DAYA TETAS TELUR ITIK ALABIO DAN PERSILANGAN CIHATEUP-ALABIO DENGAN BAHAN SANITASI ALAMI
NUR RIZA ARIFANI
DEPARTEMEN ILMU PRODUKSI DAN TEKNOLOGI PETERNAKAN FAKULTAS PETERNAKAN INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2015
2
PERNYATAAN MENGENAI SKRIPSI DAN SUMBER INFORMASI SERTA PELIMPAHAN HAK CIPTA Dengan ini saya menyatakan bahwa skripsi berjudul Daya Tetas Telur Itik Alabio dan Persilangan Cihateup-Alabio dengan Bahan Sanitasi Alami adalah benar karya saya dengan arahan dari komisi pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apapun kepada perguruan tinggi manapun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir skripsi ini. Dengan ini saya melimpahkan hak cipta dari karya tulis saya kepada Institut Pertanian Bogor. Bogor, Januari 2015
Nur Riza Arifani NIM D14124001
4
ABSTRAK NUR RIZA ARIFANI. Daya Tetas Telur Itik Alabio dan Persilangan CihateupAlabio dengan Bahan Sanitasi Alami. Dibimbing oleh RUKMIASIH dan ASEP GUNAWAN. Daya tetas itik lebih rendah dibandingkan dengan ayam dan puyuh. Kerabang telur yang kotor dapat menyebabkan rendahnya daya tetas. Penggunaan desinfektan bertujuan untuk menekan perkembangan bakteri pada kerabang telur. Jeruk nipis merupakan desinfektan alami yang biasa digunakan. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui daya tetas telur itik Alabio (A) dan persilangan Cihateup-Alabio (CA) dengan menggunakan bahan sanitasi alami air perasan jeruk nipis untuk perendaman telur. Data bobot telur, indeks bentuk telur, fertilitas, daya tetas, bobot tetas, dan kematian embrio dianalisis secara deskriptif. Hubungan bobot telur dengan bobot tetas dianalisis dengan uji korelasi dan regresi. Bobot telur dan fertilitas telur itik CA lebih tinggi dari bobot telur itik Alabio. Indeks bentuk telur itik Alabio lebih besar dari telur itik CA. Daya tetas itik persilangan Cihateup-Alabio (CA) lebih tinggi dari telur itik Alabio. Kematian embrio yang paling tinggi terjadi pada periode hatcher (>25 hari). Analisi regresi menunjukkan hubungan yang erat antara bobot telur dan bobot tetas. Bobot telur yang tinggi menghasilkan bobot tetas yang tinggi. Kata kunci: daya tetas, fertilitas, itik alabio, itik persilangan cihateup-alabio
ABSTRACT NUR RIZA ARIFANI. Egg Hatchabality of Alabio Duck and Cihateup-Alabio Crossbreeds With Natural Sanitation Material. Supervised by RUKMIASIH and ASEP GUNAWAN. Hatchability of duck lower than the chicken and quail. Dirty egg shell can cause low hatchability. The use of disinfectants is aimed to suppress the growth of bacteria on the eggshell. Lemon is a natural disinfectants. This research was aimed to determine hatchability of Alabio (A) and Cihateup-Alabio (CA) crossbreed duck eggs by using natural sanitary materials of lemon juice for soaking eggs. Egg weight, egg shape index, fertility, hatchability, hatching weight, and the death of the embryo were analyzed descriptively. The correlation between egg weight and hatching weight was subjected to regression analyses. Egg weight and egg fertility of CA duck was higher than Alabio duck. Alabio duck egg shape index was greater than that of CA duck. Hatchability of CA eggs was higher than that of Alabio duck. The most high embryo mortality occurred in the period of hatcher (> 25 days). Regression analyses revealed strong correlation between egg weight and hatching weight. The high egg weight produces a high hatching weight. Key words: alabio duck, cihateup-alabio crossbreeds, fertility, hatchability
DAYA TETAS TELUR ITIK ALABIO DAN PERSILANGAN CIHATEUP-ALABIO DENGAN BAHAN SANITASI ALAMI
NUR RIZA ARIFANI
Skripsi Sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Peternakan Pada Departemen Ilmu Produksi dan Teknologi Peternakan
DEPARTEMEN ILMU PRODUKSI DAN TEKNOLOGI PETERNAKAN FAKULTAS PETERNAKAN INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2015
6
Judul Skripsi : Daya Tetas Telur Itik Alabio dan Persilangan Cihateup-Alabio dengan Bahan Sanitasi Alami Nama : Nur Riza Arifani NIM : D14124001
Disetujui oleh
Dr Ir Rukmiasih, MS Pembimbing I
Dr agr Asep Gunawan, SPt MSc Pembimbing II
Diketahui oleh
Prof Dr Ir Muladno, MSA Ketua Departemen
Tanggal Lulus:
8
