TINJAUAN PUSTAKA Itik Alabio Itik Alabio merupakan salah satu itik lokal Indonesia. Itik Alabio adalah itik yang berasal dari Kabupaten Hulu Sungai Utara, Propinsi Kalimantan Selatan. Habitatnya di daerah berawa yang memiliki kelembaban tinggi sesuai dengan wilayah hutan hujan tropis (Brahmantiyo dan Prasetyo, 2001). Sulaiman dan Rahmatullah (2011) melaporkan ciri-ciri itik Alabio adalah memiliki bentuk tubuh seperti botol dan membentuk segitiga dengan sudut 60 oC, warna bulu coklat keabuabuan dengan warna paruh dan kaki kuning hingga jingga. Bobot badan itik Alabio betina pada umur 20-24 minggu sekitar 1,5-1,6 kg, sedangkan bobot itik Alabio jantan sebesar lebih dari 1,6 kg (Sulaiman dan Rahmatullah, 2011). Gambar 1 mengilustrasikan itik Alabio.
Gambar 1. Itik Alabio Itik Pekin Itik Pekin merupakan salah satu jenis itik pedaging yang sangat potensial. Itik ini memiliki penampilan yang seragam dengan bulu berwarna putih, paruh dan shank kuning. Pergerakan saat berjalan menyerupai entog, yaitu tubuh agak landai dengan bobot badan jantan berkisar antara 4,0-5,0 kg/ekor, sedangkan betina berkisar antara 2,5-3,0 kg/ekor (Setioko et al., 2004a). Ilustrasi itik Pekin disajikan pada Gambar 2.
Gambar 2. Itik Pekin Crossbreeding Kurnianto (2009) menjelaskan bahwa pengertian crossbreeding atau yang biasa disebut persilangan adalah perkawinan antar bangsa atau antar strain. Secara genetik, persilangan menaikkan persentase heterozigositas sehingga dengan demikian menaikkan variasi genetik (Hardjosubroto, 1994). Hardjosubroto (1994) menyatakan bahwa tujuan utama persilangan adalah menggabungkan dua atau lebih sifat yang berbeda yang semula terdapat dalam dua bangsa ternak ke dalam satu bangsa silangan. Selain itu tujuan lain dari persilangan adalah pembentukan bangsa baru, grading up dan pemanfaatan heterosis. Silang Balik (Backcross) Silang balik (backcross) adalah perkawinan antara keturunan (F1) dengan salah satu bangsa tetua. Hasil persilangan ini diperoleh ternak dengan komposisi darah tetuanya masing-masing ¾ dan ¼ (Kurnianto, 2009). Menurut Susanti et al. (1998), salah satu upaya yang dapat dilakukan untuk memperoleh mutu bibit yang baik secara cepat adalah kawin silang diantara itik-itik lokal di Indonesia. Upaya perbaikan produktivitas dapat dilakukan terhadap faktor-faktor genetik dan nongenetik serta upaya perbaikan genetik melalui kawin silang telah umum digunakan dalam industri peternakan sebagai metode untuk memanfaatkan heterosis. Fenotip yang dikehendaki merupakan kombinasi dari galur-galur untuk memperbaiki efisiensi produksi melalui penggunaan galur tetua jantan atau betina yang spesifik (Prasetyo dan Susanti, 1997). Susanti et al. (1998) melakukan backcross dengan
4
tujuan awal untuk mempelajari pertumbuhan hasil persilangan. Susanti et al. (1998) melaporkan bahwa persilangan timbal balik antara itik Alabio dengan Mojosari menghasilkan keturunan itik jantan dan betina yang mempunyai rataan sifat-sifat yang lebih baik dibandingkan rataan tetuanya. Bobot Telur Tetas Lasmini dan Heriyati (1992) menjelaskan bahwa bobot telur itik Alabio dan itik Tegal tidak memberikan pengaruh nyata terhadap fertilitas, namun berpengaruh sangat nyata terhadap daya tetas. Bobot telur pada kelompok medium memberikan daya tetas tertinggi, kemudian menurun pada kelompok large dan terendah pada kelompok small. Lasmini dan Heriyati (1992) menambahkan bahwa bobot telur itik yang lebih besar menghasilkan bobot tetas DOD lebih tinggi daripada telur tetas yang kecil. Hal ini