Lokakarya Nasional Keamanan Pangan Produk Peternakan
KONTAMINASI SALMONELLA, ASPERGILLUS DAN AFLATOKSIN PADA PRODUK TERNAK ITIK ALABIO DI KALIMANTAN SELATAN ENI SITI ROHAENI dan SURYANA BPTP Kalimantan Selatan Jl. Panglima Batur Barat No. 4 Banjarbaru, Kalimantan Selatan Telepon (0511)4772346 dan Fax (0511)4781810
ABSTRAK Peningkatan jumlah penduduk, kesejahteraan, pendapatan dan pendidikan pada umumnya akan meningkatkan permintaan akan pangan termasuk dari sub sektor peternakan berupa daging, telur dan susu. Bahan pangan yang berkualitas baik harus aman, sehat, utuh dan halal yang berarti bahan pangan tersebut harus bebas dari toksisitas kimia, toksisitas mikrobiologi, mempunyai nilai gizi yang cukup tinggi dan memberikan keamanan batin bagi konsumen. Makalah ini bertujuan untuk menggambarkan kontaminasi dan keamanan bahan pangan hasil produk ternak itik Alabio dari aspek bakteriologik, mikologik dan aflatoksin di Kalimantan Selatan. Produk yang dihasilkan dari ternak itik Alabio berupa telur (konsumsi dan tetas) telah ditemukan Salmonella dan Aspergillus, sedang pada pakan jadi dan dedak ditemukan adanya aflatoksin. Kuman lain yang ditemukan selain Salmonella yaitu E. coli. Pada sampel telur asin, dedak dan pakan tidak ditemukan kuman patogen Salmonella. Berdasarkan informasi ini maka perlu peningkatan pengawasan akan produk ternak agar keamanan konsumen terjaga dan terjamin. Perlu penanganan untuk meningkatkan sanitasi pada lingkungan peternakan sehingga ternak dan produk yang dihasilkan dapat terhindar dari kontaminasi dari jasad renik yang membahayakan, baik pada ternak maupun konsumen yang mengkonsumsinya. Kata kunci: Salmonella, aspergillus, aflatoksin, produk ternak, itik Alabio
PENDAHULUAN Peningkatan jumlah penduduk, kesejahteraan, pendapatan dan pendidikan masyarakat berpengaruh terhadap peningkatan permintaan akan pangan termasuk dari sub sektor peternakan berupa daging, telur dan susu. Menurut MURDIATI dan BAHRI (1995) pada kondisi yang semakin membaik maka peningkatan kebutuhan pangan bukan hanya dalam jumlah, namun juga dalam hal kualitas dan keamanan dari pangan tersebut. Keamanan pangan menjadi perhatian utama untuk mendapatkan pangan yang aman, sehat, utuh dan halal (ASUH) untuk dikonsumsi. Menurut WINARNO (1996), taraf hidup manusia yang semakin baik menyebabkan meningkatnya permintaan akan produk hewani. Namun hingga saat ini jaminan kualitas keamanan bahan pangan adalah kondisi dan upaya yang diperlukan untuk mencegah pangan dari kemungkinan cemaran biologik maupun kimia yang dapat mengganggu, merugikan dan membahayakan kesehatan manusia.
MURDIATI dan BAHRI (1995) mengemukakan bahan pangan yang berkualitas baik harus aman, sehat dan halal yang berarti bahan pangan harus bebas dari toksisitas kimia, toksisitas mikrobiologi, mempunyai nilai gizi yang cukup tinggi dan memberikan keamanan batin bagi konsumen. Tuntutan konsumen dalam hal keamanan pangan semakin tinggi, seiring dengan arus informasi dan tingkat pendidikan masyarakat. Kualitas produk peternakan tidak hanya bebas penyakit juga tidak mengandung residu/bebas residu serta memiliki kemurnian dan kehalalan. Hal ini dapat dipenuhi apabila pengawasan yang ketat dilakukan oleh produsen, instansi berwenang dan konsumen sejak dari tahap budidaya, proses pengolahan, penanganan, pasca panen, penyimpanan dan distribusi (BPPH BANJARBARU, 1998; BAHRI, 2001; BAHRI et al., 2002). Dalam rangka pengamanan produk bahan asal hewan serta melindungi konsumen dari dampak seperti tersebut di atas maka telah dikeluarkan SK Mentan No. 110/Kpts/OT.210/ 2/1993. Itik Alabio merupakan salah satu komoditas ternak yang berkembang di
91
Lokakarya Nasional Keamanan Pangan Produk Peternakan
Kabupaten Hulu Sungai Utara (HSU) yang merupakan sentra itik Alabio di Kalimantan Selatan dan diusahakan baik secara tradisonal, semi intensif maupun intensif. Produk utama yang dihasilkan yaitu telur konsumsi, telur tetas dan produk lainnya adalah anak itik dan daging. Telur dan daging merupakan salah satu produk utama dari unggas mempunyai sifat mudah rusak jika tidak ditangani dengan baik. Makalah ini bertujuan untuk menggambarkan kontaminasi Salmonella, Aspergillus dan aflatoksin pada produk asal ternak itik Alabio di Kalimantan Selatan.