PRAKATA Puji dan syukur penulis panjatkan kepada Allah subhanahu wa ta’ala atas segala karunia-Nya sehingga skripsi ini berhasil diselesaikan. Tema yang dipilih dalam penelitian yang dilaksanakan sejak bulan Februari sampai April 2014 ini ialah Daya Tetas Telur Itik Alabio dan Persilangan Cihateup-Alabio dengan Bahan Sanitasi Alami. Terima kasih penulis ucapkan kepada Dr Ir Rukmiasih, MS dan Dr agr Asep Gunawan, SPt, MSc selaku pembimbing skripsi atas waktu, saran, dan bimbingan yang telah diberikan serta Prof Em Peni S Hardjosworo, MSc yang banyak memberikan masukan selama penelitian, Eka Koswara, SPt yang telah banyak memberikan pembelajaran terkait teknis lapang, dan Bapak Jamhar yang telah banyak membantu selama penelitian berlangsung. Tidak lupa penulis ucapkan terima kasih kepada Ir Lucia Cyrilla ENSD MSi selaku dosen penguji dan bapak Dr Ir Jakaria, SPt MSi selaku dosen pembimbing akademik. Ungkapan terima kasih juga disampaikan kepada ibu, alm ayah, adik, dan seluruh keluarga, atas segala doa serta kasih sayangnya. Tak lupa penulis sampaikan terima kasih atas bantuan dan dukungan teman-teman penelitian Muhammad Ridho Iskandar, Yulia Ningsih, dan Kristian Stevanus Ginting. Penulis berharap semoga skripsi ini dapat berguna bagi civitas akademika peternakan pada khususnya dan masyarakat pada umumnya. Bogor, Januari 2015
Nur Riza Arifani
DAFTAR ISI DAFTAR TABEL DAFTAR LAMPIRAN PENDAHULUAN Latar Belakang Tujuan Penelitian Ruang Lingkup Penelitian METODE Waktu dan Tempat Penelitian Bahan Alat Prosedur HASIL DAN PEMBAHASAN Bobot dan Indeks Bentuk Telur Fertilitas dan Daya Tetas Kematian Embrio Hubungan Bobot Telur dengan Bobot Tetas SIMPULAN DAN SARAN DAFTAR PUSTAKA LAMPIRAN RIWAYAT HIDUP
vii vii 1 1 1 1 2 2 2 2 2 5 5 6 8 10 11 11 13 14
viii
DAFTAR TABEL 1 Bobot telur, indeks bentuk telur dan bobot telur itik Alabio (A) dan persilangan Cihateup-Alabio (CA) 2 Persentase fertilitas dan daya tetas telur itik Alabio (A) dan persilangan Cihateup-Alabio (CA) 3 Suhu dan kelembaban mesin tetas selama penetasan 4 Kematian embrio itik Alabio (A) dan itik persilangan CihateupAlabio (CA) 5 Hubungan antara bobot telur dengan bobot tetas itik Alabio (A) dan itik persilangan Cihateup-Alabio (CA)
5 6 7 9 10
DAFTAR LAMPIRAN 1 Data daya tetas itik Alabio dan itik CA 2 Data kematian embrio telur itik Alabio dan CA
13 13
1
PENDAHULUAN Latar Belakang Itik lokal Indonesia memiliki potensi untuk dikembangkan serta dimanfaatkan sebagai penghasil daging unggas selain daging ayam. Produksi daging itik di Indonesia sebanyak 28 183 ton pada tahun 2011 dan meningkat sebanyak 30 053 ton pada tahun 2012 (Direktorat Jendral Peternakan 2012). Konsumsi daging itik yang semakin meningkat tiap tahun perlu diimbangi dengan peningkatan populasi Day Old Duck (DOD). Populasi itik lokal pada tahun 2012 sebanyak 46 989 522 ekor jauh lebih rendah dibandingkan ayam ras pedaging yaitu 1 266 902 718 ekor dan ayam ras petelur yaitu 130 539 437 ekor (Direktorat Jenderal Peternakan 2012). Upaya untuk meningkatkan populasi itik dengan menyediakan bibit itik yang baik dan unggul secara berkesinambungan dapat dilakukan mulai dari penetasan telur itik yang efisien untuk menghasilkan bibit yang berkualitas. Indikator keberhasilan proses penetasan dapat dicirikan oleh daya tetas yang tinggi. Suhu selama penetasan, kelembaban, penyediaan udara dan kebersihan kerabang merupakan faktor yang dapat mempengaruhi daya tetas. Daya tetas telur itik lebih rendah dibandingkan dengan telur ayam dan puyuh. Penyebab rendahnya daya tetas telur itik diantaranya karena kerabang telur yang kotor. Telur itik umumnya lebih kotor dibandingkan dengan telur ayam maka sebelum telur dieramkan harus dibersihkan terlebih dahulu untuk memperoleh daya tetas yang lebih tinggi (North dan Bell 1990). Telur yang kotor dapat menyebabkan bakteri/mikroorganisme berkembangbiak. Penggunaan desinfektan bertujuan untuk mengurangi jumlah bakteri pada kerabang telur. Jeruk nipis merupakan desinfektan alami yang biasa digunakan. Perasan jeruk nipis pada lama perendaman 5 dan 10 menit dengan konsentrasi 5% efektif menurunkan jumlah bakteri Salmonella sampai 96.43% dan bakteri Escherichia coli 57.38% secara menyeluruh pada dada karkas ayam broiler (Rahardjo 2012). Penggunaan air perasan jeruk nipis untuk perendaman telur diharapkan dapat meningkatkan daya tetas telur itik dengan menekan perkembangan bakteri yang ada di kerabang telur. Tujuan Penelitian Penelitian ini bertujuan untuk mengukur daya tetas dan kematian embrio pada telur itik Alabio (A) dan persilangan Cihateup-Alabio (CA) dengan menggunakan perasan jeruk nipis sebagai bahan sanitasi alami untuk perendaman telur. Ruang Lingkup Penelitian Daya tetas telur itik lebih rendah dibandingkan daya tetas telur ayam dan puyuh. Salah satu penyebab rendahnya daya tetas diantaranya karena kerabang telur yang kotor. Kerabang telur yang kotor dapat meningkatkan kontaminasi bakteri pada telur. Berdasarkan hal itu, penggunaan air perasan jeruk nipis digunakan sebagai desinfektan alami bertujuan untuk menekan perkembangan bakteri pada kerabang telur. Kajian ini lebih difokuskan pada penggunaan air
2
perasan jeruk nipis diharapkan dapat meningkatkan daya tetas telur dan menurunkan kematian embrio.
