PENINGKATAN PRODUKSI KARKAS DAN KUALITAS DAGING ITIK MELALUI PERSILANGAN ANTARA ITIK CIHATEUP DENGAN ITIK ALABIO
PROCULA RUDLOF MATITAPUTTY
SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2012
PERNYATAAN MENGENAI DISERTASI DAN SUMBER INFORMASI
Dengan ini saya menyatakan bahwa disertasi Peningkatan Produksi Karkas dan Kualitas Daging itik melalui Persilangan antara itik Cihateup dengan itik Alabio adalah karya saya dengan arahan dari komisi pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apapun kepada perguruan tinggi mana pun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir disertasi ini.
Bogor,
Januari
2012
Procula Rudlof. Matitaputty NRP. D161080101
ABSTRACT Procula Rudlof Matitaputty. Duck Meat and Carcass Quality Improvement through Cihateup Duck and Alabio Duck Hybridization. Supervised by : Ronny R. Noor, Peni S. Hardjosworo and C.Hanny Wijaya. A study on hybridization Alabio duck of south borneo native’s with Cihateup west java native’s duck were done to generate hybrid duck (F1). This hybrid duck were expected to have high yield on growth and also carcass and meat production. The aims of this study were to evaluate heterocyst phenomenon, determined hybrid combination, determined the effect of hybridization on performance of reproduction, carcass production, fatty acids compositions and also the alteration of duck meat sensor. This study were done in three stages. The first was done to determine the reproduction aspects generated from duck hybridization such as fertility, hatchability, death of embryo and sex proportion. Group completely randomized designed were implemented with 4 hybridization groups of duck; CC duck [Cihateup ♂ x Cihateup ♀], AA duck [Alabio ♂ x Alabio ♀], AC hybrid duck [Alabio ♂ x Cihateup ♀] and CA hybrid duck [Cihateup ♂ x Alabio ♀]. Each group has 4 replication based on periods of hatching time. Data were analysed statistically with analysis of variance (Anova), and Duncan test. The result shows that hatchability percentage of CA duck were higher (P<0.05) with 58.55% of heterocyst than other groups. CA duck’s death of embryo also lowest with -36.62% heterocyst than other groups while AC ducks has low hatchability and high death of embryo, this resulted on lower heterocyst value. Second stage were held to learn biological response of first generation of young drakes from those 4 ducks groups. Completely randomized designed with 4 ducks group as treatment (AA, CC, AC and CA ducks) and 6 replications, each replication consists of 5 ducks. Data were analysed statistically with analysis of variance (Anova), and Duncan test. The result show that CA hybrid duck has high heterocyst in some traits such as final liveweight, daily gain, feed conversion, carcass weight, percentage of chest meat which higher statistically (P<0.05) than AC or its purebreed. AC hybrid were dominant on thigh commercial carcass cut percentage and thigh meat percentage, which high statistically (P<0.05) compare to the others. Third stage were done to learn the alteration of fatty acids composition and the sensors alteration on duck meat off-flavor. Hedonic sensor analysis were designed using Minitab ver 14 and carry on with Kruska Wallis test, while off- odor intensity were analysed using QDA descriptively. The result shows that fat composition in AC hybrid duck and CA were lower than their purebreed. AC hybrid duck has lowest composition of saturated fatty acids (23.83%) and unsaturated fatty acids (49.20%) than the others group. Sensor test show that meat smells of AC hybrid duck were highly preferable (P<0.05) compare to the others. Nevertheless, all groups has in significant result on flavor. Result on QDA test shows that off-odor intensity (fishy, rancid, fatty, beany, moldy, earthy) of AC group were lowest compare to others group. Keywords : Alabio duck, Cihateup, hybrid, reproduction, performance, sensory
RINGKASAN PROCULA R MATITAPUTTY. Peningkatan produksi karkas dan kualitas daging itik melalui persilangan itik Cihateup dengan itik Alabio. Dibimbing oleh RONNY R NOOR, PENI S HARDJOSWORO dan C HANNY WIJAYA. Pemanfaatan itik jantan lokal berpotensi untuk dikembangkan sebagai itik potong karena dapat menghasilkan daging yang merupakan sumber protein hewani alternatif bagi masyarakat selain dari ternak ruminansia dan unggas lainnya. Permintaan produk itik berupa daging semakin meningkat tiap tahunnya, namun tidak diikuti dengan penyediaan itik potong yang berkualitas dan kontinyu sehingga seringkali mengalami kekurangan stok. Dengan melakukan program seleksi yang ketat untuk tujuan mendapatkan itik potong melalui pembentukan galur baru, dapat dilakukan persilangan antar jenis itik untuk menghasilkan itik hibrida. Diharapkan dari itik hibrida ini adalah kecepatan pertumbuhan dan produksi karkas serta daging lebih tinggi dari kedua tetua murninya. Persilangan antar dua galur atau bangsa ternak yang berbeda sering digunakan dalam suatu sistem produksi untuk memanfaatkan keunggulan hibrida (heterosis) dari hasil persilangan. Oleh karena itu, dalam penelitian ini dilakukan persilangan antara itik Alabio asal Kalimantan Selatan dengan itik Cihateup asal Jawa Barat, yang memiliki hubungan kekerabatan yang jauh dan memiliki keunggulan masingmasing dalam produksi karkas dan flavor daging. Tujuan penelitian ini adalah mengevaluasi fenomena heterosis dan mengetahui kombinasi persilangan yang terbaik untuk beberapa sifat yang diamati berupa perkembangan reproduksi itik, pertumbuhan performa itik, produksi karkas dan daging, kandungan lemak dan komposisi asam-asam lemak serta mengetahui perubahan sensori daging yang terjadi akibat persilangan. Dalam menjawab tujuan penelitian ini maka dilakukan penelitian dalam beberapa tahapan. Penelitian tahap pertama untuk mengetahui sifat-sifat reproduksi berupa fertilitas, daya tetas, kematian embrio dan nisbah kelamin yang terjadi akibat persilangan dua jenis itik. Rancangan yang digunakan adalah Rancangan Acak Kelompok (RAK) yang terdiri atas 4 kelompok itik yakni itik CC [Cihateup ♂ x Cihateup ♀], itik AA [Alabio ♂ x Alabio ♀], itik AC [persilangan Alabio ♂ x Cihateup ♀] dan itik CA [persilangan Cihateup ♂ x Alabio ♀] dan 4 ulangan berdasarkan periode masuknya telur ke mesin tetas. Telur tetas yang digunakan masing-masing jenis itik sebanyak 352 butir untuk itik CC; 241 butir itik AA; 258 butir itik persilangan AC dan 437 butir itik persilangan CA. Data dianalisis secara statistik dengan menggunakan analysis of variance (Anova), dilanjutkan dengan uji Duncan. Penelitian tahap kedua untuk mengetahui respons biologis keempat kelompok jenis itik jantan muda (AA, CC, AC dan CA) umur 0 sampai 8 minggu pemeliharaan, hasil turunan F1. Rancangan yang digunakan untuk penelitian tahap kedua yakni Rancangan Acak Lengkap (RAL) terdiri atas 4 perlakuan yakni empat jenis itik (AA, CC, AC dan itik CA) dengan 6 ulangan, masing-masing ulangan terdiri atas 5 ekor itik jantan. Data dianalisis secara statistik dengan menggunakan Analysis of variance (Anova), jika perlakuan berbeda nyata dilanjutkan dengan uji Duncan. Penelitian tahap ketiga untuk mengetahui perubahan komposisi asam-asam lemak dan perubahan sensori berupa off-flavor daging itik, yang terjadi akibat persilangan. Dalam menganalisis kandungan lemak dan komposisi asam-asam lemak digunakan daging itik bagian
paha yang masih segar, sementara untuk uji sensori terhadap tingkat kesukaan panelis dan intensitas off-odor menggunakan daging bagian paha yang sudah direbus. Rancangan yang digunakan untuk analisis sensori tingkat kesukaan menggunakan Minitab versi 14 dan dilanjutkan dengan uji Kruska Wallis, sedangkan intensitas off-odor dengan QDA secara deskriptif. Hasil penelitian yang diperoleh adalah sebagai berikut : 1. Persilangan dua galur itik, Alabio dengan Cihateup menghasilkan itik persilangan CA dengan persentase daya tetas yang tinggi (61.00%) dan kematian embrio yang rendah (39.00%), terbukti dengan tingkat heterositas yang dimiliki cukup tinggi untuk masing-masing sifat (58.55%) untuk daya tetas dan (-36.62%) untuk kematian embrio, sementara itik persilangan AC memiliki daya tetas yang rendah dan kematian embrio yang tinggi sehingga meghasilkan tingkat heterositas yang rendah pula. Hal ini menunjukkan bahwa persilangan antar dua galur dapat menghasilkan jenis itik hibrida yang berbeda dalam penampilan untuk sifat-safat reproduksi yang dimiliki. 2. Penelitian ini juga menunjukkan bahwa itik persilangan AC dan itik CA lebih unggul untuk beberapa sifat yang menonjol dari segi pertumbuhan dan performa dibandingkan dengan tetua murni. Itik persilangan CA menunjukkan tingkat heterosis yang cukup tinggi pada beberapa sifat antara lain bobot hidup akhir (BHt) (7.06%), pertambahan bobot hidup (PBH) (7.32%), konversi ransum (-9.61%), bobot karkas (9.24%) serta persentase daging dada (3.02%) dan secara statistik lebih besar (P<0.05) dari itik persilangan AC, maupun tetua murni yakni itik AA dan CC. Sementara pada itik persilangan AC hanya unggul pada dua sifat antara lain persentase potongan karkas komersial bagian paha (10.14%) dan persentase daging paha (3.12%), nyata lebih tinggi (P<0.05) dibandingkan dengan itik yang lain. Itik persilangan AC dan CA menampilkan keunggulan diatas rata-rata tetua murni pada beberapa sifat dan bernilai ekonomis, ini membuktikan bahwa ada efek heterosis yang terjadi akibat persilangan. Prediksi untuk menghasilkan bentuk persilangan yang lain, juga telah diteliti, maka kombinasi persilangan yang terbaik dalam menghasilkan pertumbuhan yang baik, produksi karkas dan daging yang tinggi adalah kombinasi persilangan antara betina dari hasil persilangan CA dengan Cihateup jantan melalui persilangan backcross. 3. Daging itik umumnya memiliki bau, terutama yang memberi sensasi penyimpangan (off-odor) yakni bau amis/anyir. Oksidasi lemak merupakan penyebab kerusakan daging yang dimanifestasikan dalam bentuk perubahan flavor. Hasil analisis statistik menunjukkan bahwa kandungan lemak itik persilangan AC (6.98%) dan itik CA (6.46%) lebih rendah dari tetua murni. Sementara pada komposisi asam-asam lemak terlihat bahwa itik persilangan AC memiliki jumlah persentase komposisi asam-asam lemak yang paling rendah antara lain asam lemak jenuh (23.83%) dan asam lemak tidak jenuh (49.20%) dibandingkan dengan ketiga jenis itik yang lain. Untuk analisis sensori menunjukkan bahwa nilai penerimaan pada aroma daging itik AC lebih tinggi dan disukai (P<0.05) dibandingkan dengan aroma pada itik yang lain, tetapi pada penerimaan rasa daging, keempat kelompok itik ini tidak berbeda.
Hasil pengujian QDA terhadap intensitas off-odor (bau amis, tengik, lemak, langu, tanah dan jamur) memperlihatkan bahwa keempat jenis itik memiliki tingkat intensitas off-odor berbeda. Secara deskripsi itik persilangan AC memiliki tingkat intensitas off-odor untuk semua atribut yang diteliti paling rendah dibandingkan ketiga jenis itik yang ada. Hal ini sejalan dengan hasil kandungan lemak dan komposisi asam-asam lemak oleat, linoleat dan linolenat, itik AC yang lebih rendah dan hasil uji hedonik untuk tingkat penerimaan aroma. Kata kunci : Itik Alabio, Cihateup, persilangan, reproduksi, performa, sensori
@ Hak Cipta milik IPB, tahun 2012 Hak Cipta dilindungi Undang-Undang
Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan atau menyebutkan sumbernya. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan, penelitian, penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik, atau tinjauan suatu masalah; dan pengutipan tidak merugikan kepentingan yang wajar IPB. Dilarang mengumumkan dan memperbanyak sebagian atau seluruh karya tulis dalam bentuk apa pun tanpa izin IPB.
PENINGKATAN PRODUKSI KARKAS DAN KUALITAS DAGING ITIK MELALUI PERSILANGAN ANTARA ITIK CIHATEUP DENGAN ITIK ALABIO
PROCULA RUDLOF MATITAPUTTY
Disertasi sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Doktor pada Program Studi Mayor Ilmu Produksi dan Teknologi Peternakan
SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2012
Penguji pada Ujian Tertutup : 1. Dr. Ir. Hardy L Prasetyo. M.Sc (Staf Peneliti Balai Penelitian Ternak Ciawi-Bogor) 2. Prof. Dr. Ir. Cece Sumantri. M.Agr.Sc (Staf Pengajar Fakultas Peternakan Institut Pertanian Bogor-Bogor)
Penguji pada Ujian Terbuka : 1. Dr. Ir. Bess Tiesnamurti, M.Sc (Kapala Pusat Penelitian dan Pengembangan Ternak Litbang Pertanian Kementrian Pertanian-Bogor) 2. Dr. Ir. Pius P Ketaren, M.Sc (Staf Peneliti Balai Penelitian Ternak Ciawi-Bogor)
Judul Penelitian
: Peningkatan Produksi Karkas dan Kualitas Daging Itik melalui Persilangan antara Itik Cihateup dengan Itik Alabio
Nama
: Procula Rudlof Matitaputty
NRP
: D161080101
Program Studi/Mayor
: Ilmu Produksi dan Teknologi Peternakan
Disetujui, Komisi Pembimbing
Prof. Dr. Ir. Ronny Rachman Noor, M.Rur.Sc Ketua
Prof.Em. Dr. Peni S. Hardjosworo,M.Sc Anggota
Prof. Dr. Ir.C.Hanny Wijaya, M.Agr Anggota
Diketahui, Ketua Program Studi/Mayor Ilmu Produksi dan Teknologi Peternakan
Dekan Sekolah Pascasarjana IPB
Dr. Ir. Rarah R.A. Maheswari, DEA
Dr. Ir. Dahrul Syah, M.Sc.Agr
Tanggal Ujian : 18 Januari 2012
Tanggal Lulus :
PRAKATA Puji syukur penulis panjatkan ke hadirat Tuhan Yang Maha Kuasa lagi Maha Penyayang, atas segala berkat dan rahmatNya sehingga penulis dapat menyelesaikan penelitian dan menulis disertasi ini. Judul yang dipilih pada penelitian ini ialah Peningkatan Produksi Karkas dan Kualitas Daging Itik Melalui Persilangan antara Itik Cihateup dengan Itik Alabio. Pada kesempatan ini penulis mengucapkan terima kasih dan penghargaan yang sebesar-besarnya kepada Prof. Dr. Ir. Ronny Rachman Noor, M.Rur.Sc selaku ketua komisi pembimbing, atas dukungan moril, saran dan arahan sejak awal penelitian hingga penulisan disertasi ini. Ucapan yang sama juga disampaikan kepada Prof. (Em). Dr. Peni S Hardjosworo, M.Sc dan Prof. Dr. Ir. C Hanny Wijaya, M.Agr, selaku anggota komisi pembimbing yang telah meluangkan waktu, pikiran dan tenaga selama penulisan hingga penyelesaian disertasi ini. Dalam kesempatan ini juga, penulis menyampaikan ucapan terima kasih yang sebesar-besarnya kepada Kepala Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian, Kementrian Pertanian dan Sekretaris Badan Penelitian Pengembangan Pertanian selaku Ketua Komisi Pembinaan Tenaga, yang telah memberikan kesempatan kepada penulis untuk mengikuti Program Doktor. Juga kepada Kepala Balai Besar Pengkajian dan Pengembangan Teknologi Pertanian (BBP2TP) Bogor dan Kepala Balai Pengkajian Teknologi Pertanian (BPTP) Maluku yang telah memberikan dorongan dan restu kepada penulis untuk melanjutkan ke jenjang Program Doktor di Sekolah Pascasarjana, Insitut Pertanian Bogor. Ucapan terima kasih pula penulis sampaikan kepada Badan Litbang Kementrian Pertanian yang telah memberi bantuan beasiswa program Doktor, juga kepada program KKP3T kerjasama perguruan tinggi dengan litbang pertanian atas bantuan dana penelitian. Ucapan yang sama penulis sampaikan kepada Dr.Ir. Rarah Ratih Aji Maheswari, DEA, selaku koordinator program Mayor Ilmu Produksi dan Teknologi Peternakan (IPTP), Prof. Dr. Ir. Cece Sumantri, M.Agr.Sc selaku Ketua Departemen Ilmu Produksi dan Teknologi Peternakan Fakultas Peternakan Institut Pertanian Bogor atas dorongan dan semangat yang diberikan selama mengikuti pendidikan di Fakultas Peternakan IPB. Kepada Dr. Rukmiasih, Ms, Dr. Paini Sri Widyawati, Dr. Tabita Naomi Ralahalu MSi, Eka Koswara, SPt, Laeli Komalasari SP, Isak Silamba SP, MSi, dan teman-teman angkatan 2008 yang tidak dapat penulis sebutkan satu persatu, penulis mengucapkan terima kasih atas segala bantuan dan dukungannya. Disertasi ini saya persembahkan untuk isteri tercinta Jacqueline Latuny, anak-anakku Eiden Fredsa dan Gidion Methew yang selalu memberikan semangat dan doa selama penulis melaksanakan pendidikan di IPB, juga tak lupa kepada ayahanda Ledrick H. Matitaputty (alm) dan ibunda Anatje Silooy yang sangat saya cintai dan hormati karena lewat didikan dan kedisplinan yang penulis
dapatkaan selama ini, membuat penulis menjadi orang yang lebih tegar dan lebih bermanfaat, juga kepada bapak mertua (alm), ibu mertua beserta seluruh keluarga Yohanis (alm) dan Lenny, Nona dan Arie; Ferry dan Hanna; Butje dan Lenny; Jemmy dan Sundary, Leo dan Diana, Nona dan Bill di Amerika; Tonny dan Cindy, Abraham dan semua saudara yang tidak dapat penulis sebutkan satu persatu penulis mengucapkan terima kasih, kiranya Tuhan Yang Maha Kuasa membalas semua kebaikan dan kemurahan yang diberikan selama ini. Semoga disertasi ini dapat memberikan informasi baru dalam pengembangan ilmu dan pengetahuan, khususnya di dunia peternakan dan bermanfaat bagi yang membacanya. Terima kasih.
Bogor,
Januari 2012
Procula Rudlof Matitaputty
RIWAYAT HIDUP Penulis dilahirkan di Ambon pada tanggal 14 April 1967, sebagai anak ke Sembilan dari 10 orang bersaudara dari pasangan Ledrick Hendrik Matitaputty (Alm) dan Anatje Matitaputty/Silooy. Pendidikan Sarjana ditempuh di Fakultas Pertanian Jurusan Peternakan Universitas Pattimura Ambon, lulus pada tahun 1992. Pada tahun 2000 penulis diterima di program Magister Sains pada Program Studi Ilmu Ternak, Pascasarjana Institut Pertanian Bogor, lulus pada tahun 2002. Di tahun 2008, mendapat kesempatan melanjutkan ke program Doktor pada perguruan tinggi yang sama dengan mendapat beasiswa dari Litbang Pertanian Kementerian Pertanian. Penulis sementara ini bekerja sebagai staf peneliti di Balai Pengkajian Teknologi Pertanian Maluku, sejak tahun 1998 sampai sekarang.
DAFTAR ISI Halaman DAFTAR ISI DAFTAR TABEL DAFTAR GAMBAR DAFTAR LAMPIRAN
................................................................... ................................................................... ................................................................... …………………………………………..
PENDAHULUAN Latar Belakang Kerangka Pemikiran Tujuan Penelitian Manfaat Penelitian Hipotesis Penelitian
........................................................... ........................................................... ........................................................... ........................................................... ........................................................... ...........................................................
xiii xv xvii xviii
1 1 4 7 7 7
TINJAUAN PUSTAKA ……................................................... Itik Lokal ……………................................................... Itik Cihateup (Anas plathyrynchos javanica) ……............... Itik Alabio (Anas plathyryncos borneo) ……………………... Persilangan (Crossbreeding) dan Heterosis .......................... Karakteristik Penetasan ............................................... Pertumbuhan dan Bobot Badan ......................................... Konsumsi dan Konversi Ransum ……………………… Karkas dan Daging Itik ……………………………… Flavor Daging ……………………………………… Off-Flavor karena Faktor Perbedaan Genetik …….. ……………… Off-Flavor karena Faktor Pakan Oksidasi Lipid ................................................ Analisis Sensori ............................................................
9 9 11 14 16 18 22 22 23 27 29 30 31 34
PEFORMA REPRODUKSI DAN NILAI HETEROSIS ITIK ALABIO,CIHATEUP DAN HASIL PERSILANGANNYA …..... Pendahuluan ……................................................... Materi dan Metode Penelitian ........................................... Hasil dan Pembahasan ............................................... Simpulan ...............................................
39 39 40 44 49
PENINGKATAN PERFORMA DAN PRODUKSI KARKAS ITIK MELALUI PERSILANGAN ITIK ALABIO DENGAN CIHATEUP ……………….…………………… Pendahuluan ……………………………………. Materi dan Metode Penelitian .................................
51 51 53
............................................... ...............................................
59 72
PERBAIKAN KUALITAS SENSORI DAGING ITIK MELALUI HASIL PERSILANGAN ITIK ALABIO DENGAN CIHATEUP ……………….…………………….. Pendahuluan .…………………………………….. Materi dan Metode Penelitian ................................... Hasil dan Pembahasan ............................................... Simpulan ….......................................................
75 75 77 84 91
PEMBAHASAN UMUM
93
Hasil dan Pembahasan Simpulan
SIMPULAN DAN SARAN DAFTAR PUSTAKA
..…………….……………………… ..…………………………….
101
...........................................................
103
DAFTAR TABEL Halaman 1. Performa produksi dan reproduksi itik Cihateup jantan dan betina .................................................................................
12
2. Ukuran tubuh itik Cihateup betina dan jantan
.........................
13
.......................................
15
4. Karakteristik ukuran tubuh itik Alabio jantan dan betina ...........
16
5. Perbandingan kualitas karkas itik peking, Muscovy dan persilangannya (jantan umur 12 minggu) ...................................
24
6. Persentase fertilitas itik AA, CC, AC dan itik CA ......................
44
7. Persentase daya tetas itik AA, CC, AC dan itik CA ...................
45
8. Persentase kematian embrio itik AA, CC, AC dan itik CA .........
46
9. Persentase nisbah kelamin itik AA, CC, AC dan itik CA ............
47
10. Nilai persentase heterosis fertilitas, daya tetas dan kematian embrio itik persilangan AC dan itik CA ..................................
48
11. Urutan berdasarkan nilai rataan yang tertinggi dan terendah untuk sifat-sifat yang diamati .................................................
49
12. Perhitungan pendugaan parameter pada crossbreeding ............
55
13. Rataan ukuran tubuh itik Alabio dan Cihateup umur 12 bulan…
61
14. Rataan bobot hidup awal (BHo), bobot hidup akhir (BHt) dan pertambahan bobot hidup (PBH) itik AA, CC, AC dan itik CA ....................................................................................
62
15. Rataan konsumsi ransum kumulatif dan konversi ransum itik AA, CC, AC dan itik CA ...................................................
64
16. Rataan bobot potong, bobot karkas, persentase karkas dan bagian-bagian potongan karkas komersial itik AA, CC, AC dan itik CA .............................................................................
66
17. Rataan persentase daging dan tulang itik AA, CC, AC dan itik CA ....................................................................................
68
18. Nilai persentase (%) heterosis itik persilangan AC dan itik CA ..........................................................................................
69
19. Urutan jenis itik berdasarkan nilai rataan untuk setiap sifat yang diamati ...........................................................................
70
20. Prediksi performa dan persentase potongan karkas pada berbagai persilangan antara itik Alabio dengan itik Cihateup .................
71
21. Kandungan lemak daging paha itik AA, CC, AC dan itik CA ...........................................................................................
84
3. Performa produksi itik Alabio betina
22. Komposisi asam lemak jenuh (ALJ) dan asam lemak tidak jenuh (ALTJ) ..........................................................................
86
23. Nilai tingkat kesukaan (hedonik) daging itik bagian paha .........
87
DAFTAR GAMBAR Halaman 1. Alur kerangka pikir dalam menigkatkan produksi karkas dan kualitas daging pada itik lokal ...................................................
6
2. Itik Mallard berkepala hijau .........................................................
9
3. Itik Indian Runner ........................................................................
10
4. Kerangka tubuh itik
.....................................................................
10
5. Penampilan fisik itik Cihateup betina dan jantan serta warna bulu sayap ....................................................................................
13
6. Penampilan fisik itik Alabio betina dan jantan serta warna bulu sayap ...................................................................................
15
7. Proses penetasan telur itik (a) seleksi telur tetas; (b) fumigasi; (c) periode setter; (d) candling; (e) periode hatcher; (f) sexing .....
43
8. Penimbangan DOD jantan umur satu hari dan kandang indukan (brooder) untuk pemeliharaan sampai umur 3 minggu ..................
58
9. Kandang pemeliharaan, pembesaran itik, penimbangan itik umur delapan minggu dan tempat proses pemotongan itik ....
58
10. Grafik bobot hidup (BH) itik AA, CC, AC dan itik CA ..............
63
11. Grafik pertambahan bobot hidup (PBH) itik AA, CC, AC dan itik CA ........................................................................................
64
12. Pengujian sensori terhadap atribut aroma dan rasa daging itik bagian paha ................................................................................
83
13. Atribut off-odor daging itik bagian paha dari masing-masing jenis itik ......................................................................................
89
14. Hubungan antara kualitas atribut off-odor itik AA, CC, AC dan itik CA berdasarkan Analisis Komponen Utama (AKU) .............
90
DAFTAR LAMPIRAN
1.
Halaman Lembaran kuisioner seleksi panelis .................................................. 115
2.
Format lembaran uji aroma sederhana dan uji rasa dasar .................
117
3.
Format lembaran uji hedonik ............................................................
118
4.
Format lembaran uji segitiga ............................................................
119
5.
Format lembaran uji QDA ................................................................
120
6.
Sidik ragam persentase fertilitas itik AA, CC, AC dan itik CA .......
121
7.
Sidik ragam persentase daya tetas itik AA, CC, AC dan itik CA .....
121
8.
Sidik ragam persentase kematian embrio itik AA, CC, AC dan itik CA ...............................................................................................
121
Sidik ragam persentase nisbah kelamin jantan itik AA, CC, AC dan itik CA ........................................................................................
122
10. Sidik ragam persentase nisbah kelamin betina itik AA, CC, AC dan itik CA ........................................................................................
122
11. Sidik ragam bobot hidup awal itik jantan AA, CC, AC dan itik CA umur 8 minggu ...........................................................................
122
12. Sidik ragam bobot hidup akhir itik jantan AA, CC, AC dan itik CA umur 8 minggu ...........................................................................
123
13. Sidik ragam pertambahan bobot hidup itik jantan AA, CC, AC dan Itik CA umur 8 minggu ..............................................................
123
14. Sidik ragam konsumsi ransum itik AA, CC, AC dan CA umur 0 – 8 Minggu .....................................................................................
123
15. Sidik ragam konversi ransum itik AA, CC, AC dan CA umur 0 – 8 Minggu .....................................................................................
124
16. Sidik ragam persentase karkas itik AA, CC, AC dan itik CA umur 8 minggu ..................................................................................
124
17. Sidik ragam persentase potongan komersial bagian dada itik AA, CC, AC dan itik CA ..........................................................................
124
18. Sidik ragam persentase potongan komersial bagian paha itik AA, CC, AC dan itik CA ..........................................................................
125
19. Sidik ragam persentase potongan komersial bagian punggung itik AA, CC, AC dan CA ........................................................................
125
9.
20. Sidik ragam persentase potongan komersial bagian pinggul itik AA, CC, AC dan CA ........................................................................
125
21. Sidik ragam persentase potongan komersial bagian sayap itik AA, CC, AC dan CA ................................................................................
126
22. Sidik ragam persentase daging dada itik AA, CC, AC dan itik CA .....................................................................................................
126
23. Sidik ragam persentase daging paha itik AA, CC, AC dan itik CA .....................................................................................................
126
24. Sidik ragam persentase tulang dada itik AA, CC, AC dan itik CA .....................................................................................................
127
25. Sidik ragam persentase tulang paha itik AA, CC, AC dan itik CA .....................................................................................................
127
26. Sidik ragam rasio daging : tulang dada itik AA, CC, AC dan itik CA ..............................................................................................
127
27. Sidik ragam rasio daging : tulang paha itik AA, CC, AC dan itik CA ...............................................................................................
127
28. Uji hedonik atribut aroma dan rasa daging paha rebus itik AA, CC, AC dan CA dengan Kruska Wallis .....................
128
29. Pengukuran atribut off-odor daging itik bagian paha berdasarkan metode QDA dari masing-masing jenis itik .................
128
30. Pengukuran bagian-bagian tubuh itik ...............................................
129
PENDAHULUAN Latar Belakang Daging unggas merupakan salah satu sumber protein hewani yang mudah diperoleh masyarakat selain telur, karena harganya yang terjangkau untuk diperoleh. Daging unggas air, khususnya itik di Indonesia memiliki potensi untuk dikembangkan dan dimanfaatkan sebagai salah satu sumber alternatif penghasil daging selain ayam pedaging, ayam kampung dan ayam petelur. Secara nasional konsumsi daging itik per kapita per tahun relatif masih rendah yakni sebesar 0,11kg/th dibandingkan daging ayam kampung sudah mencapai 0,65kg/th (Ditjenak dan Keswan 2010). Berdasarkan data Direktorat Jenderal Peternakan dan Kesehatan Hewan (2010) populasi itik tahun 2010 sebanyak 45.292 juta ekor dengan tingkat penyebaran tertinggi berada di provinsi Jawa Barat, Jawa Tengah, Jawa Timur, Kalimantan Selatan, dan Aceh Darusalam. Populasi itik yang cukup besar ini, belum mampu berperan sebagai sumber pangan andalan karena produktivitasnya masih rendah dan memiliki keragaman genetik yang tinggi, sehingga perlu suatu upaya perbaikan kearah yang lebih baik. Peran itik lokal, baru sebatas sebagai sumber telur, sedangkan dagingnya belum banyak dimanfaatkan, hal ini juga yang memperlambat kepopuleran daging itik. Harus disadari bahwa Indonesia tidak memiliki itik tipe pedaging seperti halnya itik peking asal negara China. Itik-itik lokal yang ada ditangan masyarakat merupakan itik tipe petelur. Sebagai penghasil telur, itik-itik lokal tergolong cukup tinggi produksinya, oleh karenanya karakteristik bentuk badannya ramping serta kecil sementara perototan (daging) sangat rendah. Mengingat
tuntutan
akan
daging
itik
semakin
besar
dan
ada
kecenderungan untuk terus meningkat, maka tidak menutup kemungkinan untuk menjadikan peluang usaha itik potong dengan memanfaatkan itik jantan petelur dengan sistem pemeliharaan intensif, dan dalam waktu 8 sampai 10 minggu sudah bisa dijual. Pemanfaatan itik jantan petelur sebagai sumber penghasil daging yang potensial dengan jalan pemeliharaan seperti ini masih jarang dilakukan. Pada hal ketersediaan itik jantan petelur cukup banyak dihasilkan saat penetasan. Peluang untuk memperoleh itik jantan sebesar 50% : 50% artinya saat menetas rasio antara
2 jantan dan betina sama jumlahnya, sehingga peluang untuk memperoleh itik jantan sangat besar. Pemeliharaan itik jantan petelur sebagai itik potong masih dilakukan dalam jumlah relatif sedikit dan umumnya masih ekstensif. Dampak dari sistem pemeliharaan ini adalah pertumbuhan itik lambat dan kualitas daging yang dihasilkan rendah. Pada hal harga jual itik maupun produknya berupa daging memiliki harga yang mahal dipasaran dan tidak kalah bersaing dengan daging unggas lain seperti daging ayam kampung dan ayam pedaging. Faktor yang menjadi persoalan utama penyebab rendahnya permintaan daging itik yakni masih banyak konsumen yang belum terbiasa dengan rasa dan bau khas daging itik, terutama yang memberi sensasi penyimpangan (off-flavor) seperti bau amis/anyir. Namun dibeberapa daerah yang menjadi sentra penghasil itik, pemanfaatan daging itik sebagai bahan pangan tradisional bahkan pangan nasional sudah sangat populer, misalnya itik betutu merupakan masakan khas dari Bali, gulai itik hijau dari Sumatera Barat, panggang sultan dari Kalimantan Selatan, itik goreng, opor itik dan itik asap dari Jawa Tengah dan masih banyak lagi menu masakan dari tiap-tiap daerah dengan ciri khasnya masing-masing. Perkembangan pasar akhir-akhir ini menunjukkan adanya peningkatan konsumsi daging itik, karena daging itik sudah menjadi makanan favorit mulai dari kelas bawah sampai atas. Hal ini dapat dilihat dengan semakin berkembangnya usaha-usaha warung makan, restoran dan hotel yang menyajikan menu khusus daging itik, baik dari itik lokal maupun itik impor dengan berbagai macam variasi masakan dari harga yang rendah sampai yang mahal. Restoran Cina dan di beberapa hotel berbintang di Jakarta menyediakan menu khusus dari olahan daging itik seperti plum duck, duck balls, steam duck, tasty duck, pot cooked duck dan bebek Cina bumbu hong, yang berasal dari daging itik peking yang harus diimpor dengan harga yang mahal. Peningkatan konsumsi daging itik yang terjadi semenjak dua tahun terakhir perlu diimbangi dengan peningkatan ketersediaan itik potong. Hal ini akan membuka peluang usaha baru dibidang produksi itik potong dengan memanfaatkan itik jantan petelur dalam jumlah besar maupun usaha berupa itik olahan dalam berbagai bentuk masakan.
3 Berkembangnya usaha itik potong di tanah air, menyebabkan banyaknya itik-itik betina juga ikut dipotong untuk memenuhi permintaan daging itik yang semakin meningkat. Hal ini merupakan permasalahan yang sementara dihadapi peternak itik potong, dan berusaha berpikir untuk bagaimana dapat menghasilkan itik-itik yang berpotensi sebagai penghasil daging dalam waktu yang cepat. Selama ini pengembangan dan proses seleksi untuk mendapatkan itik potong yang produktif sebagai penghasil daging berjalan lamban jika dibandingkan dengan ayam ras yang sudah lebih maju. Upaya perbaikan produktivitas itik lokal dapat dilakukan melalui perbaikan genetik maupun non genetik. Kawin silang (crossbreeding) merupakan salah satu cara yang umumnya sudah dikenal masyarakat bahkan sudah digunakan dalam industri peternakan sebagai alat untuk memperbaiki produktivitas ternak, jika fenotip yang dikehendaki merupakan kombinasi dari galur-galur yang ada, atau untuk memperbaiki efisiensi produksi melalui penggunaan galur tetua jantan atau betina yang spesifik. Perkawinan antar kelompok dapat dilakukan antar galur, rumpun, maupun antar bangsa dan biasanya dilakukan sebagai strategi produksi untuk memanfaatkan keunggulan hibrida yang disebut heterosis. Penelitian-penelitian yang dapat menjadi landasan bagi aplikasi teknologi persilangan untuk mendapatkan itik potong masih belum banyak diteliti di Indonesia. Oleh karena itu, penelitian ini diharapkan dapat melengkapi hasil-hasil temuan dari beberapa penelitian sebelumnya. Atas dasar pertimbangan di atas, telah dilakukan penelitian dengan menyilangkan dua jenis itik yakni itik Cihateup yang berasal dari Jawa Barat dan itik Alabio asal Kalimantan Selatan yang memiliki sifat-sifat unggul dalam produksi daging. Penelitian ini diharapkan dapat menghasilkan itik potong yang memiliki performa dan produksi karkas yang tinggi serta penampilan kualitas daging yang kurang bau amis, sehingga dapat mengangkat kepopuleran daging itik lokal sekaligus dapat mengurangi ketergantungan daging itik impor dari luar.