KONTAMINASI BAKTERIOLOGIK Bakteri merupakan salah satu mikroorganisme yang seringkali ditemukan pada berbagai produk baik pertanian maupun non pertanian, baik gram positif maupun negatif. Bakteri gram negatif dapat membahayakan terhadap ternak maupun manusia banyak jenisnya dan dapat pula dilihat dari segi kuantitasnya.
Tabel 1. Bakteri yang diisolasi dari sampel produk itik Alabio dan sampel pakan yang diperoleh dari pasar Alabio, Kab HSU, Kalimantan Selatan (ISTIANA dan SURYANA, 1997) Sampel
Jumlah
Anak itik
180
22 12,2%
Sal
T.konsumsi
180
2 1,1%
T. asin
30
Pakan
19
Dedak
18
E. coli
4 2,2% 2 8,3%
Pseu
5 2,7% 19 10,5% 2 6,6%
Kleb
Citr
11 6,1%
14 7,7% 6 3,3%
1 5,5%
1 5,2% 2 11,2%
-
Ent
Pront
2 1,1% 11 6,1% 1 1,1% 5 26,3%
89 49,4% 19 10,5%
Ser -
14 7,7%
3 15,7% 5 27,7%
Keterangan: Sal (Salmonella), Pseu (Pseudomonas), Kleb (Klebsiella), Citr (Citrobacter), Ent (Enterobacter), Prot (Proteus), Ser (Serratia), T.konsumsi (telur konsumsi), dan T. Asin (telur asin)
Hasil penelitian yang dilaporkan oleh ISTIANA dan SURYANA (1997) bahwa dari sampel yang diperiksa berupa anak itik dan telur konsumsi yang diperoleh dari pasar Alabio Kabupaten Hulu Sungai Utara (HSU), Kalimantan Selatan masing-masing sebanyak 180 buah ditemukan bakteri Salmonella, E. coli, Pseudomonas sp., Klebsiella sp., Citrobacter sp., Entrobacter sp., Proteus sp. dan Serratia sp. Selanjutnya diketahui bahwa dari sampel anak itik dan telur konsumsi telah ditemukan bakteri Salmonella dan E. coli, sedang pada sampel telur asin, dedak dan pakan jadi/komersial tidak ditemukan Salmonella (Tabel 1). Hasil penelitian lain yang dilaporkan HARSOJO dan ANDINI (2003) bahwa telah berhasil diisolasi bakteri pencemar pada bahan olahan asal ternak yaitu E. coli dan Staphylococcus yang kehadirannya telah
92
melampaui ambang batas. Tingginya cemaran bakteri E. coli menunjukkan bahwa sanitasi kurang mendapat perhatian. Demikian juga dengan ditemukan bakteri Salmonella Sp. pada sampel anak-anak itik dan telur konsumsi perlu diwaspadai, karena seperti dikemukakan SRI POERNOMO (1989) bahwa bakteri Salmonella seperti S. typhimurium kehadirannya akan membahayakan konsumen yang mengkonsumsinya karena dapat mengakibatkan diare. Hal lain dikemukakan oleh ISTIANA (1993) bahwa Salmonella pada telur dan itik Alabio merupakan carrier yang dapat menularkan baik secara vertikal dan horisontal. Pada Tabel 2 ditampilkan bahwa jenis serotipe Salmonella Sp. yang berhasil diidentifikasi dari anak itik ditemukan yaitu S. hadar (12,2%) sedang dari telur itik ditemukan
Lokakarya Nasional Keamanan Pangan Produk Peternakan
S. typhimurium (0,5%) dan S. virchow (0,5%) dengan jumlah sampel masing-masing 180 buah Tabel 2. Hasil penentuan serotipe Salmonella Sp. di Balitvet Bogor (jumlah sampel masingmasing 180 buah) Salmonella S. hadar S. typhimurium S. virchow
Sampel Anak itik Telur itik 22 1 1
% 12,2 0,5 0,5
Sumber: ISTIANA dan SURYANA, 1997