METODE Waktu dan Tempat Penelitian Penelitian ini dilaksanakan pada bulan Februari sampai April 2014. Penelitian ini dilakukan di Laboratorium Penetasan Fakultas Peternakan Institut Pertanian Bogor. Bahan Telur yang digunakan pada penelitian ini didapatkan dari itik Alabio (A) dan persilangan antara itik Cihateup dengan itik Alabio (CA). Bahan-bahan lain yang digunakan yaitu air perasan jeruk nipis dan Enciform–RM sebagai bahan fumigasi. Alat Mesin tetas yang digunakan adalah mesin tetas manual dengan kapasitas 3 tray dengan masing- masing tray berkapasitas 60-70 butir telur. Sumber panas yang digunakan dalam mesin ini berasal dari listrik. Peralatan mesin tetas yang digunakan terdiri atas lampu penerangan, bak air, termohigrometer. Peralatan yang digunakan dalam penelitian ini antara lain jangka sorong, timbangan digital, teropong telur, alat spray, wadah dan tempat fumigasi telur. Prosedur Prosedur penetasan yang dilakuan adalah sanitasi mesin tetas dan peralatan yang akan digunakan, seleksi dan sanitasi telur tetas, setting mesin dan telur tetas, pendinginan telur tetas, pengontrolan suhu dan kelembaban mesin tetas. Sanitasi Mesin dan Peralatan Mesin tetas dan peralatan yang akan digunakan dibersihkan dan disanitasi dengan disinfektan kemudian dikeringkan. Mesin tetas difumigasi menggunakan Enciform–RM. Fumigasi dilakukan bersamaan dengan semua peralatan yang akan digunakan misalnya tray, nampan air dan sprayer serta alat ukur termohigrometer. Seleksi dan Sanitasi Telur Tetas Telur tetas yang diberi perlakuan, dicuci menggunakan air hangat bersuhu 35 oC. Kemudian direndam menggunakan larutan 50 ml air perasan jeruk nipis untuk 1 liter air hangat dengan suhu 37-39 °C selama 10 menit. Telur tetas lalu ditiriskan sampai kering. Telur kemudian diberi nomor, ditimbang bobotnya, diukur panjang dan lebarnya untuk mengetahui indeks telur. Telur tetas yang tidak diberi perlakuan perendaman diberi nomor, ditimbang bobotnya, diukur panjang dan lebarnya untuk mengetahui indeks telur. Telur difumigasi menggunakan Enciform – RM dengan dosis 1 kg 285 m-3.
3
Setting Mesin dan Telur Tetas Mesin tetas disetting pada suhu 38-39 °C dan kelembaban 60%-70%. Sprayer yang telah diisi larutan air jeruk nipis untuk penyemprotan dimasukkan ke dalam mesin tetas agar suhu tetap hangat. Telur tetas disusun pada tray dengan memberi sekat yang terbuat dari kertas pada telur dengan perlakuan berbeda. Setiap mesin tetas terdapat 3 tray dan setiap tray diisi oleh satu rumpun itik. Pendinginan dan Peneropongan Telur serta Pemutaran Telur Pendinginan telur dimulai pada umur 17-25 hari, sebanyak 2 kali sehari yaitu pada pagi dan sore hari. Selanjutnya pada periode hatcher (>25 hari), pendinginan dilakukan sebanyak 3 kali sehari, yaitu pada pagi, siang dan sore hari. Pendinginan dilakukan dengan cara mengeluarkan telur dari mesin tetas, menyemprotnya dengan larutan 50 ml air perasan jeruk nipis dan 1 liter air hangat bersuhu 35 °C lalu dibiarkan di luar mesin tetas selama 5 menit. Peneropongan telur dilakukan setiap minggu untuk mengetahui perkembangan dan kematian embrio selama proses inkubasi. Peneropongan pertama dilakukan pada hari ke-7 untuk penentuan telur fertil hidup, fertil mati dan infertil (kosong). Telur fertil mati dan infertil dikeluarkan dari mesin tetas. Pemutaran telur dilakukan 3 kali sehari dimulai pada hari ke-3 hingga hari ke-25, yaitu pada pagi pukul 07.00 WIB, siang pukul 12.00 WIB dan sore hari pukul 17.00 WIB. Setelah telur mencapai umur penetasan 17-25 hari telur diputar sebanyak 2 kali yaitu pada pagi dan sore hari. Peubah Peubah yang diamati pada penelitian ini adalah bobot telur, indeks telur, bobot tetas, fertilitas, daya tetas, dan kematian embrio. Fertilitas menunjukkan persentase telur yang fertil dari sejumlah telur yang ditetaskan dalam persen. Daya tetas merupakan perbandingan antara telur yang menetas dengan jumlah telur yang fertil dalam persen. Kematian embrio menunjukan persentase jumlah embrio yang mati dari telur yang fertil. Rumus untuk menghitung indeks bentuk telur, fertilitas, daya tetas, dan kematian embrio yaitu : Indeks Telur Fertilitas DayaTetas Kematian Embrio Analisis Data Data bobot telur, indeks bentuk telur, fertilitas, daya tetas, kematian embrio, dan bobot tetas diolah secara deskriptif. Nilai rataan dan simpangan baku dari peubah yang diamati selama penetasan pada telur itik Alabio dan telur itik persilangan Cihateup-Alabio, dihitung berdasarkan Mattjik dan Sumertajaya (2002).
