Faktor internal terdapat dua faktor utama yang mempengaruhi tingkah laku makan, yaitu perbedaan kadar glukosa dalam sistem pembuluh darah arterial dan venous, serta peran hormonal. Pusat lapar berada pada hipotalamus bagian lateral, sedangkan pusat kenyang terdapat di hypotalamus bagian ventro-medial. Pusat lapar dan kenyang dipengaruhi oleh perubahan kadar glukosa dalam darah. Jumlah gerakan hewan meningkat, maka jumlah konsumsi pakan juga meningkat, hal ini dapat terjadi karena hewan/ternak berusaha untuk menyesuaikan kebutuhan energi yang keluar dan masuk (Wahju 1997). Tingkah laku makan salah satunya dipengaruhi oleh lingkungan (temperatur, pakan dan manajemen). Temperatur tinggi akan terjadi pengurangan keinginan untuk pengambilan pakan, tetapi sebaliknya konsumsi air minum meningkat (Larbier & Leclercq 1994), sedangkan pada suhu rendah hewan cenderung untuk mengkonsumsi pakan yang terus menerus (Wahju 1997). Faktor eksternal dalam tingkah laku makan adalah seluruh rangsangan dari luar
seperti
suara, gerakan dan tanda-tanda lainnya. Mekanisme tingkah laku makan terjadi karena adanya proses rangsangan pada saat melihat pakan yang diteruskan melalui nervous opticus ke otak. Rangsangan ini setelah diproses dalam otak kemudian akan merangsang lambung untuk mengeluarkan cairan asam, sehingga timbul rasa lapar (Kilgour & Dalton 1989). Prosesnya antara lain, pertama-tama hewan melihat objek pakan yang menarik, kemudian terjadi proses pengambilan pakan sebagai akibat reaksi penurunan kadar glukosa di dalam darah dan akibat pembentukan cairan hormonal yang terjadi setelah ada rangsangan neural dari elemen-elemen syaraf di daerah hipotalamus bagian lateral. Tingkah laku yang diamati pada unggas umumnya 24
Seminar Nasional Inovasi Teknologi Pertanian, 2013
dapat disusun dengan menggunakan katalog Ethogram (Orzech 2005; Riber & Mench 2008). Ethogram merupakan sebuah daftar amatan yang dikategorikan ke dalam jenis perilaku yang ditimbulkan oleh ternak selama dalam pengamatan (Tabel 1). Tabel 1. Ethogram tingkah laku makan dan kawin pada unggas Jenis Perilaku Berpindah tempat
Mencari makan dan minum
Kawin
Aktivitas Jalan
Lari Loncat
Makan
Minum
Aktivitas kawin
Keterangan aktivitas Aktivitas unggas pada saat melangkahkan kaki secara perlahan dan berjalan. Aktivitas pada saat unggas berlari. Aktivitas pada saat unggas mencari tempat lain atau berteduh Aktivitas mulai saat makan, sampai habis makan dan mencari minum. Aktivitas pada saat unggas mencelupkan paruhnya ke tempat air minum sampai selesai minum. Aktivitas mulai pejantan dan betina melakukan persiapan saat dan setelah selesai kawin.
Sumber: Orzech (2005); Riber & Mench (2008)
Riber & Mench (2008) menyatakan bahwa ethogram dapat digunakan sebagai panduan dalam pengamatan perilaku unggas. Ethogram memuat definisi adalah sebagai daftar acuan yang menjelaskan berbagai aktivitas unggas, seperti tingkah laku minum, makan, merumput, pergerakan, bertelur, aktivitas kawin, kanibalisme dan lain-lain. Seperti halnya unggas lain, itik Alabio memiliki kebiasaan dan tingkah laku makan, minum dan kawin serta aktivitas tingkah laku lainnya. Proses tingkah laku makan perlu diamati, mengingat jenis itik umumnya mempunyai kecenderungan tidak efisiennya dalam mengkonsumsi pakan, karena banyak yang terbuang/tercecer pada saat makan yang diikuti minum. Aktivitas tingkah laku kawin terutama pada kemampuan itik Alabio jantan mengawini beberapa betina pada kondisi temperatur lingkungan berbeda, diduga menunjukkan hasil yang berbeda. Perbedaan tingkah laku pada berbagai aktivitas itik Alabio (makan, minum dan kawin), berguna untuk penentuan cara pemberian pakan dan minum yang baik, sedangkan tingkah laku kawin dapat dimanfaatkan sebagai informasi dalam menerapkan sistem perkawinan dengan perbandingan jantan dan betina yang efisien, sehingga diperoleh fertilitas telur optimal.