Menurut ISTIANA dan SURYANA (1997) dengan ditemukannya S. hadar pada anak itik merupakan suatu bukti bahwa tempat penetasan anak itik dihasilkan sudah tercemar oleh bakteri. Hal ini didukung oleh penelitian ISTIANA (1993) bahwa pada sentra penetasan itik telah diisolasi 16 serotipe Salmonella. Anak itik yang terinfeksi Salmonella dapat bertindak sebagai carier karena menurut HOFSTAD et al. (1984) kuman Salmonella dapat ditularkan secara vertikal dan horisontal dan kontaminasi dapat terjadi selama transfortasi, di tempat pemotongan, selama prosesing dan pendistribusiannya (BAHRI et al., 2002) dan mesin tetas itik Alabio (Istiana, 1993). Dengan ditemukannya S. typhimurium dan S. virchow pada telur itik merupakan indikasi bahwa kemungkinan terjadinya pencemaran bakteri ini pada anak-anak itik hingga itik dewasa akan lebih besar dan perlu diwaspadai. Keberadaan salmonella pada anakanak itik, dedak, pakan dan bahan pakan itik dapat menularkan kepada produk itik lainnya, jika penanganan sanitasi tidak dilakukan dengan baik dan periodik (ISTIANA dan SURYANA, 1997). Pendapat lain dikemukakan SRI POERNOMO (1989) bahwa S. typhimurium selain dapat menularkan kepada produk ternak lainnya juga bersifat zoonosis yang dapat menular pada manusia atau food borne disease (HARSOJO dan ANDINI, 2003). Hasil penelitian lain yang dilaporkan oleh UTOMO et al. (1995) bahwa telah ditemukan Salmonella baik pada telur tetas maupun telur konsumsi. Jumlah sampel telur konsumsi sebanyak 90 butir ditemukan 1,11% bakteri Salmonella, sedang dari telur tetas sejumlah 1.515 butir positif ditemukan 11,29% bakteri Salmonella. Telur tetas yang diperiksa tersebut
terdiri dari telur dalam berbagai kondisi yaitu telur yang akan ditetaskan (sebelum dimasukkan dalam penetasan), telur yang diperiksa dari tahapan waktu candling, telur busuk dan telur mati bungkus. Selanjutnya UTOMO et al. (1994) menemukan 12 macam serotipe Salmonella yang berhasil diisolasi dari telur-telur yang diperiksa (Tabel 3). Pada unggas Salmonella dapat menimbulkan fowl paratyphoid (SRI POERNOMO, 1984). Salmonella yang ditemukan dan bersifat zoonosis yaitu S. typhimurium dan S. paratyphi B. Infeksi S. typhimurium pada manusia dapat menyebabkan enteritis (ARAI, 1990) sedang infeksi S. paratyphi B pada manusia menimbulkan paratyphoid fever (GIRGIS et al., 1990). Salmonella merupakan salah satu penyebab zoonosis kausa bakteri yang penting dan juga penyebab keracunan makanan/food borne disease (KAMPELMACHER, 1983, BUXTON, 1988 dan PANCAROGLU, 1988 dalam SRI POERNOMO, 1995). Menurut SRI POERNOMO (1995), di Indonesia kejadian salmonellosis pada hewan sifatnya sporadis, sehingga pemerintah menganggap tidak penting. Tabel 3. Persentase serotiping sebagian isolat Salmonella pada telur itik Alabio No
Serotipe Salmonella
1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12
S. typhimurium S. senftenberg S. v irchow S. ouakam S. hadar S. amsterdam S. agona S. paratyphi B S. javiana S. oslo S. sofia S. thompson
Jumlah/% 81/52,3 46/29,7 9/5,8 2/1,3 3/1,9 6/3,9 1/0,6 1/0,6 1/0,6 2/1,3 2/1,3 1/0,6
Sumber: UTOMO et al. (1995)
Salmonella telah lama dikenal tersebar luas di seluruh dunia, biasanya terdapat dalam tubuh hewan yang menghasilkan daging dengan atau tanpa menimbulkan penyakit, sehingga bahan baku asal ternak sering tercemari Salmonella dan merupakan sumber penularan pada manusia (SNOEYENBOS, 1985).