4
̅
∑
̅
∑ √
Keterangan :
̅ Xi N SB
: Rataan : Data ke-i : Banyak data : Simpangan baku
Analisis regresi linier dilakukan untuk mengetahui hubungan antara bobot telur dengan bobot tetas dan koefisien determinasinya untuk melihat kekuatan hubungan tersebut (Steel dan Torrie 1995). Model matematika yang digunakan: Yij
α + β Xi + εij
Keterangan : Yij α β Xi
εij
: Bobot tetas : Intersep : Koefisien regresi : Bobot telur ke-i (i= 1, 2, 3, ...., n) : Galat ke-i
Analisis korelasi yang digunakan adalah analisis korelasi linear menurut Walpole (1995) yang akan menggambarkan hubungan antara dua peubah yang diukur. Adapun peubah yang dianalisis adalah korelasi antara bobot telur dengan bobot tetas dengan formula sebagai berikut : ∑ ∑
∑ ∑
∑ ∑
Keterangan : X Y n r
= Sifat pertama (Bobot Telur) = Sifat kedua (Bobot Tetas) = Jumlah pengamatan = Koefisien korelasi
∑
5
HASIL DAN PEMBAHASAN Bobot dan Indeks Bentuk Telur Karakteristik telur tetas yang digunakan pada penelitian ini meliputi bobot telur dan indeks telur. Rataaan bobot telur, indeks bentuk telur dan bobot tetas pada itik Alabio (A) dan persilangan Cihateup-Alabio (CA) disajikan pada Tabel 1. Tabel 1 Bobot telur, indeks bentuk telur dan bobot telur itik Alabio (A) dan persilangan Cihateup-Alabio (CA) Perlakuan Telur Tetas Rumpun Itik Variabel A CA Tanpa Pencucian dan 61.73±2.40 72.33±3.44 Perendaman Bobot Telur (g) Pencucian dan 65.81±1.81 71.41±3.20 Perendaman Rataan±SD 63.77±2.89 71.41±0.65 Tanpa Pencucian dan 81.83±0.75 79.17±0.75 Perendaman Indeks Bentuk Pencucian dan Telur (%) 81.33±1.03 79.50±0.55 Perendaman Rataan±SD 81.58±0.35 79.33±0.24 Bobot telur itik CA lebih tinggi jika dibandingkan dengan bobot telur itik Alabio. Hal ini sesuai dengan penelitian Prasetyo et al. (2000), bobot telur itik CA lebih tinggi jika dibandingkan dengan bobot telur itik Alabio yaitu sebesar 56.39 g pada umur 7 bulan. Ukuran telur mempunyai nilai heritabilitas yang tinggi, peningkatan mutu genetik dalam bobot badan dapat meningkatkan bobot telur yang dihasilkan (Lestari et al. 2013). Menurut Nggobe (2003), bobot telur itik Alabio berkisar antara 65 g sampai 70 g. Menurut Gunawan (2001) bobot telur dipengaruhi oleh lingkungan, genetik, makanan, komposisi telur, periode bertelur, umur unggas dan bobot badan induk. Telur itik CA memiliki bentuk lebih panjang karena indeks telur yang didapat sekitar 79.33%, sedangkan telur itik Alabio memiliki bentuk lebih bulat karena indeks yang didapat lebih besar dari 81.58%. Indeks bentuk telur yang mencerminkan bentuk telur sangat dipengaruhi oleh sifat genetik, bangsa, juga dapat disebabkan oleh proses-proses yang terjadi selama pembentukan telur, terutama pada saat telur melalui magnum dan isthmus (Dharma et al. 2001). Indeks bentuk telur itik CA pada penelitian ini lebih besar dari penelitian yang dilakukan Diniati (2013) yaitu sebesar 78.63%. Menurut Dharma et al. (2001), nilai indeks telur yang lebih kecil dari 79% akan memberikan penampilan lebih panjang, sedangkan nilai indeks telur yang lebih besar dari 79% akan memberikan penampilan yang lebih bulat. Telur tetas yang seragam akan meminimalkan perbedaan laju metabolisme dan evaporasi telur selama berada dalam mesin tetas.
6
Fertilitas dan Daya Tetas Rataan fertilitas dan daya tetas telur itik Alabio (A) dan persingannya Cihateup-Alabio (CA) disajikan pada Tabel 2. Fertilitas dapat diketahui dengan candling (peneropongan telur). Tabel 2 Persentase fertilitas dan daya tetas telur itik Alabio (A) dan persilangan Cihateup-Alabio (CA) Rumpun Itik Perlakuan Telur Variabel Tetas A CA Tanpa Pencucian 57.73±20.94 93.12±12.44 dan Perendaman Fertilitas (%) Pencucian dan 67.33±18.28 90.54±15.37 Perendaman Rataan±SD 62.53± 6.79 91.83± 1.82 Tanpa Pencucian 49.76±15.46 64.22±15.08 dan Perendaman Daya Tetas (%) Pencucian dan 60.67± 8.66 66.52±10.80 Perendaman Rataan±SD 55.21± 7.72 65.37± 1.63 Tanpa Pencucian 37.80± 4.72 43.83± 2.58 dan Perendaman Bobot Tetas (g) Pencucian dan 39.90± 5.06 43.48± 2.44 Perendaman Rataan±SD 38.85± 1.49 43.66± 0.25 Fertilitas telur itik CA pada penelitian ini lebih tinggi dari itik Alabio. Fertilitas telur itik Alabio pada penelitian ini lebih rendah dari hasil penelitian yang dilakukan oleh Darmawati (2013) sebesar 95.67%. Fertilitas telur itik CA pada penelitian ini lebih rendah dari hasil penelitian yang dilakuan oleh Matitaputty (2012) sebesar 95.19%. Hal ini karena itik yang digunakan pada penelitian Matitaputty (2012) berumur 9 bulan sedangkan itik CA yang digunakan pada penelitian ini berumur lebih dari 12 bulan. Penyebab semakin rendahnya produksi telur diduga karena