KETERKAITAN GENETIS SIFAT RONTOK BULU DENGAN PRODUKSI TELUR PADA ITIK ALABIO DAN ITIK PEKING
TRIANA SUSANTI
SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2012
PERNYATAAN MENGENAI DISERTASI DAN SUMBER INFORMASI
Dengan ini saya menyatakan
bahwa disertasi berjudul “Keterkaitan
Genetis Sifat Rontok Bulu dengan Produksi Telur pada Itik Alabio dan Itik Peking” adalah karya saya sendiri dengan arahan dari komisi pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apa pun kepada perguruan tinggi mana pun. Sumber informasi yang berasal atau yang dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir disertasi ini.
Bogor, September 2012 Triana Susanti NIM. D161090091
ABSTRACT TRIANA SUSANTI. The Relationship Between Molting and Egg Production Genetically on Crossbred Alabio and Peking Duck. Under direction of RONNY R. NOOR, PENI S. HARDJOSWORO, and L. HARDI PRASETYO. Molting is a natural phenomenon on all adult female birds related to egg production, but the extent of its effects on egg production has not been known. An experiment was conducted to study the nature of the genetic relationship between molting and egg production, to study the effect of the prolactin hormone concentration on the molting and egg production, and to get an alternative way of controlling the molting in ducks. The research materials were crossbred Alabio and Peking ducks i.e AP ( Alabio ♂ x Peking ♀) and PA (Peking ♂ x Alabio ♀), 10 males and 90 females, respectively, with the total number of 200 birds. The variables measured were the pattern of molting, frequency, starting time of molting, duration of stops laying eggs, and the prolactin hormone concentrations that were associated with the production of eggs for 48 weeks. The results showed that the mechanism of molting always started with a stop laying, molting, and laying back. The molting occurence was used to divide the experimental ducks into two , namely (a) the ducks showing no molting during 48-weeks observation and (b) ducks showing molting during 48-weeks observation. The average egg production for 48 weeks in the non-molting ducks were significantly higher than that in the molting ducks (P <0.01). In the population of molting duck, selection can still be done, as there are molting individuals with high egg production. Therefore, the variables associated with molting in egg production should be sought. The molting frequency does not affect the egg production. The starting time of molting affect egg production, but its correlation with egg production was low, so it can not be used as selection criteria. The variables of stop laying affects egg production for 48 weeks and its correlation with egg production was high, so the variable of stop laying can be used as selection criteria of molting to increase egg production. The results of measurements of the concentration of prolactin hormone is consistent with the production of eggs. The concentration of the prolactin hormone in AP and PA ducks during the egg-laying period before and after the molting was very significantly higher than in the period of molting. In the period before molting, the prolactin hormone concentrations of AP ducks was higher than that of PA duck. The egg production of AP ducks before molting (0 16 weeks) was higher than that of the PA ducks. The conclusion is that the alternative handling of the molting genetically is selection, and its criteria are whether presence or absence of molting. On the molting duck population, selection can be done based on the duration of stop laying i.e., less than 60 days as selection criterion. Keywords: Molting, egg production, Alabio duck, Peking duck, prolactin hormone
RINGKASAN TRIANA SUSANTI. Keterkaitan Genetis Sifat Rontok Bulu dengan Produksi Telur pada Itik Alabio dan Itik Peking. Dibimbing oleh RONNY R. NOOR, PENI S. HARDJOSWORO, dan L. HARDI PRASETYO. Rontok bulu adalah fenomena alami pada semua unggas betina dewasa yang berkaitan dengan produksi telur, namun keterkaitan genetis antara rontok bulu dengan produksi telur belum banyak diketahui. Suatu penelitian telah dilakukan untuk mempelajari keterkaitan sifat rontok bulu dengan produksi telur secara genetis, mempelajari pengaruh hormon prolaktin pada sifat rontok bulu dan produksi telur, dan memperoleh alternatif cara pengendalian sifat rontok bulu pada itik secara genetis. Materi penelitian adalah itik hasil persilangan alabio dengan peking, yaitu itik AP (Alabio ♂ x Peking ♀) dan itik PA (Peking ♂ x Alabio ♀) masing-masing berjumlah 10 ekor jantan dan 90 ekor betina yang berasal dari itik alabio dan itik peking masing-masing berjumlah 7 ekor jantan dan 25 ekor betina, sehingga jumlah semua ternak adalah 264 ekor. Peubah yang diamati adalah pola, frekuensi dan waktu mulai terjadinya rontok bulu, lama berhenti bertelur, dan konsentrasi hormon prolaktin yang dikaitkan dengan produksi telur selama 48 minggu. Analisis sidik ragam (ANOVA) dilakukan untuk mengetahui pengaruh peubah rontok bulu pada produksi telur, sedangkan analisis korelasi dan regresi dilakukan untuk mengetahui hubungan antara peubah rontok bulu dengan produksi telur yang akan digunakan sebagai kriteria seleksi untuk meningkatkan produksi telur. Hasil penelitian menunjukkan bahwa mekanisme rontok bulu selalu diawali dengan berhenti bertelur, rontok bulu, dan bertelur kembali. Lamanya berhenti bertelur sebelum rontok pada itik AP tidak berbeda nyata dengan itik PA, sedangkan lama berhenti bertelur setelah rontok pada itik AP nyata berbeda dengan itik PA, sehingga total berhenti bertelur yang berkaitan dengan rontok bulu berbeda nyata antara itik AP dan PA, yaitu masing-masing 48.57 ±5.01 dan 69.00 ±8.11 hari. Kejadian rontok bulu membentuk dua kelompok itik, yaitu (a) itik yang belum rontok bulu sampai 48 minggu dan (b) itik yang mengalami rontok bulu. Itik PA (hasil persilangan peking jantan dengan alabio betina) mengalami rontok bulu lebih banyak dibandingkan dengan itik AP (hasil persilangan alabio jantan dengan peking betina), yaitu 50.00 vs 23.33 %. Produksi telur kelompok itik yang belum rontok sampai 48 minggu sangat nyata lebih tinggi jika dibandingkan dengan kelompok itik yang mengalami rontok bulu (P < 0.01), yaitu masingmasing 62.18 ±3.30 vs 86.48 ±1.28% pada itik AP dan 63.86 ±2.71 vs 83.15 ±1.67% pada itik PA. Frekuensi rontok bulu tidak mempengaruhi lamanya berhenti bertelur dan produksi telur. Waktu mulai terjadinya rontok bulu mempengaruhi produksi telur. Pada itik AP dan PA yang mengalami rontok bulu di awal dan akhir periode produksi memiliki produksi telur yang relatif tinggi dibandingkan dengan itik-itik yang mengalami rontok bulu pada periode produksi, namun korelasinya sangat rendah dengan produksi telur, sehingga peubah tersebut tidak dapat digunakan sebagai kriteria seleksi untuk meningkatkan produksi telur. Peubah lamanya berhenti bertelur akibat proses rontok bulu berpengaruh pada produksi telur
selama 48 minggu dan memiliki korelasi yang tinggi dengan produksi telur sehingga peubah tersebut dapat digunakan sebagai kriteria seleksi untuk meningkatkan produksi telur. Hasil pengukuran konsentrasi hormon prolaktin konsisten dengan waktu mulai terjadinya rontok bulu dan produksi telur. Konsentrasi hormon prolaktin itik AP dan PA pada periode bertelur sebelum dan setelah rontok sangat nyata lebih tinggi dibandingkan pada periode rontok bulu. Hasil ini mendukung dugaan bahwa gen prolaktin sebagai salah satu pengontrol sifat rontok bulu dan produksi telur. Pada periode bertelur sebelum rontok, konsentrasi hormon prolaktin itik AP lebih tinggi dibandingkan dengan itik PA, sehingga produksi telur itik AP sebelum rontok bulu (periode 0-16 minggu) lebih tinggi dibandingkan dengan itik PA. Alternatif penanganan terhadap sifat rontok bulu adalah seleksi dengan kriteria muncul tidaknya sifat rontok bulu. Pada populasi itik yang mengalami rontok bulu, seleksi dapat dilakukan dengan kriteria seleksi lama berhenti bertelur yang kurang dari 60 hari, karena masih memiliki produksi telur yang relatif tinggi, yaitu sekitar 70%. Inisiasi pembentukan bibit itik unggul, yang berproduksi telur tinggi dengan sifat rontok bulu yang sudah terkendali, dapat memanfaatkan hasil persilangan itik AP (alabio jantan dan peking betina). Hasil persilangan ini memiliki nilai heterosis relatif tinggi, yaitu 29.96%. Kata kunci : Rontok bulu, produksi telur, itik alabio, itik peking, hormon prolaktin
© Hak Cipta Milik Institut Pertanian Bogor, Tahun 2012 Hak Cipta dilindungi Undang-Undang 1. Dilarang mengutip sebagian dan seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan atau menyebutkan sumbernya. a. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan, penelitian, penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik, atau tinjauan suatu masalah; b. dan pengutipan tidak merugikan kepentingan yang wajar IPB. 2. Dilarang mengumumkan dan memperbanyak sebagian atau seluruh karya tulis dalam bentuk apapun tanpa izin IPB.