93
Lokakarya Nasional Keamanan Pangan Produk Peternakan
Kuman ini berkembang biak dalam makanan yang terbuat dari daging, susu dan telur dalam kondisi yang cocok sehingga menimbulkan gangguan pencernaaan pada manusia apabila makanan tersebut termakan (ANONIMUS 1977 dalam SRI POERNOMO, 1995). Produk ternak yang telah tercemar Salmonella kemudian dikonsumsi manusia dan memasaknya kurang sempurna maka orang tersebut dapat menjadi sakit (KAMPELMACHER, 1983 dalam SRI POERNOMO, 1995). KONTAMINASI MIKOLOGIK Hasil penelitian yang dilaporkan UTOMO et al. (1995) menunjukkan bahwa telur konsumsi dan telur tetas dari itik Alabio ditemukan adanya Aspergillus dan jumlah sampel yang diperiksa sebanyak 1.795 butir yang terdiri atas 179 butir telur konsumsi dan 1.616 butir telur tetas. Telur yang diperiksa berasal dari pasar, dan dari usaha penetasan baik berupa telur tetas yang belum masuk mesin penetas, telur yang ada di mesin penetas atau telur yang mati bungkus dan telur afkir hasil candling. Aspergillus spp. yang ditemukan dari telur konsumsi sebanyak 64,25% sedang dari telur tetas sebanyak 33,96%. Selanjutnya hasil identifikasi lanjutan terhadap Aspergillus ditemukan A. flavus, Aspergillus spp., A. fumigatus dan A. niger dengan intensitas tertinggi (Tabel 4). Dengan tingginya frekuensi ditemukan Aspergillus, hal ini menunjukkan bahwa baik telur konsumsi, telur tetas dan alat penetas serta peralatan lainnya sudah terkontaminasi Aspergillus. Tabel 4. Persentase hasil identifikasi lanjutan sebagian Aspergillus No 1 2 3 4
Spesies Aspergillus
Jumlah/%
A. fumigatus A. flavus A. niger Aspergillus spp.
124/6,9 224/12,5 65/3,6 197/11,0
Sumber: UTOMO et al. (1995)
Laporan lain dikemukakan UTOMO et al. (1992) bahwa pada telur tetas periode I sampai dengan VII selama proses penetasan ditemukan A. fumigatus (12,8%), A. lavus (7%) dan Aspergillus sp. (3,5%), dan prosentasenya semakin menurun setelah dilakukan perbaikan
94
sanitasi alat penetasan yakni A. fumigatus (3%), A. flavus (4,2%) dan Aspergillus sp. (0,53%). Menurut AINSWORTH dan AUSTWICH (1973) ditemukan Aspergillus pada telur tetas lebih sering disebabkan karena adanya kontamninasi dari luar setelah telur-telur diletakkan di mesin penetas, dan akibat adanya infeksi jamur tersebut salah satunya menyebabkan rendahnya daya tetas dan kematian embrio. Lebih lanjut dikemukakan bahwa pemeriksaan terhadap sekam, pakan dan DOD pasca tetas juga ditemukan paling banyak A. flavus (34,50%), A. fumigatus (10,30%), A .niger (6,90%), Aspergillus sp. (10,30%) dan A. candidus (3,14%). Dengan ditemukannya Aspergillus sp. pada pakan itik Alabio kemungkinan bisa menjadi sumber penularan aspergillosis pada itik yang memakannya (HASTIONO, 1986). Hal ini sesuai dengan pemeriksaan mikologik yang dilaporkan ISTIANA et al. (1991) bahwa pada sampel pakan anak itik Alabio ditemukan A . flavus dan A. candidus. Demikian pula SURYANA et al. (1992) melaporkan bahwa pemeriksaan terhadap dedak dan pakan itik Alabio dari tiaptiap periode pengambilan sampel selama Juli, September dan Oktober 1992 ditemukan Aspergillus sp. (36,6%), A. flavus (33,3%), A. niger (16,6%) dan A . fumigatus (3,3%). Menurut AINSWORTH dan AUSTWICK (1973) bahwa Aspergillus sering mengkontaminasi telur tetas setelah telur-telur tersebut diletakkan