umur itik yang semakin tua dan sudah melewati puncak produksi (Darajah 2013). Faktor-faktor yang mempengaruhi fertilitas adalah jumlah induk yang dikawini oleh satu pejantan, umur induk, panjang waktu penyimpanan antara saat bertelur sampai telur tersebut ditetaskan dan kemampuan pengelolaan telur yang dihasilkan (Ensminger 1992). Daya tetas telur itik Alabio pada perlakuan pencucian dan perendaman dengan larutan air perasan jeruk nipis lebih tinggi dari daya tetas telur tanpa pencucian dan perendaman. Hal ini karena telur itik Alabio terkena kotoran dan sekam yang basah sehingga telur mudah terkontaminasi oleh bakteri atau mikroorganisme yang dapat menurunkan daya tetas. Bakteri atau mikroorganisme pada telur itik umumnya lebih banyak dibandingkan dengan telur ayam, sebelum telur dieramkan harus dibersihkan terlebih dahulu untuk memperoleh daya tetas yang lebih tinggi (North dan Bell 1990). Kondisi kerabang telur yang kotor akan menutupi pori-pori kerabang telur sehingga proses pertukaran oksigen selama penetasan akan terganggu dan menyebabkan daya tetas telur rendah. Jeruk nipis
7
mengandung sejumlah asam organik seperti asam sitrat yang merupakan komponen utama, kemudian asam malat, asam laktat dan asam tartarat yang berfungsi sebagai antibakteri (Rahardjo 2012). Rataan persentase daya tetas telur itik CA pada penelitian ini lebih tinggi dari itik Alabio. Daya tetas telur itik CA pada penelitian lebih tinggi dari penelitian yang dilakukan oleh Matitaputty (2012) sebesar 61.00%. Persentase daya tetas telur itik Alabio (55.21%) pada penelitian ini lebih tinggi dari hasil penelitian (Darmawati 2013) sebesar 52.26%. Manfaat dari persilangan timbal balik antara Cihateup jantan dengan Alabio betina (CA) terlihat adanya fenomena heterosis sebesar 58.55% pada sifat daya tetas yang tinggi apabila dibandingkan dengan itik persilangan Alabio jantan dengan Cihateup betina (AC) yang hanya menghasilkan heterosis sebesar 8.98%. Nilai persentase heterosis terhadap daya tetas dari kedua itik persilangan ini, di atas rata-rata daya tetas tetua murni AA dan itik CC (Matitaputty 2012). Daya tetas akan turun dengan lamanya waktu penyimpanan telur (Matitaputty 2012). Menurut Harun et al. (2001), rendahnya daya tetas telur itik dapat terjadi karena stres panas metabolisme akibat aktivitas pertumbuhan embrio. Keberhasilan penetasan sangat dipengaruhi oleh keterampilan operator mesin tetasnya (Noyansa 2004). Bobot tetas telur itik CA memiliki bobot tetas yang lebih tinggi dibandingkan itik Alabio. Hal ini karena bobot telur itik CA lebih tinggi dari bobot telur itik Alabio. Lestari et al. (2013) menyebutkan bobot telur dapat digunakan sebagai indikator bobot tetas. DOD yang ditetaskan dari telur yang lebih kecil, bobot tetasnya akan lebih kecil dibandingkan dengan DOD dengan anakan yang berasal dari telur yang besar. North dan Bell (1990) menyatakan bahwa suhu di atas atau di bawah optimum akan menurunkan daya tetas, menghasilkan embrio yang lemah dan anak ayam yang kualitasnya rendah, sedangkan kelembaban yang terlalu tinggi menyebabkan anak ayam menetas lebih lama, bobot lebih besar dan lembek pada daerah abdomen. Suhu dan Kelembaban Mesin Tetas Rataan suhu dan kelembaban mesin tetas selama penetasan disajikan pada Tabel 3. Suhu dan kelembaban mesin tetas adalah salah satu faktor yang mempengaruhi daya tetas. Penetasan yang dilakukan pada mesin tetas manual sering terjadi fluktuasi suhu dan kelembaban. Suhu memegang peranan yang sangat penting dalam penetasan telur karena mempengaruhi perkembangan embrio di dalam telur. Tabel 3 Suhu dan kelembaban mesin tetas selama penetasan Periode Setter 0-7 hari 8-25 hari Hatcher >25 hari
Suhu Mesin (oC)
Kelembaban (%)
37.95±0.14 38.08±0.17
73.95±0.54 73.93±0.62
37.63±0.05
76.00±0.71
Suhu mesin tetas pada periode setter dalam penelitian ini berkisar antara 37.95 oC-38.08 oC dan pada periode hatcher sekitar 37.63 oC. Rataan suhu
8