25
Suryana dan Muhammad Yasin: Studi Tingkah Laku pada ….
BAHAN DAN METODE Kegiatan penelitian
dilaksanakan di Kecamatan Daha Utara dan Angkinang,
Kabupaten Hulu Sungai Selatan, Kecamatan Labuan Amas Selatan dan Labuan Amas Utara, Kabupaten Hulu Sungai Tengah, Kecamatan Amuntai Selatan dan Amuntai Tengah, Kabupaten Hulu Sungai Utara, Kalimantan Selatan. Ternak Itik Ternak yang digunakan dalam penelitian ini adalah itik Alabio dewasa dengan umur berkisar antara 5 – 5,5 bulan (masak kelamin) sebanyak 600 ekor (75 ekor jantan dan 525 betina), milik peternak itik Alabio di Desa Paharangan, Daha Utara, Taniran dan Taniran Kubah (HSS), Desa Sungai Jaranih, Murung Taal, Mantaas dan Tabat (HST), Desa Teluk Baru, Simpang Empat, Cangkering dan Mamar (HSU), masingmasing desa diwakili sebanyak 50 ekor, terdiri atas 5 ekor jantan dan 45 ekor betina. Telur Tetas dan Alat Penetasan Telur itik yang digunakan dalam kegiatan ini sebanyak 5250 butir diperoleh dari peternak itik Alabio di Desa Teluk Baru Kecamatan Amuntai Selatan, HSU. Sebelum telur-telur tetas dimasukkan ke dalam alat penetasan, terlebih dahulu diseleksi yang memenuhi persyaratan, baik dari bobot, warna kerabang dan kebersihan telur. Alat penetasan yang digunakan sebanyak empat unit, terdiri atas satu unit milik Laboratorium Unggas, Fakultas Peternakan Institut Pertanian Bogor kapasitas 200 butir (A) dilengkapi dengan thermometer, thermoregulator dan hygrometer, dan tiga unit alat penetasan sistem gabah dengan kombinasi listrik sebagai sumber panasnya, milik peternak penetas di Desa Mamar Kecamatan Amuntai Selatan, HSU dengan kapasitas masing-masing 1000 butir (B), 1500 butir (C) dan 2500 butir (D). Tingkah Laku Menetas Kegiatan penelitian tingkah laku menetas terlebih dahulu diawali dengan melakukan penetasan telur itik Alabio. Tujuan utama selain untuk memperoleh informasi tentang tingkah laku menetas, juga mengetahui keragaan penetasan. Pengamatan terhadap tingkah laku menetas, dilakukan pada telur-telur yang dieramkan dan telah mendekati tahap akhir proses penetasan (umur telur 26-28 hari). Satu unit alat penetasan digunakan untuk mengamati tingkah laku menetas dengan kapasitas 200 butir (A) dan dilaksanakan di laboratorium, sedangkan untuk memperoleh data keragaan penetasan di tingkat lapang, digunakan tiga unit alat
26
Seminar Nasional Inovasi Teknologi Pertanian, 2013
penetasan lainnya milik peternak/penetas di Desa Mamar, Kabupaten HSU kapasitas masing-masing 1000 butir (B), 1500 butir (C) dan 2500 butir (D), dengan sumber panas kombinasi antara gabah dengan listrik. Penetasan telur dilakukan menurut petunjuk Setioko (1998), meliputi persiapan dan seleksi telur tetas, pembersihan telur dan persiapan alat penetasan. Aktivitas menetas, diamati mulai dari proses terjadinya retaknya kerabang (umur telur 26 hari dalam alat penetasan) sampai anak itik keluar dari kerabang telur. Tingkah Laku Memilih Pakan Pengamatan aktivitas tingkah laku memilih pakan digunakan sebanyak enam ekor itik Alabio dewasa, yang ditempatkan pada petak kandang individu masingmasing diisi satu ekor. Bahan pakan yang digunakan dalam pengamatan tingkah laku memilih pakan sebanyak enam macam sesuai dengan kebiasaan peternak