KETERKAITAN GENETIS SIFAT RONTOK BULU DENGAN PRODUKSI TELUR PADA ITIK ALABIO DAN ITIK PEKING
TRIANA SUSANTI
Disertasi sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Doktor pada Program Studi Mayor Ilmu dan Teknologi Peternakan
SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2012
Penguji pada Ujian Tertutup
:
1. Prof. Dr. Ir. Wasmen Manalu, M.Sc. 2. Dr. Ir. Rukmiasih, M.Si.
Penguji pada Ujian Terbuka
:
1. Prof. Dr. Ir. Cece Sumantri, M.Agr. Sc. 2. Prof (R). Dr. Ir. Ismeth Inounu, M.Si.
HALAMAN PENGESAHAN Judul Penelitian Nama NRP Program Studi/Mayor
: Keterkaitan Genetis Sifat Rontok Bulu dengan Produksi Telur pada Itik Alabio dan Itik Peking : Triana Susanti : D161090091 : Ilmu Produksi dan Teknologi Peternakan (ITP)
Disetujui Komisi Pembimbing
Prof. Dr. Ir. Ronny R. Noor, M.Rur.Sc. Ketua
Prof. (Em) Dr. Peni S. Hardjosworo, M.Sc. Anggota
Dr. Ir. L. Hardi Prasetyo, M. Agr Anggota
Diketahui
Ketua Program Studi Ilmu Produksi dan Teknologi Peternakan
Dekan Sekolah Pascasarjana IPB
Prof. Dr. Ir. Muladno, M.SA.
Dr. Ir. Dahrul Syah, M.Sc.Agr.
Tanggal Ujian : 25 Oktober 2012
Tanggal Lulus :………………
PRAKATA Puji dan syukur penulis panjatkan ke hadirat Allah SWT atas segala karunia-Nya sehingga karya ilmiah ini berhasil diselesaikan. Tema yang dipilih dalam penelitian ini ialah pola pewarisan sifat rontok bulu dan faktor-faktor yang mempengaruhi rontok bulu dalam hubungannya dengan produksi telur itik, dengan judul “Keterkaitan Genetis Sifat Rontok Bulu dengan Produksi Telur pada Itik Alabio dan Peking”. Penelitian telah dilaksanakan sejak Juli 2010 sampai Januari 2012. Disertasi ini memuat informasi tentang mekanisme rontok bulu yang dihubungkan dengan produksi telur, peubah-peubah kualitatif dan kuantitatif dari sifat rontok bulu yang dihubungkan dengan produksi telur, konsentrasi hormon prolaktin pada periode rontok bulu dan periode produksi telur, serta upaya-upaya yang dapat dilakukan untuk mengendalikan sifat rontok bulu secara genetis. Penelitian ini dapat terlaksana dengan lancar berkat dukungan dan bantuan dari berbagai pihak, untuk itu penulis ingin menyampaikan ucapan dan penghargaan yang setinggi-tingginya kepada: 1. Komisi Pembimbing dalam penelitian ini, yaitu Prof. Dr. Ir. Ronny Rachman Noor, M.Rur.Sc. sebagai Ketua Komisi, Prof.(Em) Dr. Drh. Peni S. Hardjosworo, M.Sc. dan Dr. L. Hardi Prasetyo, M.Agr.Sc., masing-masing sebagai Anggota Komisi yang telah meluangkan banyak waktu, tenaga, pikiran, dan arahan dimulai sejak diskusi awal dalam penentuan ide/topik penelitian, penyusunan proposal, pelaksanaan penelitian, analisis data hingga penulisan disertasi. Penulis berdoa semoga beliau bertiga selalu diberi keluasan ilmu, kesehatan dan kemudahan di dalam melaksanakan tugastugasnya dan amal baiknya saat ini dicatat oleh Allah SWT sebagai amal jariyah. 2. Dr. Ir. Rarah Ratih Adjie Maheswari, DEA, yang senantiasa memberikan dukungan, dorongan motivasi, dan segala kemudahan dalam setiap pelaksanaan tahapan akademik yang harus penulis jalani. 3. Prof (R). Dr. Ir. Sofjan Iskandar, M.Rur.Sc. dan Prof (R). Dr. Ir. I Wayan Mathius, M.Sc. yang membantu memperlancar penyediaan fasilitas penelitian di Balitnak, Dr. Elizabeth Wina, M.Sc. yang telah membantu penulis untuk mengikuti pelatihan molekuler dan analisis statistiknya di India dan Italia, Dr. Bram Brahmantiyo, Dr. Maijon Purba, dan Soni Sopiyana, S.Pt. MP yang telah memberikan motivasi untuk tetap semangat dalam menyelesaikan studi. 4. Ibu Nurjayanti, MSc. dan Ibu Arini dari Badan Litbang Pertanian yang telah banyak membantu kelancaran penulis ketika melakukan penelitian di Linkoping, Swedia. 5. Prof (R). Dr. Ir. Ismeth Inounu, M.Si. dan Ibu Rahmawati Pulungan yang telah membantu untuk publikasi. 6. Prof. Dr. Laba Mahaputra dan Ibu Ida, Laboratorium Endokrinologi, Departemen Reproduksi, Fakultas Kedokteran Hewan, Universitas Airlangga, Surabaya, yang telah memberikan bantuan teknis analisis hormon prolaktin itik. 7. Haji Miftah, Hamdan, dan Ilham masing-masing selaku kepala kandang percobaan dan teknisi itik di Balai Penelitian Ternak Ciawi Bogor, beserta semua teknisi dan petugas kandang lainnya.
8. Rekan seangkatan di Program Studi Ilmu Produksi dan Teknologi Peternakan tahun 2009, yaitu Ibu Nena Hilmia, Ibu Lia Budimulyati Salman, Ibu Nova Rugayah, Ibu Yurleni, Ibu Tiltje Ransalele, Ibu Lucia, dan Bapak Hasil Tamsil, yang telah saling bantu dalam memperdalam dan memperkaya wawasan ilmu, serta saling memberikan dukungan dan semangat dalam penyelesaian studi. 9. Orang-orang terdekat dan terkasih, yaitu Ayahnda (alm) R.M. Yusman Natadisastra, Ibunda Hj. Ny.R.Lengganingrum, S.Pd, Ayahanda Mertua (Alm) Drs. Iman Slamet dan Ibunda Mertua (Alm) Hj. E. Kasiri yang senantiasa mendorong dan memberikan dukungan serta doa sehingga kesulitan yang penulis hadapi menjadi mudah dan ringan. Suamiku, Dicky Muchtar Budiman, S.E yang telah memberikan kelonggaran hati melalui pengertian, pengorbanan, kesabaran, dukungan, dan dorongan serta doa yang tiada henti, menjaga semangat dan motivasi penulis, meringankan dan memudahkan penulis dalam berkonsentrasi di semua tahapan studi S-3 ini. Kepada Ananda Muhammad Dzaki Maulana Ibrahim, Muhammad Rizky Amirulloh, dan Zahra Hanifah Budiman semoga semua ini dapat menjadi dorongan motivasi untuk berupaya keras meraih apa yang menjadi cita-citanya. Besar harapan saya, karya ilmiah ini dapat memberikan sumbangan bagi perkembangan dan kemajuan ilmu pengetahuan dan bermanfaat bagi pembangunan peternakan di Indonesia.