penetasan pada penelitian ini sesuai dengan yang disarankan Mulyantini (2010) yaitu antara 37.20 oC -38.20 oC untuk periode setter tetapi lebih tinggi dari yang disarankan untuk periode hatcher yaitu sekitar 37.00 oC -37.50 oC. Menurut Kortlang (1985) secara umum suhu terlalu tinggi memiliki efek buruk pada daya tetas daripada suhu yang terlalu rendah. Frekuensi buka tutup pintu mesin tetas untuk melakukan pemutaran telur yang terlalu sering dapat menyebabkan penurunan suhu mesin tetas karena terjadi transfer panas ke lingkungan yang memiliki suhu lebih rendah. Frekuensi buka tutup mesin yang tinggi menyebabkan suhu mesin tetas menjadi lebih rendah dan membutuhkan waktu yang cukup lama untuk mencapai suhu dan kelembaban optimal karena menggunakan lampu pijar sebagai sumber panas (Darajah 2013). Suhu yang terlalu tinggi akan menyebabkan kematian embrio ataupun abnormalitas embrio, sedangkan kelembaban mempengaruhi pertumbuhan normal dari embrio (Wulandari 2002). Menurut Kortlang (1985), suhu ideal yang disarankan untuk periode setter pada itik adalah 37.3 oC dan selama periode hatcher 36.9 oC. Bila suhu terlalu rendah itik yang dihasilkan akan berukuran besar dan bulunya lembut serta penetasan menjadi lambat (Kortlang 1985). Suhu pada periode hatcher diturunkan karena pada periode ini embrio sudah dapat menghasilkan panas sendiri akibat proses metabolisme yang meningkat selama proses penetasan. Kelembaban pada penelitian ini sesuai dengan yang disarankan Kortlang (1985) yaitu diatas 60% pada periode setter, tetapi pada periode hatcher kelembaban mesin lebih rendah dari yang disarankan yaitu 80%-85%. Kelembaban udara berfungsi mengontrol penguapan cairan dari dalam telur (Kortlang 1985). Kelembaban berfungsi untuk mengurangi kehilangan cairan dari dalam telur selama proses penetasan, membantu pelunakan kulit telur pada saat akan menetas sehingga anak unggas mudah memecahkan kulit telur. Penyusutan cairan yang terlalu tinggi akibat kelembaban yang terlalu rendah akan mengakibatkan DOD dehidrasi dan anak yang dihasilkan lemah. Sebaliknya, penyusutan isi telur yang rendah akibat kelembaban yang terlalu tinggi mengakibatkan anak yang dihasilkan terlalu besar dan abdomennya terlalu lembek. Suhu yang tinggi menyababkan kematian embrio ataupun abnormalitas embrio sedangkan kelembaban mempengaruhi pertumbuhan normal dari embrio dan menjaga cairan dalam telur serta merapuhkan kerabang telur (Wulandari 2002). Pada hari ke 26-28 atau periode hatcher merupakan masa kritis perkembangan embrio pada masa tersebut (hari ke 26-27) embrio berusaha untuk meretakkan kerabang (Fujiwati et al. 2012). Kematian Embrio Kematian embrio disebabkan oleh faktor suhu dan kelembaban yang tidak optimal untuk perkembangan embrio (lihat tabel 3). Rataaan kematian embrio pada itik Alabio (A) dan persilangan Cihateup-Alabio (CA) disajikan pada Tabel 4.
9
Tabel 4 Kematian embrio itik Alabio (A) dan itik persilangan Cihateup-Alabio (CA) Rumpun Itik Perlakuan Variabel Penetasan A CA Tanpa Pencucian 50.71±16.36 35.78±15.08 dan Perendaman Kematian Pencucian dan Embrio (%) 39.33± 8.66 33.48±10.80 Perendaman Rataan±SD 44.79± 7.72 34.63± 1.63 Kematian embrio pada telur alami lebih tinggi dari telur dengan perlakuan pencucian dan perendaman. Menurut Mulyantini (2010) suhu yang optimal yaitu antara 37.20 oC -38.20 oC untuk periode setter dan sekitar 37.00 oC -37.50 oC untuk periode hatcher. Harun et al. (2001) menyatakan tingginya kematian embrio disebabkan variasi ukuran telur yang ditetaskan karena perbedaan laju metabolisme dan evaporasi di dalam mesin tetas. Panas yang dihasilkan pada proses metabolisme embrio dan akumulasi panas dapat menyebabkan stres panas pada embrio, sehingga meningkatkan kematian embrio dan menurunkan daya tetas telur itik. Kematian embrio yang cukup tinggi diduga karena aktivitas pertumbuhan embrio yang menyebabkan perubahan panas (Brahmantiyo dan Prasetyo 2001). 30.96 22.80 20.34
17.21
15.44
14.97
13.07 9.76
9.05 4.78 0.93
0 Alabio
CA
Alabio
Alami
CA Perlakuan
0-7 hari
8-25 hari
>25 hari
Gambar 1 Kematian embrio (%) berdasarkan perlakuan pada umur telur berbeda Kematian embrio dibagi menjadi tiga kategori, yaitu kematian awal (3 hari7 hari), kematian pertengahan (8 hari-24 hari) dan kematian akhir (>25 hari). Suhu dan kelembaban yang tidak mencapai atau melebihi suhu dan kelembaban optimal untuk perkembangan embrio menjadi penyebab utama kematian embrio. Kematian embrio pada periode awal penetasan yang rendah karena penyimpanan telur kurang dari 7 hari sehingga kualitas telur masih baik. Kematian di awal penetasan umumnya disebabkan kondisi dan lama penyimpanan telur, sperma jantan dan umur induk betina (Setioko 2005). Kematian embrio pada periode
10