setempat gunakan. Keenam jenis bahan pakan tersebut adalah dedak halus, keong rawa, sagu parut, gabah, ikan kering dan pakan komersial ayam petelur. Pengamatan dilakukan sebanyak tiga kali ulangan, kemudian dibuat catatan sesuai dengan aktivitas amatan. Aktivitas memilih pakan, dihitung mulai itik melakukan aktivitas mematuk pakan sampai berhenti makan, kemudian minum. Frekuensi mengulangi makan dan minum dihitung sesuai berdasarkan aktivitas yang terjadi. Sebelum dan sesudah bahan pakan diberikan ditimbang bobotnya untuk mengetahui jumlah sisa pakan yang tidak habis dikonsumsi. Tingkah Laku Kawin Pengamatan kemampuan itik Alabio jantan mengawini betina, dengan cara memasukkan itik jantan dan betina dewasa ke dalam satu petak kandang dengan ratio 1:10 (1 ekor jantan dan 10 ekor betina). Aktivitas harian dicatat berdasarkan scan sampling methods (Tanari 2007), yaitu pengamat mencatat semua aktivitas yang terlihat dalam keseluruhan aktivitas harian. Pengamatan dilakukan secara individual dengan tiga kali ulangan. Aktivitas kawin diamati mulai itik Alabio jantan dan betina melakukan aktivitas sebelum, saat kawin sampai dengan selesai kawin. Pencatatan dilakukan pada setiap waktu pengamatan pagi (pukul 7.00), siang (pukul 13.00) dan sore (pukul 17.00). Analisis Data Data hasil pengamatan berupa tingkah laku memilih pakan, menetas dan tingkah laku kawin dikumpulkan, ditabulasi dan kemudian dianalisis secara deskriptif. 27
Suryana dan Muhammad Yasin: Studi Tingkah Laku pada ….
HASIL DAN PEMBAHASAN Tingkah Laku Menetas Tahapan perkembangan telur selama proses penetasan sampai DOD keluar dari kerabang telur, disajikan pada Tabel 1 dan Gambar 1. Berdasarkan Tabel 1 dapat dikemukakan bahwa perkembangan telur selama proses penetasan hingga DOD keluar dari kerabang telur melalui enam tahapan. Tahapan pertama dan kedua merupakan tahapan yang paling menentukan selama proses tersebut. Tahap pertama setelah telur tetas berumur 26 hari dalam alat penetasan, menunjukkan tanda-tanda sudah mulai mengalami keretakan kecil-kecil pada permukaan kerabang telur, karena adanya dorongan gigi (tooth beak) yang terletak di bagian atas untuk memotong kerabang pada bagian ujung runcing telur, kurang lebih pada sepertiga bagian bawah telur. Dorongan ujung runcing paruh (beak) yang berulang-ulang hingga lubang kerabang telur mulai membesar. Selanjutnya tahap kedua yaitu dilanjutkan adanya dorongan paruh yang kuat, sehingga kerabang retaknya semakin membesar dan paruh mulai keluar. Menggunakan leher dan punggung bagian belakang terus mendorong, sehingga anak itik berhasil keluar dari dalam kerabang. Umumnya proses pemecahan kerabang telur pada saat anak unggas akan keluar relatif sama antara itik dan ayam, namun berbeda dengan burung maleo, seperti yang dikemukakan Tanari (2007) dan Saerang (2010), bahwa
pada anak maleo
sebelum keluar dari kerabang telurnya, terlebih dahulu dimulai dengan
adanya
desakan tumpuan kedua lutut kaki pada bagian ujung runcing telur, sedangkan pada lubang kerabang telur yang sudah melebar persendian lutut menjadi bebas bergerak, sehingga kaki dan cakar leluasa membantu mendorong untuk lebih memperluas lubang kerabang telur, sehingga terbuka lebar.