berhubungan dengan sumber makanan bagi embrio lebih banyak pada telur large daripada medium dan small, sehingga menghasilkan bobotDOD kelompok large lebih besar dari medium dan small. Bobot telur yang optimal untuk ditetaskan adalah ukuran medium. Kelompok large sebagaimana yang disebutkan Lasmini dan Heriyati (1992) adalah kelompok telur dengan bobot 71-80 g/butir, sedangkan kelompok medium adalah kelompok telur dengan bobot 61-70 g/butir dan kelompok small adalah kelompok telur dengan bobot 50-60 g/butir.Matitaputtyet al. (2011) melaporkan bahwa bobot telur tetas itik Alabio adalah 63,22 g. Hasil penelitianSari (2012) menambahkan bahwa bobot telur antara tetua dan turunan itik Pegagan sebesar 65,32 g dan 65,80 g.Kokoszynski et al. (2007) melaporkan bahwa bobot telur itik Pekin sebesar 80,7 g. Menurut Dharma et al.(2001), bobot telur dipengaruhi galur atau bangsa, umur induk, periode produksi (awal atau menjelang akhir), umur masak kelamin, besar tubuh, banyak telur yang dihasilkan dan kualitas pakan. Indeks Telur Dharmaet al. (2001) menjelaskan bahwa indeks telur yang mencerminkan bentuk telur sangat dipengaruhi sifat genetik, bangsa serta proses pembentukan telur, terutama pada saat telur melalui magnum dan isthmus. Romanoff dan Romanoff (1963) menjelaskan bahwa nilai indeks yang normal adalah 79%. Dharmaet al. (2001) menambahkan bahwa nilai yang lebih kecil dari 79% akan memberikan penampilan lebih panjang, sedangkan nilai yang lebih besar dari 79% akan 5
memberikan penampilan yang lebih bulat. Kokoszynski et al. (2007) melaporkan bahwa rataan indeks telur itik Pekin sebesar 74,1%. Fertilitas Persentase fertilitas diperoleh dari jumlah telur yang fertil dibagi dengan jumlah telur yang dieramkan dikalikan 100% (Matitaputty, 2012). Brahmantiyo dan Prasetyo (2001) melaporkan bahwa fertilitas telur Alabio adalah sebesar 79,18%. Lasmini et al. (1992) melaporkan hasil candling telur menunjukkan fertilitas telur itik Alabio sebesar 80%. Hasil persilangan itik Alabio dan itik Cihateup yang dilakukan oleh Matitaputty (2012) menunjukkan bahwa persentase fertilitas itik Alabio sebesar 95,61%, itik CA (Cihateup ♂ x Alabio ♀) sebesar 95,19%, itik AC (Alabio ♂ x Cihateup ♀) sebesar 93,85% dan itik Cihateup sebesar 94,88%. Matitaputty (2012) menjelaskan bahwa sistem pemeliharaan dan kawin secara alami dengan perbandingan jantan dan betina (1 : 4) berpengaruh sangat baik terhadap tingkat fertilitas telur tetas yang dihasilkan.Selain itu, itik dengan umur sembilan bulan memiliki telur yang sangat baik untuk ditetaskan. Menurut Lasmini dan Heriyati (1992), perbedaan jenis itik mempengaruhi fertilitas telur secara nyata. Daya Tetas (Hatchability) Rataan daya tetas dihitung dari persentase jumlah telur yang menetas terhadap jumlah telur fertil secara keseluruhan (Setioko et al., 2004a). Brahmantiyo dan Prasetyo (2001) melaporkan daya tetas telur itik Alabio adalah sebesar 48,98%. Hasil ini hampir sama dengan yang didapat oleh Lasmini et al. (1992) yang melaporkan bahwa daya tetas telur itik Alabio adalah sebesar 50,5%. Persentase daya tetas yang didapat oleh Matitaputty (2012) melalui persilangan itik Alabio dan itik Cihateup dapat dilihat pada Tabel 1. Tabel 1. Persentase Daya Tetas Itik AA, CC, AC dan Itik CA Jenis Itik AA (Alabio ♂ x Alabio ♀)
Daya Tetas (%) 46,47
CC (Cihateup ♂ x Cihateup ♀)
30,48
AC (Alabio ♂ x Cihateup ♀) CA (Cihateup ♂ x Alabio ♀)
41,93 61,00
Sumber : Matitaputty (2012)
6