di mesin penetas. Akibat adanya infeksi jamur tersebut salah satunya dapat menyebabkan rendahnya daya tetas telur, hal ini sesuai dengan hasil penelitian UTOMO et al. (1994) bahwa dari telur tetas ditemukan Aspergillus sp. sebesar 33,96%. Pendapat lain dikemukakan WIDIASTUTI et al. (2003) bahwa rendahnya daya tetas tidak hanya disebabkan oleh penyakit, namun juga dapat disebabkan karena kontaminasi aflatoksin yang dihasilkan Aspergillus. AFLATOKSIKOSIS PADA USAHA TERNAK ITIK ALABIO Aflatoksikosis merupakan penyakit keracunan yang disebabkan karena ternak mengkonsumsi aflatoksin. Menurut BAHRI dan MARYAM (2003) aflatoksin berasal dari
Lokakarya Nasional Keamanan Pangan Produk Peternakan
singkatan Aspergillus flavus toxin. Toksin ini pertama kali diketahui berasal dari kapang Aspergillus flavus yang berhasil diisolasi dari jagung. Kapang utama penghasil aflatoksin adalah A. flavus yang umumnya hanya memproduksi AFB (B1 dan B2). Aflatoksin merupakan metabolit sekunder yang dihasilkan oleh cendawan terutama oleh Aspergillus flavus. Aflatoksin B1 (AFB1) bersifat hepatokarsinogenik yang akan menghasilkan metabolit-metabolit, diantaranya M1 (AFM1) dan aflatoksikol (Ro) yang juga bersifat toksik, karsinogenik dan mutagenik. AFM1 merupakan metabolit utama dari AFB1 (TRUCKSESS et al., 1983 dalam WIDIASTUTI, 2000). Aflatoksikosis memberi akibat dan gejala klinis yang berbeda-beda tergantung dari jenis aflatoksin dan derajat kontaminasinya. Kasus aflatoksikosis paling sering ditemukan pada ternak itik dan telah dilaporkan pada beberapa daerah di Indonesia. Hasil penelitian yang dilaporkan ZAHARI dan TARMUDJI (1995) terhadap 35 sampel pakan dan 15 sampel organ hati dari ternak itik yang berumur sekitar 2-4 minggu yang diambil dari Kabupaten HSU dan HST, Kalimantan Selatan. Sampel pakan sejumlah 35 buah terdiri atas 19 pakan jadi, 8 sampel dedak dan 8 pakan campuran yang dibuat peternak. Hasil penelitian dilaporkan bahwa dari sampel pakan jadi semua tercemar aflatoksin (B1 dan B2) sedang untuk aflatoksin G1 dan G2 ditemukan pada sebagian kecil sampel yaitu masingmasing 52,63% dan 15,79%. Sampel dedak yang dianalisis terkontaminasi aflatoksin B1, B2 dan G1 masing-masing 75%, 25% dan 12,5% sedang sampel pakan campuran hanya ditemukan aflatoksin B1 12,5%. Aflatoksin yang ditemukan dari sampel pakan jadi berkisar 3-160 ppb, hasil ini menunjukkan bahwa kontaminasi pada pakan jadi, kejadian dan kadarnya cukup tinggi. Banyaknya kasus aflatoksikosis maka perlu penanggulangan yaitu diantaranya dengan cara menghambat/mencegah absorbsi aflatoksin di dalam saluran pencernaan dengan menambahkan senyawa pengikat aflatoksin ke dalam pakan DALVI atau menambahkan senyawa-senyawa yang dapat meningkatkan proses detoksifikasi (ADEMOYERO dan DALVI, 1983 ; DALVI dan ADEMOYERO, 1980 dalam ZAHARI dan TARMUDJI, 1995). Selanjutnya penggunaan hydrated sodium calsium