28
Seminar Nasional Inovasi Teknologi Pertanian, 2013
Tabel 1. Perkembangan Telur Itik Alabio Selama Proses Penetasan Tahapan I
II III
IV
V
VI
Aktivitas Telur yang sudah berumur 26 hari dalam alat penetasan mulai mengalami keretakan kerabang, karena adanya gigi (tooth beak) yang terletak di bagian atas untuk memotong kerabang bagian ujung runcing telur, kurang lebih pada sepertiga bagian bawah telur yang ditandai retaknya kulit luar (shell). Dorongan ujung runcing paruh berulang-ulang sampai lubang kerabang telur mulai membesar. Dengan kekuatan dorongan paruh, kerabang mulai retak membesar dan paruh mulai keluar Pada saat lubang permukaan kulit telur membesar pada bagian bawah, dengan menggunakan leher bagian belakang mendorong kepala dan paruh bagian atas mendorong kerabang hingga pecah Interval istirahat pada setiap hentakan sama, tetapi pada saat telur mulai pecah interval sentakan semakin kuat sampai menjelang anak itik keluar dari kerabang telur. Anak itik yang sudah terlepas bebas keluar dari kerabang, dengan kondisi bulu masih basah berusaha mulai berdiri perlahan-lahan. Setelah bulu tubuhnya mulai mengering, mereka mengumpulkan tenaga untuk berdiri dan berjalan, serta mematuk-matuk sisa kerabang telur. Anak itik yang sudah mulai berjalan dan berusaha mematukmatuk bekas sisa kerabang yang pecah, dan siap untuk dipisahkan ke dalam brooder
29
Gambar 1a
1b 1c
1d
1e
1f
Suryana dan Muhammad Yasin: Studi Tingkah Laku pada ….
Gambar 1 b
Gambar 1 a.
Gambar 1 d
Gambar 1 c
Gambar 1 e
Gambar 1 f
Gambar 1. Proses penetasan telur
30
Seminar Nasional Inovasi Teknologi Pertanian, 2013
Tingkah Laku Memilih Pakan Rataan jumlah pakan yang dikonsumsi dan sisa pakan selama pengamatan tingkah laku memilih pakan, disajikan pada Tabel 2. Komposisi nilai gizi bahan pakan berdasarkan tabel komposisi pakan dan hasil analisisnya, tertera pada Tabel 3. Tabel 2. Rataan konsumsi pakan
Ulangan
I
II
III
Jenis bahan pakan Dedak halus Keong rawa Sagu parut Gabah Ikan kering Pakan komersial ayam petelur (pellet) Jumlah Rataan Dedak halus Keong rawa Sagu parut Gabah Ikan kering Pakan komersial ayam petelur (pellet) Jumlah Rataan Dedak halus Keong rawa Sagu parut Gabah Ikan kering Pakan komersial ayam petelur (pellet) Jumlah Rataan
Jumlah awal (g) 500 500 500 500 500 500
500 500 500 500 500 500
500 500 500 500 500 500
Jumlah dikonsumsi (g) 365.46 316.06 285.28 339.13 347.46 461.43
134.54 183.94 214.72 160.87 152.54 38.57
366.72 314.84 295.21 337.18 351.90 470.25
805.18 147.53 133.28 185.16 204.79 162.82 148.10 29.75
370.81 315.51 387.70 340.29 340.24 472.10
863.90 143.99 129.19 184.49 123.30 159.71 159.60 27.90
Sisa (g)
773.19 128.87
Berdasarkan Tabel 2 dapat dikemukakan bahwa, pakan berbentuk pellet (pakan komersial) lebih disukai itik Alabio dewasa, disusul dedak dan ikan kering cincang, hal ini ditunjukkan dengan lebih banyak jumlah pakan yang dikonsumsi. Hasil pengamatan ini sesuai dengan pernyataan Rasyaf (1994) dan Pingel (2005), bahwa pakan berbentuk pellet merupakan bentuk ideal untuk dikonsumsi unggas air, khususnya itik. 31
Suryana dan Muhammad Yasin: Studi Tingkah Laku pada ….