Kemampuan embrio untuk tetap bertahan sampai menetas juga dipengaruhi faktor genetik, yaitu karena kontribusi gen yang diwariskan. Selain itu, kondisi lingkungan dalam mesin penetasan juga mempengaruhi daya tetas telur (Matitaputty, 2012). Menurut Brahmantiyo dan Prasetyo (2001), daya tetas juga dipengaruhi status nutrisi induk. Embrio dapat mati jika kekurangan, kelebihan atau ketidakseimbangan nutrisi. Penyakit, infeksi parasit, keracunan, bisa atau obat-obatan dapat menyebabkan masalah nutrisi yang mempengaruhi daya tetas. Lasmini dan Heriyati (1992) menjelaskan bahwa jenis itik yang berbeda, sangat nyata berpengaruh terhadap daya tetas. Kematian Embrio (Dead Embryo) Kebanyakan embrio yang ditetaskan ditemukan mati antara hari ke-22 sampai ke-27 selama inkubasi. Hal ini biasa disebut ”dead-in-shell” dan terbagi menjadi tiga kategori. Kategori pertama, embrio tumbuh dan berkembang secara normal, tetapi tidak memiliki upaya untuk menerobos kerabang. Kategori seperti ini biasanya mati pada hari ke-28. Kategori kedua mati pada hari yang sama, tetapi menunjukkan karakteristik paruh yang pipih dan lentur dengan oedema serta pendarahan pada otot penetasan bagian belakang kepala. Kejadian tersebut merupakan dampak berkelanjutan dari usaha embriomemecah kerabang namun gagal. Kategori ketiga mati antara hari ke-22 sampai hari ke-28. Kematian pada kategori ini disebabkan karena kesalahan posisi selama berkembang sehingga menghambat embrio tersebut untuk keluar dari kerabang (Cherry dan Morris, 2008). Tabel 2. Persentase Kematian Embrio Itik AA, CC, AC dan Itik CA Jenis Itik AA (Alabio ♂ x Alabio ♀)
Daya Tetas (%) 53,53
CC (Cihateup ♂ x Cihateup ♀)
69,52
AC (Alabio ♂ x Cihateup ♀) CA (Cihateup ♂ x Alabio ♀)
58,07 39,00
Sumber : Matitaputty (2012)
Brahmantiyo dan Prasetyo (2001) melaporkan rataan persentase kematian embrio pada telur itik Alabio adalah 42,36%. Lasmini et al. (1992) melaporkan persentase kematian embrio pada telur itik Alabio adalah 49,5%. Jenis itik berpengaruh terhadap kematian embrio yang dihasilkan (Matitaputty, 2012). Hasil 7
penelitian Matitaputty (2012) yang melaporkan persentase kematian embrio hasil persilangan itik Alabio dan itik Cihateup disajikan pada Tabel 2. Bobot Tetas Bobot DOD yang ditetaskan tidak dipengaruhi bangsa itik. Rataan bobot DOD itik Alabio adalah 39,85 g/ekor. Bobot DOD itik dipengaruhi bobot telur tetas (Brahmantiyo dan Prasetyo, 2001). Lasmini dan Heriyati (1992) melaporkan bahwa bobot telur itik Alabio kelompok large menghasilkan bobot tetas DOD tertinggi yakni 46,97 g/ekor, kemudian menurun pada kelompok medium (43,47 g/ekor) dan terendah pada kelompok small (36,90 g/ekor). Setioko et al. (2004b) melaporkan bahwa bobot tetas itik Alabio adalah 35,7 g/ekor. Pengaruh Maternal Pengaruh maternal terdapat apabila genotip nukleair dari induk betina menentukan fenotip dari keturunan (Suryo, 1995). Kurnianto (2009) menambahkan pada contoh persilangan antara bangsa A dan B, hasil persilangan resiprokal antara kedua bangsa tersebut adalah AB dan BA. Meskipun keturunan hasil persilangan (crossbred) mempunyai komposisi darah A dan darah B sama banyak baik pada AB maupun BA, namun penampilannya dapat berbeda akibat adanya pengaruh maternal. Contoh kasus pengaruh maternal dapat dilihat pada hasil persilangan itik Alabio dan itik Cihateup yang dilakukan oleh Matitaputty (2012). Matitaputty (2012) melaporkan bahwa persentase daya tetas dan kematian embrio itik CA (Cihateup ♂ x Alabio ♀) dan AC (Alabio ♂ x Cihateup ♀) berbeda nyata. Hal ini berarti terdapat pengaruh maternal pada daya tetas dan kematian embrio.
8