aluminosilicate (HSCA) untuk mencegah absorbsi aflatoksin dalam saluran pencernaan serta mengurangi efek negatif aflatoksin. Penambahan 1,5% arang aktif ke dalam pakan yang sudah terkontaminasi aflatoksin dapat mencegah terjadinya aflatoksin namun tidak dianjurkan dalam pemberian dalam waktu yang lama karena pemberian hidrat arang dapat mempengaruhi pertumbuhan ternak itik (BAHRI et al., 1990 dalam ZAHARI dan TARMUDJI, 1995). Menurut BAHRI (2001) alternatif pengendalian aflatoksin pada bahan pangan, pakan dan produk peternakan antara lain dapat dilakukan program screening, pengendalian pra-panen, masa panen dan pasca panen yang meliputi pengendalian secara fisik, kimiawi dan biologis. Aflatoksin pada pakan selain dapat mengakibatkan aflatoksikosis juga dapat menimbulkan residu pada produk ternak yang dihasilkannya. Aflatoksin beserta metabolitnya pada bahan pangan asal produk hewani juga membahayakan kesehatan manusia (WIDIASTUTI, 2000). KESIMPULAN DAN SARAN Kesimpulan dari makalah ini yaitu : 1. Telah ditemukan kuman patogen pada telur itik dan anak itik berupa Salmonella, demikian juga pada sampel telur konsumsi dan telur tetas ditemukan Aspergillus. 2. Aflatoksin ditemukan pada semua pakan komersil (AFB1 dan AFB2) dengan kisaran yang cukup tinggi (3-160 ppb). Upaya yang disarankan untuk pencegahan aflatoksikosis dan salmonellosis pada produk ternak itik Alabio antara lain : • Perlu peningkatan usaha sanitasi alat penetas dan lingkungannya dengan cara fumigasi dengan desinfektan secara periodik • Menjaga kebersihan telur konsumsi dan telur tetas dengan cara-cara penanganan yang baik diikuti langkah pencegahan melalui sanitasi • Pada pakan itik Alabio perlu diperhatikan sumber dan asal pakan yang digunakan, daya tahan dan kadaluarsa pakan, fumigasi kandang dan peralatan secara periodik • Perlu upaya dan penanganan dan pencegahan bahan pakan atau produk lain
95
Lokakarya Nasional Keamanan Pangan Produk Peternakan
yang berhubungan dengan usaha peternakan, dan memusnahkan bahan/pakan yang dicurigai sebagai sumber penularan DAFTAR PUSTAKA AINSWORTH, G. C. and P. K. C. AUSTWICK. 1973. Fungal Diseases of Animal. 2nd. Ed. Common Wealth Agriculture Bureaux. Farnham Royal. Slough England. ARAI, T. 1990. Update on pathogenesid of typhoid fever and salmonellosis. Paper presented at the first ISAC International Symposium. Sanur, Bali, Indonesia. BAHRI, S. 2001. Mewaspadai cemaran mikotoksin pada bahan pangan, pakan dan produk peternakan di Indonesia. Jurnal Penelitian dan Pengembangan Pertanian. Vol. 2 (20) : 55-64.
HOFSTAD, M.S., B.W. CALNEK, C.F. HELMBOLDT, M.W. REID dan H.W. JODER. 1984. Disease of Poultry. 6th ed. IOWA State University Press. Amer, Iowa, USA. ISTIANA, SALFINA dan WASITO. 1991. Laporan Survei Sanitasi dan Penyakit pada Penetasan Itik Alabio di Desa Mamar, Kabupaten Hulu Sungai Utara, Kalimantan Selatan. Sub Balai Penelitian Veteriner. Banjarbaru. ISTIANA. 1993. Penyebaran serotipe Salmonella sp. pada penetasan tradisional itik Alabio di Kabupaten Hulu Sungai Utara, Kalimantan Selatan. Penyakit Hewan 25 (46): 120-123. ISTIANA dan SURYANA. 1997. Pemeriksaan bakteriologik anak dan telur itik, pakan dan dedak yang berasal dari pasar Alabio Kalimantan Selatan. JITV Vol. 2 (3) tahun 1997: 208-211.
BAHRI, S., INDRANINGSIH, R. WIDIASTUTI, T.B. MURDIATI dan R. MARYAM. 2002. Keamanan pangan asal ternak: suatu tuntutan di era Perdagangan Bebas. Wartazoa Vol. 12 (2): 4764.
MURDIATAI, T. B dan S. BAHRI. 1995. Residu dan cemaran dalam bahan pangan asal ternak. Pros. Seminar Nasional Teknologi Veteriner untuk meningkatkan Kesehatan Hewan dan Pengamanan Bahan Pangan Asal Ternak. Bogor, 22-24 Maret 1994: 74-81.