4 Kerangka Pemikiran Itik lokal yang ada di Indonesia umumnya merupakan itik tipe petelur. Sebagai itik tipe petelur, produksi telur yang dihasilkan tergolong tinggi, konversi ransum untuk telur lebih baik dibandingkan untuk daging. Hal ini sesuai dengan bentuk badan itik lokal yang merupakan tipe petelur yakni ramping dan kecil. Saat ini, telah diupayakan untuk menghasilkan daging itik melalui pengembangan itik-itik yang berpotensi sebagai penghasil daging, seperti pemanfaatan itik jantan petelur, entok dan mandalung (serati) namun kurang berhasil. Hal ini diduga karena masih rendahnya pengetahuan masyarakat terhadap itik potong. Dibandingkan dengan ayam kampung pemanfaatan daging itik lokal masih sangat rendah, karena tingkat penerimaan sebagian besar masyarakat terhadap daging itik lokal masih kurang, walaupun di beberapa daerah daging itik lokal merupakan hidangan unggulan. Upaya peningkatan konsumsi daging itik sebaiknya didasarkan pada penyebab kurang diterimanya daging itik oleh konsumen. Beberapa penyebab yang dapat diutarakan adalah warna daging merah, tekstur alot dan aromanya yang khas. Aroma daging itik merupakan penyebab yang kurang disukai oleh konsumen. Walaupun daging itik mempunyai bau khas yang oleh konsumen dikategorikan mempunyai sensasi off-odor, namun ternyata intensitasnya berbeda antar jenis itik. Selain faktor-faktor di atas, kemungkinan konsumsi daging itik yang rendah karena ketersediaan itik potong sendiri yang masih kurang, dan usaha pengembangan itik potong juga berjalannya lamban. Semuanya ini ikut mempengaruhi rendahnya konsumsi dan kepopuleran daging itik itu sendiri. Lain halnya dengan itik impor seperti peking, yang memiliki sifat pertumbuhan cepat dan kualitas daging yang baik, dan usaha pengembangannya yang sudah maju. Sampai saat ini, belum ada usaha pembibitan untuk menghasilkan itik potong yang ditangani dengan baik oleh instansi pemerintah maupun swasta semuanya masih diusahakan secara tradisional oleh masyarakat, dengan memanfaatkan itik dari hasil penetasan. Begitu pula dengan hasil produk berupa daging yang di pasarkan umumnya berasal dari itik yang sudah tua dengan cara pemeliharaan tradisional, sehingga daging yang dihasilkan kualitasnya rendah.
5 Sumber daging itik yang di pasarkan sebagian besar berasal dari itik jantan petelur yang muda maupun yang tua bahkan itik betina yang sudah habis masa bertelur (afkir). Upaya untuk menjawab permasalahan tersebut, dilakukan suatu penelitian terhadap itik-itik lokal yang ada di Indonesia yang berpotensi sebagai itik potong. Hardjosworo et al. (2001) menyatakan bahwa potensi untuk mengembangkan produksi daging, dari unggas air lokal sangat besar karena teknologinya tidak sulit dikuasai dan mudah dilakukan, misalnya teknologi persilangan. Berdasarkan uraian di atas, maka dilakukan penelitian dengan melakukan kawin silang (crossbreeding) untuk menghasilkan itik jantan hibrida yang memiliki performa dan produksi karkas yang tinggi serta citarasa daging yang kurang bau amis/anyir. Itik Cihateup asal Jawa Barat dan itik Alabio asal Kalimantan Selatan, memiliki keunggulan masing-masing dalam hal produksi karkas dan daging. Itik Cihateup, dibandingkan itik Alabio mempunyai kelebihan dalam hal persentase karkas yaitu bagian-bagian yang berdaging tebal (dada dan paha) lebih besar. Namun dari segi penampilan dan aroma, daging itik Cihateup mempunyai kelemahan yaitu warna daging lebih merah gelap dan bau amis yang tajam dibandingkan itik Alabio (Randa et al. 2007). Hubungan kekerabatan antara itik lokal berguna untuk pengembangan perbibitan itik ke depan, demikian pula dengan jarak genetik yang merupakan tingkat perbedaan gen (perbedaan genom) di antara suatu populasi atau spesies. Hetzel (1985) melaporkan bahwa jerak genetik itik Cihateup dengan itik Alabio jauh, bila dibandingkan hubungan antara itik Cihateup dengan itik-itik yang ada di pulau Jawa. Menurut Noor (2008) ternak yang tidak memiliki hubungan kekeluargaan jika disilangkan maka keturunannya cenderung menampilkan performa yang lebih baik dari rataan performa tetuanya untuk sifat-sifat tertentu dan ini biasanya disebut hybrid vigor.
Heterosis dinyatakan ada jika rataan
performa ternak hasil persilangan melebihi rataan tetua murninya. Pada Gambar 1 terlihat alur kerangka pikir suatu permasalahan yang dihadapi itik lokal dan pemanfaatnya sebagai sumber daging di masyarakat. Permasalahan yang ditemui baik dari segi produksi karkas, kualitas daging, tingkat konsumsi daging dan usaha pengembangan itik potong hingga sekarang ini
6 belum dapat dipecahkan. Harapan dari penelitian ini dapat memecahkan masalah yang dihadapi itik lokal sebagai sumber daging alternatif. Penelitian ini bertujuan mempelajari fenomena heterosis dari persilangan dan menentukan kombinasi persilangan yang terbaik dalam menghasilkan produksi dan kualitas daging serta melihat perubahan performa secara fisik maupun kimia akibat persilangan.
Itik lokal (tipe petelur) Itik jantan
Itik betina
Itik petelur
Itik betina afkir
Itik pejantan
SUMBER DAGING Sebagai itik potong
Itik potong
Pemanfaatan
Crossbreeding : untuk meningkatkan produktivitas itik jantan lokal sebagai itik potong; menghasilkan itik jantan siap potong dengan kualitas daging yang kurang bau amis/anyir. Meningkatkan minat dan daya beli konsumen terhadap daging itik lokal, sekaligus mengurangi ketergantungan daging itik impor. Mengembangkan usaha itik jantan potong melalui penyediaan bibit itik potong.
PEMECAHAN MASALAH
Ketersediaan itik potong sangat terbatas sementara permintaan daging itik terus meningkat. Produksi daging itik lokal rendah, dagingnya alot, dan bau anyir/amis tajam. Pengembangan usaha itik potong, berjalan lamban.
PERMASALAHAN
Gambar 1
Alur kerangka pikir dalam menigkatkan produksi karkas dan kualitas daging pada itik lokal
7 Tujuan Penelitian 1. Mempelajari fenomena heterosis pada persilangan timbal balik (reciprocal) antara itik Cihateup dan itik Alabio untuk beberapa sifat produksi karkas dan kualitas daging. 2. Menentukan kombinasi persilangan antara itik Cihateup dan Alabio, yang terbaik dalam produksi karkas dan kualitas daging. 3. Mengetahui perubahan performa secara fisik meliputi pertumbuhan, konversi pakan, produksi karkas, potongan komersial karkas, daging serta secara kimia meliputi perubahan kandungan lemak, asam-asam lemak dan perubahan sensori berupa aroma dan rasa daging yang terjadi akibat persilangan.
Manfaat Penelitian 1. Menghasilkan informasi ilmiah tentang salah satu cara dalam meningkatkan produksi karkas dan kualitas daging pada itik lokal. 2. Sebagai dasar pembentukan galur sintetik itik potong di Indonesia. 3. Meningkatkan kepopuleran dan minat konsumen terhadap daging itik sekaligus memberikan kesempatan bagi pengusaha, masyarakat untuk berusaha di bidang usaha unggas air yakni itik potong.
Hipotesis Penelitian 1. Persilangan timbal balik antara itik Cihateup dengan Alabio dapat meningkatkan produksi karkas dan kualitas daging dibandingkan dengan tetuanya. 2. Itik hibrida, hasil persilangan timbal balik antara itik Cihateup dengan Alabio dapat memberikan cita rasa (flavor) daging yang kurang bau amis/anyir.
TINJAUAN PUSTAKA Itik Lokal Berdasarkan klasifikasi zoologis, itik berada dalam kelas: Aves, ordo: Anseriformes, famili: Anatidae, genus: Anas, dan spesies: platyrhynchos. Para ahli sejarah perkembangan unggas telah sepakat bahwa itik Mallard (Gambar 2) merupakan tetua itik, yang menurunkan itik-itik yang dibudidaya sekarang ini, yang juga disebut Common mallard atau Green headed mallard karena warna bulu kepala yang jantan adalah hijau. Dengan demikian dapat dipastikan bahwa itik yang ada di Indonesia merupakan itik pendatang yang telah mengalami domestikasi. Dibandingkan dengan leluhurnya, ternak itik yang dibudidayakan saat ini telah banyak mengalami perubahan dalam bentuk badan, penampilan luar dan tingkah laku. Hal ini merupakan akibat, kemampuan itik dalam beradaptasi dengan lingkungan dimana itik tersebut berkembangbiak dan akibat campur tangan manusia selama proses domestikasi (Crawford 1993).
Gambar 2 Itik Mallard berkepala hijau Pada tahun 1876 kapten kapal Skotlandia selain membawa teh, juga membawa Indian runner dari Malaysia, ke Dumfriesshire, Skotlandia. Itik ini berkembangbiak sebagai itik petelur produktif di Skotlandia, Belgia dan Belanda, dan digunakan juga untuk menghasilkan itik hibrida melalui persilangan dengan Muscovy. Pada abad kedua puluh, dilakukan kontes di Inggris, dengan menampilkan itik ini karena produksi telurnya dapat mencapai 300 butir telur per tahun. Itik Indian runner juga diperkenalkan di Amerika Utara pada abad kedua puluh (Dohner 2001).
10
Gambar 3 Itik Indian Runner
Itik lokal yang ada di Indonesia merupakan keturunan dari itik Indian Runner. Ciri khas dari itik Indian Runner adalah memiliki badan relatif langsing dan mampu berdiri tegak, serta larinya cepat, untuk itulah mengapa ada alasan itik tersebut dinamakan Indian Runner (Gambar 3).
Kepala Paruh
Leher
Punggung
Femur Humerus Radius
Tibia Sternum Ulna
Tarsometatarsus
Metacarpus Jari ketiga
Gambar 4 Kerangka tubuh itik (Koch 1973)
11
Itik terdiri atas tipe pedaging dan tipe petelur. Kedua tipe tersebut dapat dibedakan dari postur tubuhnya. Dada itik tipe pedaging lebih mendekati sejajar dengan lantai, sedangkan itik tipe petelur lebih tegak lurus terhadap lantai. Itik yang ada di Indonesia, umumnya dimanfaatkan sebagai penghasil telur, sementara dagingnya belum banyak dimanfaatkan. Di Indonesia saat ini terdapat berbagai bangsa itik lokal yang telah beradaptasi dengan baik pada lingkungan tempat mereka dikembangkan. Penamaan bangsa-bangsa itik lokal tersebut umumnya berdasarkan letak geografis dan lingkungan serta sistem pemeliharaan yang berbeda-beda di masing-masing wilayah asalnya. Selain itu diduga telah terjadi diferensiasi genetik yang mengarah pada terbentuknya bangsa-bangsa yang memiliki ciri-ciri fisik dan tingkat produksi yang berbeda-beda pula. Itik memiliki kemampuan beradaptasi yang cukup tinggi, sehingga dapat hidup pada lingkungan barunya. Kemampuan tersebut menurut Hardjosworo (1995), merupakan sifat genetik yang bernilai tinggi pada ternak lokal. Setiap itik lokal mempunyai karakteristik morfometrik berbeda yang diperlihatkan dengan ukuran dan bentuk satu dengan yang lain. Terbentuknya karakteristik fenotipik ini kemungkinan disebabkan oleh seleksi alam yang dialami itik di daerah asalnya dalam waktu yang lama. Beberapa jenis itik lokal yang banyak dipelihara masyarakat di Pulau Jawa di antaranya adalah itik Tegal, itik Mojosari, itik Magelang, itik Cirebon, dan itik Cihateup, sementara itik yang ada di luar Pulau Jawa seperti di Kalimantan ada itik Alabio, di Sumatera ada itik pegagan, di Bali ada itik Bali, dan masih banyak lagi ternak itik yang tersebar di seluruh Indonesia, dan diberi nama sesuai dengan asal daerahnya. Itik Cihateup (Anas platyrhynchos Javanica) Sesuai dengan namanya itik ini berasal dari Desa Cihateup, Kecamatan Rajapolah, Kabupaten Tasikmalaya, Provinsi Jawa Barat. Selain berkembang di Kabupaten Tasikmalaya, itik ini juga berkembang baik di Kabupaten Garut. Itik Cihateup betina memiliki potensi yang cukup besar sebagai itik petelur, dengan kemampuan produksi sekitar 200 butir/tahun dan daya tetas telur 65.1%. Itik Cihateup jantan berpotensi sebagai penghasil daging karena kemampuan
12 pertumbuhan yang baik. Bobot potong itik pejantan berkisar antara 1398-1550g, dengan nilai konversi ransum sekitar 4.57- 6.7 (Wulandari et al. 2005). Tabel 1 memperlihatkan performa produksi dan reproduksi itik Cihateup jantan dan betina. Itik Cihateup memiliki kemiripan dengan itik-itik lainnya yang ada di Jawa, seperti itik Kerawang, itik Cirebon, maupun itik Tegal. Walaupun demikian, secara genetik terdapat keragaman di antara itik-itik tersebut (Muzani et al. 2005). Lebih dekatnya kesamaan sifat antara itik Cihateup dengan beberapa itik di sekitar Jawa Barat dan Jawa Tengah dibandingkan dengan itik Alabio, sebab dalam dendogram jarak genetik antara itik Cihateup dengan itik-itik lokal yang berasal dari Jawa Barat dan Jawa Tengah lebih dekat kekerabatannya dibandingkan dengan itik Alabio dari Kalimantan Selatan (Hetzel 1986). Tabel 1 Peforma produksi dan reproduksi itik Cihateup jantan dan betina Uraian
Jantan
pH semen (itik umur 28 minggu) 7.81) Warna semen (itik umur 28 minggu) putih susu-putih cream1) Konsistensi semen (itik umur 28 minggu) sedang1) Bobot telur (g) (itik umur 20 minggu) Indeks telur (%) Indeks telur (%) Fertilitas (%) (kawin scr alami) Fertilitas (%) (dengan IB) Daya tetas (%) Rasio jantan:betina 12) Rasio jantan:betina 11) Bobot meri jantan (g) (umur 1 hari) 32.451) Bobot meri betina (g) (umur 1 hari) Bbt bdn pertama bertelur (g) Umur masak kelamin (hari) Bobot badan 8 minggu (g) 9723) Bobot badan 18 minggu (g) 1452.03) Bobot badan 14 minggu (g) 15912) 1) 2) 3) Suretno 2007; Wulandari et al. 2005; Susanti dan Prasetyo 2007
Betina 68.02) 80.192) 81.051) 36.752) 90.941) 65.122) 22) 11) 33.331) 1503.171) 145.751) 951.13) 1486.73) 13882)
Muzani et al. (2005) menyatakan bahwa itik Cihateup memiliki beberapa ukuran tubuh seperti ukuran lingkar dada yang lebih besar dibandingkan dengan itik Cirebon dan Mojosari dan itu dapat dijadikan salah satu indikator bahwa itik Cihateup memiliki potensi sebagai penghasil daging. Tabel 2 memperlihatkan ukuran tubuh itik Cihateup betina dan jantan.
13
Tabel 2 Ukuran tubuh itik Cihateup betina dan jantan Uraian Panjang paruh (cm) Lebar paruh (cm) Tinggi kepala (cm) Panjang kepala (cm) Panjang leher (cm) Panjang sayap (cm) Lingkar dada (cm) Dalam dada (cm) Panjang badan (cm) Lingkar tarsometatarsus (cm) Panjang dada (cm) Panjang jari ke-3 (cm) Panjang tarso (cm) Panjang tibia (cm) Panjang femur (cm) Panjang maxilla (cm) 1) Wulandari et al. 2005; 2)Muzani et al. 2005
Itik Cihateup betina : memiliki warna bulu coklat kemerahan bertotol coklat tua, paruh dan kaki hitam
Warna bulu sayap itik Cihateup betina coklat kemerahan dengan totol coklat
Betina
Jantan
6.21) 2.81) 4.01) 6.61) 1) 19.6 -21.82) 29.22) 28.82) 14.72) 22.92) 4.32) 10.42) 7.82) 4.92) 11.22) 7.52) 5.82)
6.71) 2.91) 4.01) 6.71) 22.11) -
Itik Cihateup jantan : memiliki warna bulu coklat keabuan sampai kehitaman dibagian punggung dan leher, ekor hitam, kaki dan paruh hitam
Warna bulu sayap itik Cihateup jantan, coklat keabuan sampai kehitaman
Gambar 5 Penampilan fisik itik Cihateup betina dan jantan serta warna bulu sayap
14 Itik Alabio (Anas platyrhynchos Borneo) Sesuai dengan namanya, itik Alabio adalah unggas air lokal yang berkembang di daerah Kabupaten Amuntai Hulu Sungai Utara Provinsi Kalimantan Selatan. Itik Alabio merupakan salah satu galur itik lokal yang sudah lama dikenal masyarakat Indonesia. Umumnya itik ini dipelihara dengan sistem semi intensif sesuai geografis di Kalimantan yang memiliki banyak sungai dan rawa. Kondisi alam tersebut sangat mendukung dalam perkembangan itik Alabio. Meskipun tergolong sebagai itik petelur, itik Alabio jantan juga mempunyai potensi besar sebagai penghasil daging, karena memiliki postur tubuh yang besar. Secara morfologi, itik Alabio mudah dibedakan dengan itik lokal dari Jawa pada umumnya. Beberapa karakteristik yang dimiliki itik Alabio adalah kalau berdiri tidak terlalu tegak dan membuat sudut 45º dengan dasar tanah. Itik Alabio jantan dewasa warna kepala bagian atas hitam kelam mengkilat, warna bulu bagian dada coklat cerah, sedangkan bulu bagian punggungnya ke abu-abuan dan di ujung-ujung sayapnya terdapat kombinasi warna hijau kebiru-biruan mengkilap (Suryana 2011). Pada bagian ujung ekor terdapat bulu yang melengkung ke atas dan kaki serta paruhnya berwarna kuning jingga. Pada itik betina, memiliki warna coklat kelam di bagian kepala, dada kecoklatan, badan berwarna coklat totol-totol, kaki berwarna kuning, bagian atas mata berwarna cerah dengan garis kelam menyerupai alis mata. Paruh berwarna kuning jingga dengan bintik hitam pada ujungnya (Setioko dan Istiana 1999; Suryana 2011). Menurut Suparyanto (2005) itik Alabio mempunyai fenotipik yang berbeda dengan galur itik lokal lainnya, yakni pada pola warna bulunya dan memiliki warna bulu yang khas. Itik Alabio bila dipelihara secara intensif dapat berproduksi telur sekitar 214-250 butir/ekor/tahun, dengan puncak produksi 92.70% dengan bobot badan pertama bertelur 1693.8g, bobot telur pertamanya 58.4g-63.88g dan dewasa kelamin umur 150.3-179 hari (Rohaeni dan Setioko 2001; Gunawan et al. 1994; Susanti 2003; Purba dan Manurung 1998). Menurut Susanti et al. (1998) bobot badan itik Alabio jantan dan betina umur 8 minggu dapat mencapai 1233 dan 1050g/ekor. Tabel 3 memperlihatkan performa produksi itik Alabio betina.
15
Tabel 3 Peforma produksi itik Alabio betina Uraian
Betina
Bobot putih telur (g) 42.191) Bobot kuning telur (g) 17.981) Haugh Unit (HU) 91.741) Bobot telur (g) 56.392)-60.111) Tebal kerabang (mm) 35.923)-36.332) Rataan produksi telur (% duck-day) minggu 1–32 57.84) Bobot badan pertama bertelur (g) 1630.272) 24.272) Umur pertama bertelur (minggu) 1) 2) 3) 4) Prasetyo et al. 2001; Prasetyo dan Susanti 2000; Purba et al. 2006; Susanti et al. 2005
Itik Alabio betina : memiliki warna bulu coklat kemerahan, ♂ bertotol coklat tua, paruh dan kaki kuning
Itik Alabio jantan : memiliki warna bulu keabuan dibagian punggung dan leher, ekor hitam, kaki dan paruh kuning
Warna bulu sayap itik Alabio betina coklat bertotol, dan sebagian berwarna hijau kebiruan
Warna bulu sayap itik Alabio jantan,keabuan dan ada sebagian warna hijau kebiruan
Gambar 6 Penampilan fisik itik Alabio betina dan jantan serta warna bulu sayap
Mengingat peranan itik Alabio yang cukup besar di pedesaan, bukan saja sebagai sumber pangan berupa telur dan daging, tetapi yang terpenting adalah dapat menciptakan lapangan pekerjaan dan dapat membantu masyarakat dalam pemenuhan gizi berupa protein hewani. Pemerintahan daerah provinsi Kalimantan
16 Selatan berupaya untuk tetap menjaga kelestarian itik Alabio, bahkan telah menjadikannya sebagai salah satu sumber plasma nutfah daerah bahkan nasional (Suryana 2011; Deptan 2006). Hardjosworo (1995), mengatakan bahwa ternak lokal yang telah mengalami seleksi alam maupun buatan oleh manusia memiliki daya adaptasi baik dengan lingkungannya. Tabel 4 memperlihatkan karakteristik ukuran tubuh itik Alabio jantan dan betina. Tabel 4 Karakteristik ukuran tubuh itik Alabio jantan dan betina Uraian
Betina
Jantan
Panjang paruh (cm) Lebar paruh (cm) Panjang leher (cm) Lebar dada (cm) Lingkar dada (cm) Dalam dada (cm) Panjang punggung (cm) Panjang sayap (cm) Panjang tibia (cm) Panjang femur (cm) Panjang tarsometatarsus (cm) Lingkar tarsometatarsus (cm) Panjang jari ke-3 (cm)
5.81) 2.51) 19.61) 8.21) 28.31) 8.21) 18.31) 26.31)-27.42) 10.11)-11.12) 5.11)-6.52) 6.71) 4.61) 5.41) -6.22)
6.61) 2.71) 22.31) 8.71) 29.11) 8.51) 20.21) 24.31)-28.62) 10.561)-10.62) 6.51)-5.92) 6.51) 4.71) 3.71)-5.82)
1)
Susanti dan Prasetyo 2007; 2)Wahono 2005
Persilangan (Crossbreeding) dan Heterosis Itik peking, angsa (geese, swan) dan mule duck merupakan sumber-sumber daging dari ternak unggas air yang sudah diterima oleh masyarakat di luar negeri. Indonesia dengan jumlah populasi itik yang cukup tinggi dapat memanfaatkan itik lokal tidak hanya sebagai penghasil telur tetapi juga penghasil daging. Potensi untuk mengembangkan produksi daging itik sangat besar karena teknologinya tidak sulit untuk diterapkan. Upaya meningkatkan produktivitas itik lokal, baik produksi telur maupun daging telah banyak dilakukan penelitian maupun pengkajian dengan teknologi persilangan. Teknologi persilangan, misalnya antara entok jantan dengan itik betina lokal atau sebaliknya, yang disebut itik mandalung (serati) (Hardjosworo et al. 2001; Setioko et al. 2002; Setioko 2003; Suparyanto 2005), juga persilangan antara itik Alabio dengan Mojosari yang disebut itik MA (Prasetyo et al. 2005),
17
dilakukan untuk menghasilkan dan meningkatkan produktivitas itik lokal sebagai itik potong unggul. Perkawinan silang adalah perkawinan antar individu yang tidak berkerabat, baik dalam kelompok genotipe yang sama maupun antar kelompok genotipe berbeda. Perkawinan antar kelompok genotipe yang berbeda dapat dilakukan antar galur, rumpun, maupun antar bangsa, dan biasanya dilakukan sebagai strategi produksi untuk memanfaatkan keunggulan hibrida, yang disebut heterosis dan nilai dari heterosis dapat bernilai positif atau negatif (Noor 2008). Persilangan yang mugkin dilakukan pada dua bangsa unggas menurut Noor (2001) adalah persilangan reciprocal, backcross, sintetik optimum atau sintetik seimbang. Persilangan beckcross dilakukan pada ternak betina hasil biak silang yang dikawinkan dengan ternak jantan dari salah satu bangsa tetua; persilangan sintetik seimbang/optimum merupakan bangsa baru yang dihasilkan dengan cara mencampur gen-gen dari sejumlah bangsa tetuanya. Hasil prediksi dari setiap persilangan dapat dilakukan apabila telah diperoleh parameterparameter seperti direct additive effect, maternal additive effect, direct dominance effect dan maternal dominance effect. Beberapa perkawinan silang antar bangsa pada itik lokal, telah berhasil menunjukkan adanya tingkat heterosis yang nyata untuk beberapa sifat produksi telur. Prasetyo dan Susanti (2000), telah melakukan penelitian dengan menyilangkan itik Mojosari dan itik Alabio (MA), hasil persilangannya mampu menunjukkan keunggulan yang dinyatakan dalam nilai heterosis pada produksi telur sampai 3 bulan sebesar 11.7%. Selanjutnya Ketaren et al. (2000) melaporkan bahwa itik persilangan tersebut menghasilkan rataan produksi telur setahun sebesar 69.4% dan FCR 4.1. Hal ini mengindikasikan bahwa itik MA memiliki rataan produksi telur yang lebih baik dibandingkan dengan itik-itik lokal yang ada di Indonesia dan berpotensi untuk dikembangkan sebagai bibit niaga. Persilangan antar itik Tegal dan itik Mojosari yang diteliti oleh Prasetyo (2007) tidak menimbulkan adanya heterosis, sehingga disimpulkan bahwa persilangan antar ke dua jenis itik tersebut tidak akan memberikan keuntungan. Noor (2008) mengatakan bahwa laju peningkatan heterozigositas akibat silang luar tergantung pada perbedaan genetik dari tetuanya. Makin jauh hubungan
18 kekerabatan antara kedua ternak tersebut, maka makin sedikit kesamaan gengennya dan makin besar pula tingkat heterozigositasnya.
Karakteristik Penetasan Menetaskan telur itik pada mesin tetas setidaknya agak sedikit lebih sulit daripada menetaskan telur ayam. Hal ini dikarenakan waktu yang dibutuhkan untuk menetaskan telur itik lebih lama yakni sekitar 28 hari dibandingkan ayam hanya 21 hari. Pori-pori kerabang telur itik lebih besar dari telur ayam, sehingga mudah bagi bakteri masuk, apalagi keberadaan kandang itik yang selalu basah dan lembab dapat mempercepat pertumbuhan bakteri pada kerabang telur akibatnya telur cepat rusak (Kortlang 1985). Selanjutnya dikatakan pula bahwa keberhasilan suatu penetasan haruslah memperhatikan hal-hal seperti temperatur selama periode setter dan periode hatcher, kelembaban mesin tetas, pemutaran telur tetas, dan ventilasi mesin tetas. Informasi mengenai karakteristik penetasan pada ternak itik masih jarang di lakukan dan dipublikasi, pada hal informasi seperti ini menjadi sangat penting untuk menghasilkan DOD yang berkualitas dan bernilai ekonomis. Karakteristik penetasan yang perlu menjadi diperhatikan antara lain fertilitas, daya tetas, kematian embrio dan nisbah jenis kelamin. Fertilitas. Fertilitas telur merupakan perbandingan antara telur yang bertunas dengan total telur tetas yang dimasukkan ke dalam mesin penetasan. Fertilitas merupakan persentase telur yang memperlihatkan adanya perkembangan embrio tanpa memperhatikan telur itu menetas atau tidak dari sejumlah telur yang dierami. Faktor-faktor yang mempengaruhi fertilitas adalah perbandingan jantan dan betina, umur induk, panjang waktu penyimpanan telur untuk ditetaskan dan pengelolaan telur yang dilakukan (Ensminger 1992). Telur-telur yang ditetaskan, fertil dan infertil dapat diketahui dengan melakukan peneropongan (candling). Peneropongan dapat dilakukan pada hari ketiga - ketujuh dengan memperhatikan pembuluh darah dalam telur (North dan Bell 1990). Brahmantiyo dan Prasetyo (2001) dalam penelitiannya melihat pengaruh bangsa itik terhadap performa reproduksi untuk sifat fertilitas pada itik Alabio diperoleh sebesar 79.18% dan Mojosari 74.97% yang dilakukan melalui
19
inseminasi buatan (IB). Hasil ini tidak menunjukkan perbedaan, bertarti fertilitas tidak dipenagruhi oleh bagsa itik, akan tetapi terhadap daya tetas berpengaruh sangat nyata. Selanjutnya Prasetyo et al. (2000) melaporkan bahwa fertilitas itik persilangan antara itik Mojosari dengan Alabio (MA), maupun reciprocal (AM) yang di IB maupun kawin secara alam masing-masing diperoleh sebesar 82.19%, dan 72.71% untuk yang di IB, sementara 75.23% dan 84.30% untuk yang kawin secara alami. Disini terlihat bahwa peran teknologi melalui proses perkawian baik secara alami atau IB sangat berpengaruh dan sangat penting untuk dapat menigkatkan tingkat fertilitas telur itik. Hasil perkawinan antara pejantan entok (E) dengan betina itik Peking x Alabio (PA) maupun Peking x Mojosari (PM) menghasilkan itik Serati yang diberinama EPA dan EPM, menunjukkan angka fértilitas sebesar 74.14% untuk EPA dan 69.78% untuk EPM (Sopiyana dan Prasetyo 2007). Namun demikian hasil penelitian ini lebih rendah jika dibandingkan dengan nilai fertilitas tetuanya yaitu itik silangan Pekíng x Alabio (PA) dan Pekíng x Mojosari (PM) dimana angka fertilitasnya adalah 92.2% untuk PA dan 93.8% untuk PM (Suparyanto 2005). Begitu pula Setioko et al. (2004) yang juga melakukan persilangan antara 2 bangsa yakni itik Peking dengan itik Alabio mendapatkan angka fertilitas sebesar 92.81% masih lebih tinggi dari perkawinan 3 bangsa yang dilakukan Sopiyana dan Prasetyo (2007). Wulandari (2005) melaporkan tingkat fertilitas telur itik Cihateup asal Tasikmalaya dan Garut dengan sistem perkawian secara alami masing-masing sebesar 36.19% dan 61%, sedangkan Suretno (2007) melaporkan bahwa fertilitas itik Cihateup asal Tasikmalaya dan asal Garut dengan inseminasi buatan (IB) masing-masing sebesar 90.94% dan 90.75%. Perbedaan proses perkawinan baik secara alami maupun IB sangat mempengaruhi tingkat fertilitas telur tetas yang diperoleh. Daya tetas. Daya tetas adalah persentase telur yang menetas dari total telur yang fertil. Daya tetas akan turun dengan lamanya waktu penyimpanan telur. Telur yang baik untuk ditetaskan dan memiliki daya tetas paling baik bila telur baru disimpan selama satu sampai empat hari. Pada telur ayam yang disimpan selama 1 sampai 3 hari dengan suhu penyimpanan telur 30ºC dapat menghasilkan
20 daya tetas sebesar 77.1%, akan tetapi jika telur tetas disimpan selama 5 sampai 7 hari dengan suhu penyimpanan 15ºC dapat menghasilkan daya tetas 76.2% (Kortlang 1985). Disini terlihat begitu besar peranan suhu penyimpanan terhadap daya tetas telur. Daya tetas perkawinan 3 bangsa antara pejantan entok (E) dengan betina itik PA maupun betina itik PM untuk menghasilkan itik Serati menunjukkan persentase sebesar 47.67% (EPA) dan 59.64% (EPM) (Sopiyana dan Prasetyo 2007). Sementara daya tetas persilangan 2 bangsa antara itik Mojosari dengan Alabio (MA) maupun reciprocal (AM) dengan jalan di IB maupun yang kawin secara alami masing-masing menunjukkan sebesar 48.13%; 39.86% untuk yang di IB dan 29.90%; 31.15% untuk kawin alam (Prasetyo et al. 2000). Kematian embrio. Reproduksi tidak hanya tergantung pada jumlah telur yang dihasilkan dan fertilitasnya, tetapi juga pada jumlah kematian embrio selama diinkubasi atau sebelumnya. Ngobe (2003) melaporkan bahwa keberhasilan perkembangan embrio sangat dipengaruhi oleh faktor (1) temperatur dan kelembaban mesin tetas, (2) lama penyimpanan telur, (3) nutrisi, (4) kerabang dan pori-pori telur dan (5) genetik. Selanjutnya menurut Brahmantiyo dan Prasetyo (2001) bahwa kematian embrio yang cukup tinggi diduga karena terjadinya perubahan panas metabolisme embrio yang diakibatkan aktivitas pertumbuhan embrio. Hasil penelitian Sopiyana dan Prasetyo (2007) mendapatkan tingkat kematian embro pada itik EPA (Entok x Peking Alabio) dan EPM (Entok x Peking Mojosari) yang diinseminasi buatan dengan semen entok menghasilkan kematian embrio masing-masing sebesar 32.1% dan 22.8%. Harun et al. (2001) dalam penelitiannya menggunakan mesin tetas buatan untuk menetaskan telur entok dengan penyemprotan air dan pendinginan selama 30 menit, berkesimpulan bahwa (1) tingkat laju metabolisme embrio sangat penting dalam keberhasilan penetasan telur; (2) kemampuan menetas dari telur diduga dipengaruhi morfologi telur seperti panjang telur; (3) suhu mesin tetas 37.5ºC dengan penyemprotan air dan pendinginan. Nisbah kelamin. Dari sejumlah pasang kromosom di dalam sel tubuh bangsa burung terdapat sepasang kromosom yang menetukan jenis kelamin
21
individu. Kromosom ini disebut kromosom seks Z dan W. Individu jantan memiliki sepasang kromosom seks Z yang disebut homogametik (ZZ). Individu betina akan memiliki satu kromosom Z dan satu kromosom W yang disebut heterogametik (ZW). Selama proses spermatogenesis, individu betina akan menghasilkan dua macam gamet yaitu gamet Z dan gamet W, sedangkan individu jantan hanya menghasilkan 1 macam gamet yaitu gamet Z. Noor (2008) menyatakan bahwa penentuan jenis kelamin pada bangsa burung berlawanan dengan penentuan jenis kelamin pada mamalia. Itik yang merupakan unggas air, termasuk dalam bangsa burung memiliki kromosom seks untuk jantan ZZ dan betina ZW.