Tabel 3. Kandungan zat gizi bahan pakan itik Alabio Kandungan zat gizi Protein kasar (%) Lemak kasar (%) Serat kasar (%) Kalsium (%) Fosfor (%) Energi metabolis (kkal/kg)
Dedak halus1) 13.18 10.08 13.50 0.20 0.22 2980
Keong rawa 1) 64.52 3.43 0.80 7.50 3.80 3200
Bahan pakan Ikan Sagu kering 1) parut 1) 56.86 1.45 7.43 0.28 2.20 10.96 8.10 0.037 3.60 4675 2618
Pakan komersial 2) 18.0 3.0 6.0 4.2 1.0 2950
Gabah 1) 8.90 2.05 10.10 1.20 0.50 4250
Keterangan : 1) Hasil analisis laboratorium; 2) berdasarkan Tabel komposisi pakan ayam petelur
Rataan lama makan, frekuensi makan, lama minum, frekuensi minum dan pergerakan dari tempat makan ke tempat minum itik Alabio selama
pengamatan,
ditampilkan pada Tabel 4. Tabel 4 menunjukkan bahwa rataan lama makan sebesar 14,99±0,24 menit/jam, lama minum 6,04±0,50 menit/jam, frekuensi makan 2,88±0,36 kali/jam, frekuensi minum 2,33±0,25 kali/jam dan frekuensi pergerakan dari tempat makan ke tempat minum sebanyak 5,99±0,23 kali/jam. Hasil ini berbeda dengan lama makan itik jantan yang dilaporkan Iskandar et al. (2000) yaitu 57,3 menit/3 jam atau 19 menit/jam. Perbedaan rataan lama makan, diduga disebabkan oleh pengaruh bentuk pakan. Bahan pakan yang disajikan dalam pengamatan ini adalah bentuk mash, pellet dan ikan cincang, sehingga tingkat kesukaannya berbeda-beda (Tabel 5). Beberapa faktor yang menyebabkan efisiensi penggunaan pakan, antara lain adalah perubahan tempat pakan dan air minum. Menurut Hardjosworo (2005) penempatan tempat air minum yang terpisah dari tempat pakan, menyebabkan banyaknya pakan yang tercecer antara tempat minum dan pakan atau ke dalam tempat air minum itu sendiri. Larbier dan
Leclercq
(1994)
menyatakan
bahwa
tingkat
kesukaan
unggas
dalam
mengkonsumsi pakan ditentukan oleh faktor fisiologis unggas, bentuk dan jenis pakan yang diberikan. Schulze et al. (2003) mengemukakan bahwa rataan konsumsi pakan, lama konsumsi pakan/hari, lama pergerakan menuju tempat air minum pada ayam bervariasi, tergantung pada kondisi lingkungan, kandang dan bentuk tempat pakan yang digunakan.
32
Seminar Nasional Inovasi Teknologi Pertanian, 2013
Tabel 4.
Ulangan I II III Rataan
Rataan lama makan, lama minum, frekuensi makan dan pergerakan dari tempat makan ke tempat air minum Lama makan (menit/jam) 15,33±0,25 14,66±0,23 15,00±0,24 14,99±0,24
Lama minum (menit/jam) 5,62±0,49 6,80±0,51 5,71±0,50 6,04±0,50
Frekuensi makan (kali/jam) 3,00±0,37 2,33±0,35 3,33±0,38 2,88±0,36
Frekuensi minum (kali/jam) 2,50±0,25 2,00±0,24 2,70±0,26 2,33±0,25
Frekuensi pergerakan dari tempat pakan ke air minum (kali/jam) 5,66±0,21 6,00±0,24 6,33±0,26 5,99±0,23
Keterangan: Jumlah itik yang digunakan masing-masing ulangan enam ekor
Rasyaf (1994) menyatakan bahwa perbedaan bentuk pakan
menyebabkan
kehilangan pakan karena tercecer sebesar 8,7%. Laporan lain dikemukakan Pingel (2005) bahwa perubahan bentuk tempat pakan dan air minum, pada itik Pekin dan entok menyebabkan kehilangan pakan karena tercecer masing-masing sebesar 5% dan 7%, sementara air minum yang terbuang 14,5% dan 6,8%. Hardjosworo (2005) menyatakan bahwa penempatan tempat air minum di bagian tengah dari tempat pakan dapat memperbaiki efisiensi penggunaan pakan. Ketaren et al. (1999) menduga buruknya efisiensi penggunaan pakan pada itik disebabkan oleh tabiat makan itik termasuk kebiasaannya yang segera mencari air minum setelah makan, dan umumnya pakan tercecer pada saat itik pindah dari tempat pakan ke tempat minum. Iskandar et al. (2000) menyatakan bahwa penyebab perbedaan tingkah laku makan pada itik jantan lokal adalah bentuk dan tempat pakan yang digunakan, sementara frekuensi pergerakan dipengaruhi oleh faktor umur dan kebiasaan itik untuk selalu mencari air. Hal ini menunjukkan bahwa unggas air sangat tergantung pada ketersediaan (kemudahan pencapaian) air, terutama untuk masuknya pakan kering ke dalam saluran pencernaannya (Rasyaf 1994). Menurut Prasetyo et al. (2005), itik sangat memerlukan bantuan air walaupun hanya sedikit untuk menelan pakan yang akan di mulutnya. Oleh karena itu, itik mempunyai kebiasaan langsung lari ke tempat air minum begitu ada pakan di dalam mulutnya. Larbier dan Leclercq (1994) menyatakan bahwa konsumsi air minum dipengaruhi oleh beberapa faktor antara lain umur unggas dan pakan. Lebih lanjut dikemukakan bahwa pakan yang banyak mengandung sodium atau potasium, serta temperatur lingkungan berpengaruh terhadap konsumsi pakan. Pakan yang mengandung 0.25% sodium akan meningkatkan konsumsi air minum sebesar 10%. Bley dan Bessei (2008) mengemukakan bahwa peningkatan konsumsi pakan pada itik dipengaruhi oleh umur dan betuk pakan, sedangkan lama dan kecepatan
33
Suryana dan Muhammad Yasin: Studi Tingkah Laku pada ….