Bogor,
September 2012 Triana Susanti
RIWAYAT HIDUP Penulis dilahirkan di Bandung, Jawa Barat pada tanggal 8 Agustus 1967 sebagai anak ketiga dari tujuh bersaudara dari pasangan R.M. Yusman Natadisastra (Alm) dan Ny.R.Lengganingrum. Pendidikan sarjana ditempuh di Fakultas Peternakan Universitas Padjadjaran, Bandung, lulus pada tahun 1992. Pada tanggal 3 September 1994, penulis menikah dengan Dicky Muchtar Budiman, SE dan dikaruniai 2 orang putra dan 1 orang putri bernama Muhammad Dzaki Maulana Ibrahim, Muhammad Rizky Amirulloh, dan Zahra Hanifah Budiman. Pada tahun 2000, penulis diterima di Program Studi Ilmu Ternak pada Program Pascasarjana Institut Pertanian Bogor dan menamatkannya pada tahun 2003. Kesempatan untuk melanjutkan ke program Doktor pada Program Studi/Mayor Ilmu Produksi dan Teknologi Peternakan (ITP) pada perguruan tinggi yang sama diperoleh pada tahun 2009. Beasiswa pendidikan pascasarjana diperoleh dari Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian, Kementerian Pertanian, Republik Indonesia.Penulis mulai bekerja sebagai staf peneliti di Balai Penelitian Ternak, Ciawi Bogor sejak tahun 1993. Tahun 2008-2009 penulis dipercaya sebagai Kepala Seksi Jasa Penelitian di Balai Penelitian Ternak di samping sebagai pejabat fungsional Peneliti Muda dalam Bidang Pemuliaan dan Genetika Ternak, khususnya ternak unggas (itik). Selama mengikuti program pendidikan S-3, karya tulis ilmiah berjudul “Keterkaitan Kejadian dan Lamanya Rontok Bulu terhadap Produksi Telur Itik Hasil Persilangan Peking dengan Alabio” telah diterbitkan pada Jurnal Ilmu Ternak dan Veteriner (JITV) Bulan Juni 2012 Volume 17 Nomor 2. Artikel lain yang berjudul “Pendugaan Nilai Heterosis Sifat Rontok Bulu Pada Itik Hasil Persilangan Alabio dan Peking” submitted ke Jurnal Ilmu Ternak dan Veteriner (JITV), “Relationship Between The Prolactin Hormone Level With Molting and Duck Egg Production” akan diterbitkan di Journal of the Indonesian Tropical Animal Agriculture (JITAA) edisi September 2012 Volume 37 No.3, dan Pertumbuhan Starter dan Grower Itik Hasil Persilangan Resiprokal Alabio dan Peking” yang telah dipresentasikan pada “Workshop Nasional” ; pengembangan Peran Unggas Lokal dalam Industri Perunggasan Nasional yang diselenggarakan oleh Pusat Penelitian dan Pengembangan Peternakan pada tanggal 5 Juli 2012 di Merak Room I, lower Lobby JCC Jakarta dalam rangka Indo Livestock Expo dan Forum 2012. Karya ilmiah tersebut merupakan bagian dari penelitian program S-3 penulis.
DAFTAR ISI Halaman DAFTAR ISI ...................................................................................................... DAFTAR TABEL .............................................................................................. DAFTAR GAMBAR .......................................................................................... DAFTAR LAMPIRAN ......................................................................................
xix xxi xxiii xxv
PENDAHULUAN …………………………………………………………….. Latar Belakang …………………………………………………………. Kerangka Pemikiran …………………………………………………… Tujuan Penelitian ………………………………………………………. Manfaat Penelitian ……………………………………………………... Hipotesis ………………………………………………………………..
1 1 4 5 7 7
TINJAUAN PUSTAKA ………………………………………………………. Asal Usul Itik di Indonesia ……………………………………………… Itik Alabio ……………………………………………………………….. Itik Peking ……………………………………………………………….. Persilangan dan Heterosis ……………………………………………….. Seleksi …………………………………………………………………… Pertumbuhan Bulu ………………………………………………………. Sifat Rontok Bulu ……………………………………………………….. Hormon Prolaktin ……………………………………………………….. Pola Pewarisan Sifat Rontok Bulu ……………………………………….
9 9 10 11 12 13 14 18 20 21
BAHAN DAN METODE ……………………………………………………... Waktu dan Tempat Penelitian …………………………………………... Materi Penelitian ………………………………………………………... Analisis Data …………………………………………………………….
23 23 23 26
HASIL DAN PEMBAHASAN ……………………………………………….. Ciri-ciri Biologis Itik AP dan PA ………………………………………. Bobot Badan ……………………………………………………………. Konsumsi dan Konversi Ransum ………………………………………. Warna Bulu ……………………………………………………………... Kualitas Telur Itik ………………………………………………………. Pola Rontok Bulu ………………………………………………………. Frekuensi Rontok Bulu …………………………………………………. Waktu Mulai Terjadinya Rontok Bulu dan Produksi Telur ……………. Lamanya Berhenti Bertelur dan Produksi Telur ………………………... Konsentrasi Hormon Prolaktin …………………………………………. Produksi Telur ………………………………………………………….. Alternatif Cara Pengendalian Rontok Bulu Secara Genetis …………….
29 29 29 32 32 34 35 38 42 45 47 49 53
PEMBAHASAN UMUM ……………………………………………………..
57
xix
xx
SIMPULAN DAN SARAN …………………………………………………… Simpulan ………………………………………………………………... Saran …………………………………………………………………….
61 61 62
DAFTAR PUSTAKA ………………………………………………………….
63
LAMPIRAN …………………………………………………………………...
69
DAFTAR TABEL Halaman 1.
Konsumsi dan konversi ransum pada masa starter dan grower itik AP dan PA …………………………………………………………………
32
2.
Rataan ± S.E kualitas telur pertama itik AP dan PA …………………..
35
3.
Rataan ± S.E waktu mulai terjadinya rontok bulu, lamanya berhenti bertelur sebelum dan sesudah rontok bulu itik AP dan PA ……………
36
Produksi telur selama 48 minggu itik AP dan PA yang mengalami rontok bulu dan tidak rontok bulu ……………………………………..
37
Jumlah ternak, frekuensi dan lamanya rontok bulu itik betina AP dan PA ……………………………………………………………………...
39
Rataan ± S.E lama berhenti bertelur itik AP dan PA berdasarkan frekuensi rontok bulu yang berbeda …………………………………..
41
Rataan ± S.E produksi telur itik AP dan PA selama 48 minggu berdasarkan frekuensi rontok bulu yang berbeda ……………………...
42
Koefisien korelasi, persamaan regresi dan koefisien determinasi antara waktu mulai terjadinya rontok bulu dengan produksi telur 48 minggu pada itik AP dan PA …………………………………………………...
44
Rataan ± S.E produksi telur itik AP dan PA selama 48 minggu berdasarkan lama berhenti bertelur yang berbeda ……………………..
45
10. Koefisien korelasi, persamaan regresi dan koefisien determinasi antara lamanya berhenti bertelur akibat rontok bulu dengan produksi telur selama 48 minggu pada itik AP dan PA ………………………………
47
11. Konsentrasi hormon prolaktin itik sedang bertelur, rontok bulu dan bertelur kembali pada itik hasil persilangan PA dan AP ………………
48
12. Produksi telur itik AP dan PA selama 48 minggu pengamatan ……….
49
13. Lama berhenti bertelur dan produksi telur 30 minggu pada itik alabio, peking dan hasil persilangan resiprokalnya …………………………...
53
14. Nilai heterosis (%) lama berhenti bertelur yang mengakibatkan rontok bulu dan produksi telur 30 minggu itik AP dan PA …………………...
54
4.
5.
6.
7.
8.
9.
xxi
xxii
DAFTAR GAMBAR Halaman 1.
Diagram alur kerangka pemikiran……………………………………...
6
2.
Penyebaran pterylae pada itik (a) dan ayam (b) ……………………….
15
3.
Bagian-bagian bulu itik dewasa terdiri atas bulu kontur (a) dan bulu halus (down feather) (b)………………………………………………..
16
Siklus pertumbuhan bulu yang dimulai pada (a) fase istirahat (fase telogen); (b) fase anagen awal (pertumbuhan bulu baru) dan (c) fase anagen akhir (lepasnya bulu lama dan munculnya bulu baru pada epidermis) ……………………………………………….......................
17
Pola pewarisan sifat mengeram pada persilangan resiprokal antara ayam white leghorn jantan dengan bantam betina (a), bantam jantan dengan white leghorn betina (b), dan persilangan backcross F1 jantan dengan white leghorn betina (c) ……………………………………...
22
Skema persilangan resiprokal itik alabio dengan itik peking untuk evaluasi pewarisan sifat rontok bulu terkait produksi telur ……………
23
Laju pertumbuhan itik AP dan PA masing-masing sebanyak 90 ekor pada umur DOD sampai 16 minggu……………………………………
31
8.
Penampilan itik alabio (a), peking (b), PA (c) dan AP (d) …………...
33
9.