Tetua
♂ ZZ
♀ ZW
Gamet
Z
Z W
Z
F1
ZZ : ZW ½ : ½
Sampai saat ini belum ada metode yang dapat menentukan jenis kelamin embrio dari mulai telur yang dihasilkan sampai menetas. North (1984) menyatakan bahwa bentuk telur, posisi kantong udara atau faktor lain tidak ada hubungannya dengan jenis kelamin. Suretno (2006) melaporkan bahwa persentase meri jantan dan meri betina itik Cihateup asal Tasikmalaya dalam penelitiannya masing-masing 48.91% dan 51.09%, lebih banyak meri betinanya dari meri jantan, sedangkan Cihateup asal Garut persentase meri jantan dan meri betina masing-masing 57.41% dan 42.59%, sementara Dharma et al. (2001) melaporkan bahwa nisbah kelamin jantan dan betina pada Mandalung yaitu 61.16% : 38.84%. Peluang untuk mendapatkan jenis kelamin jantan dan betina adalah sama pada saat pembuahan, namun selama telur berada dalam mesin tetas, dan terjadi kematian selama pertumbuhan embrio tidak
22 sama sehingga rasio yang diperoleh pada saat menetas dari masing-masing perlakuan bervariasi. Pertumbuhan dan Bobot Badan Pada kondisi ideal bentuk kurva pertumbuhan untuk semua spesies ternak adalah serupa yaitu mengikuti pola kurva pertumbuhan sigmoidal (Soeparno 1998). Selanjutnya dikemukakan pula bahwa pertumbuhan mula-mula terjadi sangat lambat, kemudian mengalami akselerasi yaitu pertumbuhan yang cepat setelah itu mengalami deselerasi yaitu pertumbuhan yang berangsur-angsur menurun. Pengukuran pertumbuhan dapat mengacu pada pertambahan bobot badan. Bobot badan merupakan salah satu sifat yang memiliki nilai ekonomis dan bersifat kuantitatif yang dikendalikan oleh banyak gen (Stansfield 1983). Hasil penelitian Harahap (1993) dengan menggunakan pakan ayam broiler (R1) dan pakan ayam broiler + dedak (R2) yang diberikan ke entok, itik lokal, mandalung 1 (itik jantan x entok betina) dan mandalung 2 (entok jantan x itik betina) menunjukkan bahwa mandalung 1, mandalung 2 dan itik mengalami pertambahan bobot badan tertinggi pada minggu keempat, sedangkan entok pada minggu kelima. Penelitian pada mandalung juga, yang diberi imbuhan pakan avilamisina menghasilkan pertambahan bobot badan tertinggi pada minggu keempat (330.83g), dengan peningkatan bobot hidup 22.8 kali dari bobot awalnya (36.42g) lebih baik dari yang tidak diberi imbuhan pakan (Matitaputty 2002). Peningkatan bobot badan sangat penting dan berkaitan erat dengan produksi daging. Itik MA jantan hasil persilangan Mojosari jantan x Alabio betina yang dihasilkan di Balai Penelitian Ternak Ciawi, mampu mencapai bobot badan 1.3 kg pada umur 8 minggu (Prasetyo et al. 2005). Pada mandalung umur 10 minggu yang diberi imbuhan pakan avilamisina dalam ransum menghasilkan bobot hidup sebesar 2.209 kg, sementara yang tidak diberi imbuhan pakan hanya mencapai 2.061 kg (Matitaputty 2002). Konsumsi Ransum dan Konversi Ransum Konsumsi ransum merupakan jumlah ransum yang dikonsumsi dalam jangka waktu tertentu. Ransum yang dikonsumsi oleh ternak akan digunakan untuk memenuhi kebutuhan hidup maupun untuk produksi. Rukmiasih (2011)
23
dalam penelitiannya melihat pengaruh pemberian beluntas dalam pakan terhadap konsumsi pakan/ekor/ minggu pada itik jantan umur 4-10 minggu menunjukkan bahwa konsumsi pakan itik jantan yang mendapat tepung daun beluntas 1% dan 2% dalam pakan tidak berbeda dengan kontrol. Hal ini menunjukkan bahwa pemberian tepung daun beluntas dalam pakan tidak menurunkan palatabilitas pakan. Konversi ransum berguna untuk mengukur produktivitas ternak, sebab konversi ransum merupakan perbandingan antara ransum yang dikonsumsi dengan pertambahan bobot badan yang dihasilkan. Nilai konversi ransum menunjukkan kemampuan seekor ternak untuk mengubah pakan menjadi produk yang dihasilkan. Semakin kecil nilai konversi ransum berarti semakin efisien ternak tersebut dalam memanfaatkan ransum yang diperoleh untuk menaikan bobot badan per satuan berat. Jika nilai konversi ransum tinggi menunjukkan bahwa semakin banyak ransum yang dibutuhkan berarti kurang efisien ternak tersebut dalam memanfaatkan ransum untuk menaikan bobot badan per satuan berat. Beberapa penelitian tentang konversi ransum pada itik Alabio dan Cihateup sangat beragam. Wulandari et al. (2005) dalam penelitiannya melaporkan bahwa konversi ransum itik Cihateup jantan cenderung lebih rendah daripada itik betina, walaupun secara statistik tidak berbeda nyata. Hal ini mengindikasikan bahwa itik jantan lebih efisien dalam memanfaatkan pakan untuk pertumbuhan dibanding dengan itik betina. Pada itik Alabio konversi ransum selama 10 minggu pemeliharaan sebesar 8.8 lebih rendah dibandingkan dengan itik Cihateup yakni 8.92 akan tetapi setelah ditambahkan lemak sapi, konversi ransumnya turun menjadi 7.75 untuk itik Alabio dan 7.90 untuk itik Cihateup (Randa 2007). Karkas dan Daging Itik Karkas merupakan bagian tubuh unggas setelah dikurangi bulu, darah, kepala, kaki dan organ dalam. Produksi karkas dapat dilihat dari bobot tubuh, semakin tinggi bobot tubuh maka produksi karkas semakin meningkat. Nilai seekor ternak ditentukan oleh persentase karkas, banyaknya proporsi bagian karkas yang bernilai tinggi dan rasio antara daging dan tulang serta kadar lemak.
24 Soeparno (1998) mengatakan bahwa kualitas karkas dan daging sangat dipengaruhi oleh beberapa faktor, seperti genetik, jenis kelamin, umur dan pakan. Selain itu juga dalam proses penanganan pascapanen seperti proses pelayuan, proses pemasakan, pH karkas dan daging, lemak dan proses penyimpanan juga turut mempengaruhi. Sementara bagi kualitas daging seperti warna daging, keempukan, tekstur, aroma dan cita rasa turut juga berpengaruh terhadap daging yang dihasilkan. Perbandingan persentase karkas, otot dada, paha dan lemak dari itik Peking, Muscovy, dan persilangannya pada umur 12 minggu (Tabel 5). Tabel 5 Perbandingan kualitas karkas itik Peking, Muscovy dan persilangannya (jantan umur 12 minggu) Parameter Bobot hidup (Kg) Karkas(%) Otot dada(%) Otot paha (%) Lemak abdominal(%) Lemak subcutan (%)
Peking (P) 2776.0 60.6 10.8 15.4 2.3 6.1
Persilangan (P x M) 3102.0 61.8 14.1 15.9 1.2 3.9
Muscovy (M) 3753.0 62.6 13.7 17.0 2.9 4.3
Sumber : Leclercq dan de Carville (1985)
Matitaputty
(2002), melaporkan bahwa persentase karkas mandalung
yang dipelihara selama 10 minggu adalah sebesar 55.14% dengan bobot karkas 1101.2g dan bobot potong 1991.17g. Selanjutnya persentase daging dan tulang bagian dada masing-masing sebesar 79.77% daging : 20.23% tulang; paha atas sebesar 87.16% daging : 12.84% tulang dan paha bawah sebesar 78.09g daging : 21.91g tulang. Muryanto (2002) melaporkan bahwa persilangan ayam kampung dengan ayam ras petelur dengan umur pemotongan 12 minggu, menghasilkan bobot karkas dan persentase karkas masing-masing sebesar 757.3g dan 58.8%. Hasil yang diperoleh masih lebih rendah bila dibandingkan dengan mandalung yang memiliki bobot potong dan karkas yang tinggi dan umur pemotongan yang relatif pendek yakni 10 minggu. Retailleau (1999) dalam penelitiannya melihat produksi karkas itik jantan Alabio umur 10 minggu dan itik Peking jantan dan betina umur 8 minggu, menunjukkan bahwa produksi karkas itik jantan Alabio 60.69%, sedangkan itik Peking jantan 66.55% dan betina 67.26%. Hasil ini memperlihatkan produksi
25
karkas itik lokal lebih rendah dari itik Peking, karena pada itik Pekin sudah dilakukan pemuliaan khusus untuk produksi daging. Daging itik mempunyai konsumen yang masih rendah, karena kesukaan konsumen terhadap daging itik tidak seperti kesukaan terhadap daging ayam. Daging itik merupakan salah satu sumber protein hewani, karena memiliki kandungan protein dengan kualitas yang baik. Hal ini didukung oleh Jun et al. (1996), yang menyatakan bahwa kadar protein daging itik berkisar antara 18.6 – 19% dan kandungan lemak berkisar antara 2.7–6.8%. Damayanti (2003) melaporkan bahwa kandungan lemak daging dada dan paha itik lokal umur 8 minggu masing-masing sebesar 3.84% dan 8.47%, sedangkan kulit dada dan kulit paha berturut-turut sebesar 59.32% dan 52.67%. Hustiany (2001) dalam penelitiannya pada itik Jawa afkir (12 bulan) mendapatkan kandungan lemak daging dada itik betina dengan dan tanpa kulit masing-masing 9.46% dan 1.53%, sedangkan kandungan lemak daging pahanya dengan dan tanpa kulit masing-masing 12.21% dan 4.16%. Chartrin et al. 2006, melaporkan bahwa kandungan lemak daging dada itik pekin umur 14 minggu ialah sebesar 4.81%. Menurut Srigandono (1997), komposisi nutrisi daging itik tidak berbeda jauh bila dibandingkan dengan daging ayam. Kandungan protein daging itik sebesar 20.8% dan daging ayam sebesar 21.4%. Kandungan lemaknya adalah dua kali lebih tinggi dari daging ayam (8.2% vs 4.8%), tetapi kandungan tersebut masih jauh lebih rendah apabila dibandingkan dengan kandungan lemak ternak ruminansia seperti sapi (17%), domba (22.4%) dan babi (32%). Komposisi kimia daging unggas, selain spesies, bergantung pada umur, pakan, dan jenis kelamin. Kandungan abu, protein dan lemak daging itik pekin umur 6 minggu lebih rendah (P<0.01) daripada umur 7, 8, dan 9 minggu (Erisir et al. 2009). Demikian pula pada itik pekin A44, kandungan protein dan lemak pada umur 7 dan 8 minggu lebih rendah daripada umur 9 minggu (Witak 2007). Kandungan lemak pada daging unggas sangat bervariasi jumlahnya dan ditentukan oleh umur, jenis kelamin dan spesies unggas. Menurut Rukmiasih et al. (2010) semakin bertambahnya umur unggas, maka kadar lemak akan semakin tinggi. Perlemakan pada unggas sebagian besar menyebar di bawah kulit. Hal ini
26 dapat kita lihat pada unggas air seperti itik memiliki kulit yang tebal yang disebabkan karena penyebaran lemak di bawah kulit (lemak subkutan). Menurut Smith et al. (1993) daging itik sebagian besar mengandung serabut merah dan sebagian kecil mengandung serabut putih. Pada bagian dada itik, serabut merah sebanyak 84% dan serabut putih sebanyak 16%. Perbedaan macam serabut otot penyusun daging tersebut, akan berpengaruh pada komposisi daging, sifat biokimiawi dan karakteristik sensori serta nilai ekonomis. Daging yang sebagian besar terdiri atas serabut merah mempunyai kadar protein yang lebih rendah dan kadar lemak yang lebih tinggi dibandingkan dengan daging yang tersusun serabut putih (Soeparno 1998). Berdasarkan pengamatan histologi pada serabut otot itik dan entog, yang dilakukan Sudjatinah (1998), diketahui bahwa ukuran serabut otot dipengaruhi oleh jenis unggas. Pada umur yang sama, ukuran serabut otot itik lebih besar dibandingkan dengan entog. Namun menurut Anggraeni (1999) diameter serabut otot tidak hanya dipengaruhi oleh jenis unggas tetapi juga dipengaruhi oleh umur ternak. Semakin tua itik dan entog, diameter serabut ototnya semakin besar. Otot yang berdiameter kecil akan menghasilkan daging dengan penampilan yang halus dan empuk, sebaliknya otot yang semakin besar akan menghasilkan daging yang berpenampilan kasar dan liat. Penelitian yang berhubungan dengan pasca panen daging itik sudah banyak dilakukan. Abubakar (2007) melaporkan bahwa penyimpanan karkas itik selama lima jam pada suhu kamar dan suhu rendah (15º – 18ºC) tidak mempengaruhi keempukan daging itik. Daya ikat airnya terjadi peningkatan dalam tiga jam penyimpanan, tetapi pH nya semakin turun sejak jam pertama hingga jam keempat penyimpanan. Penelitian lain tentang pengaruh Curring dan pengasapan terhadap mutu dan cita rasa daging itik tua, hasilnya menunjukkan bahwa aroma tidak berbeda nyata sedangkan warna, keempukan dan rasa berbeda nyata. Daging itik curring paling disukai konsumen dengan kadar garam 3.86% dan kadar air 60.15%. Febriana (2006) melaporkan bahwa sifat organoleptik daging dan sosis dari itik yang mendapat tepung daun beluntas (Pluchea indica L) dalam pakan sebanyak 1% dan 2%, dapat menurunkan intensitas bau daging itik dan meningkatkan kesukaan
27
panelis terhadap sosis daging itik karena rasa dan tekstur sosis yang lembut. Nasution (2003) melaporkan bahwa penggunaan jeruk nipis dengan konsentrasi 1% memberikan mutu bakso itik yang lebih baik, akan tetapi dari segi penampilan warnanya kurang disukai konsumen. Sementara penelitian yang dilakukan Triyantini (1998) pada pembuatan dendeng itik menyatakan bahwa, dengan penambahan bumbu kunyit, jahe, sereh dan lengkuas, ternyata masih kurang disukai oleh konsumen. Flavor Daging Analisis sensori adalah suatu proses identifikasi, pengukuran ilmiah, analisis dan interpretasi atribut-atribut produk melalui lima pancaindra manusia; indra penglihatan, penciuman, pencicipan, peraba, dan pendengaran. Analisis sensori juga melibatkan suatu pengukuran yang dapat bersifat kualitatif maupun kuantitatif. Pengetahuan terhadap bau, rasa atau citarasa (flavor) menjadi penting karena diketahui bahwa kesukaan atau penerimaan manusia terhadap suatu bahan pangan bukan semata-mata ditentukan oleh nilai nutrisinya saja, akan tetapi sangat dipengaruhi pula oleh keberadaannya untuk menimbulkan rangsangan, sehingga menghasilkan suatu sensasi citarasa terhadap bahan pangan tersebut. Rangsangan cita rasa ini menjadi sangat penting dan yang paling umum dalam memberi pengaruh dan kesan awal ketika akan mengambil keputusan untuk mengkonsumsi atau tidak mengkonsumsi bahan pangan itu. Winarno (2008) mejelaskan bahwa citarasa bahan pangan sesungguhnya terdiri dari tiga komponen yaitu bau, rasa dan rangsangan mulut. Dalam hal bau lebih banyak sangkut pautnya dengan alat panca indra pencium. Pada umumnya bau yang diterima oleh hidung dan otak lebih banyak merupakan berbagai ramuan atau campuran empat bau utama yaitu harum, asam, tengik dan hangus. Rasa berbeda dengan bau dan lebih banyak melibatkan panca indra lidah. Penginderaan cecapan dapat dibagi menjadi empat cecapan utama yaitu asin, asam, manis dan pahit. Selain komponen citarasa, komponen rangsangan mulut juga penting, karena timbulnya perasaan seseorang setelah orang itu menelan makanan. Berdasarkan penjelasan di atas, dapat dikatakan bahwa flavor adalah kesan gabungan yang diterima oleh indera manusia, yang terdiri dari utamanya bau dan
28 rasa yang dipengaruhi pula oleh konsistensi (tekstur) dan akustik (bunyi bahan pangan sewaktu dikunyah) (Winarno 2008). Flavor didefinisikan sebagai sensasi kompleks yang dikomposisikan oleh citarasa, bau dan tekstur. Dari ketiga faktor ini, bau merupakan hal yang paling penting, jika tidak ada bau, maka satu atau empat sensasi teste utama lainnya (pahit, manis, asin atau asam) akan menjadi dominan. Hal ini didukung juga oleh Lawrie (1995) yang menyatakan bahwa flavor adalah sensasi yang kompleks; melibatkan bau dan rasa/taste, tekstur, suhu dan pH, dimana bau sangat berperan penting. Bau dan rasa paling sukar untuk didefinisikan secara objektif. Flavor termasuk salah satu sifat sensori penting yang dapat mempengaruhi daya terima (akseptabilitas) terhadap bahan pangan (Shahidi 1998). Menurut Winarno (2008) senyawa kimia yang berkontribusi pada flavor secara garis besar dipengaruhi oleh dua senyawa yaitu komponen volatil dan non volatil. Komponen volatil adalah komponen yang memberikan sensasi bau melalui reseptor pada hidung, memberikan top notes yang menguap dengan cepat. Komponen non volatil memberikan sensasi pada rasa yaitu asam, asin, manis dan pahit. Komponen ini tidak memberikan sensasi bau tetapi menjadi media untuk komponen volatil dan membantu menahan penguapan volatil. Pengaruh flavor terhadap penerimaan daging oleh konsumen sangat memegang peranan penting. Keputusan konsumen untuk memilih jenis daging sangat dipengaruhi oleh flavor daging tersebut, terlepas dari faktor-faktor lain seperti budaya dan ekonomi. Berdasarkan aturan atau norma-norma yang berlaku secara religi atau istiadat, konsumen dibatasi untuk tidak mengkonsumsi dagingdaging tertentu. Demikian juga dengan pertimbangan ekonomis, konsumen terpaksa harus memilih daging yang lebih terjangkau harganya. Flavor yang diinginkan dan dibentuk oleh daging akan diproduksi saat daging diolah atau dimasak. Pemanasan, selama proses pemasakan, akan terjadi pemecahan protein, lemak, gula, vitamin dan komponen lain yang satu sama lain karena adanya panas saling berinteraksi melalui reaksi pencoklatan Maillard dan menghasilkan flavor daging yang jelas. Proses memasak yang berbeda, juga akan memberikan profil flavor yang berbeda meskipun berasal dari tipe daging yang sama. Tipe dan jumlah komponen
29
flavor yang dihasilkan tergantung pada lama waktu dan metode memasak. Hal ini telah dibuktikan Ames (1990), yang memanaskan daging dalam air pada suhu 160ºC, telah diperoleh berbagai senyawa volatil yang enak dan khas daging (meaty), senyawa volatil yang dihasilkan tersebut akan meningkat dengan semakin meningkatnya suhu pemanasan. Sering dijumpai penyimpangan flavor pada daging sehingga menyebabkan timbulnya rasa dan aroma yang tidak enak dari biasanya, keadaan seperti ini sering disebut dengan istilah off-odor dan off-taint. Flavor tidak menyenangkan yang berasal dari bahan itu sendiri disebut off-odor, sedangkan taint adalah flavor tidak menyenangkan yang berasal dari luar bahan pangan (Kilcast 1996). Timbulnya off-flavor (odor) pada daging dapat mempengaruhi palatabilitas daging tersebut. Secara umum, penurunan kualitas pangan, khususnya daging adalah karena perubahan komponen lemak melalui proses oksidasi lemak atau reaksi hidrolitik (Hamilton 1983). Penyebab off-flavor pada daging biasanya disebabkan karena perbedaan genetik, pakan, perubahan kimia (oksidasi lemak), reaksi yang diinduksi oleh aktivitas mikrobiologi dan akibat pengolahan. Off-Flavor karena Faktor Perbedaan Genetik Sumbangan faktor genetik yang meliputi spesies dan jenis kelamin ternak terhadap sensasi bau daging merupakan faktor yang memberi karakteristik spesifik bagi setiap spesies ternak (MacLeod 1986). Secara genetik, setiap jenis daging mempunyai komposisi penyusun daging yang berbeda. Itik, angsa dan burung merpati memiliki warna daging yang lebih gelap dibandingkan dengan daging dari ayam maupun ternak unggas yang lain dimana warna dagingnya lebih terang dan lebih putih. Lawrie (1995) menjelaskan bahwa perbedaan warna daging pada kedua spesies unggas tersebut dikarenakan perbedaan kadar pigmen daging (myoglobin), pigmen darah (hemoglobin) dan komponen lain seperti protein, lemak, vitamin B12 dan flavin. Selanjutnya dikatakan pula bahwa kandungan myoglobin dan hemoglobin dalam daging dapat mempercepat laju oksidasi lemak yang dapat menyebabkan ketengikan dan off-flavor selama penyimpanan daging. Banyaknya
30 myoglobin ini bervariasi menurut spesies ternak, umur, jenis kelamin dan aktivitas fisik ternak. Menurut Apriyantono dan Indrawaty (1998), bahwa kandungan asam lemak yang berbeda pada setiap spesies unggas akan menghasilkan flavor yang berbeda pula. Contohnya pada ayam ras pedaging mempunyai kecenderungan untuk menghasilkan off-odor yang lebih besar, seperti bau tengik dibandingkan dengan ayam kampung. Begitu pula pada unggas air seperti itik Cihateup dan itik Alabio, hasil penelitian Randa (2007), menjelaskan bahwa itik Cihateup jantan memiliki tingkat bau amis yang cukup tinggi dibandingkan dengan itik Alabio jantan yang sangat lembut. Hal ini didukung juga oleh Apriyantono dan Lingganingrum (2001), bahwa perbedaan off-flavor dipengaruhi oleh jenis kelamin ternak. Off-Flavor karena Faktor Pakan Off-flavor/odor pada daging unggas sering dan mudah terjadi oleh karena pemberian pakan yang di dalamnya terdapat senyawa-senyawa yang berpotensi menghasilkan off-flavor/odor itu. Pemberian protein dan asam lemak yang tinggi dalam pakan dan banyak mengandung asam lemak tidak jenuh, akan mudah membentuk komponen volatil hasil degradasi lipid seperti heksanal, dekadienal dan dekanal.
Komponen-komponen volatil turunan lipid ini sangat berperan
untuk menghasilkan off-odor pada daging seperti bau tengik, langu, fatty, dan fishy. Dalam penelitian Randa (2007) tentang penggunaan jenis lemak yang berasal dari lemak kedelai, lemak sapi dan minyak kelapa dalam pakan itik, menyimpulkan bahwa pakan bersuplementasi minyak kelapa berpotensi menghasilkan intensitas off-odor yang tinggi pada daging ternak itik. Atribut offodor yang terdeteksi pada daging itik terdiri atas bau amis (fishy), berlemak (fatty), tengik (rancid), bau jamur (moldy), langu (beany) dan bau tanah (earthy). Dari keenam komponen off-odor ini bau fishy merupakan atribut yang paling tinggi intensitasnya. Dikatakan pula bahwa pemberian pakan bersuplementasi lemak sangat mempengaruhi konsentrasi kandungan lemak dan komposisi asamasam lemak, baik yang terdapat pada daging, kulit dan tungkir ternak itik.
31
Chartrin et al. (2006) mengevaluasi pengaruh taraf lemak intramuskular terhadap karakteristik sensori daging itik bagian dada dengan membandingkan breed itik (Muscovy, Peking dan hasil persilangan) dan taraf pemberian pakan (overfeeding
umur itik 12 dan 14 minggu vs pemberian pakan ad libitum),
kesimpulan yang diperoleh bahwa itik Muscovy menunjukkan bobot daging lebih tinggi dengan kadar lipid lebih rendah dibanding ke dua bangsa itik dalam percobaan. Sebaliknya, itik peking menunjukkan taraf
lipid tertinggi dengan
bobot daging paling rendah, dan nilai intermediet untuk bangsa itik persilangan. Otot dada itik Muscovy terlihat kurang merah, dibandingkan dengan itik lain. Sebaliknya, otot dada itik Muscovy menunjukkan tingkat juiciness, keempukan (tenderness), bau amis yang rendah dan rasa tertinggi untuk karakter stringiness. Otot dada itik persilangan menunjukkan nilai tertinggi untuk karakter warna merah (redness). Oleh sebab itu, dapat dikatakan bahwa faktor breed itik menunjukkan pengaruh yang lebih tinggi terhadap kualitas sensori otot daging dada dibandingkan faktor taraf pemberian pakan. Pada daging yang berwarna merah seperti daging itik, pengaruh senyawa hematin sangat penting karena pada daging tersebut banyak mengandung hemoglobin, mioglobin dan sitokrom yang merupakan katalis oksidasi lipid (Gray dan Crackel 1994). Dalam hemoglobin, myoglobin dan sitokrom terdapat senyawa-senyawa hematin yang berbentuk heme (Fe2+) dan hemin (Fe3+). Senyawa-senyawa ini dapat mempercepat proses oksidasi lemak. Oksidasi Lipid Asam lemak adalah asam alkanoat atau asam karboksilat. Asam lemak dibedakan menjadi asam lemak jenuh dan asam lemak tidak jenuh. Asam lemak jenuh hanya memiliki ikatan tunggal di antara atom-atom karbon penyusunnya sementara asam lemak tidak jenuh memiliki paling sedikit satu ikatan ganda di antara atom-atom karbon penyusunnya. Keberadaan ikatan ganda pada asam lemak tidak jenuh menjadikannya memiliki dua bentuk yakni cis dan trans. Bahan pangan seperti susu, minyak goreng, kelapa dan daging merupakan bahan pangan yang banyak mengandung lemak. Lemak-lemak ini terdiri dari asam lemak jenuh dan asam lemak tidak jenuh, seperti asam palmitat (C16:0),
32 asam stearat (C18:0), asam oleat (C18:1), asam linoleat (C18:2), asam linolenat (C18:3) dan asam-asam lemak lainnya. Oksidasi lipid merupakan reaksi utama perusak bahan pangan yang menyebabkan penurunan kualitas pangan secara nyata. Banyak faktor yang dapat menyebabkan atau mempengaruhi oksidasi lipid, ada yang mempercepat dan ada yang memperlambat. Asam lemak tidak jenuh, logam, enzim, serta panas merupakan faktor yang mempercepat oksidasi lipid. Proses oksidasi lipid terjadi melalui mekanisme radikal bebas, reaksi ini diawali dengan pelepasan sebuah atom H yang labil pada lemak dan menghasilkan radikal-radikal bebas lainnya. Reaksi ini dapat disebut sebagai reaksi otooksidasi. Mekanisme oksidasi lipid secara otooksidasi terhadap pembentukan radikal bebas terdiri atas tiga tahap yakni inisiasi, propagasi dan terminasi. a. Inisiasi Tahap inisiasi merupakan tahap terbentuknya radikal bebas (R) jika lipid atau asam lemak tidak jenuh (RH) terkena panas, cahaya atau logam dan tahapan ini terjadi pada atom C yang berdekatan dengan ikatan rangkap. Reaksi ini diawali ketika satu atom hidrogen labil diambil dari bagian lipid, dengan persamaan : RH
R + H
b. Propagasi Pada tahap propagasi ini, alkil radikal (R) akan bereaksi dengan oksigen membentuk radikal peroksi (ROO) dengan sangat cepat. Kemudian radikal peroksi akan bereaksi dengan asam lemak tidak jenuh membentuk hidroperoksida (ROOH) dengan sangat lambat, sedangkan radikal alkoksi (RO) akan bereaksi dengan asam lemak tidak jenuh membentuk aldehid.
R
+
O2
ROO
ROO +
RH
ROOH + H
RO
RH
ROH + R
+
33
Hidroperoksida yang terbentuk selanjutnya akan bereaksi lagi dengan inisiator membentuk radikal-radikal bebas secara terus menerus. c. Terminasi Tahap terminasi merupakan tahap akhir pada oksidasi lipid dan tahapan yang penting. Pada tahapan ini rangkaian propagasi dapat dihentikan/berhenti hal ini karena dua radikal berkombinasi menghasilkan produk yang tidak memberi kesempatan reaksi propagasi.
R
+
R
2R
R
+
ROO
ROOR
ROO +
ROO
ROOR + O2
Mottram (1991) menyebutkan bahwa lipid menghasilkan senyawasenyawa volatil yang memberikan sensasi flavor karakteristik dari setiap spesies ternak yang berbeda. Hal ini didukung Shahidi (1998) bahwa setiap ternak memiliki flavor daging yang berbeda, umumnya diyakini berasal dari sumbersumber lipid. Selain itu, ada keterlibatan komponen lain yang saling berinteraksi dengan lipid, yang turut mempengaruhi flavor daging tersebut. Senyawa aldehid alifatik merupakan senyawa volatil yang paling penting menghasilkan senyawa-senyawa yang berkontribusi untuk menghasilkan bau yang tidak sedap atau tidak menyenangkan dan off-flavor pada bahan pangan. Daging yang lebih banyak mengandung lemak biasanya mempunyai kecenderungan untuk menghasilkan off-flavor yang lebih besar, seperti bau tengik, karena daging banyak mengandung asam lemak tidak jenuh yang lebih besar dan mudah teroksidasi. Senyawa aldehid alifatik dihasilkan dari proses otooksidasi asam lemak tidak jenuh, terutama asam oleat, asam linoleat, asam linolenat, dan asam arakhidonat (Kochhar 1996). Senyawa aldehid yang paling berperan untuk menghasilkan senyawa off-odor pada daging adalah heksanal. Shahidi dan Pegg (1994) menyatakan bahwa heksanal merupakan indikator kerusakan flavor pada daging dan menjadi indikator telah terjadi proses oksidasi lipid pada daging.
34 Walaupun begitu senyawa-senyawa aldehid yang lain juga berperan untuk menghasilkan off-odor pada daging. Analisis Sensori Analisis sensori adalah suatu analisis yang digunakan untuk menentukan perbedaan, karakteristik, serta ukuran sensori suatu produk, atau digunakan untuk membedakan produk tersebut dapat diterima oleh konsumen. Metode ini dilakukan dengan melibatkan sejumlah orang (panelis) yang mampu mendeteksi dan mendeskripsi atribut sensori yang diuji. Beberapa atribut sensori pada produk pangan yang umumnya dikenal antara lain kenampakan, bau/odor, konsistensi dan tekstur serta flavor (aroma, rasa). Di dalam rangkaian persepsi, beberapa bahkan semua atribut saling overlap atau saling mempengaruhi satu sama lain. Tanpa adanya latihan atau training, maka panelis akan bingung dan tidak dapat melakukan pengujian masing-masing atribut secara independen. Pengujian sensori adalah metoda pengujian yang sangat tergantung pada indra manusia, sebagai instrumen penguji. Pada hal seperti diketahui ketajaman indra manusia sangat dipengaruhi banyak variabel yang sulit untuk dikontrol karena melibatkan proses fisiologis dan psikologis, hal ini didukung oleh Reineccius (1994), yang menyatakan bahwa pada prinsipnya sistem analisis sensori mencakup faktor fisiologis dan psikologis. Faktor fisiologis yang mempengaruhi pengujian antara lain adalah: 1) adaptasi, adalah penurunan atau perubahan sensifitas dari rangsangan yang diberikan sebagai akibat ekspos yang terus menerus dengan sampel yang sama; 2) peningkatan dan penekanan intensitas, bisa terjadi karena interaksi dari beberapa senyawa yang ada dalam produk pangan. Campuran dua senyawa bisa menimbulkan beberapa alternatif perubahan intensitas. Faktor psikologis berupa : 1) expectation error, informasi yang diberikan terhadap sampel akan menyebabkan perubahan pemikiran orang. Dengan informasi yang terlalu detail, orang sudah punya gambaran dan harapan terhadap karakteristik yang diuji; 2) error of habituation, jenis kesalahan ini terjadi karena ekspos terhadap sampel
35
yang sama dalam jangka waktu yang lama; 3) stimulus error, disebabkan ketika kriteria yang tidak relevan teramati pada saat pengujian, misalnya bentuk dan warna wadah; 4) logical error, ini terjadi ketika dua atau lebih karakteristik sampel berasosiasi di dalam pikiran panelis; 5) halo effect, ketika lebih dari satu atribut sensori yang diuji, maka biasanya satu sama lain akan saling mempenagruhi, misalnya dalam satu kali pengujian dilakukan penilaian terhadap intensitas atau rating dari flavor dengan penerimaan secara keseluruhan, maka hasilnya akan berbeda jika pengujian di lakukan secara terpisah. Menurut Meilgaard et al. (1999) banyak variabel yang harus dikontrol dalam melakukan evaluasi sensori, dengan maksud untuk mendapatkan perbedaan nyata antara sampel yang akan diukur. Variabel tersebut antara lain : 1) pengontrolan terhadap proses pengujian yang meliputi lingkungan, tempat pengujian, penggunaan booth atau meja diskusi, pencahayaan, sistem ventilasi udara, ruang persiapan, pintu masuk dan keluar; 2) pengontrolan produk meliputi penggunaan peralatan, cara penyiapan, pemberian kode, dan cara penyajian; 3) pengontrolan terhadap panel meliputi prosedur yang digunakan oleh panelis dalam mengevaluasi sampel. a. Metode Pengujian Sensori Seiring dengan perkembangan ilmu pengetahuan menyangkut pangan yang berkualitas, maka muncul berbagai jenis metoda baru dalam pengujian sensori. Beberapa jenis metode pengujian sensori menurut Rahayu (2001) sebagai berikut : 1. Uji pembedaan mencakup : a) uji pembedaan pasangan, b) uji pembedaan segitiga, c) uji pembedaan duo trio, d) uji pembedaan pembanding ganda, e) uji pembedaan pembanding jamak, f) uji pembedaan rangsangan tunggal, g) uji pembedaan pasangan jamak dan pembedaan monadik. 2. Uji hedonik mencakup : a) uji hedonik dan b) uji mutu hedonik. 3. Uji skalar mencakup : a) uji skalar garis, b) uji skoring, c) uji pembandingan pasangan, d) uji pembandingan jamak dan e) uji penjenjangan/rangking. 4. Uji deskriptif
36 5. Aplikasi uji mencakup : a) uji ambang rangsangan, b) uji penentuan derajat kemanisan larutan, c) uji keterendalan panelis I, d) uji keterandalan panelis II, e) uji korelasi, f) uji subjektif dan g) uji objektif serta uji korelasi kepulenan nasi dengan harga beras. Dalam melaksanakan penilaian sensori diperlukan panel. Panel bertindak sebagai instrumen atau alat dan orang yang menjadi anggota panel disebut panelis. Dalam penilaian sensori dikenal tujuh macam panel, yaitu panel perseorangan, panel terbatas, panel terlatih, panel agak terlatih, panel tidak terlatih, panel konsumen, dan panel anak-anak. Menurut Rahayu (2001) dalam mendapatkan panel yang diinginkan, khususnya jenis panel terlatih perlu dilakukan tahap-tahap seleksi. Persyaratan umum untuk menjadi panelis adalah mempunyai perhatian dan minat terhadap pekerjaan, harus dapat menyediakan waktu khusus untuk penilaian serta mempunyai kepekaan yang dibutuhkan. Tahap-tahap seleksi meliputi : 1.
Wawancara Wawancara dapat dilaksanakan dengan tanya jawab atau kuesioner yang bertujuan untuk mengetahui latar belakang calon termasuk kondisi kesehatan.
2.
Tahap penyaringan Tahap ini perlu dilakukan untuk mengetahui keseriusan, keterbukaan, kejujuran dan rasa percaya diri. Selain itu, dapat di nilai kepekaan umum dan khusus serta pengetahuan umum calon panelis.
3.
Tahap pemilihan Pada tahap ini dilakukan beberapa uji sensori untuk mengetahui kemampuan seseorang. Dengan uji-uji ini diharapkan dapat terjaring informasi mengenai kepekaan dan pengetahuan mengenai komoditi bahan yang diujikan.
4.
Tahap latihan Latihan bertujuan untuk pengenalan lebih lanjut sifat-sifat sensori sesuatu komoditi dan meningkatkan kepekaan serta konsistensi penilaian. Lama dan intensitas latihan sangat tergantung pada jenis analisis dan jenis komoditi yang diuji.
37
5.
Uji kemampuan Setelah mendapat latihan yang cukup baik, panelis diuji kemampuannya terhadap standar atau baku tertentu dan dilakukan berulang-ulang sehingga kepekaan dan konsistensinya bertambah baik. Setelah melewati kelima tahapan tersebut di atas maka panelis siap menjadi anggota panelis terlatih. Beberapa tahapan yang perlu dipertimbangkan dalam evaluasi sensori
menurut Meilgaard et al. (1999) yaitu menentukan tujuan dari kegiatan/proyek, menentukan tujuan dari tes yang dipilih, menyeleksi sampel yang akan diuji, mendesain suatu tes, melaksanakan tes, menganalisa data dan menginterpretasi serta melaporkan data yang diterima. b. Metode Uji Deskriptif Uji deskriptif menurut Meilgaard et al. (1999) adalah metoda yang melibatkan deteksi (diskriminasi) dan deskripsi antara aspek sensori kualitatif dan kuantitatif
dari
produk
dengan
menggunakan
panelis
terlatih.
Dalam
pengembangan analisis sensori, dengan menggunakan analisis deskriptif, ada beberapa metode yang sering digunakan seperti: the flavor profile method, the texture profile method, QDA method, the spectrumTM descriptive analysis method, time-intensity descriptive analysis, dan free-choice profiling. Pengembangan metode QDA melibatkan beberapa pertimbangan yaitu bahwa metode ini bisa digunakan untuk menilai semua sifat sensori produk, pengujian bergantung pada jumlah subjek yang terbatas, subjek dikualifikasi terlebih dahulu sebelum ikut berpartisipasi, subjek dapat mengevaluasi berbagai macam produk pada individual booth, proses pengembangan istilah bebas dari pengaruh panel leader, pengujian bersifat kualitatif dan dilakukan dengan pengulangan, data yang didapatkan dapat dianalisis dengan sistem analisis statistik yang umum digunakan. Panelis yang digunakan harus dipilih secara hati-hati, dilatih dan dipertahankan
kemampuannya
dibawah
pengawasan
supervisor
yang
berpengalaman (Apriyantono & Wijaya 2006). Panelis dipilih dari jumlah calon yang ikut dan mempunyai kemampuan dalam membedakan produk yang spesifik, yang sebelumnya telah dilatih. Panelis perlu dilatih untuk dapat membedakan suatu kandungan produk . Pemimpin panel bertindak sebagai fasilitator, bukan
38 sebagai seorang instruktur, dan menahan diri untuk mempengaruhi kelompok. Perhatian diberikan kepada panelis untuk mengembangkan terminologi/istilah yang konsisten, tapi panelis bebas untuk mengembangkan pendekatan mereka sendiri, dengan menggunakan skala garis 15 cm yang disediakan dalam metode. Panelis tidak mendiskusikan data, istilah, atau sampel setelah setiap sesi eksperimental dan harus bergantung pada kebijaksanaan pemimpin panel untuk informasi mengenai kinerja mereka dibandingkan dengan anggota lain dari panel dan untuk apapun yang diketahui perbedaan antara sampel (Meilgaard et al. 1999). Hasil dari QDA dianalisa secara statistik, salah satu teknik statistik yang sangat bermanfaat adalah principal component analysis (PCA), sebuah metode analisis multivariat yang dapat digunakan untuk memperlihatkan kelompok jenis sampel yang sama yang didasarkan pada pengukuran atribut sensori kuantitatif. Selanjutnya hasil uji statistik disajikan dalam bentuk berbagai jenis format grafik untuk menginterpretasikan hasil. Grafik yang umumnya digunakan sebagai representasi data dalam bentuk spider web dengan suatu cabang dari satu titik pusat untuk tiap-tiap atrbut (Meilgaard et al. 1999) c. Metode Uji Hedonik Uji hedonik atau uji kesukaan merupakan salah satu jenis uji penerimaan (acceptance). Dalam uji ini panelis diminta untuk mengungkapkan tanggapan pribadinya tentang kesukaan atau sebaliknya. Disamping itu panelis juga mengemukakan tingkat kesukaan/ketidaksukaan. Tingkat-tingkat kesukaan ini disebut sebagai skala hedonik, misalnya amat sangat suka, sangat suka, suka, agak suka, netral, agak tidak suka, tidak suka, sangat tidak suka dan amat sangat tidak suka. Analisis ditransformasikan menjadi skala numerik dengan angka menaik menurut tingkat kesukaan. Skala hedonik dapat direntangkan atau diciutkan menurut skala yang dikehendaki. Kategori skala yang umum digunakan adalah skala 5, 7 atau 9.