konsumsi
pakan
seiring
dengan
peningkatan
umur
itik.
Faktor-faktor
yang
mempengaruhi tingkah laku makan adalah tipe ternak, lingkungan sosial, sensor fisiologi dan hormon neural, kecermatan makan, laju pencernaan pakan di dalam usus, kandungan nutrien dan palatabilitas pakan (Ewing et al. 1995), stimulasi konsumsi pakan, pola konsumsi dan kebiasaan ternak mengkonsumsi pakan (Pingel 2005). Tingkah Laku Kawin Pengamatan yang dilakukan pada aktivitas tingkah laku kawin, adalah difokuskan pada kemampuan itik Alabio jantan mengawini betina selama pengamatan pagi, siang dan sore hari. Rataan kemampuan itik Alabio jantan mengawini betina, tertera pada Tabel 5
Tabel 5. Rata-rata kemampuan itik pejantan mengawini betina Waktu pengamatan Pagi (pukul 7.00)
Siang (pukul 13.00)
Sore (pukul17.00)
Ulangan I II III Rataan I II III Rataan I II III Rataan
Rataan itik betina yang dikawini (ekor) 8,00±0,10 8,33±0,13 8,11±0,12 8,14±0,12 6,33±0,19 6,33±0,19 6,22±0,18 6,28±0,19 7,33±0,25 6,67±0,29 7,10±0,24 7,13±0,26
Keterangan: Jumlah itik yang digunakan masing-masing ulangan sebanyak 11 ekor (1 jantan & 10 betina).
Berdasarkan Tabel 5 dapat dijelaskan bahwa kemampuan itik Alabio jantan untuk mengawini betina pada waktu pengamatan pagi lebih tinggi dibanding siang dan sore hari. Rataan kemampuan itik Alabio jantan mengawini betina
pagi hari (8,14±0,12
ekor), siang hari (6,28± 0,19 ekor) dan sore hari sebanyak 7,13±0,26 ekor. Perbedaan kemampuan itik jantan mengawini sejumlah itik betina, diduga disebabkan oleh perbedaan temperatur lingkungan dan aktivitas pergerakan di dalam kandang. Temperatur lingkungan kandang pada pagi hari relatif dingin bila dibandingkan siang dan sore hari. Selain itu, itik belum banyak melakukan aktivitasnya, sehingga libido seksualnya lebih meningkat dibanding siang atau sore hari. Hal ini dibuktikan bahwa 34
Seminar Nasional Inovasi Teknologi Pertanian, 2013
selama pengamatan, terutama pada siang hari rataan temperatur lingkungan kandang relatif lebih panas tercatat sebesar 38,52 . Appleby et al. (2004) menyatakan bahwa aktivitas frekuensi kawin pada unggas akan berkurang seiring meningkatnya umur, tetapi dampaknya tidak secara langsung mempengaruhi fertilitas telur (Applegate et al. 1998).
UCAPAN TERIMA KASIH Ucapan terima yang sebesar-besarnya saya sampaikan kepada bapak Prof.Dr.Ir. Ronny Rachman Noor, M.Rur.Sc, ibu Prof. (em) Penny S. Hardjosworo, M.Sc. dan bapak Dr. Ir. L. Hardi Prasetyo, M.Agr, yang telah dengan semangat dan tulus memberikan saran, masukan dan memperbaiki makalah ini hingga diterbitkan.