Pola rontok bulu itik AP dan PA ………………………………………
36
10. Produksi telur selama 48 minggu pada itik AP dan PA berdasarkan waktu mulai terjadinya rontok bulu yang berbeda …………………….
43
11. Hubungan antara lamanya berhenti bertelur yang mengakibatkan rontok bulu dengan produksi telur pada itik AP dan PA ………………
46
12. Trend produksi telur (a) dan konsentrasi hormon prolaktin (b) pada itik AP dan PA………………………………………………………….
51
13. Konsentarasi hormon prolaktin pada periode rontok bulu dengan produksi telur 48 minggu ………………………...................................
52
4.
5.
6.
7.
xxiii
xxiv
DAFTAR LAMPIRAN Halaman 1.
Rataan bobot badan masa starter dan grower itik AP dan PA ………...
69
2.
Sidik ragam konsumsi dan konversi ransum masa starter itik AP dan PA ……………………………………………………………………...
69
Sidik ragam konsumsi dan konversi ransum masa grower itik AP dan PA ….......................................................................................................
70
4.
Sidik ragam kualitas telur pertama itik AP dan PA …………………...
70
5.
Sidik ragam waktu mulai terjadinya rontok bulu itik AP dan PA ……..
71
6.
Sidik ragam lamanya berhenti bertelur itik AP dan PA ……………….
71
7.
Sidik ragam produksi telur itik AP yang rontok dan tidak rontok …….
72
8.
Sidik ragam produksi telur itik PA yang rontok dan tidak rontok …….
72
9.
Sidik ragam produksi telur 48 minggu itik AP berdasarkan frekuensi rontok bulu yang berbeda ……………………………………………..
72
10. Sidik ragam produksi telur 48 minggu itik PA berdasarkan frekuensi rontok bulu yang berbeda ……………………………………………...
72
11. Sidik ragam produksi telur itik AP berdasarkan lamanya berhenti bertelur yang berbeda ………………………………………………….
73
12. Sidik ragam produksi telur itik PA berdasarkan lamanya berhenti bertelur yang berbeda …………………………………………………
73
13. Sidik ragam konsentrasi hormon prolaktin sedang bertelur dan rontok bulu pada itik AP ………………………………………………………
73
14. Sidik ragam konsentrasi hormon prolaktin sedang bertelur dan rontok bulu pada itik PA ………………………………………………………
74
15. Sidik ragam produksi telur itik AP dan PA selama 48 minggu ……….
74
16. Sidik ragam lama berhenti bertelur itik Alabio, Peking, AP dan PA ….
77
17. Sidik ragam produksi telur itik Alabio, Peking, AP dan PA …………..
77
3.
xxv
xxvi
1
PENDAHULUAN Latar Belakang Perubahan sistem pemeliharaan itik dari ekstensif (digembalakan) menjadi intensif (terkurung) membutuhkan bibit unggul yang berproduksi telur tinggi agar usaha menjadi efisien dan menguntungkan. Selain itu, kebutuhan terhadap bibit itik semakin tinggi sejak terjadi diversifikasi produk itik. Pada awalnya, masyarakat hanya mengenal telur sebagai produk ternak itik, namun saat ini masyarakat mulai mengenal bahwa daging itik ternyata dapat dimanfaatkan sebagai sumber pangan. Padahal, sebelum tahun 2008, berbagai upaya dilakukan untuk peningkatan konsumsi daging itik, salah satunya melalui perlombaan pengolahan daging itik yang dilakukan oleh Dinas Peternakan DKI Jakarta. Penyebab peningkatan penerimaan konsumen terhadap daging itik belum diketahui dengan jelas, tetapi fenomena ini perlu didukung agar peran unggas lokal sebagai sumber pangan terus meningkat. Permasalahan yang diungkapkan oleh para pemasok itik potong hidup adalah kurangnya ketersediaan bibit. Sekitar tahun 2008, berbagai majalah populer memberitakan kurangnya pasokan itik untuk usaha olahan di berbagai daerah. Para pencari bibit itik potong dalam jumlah besar, yaitu sekitar 500 sampai 1000 ekor per minggu, banyak berdatangan ke Balitnak, namun hingga saat ini kebutuhan bibit itik yang semakin tinggi tersebut belum bisa dipenuhi.
Comment [T1]: bisa dipenuhi?
Permasalahan yang dihadapi penyediaan bibit itik adalah belum adanya pelaku-pelaku usaha pembibitan, karena usaha perbibitan memerlukan modal yang besar. Permasalahan utama dalam usaha perbibitan itik ialah terbatasnya keterampilan peternak dalam menghasilkan bibit unggul dan produksi telur yang masih bervariasi dari itik-itik lokal. Indonesia memiliki banyak jenis itik lokal sebagai keturunan Indian Runner dengan potensi produksi telur tinggi dan ternak tersebut tersebar hampir di semua wilayah, namun performans yang tinggi tersebut belum terekspresikan secara optimal karena adanya sifat rontok bulu. Rontok bulu adalah proses lepasnya bulu-bulu lama secara alami pada itikitik dewasa karena terdorong oleh pertumbuhan bulu-bulu baru. Proses rontok bulu terjadi pada itik-itik yang sudah memasuki periode produksi dan diduga berkaitan dengan paused, yaitu masa istirahat atau berhentinya produksi telur. Hal
Comment [T2]: performans?
2 ini terbukti pada ayam ras yang hampir semuanya tidak mengalami periode mengeram sebagai faktor utama yang menginisiasi terjadinya rontok bulu selama periode produksi sehingga ayam ras memiliki produksi telur tinggi. Itik-itik lokal masih mengalami rontok bulu yang bervariasi antarindividu maupun antarpopulasi sehingga keragaman produksinya menjadi tinggi yang berakibat pada rataan produksi telur yang menjadi relatif rendah. Upaya peningkatan produksi telur telah dilakukan melalui kombinasi persilangan di antara itik-itik lokal dengan seleksi. Hasil program pemuliaan tersebut menunjukkan tingkat produksi yang relatif tinggi, namun keragaman produksinya juga masih tinggi sehingga rataan produksi telur tersebut belum optimal. Keragaman yang tinggi terjadi karena itik-itik masih mengalami rontok bulu pada periode produksi. Pada umumnya, unggas yang dianggap memiliki potensi genetik unggul mengalami kejadian rontok bulu setelah periode produksi satu tahun dan terjadinya rontok bulu hanya satu kali dalam setahun dengan periode yang pendek, namun pada itik-itik lokal dapat terjadi lebih dari satu kali. Fenomena ini menjadi masalah bagi peternak yang menjadikan itik sebagai komoditas usahanya, karena itik harus tetap diberi pakan, namun produksinya sangat rendah. Oleh karena itu, suatu upaya perlu dilakukan untuk menangani masalah rontok bulu pada itik agar produksi telurnya menjadi optimal. Proses rontok bulu alami memerlukan waktu yang lama, karena setiap individu mengalami rontok bulu pada waktu yang berbeda dan lamanya rontok bulu yang berbeda pula. Hal ini akan membuat usaha ternak itik menjadi tidak efisien, karena semua itik harus diberi pakan yang berkualitas dengan produksi tidak optimal. Alasan ini membuat peternak melakukan penanganan rontok bulu dari aspek manajemen pakan yang dikenal dengan istilah forced molting, yaitu program menyerentakkan rontok bulu melalui pembatasan pemberian pakan, baik jumlah
maupun
kualitasnya.