PERFORMA REPRODUKSI DAN NILAI HETEROSIS ITIK ALABIO, CIHATEUP DAN HASIL PERSILANGANNYA
Pendahuluan Ternak itik yang ada di masyarakat merupakan aset nasional yang potensial untuk dikembangkan sebagai salah satu sumber protein hewani masyarakat Indonesia. Protein hewani utama yang dihasilkan ternak itik berupa telur dan daging. Namun pada kenyataannya keragaman dalam produktivitas itik lokal sangat tinggi, karena itik-itik yang memiliki kesempatan berproduksi tinggi dengan yang rendah di tangan peternak mendapat kesempatan yang sama untuk berkembang biak (Hardjosworo et al. 2001). Beberapa upaya untuk memperbaiki produktivitas itik lokal yang rendah dan beragam, dapat dilakukan dengan perbaikan pakan, manajemen, dan perbaikan genetik. Pendekatan perbaikan secara genetik merupakan salah satu upaya yang dapat dilakukan untuk memperbaiki produktivitas itik di lapangan, karena perbaikan secara genetik cenderung memberikan dampak yang lebih permanen (Hardjosworo et al. 2001; Prasetyo et al. 2005). Program seleksi dan persilangan pada dasarnya bertujuan untuk menghasilkan ternak yang seragam dan memiliki keunggulan pada sifat-sifat tertentu yang dikehendaki. Biasanya tujuan tersebut untuk memperbaiki sifat-sifat kualitatif maupun kuantitatif ternak yang bersifat ekonomis. Pada industri perunggasan khususnya penetasan dan pembibitan, aspek yang dianggap berpengaruh besar terhadap kemajuan usahanya adalah sifat-sifat reproduksi ternak yang dipelihara. Sifat-sifat reproduksi yang dimaksud antara lain fertilitas, daya tetas, kematian embrio dan nisbah kelamin. Proses penetasan merupakan salah satu mata rantai produksi ternak unggas yang sangat menentukan keberhasilan pengembangan usaha produksi unggas air. Telur itik sering mengalami kegagalan menetas dibandingkan dengan telur ayam pada saat di inkubasi dalam mesin tetas. Faktor penting yang dapat menyebabkan telur mengalami kegagalan menetas antara lain adalah temperatur dan kelembaban. Penelitian yang berhubungan dengan tingkat fertilitas, daya tetas, kematian embrio dan nisbah kelamin pada beberapa jenis itik lokal di
40 Indonesia, telah dilakukan beberapa peneliti sebelumnya. Pada dasarnya mereka menggunakan teknik perkawinan secara alami maupun melalui inseminasi buatan (IB), untuk melihat hubungan antara faktor genetik dengan lingkungan penetasan terhadap tingkat fertilitas, daya tetas, kematian embrio dan nisbah jenis kelamin yang sangat berpengaruh terhadap keberhasilan untuk menghasilkan anak itik (ducklings) sebanyak mungkin. Persilangan antar ternak yang hubungan kekerabatannya jauh, akan menimbulkan efek komplementaritas dari kedua tetua pada hasil persilangannya yang disebut hybrid vigor. Penelitian ini diharapkan, menghasilkan jenis itik keturunan F1 yang memiliki sifat-sifat reproduksi yang lebih baik dari tetua murninya dan menguntungkan. Pada penelitian ini dilakukan persilangan timbal balik antara itik Alabio dengan Cihateup, untuk melihat sifat-sifat reproduksi seperti fertilitas, daya tetas telur, kematian embrio dan nisbah kelamin (jantan : betina).
Materi dan Metode Penelitian Waktu dan Tempat Pelaksanaan penelitian berlangsung selama empat bulan, yaitu pada bulan September sampai Desember 2010. Penetasan telur itik AA [Alabio ♂ x Alabio ♀], CC [Cihateup ♂ x Cihateup ♀], AC [Alabio ♂ x Cihateup ♀] dan CA [Cihateup ♂ x Alabio ♀] dilakukan di Balai Penelitian Ternak Ciawi, Bogor.
Materi Penelitian Dalam penelitian ini digunakan itik Cihateup dan itik Alabio sebagai foundation stock. Ternak itik Alabio yang digunakan berasal dari Kalimantan Selatan sebanyak 50 ekor (10 jantan : 40 betina) dan itik Cihateup yang berasal dari Jawa Barat sebanyak 50 ekor (10 jantan : 40 betina). Mesin tetas yang digunakan adalah Multiplo Electric Incubator manual buatan Australia dengan kapasitas 10 trays, dalam setiap tray dapat menampung 112 butir telur. Jumlah telur tetas masing-masing jenis itik adalah 352 butir dari itik CC; 241 butir itik AA; 258 butir itik AC dan 437 butir itik CA. Peralatan lain yang digunakan
41
adalah timbangan digital merk O’haus berkapasitas 5 kg, jangka sorong dan teropong telur.
Tetua
A♂A♀
C♂C♀
A♂C♀
C♂A♀
Telur tetas AA
Telur tetas CC
Telur tetas AC
Telur tetas CA
AC
Metode Penelitian Itik Alabio dan itik Cihateup dipelihara masing-masing pada kandang koloni dimana jantan dan betina dijadikan satu. Kedua jenis itik ini dipelihara sampai umur bertelur. Perkawinan sesama itik Alabio♂ x Alabio♀ (AA); Cihateup♂ x Cihateup♀ (CC) dan persilangan Alabio♂ x Cihateup♀ (AC); Cihatep♂ x Alabio♀ (CA) dilakukan secara alami. Telur yang dihasilkan dari masing-masing jenis itik dikumpulkan dan diseleksi untuk ditetaskan.
Telur
dikumpulkan setiap pagi, dan dilap/dicuci dengan air hangat sebelum ditimbang. Jumlah telur yang dikumpulkan untuk ditetaskan dari setiap jenis itik sebelum masuk mesin tetas, difumigasi terlebih dahulu dengan serbuk KMNO4 ditambah formalin dan dimasukkan kedalam kotak fumigasi selama 15 menit. Suhu dan kelembaban mesin tetas disesuaikan dengan periode penetasan, yaitu periode setter dengan suhu 38-39ºC dan kelembaban relatif (RH) 65-66% dan periode hatcher dengan suhu yang lebih rendah 36ºC dan RH sekitar 85-87%. Selama periode setter dilakukan pembasahan telur dengan menggunakan kain basah untuk menjaga kelembaban agar seimbang. Pada hari ke 5, 10 dan ke 25 sejak masuk mesin tetas, dilakukan candling. Candling pertama dilakukan pada hari ke 5 untuk melihat telur yang kosong dan fertil, candling ke dua pada hari ke 10 untuk melihat embrio yang hidup dan mati. Pada hari ke 25 telur tetas dipindahkan ke bagian penetasan (hatching) sampai dengan hari ke 28 dimana telur sudah menetas. Telur yang menetas di hitung jumlahnya untuk menentukan
42 daya tetas telur (hatchability). Setelah menetas dilakukan sexing untuk memisahan DOD (Day Old Duck) jantan dan betina. Rancangan Statistik Rancangan statistik yang digunakan pada penelitian tahap pertama ini adalah Rancangan Acak Kelompok (RAK), dengan empat perlakuan berupa jenis itik yakni AA, CC, AC dan itik CA dan empat ulangan berupa periode penetasan. Data yang diperoleh dianalisis secara statistik dengan menggunakan analysis of variance (Anova), dilanjutkan dengan uji Duncan (Steel dan Torrie 1993). Model statistik adalah sebagai berikut : Yij = µ + αi + βj + εij Keterangan: Yij µ αi βj εij
= nilai pengamatan perlakuan ke-i dan ulangan ke-j = rataan umum = pengaruh jenis itik =
Pengaruh periode penetasan ke - j
= pengaruh acak pada perlakuan ke-i ulangan ke-j Keunggulan rataan keturunan kawin silang (F1) terhadap tetuanya,
digambarkan dalam heterosis (Noor 2008).
% Heterosis CA =
x 100%
% Heterosis AC =
x 100%
Keterangan AA CC AC CA
: Perkawinan sesama galur itik Alabio : Perkawinan sesama galur itik Cihateup : Persilangan antara itik Alabio jantan dengan Cihateup betina : Persilangan antara itik Cihateup jantan dengan Alabio betina
43
Peubah Peubah yang diamati meliputi : a. Fertilitas, dihitung berdasarkan persentase jumlah telur yang fertil dari jumlah semua telur yang ditetaskan. b. Daya Tetas, dihitung berdasarkan persentase jumlah telur yang menetas dari jumlah telur yang fertil. c. Kematian Embrio, dihitung berdasarkan persentase jumlah telur yang dinyatakan mati pada candling ke dua dibagi jumlah telur yang fertil. d. Nisbah Jantan, dihitung berdasarkan persentase jumlah jantan yang menetas dari jumlah seluruh DOD yang menetas. e. Nisbah Betina, dihitung berdasarkan persentase jumlah betina yang menetas dari jumlah seluruh DOD yang menetas.
(a)
(d)
(b)
(c)
(e)
(f)
Gambar 7 Proses penetasan telur itik : (a) seleksi telur tetas; (b) fumigasi; (c) periode setter; (d) candling; (e) periode hatcher; (f) sexing
44 Hasil dan Pembahasan Performa reproduksi dari keempat jenis itik AA, CC, CA dan AC dalam penelitian ini meliputi : fertilitas, daya tetas, kematian embrio dan nisbah kelamin. Fertilitas Persentase fertilitas diperoleh dari jumlah telur yang fertil dibagi dengan jumlah telur yang dieramkan dikali 100%.
Hasil fertilitas telur tetas dari
penelitian ini dapat dilihat pada Tabel 6, dengan tingkat fertilitas berkisar antara 93.85 – 95.61%. Itik tetua AA menghasilkan rataan fertilitas 95.61% dari total telur yang masuk ke inkubator dan CC sebesar 94.88%. Itik persilangan AC dan CA memperlihatkan tingkat fertilitas yang juga sangat baik,
itik AC
menghasilkan rataan tingkat fertilitas sebesar 93.85%, sedangkan itik CA sebesar 95.19%. Tabel 6 Persentase fertilitas telur itik AA, CC, AC dan itik CA
AA
Fertilitas (%) x ± sd2 95.61a ± 2.99
CC
94.88a ± 3.43
AC
93.85a ± 2.69
CA
95.19a ± 1.99
Jenis Itik1
1
Jenis itik : AA (Alabio ♂ x Alabio ♀); CC (Cihateup ♂ x Cihateup ♀); AC (Alabio ♂ x Cihateup ♀); CA (Cihateup ♂ x Alabio ♀) a-c Superskrip huruf yang sama dalam lajur yang sama menyatakan tidak berbeda nyata (P>0.05) 2 sd: Standar deviasi
Persentase fertilitas secara keseluruhan menunjukkan persentase yang sangat tinggi di atas 90%. Hal ini menunjukkan bahwa sistem pemeliharaan dan kawin secara alami dengan perbandingan jantan dan betina (1 : 4) berpengaruh sangat baik terhadap tingkat fertilitas telur tetas yang dihasilkan. Selain itu umur itik yang berumur 9 bulan sehingga telurnya sangat baik untuk ditetaskan. Fertilitas dipengaruhi oleh faktor kebakaan/pewarisan seperti bangsa dan galur, juga faktor lingkungan dan faktor-faktor manajemen (Gunawan 1988). Tingginya tingkat fertilitas yang diperoleh pada penelitian ini didukung dengan kondisi lingkungan yang cukup baik antara lain nutrisi ransum itik yang
45
berkualitas, rasio jantan betina yang digunakan dan juga manajemen terhadap telur tetas sebelum masuk mesin penetasan. Daya Tetas Daya tetas adalah persentase telur yang menetas terhadap jumlah telur yang fertil. Hasil persentase daya tetas dari penelitian ini dapat dilihat pada Tabel 7. Hasil analisis statistik menjelaskan bahwa terdapat perbedaan pada daya tetas telur antar jenis itik dalam penelitian ini. Persentase daya tetas telur pada penelitian ini berkisar antara 30.48% (rendah) sampai dengan 61.00% (tinggi). Itik persilangan CA menghasilkan persentase daya tetas (61.00%) lebih tinggi (P<0.05) dibandingkan dengan persilangan AC yang hanya (41.93%), sementara itik tetua murni hanya AA (46.47%), dan CC (30.48%) sangat rendah. Tabel 7 Persentase daya tetas telur itik AA, CC, AC dan itik CA AA
Daya Tetas (%) x ± sd2 46.47b ± 8.03
CC
30.48c ± 4.88
AC
41.93b ± 4.12
CA
61.00a ± 3.88
Jenis Itik1
1)
Jenis itik : AA (Alabio ♂ x Alabio ♀); CC (Cihateup ♂ x Cihateup ♀); AC (Alabio ♂ x Cihateup ♀); CA (Cihateup ♂ x Alabio ♀) a-c Superskrip huruf yang berbeda dalam lajur yang sama menyatakan perbedaan yang nyata (P<0.05) 2 sd : Standar deviasi
Persentase daya tetas telur itik AC dan AA secara statistik tidak berbeda, namun berbeda (P<0.05) dengan itik CC. Manfaat dari persilangan timbal balik antara Cihateup jantan dengan Alabio betina (CA) terlihat adanya fenomena heterosis sebesar 58.55% pada sifat daya tetas yang tinggi apabila dibandingkan dengan itik persilangan Alabio jantan dengan Cihateup betina (AC) yang hanya menghasilkan heterosis sebesar 8.98%. Nilai persentase heterosis terhadap daya tetas dari kedua itik persilangan ini, di atas rata-rata daya tetas tetua murni AA dan itik CC. Lasmini et al. (1992) melaporkan bahwa tinggi rendahnya daya tetas tergantung kualitas telur tetas, sarana penetas, keterampilan pelaksana dan kualitas mesin tetasnya. Kemampuan embrio untuk tetap bertahan sampai menetas
46 karena pengaruh faktor genetik, karena adanya kontribusi gen yang diwariskan oleh tetuanya dan juga kondisi lingkungan dalam mesin penetasan yang mendukung. Kematian Embrio Daya ketahanan hidup dari embrio tergantung pada lingkungan mikro dan makro serta komponen didalamnya. Lingkungan makro dari telur tetas seperti faktor suhu, kelembaban ataupun manajemennya.
Hasil persentase kematian
embrio dari keempat jenis itik dapat dilihat pada Tabel 8. Berdasarkan Tabel 8 terlihat bahwa jenis itik dalam penelitian ini berpengaruh terhadap kematian embrio yang dihasilkan. Kematian embrio tertinggi diperoleh pada kelompok jenis itik CC (69.52%), sementara pada itik AC (58.07%), itik AA (53.53%) dan yang terendah adalah pada itik CA (39.00%). Tabel 8 Persentase kematian embrio itik AA, CC, AC dan itik CA AA
Kematian Embrio (%) x ± sd2 53.53b ± 8.03
CC
69.52a ± 4.88
AC
58.07b ± 4.12
CA
39.00c ± 3.88
Jenis Itik1
1)
Jenis itik : AA (Alabio ♂ x Alabio ♀); CC (Cihateup ♂ x Cihateup ♀); AC (Alabio ♂ x Cihateup ♀); CA (Cihateup ♂ x Alabio ♀) a-c Superskrip huruf yang berbeda dalam lajur yang sama menyatakan perbedaan yang nyata (P<0.05) 2 sd : Standar deviasi
Hasil analisis statistik menunjukkan bahwa persentase kematian embrio itik AA dan itik AC tidak berbeda, tetapi berbeda dengan itik CC (P<0.05), sementara kematian embrio itik CA dengan ketiga jenis itik CC, AA dan itik AC berbeda (P<0.05). Tingginya tingkat kematian embrio pada itik Cihateup kemungkinan dapat disebabkan karena itik Cihateup belum pernah dilakukan seleksi oleh masyarakat di Jawa Barat, dan juga karena populasinya sedikit, untuk itu diperlukan adanya perbaikan dalam produktivitasnya. Sementara pada itik Alabio secara tidak langsung masyarakat sudah melakukan seleksi dengan melakukan berbagai bentuk unit-unit usaha baik itu unit usaha produksi telur, perbibitan, penetasan yang pada dasarnya memperhatikan kualitas dari itik
47
tersebut. Hal ini membuktikan bahwa persilangan dengan tetua jantan Cihateup dan betina Alabio (CA) dapat memberikan manfaat efek heterosis yang baik terhadap penurunan tingkat kematian embrio, dibandingkan dengan itik persilangan AC maupun perkawinan sesama Alabio dan sesama Cihateup. Disini jelas terlihat peran dari induk tetua Alabio yang besar terhadap tingkat kematian embrio dari hasil persilangan, yakni pada itik persilangan CA. Harun et al. (2001) menyatakan bahwa tingginya tingkat kematian embrio disebabkan variasi ukuran telur yang ditetaskan, sehingga menimbulkan perbedaan dalam laju metabolisme embrio, dan juga perbedaan evaporasi telur dalam mesin tetas. Setioko (2005), mengatakan bahwa kematian embrio umumnya terjadi di awal penetasan dan disebabkan oleh kondisi dan lamanya penyimpanan telur, urutan clutch, sperma jantan dan umur induk betina. Nisbah Kelamin Nisbah kelamin dapat diartikan sebagai besarnya persentase masingmasing jantan dan betina saat menetas. Pada unggas, ternak jantan memiliki kromosom ZZ (homogametik), sedangkan betina memiliki kromosom ZW (heterogametik) (Noor 2008). Penentuan nisbah kelamin pada penelitian ini dilakukan saat itik menetas, dengan melakukan sexing, untuk memisahkan jantan dan betina. Perbandingan jantan dan betina hasil tetas keempat jenis itik AA, CC, AC dan CA dapat dilihat pada Tabel 9. Hasil analisis statistik menunjukkan bahwa nisbah kelamin baik jantan maupun betina antar jenis itik tidak berbeda nyata. Tabel 9 Persentase nisbah kelamin itik AA, CC, AC dan itik CA
AA
Nisbah Kelamin(%) Jantan Betina x ± sd2 x ± sd2 a 55.06 ± 8.60 44.94a ± 8.60
CC
50.49a ± 3.91
49.51a ± 3.91
AC
40.41a ± 6.62
59.59a ± 6.62
CA
49.29a ± 8.29
50.71a ± 8.29
Jenis Itik1
1
Jenis itik : AA (Alabio ♂ x Alabio ♀); CC (Cihateup ♂ x Cihateup ♀); AC (Alabio ♂ x Cihateup ♀); CA (Cihateup ♂ x Alabio ♀) a-c Superskrip huruf yang sama dalam lajur yang sama menyatakan tidak berbeda nyata (P>0.05) 2 sd : Standar deviasi
48 Persentase Heterosis Pada Tabel 10, disajikan nilai persentase heterosis itik persilangan AC dan itik CA untuk peubah yang diamati antara lain fertilitas, daya tetas dan kematian embrio. Besarnya nilai heterosis itik persilangan AC berkisar antara -5.62% - 8.99%, nilai persentase heterosis tertinggi diperoleh pada sifat daya tetas yakni 8.99%, sementara tingkat fertilitas sebesar -1.46%. Heterosis negatif 5.62% untuk sifat kematian embrio bukan berarti menunjukkan kejelekan, malahan sebaliknya menunjukkan keunggulan karena itik persilangan AC dapat menghasilkan DOD yang mati lebih sedikit. Sementara itik persilangan CA, memiliki nilai persentase heterosis berkisar antara -36.62% - 58.55%. Nilai heterosis tertinggi diperoleh pada sifat daya tetas telur sebesar 58.55%, sedangkan tingkat fertilitas -0.05% yang berarti itik persilangan CA memiliki tingkat fertilitas yang sama dengan tetua murni. Sementara nilai heterosis negatif 36.62% untuk tingkat kematian embrio merupakan keunggulan tertinggi yang dimiliki, karena itik persilangan CA dapat menghasilkan DOD hidup yang lebih banyak dan memperkecil DOD yang mati saat dalam proses penetasan. Tabel 10 Nilai persentase heterosis fertilitas, daya tetas dan kematian embrio itik persilangan AC dan itik CA Persentase Heterosis Jenis itik1
Sifat yang diamati Fertilitas Daya Tetas Kematian embrio
AC -1.46 8.99
CA -0.05 58.55
-5.62
-36.62
1
Jenis itik : AC (Alabio ♂ x Cihateup ♀); CA (Cihateup ♂ x Alabio ♀)
Nilai persentase heterosis yang dimiliki kedua itik hasil persilangan AC dan CA dapat menggambarkan keunggulan dari masing-masing persilangan, dibandingkan dengan tetua murni. Besarnya nilai heterosis untuk sifat daya tetas dan kematian embrio yang dimiliki itik persilangan CA, diduga adanya maternal efek dari itik Alabio lebih kuat. Sementara itik persilangan AC dengan induk tetuanya itik Cihateup memiliki tingkat heterosis untuk sifat daya tetas dan kematian embrio yang rendah, diduga maternal efek yang ditimbulkan induk Cihateup tidak sebaik jika induknya Alabio.
49
Pada Tabel 11 menunjukkan urutan terbaik berdasarkan nilai rataan untuk sifat-sifat reproduksi keempat jenis itik AA, CC, AC dan itik CA, yang dipelihara selama delapan minggu. Tabel 11 Urutan berdasarkan nilai rataan yang tertinggi dan terendah untuk sifat-sifat yang diamati. Sifat yg diamati Fertilitas Daya Tetas Kematian Embrio
1 AA CA CA
Urutan Jenis Itik 2 3 CA CC AA AC AA AC
4 AC CC CC
Keempat jenis itik ini memperlihatkan, bahwa itik hasil persilangan antara Cihateup jantan dengan Alabio betina (CA) menunjukkan manfaat yang sangat berarti dan bernilai ekonomis, terbukti dengan adanya efek heterosis yang diturunkan dari tetua murni untuk sifat daya tetas dan kematian embrio yang lebih baik dari itik persilangan AC yangmana jantan Alabio dan betina Cihateup. Untuk itik tetua murni yang cukup berperan dengan baik dan masih menunjukkan sifatsifat keunggulan pada tingkat fertilitas adalah itik tetua AA.
SIMPULAN Sifat reproduksi keempat jenis itik AA, CC, AC dan itik CA terhadap tingkat persentase daya tetas dan kematian embrio menunjukkan adanya perberbedaan, namun pada tingkat fertilitas dan nisbah kelamin tidak berbeda. Itik persilangan CA memperlihatkan keunggulan dan memberi manfaat terbaik untuk sifat daya tetas dengan menunjukkan tingkat heterosis yang tinggi sebesar 58.55% di atas rataan tetua murni AA dan CC dengan rataan persentase sebesar 61.00%, sementara rataan persentase untuk kematian embrio pada itik persilangan CA menunjukkan sebesar 39.00% dengan tingkat heterosis sebesar -36.62%. Nilai minus untuk sifat kematian embrio pada itik persilangan CA merupakan keunggulan dibandingkan tetua murni AA dan CC. Sementara itik persilangan AC memperlihatkan keunggulan dengan tingkat heterosis yang rendah untuk sifat daya tetas 8.99% dan kematian embrio -5.62% namun masih memberikan efek heterosis di atas rata-rata tetua murni walaupun kecil. Itik tetua murni yang masih
50 menunjukkan manfaat cukup besar adalah itik AA, hal ini dibuktikan untuk sifat fertilitas telur tetas yang tinggi dibandingkan dengan tetua CC. Dengan demikian terlihat bahwa kombinasi persilangan yang terbaik untuk sifat reproduksi lebih tertuju pada itik perilangan antara itik Cihateup jantan dengan Alabio berina (CA), dibandingkan dengan itik persilangan AC (Alabio jantan x Cihateup betina).
PENINGKATAN PERFORMA DAN PRODUKSI KARKAS ITIK MELALUI PERSILANGAN ITIK ALABIO DENGAN CIHATEUP Pendahuluan Seiring dengan semakin meningkatnya kebutuhan masyarakat terhadap daging, pemeliharaan itik jantan lokal sebagai penghasil daging merupakan salah satu alternatif untuk memenuhi kebutuhan tersebut. Meskipun saat ini terdapat berbagai upaya untuk memperkenalkan daging itik melalui pengembangan itikitik yang berpotensi sebagai penghasil daging, seperti itik peking, mandalung atau serati (Setioko 2003; Suparyanto 2005) namun ketersediaan DOD itik peking yang terbatas, harus di impor dan membutuhkan biaya yang besar sementara serati masih sangat sulit diperoleh karena tingkat daya tetasnya yang rendah saat dalam proses penetasan. Itik lokal seperti Mojosari dan Alabio yang disilangkan menghasilkan itik MA yang dikembangkan di Balai Penelitian Ternak Ciawi berpotensi besar sebagai penghasil daging khususnya untuk itik jantan, dengan rataan bobot badan umur delapan minggu dapat mencapai 1.3 kg, namun dalam hal penyediaan DOD masih sangat terbatas karena fasilitas pendukung sangat kurang (Prasetyo et al. 2005). Kecenderungan permintaan produk itik terutama daging itik semakin meningkat, hal ini diduga karena masyarakat sudah mulai tertarik dan beralih ke daging itik lokal yang rasanya relatif lebih gurih seperti ayam kampung. Pada pusat-pusat budi daya itik seperti Jawa Timur, Jawa Tengah, Jawa Barat dan Kalimantan Selatan pada umumnya produksi daging itik belum kontinyu sesuai permintaan pasar. Produksi daging itik terutama berasal dari hasil pembesaran pada saat produksi DOD betina meningkat dan juga dari itik betina afkir. Itik Alabio asal Kalimatan Selatan dan itik Cihateup asal Jawa Barat, memiliki postur tubuh yang besar sesuai dengan salah satu ciri itik penghasil daging, namun dari segi potongan karkas bagian dada dan paha itik Cihateup lebih besar masing-masing sebesar 31.42% dan 28.15% dari itik Alabio yaitu sebesar 25.67% dan 21.33%. Kedua itik ini dapat dibedakan dari warna bulu, shank, paruh
52
maupun dari bentuk postur tubuh. Itik Cihateup memiliki postur tubuh yang hampir tegak pada saat berdiri atau berjalan, memiliki paruh dan shank yang hitam berbeda dengan itik Alabio yang postur tubuhnya agak datar, dengan warna paruh dan shank yang kuning. Penerapan teknologi untuk memperbaiki penampilan itik lokal dalam hal produksi daging, baik melalui perbaikan manajemen dan pakan sudah sering dilakukan, sementara melalui seleksi dan persilangan masih jarang dilakukan terhadap itik-itik lokal kita, karena membutuhkan waktu yang lama dan biaya yang cukup mahal. Sebenarnya perbaikan genetik merupakan suatu tindakan yang relatif lebih efektif karena akan memberi dampak yang lebih parmanen dibandingkan dengan perbaikan manajemen atau perbaikan pakan. Noor (2008) menjelaskan bahwa crossbreeding merupakan bentuk silang luar. Silang luar berpengaruh dalam meningkatkan proporsi gen-gen yang heterozigot dan menurunkan proporsi gen yang homozigot. Laju peningkatan heterozigositas akibat silang luar tergantung pada perbedaan genetik dari tetuanya. Makin jauh hubungan kekerabatannya antara kedua ternak tersebut, maka makin sedikit kesamaan gen-gennya dan makin besar pula tingkat heterozigositasnya. Oleh sebab
itu
umumnya
crossbreeding
menghasilkan
peningkatan
derajat
heterozigositas lebih cepat dibandingkan dengan persilangan lainnya. Persilangan ini pada dasarnya adalah menggabungkan sifat-sifat baik dan memanfaatkan sejauh mungkin efek heterosis atau hybrid vigor yang timbul pada F1. Itik hibrida yang diperoleh dari hasil persilangan, diharapkan memiliki performa yang lebih baik dalam produksi karkas dan daging diatas rata-rata tetua murninya. Program persilangan dalam penelitian ini tujuan utamanya adalah untuk menghasilkan itikitik silangan yang siap untuk dipotong atau dijual yang lebih dikenal dengan persilangan terminal. Berdasarkan pertimbangan di atas, maka penelitian perbaikan performa dan produksi karkas itik lokal diarahkan pada kedua jenis itik lokal yakni itik Cihateup dan Alabio. Penelitian ini bertujuan, untuk mengevaluasi efek heterosis hasil persilangan timbal balik antara itik Cihateup dengan Alabio, dan menentukan jenis itik silangan yang terbaik terhadap peforma, produksi karkas dan daging. Manfaat dari penelitian ini adalah sebagai bahan informasi ilmiah
53
untuk pengembangan itik potong ke depan sekaligus sebagai dasar pembentukan galur itik potong di Indonesia.
Materi dan Metode Penelitian Waktu dan Tempat Pelaksanaan penelitian selama lima bulan yakni dari mulai Oktober 2010 sampai Februari 2011. Penelitian pemeliharaan DOD (Day Old Duck) di Laboratorium Lapangan Ilmu Produksi Ternak Unggas, Departemen Ilmu Produksi dan Tenologi Peternakan, Fakultas Peternakan. Materi Peneltian Materi penelitian terdiri atas DOD jantan umur sehari hasil perkawinan itik AA [Alabio ♂ x Alabio ♀]; CC [Cihateup ♂ x Cihateup ♀]; dan persilangan CA [Cihateup ♂ x Alabio ♀]; AC [Alabio ♂ x Cihateup ♀] yang jumlahnya dari masing-masing jenis itik 30 ekor sehingga keseluruhan DOD yang digunakan 120 ekor. Kandang sebanyak 6 buah yang dibagi 4 petak, tiap petak berukuran 1.25 x 1.25 meter. Setiap petak kandang dilengkapi dengan brooder, lampu pijar 75 watt sebagai pemanas sekaligus penerang, tempat makan dan tempat minum. Ransum untuk itik dalam penelitian ini berupa ransum komersial ayam pedaging, sesuai umur 0 – 4 minggu (starter), kandungan protein 21-22%, ME 2920 Kkal/kg dan umur 4 - 8 minggu (finisher) kandungan protein 19-21%, ME 3020 Kkal/kg. Daging bagian paha untuk uji sensori dan analisis komposisi asam lemak. Peralatan lain yang digunakan berupa timbangan digital merk O’haus kapasitas 5 kg, selang air, ember, baki, pisau dan freezer. Metode Penelitian DOD hasil perkawinan dan persilangan dari masing-masing jenis itik diberi nomor pada sayap (wing band), ditimbang untuk mengetahui bobot hidup awal dan ditempatkan secara acak pada petak-petak kandang berukuran 1.25 x 1.25 m. Setiap petak kandang dilengkapi dengan brooder, alas litter dengan sekam padi dan lampu sebagai penerang yang sudah dipersiapkan terlebih dahulu. Ransum komersial ayam pedaging berbentuk crumble diberikan sesuai dengan
54
umur itik dan diberikan 2 kali dalam sehari yakni pagi dan sore, sedangkan air minum ad libitum. Setiap minggu dilakukan penimbangan untuk mengetahui bobot hidup, pertambahan bobot hidup, jumlah ransum dan sisa ransum hingga akhir penelitian. Pemotongan itik dilakukan setelah itik berumur 8 minggu. Sebelum dipotong itik ditimbang terlebih dahulu, untuk mengetahui bobot potong. Setelah dipotong dilakukan proses pencabutan bulu, pemisahan bagian leher dan kepala, kaki dan isi jeroan dari dalam tubuh itik. Selanjutnya dilakukan penimbangan untuk mendapatkan bobot karkas dan bagian-bagian potongan karkas komersial serta melakukan deboning pada dada dan paha itik. Perhitungan Heterosis Heterosis digunakan untuk menggambarkan keunggulan keturunan kawin silang (F1) terhadap tetuanya. Heterosis diukur berdasarkan keunggulan rataan performa itik silangan terhadap rataan tetuanya dengan rumus menurut Noor (2008) sebagai berikut :
% Heterosis
=
x 100%
Nilai heterosis persilangan timbal balik antara Alabio dengan Cihateup adalah :
% Heterosis CA =
x 100%
% Heterosis AC =
x 100%
Prediksi pendugaan dari setiap persilangan dapat dilakukan dengan mengetahui parameter-parameter seperti direct additive effect, maternal additive effect, direct dominance effect, dan maternal dominance effect melalui program GENUP (Kinghorn 2010).
55
Tabel 12 Perhitungan pendugaan parameter pada crossbreeding Jenis perkawinan Bangsa 1 Bangsa 2 F1 (1x2) F1 (2x1) Backcross 1x(12) Backcross 2x(21) Sintetik seimbang (1,2) Sintetik optimum (1,2) Rotasi (1,2)
Ad1 1 0 1/2 1/2 3/4 1/4 ½ 0.63 ½
Ad2 0 1 ½ ½ ¼ ¾ ½ 0.37 ½
Am1 1 0 0 1 ½ ½ ½ 0.63 ½
Am2 0 1 1 0 1/2 1/2 ½ 0.37 ½
Dd 0 0 1 1 ½ 1,2 ½ 0.47 0.67
Dm 0 0 0 0 1 1 ½ 0.47 0.67
Ad1: Direct additive effect 1; Ad2: Direct additive effect 2; Am1: Maternal additive effect 1; Am2 : Maternal additive effect 2; Dd: Direct dominance effect ; Dm : Maternal dominance effect
Direct dominance effect (Dd) sama dengan heterosis yakni selisih antara rataan persilangan dengan rataan kelompok murninya atau dengan rumus : Dd
= rataan performa persilangan – rataan performa kelompok murni.
Maternal dominance effect (Dm) yakni setengah dari Direct dominance effect (Dd) atau dengan rumus : Dm = ½ Dd Direct aditive effect (Ad) sama dengan selisih antara performa bangsa dengan nilai Maternal aditive effect (Am) bangsa tersebut atau dengan rumus : Ad = performa kelompok murni – Am Maternal additive effect (Am) sama dengan perbedaan maternal yaitu selisih antara rataan persilangan resiprokolnya atau dengan rumus : Am = (performa persilangan AC – performa persilangan CA)/2
Rancangan Statistik Rancangan percobaan yang digunakan dalam penelitian ini adalah Rancangan Acak Lengkap (RAL) dengan 4 perlakuan dan 6 ulangan. Adapun perlakuannya adalah empat jenis itik yaitu Cihateup x Cihateup (CC), Alabio x Alabio (AA) dan persilangan Cihateup x Alabio (CA), Alabio x Cihateup (AC). Penelitian ini akan menggunakan DOD hasil keturunan pertama (F1), yang merupakan final stock.
56
Model dari rancangan ini adalah sebagai berikut : Yij = µ + αi + εij Keterangan : Yij µ αi εij
= = = =
nilai pengamatan perlakuan ke-i dan ulangan ke-j rataan umum pengaruh perlakuan ke- i pengaruh acak pada perlakuan ke-i ulangan ke-j
Data yang diperoleh dianalisis secara statistik dengan menggunakan Analysis of variance (Anova), jika perlakuan berbeda nyata dilanjutkan dengan uji Duncan (Steel dan Torrie 1993). Peubah Peubah yang diukur dan diamati dalam penelitian ini sebagai berikut : a. Bobot hidup awal (BHo) : Penimbangan bobot badan awal DOD dilakukan pada hari ketiga setelah telur menetas. b. Bobot hidup akhir (BHt) : Penimbangan bobot badan akhir dilakukan pada akhir penelitian yakni pada umur delapan minggu c. Pertambahan bobot hidup (PBH) : Pertambahan bobot badan dihitung dengan cara mengurangi bobot badan akhir dengan bobot badan awal pengamatan pada periode tertentu. d. Konsumsi ransum: Konsumsi ransum setiap minggu diperoleh dengan cara menghitung selisih jumlah ransum yang diberikan selama satu hari dengan sisa ransum yang ada dalam tempat makanan
pada hari yang sama dan
membaginya dengan jumlah itik yang ada, kemudian jumlah ransum harian tersebut dijumlahkan sampai satu minggu. Konsumsi ransum kumulatif (selama penelitian) dihitung dengan cara menjumlahkan rataan konsumsi setiap minggunya. e. Konversi ransum: Konversi ransum dihitung dengan cara membagi jumlah ransum yang dikonsumsi selama delapan minggu dengan pertambahan bobot badan pada periode tersebut.