KESIMPULAN 1. Pakan berbentuk pellet merupakan pakan ideal untuk itik dewasa, sehingga dapat dijadikan sebagai salah satu pedoman dalam penentuan bentuk pakan yang efisien. 2. Cara perkawinan itik Alabio yang tepat dapat dilakukan pagi hari pada kandang terkurung, untuk memperoleh fertilitas telur yang optimal. 3. Perkembangan telur selama proses penetasan hingga DOD keluar dari kerabang telur melalui enam tahapan.
DAFTAR PUSTAKA Appleby MC, Mench JA, Hughes BO. 2004. Poultry Behaviour and Welfare. Center of Agriculture Bioscientific (CAB) Publishing. London. Applegate TJ, Harper D, Lilburn L. 1998. Effects of hen age on egg composition and embryo development in commercial Pekin ducks. Poult Sci 77:1608-1612. Barnard C. 2004. Animal Behaviour, Mechanism, Development, Function and Evaluation. Pearson Education Limited. Prentice Hall England. British Library Cataloguing Publication Data. London. Biyatmoko D. 2005. Petunjuk teknis dan saran pengembangan itik Alabio. Dinas Peternakan Propinsi Kalimantan Selatan. Banjarbaru. 9 hlm. Bley TAG, Bessei W. 2008. Recording of individual feed intake and feeding behavior of Pekin duck kept in groups. Poult Sci 87:215-221.
35
Suryana dan Muhammad Yasin: Studi Tingkah Laku pada ….
Buitenhuis AJ, et al. 2005. Quantitative trait loci for behavioural traits in chicken. J Livestock Prod Sci 93:95-103. Cook RN, Xin H, Nettleton D. 2005. Effects of cage stocking density of feeding behaviours of groups housed laying hens. J Am Agric Biol Eng 49 (1):187-192. Craig VJ. 1981. Domestic Animal Behaviour: Causes and Implication for Animal Care and Management. Prentice Hall-Inc. Englewood Cliffs, New Jersey. Dukas R. 2004. Evolutionary biology of animal cognition. Ann Rev Ecol Syst 35: 347374. Ewing SA, Lay DC, Von-Borell E. 1995. Farm Animal Well Being: Stress Physiology, Animal Behaviour and Environmental Design. Practice Hall New Jersey. Farland D.1986. Animal Behaviour; Psychobiology, Ethology and Evolution. ELBSEnglish Language Book Society Longman. Fraser AF, Broom DM. 2005. Farm Animal Behaviour and Welfare. CABI Publishing Oxon, United Kingdom. London. Hamdan A, Zuraida R. 2007. Profil usaha ternak itik Alabio petelur pada lahan rawa lebak Kabupaten Hulu Sungai Utara, Kalimantan Selatan (Kasus Desa Sungai Durait Tengah Kecamatan Babirik). Di dalam: Revitalisasi Kawasan PLG dan Lahan Rawa Lainnya untuk Membangun Lumbung Pangan Nasional. Prosiding Seminar Nasional Pertanian Lahan Rawa. Kuala Kapuas, 3-4 Agustus 2007. Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian dan Pemerintah Kabupaten Kapuas Kalimantan Tengah. Palangka Raya. hlm. 127-134. Hardjosubroto W. 2001. Genetika Hewan. Jogjakarta; Fakultas Peternakan Universitas Gadjah Mada Jogjakarta. Hardjosworo PS. 2005. Pengaruh penempatan air minum pada efisiensi penggunaan pakan. Bogor: Fakultas Peternakan, Institut Pertanian Bogor. Hetzel DJS. 1985. Duck breeding strategies the Indonesian example. Di dalam: Farrel DJ and Stapleton P (ed). Duck Production Science and World Practice. University of New England. p.1-5 Iskandar S, Susanti T, Juarini E. 2000. Respons tingkah laku anak itik jantan lokal terhadap bentuk tempat dan jenis pemberian pakan. Prosiding Seminar Nasional Peternakan dan Veteriner. Bogor, 18-19 September 2000. Pusat Penelitian dan Pengembangan Peternakan. Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian Bogor. hlm. 310-318. Ketaren PP, Prasetyo LH, Murtisari T. 1999. Karakter produksi telur itik silang Mojosari x Alabio. Prosiding Seminar Nasional Peternakan dan Veteriner. Pusat Penelitian Peternakan. Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian. Bogor.