Program
forced
molting
bertujuan
untuk
mempertahankan kelompok unggas dengan potensi produksi telur tinggi karena produktivitas, terutama kualitas kerabang telur, setelah rontok bulu lebih baik dibandingkan sebelum rontok. Dampak dari kegiatan forced molting ini disayangkan bersifat sementara karena tidak dapat diwariskan pada keturunannya. Dewasa ini, forced molting dapat dikategorikan sebagai suatu tindakan yang
3 melanggar animal welfare. Oleh karena itu, suatu upaya dari bidang ilmu yang lain perlu dilakukan agar kelompok itik yang unggul ini dapat dipertahankan. Pada penelitian ini, penanganan kejadian rontok bulu dicoba dengan pendekatan secara genetis yang diharapkan dapat memberikan dampak permanen karena akan diwariskan kepada keturunanannya. Pendekatan secara genetis dapat dilakukan karena kejadian rontok bulu yang bervariasi antarindividu maupun antarpopulasi menunjukkan adanya variasi genetik. Oleh sebab itu, upaya perbaikan kualitas itik melalui pengendalian sifat rontok bulunya dapat dilakukan secara genetis, namun pengaruh gen dan faktor-faktor genetik yang berperan dalam kejadian rontok bulu belum banyak diteliti. Proses rontok bulu diduga dipengaruhi oleh kerja hormon prolaktin yang merupakan salah satu hormon endokrin yang dapat bersinergi dengan hormon gonadotropin, namun pada konsentrasi tinggi dapat menjadi antigonadotropin. Pada periode produksi telur, hormon prolaktin berfungsi untuk menstimulasi organ reproduksi, khususnya dalam proses pembuatan kerabang telur. Pada konsentrasi tinggi tertentu, hormon prolaktin akan menghambat sekresi hormon saluran reproduksi sehingga tidak ada telur yang diovulasikan dan itik memasuki masa istirahat bertelur. Pada periode berhenti bertelur ini, hormon prolaktin menstimulir terjadinya rontok bulu. Pengaruh hormon prolaktin pada rontok bulu dan produksi telur pada itik juga belum banyak diteliti. Hormon prolaktin merupakan produk gen prolaktin. Hal ini memperkuat asumsi bahwa penanganan rontok bulu dapat dilakukan dari aspek genetik. Upaya pembentukan bibit itik dengan kualitas yang baik dalam arti memiliki produksi telur tinggi dan sifat rontok bulunya yang sudah diatur, secara genetis dapat dilakukan melalui seleksi, persilangan, dan kombinasi antara seleksi dan persilangan. Pada penelitian ini, persilangan antara rumpun itik alabio yang mempunyai sifat rontok bulu cepat di awal produksi dengan periode yang panjang (early and slow molting) sehingga produksi telurnya menjadi relatif rendah telah dilakukan dengan itik peking yang diduga memiliki late and rapid molting (rontok bulu lambat dengan periode rontok bulu yang pendek) sehingga produksi telurnya relatif tetap tinggi. Program persilangan resiprokal ini dipilih untuk menduga keterkaitan kejadian rontok bulu dengan produksi telur secara genetis,
4 yaitu pola pewarisan dan gen yang mempengaruhi sifat rontok bulu sekaligus mempengaruhi produksi telur tersebut. Dengan demikian, program pemuliaan melalui kombinasi persilangan dan seleksi yang bertujuan meningkatkan produksi telur dapat dilakukan berdasarkan sifat rontok bulunya. Populasi hasil persilangan cenderung menampilkan fenomena hybrid vigor yang nilainya dapat diukur secara kuantitatif dan disebut heterosis. Adanya nilai heterosis menunjukkan bahwa rataan performa ternak silangan lebih baik dibandingkan rataan performa tetuanya. Populasi hasil persilangan
dengan nilai heterosis yang tinggi pada
produksi telur dan kejadian rontok bulu yang sudah diatur sebagai kriteria unggul diharapkan dapat dimanfaatkan sebagai tetua untuk menghasilkan keturunan bibit itik yang unggul pula. Kerangka Pemikiran Fenomena rontok bulu terjadi pada semua unggas betina dewasa, termasuk itik alabio sebagai salah satu itik lokal di Indonesia. Pada penelitian ini, persilangan resiprokal antara itik alabio dengan itik peking dilakukan dengan pertimbangan bahwa itik alabio merupakan keturunan Indian runner
yang
diketahui memiliki potensi produksi telur tinggi. Itik alabio juga memiliki sifat rontok bulu yang muncul pada periode produksi telur, bahkan pada saat puncak produksi (Purba et al. 2005) sehingga pada kejadian rontok bulu yang besar, yaitu rontoknya bulu sayap akan diikuti dengan berhentinya produksi telur. Hal ini tentu saja menyebabkan tingkat produksi telur pada itik alabio menjadi rendah. Pada saat ini, di Indonesia terdapat itik peking yang berasal dari daratan China dan ternyata mampu beradaptasi dengan baik sehingga populasinya semakin banyak. Berdasarkan postur dan bobot badannya, itik peking merupakan jenis pedaging sehingga potensi produksi telurnya menjadi rendah. Apabila dibandingkan dengan itik-itik lokal di Indonesia, itik peking memiliki produksi telur yang hampir sama dengan itik alabio sebagai tipe petelur. Hal ini terjadi karena itik peking tetap mampu berproduksi telur, meskipun sedang mengalami rontok bulu. Kejadian rontok bulu pada itik peking tidak menyebabkan berhenti bertelur, karena hanya mengalami rontok bulu halus, sedangkan rontok bulu sayap yang menyebabkan berhentinya produksi telur muncul setelah satu periode produksi, yaitu 40 minggu dan dalam rentang waktu yang relatif pendek, yaitu 6-8
5 minggu (Cherry & Morris 2008). Berdasarkan potensi produksi dan sifat rontok bulu pada itik alabio dan itik peking tersebut maka dilakukan persilangan resiprokal dengan tujuan untuk memahami kejadian rontok bulu yang berkaitan dengan produksi telur secara genetis sehingga sifat rontok bulu dapat dikendalikan dan faktor-faktor yang mempengaruhi sifat rontok bulu dapat diketahui. Gen prolaktin selama ini diduga sebagai pengontrol sifat rontok bulu, namun pengaruh hormon prolaktin pada sifat rontok bulu dan produksi telur belum banyak diteliti. Oleh karena itu, dalam penelitian ini dilakukan pengukuran terhadap konsentrasi hormon prolaktin pada periode rontok bulu dan produksi telur. Informasi hasil penelitian ini diharapkan dapat menjadi acuan dalam menentukan gen pengontrol sifat rontok bulu sehingga memudahkan dalam menyusun program pemuliaan melalui seleksi, terutama yang berkaitan dengan sifat rontok bulu. Penggunaan metode ini diharapkan akan menyebabkan seleksi lebih efisien dan akurat sehingga penyediaan kebutuhan bibit itik, baik untuk petelur maupun pedaging, akan terpenuhi lebih cepat pula. Alur kerangka pemikiran penelitian tercantum pada Gambar 1. Tujuan Penelitian Tujuan penelitian adalah : a. Mempelajari keterkaitan genetis sifat rontok bulu dengan produksi telur pada populasi tetua (Alabio (A) dan Peking (P)) dan populasi persilangan (PA dan AP). b. Mempelajari keterkaitan hormon prolaktin pada sifat rontok bulu dan produksi telur untuk mendukung gen prolaktin sebagai pengontrol rontok bulu. c. Memperoleh alternatif cara pengendalian sifat rontok bulu pada itik secara genetis.
6 Ketersediaan bibit itik sebagai pedaging maupun petelur belum mampu memenuhi kebutuhan konsumen karena produksi telurnya yang rendah (terutama itik yang dipelihara secara ekstensif atau digembalakan) Salah satu penyebab rendahnya produksi telur itik adalah adanya proses rontok bulu yang berkaitan dengan berhentinya bertelur
Penanganan masalah rontok bulu dapat dilakukan secara genetik karena akan memberikan dampak yang permanen.
Program persilangan itik alabio yang memiliki sifat rontok bulu tinggi dengan itik peking yang memiliki late molting akan memberikan informasi genotipe pengontrol sifat rontok bulu dan pola pewarisannya.
Pembentukan reference family dari persilangan resiprokal itik alabio dan itik peking sehingga diperoleh populasi PA ♂ (10 ekor), PA♀ (90 ekor), AP ♂ (10 ekor), dan AP♀ (90 ekor)
Fenotipe yang diamati ialah frekuensi rontok bulu, waktu mulai terjadinya rontok bulu, jumlah hari itik berhenti bertelur, produksi telur 48 minggu, kualitas telur dan kadar hormon prolaktin pada periode rontok bulu, dan periode produksi telur.sebelum dan setelah rontok bulu.
Diperoleh informasi mengenai mekanisme rontok bulu yang berkaitan dengan produksi telur secara genetis, pengaruh hormon prolaktin pada periode rontok bulu, dan produksi telur. Berdasarkan informasi tersebut, maka pengendalian terhadap sifat rontok bulu secara genetis dapat dilakukan. Dapat dimanfaatkan dalam penyusunan program pemuliaan, terutama melalui seleksi dengan kriteria rontok bulu sehingga seleksi lebih efisien dan akurat. Pembentukan bibit itik untuk memenuhi kebutuhan akan lebih cepat. Gambar 1 Diagram alur kerangka pemikiran.