57
f. Bobot potong : Diperoleh dengan menimbang bobot badan itik sesaat sebelum dipotong. g. Karkas : Diperoleh dengan menimbang bobot itik yang telah dipotong, dan sudah dibersihkan dari bulu, kepala, kaki dan isi jeroan. h. Potongan komersial karkas : Diperoleh dengan cara menimbang bagian dada, paha, sayap, punggung dan pinggu. i. Persentase daging dan tulang : Dihitung berdasarkan persentase daging (dada dan paha) terhadap tulang (dada dan paha).
Ukuran-ukuran Tubuh a. Panjang paruh (cm), jarak antara pangkal maxilla sampai ujung maxilla, diukur dengan jangka sorong. b. Lebar paruh (cm), diukur dari pinggir paruh bagian luar sebelah kiri dan kanan, dengan menggunakan jangka sorong. c. Tinggi kepala (cm), diukur pada bagian kepala yang paling tinggi dengan menggunakan jangka sorong. d. Panjang kepala (cm), diukur dari pangkal paruh hingga kepala bagian belakang, menggunakan jangka sorong. e. Panjang leher (cm), diukur dari tulang first cervical vetebrae sampai dengan last cervical vetebrae menggunakan pita ukur. f. Panjang tibia (cm), yaitu dari persendian pangkal tulang atas tulang tibia sampai dengan persendian bawah tulang tibia, diukur dengan menggunakan pita ukur. g. Panjang femur (cm), diukur dari pangkal tulang femur sampai ujung tulang femur pada persendian tulang lutut (patella) dengan pita ukur. h. Panjang sternum (cm), diukur sepanjang tulang sternum dengan pita ukur. i. Panjang punggung (cm), diukur dari tulang last cervical vertebra hingga pangkal tulang ekor (vertebra caudales) menggunakan pita ukur. j. Panjang sayap (cm), merupakan jarak antara pangkal tulang humerus sampai tulang phalangens, diukur dengan menggunakan pita ukur. k. Panjang jari ketiga (cm), diukur dari pangkal sampai ujung jari ketiga menggunakan jangka sorong.
58
(a)
(b) Gambar 8 (a) penimbangan DOD untuk mengetahui bobot awal dan (b) kandang indukan (brooder) untuk pemeliharaan DOD sampai umur 3 minggu
(a)
(c)
(b)
(d)
Gambar 9 (a) petak kandang pemeliharaan; (b) pembesaran itik ; (c) penimbangan itik umur delapan minggu dan (d) tempat proses pemotongan itik
59
Hasil dan Pembahasan Penampilan Itik Penelitian Itik yang digunakan dalam penelitian memiliki penampilan warna berbeda, yang mencirikan ciri khas itik-itik tersebut. Falconer dan Meckay (1996) menyebutkan bahwa ragam genetik dan ragam lingkungan bersama-sama membentuk ragam fenotip yang menyebabkan adanya perbedaan penampilan individu. Penampilan itik umur 1 hari dan umur potong 8 minggu dapat dilihat pada penjelasan dibawah ini.
a
Gambar A Ciri-ciri
B Ciri-ciri
Keterangan Itik Alabio jantan dan betina umur 1 hari Jantan dan betina memiliki paruh dan kaki berwarna kuning pucat, leher, dada, perut berwarna kuning, bulu sayap dan punggung warna coklat kelam, serat memiliki garis mata seperti alis. Itik Alabio jantan umur potong 8 minggu Paruh dan kaki berwarna kuning cerah; memiliki warna bulu abu kehitaman dengan totol coklat dibagian punggung; ujung sayap, ekor, dan kepala sedikit kehitam-hitaman, dan memiliki pola garis mata seperti alis.
c
Gambar C Ciri-ciri D Ciri-ciri
b
d
Keterangan Itik Cihateup jantan dan betina umur 1 hari Paruh dan kaki berwarna hitam, memiliki warna bulu coklat kelam Itik Cihateup jantan umur potong 8 minggu Paruh dan kaki berwarna hitam, memiliki warna bulu coklat kehitaman, bahkan bulu disekitar kepala mengarah kehitaman.
60
e
Gambar E Ciri-ciri
F Ciri-ciri
Keterangan Itik persilangan AC jantan dan betina umur 1 hari Jantan dan betina memiliki paruh dan kaki berwarna hitam seperti Cihateup tetapi memiliki warna bulu dan garis mata hitam menyerupai alis seperti Alabio. Itik persilangan AC jantan umur potong 8 minggu Paruh berwarna hitam keabuan, kaki berwarna kuning kehitaman, memiliki garis mata menyerupai alis mata, dibagian bawah leher berwarna putih. Bulu punggung berwarna coklat kelam dengan totol-totol hitam, bagian ujung ekor hitam, dan ujung sayap hijau kebiruan.
g
Gambar G Ciri-ciri
H Ciri-ciri
f
h
Keterangan Itik persilangan CA jantan dan betina umur 1 hari Paruh dan kaki berwarna hitam kelam seperti Cihateup tetapi memiliki warna bulu dan garis mata hitam menyerupai alis seperti Alabio, jantan bulu lebih hitam, betina agak coklat cerah. Itik persilangan CA jantan umur potong 8 minggu Paruh berwarna hitam keabuan, kaki berwarna kuning kehitaman, memiliki garis mata, menyerupai alis mata, dibagian bawah leher berwarna putih. Bulu punggung berwarna coklat kelam dengan totol-totol hitam, bagian ujung ekor hitam, dan ujung sayap hijau kebiruan.
Karakteristik Ukuran Tubuh Itik Penelitian Penampilan seekor ternak termasuk itik sangat dipengaruhi oleh lingkungan dan genotip serta interaksi antar keduanya. Selain warna bulu, beberapa ukuran tubuh yang di miliki itik lokal dapat merupakan ciri khas dari itik tersebut, seperti ukuran panjang leher, panjang sayap, panjang badan, panjang dada (sternum), panjang paha (femur), dan panjang betis (tibia). Penampilan
61
ukuran tubuh sangat menentukan besar kecilnya ternak (Noor 2008; Falconer dan Mackay 1996). Ukuran-ukuran tubuh dapat dijadikan parameter dalam pertumbuhan. Tabel 13 memperlihatkan ukuran tubuh itik Alabio dan itik Cihateup yang digunakan sebagai tetua murni dalam penelitian. Tabel 13 Rataan ukuran tubuh itik Alabio dan Cihateup umur 12 bulan Alabio Ukuran tubuh
Panjang paruh Lebar paruh Tinggi kepala Panjang kepala Panjang leher Panjang sayap Panjang punggung Panjang sternum Panjang femur Panjang tibia Panjang tarsometatarsus Panjang jari ketiga
Jantan (n:10)
Betina (n:40)
Cihateup Jantan Betina (n:10) (n:40)
x ± sd x ± sd x ± sd x ± sd ----------------------------------(cm)-------------------------------------6.59±0.29 6.04±0.25 6.79±0.31 6.45±0.30 2.82±0.07 2.69±0.10 3.03±0.12 2.84±0.14 4.27±0.38 4.08±0.23 4.23±0.33 4.05±0.11 5.86±0.20 5.43±0.34 6.72±0.19 6.18±0.19 20.10±0.88 18.75±0.95 24.36±1.33 20.93±0.91 27.40±1.17 22.45±1.36 28.87±1.04 26.83±1.30 24.65±1.29 21.23±1.17 24.09±0.46 23.65±1.37 12.90±0.70 11.28±0.63 12.32±1.47 11.15±0.39 6.90±0.32 6.25±0.57 7.26±0.50 6.45±0.53 10.50±0.47 9.93±0.68 12.32±0.38 11.14±0.51 5.95±0.37 5.76±0.45 5.97±0.39 5.81±0.41 6.03±0.23 5.80±0.37 6.83±0.35 6.52±0.42
Berdasarkan Tabel 13 di atas secara deskriptif, dapat dijelaskan bahwa Ukuran tubuh yang membedakan itik Cihateup dengan itik Alabio antara lain adalah panjang leher, panjang sayap, panjang femur dan panjang tibia. Ukuran ini pada itik Cihateup jantan dan betina lebih panjang dari itik Alabio jantan dan betina. Sementara ukuran panjang punggung pada itik Cihateup betina lebih panjang dari itik Alabio betina.
Perbedaan ukuran tubuh tersebut membuat
penampilan itik Cihateup lebih panjang dari itik Alabio.
Selanjutnya yang
membedakan itik Alabio dengan itik Cihateup adalah ukuran panjang sternum. Panjang tulang sternum itik Alabio lebih panjang dari itik Cihateup. Sementara ukuran punggung itik Alabio jantan lebih panjang dibandingkan itik Cihateup jantan. Bagian-bagian ukuran tubuh yang membedakan kedua itik tersebut, dapat dipastikan karena pengaruh lingkungan dimana itik-itik ini hidup. Ukuran panjang paha, sayap dan leher yang menjadi khas itik Cihateup karena itik ini dikenal sebagai itik gunung. Itik Alabio memiliki ukuran tulang sternum yang lebih
62
panjang, hal ini karena kebiasaan hidup itik ini lebih banyak pada daerah perairan, dan suka berenang. Pertumbuhan Performa pertumbuhan dari keempat janis itik AA, CC, AC dan itik CA disajikan pada Tabel 14 dimulai dari periode awal pemeliharaan dengan mengetahui bobot hidup awal (BHo), bobot hidup akhir (BHt) dan pertambahan bobot hidup kumulatif (PBH). Tabel 14
Rataan bobot hidup awal (BHo), bobot hidup akhir (BHt) dan pertambahan bobot hidup (PBH) itik AA, CC, AC dan itik CA umur 8 minggu Jenis Itik2
Peubah1
AA (n:30)
CC (n:30)
AC (n:30)
CA (n:30)
BHo (g/e)
x ± sd3 50.30a ± 2.94
x ± sd 41.10c ± 2.81
x ± sd 50.23a ± 3.01
x ± sd 45.63b± 1.08
BHt (g/e)
1340.37b ± 20.92
1343.13b±44.33
1350.33b± 38.28
1436.43a± 47.43
PBH (g/e)
1290.07b± 21.47
1302.03b± 42.89
1300.10b± 41.03
1390.97a± 47.03
1
BHo : bobot hidup awal, BHt : Bobot hidup akhir, PBH : Pertambahan bobot hidup Jenis itik AA [Alabio ♂ x Alabio ♀]; CC [Cihateup ♂ x Cihateup ♀]; dan persilangan CA [Cihateup ♂ x Alabio ♀]; AC [Alabio ♂ x Cihateup ♀]. a-c Superskrip huruf yang berbeda dalam baris yang sama menyatakan perbedaan yang nyata (P<0.05) 3 sd : Standar deviasi 2
Tabel 14 menunjukkan bahwa rataan bobot hidup awal (BHo) itik AA dan AC tidak berbeda, dibandingkan itik CC dan itik CA. Hasil analisis statistik menunjukkan bahwa bobot hidup awal itik AA dan itik AC lebih besar (P<0.05) dari jenis itik CA dan CC sementara itik CA lebih besar (P<0.05) dari jenis itik CC. Perbedaan bobot awal (BHo) dalam penelitian ini disebabkan oleh bobot telur tetas diantara keempat jenis itik ini, dimana bobot telur tetas itik AA adalah 63.22g, itik CC adalah 59.76g, itik persilangan AC adalah 63.28g dan itik CA adalah 63.06g. Bobot hidup akhir (BHt) yang dicapai oleh itik CA (1436.43g) lebih besar (P<0.05) dibandingkan dengan jenis itik AC (1350.33g), itik CC (1343.13 g) dan itik AA (1340.37g). Pada penelitian ini dapat dilihat bahwa bobot hidup awal tidak berpengaruh terhadap bobot hidup akhir pada itik CA yang memiliki bobot hidup
63
akhir lebih tinggi. Itik AA dan AC yang memiliki bobot hidup awal tinggi. tetapi bobot hidup akhirnya rendah. Hal ini sesuai dengan pendapat Muliana et al. (2001) menjelaskan bahwa bobot tetas/bobot hidup awal ternyata tidak berpengaruh terhadap bobot potong/ bobot hidup akhir pada umur 6, 8, 10 dan 12 minggu. Hal ini disebabkan karena bobot tetas sangat dipengaruhi oleh besar telur dan perkembangan embrio, sedangkan kemampuan pertumbuhan ditentukan oleh gen-gen penentu bobot badan, jenis kelamin dan umur. Grafik bobot hidup (BH) keempat jenis itik selama delapan minggu
Bobot hidup (g)
disajikan pada Gambar 10. 1600 1400 1200 1000 800 600 400 200 0
CC AC AA CA
1
2
3
4
5
6
7
8
Umur minggu ke
Gambar 10 Grafik bobot hidup (BH) itik AA, CC, CA dan itik AC
Pada Tabel 14 di atas memperlihatkan pula pertambahan bobot hidup (PBH) yang diperoleh itik CA (1390.97g) lebih tinggi (P<0.05) dibandingkan dengan tiga jenis itik lainya yakni AA (1290.07g), CC (1302.03g) dan itik AC (1300.10g). Hal ini menunjukkan bahwa persilangan jenis itik CA lebih memperlihatkan efek heterosis yang cukup tinggi pada performa pertumbuhan dengan betina Alabio (maternal) yang lebih kuat, dibandingkan dengan AC yang betinaanya Cihateup. Gambar 11 memperlihatkan grafik pertambahan bobot hidup (PBH) maksimum keempat jenis itik yang merupakan titik infleksi atau puncak tertinggi. Titik infleksi secara berturut-turut pada jenis itik AA, CC dan itik CA dicapai pada minggu ketiga, sedangkan pada itik AC titik infleksi terjadi minggu keempat. Dapat dijelaskan bahwa jenis itik AA, CC dan itik CA antara umur
64
(1 hari – 3 minggu) dan itik AC (1 hari – 4 minggu) terjadi laju pertumbuhan akselerasi atau peningkatan kecepatan pertumbuhan, setelah itu sampai dengan umur 8 minggu mengalami pertumbuhan deselerasi atau penurunan kecepatan pertumbuhan. Titik infleksi dari masing-masing jenis itik berfungsi untuk mengetahui puncak pertumbuhan tertinggi dan diharapkan nantinya dalam pemberian ransum dapat diberikan sebelum tercapainya titik infleksi, sehingga itik
Pertambahan bobot hidup (g)
benar-banar dapat memanfaatkan gizi yang ada untuk pertumbuhan yang optimal.
300 250 200 AC
150 100
CC
50
AA
0
CA
1
2
3
4
5
6
7
8
Umur minggu ke
Gambar 11 Grafik pertambahan bobot hidup (PBH) itik AA, CC, AC dan itik CA
Konsumsi dan Konversi Ransum Konsumsi ransum kumulatif merupakan banyaknya ransum yang dikonsumsi tiap ekor itik selama pemeliharaan. Rataan konsumsi ransum kumulatif dan konversi ransum dari keempat jenis itik AA, CC, AC dan itik CA di sajikan pada Tabel 15. Tabel 15 Rataan konsumsi ransum kumulatif dan konversi ransum itik AA, CC, AC dan itik CA umur 8 minggu Jenis Itik1 Peubah Konsumsi Ransum Kumulatif (g/e) Konversi Ransum 1
AA (n:30) x ± sd2
CC (n:30) x ± sd
AC (n:30) x ± sd
CA (n:30) x ± sd
3597.57ab± 88.81
3677.14a ±58.45
3446.67c ±102.33
3523.93bc±83.08
2.79ab
2.83a
2.66cb
2.54c
Jenis itik AA [Alabio ♂ x Alabio ♀]; CC [Cihateup ♂ x Cihateup ♀]; dan persilangan CA [Cihateup ♂ x Alabio ♀]; AC [Alabio ♂ x Cihateup ♀]. a-c Superskrip huruf dalam satu baris yang sama menunjukkan perbedaan yang nyata pada (P<0.05) 2 sd : Standar deviasi
65
Berdasarkan Tabel 15 dapat dijelaskan bahwa konsumsi ransum kumulatif tertinggi pada itik CC (3677.14g) dan terendah pada itik AC (3446.67g). Secara statistik menunjukkan bahwa konsumsi ransum itik CC (3677.14 g) tidak berbeda dengan itik AA, tetapi lebih tinggi (P<0.05) dari itik CA dan itik AC. Namun konsumsi itik AA sendiri, tidak berbeda dengan itik CA, tetapi berbeda nyata (P<0.05) dengan itik AC, sementara konsumsi ransum itik CA dan itik AC tidak berbeda (P>0.05). Jika diperhatikan dengan cermat konsumsi ransum kumulatif itik persilangan AC dan itik CA lebih sedikit (3446.57g/ekor dan 3523.93g/ekor), namun memberi pengaruh yang nyata terhadap bobot hidup akhir yang lebih tinggi (1350.33g/ekor dan 1436.43g/ekor) jika dibandingkan dengan tetua murni itik AA dan itik CC. Dapat dikemukakan bahwa itik AC dan itik CA lebih efisien dalam mengubah ransum menjadi daging.
Hal ini sejalan dengan pendapat
Prasetyo et al. (2005) bahwa dengan adanya perbaikan manajemen pemeliharaan, misalnya saja penetapan kebutuhan gizi itik pejantan, bentuk ransum, dan manajeman frekuensi pemberian ransum dan bentuk tempat pakan, dapat meningkatkan bobot badan itik yang dicapai lebih tinggi. Konversi ransum merupakan perbandingan antara jumlah ransum yang dikonsumsi
dengan
pertambahan
bobot
hidup
akhir.
Pada
Tabel
15
memperlihatkan bahwa konversi ransum keempat jenis itik AA, CC, AC dan itik CA dengan konversi ransum terendah dimiliki pada itik CA (2.54) diikuti itik AC (2.66), itik AA (2.79) dan yang tertinggi pada itik CC (2.83). Hasil analisis statistik memperlihatkan bahwa konversi ransum itik tetua CC dan itik AA tidak berbeda (P>0.05), namun terhadap itik persilangan AC dan itik CA berbeda nyata (P<0.05). Hal ini menunjukkan bahwa persilangan dapat memperbaiki konversi ransum. Menurut Ketaren dan Prasetyo (2007) bahwa perbaikan konversi ransum dapat dilakukan melalui tiga pendekatan yaitu 1) pendekatan genetik dengan memproduksi ternak yang lebih produktif dan efisien; 2) melalui teknologi pakan dengan menetapkan kebutuhan gizi untuk itik pada berbagai umur yang lebih tepat serta 3) manajemen pemberian pakan terutama supaya untuk mengurangi jumlah pakan yang terbuang/tercecer yang sering terjadi pada ternak itik. Perbaikan efisiensi ransum yang terjadi pada itik persilangan AC dan itik CA diwujudkan dalam bentuk daging pada bagian dada dan paha.
66
Karkas dan Potongan Karkas Komersial Karkas merupakan organ tubuh yang masak lambat. Seiring dengan bertambahnya umur, pertumbuhannya semakin bertambah dan persentase terhadap bobot potong juga meningkat. Rataan bobot potong, bobot karkas, persentase karkas, dada, paha, punggung, pinggul dan sayap dari masing-masing jenis itik AA, CC, AC dan itik CA selama penelitian disajikan pada Tabel 16. Pada tabel tersebut tampak bahwa produksi karkas dapat dilihat dari bobot potong, semakin tinggi bobot potong maka produksi karkas semakin meningkat. Tabel 16 Rataan bobot potong, bobot karkas, persentase karkas dan bagianbagian potongan karkas komersial itik AA, CC, AC dan itik CA umur 8 minggu Peubah
AA (n:30) 2
Bobot Potong (g) Karkas (g) Karkas (%) Dada (%) Paha (%) Punggung (%) Pinggul (%) Sayap (%)
x ± sd 1328.83a±26.67 836.47a ± 19.08 62.95ab ± 0.89 27.19a ± 0,97 25.22c ± 0,45 14.03a ± 0,62 15.55a ± 0,39 18.01b ± 0,76
Jenis itik1 CC (n:30) AC (n:30) x ± sd x ± sd 1323.87a±53.26 1340.57a±34.90 812.13a±31.23 832.27a±25.26 c 61.36 ± 0.98 62.08bc ± 0.40 (% dari bobot karkas) 24.97b ± 1.78 25.43b ± 1.18 27.17b ± 1.15 28.85a ± 0.63 a 14.26 ± 1.34 14.02a ± 0.49 14.32a ± 0.52 14.57a ± 1.33 a 19.27 ± 1.20 17.12b ± 1.20
CA (n:30) x ± sd 1412.80b±33.88 900.50b±25.48 63.74a ± 0.65 25.81ab ± 0.64 26.56b ± 0.78 15.18a ± 0.89 15.06a ± 0.42 17.37b ± 0.45
1
Jenis itik AA [Alabio ♂ x Alabio ♀]; CC [Cihateup ♂ x Cihateup ♀]; dan persilangan CA [Cihateup ♂ x Alabio ♀]; AC [Alabio ♂ x Cihateup ♀]. a-c Superskrip huruf dalam satu baris yang sama menunjukkan perbedaan yang nyata (P<0.05) 2 sd : Standar deviasi
Hasil analisis statistik menunjukkan bahwa bobot potong dan bobot karkas itik CA (1412.80g; 900.50g) lebih tinggi (P<0.05) dibandingkan dengan ketiga itik lainnya yakni itik AA (1328.83g; 836.47g), itik CC (1323.87g; 812.13g) dan itik AC (1340.57g; 832.27g). Persentase karkas pada itik CA (63.74%) lebih tinggi dibandingkan dengan itik CC yang memiliki persentase karkas lebih rendah (61.36%) dan secara statistik menunjukkan itik CA lebih besar (P<0.05) dari itik CC (61.36%) dan itik AC (62.08%) tetapi, tidak berbeda dengan itik AA (62.95%), sementara itik AA lebih besar (P<0.05) dari itik CC. Umur pemotongan sangat mempengaruhi bobot potong dan bobot karkas dari ternak unggas. Soeparno (1998) menyatakan bahwa pada unggas persentase
67
karkas meningkat selama pertumbuhan, pertambahan umur dan kenaikan bobot badan. Sunari et al. (2001) menjelaskan bahwa perbandingan bobot karkas terhadap bobot hidup sering digunakan sebagai ukuran produksi daging dalam bidang peternakan. Tabel 16 memperlihatkan bahwa persentase potongan karkas berdaging seperti dada dan paha juga bagian karkas tak berdaging seperti punggung, pinggul dan sayap dari keempat jenis itik AA, CC, AC dan itik CA menunjukkan adanya perbedaan. Persentase karkas berdaging bagian dada, itik AA lebih tinggi (P<0.05) dibandingkan dengan itik CC dan itik AC namun dengan itik CA tidak berbeda, sama halnya itik CA tidak berbeda dengan itik CC dan itik AC. Tingginya persentase potongan karkas komersial bagian dada itik AA dan CA, diduga karena ukuran panjang tulang dada (sternum) itik Alabio besar, diturunkan ke itik CA, dimana peran induk Alabio sangat besar. Sementara untuk persentase bagian paha itik AC lebih tinggi (P<0.05) dibandingkan dengan itik CC, CA dan itik AA, sementara itik CC dan itik CA sendiri tidak berbeda tetapi terhadap itik AA berbeda (P<0.05). Tingginya persentase bagian paha pada itik AC diduga diturunkan dari induk CC yang memiliki ukuran panjang tulang paha besar. Persentase bagian karkas yang tak berdaging seperti punggung dan pinggul keempat jenis itik AA, CC, AC, dan itik CA tidak berbeda, sementara terhadap persentase sayap, terlihat bahwa itik CC lebih tinggi (P<0.05) dibandingkan dengan ketiga itik AA, CA dan itik AC. Soeparno (1998), menyatakan bahwa faktor genetik dan lingkungan (fisiologi dan nutrisi) mempengaruhi laju pertumbuhan dan komposisi tubuh dan karkas pada ternak. Pada bangsa yang sama, komposisi tubuh dan karkas dapat berbeda dan menjadi karakteristik ternak tersebut. Persentase Daging dan Tulang Persentase daging dan tulang bagian dada dan paha keempat jenis itik AA, CC, AC dan itik AC dapat dilihat pada Tabel 17. Hasil statistik menunjukkan persentase daging dan tulang bagian dada dan paha keempat jenis itik berbeda. Persentase daging bagian dada itik CA (85.67%) lebih tinggi (P<0.05) dari itik CC (82.40%), itik AC (83.73%) dan itik AA (83.93%). Persentase tulang dada
68
itik CA (14.33%) lebih rendah (P<0.05) dibandingkan ketiga kelompok itik AA (16.07%), itik CC (17.60%) dan itik AC (16.27%). Untuk Persentase daging dan tulang pada bagian paha, menunjukkan bahwa itik AC memiliki persentase daging paha (86.62%) lebih tinggi (P<0.05) dibandingkan dengan itik CA (85.48%), AA (84.48%) dan itik CC (83.24%) sementara itik CA lebih tinggi (P<0.05) dari itik AA dan itik CC, dan itik AA lebih tinggi (P<0.05) dari itik CC. Persentase tulang paha itik AC (13.38%) lebih rendah (P<0.05) dibandingkan dengan itik CA (14.52%), itik AA (15.52%) dan itik CC (16.76%), sementara itik CA lebih rendah (P<0.05) dari itik AA dan itik CC, dan itik AA sendiri lebih rendah (P<0.05) dari itik CC. Tabel 17 Rataan persentase daging dada dan paha, rasio daging dan tulang itik AA, CC, AC dan itik CA umur 8 minggu Jenis Itik1 Peubah Dada (%) Daging Tulang Rasio daging/tulang Paha (%) Daging Tulang Rasio daging/tulang
AA (n:30) x ± sd2
CC (n:30) x ± sd
AC (n:30) x ± sd
CA (n:30) x ± sd
83.90b ± 1.82 16.10a ± 1.82 5.35b ± 0.74
82.38b ± 0.92 17.62a ± 0.92 4.73b ± 0.33
83.53b ± 1.30 16.47a ± 1.30 5.18b ± 0.48
85.55a ± 0.99 14.45b ± 0.99 6.02a ± 0.49
84.47c ± 0.42 15.53b ± 0.42 5.47c ± 0.19
83.22d ± 0.68 16.78a ± 0.68 4.99d ± 0.24
86.45a ± 0.44 13.55d ± 0.44 6.42a ± 0.25
85.73b ± 0.46 14.27c ± 0.46 6.06b ± 0.24
1
Jenis itik AA [Alabio ♂ x Alabio ♀]; CC [Cihateup ♂ x Cihateup ♀]; dan persilangan CA [Cihateup ♂ x Alabio ♀]; AC [Alabio ♂ x Cihateup ♀]. a-d Superskrip huruf dalam satu baris yang sama menunjukkan perbedaan yang nyata pada (P<0.05) 2 sd : Standar deviasi
Hasil analisis statistik terhadap perbandingan daging dan tulang (meat bone ratio) memperlihatkan bahwa itik persilangan CA lebih besar (P<0.05) proporsi otot daging dada dibandingkan dengan ketiga jenis itik yang lain, sementara itik persilangan AC lebih besar (P<0.05) pada otot daging paha, diikuti itik CA, AA dan yang terendah adalah itik CC. Hasil persilangan timbal balik antara itik Alabio dengan itik Cihateup secara genetik mewariskan sifat-sifat yang berbeda pada bagian-bagian otot daging untuk itik AC dan itik CA. Pewarisan sifat-sifat yang bernilai ekonomis ini diduga adanya peran dari maternal efek (pengaruh induk) lebih besar. Itik AC persentase otot daging bagian paha lebih besar yang diduga diwariskan dari induk Cihateup, dan hal ini dapat dibuktikan
69
dari ukuran tubuh seperti panjang paha itik Cihateup yang panjang. Sementara itik CA bagian persentase otot daging dada yang terbesar, diduga diwariskan dari induk Alabio, yang juga memiliki ukuran panjang sternum yang lebih panjang. Nilai Heterosis Nilai heterosis dapat menggambarkan apakah keturunan hasil persilangan timbal balik antara itik Alabio dan itik Cihateup, memiliki keunggulan di atas rata-rata tetua murni yakni itik Alabio (AA) maupun itik Cihateup (CC) atau tidak. Besarnya nilai persentase heterosis itik persilangan AC dan itik CA berdasarkan sifat-sifat yang diamati dapat dilihat pada Tabel 18. Besarnya nilai heterosis itik persilangan AC berkisar antara -8.15 – 10.14% dengan nilai persentase heterosis tertinggi pada persentase paha (10.14%), sedangkan nilai heterosis terendah pada persentase karkas (-8.15%). Besarnya nilai heterosis itik CA berkisar antara -6.81 – 9.24% dengan nilai heterosis tertinggi pada bobot karkas (9.24%), dan terendah pada persentase sayap (-6.81%). Tabel 18 Nilai persentase (%) heterosis itik persilangan AC dan itik CA Sifat yang diamati
Jenis Itik AC
CA
Bobot badan awal Bobot badan akhir Pertambahan bobot badan akhir Konversi Pakan Bobot Potong Bobot Karkas Dada Paha Punggung Pinggul Sayap
9.91 0.64 0.31 -5.34 1.07 0.97 -2.49 10.14 -0.88 -2.44 -8.15
-0.15 7.06 7.32 -9.61 6.52 9.24 -1.04 1.39 7.32 0.84 -6.81
Daging dada Daging paha
-1.03 3.12
3.02 1.91
Berdasarkan Tabel 18 dapat dijelaskan bahwa nilai heterosis yang diperoleh kedua jenis itik persilangan AC dan itik CA ada yang positif dan ada yang negatif. Nilai heterosis positif berarti dengan melakukan persilangan dapat meningkatkan sifat-sifat yang diinginkan pada individu hasil persilangannya,
70
sedangkan nilai heterosis negatif menunjukkan bahwa dengan melakukan persilangan tidak memberikan hasil yang baik, karena sifat-sifat yang diinginkan lebih rendah dari rataan itik tetuanya. Namun pada hasil penelitian ini, dapat dikemukakan bahwa sifat konversi pakan dari kedua jenis itik persilangan AC dan CA nilainya negatif itu bukan berarti nilai heterosisnya jelek, namun sebaliknya sangat bagus karena merupakan keunggulan dari masing-masing itik, karena itik persilangan mampu mengkonsumsi ransum dalam jumlah sedikit dan dapat memanfaatkannya secara efisien, sehingga bobot akhir dapat ditingkatkan. Persilangan antara itik Alabio dan itik Cihateup dalam penelitian ini menghasilkan dua galur itik yang berbeda pada sifat-sifat yang diamati. Falconer dan Mackay (1996) menyatakan bahwa salah satu tujuan persilangan adalah pemanfaatan heterosis yaitu memperoleh ternak keturunan yang memiliki rataan produksi lebih baik dibandingkan rataan produksi tertuanya. Tabel 19 Urutan jenis itik berdasarkan nilai rataan untuk setiap sifat yang diamati Sifat yang diamati Performa Bobot hidup awal (g/e) Bobot hidup akhir (g/e) Pertambahan bobot hidup (g/e) Konsumsi ransum (g/e) Konversi ransum Karkas dan Potongan Karkas Bobot potong (g/e) Karkas (%) Dada (%) Paha (%) Punggung (%) Pinggul (%) Sayap (%) Potongan daging Daging bagian dada Daging bagian paha 1
1
Urutan jenis itik 1) 2 3
4
AA CA CA AC CA
AC AC CC CA AC
CA CC AC AA AA
CC AA AA CC CC
CA CA AA AC CA AA CC
AC AA CA CC CC CA AA
AA AC AC CA AA AC CA
CC CC CC AA AC CC AC
CA AC
AA CA
AC AA
CC CC
Jenis itik AA [Alabio ♂ x Alabio ♀]; CC [Cihateup ♂ x Cihateup ♀]; dan persilangan CA [Cihateup ♂ x Alabio ♀]; AC [Alabio ♂ x Cihateup ♀].
Kedekatan itik hasil persilangan dengan kedua tetuanya, memberikan peran cukup penting hal ini dapat dilihat susunannya berdasarkan sifat-sifat yang diamati. Tabel 19 memperlihatkan urutan sifat-sifat unggul dari itik persilangan
71
AC dan itik CA terhadap tetua murninya. Itik tetua murni yang berpotensi dan memiliki beberapa sifat keunggulan adalah itik AA. Sifat keunggulan yang dimiliki itik AA adalah bobot awal (BHo), persentase potongan komersial bagian dada, dan pinggul yang tinggi, sementara itik CC hanya memiliki keunggulan pada bagian sayap. Itik persilangan CA memiliki sifat keunggulan dan memberi manfaat yang lebih banyak antara lain pada:
bobot hidup akhir (BHt), pertambahan bobot hidup (PBH), konversi
ransum, bobot potong, persentase karkas, persentase punggung dan potongan daging bagian dada, sementara itik persilangan AC unggul pada sifat konsumsi ransum dan persentase paha. Hal ini sesuai dengan tujuan persilangan yaitu menghasilkan itik hibrida (F1) yang dapat meningkatkan performa dan produksi karkas serta daging yang lebih baik dari itik tetua murni. Selain mengetahui hasil dari persilangan timbal balik antara itik Cihateup dengan Alabio, penelitian ini juga mencoba untuk memprediksi persilangan terbaik antara itik Cihateup dengan itik Alabio pada beberapa bentuk persilangan yang lain (Tabel 20). Persilangan yang dilakukan pada dua bangsa unggas air menurut Noor (2001) yakni persilangan reciprocal, backcross, sintetik seimbang, sintetik optimum dan persilangan rotasi. Tabel 20 Prediksi perhitungan performa dan persentase potongan karkas pada berbagai persilangan antara itik Alabio dengan itik Cihateup dengan GENUP Performa2
Jenis persilangan1 AxA
CxC
F1 (AxC)
F1 (CxA)
BCr A(AC)
BCr C(CA)
Sint, Smbg
Sint, Optm
Rotasi
47.94 50.3 41.1 50.23 45.63 51.38 44.48 47.37 48.47 BHo (g) 1393.64 1340.37 1343.13 1350.33 1436.43 1371.17 1415.60 1380.47 1377.79 BHa (g) 1345.78 1290.07 1302.03 1300.1 1390.97 1319.83 1371.24 1333.16 1329.38 PBH (g) 1214.42 1328.83 1323.87 1340.57 1412.8 1359.87 1393.50 1364.10 1362.48 B.Potong (g) 866.62 836.47 812.13 832.27 900.5 855.42 877.39 855.88 857.15 Karkas (g) 25.62 27.19 24.97 25.43 25.81 26.27 24.97 25.74 26.04 Dada (%) 27.71 25.22 27.17 28.85 26.56 27.62 27.79 27.33 27.01 Paha (%) 14.60 14.03 14.26 14.02 15.18 14.25 14.95 14.49 14.44 Punggung (%) 15.55 14.32 14.57 15.06 14.39 15.25 14.85 15.01 14.81 Pinggul %) 18.01 19.27 17.12 17.37 16.87 17.62 17.59 17.49 17.23 Sayap (%) 1 A : Alabio; C : Cihateup; BCr : backcross; Sint Smbg : Sintetik Seimbang; Sint Optm : Sintetik Optimum 2 BHo : Bobot hidup awal; BHt : Bobot hidup akhir; PBH : Pertambahan bobot hidup; B.potong : Bobot Potong Sumber : (Kinghorn 2010)
72
Pada Tabel 20 di atas disajikan hasil prediksi beberapa jenis persilangan, untuk mengetahui performa, dan persentase karkas dari persilangan itik Alabio dan Cihateup yang dipelihara selama delapan minggu. Tampak bahwa hasil persilangan itik jantan Cihateup dengan betina Alabio (CA), memiliki performa bobot hidup akhir, pertambahan bobot hidup/bobot potong, dan bobot karkas lebih tinggi di antara hasil persilangan yang lainnya. Bila akan melakukan persilangan yang lain misalnya saja backcross yang hasilnya lebih baik dapat dilakukan perkawianan antara betina hasil persilangan CA dengan pejantan Cihateup. Apabila persilangan yang diinginkan bertujuan untuk membentuk kelompok itik sintetik, maka persilangan yang akan memberikan hasil lebih baik adalah dengan melakukan persilangan sintetik seimbang, dibandingkan sintetik optimum. Hasil perhitungan untuk persilangan sintentik seimbang memberikan performa yang lebih tinggi pada bobot hidup akhir, pertambahan bobot hidup, bobot potong, persentase paha dan dada. Persilangan rotasi pada dasarnya juga memanfaatkan adanya efek heterosis, pada persilangan ini ternak betina yang dihasilkan dari hasil persilangan pertama dikawinkan dengan pejantan Alabio, setelah mendapat hasil persilangan, betina hasil persilangan kedua dikawinkan lagi dengan pejantan Cihateup, begitu seterusnya sampai mendapatkan hasil keturunan yang baik. Berdasarkan apa yang telah diuraikan di atas maka program pemuliaan yang tepat untuk dipakai tergantung dari kebutuhan yang diinginkan. Apabila kebutuhan hanya untuk menghasilkan ternak-ternak yang dapat dipotong atau dijual dalam waktu singkat maka persilangan dua bangsa antara (Alabio dengan Cihateup) atau sebaliknya, dapat dilakukan dan hanya menghasilkan keturunan F1 untuk dijual atau dipotong. Persilangan ini dikenal juga dengan persilangan terminal (Martojo 1992). Simpulan Persilangan timbal balik antara itik Alabio dengan Cihateup menghasilkan dua jenis itik hibrida yakni itik AC dan itik CA dengan sifat-sifat performa dan produksi karkas yang lebih baik dibandingkan dengan tetua murni. Itik
73
persilangan CA unggul untuk sifat-sifat performa antara lain : bobot hidup akhir (BHt) sebesar 1436.43g/ekor dengan tingkat heterosis 7.06%; pertambahan bobot hidup (PBH) sebesar 1390.97g/ekor dengan tingkat heterosis 7.32%; konversi ransum sebesar 2.54; bobot karkas 900.50g/ekor dengan tingkat heterosis 9.24%; dan persentase daging dada sebesar 85.67% dengan nilai heterosis 3.02% dibandingkan dengan itik persilangan AC yang hanya unggul pada persentase potongan komersial bagian paha (28.85%) dengan nilai persentase heterosis 10.14% dan persentase daging bagian paha (86.62%) dengan nilai persentase heterosis 3.12%. Peningkatan sifat-sifat ini menunjukkan adanya efek heterosis akibat persilangan yang dilakukan dari dua tetua itik yakni itik Alabio dan itik Cihateup yang memiliki hubungan kekerabatan cukup jauh. Sementara itik tetua murni yang menunjukkan keunggulan dan memberikan manfaat yang berarti adalah itik AA, hal ini dapat dilihat dari keunggulannya pada bobot awal DOD, persentase potongan karkas bagian dada dan pinggul yang tinggi. Pada prediksi beberapa bentuk persilangan menunjukkan bahwa persilangan backcross antara itik betina CA dengan jantan Cihateup lebih baik dari beberapa bentuk persilangan yang dicobakan. Apabila persilangan untuk tujuan membentuk kelompok itik sintetik, maka persilangan yang baik adalah dengan melakukan persilangan sintetik seimbang, dibandingkan sintetik optimum.