36
Seminar Nasional Inovasi Teknologi Pertanian, 2013
Kilgour RD., Dalton. 1989. Livestock Behaviour a Practical Guide. Granada London, Sydney, New York Press. Larbier M, Leclercq B. 1994. Nutrition and Feeding of Poultry. Nottingham University Press. INRA. Perancis Mignon-Grateau et al. 2005. Genetic of adaptation and domestication in livestock. Livestock Prod Sci 93:3-14. Orzech K. 2005. Sample ethogram. http://tolweb.org/online contributors [25 Februari 2009]. Pingel H. 2005. Development of small scale duck farming as a commercial operation. Di dalam: Merebut peluang agribisnis melalui pengembangan usaha kecil dan menengah unggas air. Prosiding Lokakarya Unggas Air Sebagai Peluang Usaha Baru; Bogor, 6-7 Agustus 2005. Balai Penelitian Ternak, Pusat Penelitian dan Pengembangan Peternakan. Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian bekerjasama dengan Masyarakat Ilmu Perunggasan Indonesia dan Fakultas Peternakan, Institut Pertanian Bogor. hlm.317-349. Prasetyo LH, Ketaren PP, Hardjosworo PS. 2005. Perkembangan teknologi budidaya itik di Indonesia. Di dalam: Merebut Peluang Agribisnis melalui Pengembangan Usaha Kecil dan Menengah Unggas Air. Prosiding Lokakarya Unggas Air Sebagai Peluang Usaha Baru; Bogor, 6-7 Agustus 2005. Balai Penelitian Ternak, Pusat Penelitian dan Pengembangan Peternakan. Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian bekerjasama dengan Masyarakat Ilmu Perunggasan Indonesia dan Fakultas Peternakan, Institut Pertanian Bogor. hlm.145-161. Rasyaf M. 1994. Beternak Itik Komersial. Edisi kedua. Jogjakarta: Penerbit PT Kanisius Ribber AB, Mench JA. 2008. Effect of feed and water based enrichmen on activity and cannibalism in muscovy ducklings. Appl Anim Behav. Sci 114: 429-440 Rohaeni ES, Tarmudji. 1994. Potensi dan kendala dalam pengembangan peternakan itik Alabio di Kalimantan Selatan. Warta Penel dan Pengemb Pert 26 (1):4-6. Saerang JLP. 2010. Kajian biologis maleo (Marcocephalon maleo) yang dipelihara secara ex-situ. [disertasi]. Bogor: Sekolah Pascasarjana Institut Pertanian Bogor. Schulze V et al. 2003. The influences of feeding behaviour on feed intake curve parameters and performance traits of station tested board. J Livestock Prod Sci 82:105-116. Setioko AR. 1998. Penetasan telur itik di Indonesia. Wartazoa 7 (2) 40-46.
37
Suryana dan Muhammad Yasin: Studi Tingkah Laku pada ….
Setioko AR. 2001. Inseminasi buatan pada itik. Disampaikan pada Acara Pelatihan Inseminasi Buatan pada Itik di BPT HMT Pelaihari Kalimantan Selatan. Tambang Ulang, 30-31 Agustus 2001. 8 hlm. Solihat S, Suswoyo I, Ismoyowati. 2003. Kemampuan performan produksi telur dari berbagai itik lokal. J Peter Trop 3 (1):27-32. Suparyanto A. 2005. Peningkatan produktivitas daging itik mandalung melalui pembentukan galur induk.[disertasi]. Bogor: Sekolah Pascasarjana, Institut Pertanian Bogor. Suryana. 2007. Prospek dan peluang pengembangan itik Alabio di Kalimantan Selatan. J Penel Pengemb. Pert 26 (3):109-114. Tanari M. 2007. Karakterisasi habitat, morfologi dan genetik serta pengembangan teknologi penetasan ex-situ burung maleo (Macrocephalon maleo Sal. Muller 1846) sebagai upaya meningkatkan efektivitas konservasi. [disertasi]. Bogor: Sekolah Pascasarjana, Institut Pertanian Bogor. Tomaszewska MW, Putu IG. 1989. Behaviour in relation to animal production in Indonesia. Bogor:Institut Pertanian Bogor-Australia Project and Balai Penelitian Ternak Bogor. Wahju J. 1997. Ilmu Nutrisi Unggas. Jogjakarta:Gadjah Mada University Press. Warsono IU. 2009. Sifat biologis dan karakteristik karkas dan daging bandikut (Echymipera kalubu). [disertasi]. Bogor: Sekolah Pascasarjana, Institut Pertanian Bogor.
38