akhir lebih tinggi dari periode awal dan pertengahan penetasan. Kematian embrio yang tinggi pada periode akhir penetasan karena suhu pada periode hatcher lebih tinggi dari yang disarankan Mulyantini (2010) yaitu sekitar 37.00 oC -37.50 oC. Hal ini terjadi karena proses metabolisme embrio ditambah dengan akumulasi panas dapat menyebabkan stres panas pada embrio. Brahmantiyo dan Prasetyo (2001), kematian embrio yang cukup tinggi diduga karena aktivitas pertumbuhan embrio yang menyebabkan perubahan panas. Hubungan Bobot Telur dengan Bobot Tetas Hubungan antara bobot telur dengan bobot tetas itik Alabio dan CA disajikan pada Tabel 5. Analisis regresi dan korelasi menunjukkan hubungan yang sangat nyata (P<0.01) antara bobot telur dengan bobot tetas. Analisis regresi menunjukkan adanya hubungan antara bobot telur dengan bobot tetas, bobot telur yang semakin tinggi akan menghasilkan bobot tetas yang lebih besar. Tabel 5 Hubungan antara bobot telur dengan bobot tetas itik Alabio (A) dan itik persilangan Cihateup-Alabio (CA) Telur itik Persamaan regresi Koefisien determinasi Nilai korelasi A Y = -1.79 + 0.62 X 29.7% 0.545** CA Y = 23.15 + 0.29 X 15.4% 0.392** Keterangan :
X = Bobot telur Y = Bobot Tetas
Menurut Lestari et al. (2013) terdapat hubungan yang sangat erat antara bobot telur dengan bobot tetas. Hubungan antara bobot telur dengan bobot tetas itik Alabio pada penelitian ini mengikuti persamaan Y = -1.79 + 0.62X yang menunjukkan setiap kenaikan 1 gram bobot telur akan meningkatkan 0.62 g bobot tetas dengan nilai korelasi 0.545. Darmawati (2013) menyebutkan peningkatan 1 gram bobot telur itik Alabio akan meningkatkan bobot tetas sebesar 0.56 g. Koefisien determinasi 29.7% yang berarti 29.7% keragaman bobot tetas itik Alabio dipengaruhi oleh bobot telur dan 70.3% dipengaruhi oleh faktor lain. Koefisien determinasi pada penelitian ini lebih rendah dari penelitian yang dilakukan oleh Darmawati (2013) yaitu sebesar 39.40%. Nilai korelasi menunjukkan hubungan yang positif antara bobot tetas dengan bobot telur. Itik CA menunjukkan hubungan yang positif antara bobot telur dengan bobot tetas dengan persamaan regresi Y = 23.15 + 0.29X yang menunjukkan setiap kenaikan 1 gram bobot telur akan meningkatkan bobot tetas sebesar 0.29 g dengan koefisien determinasi 15.4% dan nilai korelasi 0.392. Koefisien determinasi pada penelitian ini lebih rendah dari penelitian Andaruwati (2014) koefisien determinasi pada persilangan entok dan itik Cihateup (EC) sebesar 28.7%. Koefisien determinasi sebesar 15.4% berarti keragaman bobot tetas itik CA dipengaruhi oleh bobot telur dan 84.6% dipengaruhi faktor lain. Faktor lain yang dapat mempengaruhi bobot tetas diantaranya suhu dan kelembaban mesin tetas.
11
SIMPULAN DAN SARAN Simpulan Daya tetas, fertilitas dan bobot telur itik CA lebih tinggi dibandingkan telur itik Alabio. Pengaruh pencucian dan perendaman dengan larutan jeruk nipis dapat meningkatkan daya tetas dan menurunkan kematian embrio telur itik Alabio dan CA. Kematian embrio paling tinggi terjadi pada umur penetasan >25 hari. Hubungan antara bobot tetas dan bobot telur menunjukkan korelasi positif yang mengindikasikan semakin tinggi bobot telur akan menghasilkan bobot tetas yang tinggi. Saran Penetasan telur sebaiknya dilakukan pada induk yang sudah terseleksi agar menghasilkan fertilitas dan daya tetas yang tinggi. Penggunaan alat mesin tetas yang lebih stabil dalam pengaturan suhu. Suhu dan kelembaban mesin tetas selama penetasan harus di kontrol agar suhu dan kelembaban lebih stabil.
DAFTAR PUSTAKA Andaruwati D. 2014. Daya tetas telur persilangan entok dengan itik alabio dan entok dengan itik cihateup [skripsi]. Bogor (ID): Institut Pertanian Bogor. Brahmantiyo B, Prasetyo LH. 2001. Pengaruh bangsa itik Alabio dan Mojosari terhadap performans reproduksi. Prosiding Lokakarya Unggas Air I Pengembangan Agribisnis unggas air sebagai peluang usaha baru. Bogor (ID): Balai Penelitian Ternak, Pusat Penelitian dan Pengembangan Peternakan, Departemen Pertanian dan Fakultas Peternakan IPB. 6 – 7 Agustus 2001. Ciawi : 73 – 78. Darajah F. 2013. Pengaruh frekuensi pendinginan yang berbeda terhadap daya tetas telur itik persilangan cihateup alabio [skripsi]. Bogor (ID): Institut Pertanian Bogor. Darmawati D. 2013. Daya tetas telur itik cihateup dan alabio [skripsi]. Bogor (ID): Institut Pertanian Bogor. Dharma YK, Rukmiasih, Hardjosworo PS. 2001. Ciri-ciri fisik telur tetas itik Mandalung dan rasio jantan dengan betina yang dihasilkan. Lokakarya Nasional Unggas Air. Bogor (ID): Institut Pertanian Bogor. hlm 208-212. Diniati. 2013. Pengaruh waktu dimulainya pendinginan selama penetasan terhadap daya tetas telur itik persilangan cihateup alabio [skripsi]. Bogor (ID): Institut Pertanian Bogor. Direktorat Jenderal Peternakan dan Kesehatan Hewan. 2013. Statistik Peternakan dan Kesehatan Hewan. Jakarta (ID): Alnindra Dunia Perkasa. Ensminger ME. 1992. Poultry Science. 3rd Ed. Illionis (US): Cab International. Gunawan H. 2001. Pengaruh bobot telur terhadap daya tetas serta hubungan antara bobot telur dan bobot tetas itik mojosari [skripsi]. Bogor (ID): Institut Pertanian Bogor.