PERBAIKAN KUALITAS SENSORI DAGING ITIK MELALUI HASIL PERSILANGAN ANTARA ITIK ALABIO DENGAN CIHATEUP
Pendahuluan Produksi daging itik di Indonesia masih rendah yakni sekitar 27.924 ribu ton dari populasi itik sebanyak 45.292 juta ekor. Rendahnya produksi daging itik, setidak-tidaknya dapat menggambarkan bahwa permintaan konsumen terhadap produk tersebut masih rendah dibandingkan dengan produksi daging ayam kampung yakni sebesar 259.886 ribu ton (Ditjenak dan Keswan 2010). Rendahnya permintaan daging itik di kalangan konsumen karena kebiasaan konsumen untuk mengkonsumsi daging itik sebagai kebutuhan sehari-hari masih jarang selain itu ada kesan bahwa daging itik lebih alot dan berbau amis/anyir. Pemeliharaan itik untuk produksi daging belum dimanfaatkan secara optimal oleh masyarakat, pada hal potensi pengembangan itik potong di tanah air sangat menjanjikan. Jika dilihat dari segi kandungan gizi, daging itik tidak kalah bersaing dengan daging ayam. Kandungan protein daging itik cukup tinggi yakni sekitar
18.6–20.8% sementara daging ayam 21.4–22.6%, demikian juga
kandungan lemaknya berkisar antara 2.7–8.2% sementara daging ayam 4.8% (Jun et al. 1996; Srigandono 1997; Kim et al. 2006). Pada unggas air biasanya perlemakan sebagian besar menyebar di bawah kulit (Rukmiasih et al. 2010). Menurut Baeza (2006) peningkatan kadar lemak seiring dengan bertambahnya umur unggas, pemberian pakan dan genetik ternak. Hal ini dapat dilihat pada itik yang umumnya memiliki kulit agak tebal dibandingkan ayam (Rukmiasih
et al. 2010). Kandungan lemak yang relatif
tinggi pada daging itik merupakan salah satu faktor kurang tertariknya konsumen pada daging itik. Selain itu, ada kesan bahwa daging itik mempunyai flavor amis atau anyir. Adanya flavor yang tidak disukai konsumen pada bahan pangan tertentu, termasuk pada daging, sangat menentukan apakah konsumen menerima atau menolak untuk mengkonsumsi daging tersebut.
76 Kandungan lemak yang tinggi terutama asam-asam lemak tidak jenuh (Pisulewski 2005; Rukmiasih et al. 2011), memberikan kecenderungan pada daging itik untuk menghasilkan off-odor (Hustiany et al. 2001). Menurut Kim et al. (2006); Hustiany et al. (2001), meyatakan bahwa sumber bau pada daging itik yang dominan adalah produk auto oksidasi asam lemak, terutama asam lemak tidak jenuh linoleat (C18:2). Kandungan asam lemak tidak jenuh C18:2 bagian paha itik Cihateup (16.43%) lebih tinggi daripada itik Alabio (14.48%) (Randa 2007). Tingginya asam lemak tidak jenuh linoleat pada itik Cihateup dapat menyebabkan cepat terjadinya oksidasi lipid sehingga menimbulkan off-odor berupa bau amis pada daging, dan hal ini terjadi pada itik Cihateup yang aroma atau bau amis/anyir dagingnya lebih tajam dibandingkan dengan itik Alabio (Randa et al. 2007). Upaya peningkatan konsumsi daging itik dapat dilakukan dengan mengatasi penyebab kurang diterimanya daging itik oleh konsumen. Konsumen umumnya akan lebih mudah memilih daging melalui penampilan fisik yang meliputi warna, tekstur serta intensitas aroma daging (Suryati et al. 2006). Aroma amis/anyir merupakan penyebab kurang disukainya daging itik oleh konsumen dibandingkan dengan warna maupun tekstur daging itik. Penampilan warna dan aroma daging itik Cihateup lebih merah dan berbau anyir/amis dibandingkan itik Alabio (Randa et al. 2007). Dalam rangka meningkatkan produktivitas itik lokal, dari segi kualitas daging dalam hal flavor, maka dilakukan penelitian melalui perbaikan genetik dengan teknologi persilangan dengan menggunakan itik lokal yakni itik Cihateup dan Alabio, yang semuanya bertujuan untuk meningkatkan dan menghasilkan daging itik yang tebal dan disukai konsumen. Berdasarkan beberapa pertimbangan diatas, diharapkan persilangan antara itik Alabio dengan itik Cihateup akan menghasilkan keturunan (F1), khususnya dengan pemanfaatan itik jantan petelur sebagai itik potong yang memiliki kualitas daging berupa citarasa (flavor) yang disukai konsumen dan memiliki off-odor yang kurang bau amis/anyir pada daging.
77 Materi dan Metode Penelitian Waktu dan Tempat Penelitian dilaksanakan selama lima bulan yakni dari bulan Januari 2011 – Mei 2011. Penelitian sensori dilakukan di Laboratorium Organoleptik Ilmu Produksi Ternak Unggas, Departemen Ilmu Produksi dan Tenologi Peternakan, Fakultas Peternakan dan di Laboratorium Kimia Pangan, Fakultas Teknologi Pertanian IPB. Analisis asam lemak dilakukan di Laboratorium Kimia Terpadu IPB. Materi Penelitian Materi penelitian ini berupa daging itik bagian paha dengan kulit, dari masing-masing jenis itik yakni AA [Alabio♂ x Alabio♀], CC [Cihateup♂ x Cihateup♀], AC [Alabio♂ x Cihateup♀] dan CA [Cihateup♂ x Alabio♀]. Analisis sensori dengan metode uji hedonik dan uji deskriptif (QDA) menggunakan daging bagian paha yang sudah direbus. Analisis lemak dan komposisi asam-asam lemak menggunakan daging paha segar. Seperangkat peralatan yang digunakan antara lain timbangan digital, vacuum seal storage system, freezer untuk penyimpanan sampel daging, dan alat Chromatography Gas (GC). Selain itu pada pengujian sensori dilibatkan panelis baik yang terlatih maupun tidak terlatih. Metode Penelitian Pada akhir periode pemeliharaan umur delapan minggu itik-itik penelitian dipotong yaitu sebanyak 30 ekor dari masing-masing jenis itik AA, CC, AC dan itik CA. Setelah dibului dan dibersihkan, daging bagian paha diambil untuk keperluan analisis lemak, komposisi asam-asam lemak serta untuk keperluan analisis sensori. Daging paha segar dari masing-masing jenis itik dikemas dengan vacuum seal storage system setelah itu segera dimasukkan ke dalam lemari es pembeku (freezer). Analisis sensori menggunakan uji hedonik atau uji kesukaan melibatkan panelis tidak terlatih sebanyak 87 orang, sedangkan uji deskriptif (QDA) melibatkan panelis terlatih sebanyak 10 orang. Analisis lemak dan komposisi asam-asam lemak mengikuti prosedur yang disusun oleh Association of
78 Official Analytical Chemist (AOAC) (1991) dan International Union of Pure and Applied Chemistry (IUPAC) (1988). Analisis/Pengamatan 1. Analisis Sensori 1.1.
Uji Hedonik. Sampel daging bagian paha dengan kulit dari masing-
masing jenis itik dipersiapkan untuk dipotong dengan ukuran 1.5 x 1.5 x 1.5 cm dan berbentuk kotak. Sampel dimasukkan ke dalam wadah pelastik yang tahan panas untuk direbus selama 40 menit dalam suhu 80-100ºC hingga matang. Sampel diangkat dan didinginkan. Wadah untuk mengisi sampel daging paha dipersiapkan dan diberi nomor bilangan acak dengan tiga digit. Sampel daging dimasukkan ke dalam wadah plastik berukuran 5 x 6 cm yang sudah dipersiapkan. Wadah plastik segera ditutup rapat untuk mencegah terjadinya penguapan aroma daging. Sampel daging paha yang sudah disiapkan diberikan kepada 87 orang panelis tidak terlatih dengan mengisi lembar kuesioner yang sudah dipersiapkan (Lampiran 3). Sampel daging dari masing-masing jenis itik AA, CC, AC dan itik CA yang sudah direbus diberikan ke panelis untuk dicium aromanya dan dicicipi rasa daging tersebut. Panelis diminta memberi kesan sesuai dengan pengamatan terhadap atribut aroma dan rasa yang ada kedalam kuesioner yang sudah ada skala hedoniknya. Setiap panelis diminta untuk memberikan penilaian terhadap empat produk daging itik dari masing-masing jenis itik. Kesan diberikan berdasarkan skala hedonik berkisar dari satu sampai tujuh (1 = sangat tidak suka; 2 = tidak suka; 3 = agak tidak suka; 4 = netral; 5 = agak suka; 6 = suka; 7 = sangat suka) (Meilgaard 1999).
1.2.
Uji Quantitative Deskriptive Analysis (QDA). Pengujian profil sensori
terhadap daging itik bagian paha yang sudah direbus dengan metode Quantitative Descriptive Analysis (QDA) meliputi tahapan : (1) perekrutan dan seleksi panelis, (2) pelatihan panelis dan (3) pengujian sampel oleh panelis terlatih (Meilgaard 1999). Pengujian dilakukan oleh panelis terlatih sebanyak 10 orang yang telah terseleksi mampu mendeteksi dan mendeskripsi atribut sensori dari bahan yang diuji.
79 1.2.1. Perekrutan dan Seleksi Panelis. Panelis yang diikut sertakan dalam uji deskripsi merupakan panelis terlatih dari South East Food Agricultural Science and Technology (SEAFAST). Panelis diberi penjelasan tentang jenis uji QDA, jenis bahan yang akan diuji, tahapan pengujian, dan meminta kesediaan waktu panelis untuk ikut serta dalam serangkaian kegiatan pada tingkat pengujian sampel. Panelis dilatih pengenalan aroma daging itik rebus yang bukan hasil penelitian untuk mendeteksi aroma yang muncul. Aroma yang mancul disesuaikan dengan larutan standar yang sudah disiapkan terlebih dahulu dan nantinya akan digunakan dalam uji deskriptif. 1.2.2. Pelatihan Panelis. Deskripsi aroma daging itik mengacu kepada penelitian sebelumnya menurut Hustiany (2001); Randa ( 2007); Rukmiasih (2011) dan Purba (2010) yaitu : bau tengik (rancid), bau amis/anyir (fishy), bau lemak (fatty), bau jamur (mouldy), bau langu (beany), dan bau tanah (earthy). Pelatihan ini dilakukan dalam beberapa kali ulangan hingga penilaian yang diberikan oleh panelis relatif
konsisten.
Panelis dilatih dengan
menggunakan uji segitiga untuk mengetahui kemampuan panelis dalam membedakan aroma atau bau berdasarkan intensitasnya. Selain itu, dilakukan pelatihan terminologi off-odor untuk menyamakan terminologi antar panelis sehingga seluruh panelis memiliki persepsi yang sama terhadap suatu off-odor. Apabila semua panelis terlatih, sudah mengetahui dan sepakat dengan aroma standar yang dipakai maka langkah selanjutnya yakni melakukan uji terhadap sampel sesungguhnya. 1.2.3. Persiapan Sampel. Sampel daging itik yang digunakan untuk uji QDA berupa daging paha berkulit. Sampel dipotong dengan ukuran panjang, lebar dan tinggi yakni 1.5 x 1.5 x 1.5 cm. Sampel daging direbus selama 40 menit hingga matang, setelah itu sampel disajikan dalam plastik yang tertutup rapat untuk menjaga agar tidak terjadi kehilangan komponen volatil dan tiap sampel diberi nomor tiga digit yang berbeda satu dengan lainnya.
80 1.2.4. Pengujian Sampel. Pengujian sampel dilakukan secara kuantitatif dengan skala garis 1 – 15 cm.
Panelis diminta untuk memberikan penilaian intensitas terhadap
sampel yang diuji melalui skala yang diberikan. Titik pangkal kanan menunjukkan intensitas off-odor yang sangat kuat, sedangkan titik pangkal kiri menunjukkan intensitas off-odor yang sangat lemah atau tidak terdeteksi. Penyajian sampel daging itik dikemas dalam plastik yang tertutup rapat, agar tidak terjadi kehilangan komponen volatil. Selanjunya sampel segera diujikan kepada panelis untuk mengetahui intensitas aroma masing-masing sampel daging itik. Selain itu, disediakan pula kopi untuk menetralkan indra penciuman panelis agar tidak terjadi bias saat penilaian. Hasil penilaian panelis selanjutnya diukur dengan menggunakan penggaris berskala centimeter, dengan titik nol berada pada ujung kiri skala garis. Nilai pengukuran merupakan data intensitas off-odor sampel yang diteliti. Formulir kuisioner uji QDA aroma dapat dilihat pada Lampiran 5. 2. Analisis Kandungan Lemak Metode yang digunakan untuk mengukur dan menganalisis kandungan lemak daging itik dilakukan sesuai dengan metoda laboratorium yang disusun oleh Association of Official Analytical Chemist (AOAC) (1991). Bahan yang digunakan adalah daging itik bagian paha dalam bentuk segar. Prosedur kerjanya adalah lemak dari sampel daging setiap perlakuan diekstrak menggunakan pelarut dietil eter dengan alat ekstraksi soxhlet. Sampel yang akan diekstrak lemaknya terlebih dahulu dikeringkan dalam oven vakum dan dihaluskan dengan blender sampai menjadi tepung. Lemak hasil ekstraksi dipanaskan dalam oven pada suhu 105ºC untuk menguapkan pelarutnya. Setelah didinginkan didalam desikator, bobot lemak ditimbang. Perhitungan kadar lemak dilakukan dengan mengikuti persamaan :
Bobot lemak (g) % Lemak
=
x Bobot sampel (g)
100
81 3. Analisis Komposisi Asam-Asam Lemak Bahan yang digunakan untuk menganalisis komposisi asam-asam lemak adalah daging bagian paha itik dalam bentuk segar. Analisis komposisi asamasam lemak dari masing-masing sampel yang telah diekstraksi akan dilakukan menurut prosedur laboratorium AOAC (1991) maupun IUPAC (1988). Prosedur analisis dilakukan dengan bantuan instrumen kromatografi gas (GC) dari tipe GC-9AM shimadzu dan tipe Hewlett Packard (HP) 6890 series. Sebelum disuntikkan ke dalam GC, sampel lemak terlebih dahulu diesterifikasi atau dimetilasi. Identifikasi asam-asam lemak setiap sampel dilakukan dengan membandingkan nilai Relative Retention Time (RRT) sampel terhadap nilai RRT dari standar. Waktu retensi standar asam-asam lemak yang dipakai adalah standar asam lemak 74 dan 84. Prosedur ekstraksi lemak dari sampel daging itik yang hendak dianalisis komposisi asam-asam lemaknya adalah sebagai berikut : a. Sampel seberat 3 gram dimasukkan ke dalam gelas erlenmeyer yang berisi 12 mg asam margarat (C17:0) sebagai standar internal (SI). Selanjutnya pada sampel ditambahkan 20 ml larutan metanol 2:1 dan campuran dikocok selama kurang lebih satu jam, lalu disaring ke dalam tabung. Penyaringan dilakukan sebanyak dua kali. b. Filtrat hasil ekstraksi ditambahkan dengan NaCl 0.09%, kemudian di aduk dengan bantuan forteks. Lapisan bagian atas diambil dengan pipet isap. Lapisan bagian bawah yang tertinggal selanjutnya disaring ke dalam tabung reaksi bertutup. Penyaringan dilakukan dengan menggunakan kertas saring yang dibubuhi Na2SO4 anhidrasi. Hasil penyaringan kemudian dipekatkan dengan gas N2 sampai pelarutnya habis. Lemak yang telah diekstraksi selanjutnya dimetilasi dengan prosedur sebagai berikut : 1. Ke dalam lemak yang sudah dipekatkan ditambahkan 1 ml heksana, kemudian diaduk dengan forteks. Selanjutnya ditambahkan 1.5 ml larutan NaOH-metanol 0.5 N ke dalam larutan. 2. Larutan kemudian dipanaskan dalam penangas air bersuhu 80ºC selama 25 menit. Setelah didinginkan, kedalam larutan ditambahkan lagi 2 ml BF3metanol, lalu diaduk dengan bantuan forteks. Selanjutnya dihembuskan N2 beberapa saat.
82 3. Selanjutnya larutan dipanaskan lagi dalam penangas air bersuhu 80ºC selama 25 menit. Setelah didinginkan ditambahkan dengan 1.5 ml hexan dan 3 ml NaCl jenuh dan di forteks dan diamkan sampai terbentuk dua lapisan. Bagian atas lapisan diambil dengan menggunakan pipet dan dimasukkan ke dalam vial yang telah berisi Na2SO4 anhidrasi. Perekatan dilakukan dengan menggunakan gas N2, sampel siap disuntik ke alat GC. 4. Sampel lemak disuntikkan ke dalam alat GC tipe HP 6890 series, yang diatur temperatur inletnya pada 225ºC, oven temperatur 174ºC, temperatur “front dent” 250ºC, total flow “ front inlet” 20, air flow 200, dan flow H2 40. Indikasi asam lemak dilakukan berdasarkan waktu retensi standar internal, waktu retensi dan area. Kadar konsentrasi komponen-komponen asam lemak akan dihitung dengan terlebih dahulu mengukur nilai Response Factor (RF) dari masing-masing komponen, dengan persamaan sebagai berikut : area standar internal RF =
mg asam lemak x
mg standar internal
area asam lemak
5. Standar internal (SI) yang dipergunakan adalah asam margarat (C17:0), dengan hasil penetapan RF, maka konsentrasi dari setiap komponen asam lemak akan dihitung dengan persamaan sebagai berikut : mg SI Konsentrasi asam lemak =
area asam lemak x
g lemak
x
RF
area SI
Rancangan Statistik Data hasil uji hedonik dianalisis secara statistik dengan Minitab versi 14, menggunakan nonparametrik Kruska Wallis. Uji QDA dianalisis dengan menghitung nilai rataan, standar deviasi selain itu juga analisis komponen utama (PCA) dengan Unscramble (The Unscrambler® 9.7 CAMO ASA, Trondheim, Norway). Peubah yang diamati adalah kandungan lemak dan komposisi asam-
83 asam lemak daging dari masing-masing jenis itik AA, CC, AC dan itik CA, tingkat penerimaan dan intensitas atribut sensori off-odor.
Persiapan sampel daging itik untuk uji hedonik. Sampel dipotong persegi dengan ukuran 1.5 x 1.5 x 1.5 cm
Panelis tidak terlatih sedang melakukan uji hedonik dimasing-masing ruangan
Sampel daging itik dimasukkan kedalam pelastik anti panas dan didirebus selama 40 menit.
Persiapan ruangan organoleptik, untuk uji hedonik
Penilaian pada atribut aroma dan rasa daging itik dengan cara mengisi lembaran quesioner
Gambar 12 Pengujian sensori terhadap atribut aroma dan rasa daging itik bagian paha
84 Hasil dan Pembahasan Kandungan Lemak Hasil pengukuran kandungan lemak daging paha segar keempat jenis itik AA, CC, AC dan itik CA disajikan pada Tabel 21. Rataan kandungan lemak daging paha segar keempat jenis itik berkisar antara
7.35% - 6.46%. Hasil
analisis kandungan lemak itik persilangan AC (6.98%) dan itik CA (6.46%) lebih rendah dibandingkan dengan tetua murni yaitu itik AA (7.08%) dan itik CC (7.35%). Hasil analisis statistik menunjukkan bahwa terdapat perbedaan kandungan lemak antar jenis itik. Itik CC memiliki kandungan lemak lebih tinggi (P<0.05) dari itik AA, AC dan itik CA, sementara itik AA lebih tinggi (P<0.05) dari itik persilangan AC dan itik CA, dan itik persilangan AC lebih tinggi (P<0.05) dari itik CA. Hal ini menunjukkan bahwa proses persilangan timbal balik antara itik Cihateup dengan itik Alabio menghasilkan itik persilangan yakni itik AC dan CA dengan persentase kandungan lemak yang berbeda dibandingkan tetua murninya yakni AA dan CC. Tabel 21 Kandungan lemak daging paha segar itik AA, CC, CA dan itik AC Jenis itik1 AA CC AC CA
Total lemak (%) x ± sd2 7.08b ± 0.03 7.35a ± 0.01 6.98c ± 0.04 6.46d ± 0.03
1
Jenis itik : AA [Alabio ♂ x Alabio ♀]; CC [Cihateup ♂ x Cihateup ♀]; dan persilangan CA [Cihateup ♂ x Alabio ♀]; AC [Alabio ♂ x Cihateup ♀]. a-d Huruf superskrip yang berbeda pada lajur yang sama menunjukkan perbedaan yang nyata pada (P<0.05). 2 sd : Standar deviasi
Hasil analisis kandungan lemak itik tetua murni AA dan CC maupun itik persilangan AC dan itik CA dalam penelitian ini masih lebih rendah dari yang diperoleh Randa (2007), pada daging paha tanpa kulit maupun dengan kulit untuk itik Alabio dan Cihateup, masing-masing sebesar 11.92g dan 22.49g per 100g Bahan Kering (BK); dan sebesar 9.47g dan 22.49g per 100g BK. Rendahnya kandungan lemak hasil penelitian karena umur pemotongan yang berbeda, dimana
85 ternak itik dipotong pada umur 8 minggu sementara Randa pada umur potong 10 minggu. Purba et al. (2010) pada penelitiannya menggunakan itik persilangan Mojosari jantan dengan Alabio betina (MA), memperoleh hasil analisis kandungan lemak daging paha segar sebesar 14% pada umur potong 10 minggu, masih lebih tinggi jika dibandingkan dengan yang diperoleh pada penelitian ini. Menurut Rukmiasih et al. (2010) semakin bertambahnya umur unggas, maka kadar lemak akan semakin tinggi.
Baeza (2006) mengemukakan bahwa
kombinasi genotipe, umur dan nutrien ransum memungkinkan untuk mencapai kandungan lemak daging dengan kisaran yang diinginkan. Komposisi Asam-Asam Lemak Persentase komposisi asam lemak januh (ALJ) maupun asam lemak tidak jenuh (ALTJ) daging paha segar keempat jenis itik AA, CC, AC dan itik CA disajikan pada Tabel 22. Hasil analisis menunjukkan bahwa persilangan timbal balik antara itik Alabio dengan itik Cihateup menghasilkan itik hibrida (F1) yakni itik AC dan itik CA, dengan komposisi asam-asam lemak januh (ALJ) dan asam lemak tidak jenuh (ALTJ) berbeda. Komposisi asam-asam lemak tidak jenuh C18:1(oleat), C18:2 (linoleat), C18:3 (linolenat) dari masing-masing jenis itik menunjukkan, itik tetua AA dengan komposisi asam lemak C18:1 (34.32%); C18:2 (14.07%); C18:3 (0.56%), itik tetua CC komposisi asam lemak C18:1 (35.02%); C18:2 (14.91%); C18:3 (0.50%), itik persilangan CA komposisi asam lemak C18:1 (37.97%); C18:2 (15.21%); C18:3 (0.53%) dan itik persilangan AC sebesar C18:1 (32.40%); C18:2 (13.71%); C18:3 (0.47%). Asam lemak tidak jenuh yang tinggi cenderung mempermudah terbentuknya komponen volatil hasil degradasi lemak yang sangat berperan menyebabkan off-flavor pada daging itik (Hustiani et al. 2001; Rukmiasih et al. 2010; Randa 2007). Hasil analisis menunjukkan bahwa ada perbedaan komposisi asam-asam lemak pada itik persilangan dibandingkan dengan itik tetua murni. Rendahnya kandungan komposisi asam-asam lemak tidak jenuh C18:1, C18:2 dan C18:3 pada itik persilangan AC, berpengaruh terhadap aroma bau amis pada daging juga sangat rendah. Perbedaan yang terjadi pada komposisi asam-asam lemak, antara
86 ternak itik dalam penelitian ini membuktikan, bahwa secara genetik ternak yang dihasilkan melalui perkawinan silang (crossbreeding), dapat memberikan perbedaan dalam komposisi asam-asam lemak sebagaimana yang dihasilkan. Rhee (1992) dan Erisir et al. (2009) melaporkan bahwa perbedaan galur ternak, umur pemotongan dan lingkungan akan memberi pengaruh pada komposisi asamasam lemak dalam tubuh ternak. Pada Tabel 22 diperlihatkan juga rasio asam lemak tidak jenuh (ALTJ) terhadap asam lemak jenuh (ALJ) masing-masing kelompok itik. Itik persilangan AC dan itik CA mengandung total asam-asam lemak tidak jenuh dua kali lebih tinggi daripada total asam-asam lemak jenuh (ALJ). Rasio kandungan ALTJ terhadap ALJ seperti ini juga terlihat pada itik Peking yang dilaporkan oleh Russell (2003) bahwa perbandingan ALTJ terhadap ALJ pada daging bagian paha adalah 67.2 : 32.8 atau sekitar 2.05. Tabel 22 Komposisi asam lemak jenuh (ALJ) dan asam lemak tidak jenuh (ALTJ) Jenis itik1 Jenis asam lemak ALJ C10 : 0(kaprat) C12 : 0(laurat) C14 : 0(miristat) C16 : 0(palmitat) C18 : 0(stearat) C20 : 0(arakhidat) C22 : 0(beheneat) TOTAL ALTJ C 14 : 1(miristoleat) C 16 : 1(palmitoleat) C 18 : 1(oleat) C 18 : 2(linoleat) C 18 : 3(linolenat) C 20 : 1(gadoleat) C 20 : 4(arakhidonat) TOTAL ALTJ/ALJ 1)
AA CC AC CA ------------------------------------(%)------------------------------0,05 0,07 0,04 0,03 0,64 0,82 0,54 0,53 0,69 0,85 0,65 0,63 18,30 19,89 18,39 18,22 4,44 4,98 4,09 3,89 0,10 0,12 0,11 0,09 0,02 0,02 24,22 26,71 23,83 23,42 ----------------------------------(%)------------------------------0,03 1,86 34,32 14,07 0,56 0,21 0,22 51,28 2,12
0,03 1,83 35,02 14,91 0,50 0,22 0,33 52,85 1,98
0,04 1,94 32,40 13,71 0,47 0,21 0,42 49,20 2,06
0,04 2,20 37,97 15,21 0,53 0,23 0,42 56,61 2,42
Jenis itik : AA (Alabio♂ x Alabio♀); CC (Ciahteup♂ x Cihateup♀); AC (Alabio♂ x Cihateup♀); CA (Ciahteup♂ x Alabio♀)
Rasio ALTJ terhadap ALJ pada itik tetua AA (2.12) terlihat jauh lebih besar dari itik tetua CC (1.98). Sementara rasio kandungan ALTJ terhadap ALJ itik persilangan AC dan CA lebih tinggi dari salah satu tetua murni yakni itik CC.
87 Sensori Analisis sensori pada dasarnya bersifat objektif dan subjektif. Secara objektif ingin menjawab pertanyaan dasar dalam penilaian kualitas suatu produk, yaitu pembedaan dan deskripsi, sementara subjektif berkaitan dengan kesukaan atau penerimaan (Setyaningsih et al. 2010). Dalam penelitian ini digunakan dua metode yakni uji penerimaan/kesukaan (hedonik) dan uji deskriptif (QDA). Uji hedonik digunakan untuk menilai respon atau tanggapan panelis terhadap tingkat kesukaan atau sebaliknya dari suatu produk yang diuji, sementara uji deskriptif dengan metode QDA bertujuan mendeskripsikan dan mengukur perbedaan yang ada dan yang ditemukan diantara suatu produk. Uji Hedonik Uji tingkat penerimaan/kesukaan terhadap atribut aroma dan rasa diikuti oleh 87 orang panelis dengan jenis pekerjaan, usia, tingkat pendidikan dan jenis kelamin yang berbeda-beda. Kondisi panelis yang berbeda ini bertujuan agar diperoleh gambaran tingkat penerimaan konsumen yang lebih objektif, untuk mewakili konsumen secara luas. Menurut Setyaningsih et al. (2010), beberapa faktor yang mempengaruhi kepekaan panelis yakni (1) jenis kelamin, umumnya wanita lebih peka, lebih mudah mengemukakan apa yang dirasakan; (2) usia, pada umumnya, kemampuan seseorang dalam merasa, mencium, mendengar dan melihat semakin berkurang seiring dengan bertambahnya usia; (3) kondisi fisiologis, misalnya kondisi lapar atau kenyang; (4) faktor genetis, persepsi sensori seseorang dapat dipengaruhi oleh substansi tertentu, misalnya orang yang peka terhadap rasa pahit dan (5) kondisi psikologis, dapat mempengaruhi kepekaan indra seseorang. Atribut yang diukur dalam uji hedonik meliputi aroma (bau amis) dan rasa. Rasa merupakan hasil interaksi antara indra pencicip manusia dengan komponen-komponen dalam makanan. Aroma merupakan sifat sensori yang paling sulit untuk diklasifikasikan dan dijelaskan karena ragamnya yang begitu besar. Tanggapan terhadap sifat sensori bau atau aroma biasanya diasosiasikan dengan bau senyawa tertentu yang sudah umum dikenal seperti bau vanilli, mentega, amis/anyir dan sebaginya (Winarno 2002; Winarno 2008).
88 Hasil uji penerimaan sensori (uji hedonik) terhadap aroma dan rasa daging bagian paha dari keempat jenis itik AA, CC, AC dan CA yang sudah direbus, disajikan pada Tabel 23. Tabel 23 Nilai tingkat kesukaan (hedonik) daging itik bagian paha Jenis Itik
1
AA CC AC CA
Nilai tingkat kesukaan Aroma Rasa 2 x ± sd x ± sd a 4.5 ± 0.02 4.9a ± 0.10 4.7b ± 0.35 5.0a ± 0.15 5.0c ± 0.04 5.0a ± 0.08 4.7b ± 0.07 4.9a ± 1.14
1
Jenis itik : AA (Alabio♂ x Alabio♀); CC (Ciahteup♂ x Cihateup♀); AC (Alabio♂ x Cihateup♀); CA (Ciahteup♂ x Alabio♀) a-d Huruf superskrip yang berbeda pada lajur yang sama menunjukkan perbedaan yang nyata pada (P<0.05). 2 sd : Standar deviasi
Hasil uji hedonik memperlihatkan atribut rasa dari keempat jenis itik tidak berbeda nyata antar jenis itik AA (4.9), CC(5.0), AC(5.0) dan itik CA (4.9). Hal ini menunjukkan bahwa jenis itik tidak mempengaruhi tingkat kesukaan panelis terhadap rasa daging itik. Sementara untuk aroma daging, antar keempat jenis itik yakni itik AA, CC, CA dan itik AC berbeda nyata. Hasil analisis statistik nonparametrik dengan Kruska Wallis menunjukkan bahwa nilai kesukaan panelis terhadap aroma daging itik AC (5.0) lebih tinggi (P<0.05) dibandingkan dengan ketiga jenis itik AA (4.5), CC (4.7), dan itik CA (4.7). Jenis itik CC dan CA secara statistik tidak berbeda nyata, namun dengan itik AA berbeda nyata. Rozin (2007) menyatakan bahwa kemunculan perbedaan persepsi setiap orang dalam pemilihaan produk dapat dimengerti dengan melihat 3 (tiga) komponen yakni dari segi individu, produk dan lingkungan. Produk dan lingkungan dapat mempengaruhi individu sehingga individu secara tegas akan memberikan respon dalam pemilihan kesukaan atau ketidaksukaan terhadap produk pangan.
89 Uji Deskriptif Off –Flavor (Odor) dengan Metode QDA Hasil uji intensitas terhadap atribut off-odor diperlihatkan pada Gambar 13, data lengkapnya dapat dilihat pada Lampiran 30. Hasil pengujian terhadap atribut off-odor memperlihatkan bahwa jenis itik tetua murni itik CC memiliki komponen off-odor yang dominan terutama bau fishy atau amis dan pada itik AA adalah bau fatty atau berlemak. Kedua jenis tetua murni ini memperlihatkan intensitas off-odor yang paling tinggi terhadap bau amis dan lemak bila dibandingkan dengan itik persilangan AC dan itik CA. Hasil pengukuran terhadap atribut off-odor lain, yang sedikit terdekteksi seperti beany atau bau langu pada itik tetua murni AA (2.17) dan CC (2.44), memiliki atribut off-odor ini lebih tinggi dibandingkan dengan hasil persilangan AC (0.65) dan CA (1.35). Secara keseluruhan rataan intensitas off-odor menunjukkan tingkat intensitas off-odor yang paling rendah dimiliki oleh daging itik AC, hal ini sejalan dengan hasil analisis komposisi asam-asam lemak yang dimiliki itik AC yang juga rendah dan didukung dengan hasil uji penerimaan (hedonik) terhadap atribut aroma daging itik AC yang oleh panelis lebih disukai, dibandingkan dengan itik CA, AA dan itik CC. Secara genetik aroma bau amis/anyir yang dihasilkan dari masing-masing jenis itik, diduga juga adanya pengaruh gen-gen yang ada di kromosom kelamin Z pada ternak jantan.
Tanah
Tengik 70 60 50 40 30 20 10 0
Amis
Jenis itik Alabio x Alabio (AA) Cihateup x Cihateup (CC) Alabio x Cihateup (AC) Cihateup x Alabio (CA)
Langu
Lemak
Jamur
Gambar 13 Atribut off-odor daging paha dari masing-masing jenis itik
90 Pemetaan Atribut off-flavor (odor) dengan Principal Component Analysis (PCA) Hasil analisis dengan menggunakan metode komponen utama principal component analysis, dapat dilihat pada Gambar 14. Gambar 14 di bawah memperlihatkan grafik biplot yaitu hubungan antara kualitas atribut off-odor keempat jenis itik AA, CC, AC dan itik CA berdasarkan analisis komponen utama (PCA) yang dihasilkan. Komponen utama yang dihasilkan pada daging itik bagian paha rebus menjelaskan bahwa sebesar 98% (PC1 90%;PC2 8%) dari total keragaman yang diperoleh. Hasil uji dengan PCA menunjukkan bahwa atribut off-odor fishy paling tinggi ditemukan pada itik tetua CC yang berada pada area (PC1) wilayah positif. Hal ini menunjukkan bahwa off-odor fishy merupakan atribut yang dominan muncul pada galur itik CC. Atribut fatty ditemukan pada galur itik AA berada pada (PC2), pada wilayah positif, menunjukkan bahwa atribut fatty lebih dominan muncul pada itik tetua AA. Itik persilangan AC dan CA berada pada wilayah negatif.