7 Manfaat Penelitian Hasil penelitian ini diharapkan dapat menjadi acuan dasar untuk pembentukan bibit itik dengan tingkat produksi telur yang tinggi dan kemampuan pengendalian sifat rontok bulu yang lebih baik. Hal ini akan berdampak pada sosial ekonomi masyarakat peternak itik. Selain itu, dalam jangka panjang hasil penelitian diharapkan pula dapat dimanfaatkan untuk peningkatan efisiensi dan akurasi seleksi berdasarkan sifat rontok bulu pada itik lokal. Tujuan akhir penelitian adalah untuk meningkatkan produksi telur itik melalui pengaturan pola rontok bulu, yaitu cukup satu kali dalam setahun. Kemunculan kejadian rontok bulu diatur apabila masa produksi telur telah mengalami penurunan secara alami pula sehingga sifat fisiologi alamiah itik untuk merontok bulu tetap diperhatikan. Hipotesis a. Terdapat keterkaitan genetis antara sifat rontok bulu dengan produksi telur. b. Terdapat keterkaitan hormon prolaktin dengan proses rontok bulu dan produksi telur. c. Keturunan hasil persilangan itik alabio dan peking menunjukkan nilai heterosis yang tinggi pada sifat rontok bulu.
8
9 TINJAUAN PUSTAKA Asal Usul Itik di Indonesia Berdasarkan sejarahnya, itik pertama kali didomestikasi di China (Cherry & Morris 2008). Meskipun demikian, ada pendapat yang menyatakan bahwa sejarah domestikasi itik dilakukan di dua tempat, yaitu China dan Eropa Barat (Clayton 1984). Selanjutnya disebutkan bahwa Asia Tenggara merupakan pusat utama domestikasi, seperti pada berbagai jenis ayam. Berdasarkan data-data arkeologi, lingkungan pertanian yang disukai oleh itik telah ditemukan di daratan China Selatan. Oleh karena itu, kemungkinan besar itik didomestikasi di daerah tersebut sebelum dikembangkan khusus di Eropa Barat. Pada musim dingin, itik-itik bermigrasi dari wilayah utara ke tempattempat terbuka dengan lingkungan yang tersedia banyak air dan pakan melimpah, terutama air dangkal sebagai area sumber pakannya. Dalam hal bersarang, itik lebih menyukai tempat yang kering, seperti rerumputan di dataran tinggi, di rawarawa kering, atau daerah persawahan yang banyak jerami (Crawford 1993). Salah satu tempat migrasi itik adalah wilayah Indonesia karena memiliki daerah perairan lebih besar jika dibandingkan dengan daratannya. Daerah perairan merupakan tempat paling disukai oleh itik yang dikenal sebagai unggas air (water fowl). Oleh karena itu, keberadaan itik di Indonesia merupakan ternak pendatang. Itik dikelompokkan sebagai ternak lokal, karena daya adaptasinya yang tinggi pada lingkungan di Indonesia selama bertahun-tahun dan mampu berkembang biak (Hardjosworo 1995). Itik domestik diturunkan dari wild mallard (Anas platyrhynchos) dengan ciri-ciri, antara lain warna bulu cokelat pada tubuhnya, terutama itik betina, leher dan kepala berwarna hijau terang mengkilap, paruh dan kakinya berwarna kuning terang, dan warna bulu sayap adalah biru terang (Crawford 1993). Warna-warna terang dan mengkilap tersebut diduga membantu sebagai petunjuk kontak visual ketika sedang bermigrasi (Ogilvie & Pearson 1994). Selain warna bulu, karakteristik khusus pada Anas platyrhynchos jantan adalah adanya empat helai bulu ekor yang mencuat ke atas, dan ini hanya dapat ditemukan pada itik liar (wild mallard) sebagai Anas platyrhynchos (Cherry & Morris 2008).
10 Karakterisasi terhadap sifat fenotipik kualitatif itik-itik lokal, yaitu itik alabio, mojosari, cihateup, magelang, tegal, dan damiaking diperoleh hasil pola warna bulu yang hampir sama dengan itik Mallard dengan empat helai bulu ekor jantan yang mencuat ke atas (Susanti & Prasetyo 2007a). Berdasarkan kesamaan ciri-ciri tersebut diduga bahwa itik-itik lokal Indonesia merupakan keturunan itik Mallard (Anas platyrhynchos). Itik Alabio Salah satu rumpun itik lokal di Indonesia berdasarkan Peraturan Menteri Pertanian nomor : 19/Permentan/OT.140/2/2008 tentang Penetapan dan Pelepasan Rumpun dan Galur Ternak adalah itik alabio yang berasal dari Kalimantan Selatan, dan saat ini banyak diintroduksi ke daerah-daerah lain di wilayah Indonesia. Rumpun itik alabio memiliki potensi yang tinggi, baik sebagai produsen telur maupun daging (Hetzel 1985). Potensi itik alabio sebagai galur petelur unggul menjadikannya sebagai tetua dalam program persilangan untuk meningkatkan produktivitas itik-itik lokal lain. Prasetyo dan Susanti (2000) melakukan persilangan antara itik alabio dengan itik mojosari yang menghasilkan itik petelur unggul yang disebut itik MA. Itik hasil persilangan tersebut memiliki rataan produksi telur sebanyak 74.22 butir selama periode produksi 12 minggu, dan memiliki nilai heterosis produksi telur mencapai 11.69%. Selain itu, itik MA memiliki umur pertama bertelur yang lebih cepat dan kualitas telur yang lebih baik daripada induk-induk tetuanya (alabio dan mojosari). Selain sebagai petelur unggul, itik alabio berpotensi pula menjadi itik pedaging. Matitaputty et al. (2011) melakukan persilangan itik alabio (A) dan itik cihateup (C) dengan hasil yang diperoleh menunjukkan nilai persentase heterosis itik persilangan CA lebih unggul dari AC dalam bobot hidup akhir (7.05%), pertambahan bobot hidup (7.32%), bobot karkas (9.24%), dan persentase karkas (2.55%). Pada potongan karkas bagian paha, persentase tertinggi diperoleh itik persilangan AC (10.13%), sementara potongan karkas bagian dada itik tetua murni AA lebih unggul (6.13%). Itik persilangan CA memiliki sifat-sifat unggul lebih banyak dan bernilai ekonomis dibandingkan dengan itik persilangan AC. Berdasarkan performans dapat disimpulkan bahwa hasil persilangan terbaik untuk
11 menghasilkan performans dan produksi karkas yang baik adalah itik persilangan cihateup jantan x alabio betina (CA). Keunggulan lain dari itik alabio adalah memiliki ciri-ciri warna bulu hampir seragam yang didominasi oleh warna cokelat, hijau, dan hitam keabuabuan pada sebagian besar tubuhnya, yaitu leher, kepala, punggung, dan dada. Suryana et al. (2010) mengidentifikasi warna bulu itik alabio dan menyimpulkan bahwa itik alabio jantan memiliki warna bulu hijau mengkilap pada kepala, biru mengkilap pada sayap, dan hitam keabu-abuan pada bagian dada dan ekor. Bulu itik alabio betina didominasi warna cokelat bintik-bintik hitam. Bagian tubuh paruh, paha, dan kaki itik alabio didominasi warna kuning dan oranye. Berdasarkan potensi-potensi tersebut tampak bahwa itik alabio mampu mengekspresikan keunggulannya sehingga dalam penelitian ini digunakan itik alabio yang diharapkan mampu mencapai tujuan penelitian ini, yaitu menginisiasi terbentuknya populasi itik yang berproduksi telur tinggi dengan kejadian rontok bulunya yang sudah terkendali. Itik Peking Itik peking merupakan keturunan itik Mallard (Anas plathyrhynchos). Hasil penelusuran sejarah domestikasi itik peking dengan menggunakan analisis penanda mikrosatelit dan mitokondria menunjukkan bahwa itik peking memiliki sekuens yang sama dengan itik Mallard (Qu et al. 2009). Saat ini performans itik peking, dengan postur besar dan berbulu putih, berbeda dari keturunan itik Mallard yang lainnya, dengan postur ramping dan berbulu cokelat kombinasi warna hitam, hijau, dan abu-abu. Hal ini terjadi akibat dari seleksi yang relatif lama terhadap itik peking sehingga menjadi strain atau galur pedaging dengan warna bulu putih dan bobot dewasa 2.7 sampai 3.8 kg (Cherry & Morris 2008; Rouvier 1999). Produksi telur itik peking relatif rendah dibandingkan itik-itik tipe petelur lain yang mempunyai bentuk tubuh ramping. Rata-rata produksi telur itik peking adalah 210 butir per 500 hari atau 42% (Pingel 1990). Itik peking yang dikembangbiakkan di Eropa ternyata mampu menghasilkan telur sebanyak 175226 butir dalam 40 minggu dengan cara dipelihara secara intensif (terkurung). Rata-rata pengamatan dilakukan selama 40 minggu, karena setelah 40 minggu itik
Comment [T3]: oranye?