12
Harun MAS, Veeneklaas RJ, Visser MGH, Van Kampen. 2001. Artificial incubation of Muscovy Duck eggs: why some eggs hatch and others do not. Poult Sci. 80:219-224. Kortlang CFHF. 1985. The incubation of duck egg. In : Duck Production Science and World Practice. Farrel, DJ dan Stapleton P. Editor. New England (AU): University of New England, pp. 168-177. Lestari E, Ismoyowati, Sukardi. 2013. Korelasi antara bobot telur dengan bobot tetas dan perbedaan susut bobot pada telur entok (Cairrina moschata) dan itik (Anas plathyrinchos). JIP. 1(1):163-169. Matitaputty PR. 2012. Peningkatan produksi karkas dan kualitas daging itik melalui persilangan antara itik Cihateup dengan itik Alabio [disertasi]. Bogor (ID) : Sekolah Pascasarjana, Institut Pertanian Bogor. Mattjik AA, Sumertajaya IM. 2002. Perancangan Percobaan dengan Aplikasi SAS dan Minitab. Bogor (ID): IPB Press. Mulyantini NGA. 2010. Ilmu Manajemen Ternak Unggas. Yogyakarta (ID) : Gadjah Mada University Press. Nggobe M. 2003. Perkembangan bobot dan penampilan embrio itik alabio dan hasil persilangannya dengan entok jantan sebagai pedoman untuk menduga umur embrio [tesis]. Bogor (ID): Program Pascasarjana, Institut Pertanian Bogor. North MO, Bell DD. 1990. Commercial Chicken Production Manual. Fourth Edition. London (EU): The AVI Publishing Co. Inc. Westport, Connecticut. Noyansa D. 2004. Karakteristik penetasan dari itik mojosari, alabio dan persilangannya [skripsi]. Bogor (ID): Institut Pertanian Bogor. Prasetyo LH, Susanti T, Purba M. 2000. Pengembangan bibit niaga itik local sebagai suatu usahatani. Laporan bagian proyek rekayasa teknologi peternakan ARMP-II. Bogor (ID): Balai Penelitian Ternak. Rahardjo A H. 2012. Efektivitas jeruk nipis dalam menurunkan bakteri Salmonella dan Escherichia Coli pada dada karkas ayam broiler. Universitas Jenderal Sudirman. Semarang (ID): Vol. 2 Nomor 3 Edisi Desember 2012. Steel RG, Torrie JH. 1995. Prinsip dan Prosedur Statistik. Sumantri B, editor. Jakarta (ID): Penerbit Gramedia Pustaka Utama. Terjemahan dari: Principles and procedures of statistics Setioko AR. 2005. Fertilitas dan kematian embrio pada perkawinan silang entog jantan dan itik betina. Lokakarya Nasional Unggas Air II. Di dalam: Merebut peluang agribisnis melalui pengembangan usaha kecil dan menengah unggas air. Bogor (ID): 16-17 November 2005. Ciawi. 271-280. Walpole RE. 1995. Pengantar Statistika. Terjemahan Bambang, S. Ed. Ke-3. Jakarta (ID): PT. Gramedia Pustaka Utama. Wulandari A. 2002. Pengaruh indeks dan bobot telur itik tegal terhadap daya tetas, kematian embrio dan hasil tetas [skripsi]. Purwokerto (ID): Fakultas Peternakan Universitas Jenderal Soedirman.
13
LAMPIRAN Lampiran 1 Data daya tetas itik Alabio dan itik CA Jenis Itik
Alabio
CA
Perlakuan Periode 1 2 3 4 5 6 1 2 3 4 5 6
Pencucian dan Perendaman (%) 61.54 60.00 69.23 70.83 48.15 54.29 72.22 75.00 80.00 62.50 55.56 53.85
Tanpa pencucian dan Perendaman (%) 25.00 38.10 66.67 59.09 58.06 51.61 52.94 87.50 72.22 66.67 44.44 61.54
Lampiran 2 Data kematian embrio telur itik Alabio dan CA Jenis Itik
Alabio
CA
Perlakuan Periode 1 2 3 4 5 6 1 2 3 4 5 6
Pencucian dan Perendaman (%) 38.46 40.00 30.77 29.17 51.85 45.71 27.78 25.00 20.00 37.50 44.44 46.15
Tanpa pencucian dan Perendaman (%) 75.00 61.90 33.33 40.91 41.94 48.39 47.06 12.50 27.78 33.33 55.56 38.46
14
RIWAYAT HIDUP Penulis dilahirkan di Bojonegoro, Jawa Timur pada tanggal 2 Desember 1990. Penulis merupakan anak pertama dari dua bersaudara dari pasangan Bapak Untung dan Ibu Tri Handayani. Penulis menempuh pendidikan dasar di SD Negeri 1 Kedungadem dan berhasil menyelesaikan pendidikan dasar tersebut pada tahun 2003. Selanjutnya penulis melanjutkan pendidikan ke Sekolah Menengah Pertama (SMP) di SMP Negeri 1 Kedungadem dan lulus pada tahun 2006. Kemudian penulis melanjutkan ke Sekolah Menengah Atas (SMA) di SMA Negeri 2 Bojonegoro dan lulus pada tahun 2009. Pada tahun yang sama penulis diterima sebagai mahasiswa Program Keahlian Teknologi dan Manajemen Ternak, Program Diploma III (D3), Institut Pertanian Bogor melalui jalur Undangan Seleksi Masuk IPB (USMI). Penulis telah melaksanakan Praktik Kerja Lapangan selama dua kali yakni PKL pertama pada tahun 2011 di UD Dony Farm, Magelang, Jawa Tengah selama satu setengah bulan dan PKL kedua di PT QL Trimitra Cipanas, Cianjur, Jawa Barat selama sepuluh minggu pada tahun 2012. Pada tahun 2012 penulis lulus Program Diploma III (D3) dan melanjutkan kuliah S1 di Institut Pertanian Bogor melalui jalur alih jenis dan diterima di Departemen Ilmu Produksi dan Teknologi Peternakan, Fakultas Peternakan.