Gambar 14 Hubungan antara kualitas atribut off-odor itik AA, CC, AC dan itik CA berdasarkan Analisis Komponen Utama (AKU)
Berdasarkan hasil biplot yang diperlihatkan, dapat dijelaskan bahwa atribut off-odor seperti bau amis, jamur, tengik dan tanah, lebih mencirikan aroma
91 yang dominan pada itik tetua CC, sedangkan atribut off-odor lemak dan langu lebih mencirikan pada itik AA. Namun secara keseluruhan atribut off-odor seperti bau amis, lemak, jamur, tengik, tanah dan langu dapat menjadi aroma off-odor yang mencirikan itik AA dan itik CC karena atribut aroma off-odor tersebut lebih dekat dengan itik AA dan itik CC tetapi perbedaan masing-masing atribut aroma off-odor tersebut pada itik AA dan itik CC adalah tingkat intensitas setiap aroma off-odor yang dimiliki. Di sisi lain, atribut aroma off-odor itik persilangan AC dan itik CA yang diperlihatkan pada Gambar 14, hampir tidak menunjukkan aroma yang dimiliki oleh itik tetua murni AA dan CC. Itik persilangan memiliki tingkat intensitas off-odor yang sangat rendah, terutama pada itik persilangan AC dibandingkan tetuanya. Rendahnya tingkat intensitas off-odor yang dimiliki itik AC sejalan dengan hasil komposisi asamasam lemak terutama asam lemak tidak jenuh yang rendah, serta nilai tingkat kesukaan terhadap penerimaan atribut aroma daging yang lebih disukai.
Simpulan Persilangan timbal balik antara itik Alabio dengan Cihateup secara genetik, memberikan pengaruh terhadap kandungan lemak dan komposisi asamasam lemak, serta mutu sensori yang berbeda dengan itik tetua. Itik persilangan AC memiliki kandungan lemak dan komposisi asam-asam lemak tidak jenuh (ALTJ) seperti oleat, linoleat dan linolenat yang rendah dibandingkan itik tetuanya dan itik persilangan CA. Itik persilangan AC juga, menghasilkan mutu sensori dengan intensitas off-odor yang paling rendah, serta memberikan tingkat kesukaan terhadap daging itik rebus dengan aroma yang lebih disukai. Profil aroma itik AA dominan dan sangat kuat, pada atribut off-odor lemak dan langu, sedangkan pada itik CC dominan pada atribut off-odor amis, tengik, tanah dan jamur. Pada itik persilangan AC profil aroma off-odor (amis, lemak, langu, tengik, tanah dan jamur) yang dihasilkan intensitasnya sangat lemah. Itik persilangan CA juga mempunyai tingkat intensitas off-odor yang lemah, walaupun tingkat intensitas off-odor nya lebih tinggi dari pada itik AC.
PEMBAHASAN UMUM Potensi pengembangan itik potong dengan memanfaatkan itik jantan petelur memiliki prospek yang cerah untuk diusahakan. Populasi itik yang cukup besar dan penyebarannya hampir disemua provinsi menyebabkan ternak ini menjadi ternak andalan untuk dibudidayakan masyarakat, selain ayam kampung. Data konsumsi daging ternak per kapita per tahun, masyarakat Indonesia tahun 2010 sebesar 6.37 kg/th.
Kontribusi itik sebagai penyedia daging untuk di
konsumsi baru sebesar 0.11 kg/tahun dibandingkan dengan daging ayam ras sebesar 2.25 kg/th, dan ayam kampung sebesar 0.65 kg/kapita/th (Ditjenak dan Keswan 2010). Rendahnya konsumsi daging itik, membuktikan bahwa ketersediaan itik potong sebagai sumber daging masih sedikit atau mungkin juga karena faktor selera dan kebiasaan pola makan. Melihat peluang yang ada dan prospek yang cerah akhir-akhir ini terhadap permintaan daging itik maka memberikan peluang bagi masyarakat untuk dapat mengembangkan usaha ini, apalagi ditunjang dengan pemasaran yang menjanjikan. Pemasaran itik potong yang menjanjikan ini, telah merubah pola usaha peternakan itik yang tadinya hanya sebagai penghasil telur kini mulai mengarahkan ke usaha itik potong dengan memanfaatkan itik jantan petelur yang dipemelihara secara intensif dan mengarah ke skala komersial, sebagai sumber penghasil daging dan dalam waktu singkat sudah bisa dijual. Kebutuhan daging itik di pasaran lokal terus meningkat dari tahun ke tahun. Hal ini ditunjukkan dengan produksi daging itik di beberapa provinsi yang cenderung meningkat terutama di Jawa Barat, Jawa Tengah, Jawa Timur, Kalimantan Selatan dan Aceh Darusalam. Namun usaha peternakan itik potong yang ada, tidak ditunjang dengan ketersediaan DOD yang berkualitas dan kontinyu. Keterbatasan DOD yang berkualitas masih sangat terbatas dan sulit didapat, sehingga banyak yang menggunakan bibit lokal yang tidak diseleksi, sehingga tingkat produktivitasnya rendah. Hal ini menjadi masalah, namun sekaligus peluang usaha yang sangat besar bagi masyarakat atau investor untuk menanamkan modalnya dalam bidang usaha pembibitan untuk menghasilkan DOD khususnya itik potong dan usaha penggemukan dan pembesaran itik potong.
94 Daging itik lokal memiliki tekstur yang agak alot dan terutama bau amis (off-flavor) yang merupakan penyebab kurang disukai oleh konsumen, terutama konsumen yang belum terbiasa mengkonsumsi. Pengurangan bau amis melalui manipulasi pakan telah berhasil dilakukan dengan penambahan antioksidan alami seperti tepung daun beluntas (Rukmiasih et al. 2011) dan antioksidan sintetis seperti vitamin E dan C (Randa 2007) serta santoquin (Purba et al. 2010), akan tetapi bahan-bahan tersebut belum tentu tersedia di setiap daerah. Guna meningkatkan produktivitas itik lokal khususnya pada itik jantan petelur sebagai itik potong, maka diperlukan suatu cara yang sifatnya lebih parmanen, dan salah satunya adalah melalui perbaikan genetik. Upaya perbaikan melalui kawin silang (crossbreeding), terutama untuk memanfaatkan heterosis yang mungkin timbul pada keturunan dari persilangan antara dua kelompok yang berbeda. Pemanfaatan heterosis dalam program persilangan antara kelompokkelompok itik lokal dapat memberikan alternatif jangka pendek dalam meningkatkan produktivitas itik. Pada ternak yang memiliki hubungan kekerabatan jauh, hal ini praktis dapat dilakukan karena akan menimbulkan efek komplementaris dari kedua tetua pada hasil persilangannya yang disebut hybrid vigor. Hybrid vigor merupakan hasil persilangan yang performannya lebih unggul dari rataan performa tetuannya untuk sifat-sifat tertentu. Biasanya juga tujuan persilangan maupun seleksi dilakukan untuk memperbaiki sifat-sifat kuantitatif dan kualitatif ternak yang bersifat ekonomis. Menjawab persoalan di atas, maka dilakukan penelitian dengan menggunakan dua jenis itik lokal yakni itik Alabio yang berasal dari Kalimantan Selatan dan itik Cihateup yang berasal dari Jawa Barat. Penggunaan itik Alabio dalam penelitian ini dikarenakan, selama ini persepsi konsumen terhadap daging itik Alabio yang tidak berbau amis dan memiliki produksi karkas tinggi. Oleh sebab itu, seringkali itik Alabio digunakan dalam persilangan dengan entok atau itik lainnya dalam rangka menghasilkan varietas-varietas silangan, seperti mandalung sebagai itik penghasil daging dengan mutu yang baik. Itik Alabio juga merupakan satu-satunya itik lokal di Indonesia yang telah memiliki sifat-sifat keseragaman fenotipik yang tinggi, seperti warna bulu, paruh dan lain-lain.
95
Dengan memiliki postur tubuh yang besar itik Alabio berpotensi untuk dikembangkan sebagai itik potong yang handal. Itik Cihateup yang belum banyak dikenal oleh masyarakat Indonesia dan merupakan pendatang baru dalam kelompok itik-itik Jawa, karena selama ini itik Cihateup hanya berkembang di Tasikmalaya, Garut dan daerah-daerah sekitar Jawa Barat. Itik Cihateup memiliki postur tubuh yang besar untuk dijadikan sebagai itik potong, namun oleh peternak lebih memilih memeliharanya sebagai itik petelur. Hubungan kekerabatan antara kedua kelompok itik ini jauh (Hetzel 1983) dibandingkan itik Cihateup dengan itik-itik Jawa lainnya. Dengan demikian pengembangan produksi karkas dan kualitas daging itik lokal pada penelitian ini diarahkan pada kedua jenis itik tersebut, untuk mendapatkan itik yang siap dijual (final stock) melalui teknologi persilangan, dan diharapkan adanya efek heterosis yang terjadi pada itik hasil persilangan ini. Penelitian dilakukan dalam beberapa tahapan yang menjadi dasar pertimbangan untuk mencapai tujuan yang diinginkan. Penelitian tahap pertama lebih difokuskan pada beberapa sifat reproduksi seperti fertilitas, daya tetas, kematian embrio dan nisbah kelamin, sementara pada tahapan penelitian kedua pada sifat produksi menyangkut pertumbuhan dan produksi daging, sedangkan pada tahapan penelitian ketiga difokuskan pada segi kualitas daging meliputi flavor daging dan kandungan asam-asam lemak. Hasil analisis terhadap semua variabel yang meliputi (1). sifat reproduksi (fertilitas, daya tetas, kematian embrio, nisbah kelamin); (2). performa (bobot hidup awal (BHo), konversi ransum, bobot hidup akhir (BHt), pertambahan bobot hidup (PBH), bobot karkas, potongan karkas komersial dan (3). kualitas daging (kandungan asam-asam lemak dan perubahan sensori (cita rasa), menunjukkan bahwa variabel-variabel tersebut sangat dipengaruhi oleh faktor jenis itik. Pada penelitian tahap pertama dilihat tentang sifat reproduksi dari keempat jenis itik menunjukkan bahwa itik persilangan CA lebih unggul untuk sifat daya tetas dan kematian embrio, diikuti itik persilangan AC. Nilai heterosis positif untuk sifat daya tetas pada kedua itik persilangan ini memperlihatkan bahwa itik persilangan mempu menunjukkan tingkat daya tetas yang tinggi daripada itik tetuanya. Namun untuk sifat kematian embrio, kedua itik persilangan CA dan itik
96 AC, memperlihatkan nilai persentase heterosis negatif. Nilai heterosis negatif ini malahan merupakan keunggulan karena itik-itik persilangan mampu menunjukkan tingkat kematian embrio yang rendah sehingga dapat menghasilkan DOD hidup lebih banyak. Dari beberapa sifat yang diperoleh, menunjukkan adanya efek heterosis, akan tetapi persentase nilai heterosis itik CA lebih tinggi dibandingkan itik AC, diduga adanya pengaruh gen induk (maternal efek). Hasil ini sekaligus membuktikan bahwa kombinasi persilangan yang terbaik untuk sifat reproduksi adalah persilangan Cihateup jantan x Alabio betina (CA) dibandingkan dengan itik persilangan AC. Pada sisi lain persilangan timbal balik antara itik Cihateup dengan itik Alabio memberi pengaruh nyata (P<0.05) terhadap performa dan produksi karkas. Dari segi performa untuk konversi ransum secara umum hasil penelitian ini dapat memberikan suatu hasil yang sangat baik dimana angka konversi ransum yang biasanya diperoleh peneliti sebelumnya diatas 3 (tiga), namun dalam penelitian ini yang diperoleh sebesar 2.5 dan ini menunjukkan suatu efisiensi pemanfaatan ransum yang sangat baik. Terbukti pada itik persilangan CA menunjukkan angka konversi ransum yang kecil (2.54) (P<0.05), dibandingkan dengan itik-itik yang lain dalam penelitian. Itik persilangan CA juga menunjukkan performa yang lebih besar dibandingkan dengan itik AC. Peubah berupa bobot hidup akhir (BHt), pertambahan bobot hidup (PBH), bobot karkas, dan persentase karkas menunjukkan bahwa itik persilangan CA lebih unggul, hal ini dapat dilihat dari nilai persentase heterosis yang diperoleh cukup tinggi. Akan tetapi untuk potongan karkas bagian dada, itik tetua murni AA masih lebih unggul dengan menunjukkan pengaruh yang besar (P<0.05), sementara potongan komersial bagian paha itik persilangan AC memperlihatkan pengaruh yang besar (P<0.05). Hal ini dapat dibuktikan dengan hasil nilai persentase heterosis yang tinggi. Pada persentase daging dan tulang bagian dada dan paha, menunjukkan bahwa itik persilangan CA unggul pada persentase daging dada, sementara daging bagian paha itik persilangan AC. Kedua itik persilangan ini sangat memberikan manfaat dan menunjukkan prestasi yang baik terhadap sifat perdagingan yang diperoleh dibandingkan tetua murninya. Masing-masing itik persilangan AC dan
97
itik CA menunjukkan ciri khasnya tersendiri dari sifat-sifat unggul yang diperoleh, walaupun tingkat heterosis yang dihasilkannya ada yang kecil dan ada yang besar. Perbedaan nilai heterosis yang terjadi pada itik CA dan AC untuk sifatsifat yang diamati disebabkan oleh faktor genetik dan faktor lingkungan. Faktorfaktor ini berperan sangat penting dalam menentukan keunggulan suatu ternak. Pada dasarnya keragaman fenotip (VP) yang merupakan keragaman yang dapat diamati, disebabkan oleh adanya keragaman genetik (VG) dan keragaman lingkungan (VE) seperti yang terlihat Vp
=
VG + VE + VGxE (Noor 2008).
Selanjutnya dikatakan bahwa keragaman genetik (VG) disebabkan oleh gen-gen aditif (VA) dan juga oleh gen-gen yang non additif. Aksi gen yang non aditif biasanya disebabkan oleh aksi gen dominan (VD) dan aksi gen epistasis (VI). Heterosis sangat dipengaruhi oleh aksi gen non aditif meliputi aksi gen dominan penuh dan overdominan (Noor 2008). Hasil penelitian tahap kedua memperlihatkan efek heterosis yang dimiliki masing-masing itik persilangan, diduga adanya pengaruh maternal efek yang terdapat melalui kromosom W dari induk yang berasal dari DNA mitokondria. DNA mitikondria (mtDNA) banyak digunakan untuk mengidentifikasi keragaman genetik dan dinamika populasi, dan hanya sel telur yang menyumbangkan material mitokondria sehingga mitokondria DNA hanya diturunkan dari induk (betina). Biasanya efek heterosis yang dihasilkan pada hasil persilangan (F1) adalah 100%, namun dari hasil penelitian yang diperoleh ada bagian-bagian tertentu dari sifat-sifat yang diamati pada itik persilangan maupun reciprokal berbeda, sehingga perbedaan performa silangan reciprokal tidak hanya dipengaruhi oleh gen dominan saja (terkespresi dalam bentuk heterosis), akan tetapi juga dipengaruhi oleh adanya gen-gen tertentu yang ada di kromosom W yang merupakan pengaruh maternal. Selain itu, penelitian ini juga melihat berbagai bentuk persilangan seperti backcross, sintetik seimbang, sintetik optimum dan rotasi dengan menggunakan softwere GenUp (Kinghorn 2010). Hasil yang diperoleh menunjukkan bahwa jika akan melakukan persilangan backcross, maka sebaiknya dilakukan perkawinan
98 antara betina dari CA (hasil persilangan Cihateup jantan x Alabio betina) dengan jantan Cihateup. Perkawinan ini memberikan performa yang lebih baik dibandingkan jika menggunakan betina AC (hasil persilangan Alabio jantan x Cihateup betina) dengan jantan Alabio. Apabila persilangan bertujuan untuk membentuk kelompok itik sintetik, maka persilangan sintetik seimbang akan memberikan performa yang lebih baik dibandingkan dengan sintetik optimum. Ternak unggas umumnya memiliki komposisi asam-asam lemak tubuh yang mudah dipengaruhi oleh pakan maupun faktor kebakaan (genetik) yang dibawa sejak lahir. Jenis itik sangat besar pengaruhnya terhadap kandungan lemak dan komposisi asam-asam lemak dalam tubuh itik tersebut. Sebagai unggas air, itik memiliki kulit yang tebal. Tebalnya kulit itik disebabkan oleh penyebaran lemak di bawah kulit dan lemak unggas sebagian besar terdiri atas asam lemak tidak jenuh (Pisulewski 2005). Oksidasi lemak meningkat secara linier dengan makin tingginya asam lemak tidak jenuh dalam daging (Cortinas et al. 2005). Secara umum keempat jenis itik memiliki lemak tubuh yang lebih banyak tersusun dari asam lemak tidak jenuh, terutama asam lemak oleat (C18:1). Hasil analisis kandungan lemak dan komposisi asam-asam lemak memperlihatkan bahwa itik persilangan AC, memiliki kandungan lemak dan komposisi asam-asam lemak yang paling rendah, khususnya asam lemak tidak jenuh C 18:1(oleat), C18:2 (linoleat), dan C18:3 (linolenat) dibandingkan dengan ketiga jenis itik yang lain dalam penelitian. Asam lemak tidak jenuh yang tinggi cenderung mempermudah terbentuknya komponen volatil hasil degradasi lemak yang sangat berperan menyebabkan off-odor khususnya bau amis pada daging itik (Hustiani et al. 2001; Rukmiasih et al. 2011). Hasil penelitian ini membuktikan bahwa, melalui proses persilangan dapat menghasilkan perbedaan kandungan lemak dan komposisi asam-asam lemak pada ternak hasil persilangan. Secara genetik perbedaan galur, bangsa, jenis kelamin dapat berpengaruh terhadap komposisi asam lemak dalam tubuh ternak yang bersangkutan (Rhee 1992; Bailey et al. 1992). Persilangan timbal balik antara itik Cihateup dengan itik Alabio tidak hanya menghasilkan performa itik yang baik namun juga menghasilkan perbaikan pada kualitas sensori daging.
99
Penggunaan metode QDA terhadap intensitas off-odor, memperlihatkan bahwa atribut off-odor yang rendah pada daging dimiliki itik persilangan AC, hal ini sejalan dengan kandungan lemak dan komposisi asam-asam lemak yang yang dimiliki itik persilangan AC yang juga rendah sehingga memberikan penerimaan terhadap intensitas aroma yang rendah pula, dibandingkan dengan itik persilangan CA, juga dengan itik CC yang memiliki intensitas bau amis pada daging yang tinggi dan itik AA dengan intensitas bau lemak yang tinggi. Secara deskripsi itik persilangan AC memiliki tingkat intensitas off-odor untuk semua atribut yang diteliti paling rendah. Pada uji tingkat kesukaan terhadap rasa dan aroma memperlihatkan bahwa itik AC dari segi aroma lebih disukai (P<0.05), sementara untuk rasa pada umumnya semua menyukai daging dari keempat jenis itik. Hasil yang diperoleh pada penelitian tahap ketiga ini memperlihatkan bahwa persilangan timbal balik antara itik Cihateup dengan Alabio terhadap kualitas sensori daging menunjukkan adanya pengaruh dari jenis itik jantan yang dipakai dalam penelitian. Aroma bau amis/anyir yang dihasilkan oleh itik jantan tetua murni CC memiliki intensitas off-odor bau amis yang tajam dibandingkan dengan itik tetua murni AA. Itik hasil persilangan AC yangmana jantanya adalah itik Alabio menunjukkan intensitas untuk semua off-odor lebih rendah, hal ini sejalan dengan komposisi asam-asam lemak jenuh maupun asam-asam lemak tidak jenuh yang dimiliki itik AC juga rendah, dibandingkan dengan itik persilangan CA yang jantannya itik Cihateup memiliki intensitas off-odor yang lebih tinggi. Aroma bau amis/anyir dihasilkan pada masing-masing jenis itik, diduga juga adanya pengaruh gen-gen yang ada di kromosom kelamin Z. Potensi itik jantan lokal hasil persilangan timbal balik antara itik Cihateup dengan itik Alabio sangat besar untuk dijadikan sebagai penghasil daging. Ketersediaan itik potong melalui persilangan itik Cihateup dengan itik Alabio merupakan suatu inovasi teknologi yang mudah dikembangkan di masyarakat, karena teknologinya tidak sulit diterapkan dan hasilnya dapat langsung diperoleh. Peluang ini memberi kesempatan bagi investor atau masyarakat untuk mengembangkan lebih besar lagi itik hasil persilangan ini dengan menyediakan DOD janatan potong yang kontinyu dan berkualitas.
100 Tingginya permintaan terhadap daging itik lokal menjadikan itik jantan petelur hasil persilangan Cihateup dengan Alabio (CA) untuk siap dipotong dalam umur 8 minggu memungkinkan untuk dikembangkan. Itik persilangan CA memiliki performa bobot badan dan produksi karkas yang tinggi dari itik persilangan AC, serta memiliki tingkat intensitas off-odor bau amis yang juga rendah, walaupun tidak serendah pada itik persilangan AC. Oleh karenanya dalam pengembangan itik potong kedepan direkomendasikan untuk dapat memanfaatkan itik jantan petelur hasil persilangan itik Cihateup dengan Alabio (CA). Sementara bagi masyarakat yang menginginkan kualitas daging itik yang bau amisnya rendah dapat mengembangkan itik persilangan antara Alabio dengan Cihateup (AC). Berkembangnya usaha ternak itik potong lokal dengan memanfaatkan itik jantan petelur diharapkan dapat meningkatkan pendapatan dan taraf hidup peternak yang lebih baik. Diharapkan daging itik ini dapat meningkatkan kualitas dan nilai tambah produk (daging itik) yang dimanfaatkan untuk berbagai produk olahan pangan asal daging itik yang siap dijual, yang dengan sendirinya dapat membantu mengatasi kekurangan daging itik asal dalam negeri dan meningkatkan konsumsi daging itik di masyarakat. Strategi program pemuliaan melalui persilangan (crossbreeding) dapat merupakan salah satu langkah alternatif untuk menghasilkan kelompok jenis itik hibrida sebagai itik potong yang dapat diterima masyarakat.
Persilangan ini
dilakukan untuk memperbaiki kelemahan-kelemahan yang ditemui pada tetua murni, sehingga mendapatkan kelompok itik yang produktif dari segi kualitas daging di masa depan. Terlepas dari strategi program pemuliaan, maka keberadaan ternak itik lokal tidak hanya berfungsi sebagai salah satu komoditas usaha tetapi juga merupakan sumberdaya genetik yang perlu dilestarikan. Sebagai sumber devisa dan aset plasma nutfah maka peranan unggas air perlu ditingkatkan melalui program-program penelitian terpadu dalam produksi unggas air yang berwawasan pelestarian dan pemanfaatan plasma nutfah pada pusat-pusat penelitian. Oleh karenanya perlu diberikan prioritas tinggi terhadap penelitian-penelitian yang sifatnya meningkatkan manfaat ternak lokal seperti ternak itik.
SIMPULAN DAN SARAN Simpulan Persilangan timbal balik antara itik Cihateup dengan itik Alabio menghasilkan itik hibrida CA, yang memiliki keunggulan untuk sifat-sifat daya tetas yang tinggi dan tingkat kematian embrio yang rendah. Sama halnya dengan itik persilangan AC juga memberi manfaat untuk sifat daya tetas dan kematian embrio, namun tingkat heterosisnya lebih rendah dari yang diperoleh itik CA. Sifat-sifat ini diduga adanya peranan gen induk (maternal efek) yang diturunkan pada turunannya. Peningkatan performa dan produksi karkas melalui persilangan timbal balik antara itik Cihateup dengan itik Alabio menghasilkan perbedaan yang nyata diantara jenis itik. Itik persilangan CA dari segi performa dan produksi karkas memiliki perbedaan nyata dan unggul di beberpa sifat seperti bobot hidup akhir (BHt), pertambahan bobot hidup akhir (PBH), konversi ransum, bobot potong, bobot karkas dan persentase daging dada dibandingkan dengan ketiga jenis itik yang ada. Sementara itik persilangan AC dari segi performa dan produksi karkas hanya unggul pada dua sifat yakni potongan karkas komersial paha dan persentase daging paha. Efek heterosis yang dimiliki masing-masing itik persilangan, diduga adanya pengaruh maternal efek yang terdapat melalui kromosom W dari induk dan juga dapat berasal dari mitokondria. Itik tetua murni yang terbaik, dimiliki oleh itik AA dengan menghasilkan persentase tertinggi pada potongan karkas komersial bagian dada. Perbaikan kualitas sensori daging itik melalui persilangan timbal balik antara itik Cihateup dengan itik Alabio memberikan pengaruh pada keturunan F1 yakni itik AC dan itik CA. Itik persilangan AC memiliki keunggulan dan manfaat lebih baik pada kualitas sensori (flavor) berupa tingkat penerimaan terhadap atribut aroma daging lebih disukai, juga pada intensitas off-odor terhadap atribut bau amis yang rendah, dibandingkan dengan itik persilangan CA maupun tetua murni. Tingkat penerimaan dan intensitas bau amis yang rendah pada itik AC, ditunjang dengan komposisi asam-asam lemak yang juga rendah, dibandingkan dengan ketiga jenis itik dalam penelitian. Aroma bau amis/anyir dihasilkan pada
102 masing-masing jenis itik, diduga juga adanya pengaruh gen-gen yang ada di kromosom kelamin Z pada itik jantan. Persilangan timbal balik antara itik Cihateup dengan itik Alabio secara genetik dapat menghasilkan perbaikan pada performa, peningkatan produksi karkas dan perbaikan kualitas sensori daging itik lokal. Saran 1. Perlu dilakukan penelitian lanjutan dengan menggunakan metode PCR untuk mengidentifikasi gen-gen yang berpengaruh terhadap pertumbuhan dan kualitas daging itik. Selain itu juga mengidentifikasi gen-gen yang berpengaruh terhadap flavor khususnya atribut off-odor (bau amis) pada daging itik tetua AA, CC maupun itik persilangan AC dan CA.
2. Pemantapan dan pengembangan itik CA melalui perkawinan sesama itik CA (inter se mating) dan melakukan culling terhadap itik-itik hasil perkawinan yang performanya menyimpang dari standart itik CA yang digunakan selama paling tidak 3 (tiga) generasi.
DAFTAR PUSTAKA Abubakar. 2007. Inovasi teknologi pengolahan hasil ternak itik. Di dalam : Seminar nasional Inovasi dan Alih Teknologi Spesifik Lokasi Mendukung Revitalisasi Pertanian. Prosiding Balai Besar Pengkajian dan Pengembangan Teknologi Pertanian. Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian. Departemen Pertanian; Medan, 5 Juni 2007. Medan. Buku 2 hal : 689-698. Ames JM. 1990. Control of The Maillard Reaction in Food Systems. Review. Trend in Food Sci and Tech. Elsevier Science Publisher Ltd. Anggraeni. 1999. Pertumbuhan alometri dan tinjauan morfologi serabut otot dada (M.perctoralis dan m. Supracoracoideus) pada itik dan entog [tesis]. Bogor: Program Pascasarjana, Institut Pertanian Bogor. Apriyantono A, Indrawaty. 1998. Comparison of Flavor Characteristik of Domestic Chicken and Broiler as Affected by Different Processing Methods. Di dalam: Contis E-T, C-T Ho, Cj Mussinan, TH Parliment, F Shahidi dan AM Spanier (Eds). Food Flavors Formation, Analysis and Packaging Influences. Elservier Science, New York. Apriyantono A, Lingganingrum FS. 2001. Off-Flavor pada daging unggas. Di dalam: Pengembangan Unggas Air Sebagai Peluang Usaha Baru. Prosiding Lokakarya Unggas Air. Bogor, 6-7 Agustus 2001. Bogor. Pusat Penelitian Pengembangan Peternakan. hal : 58 – 72. Apriyantono A, Wijaya CH. 2006. Metode pengujian organoleptik III : Deskriptif test. Pengujian organoleptik bahan pangan dan produk pangan. Modul pelatihan. Departemen Ilmu dan Teknologi Pangan Fakultas Teknologi Pangan Fakultas Teknologi Pertanian IPB bekerjasama dengan Southeast Asian Food and Agricultural Science and Technology Center IPB. [AOAC]. 1991. Official Methods of Analysis of the Association of Official Analytical Chemists. 14thEd. Association of Official Analytical Chemists, Inc, Arlington, Virginia. Baeza E. 2006. Effects of Genotype, age, and nutrition on intramuscular lipids and meat quality. Symposium COA/INRA Scientific Cooperation in Agriculture, Taiwan: November 7 – 10. pp 79-82. Brahmantiyo B, Prasetyo LH. 2001. Pengaruh bangsa itik Alabio dan Mojosari terhadap performans reproduksi. Di dalam : Perkembangan teknologi Peternakan unggas air di Indonesia. Prosiding Lokakarya Unggas Air I Pengembangan Agribisnis unggas air sebagai peluang usaha baru. Balai Penelitian Ternak, Pusat Penelitian dan Pengembangan Peternakan,
104 Departemen Pertanian dan Fakultas Peternakan IPB. Bogor, 6 – 7 Agustus 2001. Ciawi. hal : 73 – 78. Brahmantiyo B. Setioko AR, Prasetyo LH. 2003. Karakteristik itik pegagan sebagai sumber plasma nutfah ternak. Di dalam: Seminar nasional teknologi peternakan dan veteriner. Prosiding Pusat Penelitian dan Pengembangan Peternakan, Departemen Pertanian. Bogor, 29-30 September 2003. Bogor. hal: 375-380. Chartrin P et al. 2006. Effects of Intramuscular Fat Levels on Sensory Characteristics of Duck Breast Meat. J Poult Sci 85: 914–922. Cortinas L et al. 2005. Influence of the dietary polyunsaturation level on chicken meat quality: Lipid oxidation. J Poult Sci 84 : 48–55. Crawford RD. 1993. Origin and History of Poultry Species. Part I. Poultry Biology. Di dalam: Poultry Breeding and Genetics. RD Crawford (Editor). Elsevier. Developments in Animal dan Veterinary Sciences. pp 22. Damayanti AP. 2003. Kinerja biologis komparatif antara itik, entog dan mandalung [tesis]. Bogor: Program Pascasarjana, Institut Pertanian Bogor. Departemen Pertanian. 2006. Peraturan Menteri Pertanian Nomor 235/Permentan/OT.140/8/2006 Tentang Pedoman Pelestarian dan Pemanfaatan Sumber Daya Genetik Ternak. Departemen Pertanian R.I. Jakarta. Dharma YA, Rukmiasih, Hardjosworo PS. 2001. Ciri-ciri telur tetas mandalung dan rasio jantan dengan betina yang dihasilkan. Di dalam : Perkembangan teknologi Peternakan unggas air di Indonesia. Prosiding Lokakarya Unggas Air I Pengembangan Agribisnis unggas air sebagai peluang usaha baru. Balai Penelitian Ternak, Pusat Penelitian dan Pengembangan Peternakan, Departemen Pertanian dan Fakultas Peternakan IPB. Bogor, 6 – 7 Agustus 2001. Ciawi. hal : 208-212. Ditjenak dan Keswan. 2010. Buku Statistik Peternakan. Direktorat Jenderal Peternakan dan Kesehatan Hewan. Departemen Pertanian RI. Dohner J Vorwald. 2001. The encyclopedia of historic and endangered livestock and poultry breeds. Published with assistance from the Louis stern memorial fund. Yale university press, new haven and London. pp 456-465. Ensminger ME. 1992. Poultry Science. 3rd Ed. Illionis: Cab International. Erisir Z, Poyraz O, Onbasilar EE, Erdem E, Oksuztepe GA. 2009. Effects of housing system, swimming pool and slaughter age on duck performance, carcass and meat characteristics. J Anim Vet Adv. 8: 1864-1869.
105 Falconer DS, Mackay TFC. 1996. Introduction to Quantitative Genetics. Fourth Edition. Longman: England. Febriana D. 2006. Sifat organoleptik daging dan sosis dari itik yang mendapat tepung daun beluntas (Pluchea indica L) dalam pakan [skripsi]. Bogor: Fakultas Peternakan, Institut Pertanian Bogor. Gray JL, Crackel RL. 1994. Oxidative Flavour Changes in Meats: The Origin and Prevention. Di dalam : Jhonson DE, Knight MK dan Ledward DA. (Eds). The Chemistry of Muscle-Based Food. Royal Society of Chemistry, Cambridge. Gunawan B. 1987. Penggunaan teknologi genetika kuantitatif dalam pengembangan itik petelur Indonesia. Pembertukan bibit unggul itik dari hasil kawin silang antara itik Alabio, Tegal dan Khaki Campbell yang telah diseleksi. Ilmu Pet 3(2): 55-59. Gunawan B. 1988. Teknologi pemuliabiakan itik petelur Indonesia. Prosiding Seminar Nasional peternakan dan forum peternak Unggas dan Aneka Ternak II. Balai Penelitian Ternak. Pusat Penelitian dan Pengembangan Peternakan, Badan Litbang Pertanian. Departemen Pertanian. Gunawan B, Edianingsih P, Martoyo H, Komarudin. 1994 . Produktivitas dan keragaman fenotipik itik Alabio pada sistem pemeliharaan intensif. Di dalam: Pengolahan dan komunikasi hasil-hasil penelitian. Prosiding Seminar Nasional Sains dan Teknologi. Balai Penelitian Ternak. Bogor. hal : 597603. Hamilton RJ. 1983. The Chemistry of Rancidity in Foods. In : Rancidity in Foods. Allen JC, Hamilton RJ, editor. Applied Science Publishers. London and New York. Harahap D. 1993. Potensi itik mandalung sebagai peghasil daging ditinjau dari berat karkas dan penilaian organoleptik dagingnya dibandingkan dengan tetuanya [disertasi]. Bogor: Sekolah Pascasarjana, Institut Pertanian Bogor. Hardjosworo PS. 1995. Peluang pemanfaatan potensi genetik dan prospek pengembangan unggas lokal. Prosiding Seminar Nasional Sains dan Teknologi Peternakan. Balai Penelitian Ternak. Bogor. hal : 17 – 23. Hardjosworo PS et al. 2001. Perkembangan teknologi Peternakan unggas air di Indonesia. Di dalam : Perkembangan teknologi Peternakan unggas air di Indonesia. Prosiding Lokakarya Unggas Air I Pengembangan Agribisnis unggas air sebagai peluang usaha baru. Balai Penelitian Ternak, Pusat Penelitian dan Pengembangan Peternakan, Departemen Pertanian dan Fakultas Peternakan IPB. Bogor, 6 – 7 Agustus 2001. Ciawi. hal : 22-41.
106 Harun MAS, Veeneklaas RJ, Visser GH, Van Kempen M. 2001. Artificial incubation of muscovy duck eggs: Why some eggs hatch and others do not. J Poult Sci 80: 219-224. Hetzel DJS. 1983. The egg production of intensively managed Alabio and Tegal ducks and their reciprocal crosses. World Rev of Anim Prod. 19 (4): 41-46. Hetzel DJS. 1985. Duck Breeding Strategies–The Indonesian Example. In: Duck Production Science and World Practice. FARRELL, D.J. dan P. STAPLETON. (Eds.). The University of New England. pp 204–233. Hustiany R. 2001. Identifikasi dan karakterisasi komponen off-odor pada daging itik [tesis]. Bogor: Program Pascasarjana, Institut Pertanian Bogor. Hustiany R, Apriyantono A, Hermanianto J, Hardjosworo PS. 2001. Identifikasi komponen volatil daging itik lokal Jawa. Di dalam : Perkembangan teknologi Peternakan unggas air di Indonesia. Prosiding Lokakarya Unggas Air I Pengembangan Agribisnis unggas air sebagai peluang usaha baru. Balai Penelitian Ternak, Pusat Penelitian dan Pengembangan Peternakan, Departemen Pertanian dan Fakultas Peternakan IPB. Bogor, 6 – 7 Agustus 2001. Ciawi. hal : 192-201. [IUPAC]. 1988. International Union of Pure and Applied Chemistry. Standard Methods for the Analysis of Oils, Fat, and Derivatives. Blackweil Scientific Publication, Oxford, England. Jun K, Rock OH, Man jin O. 1996. Chemical Composition of Special. Chungnam Taehakkyo. J Poult Meat 23 (1) : 90 – 98. Ketaren PP, Prasetyo LH, Murtisari T. 2000. Karakter produksi telur pada itik silang Mojosari x Alabio.Prosiding. Bogor. Seminar nasional peternakan dan veteriner. Puslitbang Peternakan. hal : 286-291. Ketaren PP, Prasetyo LH. 2007. Pengaruh pemberian pakan terbatas terhadap produktivitas itik silang Mojosari x Alabio (MA): masa pertumbuhan sampai bertelur pertama, JITV 12(1): 10-15. Ketaren PP. 2007. Peranan itik sebagai penghasil telur dan daging. Wartazoa 17 (3): 117-127. Kilcast D. 1996. Sensory Evaluation of Taints and Off-flavors. Di dalam: Saxby MJ, editor. Food Taints and Off-flavours. Blackie Academic & Professional. Chapman & Hall. London. pp 1-40. Kim GD et al. 2006. Division of Applied Life Science, Graduate School, Gyeongsang National University, Jinju, Gyeongnam 660-701, Korea. pp 13.