12 peking mengalami rontok bulu sehingga berhenti produksi telurnya. Itik peking mengalami rontok bulu pada akhir periode produksi sehingga dikelompokkan sebagai itik late molting. Sifat rontok bulu dengan kategori late molting merupakan
salah satu keunggulan itik tersebut sehingga digunakan dalam
penelitian ini untuk disilangkan dengan itik lokal dengan harapan dapat dipelajari pewarisan sifat rontok bulu yang late molting tersebut, sekaligus mengurangi kejadian rontok bulu pada itik lokal.
Persilangan dan Heterosis Prasetyo dan Susanti (1997) menyatakan bahwa program kawin silang telah umum digunakan dalam industri peternakan, jika fenotipe yang diinginkan merupakan kombinasi dari galur-galur yang ada, atau untuk memperbaiki efisiensi produksi melalui penggunaan galur jantan dan betina yang spesifik. Perkawinan antarkelompok genotipe yang berbeda dapat dilakukan, antargalur, antarrumpun, maupun antarbangsa dengan tujuan untuk pembentukan bangsa baru dengan menggabungkan sifat-sifat menguntungkan ke dalam ternak silangan untuk mempercepat peningkatan produktivitas ternak (Martojo 1992; Warwick et al. 1995). Persilangan dilakukan sebagai strategi untuk pemanfaatan keunggulan hibrida yang disebut heterosis. Tejadinya heterosis diduga sebagai akibat dari aksi gen non-aditif seperti efek dominan, overdominan, dan epistasis (Falconer & Mackay 1996; Noor 2010). Besarnya heterosis bergantung pada dominansi dari semua pasangan gen yang mempengaruhinya dan rataan perbedaan frekuensi gen antara kedua tetuanya untuk semua pasangan gen yang ada sehingga semakin jauh perbedaan frekuensi gen antara kedua tetuanya akan semakin tinggi heterosisnya. Heterosis paling baik pada persilangan tunggal antarpopulasi dengan jarak genetik yang jauh akan diperoleh pada generasi pertama, kemudian menurun secara gradual dari F1, F2, F3, dan seterusnya akan hilang pada generasi tertentu. Nilai heterosis umumnya mempunyai nilai yang berlawanan dengan nilai heritabilitas. Noor (2010) mengungkapkan bahwa semakin tinggi nilai heritabilitas suatu sifat akan semakin kecil nilai heterosis. Hal ini disebabkan
13 heritabilitas dikontrol oleh aksi gen aditif, sedangkan heterosis dipengaruhi oleh aksi gen nonaditif. Romanov et al. (2002) mempelajari gen major sex-linked dan gen dominan autosomal sebagai gen yang mempengaruhi sifat mengeram melalui persilangan ayam white leghorn yang tidak mengeram dengan ayam bantam yang mengeram. Prasetyo dan Susanti (2000) melakukan persilangan itik alabio dengan mojosari untuk meningkatkan produksi telur pada hasil persilangannya. Huang et al. (2009) mempelajari peta genetik itik melalui AFLP fingerprinting dengan melakukan persilangan antara itik brown tsaiya, sebagai galur petelur lokal di Taiwan, dengan itik peking, yang dikenal sebagai galur pedaging. Berdasarkan uraian di atas, program persilangan dilakukan untuk berbagai tujuan. Pada penelitian ini pun digunakan program persilangan yang serupa, yaitu antara itik peking dan itik lokal alabio untuk mempelajari sifat-sifat rontok bulu secara genetis. Upaya peningkatan produktivitas ternak melalui persilangan biasanya dikombinasikan dengan seleksi. Suksesnya suatu program persilangan bergantung pada materi genetik individu-individu yang disilangkan, metode seleksi dan sistem perkawinan yang digunakan (Warwick et al. 1995).
Seleksi Seleksi berperan dalam pengubahan frekuensi gen yang mengatur sifat kualitatif dan kuantitatif (Falconer & Mackay 1996; Noor 2010). Kegiatan seleksi merupakan aktivitas paling penting bagi pemulia dan sebagai dasar utama dalam pemuliaan ternak (Warwick et al. 1995). Tujuan seleksi adalah memilih ternakternak dengan sifat yang diinginkan untuk dijadikan tetua dan dihasilkan generasi berikutnya. Pada sektor peternakan, sifat-sifat yang diinginkan adalah sifat unggul yang berhubungan dengan produktivitas dan biasanya adalah sifat kuantitatif. Di tingkat peternak, seleksi biasanya dilakukan berdasarkan sifat kualitatif yang diduga berhubungan dengan produktivitas karena pada umumnya peternak tidak memiliki catatan produksi. Oleh karena itu, dalam penelitian ini dicoba mencari peubah dari rontok bulu yang bersifat kualitatif maupun kuantitatif dan berhubungan dengan produksi telur. Sifat-sifat tersebut diharapkan dapat
14 dijadikan sebagai kriteria seleksi sehingga dapat dimanfaatkan oleh peternak secara langsung dan dapat dipertanggungjawabkan secara ilmiah. Seleksi yang paling banyak dan mudah dilakukan adalah berdasarkan catatan atau fenotipe individu yang bersangkutan sehingga disebut seleksi individu atau seleksi massa (Noor 2010). Seleksi ini hanya efektif untuk sifat-sifat yang terdapat pada kedua jenis kelamin, namun kurang akurat untuk sifat-sifat yang hanya muncul pada salah satu jenis kelamin saja. Seleksi berdasarkan sifat rontok bulu sebagai peubah sifat kualitatif dapat dilakukan dengan seleksi individu ini. Pada sifat yang hanya muncul pada ternak betina saja, seperti produksi telur, memerlukan metode seleksi yang lain, yaitu seleksi berdasarkan catatan keturunan (progeny test), tetua (silsilah), atau kerabatnya (kolateral), terutama untuk ternak-ternak yang hanya menghasilkan satu keturunan per tahun dengan interval generasi yang panjang. Pada unggas, dengan interval generasi yang relatif singkat, yaitu sekitar 1 tahun, metode seleksi berdasarkan progeny kurang efektif karena ketika informasi tetua unggul diperoleh, tetua tersebut sudah memasuki masa tidak produktif. Oleh karena itu, pemilihan pejantan untuk dikawinkan dengan betina terseleksi dapat memanfaatkan itik-itik jantan yang berasal dari keturunan betina-betina terseleksi segenerasi, dengan asumsi bahwa pejantan tersebut mempunyai sifat unggul yang diinginkan karena berasal dari induk-induk betina terseleksi. Sistem perkawinan dengan memanfaatkan pejantan dan induk dari generasi yang sama dikenal dengan perkawinan interse (Martojo 1992). Perkawinan interse biasanya dilakukan dalam upaya untuk pemantapan galur dengan sifat yang diinginkan sudah terfiksasi. Perkawinan interse akan mengurangi nilai keragaman sifat yang diinginkan tersebut dan galur dikatakan “mantap” atau stabil apabila nilai keragamannya kurang dari 5%.
Pertumbuhan Bulu Pertumbuhan bulu pada hewan unggas dimulai sejak tahapan embrio (Bellairs & Osmond 2005). Folikel-folikel bulu tumbuh pada batas tertentu di permukaan kulit dan disebut pterylae yang tampak pada daerah tulang belakang memanjang dari leher sampai ekor dan sekitar dada. Penampakan pterylae secara
15 ventral dan lateral terdapat pada paha, sayap, dan kepala. Pterylae pada itik hampir menyebar di seluruh tubuh, sedangkan pada ayam hanya ada di bagianbagian tertentu dari bagian tubuhnya (Gambar 2). b
a
Gambar 2 Penyebaran pterylae pada itik (a) dan ayam (b).
Pada Gambar 2 tampak bahwa folikel bulu itik menyebar hampir di seluruh permukaan kulit sehingga pterylae pun tampak pada seluruh permukaan kulit,
sedangkan folikel bulu ayam hanya tumbuh pada bagian tertentu di
permukaan kulit sehingga pterylae tampak jelas membatasi folikel-folikel bulu ayam. Hal ini menyebabkan perbedaan ketika proses membului. Itik memerlukan perlakuan khusus, biasanya menggunakan lilin untuk melepaskan bulunya, sedangkan pada ayam pencabutan bulu dapat dilakukan dengan mudah hanya dengan mencelupkannya pada air panas. La Bonde (1998) menyatakan bahwa fungsi bulu pada spesies unggas sangat penting, yaitu sebagai insulator, pelindung terhadap suhu lingkungan yang ekstrim, untuk terbang, dan memperindah penampilan. Selanjutnya, Bellairs dan Osmond (2005) menyatakan bahwa bulu pada itik dewasa yang menentukan plumage terdapat tiga tipe, yaitu : 1. Bulu kontur (contour feather), yaitu bulu penutup tubuh itik yang terdapat pada sayap dan ekor. Bulu kontur terdiri atas batang atau rachis dengan percabangan (vane) di luar dan di dalam yang disusun parallel seperti duri dan disebut barb yang ditutupi semuanya oleh barbules.