BAHRI, S. dan R. MARYAM. 2003. Mikotoksin berbahaya dan pengaruhnya terhadap kesehatan hewan dan manusia. Wartazoa Vol. 13 (4): 129-142.
SNOEYENBOSS, G.H. 1985. Preface of the Proceedings of the International Symposium on Salmonella, New Orleans, Louisiana, USA. July, 19-20, 1984.
BALAI PENYIDIKAN PENYAKIT HEWAN BANJARBARU. 1998. Laporan Kegiatan Program Monitoring dan Surveilans Residu (PMSR) BPPH Wilayah V Banjarbaru Tahun Anggaran 1997/1998. BPPH. Banjarbaru.
SRI POERNOMO. 1989. Salmonella typhimurium infection in chicken embrios from breeding farm in Bogor. Case Report. Penyakit Hewan 21 (37) : 9-12.
GIRGIS, N. I., Z. FARID and M. E. KILPATRICK. 1990. Typhoid and paratyphoid fevers in Egypt. Paper presentef at the First ISAC Internationa; Symposium. Sanur, Bali, Indonesia. HARSOJO dan L. ANDINI. 2003. Cemaran mikroba pada makanan olahan asal ternak. Pros. Seminar nasional Teknologi Peternakan dan Veteriner. Bogor 29-30 September 2003: 532537. HASTIONO, S. 1986. Hubungan antara tingginya populasi Aspergillus sp. patogenik pada pakan dan bahan-bahan lainnya dengan tingkat kejadian Aspergillosis pada unggas. Penyakit Hewan XVIII : 49-53.
96
SRI POERNOMO. 1995. Salmonella pada ayam di Rumah Potong Ayam dan lingkungannya di wilayah Jakarta dan sekitarnya. Pros. Seminar Nasional Teknologi Veteriner untuk meningkatkan Kesehatan Hewan dan Pengamanan Bahan Pangan Asal Ternak. Bogor, 22-24 maret 1994: 338-345. SURYANA, ISTIANA, B. N. UTOMO dan R. RAIHANA. 1992. Laporan Survei Monitoring Kualitas Anak-anak Itik, Telur Konsumsi dan Pakan Itik Alabio di Kabupaten Hulu Sungai Utara, Kalimantan Selatan. Sub Balai Penelitian Veteriner. Banjarbaru.
Lokakarya Nasional Keamanan Pangan Produk Peternakan
UTOMO, B. N, ISTIANA dan SURYANA. 1992. Laporan Hasil Penelitian Sanitasi Penetasan pada Itik (Tingkat Kontaminasi Aspergillus sp.) di Desa mamar, Kabupaten Hulu Sungai Utara, Kalimantan Selatan. Sub Balai Penelitian Veteriner. Banjarbaru. UTOMO, B. N., ISTIANA, E. S. ROHAENI dan TARMUDJI. 1994. Tingkat kontaminasi jasad renik Salmonella Sp. dan Aspergilllus Sp. pada telur itik Alabio di Kabupaten Hulu Sungai Utara Kalimantan Selatan. Pros. Seminar Nasional Teknologi Veteriner untuk meningkatkan Kesehatan Hewan dan Pengamanan Bahan Pangan Asal Ternak. Bogor, 22-24 Maret 1994 : 351-356.
WIDIASTUTI, R. 2000. Residu aflatoksin pada daging dan hati sapi di pasar tradisional dan swalayan di Jawa Barat. Pros. Seminar Nasional Peternakan dan Veteriner. Bogor, 18-19 Oktober 1999 : 609-614. WIDIASTUTI, R. DARMINTO, S. BAHRI dan R. FIRMANSYAH. 2003. Inokulasi aflatoksin B1 pada telur berembrio dan residunya pada ayam menetas. Pros. Seminar nasional Teknologi Peternakan dan Veteriner. Bogor 29-30 September 2003 : 462-466. ZAHARI, P., dan TARMUDJI. 1995. Aflatoksikosis pada ternak itik Alabio di Kalimantan Selatan. Pros. Seminar Nasional Teknologi Veteriner untuk meningkatkan Kesehatan Hewan dan Pengamanan Bahan Pangan Asal Ternak. Bogor, 22-24 Maret 1994 : 408-411.
97