107
Kinghorn B, 2010, GENUP of Pedigree versi 6,4, http:/www-personal,une,edu,au [7 Juni 2010]. Koch T. 1973. Anatomy of the Chicken and Domestic Birds. Ed. By BH Skold and L DeVries. Kochhar SP. 1996. Oxidative pathways to the formation of off-flavours. Di dalam Saxby MJ, editor. Food Taints and Off-Flavours. Blackie Academic & Professional. Chapman & Hall. London. pp 168-225. Kortlang CFHF. 1985. The incubation of duck eggs. In duck production science and world practice. Farrel DJ and Stapleton P. Ed. University of New England. pp 168-177. Lasmini A, Abdulsamie R, Parwati NM. 1992. Pengaruh cara penetasan terhadap daya tetas telur itik Tegal dan Alabio. Di dalam : Pengolahan dan Komunikasi Hasil-hasil Penelitian Unggas dan Aneka Ternak. Prosiding Seminar Nasional Sains dan Teknologi. Balai Penelitian Ternak. Bogor. Ciawi. hal : 31-34. Lawrie RA. 1995. Ilmu Daging. Edisi kelima. Parakkasi A, penerjemah; Jakarta UI Press. Terjemahan dari : Meat Science. Leclercq B, Carville de H. 1985. Growth and body composition of Muscovy duck. Di dalam : Ferrell, DJ and Stapleton P. Ed. Duck Production Science and World Practise. University of New England : pp 102 -109. MacLeod G. 1986. The Scientific and Technological Basis of Meat Flavours. Di dalam: Birch. GG dan Lindley G. editor. Developments in Food Flavours. London: Elsevier Appleid Sci. pp 191 – 223. Martojo H. 1992. Peningkatan Mutu Genetik Ternak, Departemen Pendidikan dan Kebudayaan. Direktorat Jenderal Pendidikan Tinggi. Pusat Antar Universitas Bioteknologi, Institut Pertanian Bogor. Matitaputty PR. 2002. Upaya memperbaiki pertumbuhan dan efisiensi pakan mandalung melalui fortifikasi pakan dengan imbuhan pakan avilamisina [tesis]. Bogor: Program Pascasarjana, Institut Pertanian Bogor. Meilgaard M, Civille GV, Carr T. 1999. Sensory Evaluation Techniques. 3rd Ed. Washington DC. CRC Press. CLL Mottram DS. 1991. Meat. Di dalam : Maarse H. editor. Volatile Compounds in Foods and Beverages. New York ; Marcel Dekker. Muliana, Rukmiasih, Hardjosworo PS. 2001. Pengaruh bobot tetas terhadap bobot potong itik Mandalung pada umur 6, 8, 10 dan 12 minggu. Di dalam:
108 Perkembangan teknologi Peternakan unggas air di Indonesia. Prosiding Lokakarya Unggas Air I Pengembangan Agribisnis unggas air sebagai peluang usaha baru. Balai Penelitian Ternak, Pusat Penelitian dan Pengembangan Peternakan, Departemen Pertanian dan Fakultas Peternakan IPB. Bogor, 6 – 7 Agustus 2001. Ciawi. hal : 187-191. Muryanto. 2002. Pertumbuhan alometri dan tinjauan histology otot dada pada ayam kampung dan hasil persilangannya dengan ayam ras petelur betina [tesis]. Bogor: Program Pascasarjana, Institut Pertanian Bogor. Muzani A, Brahmantiyo B, Sumantri C, Tapyadi A. 2005. Pendugaan jarak genetik pada itik Cihateup, Cirebon dan Mojosari. J Med Pet 28(3) : 109116. Nasution E. 2003. Sifat fisik dan palatabilitas bakso daging itik yang menggunakan sari jeruk nipis (Citrus aurantifolia Swingle) dalam adonannya. [skripsi]. Bogor : Fakultas Peternakan, Institut Pertanian Bogor. Ngobe M. 2003. Perkembangan bobot dan penampilan embrio itik Alabio dan hasil persilangannya dengan entok jantan sebagai pedoman untuk menduga umur embrio [tesis]. Bogor: Program Pascasarjana, Institut Pertanian Bogor. Noor RR. 2001. Genetika Kuantitatif Hewan/Ternak. Laboratorium Pemuliaan dan Genetika Ternak. Fakultas Peternakan. Institut Pertanian Bogor. Noor RR. 2008. Genetika Ternak. Edisi ke 4. Jakarta. Penebar Swadaya. North MO . 1984. Commercial Chicken Production Manual. 3rd Ed. Inc Wesport, Connecticut : The AVI Publishing Company. North MO, Bell DD. 1990. Commercial Chicken Production Manual. Fourth Edition. Inc Westport, Connecticut. The AVI Publishing Company. Pisulewski PM. 2005. Nutritional potential for improving meat in poult Anim Sci. Pap. Rep 23 : 303-315. Prasetyo LH. 2007. Heterosis persilangan itik Tegal dan Mojosari pada kondisi sub-optimal. JITV 12 (1) : 22 – 26. Prasetyo LH, Susanti T. 2000. Persilangan timbal balik antara itik Alabio dan Mojosari: Periode awal pertumbuhan dan awal bertelur. JITV 5 (4): 209 – 213. Prasetyo LH, Susanti T, Purba M. 2000. Pengembangan bibit niaga itik local sebagai suatu usahatani. Laporan bagian proyek rekatasa teknologi peternakan ARMP-II. Balai Penelitian Ternak , Ciawi. Bogor.
109 Prasetyo LH, Susanti T. 1997. Persilangan timbal balik antara itik Tegal dan Mojosari: Awal pertumbuhan dan awal bertelur. JITV 3 (3): 152 – 156. Prasetyo LH, Eisen EJ. 1989. Effects of preweaning stress on heterosis and average genetic effects in mice. J Anim Breed Genet 106 : 443 - 454. Prasetyo LH, Susanti T, Purba M. 2001. Pengembangan bibit niaga itik lokal sebagai suatu usaha tani. Prosiding Hasil Penelitian Bagian Proyek Rekayasa Teknologi Peternakan/ ARMP-II. Puslitbang Peternakan, hal : 3540. Prasetyo LH, Ketaren PP, Hardjosworo PS. 2005. Perkembangan teknologi budidaya itik di Indonesia. Lokakarya Nasional Unggas Air II. Di dalam: Merebut peluang agribisnis melalui pengembangan usaha kecil dan menengah unggas air. Prosiding Kerjasama Balai Penelitian Ternak, Pusat Penelitian dan Pengembangan Peternakan, Masyarakat Ilmu Perunggasan Indonesia (MIPI) dan Fakultas Peternakan IPB. Bogor, 16-17 Nopember 2005. Ciawi, Bogor. hal : 145-161. Prasetyo LH, Brahmantiyo B, Purba M. 2002. Seleksi dalam galur pada bibit induk itik lokal. Kumpulan Hasil-hasil penelitian APBN Tahun Anggaran 2001. Buku II Non Ruminansia. Balai Penelitian Ternak, Ciawi, Bogor. hal : 80–86. Purba M, Manurung T. 1998. Produktivitas Ternak Itik Petelur pada Pemeliharaan Intensif. Prosiding Seminar Nasional Peternakan dan Veteriner. Puslitbang Peternakan, Badan Litbang Pertanian, Departemen Pertanian. Bogor. Purba M, Prasetyo LH, Susanti T. 2006. Kualitas telur Alabio dan Mojosari pada generasi pertama populasi seleksi. Seminar nasional teknologi Peternakan dan veteriner. Puslitbang Peternakan, Badan Litbang Pertanian, Departemen Pertanian. Bogor. hal : 687-693. Purba M, Laconi EB, Ketaren PP, Wijaya CH, Hardjosworo PS. 2010. Kualitas sensori dan komposisi asam lemak daging itik lokal jantan dengan suplementasi santoquin, vitamin E dan C dalam ransum. JITV 15(1): 47-55. Rahayu WP. 2001. Penuntun Praktikum Penilaian Organoleptik. Jurusan Teknologi Pangan dan Gizi, Fakultas Teknologi Pertanian. Institut Pertanian Bogor. Randa SY. 2007. Bau daging dan performa itik akibat pengaruh perbedaan galur dan jenis lemak serta kombinasi komposisi antioksidan (Vitamin A, C dan E) dalam pakan [disertasi]. Bogor: Sekolah Pascasarjana, Institut Pertanian Bogor.
110 Randa SY, Hardjosworo PS, Apriyantono A, Hutagalung R. 2007. Pengurangan Bau (Off-Odor) Daging Itik Cihateup dengan Suplementasi Antioksidan. Prosiding Seminar Nasional Teknologi Peternakan dan Veteriner. Pusat Penelitian dan Pengembangan Peternakan, Departemen Pertanian. Bogor. hal : 629 – 635. Reineccius G. 1994. Source Book of Flavor. Chapman & Hall, New York. Retailleau B. 1999. Comparison of the growth and body composition of 3 types of ducks: Pekin, Muscovy and Mule. Proceedings of 1st Worlds Waterfowl Conference. Taiwan-China. pp 597-602. Rhee KS. 1992. Fatty acids in maets and maet products. Di dalam: Chow CK editor. Fatty acids in foods and their health implications. New York: Marcel Dekker. Rohaini ES, Setioko AR. 2001. Keragaan produksi telur pada sentra pengembangan agribisnis komoditas unggulan (SPAKU) itik Alabio di Kabupaten Hulu Sungai Utara, Kalimantan Selatan. Prosiding Lokakarya Nasional. Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian, Departemen Pertanian. Tanggal 6-7 Agustus 2001. Rozin P. 2007. How does culture affect choice of food? In : Consumer Led Product Development. Editor H. MacFie. Abington. Woodhead Publishing Limited. Rukmiasih, Hardjosworo PS, Piliang WG, Hermanianto J, Apriyantono A. 2010. Penampilan, kualitas kimia dan off-odor daging itik (Anas plathyrynchos) yang diberi pakan mengandung beluntas (Pluchea indica L.Less). J Med Pet 33 (2): 68-79. Rukmiasih. 2011. Penurunan bau amis (off-odor) daging itik lokal dengan pemberian tepung daun beluntas (pluchea indica l.) dalam pakan dan dampaknya terhadap performa [disertasi]. Bogor: Sekolah Pascasarjana, Institut Pertanian Bogor. Setioko AR, Istiana. 1999. Pembibitan Itik Alabio di Kabupaten Hulu Sungai Tengah. Prosiding Seminar Nasional Peternakan dan Veteriner. Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian, Departemen Pertanian. 1-2 Desember 1999. hal : 382-387. Setioko AR et al. 2002. Performans itik Serati hasil inseminasi buatan di tingkat peternak. Prosiding Seminar nasional teknologi peternakan dan veteriner. Pusat Penelitian dan Pengembangan Peternakan, Departemen Pertanian Bogor. hal : 302- 305. Setioko AR. 2003. Keragaan itik Serati sebagai permasalahannya. Wartazoa 13 (1): 14-20.
itik
pedaging
dan
111 Setioko AR. 2005. Fertilitas dan kematian embrio pada perkawinan silang entog jantan dan itik betina. Lokakarya Nasional Unggas Air II. Di dalam: Merebut peluang agribisnis melalui pengembangan usaha kecil dan menengah unggas air. Prosiding Kerjasama Balai Penelitian Ternak, Pusat Penelitian dan Pengembangan Peternakan, Masyarakat Ilmu Perunggasan Indonesia (MIPI) dan Fakultas Peternakan IPB. Bogor, 16-17 Nopember 2005. Ciawi, Bogor. hal : 271-280. Setioko AR, Prasetyo LH, Kusumaningrum DA, Sopiyana S. 2004. Daya tetas dan kinerja pertumbuhan itik Pekín x Alabio (PA) sebagai induk itik pedaging. Prosiding Seminar Nasional Teknologi Peternakan dan Veteriner. Pusat Penelitian dan Pengembangan Peternakan, Departemen Pertanian. Bogor, 4 – 5 Agustus 2004.Bogor. Setyaningsih D, Apriyantono A, Puspita SM. 2010. Analisis sensori untuk industry pangan dan agro.IPB Press.Kampus IPB Taman Kencana Bogor. Shahidi F. 1998. Flavor of Meat. Di dalam: Meat Product and Seafoods. Second edition. Blackie academic and Profesional. Canada. Shahidi F, Pegg RB. 1994. Hexanal as and Indicator of the Flavor Deterioration of Meat Product. Di dalam : C.T. Ho dan T.G. Hartman (Eds) Lipids in Food Flavor. American Chemical Society, Washington, D.C. Smith DP, Fletcher DL, Burhr RJ, Beyer RS. 1993. Peking duckling and broiler chicken pectoralis muscule strukture and composition. J Poult Sci 72 : 202208. Soeparno. 1998. Ilmu dan Teknologi Daging. Edisi ke 3. Gajah Mada University Press. Yogyakarta. Sopiyana S, Prasetyo LH. 2007. Fertilitas dan daya tetas telur itik persilangan Peking x Alabio (PA) dan Peking x Mojosari (PM) yang diinseminasi Entok jantan. Prosiding Seminar nasional teknologi peternakan dan veteriner. Pusat Penelitian dan Pengembangan Peternakan, Departemen Pertanian. Bogor. hal : 622-625. Srigandono B. 1997. Beternak Itik Pedaging. Gajah Mada University Press. Yogyakarta. . Stansfield WE. 1983. Theory and Problems of Genetics. 2nd Ed. Mc Graw Hill Book Company Inc, New York. Steel RGD, Torrie JH. 1993. Prinsip dan Prosedur Statistik Suatu Pendekatan Biometrik. Edisi ke 3. Sumantri B, penerjemah; Gramedia Jakarta. Terjemahan dari : Principles and Procedures of Statistics.
112 Sudjatinah. 1998. Pengaruh lama pelayuan terhadap sifat-sifat fisik dan penampilan histologi jaringan otot dada dan paha pada itik dan entog [tesis]. Bogor: Program Pascasarjana, Institut Pertanian Bogor. Sunari, Rukmiasih, Hardjosworo PS. 2001. Persentase bagian pangan dan nonpangan itik Mandalung pada berbagai umur. Di dalam : Perkembangan teknologi Peternakan unggas air di Indonesia. Prosiding Lokakarya Unggas Air I Pengembangan Agribisnis unggas air sebagai peluang usaha baru. Balai Penelitian Ternak, Pusat Penelitian dan Pengembangan Peternakan, Departemen Pertanian dan Fakultas Peternakan IPB. Bogor, 6 – 7 Agustus 2001. Ciawi, Bogor. hal : 202-207. Suryati T, Astawan M, Wresdiyati T. 2006. Karakteristik organoleptik daging domba yang diberi stimulasi listrik voltase rendah. J Med Pet 29 (1): 1 -6. Suryana. 2011. Karakterisasi genetik itik alabio (Anas platyrhynchos borneo) di Kalimantan Selatan dalam rangka pemanfaatan dan pelestariannya secara berkelanjutan [disertasi]. Bogor: Sekolah Pascasarjana, Institut Pertanian Bogor. Suparyanto A. 2005. Peningkatan produktivitas daging itik Mandalung melalui pembentukan galur induk [disertasi]. Bogor: Sekolah Pascasarjana, Institut Pertanian Bogor. Suretno ND. 2007. Kajian kualitas sperma itik Cihateup. Di dalam : Seminar nasional Inovasi dan Alih Teknologi Spesifik Lokasi Mendukung Revitalisasi Pertanian. Prosiding Balai Besar Pengkajian dan Pengembangan Teknologi Pertanian. Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian. Departemen Pertanian; Medan, 5 Juni 2007. Medan. Buku 2 hal : 606-609. Susanti T. 2003. Strategi pembibitan itik Alabio dan itik Mojosari [tesis]. Bogor: Program Pascasarjana, Institut Pertanian Bogor. Susanti T, Prasetyo LH. 2007. Panduan karakterisasi ternak itik. Pusat Penelitian dan Pengembangan Peternakan. Departemen Pertanian. Susanti T, Prasetyo LH, Raharjo YC, Sejati WK. 1998. Pertumbuhan galur persilangan timbal balik itik Alabio dan Mojosari. Prosiding Seminar nasional peternakan dan veteriner, Bogor, 1-2 Desember 1998. Pusat Penelitian dan Pengembangan Peternakan, Departemen Pertanian. Bogor. hal : 356-365. Susanti T, Setioko AR, Prasetyo LH, Supriyadi. 2005. Produksi telur itik MA di BPTU Pelaihari Kalimantan Selatan. Di dalam: Seminar Nasional. Prosiding Teknologi peternakan dan veteriner. Pusat penelitian dan pengembangan peternakan. Badan penelitian dan pengembangan pertanian. Departemen pertanian. Bogor, 12 – 13 September 2005. Bogor. hal : 817-821.
113 Triyantini. 1998. Pengolahan dendeng itik sebagai upaya diversifikasi pangan. Wartazoa 7 (1) : 4 – 9. Wahono E. 2005. Pengamatan morfometrik pada itik Alabio, Mojosari dan Perilangannya. [skripsi]. Bogor: Fakultas Peternakan, Institut Pertanian Bogor. Winarno FG. 2008. Kimia Pangan dan Gizi. Edisi 1. M-Brio Press, Bogor. Winarno FG. 2002. Flavor bagi Industri Pangan. Edisi 1. M-Brio Press, Bogor. Witak B. 2007. Tissue composition of carcass, meat quality and fatty acid content of ducks of a commercial breeding line at different age. Arch. Tierz., Dummerstorf 51 : 266-275. Wulandari WA, Hardjosworo PS, Gunawan. 2005. Kajian Karakteristik Biologis Itik Cihateup dari Kabupaten Tasikmalaya dan Garut. Prosiding Seminar Nasional Teknologi Peternakan dan Veteriner. Pusat Penelitian dan Pengembangan Peternakan, Departemen Pertanian. Bogor 12 -13 September. hal : 795 -803.
115 Lampiran 1 Lembaran kuisioner seleksi panelis I.
Identitas Diri Nama Umur Alamat No tlp/hp Pekerjaan E-mail
: : : : : :
.................................................. .................................................. .................................................. .................................................. .................................................. ..................................................
II. Waktu a. Pada hari kerja mana saja (Senin – Jumat) anda punya waktu untuk dapat bertugas sebagai seorang panelis? ............................................................................ b. Sebagai seorang panelis anda memilih waktu bekerja pada pagi hari (09.00-11.00) atau siang hari (13.00-16.00) WIB? ............................................................................ III. Kesehatan a. Apakah anda sedang menghadapi persoalan kesehatan yang berkaitan dengan beberapa hal sebagai berikut : Diabetes : ..................... Hipoglikemia : ..................... Alergi Makanan (daging) : ..................... Hipertensi : ..................... Gangguan penciuman : ..................... Mudah terserang Flu : ..................... b. Apakah dalam sebulan terakhir ini anda sedang memakan/minum obat yang dapat mempengaruhi sensori anda seperti rasa dan bau? (ya) / (tidak) IV. Kebiasaan Makan a. Apakah saat ini anda sedang menjalankan program diet? (ya) / (tidak) b. Apakah ada makanan (halal) yang tidak boleh anda makan? (ya) / (tidak) Jika ya, sebutkan : ............................................................... c. Makanan apa yang anda paling tidak suka? .............................................................................................. d. Adakah jenis bau yang dapat menyebabkan perasaan anda sangat tidak menyenangkan, sebutkan beberapa? .............................................................................................. e. Apakah anda memiliki kemampuan dalam membedakan rasa dan bau yang : - lebih baik dari rata-rata orang : (ya)/(tidak) - Sedang (rata-rata) : (ya)/(tidak) - Lebih buruk dari rata-rata : (ya)/(tidak) f. Adakah diantara keluarga dekat anda yang pernah/pada saat ini bekerja pada perusahaan makanan atau industri parfum? (ada)/(tidak)
116 V. Lain-lain 1. Jenis makanan apa saja yang anda kenal mempunyai rasa, bau anyir/amis? ..................................................................................................................... 2. Menurut anda seperti apa bau anyir/amis itu? ..................................................................................................................... 3. Apakah ada perbedaan antara rasa daging ayam dan itik(bebek)? ..................................................................................................................... 4. Seperti apa bau daging mentah dapat disamakan? .................................................................................................................... 5. Bau seperti apa saja yang memberi kesan bersih dan segar? ...................................................................................................................
Catatan : ................................................................................................................. .................................................................................................................
Terima kasih,.
117 Lampiran 2 Format lembaran uji aroma sederhana dan uji rasa dasar Uji Aroma Sederhana Nama Panelis : No HP/Tlp : Tanggal Pengujian : Instruksi Di depan saudara disajikan 5 sampel contoh larutan yang diberi kode berbeda, saudara diminta untuk dapat memberi respon untuk setiap sampel contoh larutan dengan AROMA yang berhasil saudara identifikasi pada kolom di bawah ini dengan cara : 1. Saudara diminta untuk menulis kode sampel larutan yang tersedia 2. Saudara diminta untuk membuka tutup botol yang berisi contoh larutan, lewatkan di dekat hidung saudara selama 3 detik 3. Saudara diminta untuk menulis identifikasi aroma yang ditangkap oleh penciuman (hidung) saudara 4. Tutup kembali botol dan istirahat selama lebih kurang 30 detik sebelum melanjutkan untuk membaui contoh yang lain Kode : Kode : Kode : Kode : Kode :
Uji Rasa Dasar Nama Panelis No HP/Tlp Tanggal Pengujian Instruksi
: : :
Di depan saudara disajikan 5 sampel contoh larutan yang diberi kode berbeda, saudara diminta untuk dapat memberi respon untuk setiap sampel contoh larutan dengan RASA yang berhasil saudara identifikasi pada kolom di bawah ini dengan cara : 1. Saudara diminta untuk menulis kode sampel yang tersedia 2. Saudara diminta untuk mencicipi contoh sampel selama 3 detik 3. Saudara diminta untuk menulis respon pada kolom yang ada berdasarkan rasa yang berhasil saudara identifikasi 4. Minum segelas air putih sebagai penetral 5. Istirahat selama lebih kurang 30 detik sebelum melanjutkan untuk mencicipi contoh yang lain Kode :
Kode :
Kode :
Kode :
Kode :
118 Lampiran 3 Format lembaran uji hedonik Nama Panelis Status pekerjaan Jur/Prog.Studi No Tlp/HP
Nama Panelis Tanggal Pengujian Jenis contoh Instruksi
: : : :
: : : :
PENILAIAN
............................................................... ............................................................... ............................................................... ...............................................................
Nyatakan penilaian anda dan berikan tanda (√ ) pada pernyataan yang sesuai dengan penilaian saudara.
245
Kode Bahan 876
379
Sangat suka Suka Agak suka Netral Agak tidak suka Tidak suka Sangat tidak suka
Terima kasih atas perhatiannya.
119 Lampiran 4 Format lembaran uji segitiga No Panelis Tanggal pengujian Nama Panelis Jenis Contoh
: ........................ : ........................ : ........................ : ........................
Petunjuk : 1. Bukalah salah satu tutup botol bahan contoh yang akan diuji 2. Tempatkan permukaan botol pada jarak 0,5 -1 cm dari hidung, kemudian bauilah 3. Pengujian dimulai dari botol yang paling kiri kekanan 4. Nyatakanlah salah satu dari tiga botol yang berisi bahan uji yang paling berbeda dengan memberi tanda silang (X) pada kotak yang tersedia 5. Apabila perbedaan tidak dapat diketahui dengan jelas, nyatakanlah dengan cara menduga/menebak 6. Dengan prosedur yang sama, lakukanlah pada pengujian ke-2 dan ke-3 Pengujian :
1 kode .......
kode ........
kode ........
kode .......
kode ........
kode ........
kode .......
kode ........
kode ........
2
3
Komentar/Catatan: .................................................................................................................................... ................................................................................................................................... .................................................................................................................................... ................................................................................................................................. Terima kasih
120 Lampiran 5 Format lembaran uji QDA
Nama
:
Tanggal
:
Instruksi 1. Dihadapan anda tersedia beberapa bahan uji. Bauilah setiap bahan tersebut, kemudian berilah penilaian terhadap masing-masing atribut bau off-odor berdasarkan tingkat intensitasnya yang anda tangkap. 2. Pada garis skala setiap atribut tandailah hasil penilaian anda dengan garis vertikal (
) yang menunjukkan tingkat intensitas dari atribut tersebut.
Semakin ke kanan semakin kuat intensitasnya. Kode Bahan Atribut
Tengik (Rancid) Amis (Fishy) Berlemak (Fatty) Basi (Mouldy) Langu (Beany) Bau tanah (Earthy)
Terima kasih……
: Skala intensitas
121 Lampiran 6 Sidik ragam persentase fertilitas itik AA, CC, AC dan itik CA Sumber keragaman Model Galat Total
Derajat bebas 6 9 15
Jumlah kuadrat 45.76370 56.795675 102.559375
Kuadrat tengah 7.627283 6.3106306
Fhit
Peluang
1.21tn
0.3830
tn) tidak nyata (R-Square : 0.45)
Lampiran 7 Sidik ragam persentase daya tetas itik AA, CC, AC dan itik CA Sumber keragaman Model Galat Total
Derajat Bebas 6 9 15
Jumlah kuadrat 2017.642138 257.926106 2275.568244
Kuadrat tengah 336.272690 28.658456
Fhit
Peluang
11.73*
0.0008
*) berbeda nyata (P<0.05) (R-Square : 0.89)
Lampiran 8 Sidik ragam persentase kematian embrio itik AA, CC, AC dan itik CA Sumber keragaman Model Galat Total
Derajat bebas 6 9 15
*) berbeda nyata (P<0.05) (R-Square : 0.89)
Jumlah kuadrat 2017.642137 257.926106 2275.568244
Kuadrat tengah 336.273690 28.658456
Fhit 11.73*
Peluang 0.0008
122 Lampiran 9 Sidik ragam persentase nisbah kelamin jantan itik AA, CC, AC dan itik CA Sumber Keragaman Model Galat Total
Derajat bebes 6 9 15
Jumlah kuadrat 513.498087 542.644406 1056.142494
Kuadrat tengah 85.583015 60.293823
Fhit 1.42tn
Peluang 0.3054
tn) tidak nyata (R- Square : 0.49)
Lampiran 10 Sidik ragam persentase nisbah kelamin betina itik AA, CC, AC dan itik CA Sumber Keragaman Model Galat Total
Derajat bebas 6 9 15
Jumlah kuadrat 513.498087 542.644406 1056.142494
Kuadrat tengah 85.583015 60.293823
Fhit
Peluang
1.42tn
0.3054
tn) tidak nyata (R- Square : 0.49)
Lampitan 11 Sidik ragam bobot awal itik jantan AA, CC, AC dan CA umur 8 Minggu Sumber keragaman Model Galat Total
Derajat bebas 3 20 23
*) berbeda nyata (P<0.05) (R-Square : 0.72)
Jumlah kuadrat 347.3266667 133.8666667 481.1933333
Kuadrat tengah 115.7755556 6.6933333
Fhit
Peluang
17.30*
<.0001
123 Lampiran 12 Sidik ragam bobot akhir itik jantan AA, CC, AC dan CA umur 8 minggu
Sumber keragaman Model Galat Total
Derajat bebas 3 20 23
Jumlah kuadrat 38258.60000 30585.77333 68844.37333
Kuadrat tengah 12752.86667 1529.28867
Fhit
Peluang
8.34*
0.0009
*) berbeda nyata (P<0.05) (R-Square : 0.56)
Lampiran 13 Sidik ragam pertambahan bobot hidup itik jantan AA, CC, AC dan CA umur 8 minggu
Sumber keragaman Model Galat Total
Derajat bebas 3 20 23
Jumlah kuadrat 39891.45833 30974.58000 70866.03833
Kuadrat tengah 13297.15278 1548.72900
Fhit Peluang 8.59*
0.0007
*) berbeda nyata (P<0.05) (R-Square : 0.56)
Lampiran 14 Sidik ragam konsumsi ransum itik AA, CC, AC dan itik CA umur 0-8 minggu Sumber keragaman Model Galat Total
Derajat bebas 3 20 23
*) berbeda nyata (P<0.05) (R-Square : 0. 55)
Jumlah kuadrat 175633,4662 143385,2075 319018,6737
Kuadrat tengah 58544,4887 7169,2604
Fhit Peluang 8,17*
0,0010
124 Lampiran 15 Sidik ragam konversi ransum itik AA, CC, AC dan itik CA
umur 8 minggu Sumber keragaman Model Galat Total
Derajat bebas 3 20 23
Jumlah kuadrat 0.31674583 0.26015000 0.57689583
Kuadrat tengah 0.10558194 0.01300750
Fhit Peluang 8.12*
0.0010
*) berbeda nyata (P<0.05) (R-Square 0.55)
Lampiran 16 Sidik ragam persentase karkas itik AA, CC, AC dan CA umur 8 minggu Sumber keragaman Model Galat Total
Derajat bebas 3 20 23
Jumlah kuadrat 19.25548333 11.64530000 30.90078333
Kuadrat tengah 6.41849444 0.58226500
Fhit Peluang 11.02*
0.0002
*) berbeda nyata (P<0.05) (R-Square 0.62)
Lampiran 17 Sidik ragam persentase potongan komersial bagian dada itik AA, CC, AC dan itik CA Sumber keragaman Model Galat Total
Derajat bebas 3 20 23
*) berbeda nyata (P<0.05) (R-Square 0.36)
Jumlah kuadrat 16.54261250 29.56728333 46.10989583
Kuadrat tengah 5.51420417 1.47836417
Fhit Peluang 3.73*
0.0280
125 Lampiran 18 Sidik ragam persentase potongan komersial bagian paha itik AA, CC, AC dan itik CA Sumber keragaman Model Galat Total
Derajat bebas 3 20 23
Jumlah kuadrat 40.90868333 12.64890000 53.55758333
Kuadrat tengah 13.63622778 0.63244500
Fhit Peluang 21.56*
<.0001
*) berbeda nyata (P<0.05) (R-Square 0.76)
Lampiran 19 Sidik ragam persentase potongan komersial bagian punggung itik AA, CC, AC dan itik CA Sumber keragaman Model Galat Total
Derajat bebas 3 20 23
Jumlah kuadrat 5.49661250 16.05655000 21.55316250
Kuaadrat tengah 1.83220417 0.80282750
Fhit Peluang 2.28tn
0.1102
tn) tidak nyata (R-Square 0.25)
Lampiran 20 Sidik ragam persentase potongan komersial bagian pinggul itik AA, CC, AC dan itik CA Sumber Derajat Jumlah kuadrat Kuadrat Fhit Peluang keragaman bebas tengah Model 3 5.31714583 1.77238194 2.99tn 0.0553 Galat 20 11.84865000 0.59243250 Total 23 17.16579583 tn) tidak nyata (R-Square 0.30)
126 Lampiran 21 Sidik ragam persentase potongan komersial bagian sayap itik AA, CC, AC dan CA Sumber keragaman Model Galat Total
Derajat bebas 3 20 23
Jumlah kuadrat 16.67331250 18.39675000 35.07006250
Kuadrat tengah 5.55777083 0.91983750
Fhit Peluang 6.04*
0.0042
*) berbeda nyata (P<0.05) (R-Square 0.48)
Lampiran 22 Sidik ragam persentase daging dada itik AA, CC, AC dan itik CA Sumber keragaman Model Galat Total
Derajat bebas 3 20 23
Jumlah kuadrat 30.99555 34.66803 65.66358
Kuadrat tengah 10.33185 1.73340
Fhit Peluang 5.96*
0.0045
*) berbeda nyata (P<0.05) (R-Square 0.47)
Lampiran 23 Sidik ragam persentase daging paha itik AA, CC, AC dan itik CA Sumber keragaman Model Galat Total
Derajat bebas 3 20 23
*) berbeda nyata (P<0.05) (R-Square 0.87)
Jumlah kuadrat 36.4274333 5.21856667 41.6460000
Kuadrat tengah 12.14247778 0.26092833
Fhit Peluang 46.54*
<.0001
127 Lampiran 24 Sidik ragam persentase tulang dada itik AA, CC, AC dan itik CA Sumber keragaman Model Galat Total
Derajat bebas 3 20 23
Jumlah kuadrat 30.99555000 30.99555000 65.66358333
Kuadrat tengah 10.33185000 1.73340167
Fhit Peluang 5.96*
0.0045
*) berbeda nyata (P<0.05) (R-Square 0.47)
Lampiran 25 Sidik ragam persentase tulang paha itik AA, CC, AC dan itik CA Sumber keragaman Model Galat Total
Derajat bebas 3 20 23
Jumlah kuadrat 36.42743333 36.42743333 41.64600000
Kuadrat tengah 12.14247778 0.26092833
Fhit Peluang 46.54 * <.0001
*) berbeda nyata (P<0.05) (R-Square 0.87)
Lampiran 26 Sidik ragam rasio daging : tulang dada itik AA, CC, AC dan itik CA Sumber keragaman Model Galat Total
Derajat bebas 3 20 23
Jumlah kuadrat 5.13488333 5.66430000 10.79918333
Kuadrat tengah 1.71162778 0.28321500
Fhit Peluang 6.04*
0.0042
*) berbeda nyata (P<0.05) (R-Square 0.48)
Lampiran 27 Sidik ragam rasio daging : tulang paha itik AA, CC, AC dan itik CA Sumber keragaman Model Galat Total
Derajat bebas 3 20 23
*) berbeda nyata (P<0.05) (R-Square 0.87)
Jumlah kuadrat 7.05361250 1.03585000 8.08946250
Kuadrat tengah 2.35120417 0.05179250
Fhit Peluang 45.40*
<.0001
128
Lampiran 28
Uji hedonik atribut aroma dan rasa daging paha rebus itik AA, CC, AC dan itik CA dengan Minitab Ver 14 nonparametric “Kruska Wallis”
Kruskal-Wallis Test on Aroma Itik 1 2 3 4
N Median Ave Rank 87 5.170 205.9 87 4.830 174.6 87 4.500 143.0 87 4.830 174.5 Overall 348 174.5
Z 3.36 0.01 -3.37 0.00
H = 16.98 DF = 3 P = 0.01 H = 17.04 DF = 3 P = 0.01 (adjusted for ties)
Kruskal-Wallis Test on Rasa Itik 1 2 3 4
N Median Ave Rank 87 5.170 179.1 87 5.000 177.4 87 5.000 166.3 87 5.000 175.2 Overall 348 174.5
Z 0.50 0.31 -0.88 0.07
H = 0.84 DF = 3 P = 0.839 H = 0.85 DF = 3 P = 0.838 (adjusted for ties)
Lampiran 29 Pengukuran atribut off-odor daging itik bagian paha berdasarkan metode QDA dari masing-masing jenis itik Atribut off-odor Jenis Itik1
1
Rancid (Tengik)
Fishy (Amis)
Fatty (Lemak)
Mouldy (Jamur)
Baeny (Langu)
Earthy (Tanah)
AA
2,02
7,59
9,95
4,15
2,17
2,20
CC
2,70
9,91
8,53
5,47
2,45
2,79
AC
0,85
3,12
4,34
2,43
0,65
1,62
CA
2,24
6,60
7,21
2,57
1,35
2,05
Jenis itik : AA (Alabio♂ x Alabio♀); CC (Ciahteup♂ x Cihateup♀); AC (Alabio♂ x Cihateup♀); CA (Ciahteup♂ x Alabio♀)
129 Lampiran 30 Pengukuran bagian-bagian tubuh itik
130
1. Lebar paruh
2. Panjang paruh
3. Tinggi kepala
4. Panjang kepala
5. Panjang leher
6. Panjang punggung
7. Panjang sayap
8. Panjang tarsometatarsus
131
9. Panjang sternum
10. Panjang tibia
11. Lebar dada
12. Panjang badan