Comment [T4]: Cek: contour atau countour
16 2. Bulu bagian bawah (down feather) yang terdapat di bawah bulu kontur dengan tekstur bulu halus dan lembut. Bulu-bulu tersebut hanya mempunyai batang yang pendek dengan barb dan barbules yang menyebar bebas. 3. Tipe bulu yang ketiga adalah filoplumae dengan bentuk batang pendek, fleksibel, seperti rambut dengan dibatasi barb sampai ke puncak.
Itik yang baru menetas mempunyai bulu penutup dari down feather halus dan pendek, hampir mirip dengan plumule dewasa. Pertumbuhan bulu down feather pada anak itik terjadi selama 10 hari sejak menetas, kemudian bulu-bulu tersebut akan tumbuh dengan cepat menjadi bulu kontur selama 50 sampai 60 hari, termasuk bulu sayap primer maupun sekunder yang tumbuh dengan cepat pada umur 24 sampai 56 hari. Pada molting pertama, bulu-bulu muda muncul dari folikel-folikel yang sama. Bulu-bulu muda yang paling luar mirip dengan bulu kontur pada unggas dewasa, tetapi mempunyai tekstur yang lebih halus. Bagianbagian bulu tersebut tercantum pada Gambar 3.
Sumber : Bellairs & Osmond (2005)
Gambar 3 Bagian-bagian bulu itik dewasa terdiri atas bulu kontur (a) dan bulu halus (down feather) (b).
17 Pertumbuhan bulu baru distimulir oleh hormon tiroksin dan prolaktin (Steven 1996). Setiap folikel bulu mengalami siklus perubahan pertumbuhan dengan merujuk pada fase anagen, bergiliran dengan periode istirahat (fase telogen). Istilah anagen dan telogen diadopsi dari pertumbuhan rambut (Spearman 1971). Fase pertumbuhan folikel bulu terjadi sebelum molting plumage tua yang terjadi setiap tahun. Sekali terjadinya molting, maka feather yang lengkap akan tumbuh pada tempat melekatnya folikel yang rontok tersebut. Pada akhir periode pertumbuhan telogen, folikel sel semula sekali lagi masuk ke dalam periode anagen yang pendek. Seperti halnya pertumbuhan, bulu baru akan tumbuh ke atas mengarah pada permukaan kulit. Bulu-bulu tua didorong ke luar kanal, namun masih tersisa folikel yang ada di dalam pembungkus berbentuk tanduk sebagai tempat tumbuhnya bulu-bulu baru. Ketika pembungkus ini terbuka untuk mendapatkan bulu baru, maka bulu-bulu tua akan jatuh sehingga peristiwa molting adalah murni proses mekanis dari tumbuhnya bulu-bulu generasi baru (Spearman 1971).
Proses pertumbuhan bulu baru dan lepasnya bulu lama
tercantum pada Gambar 4.
Sumber : Spearman (1971)
Gambar 4 Siklus pertumbuhan bulu yang dimulai pada (a) fase istirahat (fase telogen), (b) fase anagen awal (pertumbuhan bulu baru), dan (c) fase anagen akhir (lepasnya bulu lama dan munculnya bulu baru pada epidermis).
18 Sifat Rontok Bulu Rontok bulu adalah proses lepasnya bulu-bulu lama karena terdorong oleh pertumbuhan bulu-bulu baru (Spearman 1971). Kejadian rontok bulu berkaitan dengan peremajaan saluran reproduksi sehingga masa rontok bulu disebut juga masa istirahat memproduksi telur (Berry 2003). Setiap tahun kebanyakan unggas secara alami mengalami penurunan bobot badan hampir 40% yang berhubungan dengan lepasnya bulu-bulu sayap dan menurunnya aktivitas reproduksi (Brake & Thaxton 1979; Mrosovsky & Sherry 1980). Biasanya hewan liar mengatur sendiri untuk mengambil masa istirahat bertelur pada musim-musim tertentu, terutama ketika kurangnya ketersediaan pakan sehingga kejadian rontok bulunya hanya satu kali dalam setahun (Bell 2003). Pada ternak domestik, banyak hal pemicu munculnya sifat rontok bulu. Setioko (2005) mengungkapkan faktor-faktor penyebab rontok bulu adalah kurangnya ketersediaan pakan, perubahan susunan ransum pada itik yang dikandangkan, perpindahan kandang, adanya hewan pengganggu, dan lingkungan yang tidak nyaman dapat menyebabkan itik mengalami rontok bulu. Banyaknya faktor pemicu tersebut mengakibatkan munculnya rontok bulu dapat terjadi setiap saat secara spontan bersama-sama atau bersifat sporadis. Hal tersebut mengindikasikan bahwa munculnya rontok bulu adalah akibat stress dan kejadiannya bergantung pada ketahanan masing-masing individu terhadap stress tersebut (Webster, 2000; Duncan, 2001). Ketahanan individu terhadap stress dikontrol oleh gen, sehingga munculnya kejadian rontok
bulu pun diduga
dipengaruhi oleh gen, dan penanganan terhadap rontok bulu dapat dilakukan secara genetis pula. Berry (2003) menyatakan bahwa kejadian mengeram merupakan faktor utama yang menginisiasi rontok bulu secara alami. Hampir semua unggas mengalami penurunan konsumsi pakan dan bobot badan selama masa mengeram (Sherry et al. 1980). Perubahan-perubahan fisiologis ini menyebabkan berhentinya sistem reproduksi sehingga akan menghentikan produksi telur (Park et al. 2004). Unggas-unggas yang telah mengalami masa rontok bulu akan menunjukkan produksi telur yang lebih tinggi, efisiensi pakan yang lebih baik, dan kualitas kerabang yang lebih baik (Lee 1982).
Comment [T5]: Terjadi bersamaan tanpa ada hubungan fungsional atau memang harus rontok bulu dulu untuk meremajakan saluran reproduksi?
19 Kejadian rontok bulu yang bersifat alami pada unggas ini membuat para peternak berupaya dengan berbagai cara agar ternak peliharaannya mengalami rontok bulu secara serempak atau forced molting yang biasanya dilakukan dengan pengambilan pakan dari kandang atau feed withdrawal, yaitu memuasakan ternak dengan hanya diberi air minum atau pemberian pakan dengan jumlah yang sangat terbatas dan kualitas rendah (Setioko 2005). Kegiatan forced molting banyak ditentang oleh para pencinta binatang karena termasuk kegiatan penyiksaan yang merupakan pelanggaran terhadap animal welfare. Hal ini memerlukan upaya dari bidang ilmu lain untuk mengatasi rontok bulu. Salah satunya dari ilmu genetika yang akan memberikan dampak yang lebih permanen. Rontok bulu dapat dibagi dua, yaitu rontok bulu kecil apabila bulu badan rontok dan rontok bulu besar, yaitu bila bulu sayap yang rontok. Sebelum rontok bulu besar, biasanya itik akan mengalami rontok bulu kecil terlebih dahulu atau terjadi secara bersamaan. Kadang-kadang itik langsung mengalami rontok bulu besar tanpa harus melalui rontok bulu kecil. Rontok bulu besar ialah lepasnya bulu sayap, baik primer maupun sekunder. Andrews et al. (1987) dan Herremans et al. (1988) menyatakan bahwa rontoknya bulu sayap primer berpengaruh pada penampilan reproduksi setelah molting. Hilangnya bulu sayap primer dengan jelas disebabkan oleh tidak adanya pengaruh oestrogenic pada papilla bulu (Peczely 1992). Oleh karena itu, produksi estrogen mencapai titik paling rendah selama terjadinya rontok bulu sayap primer (Park et al. 2004), sedangkan menurut Setioko (2005) rontok bulu besar ditandai dengan lepasnya bulu sayap sekunder ke 12, 13 dan 14 yang akan rontok terlebih dahulu sebelum bulu sayap yang lain. Pada penelitian ini digunakan kategori rontok bulu sayap primer dan sekunder, karena rontoknya kedua jenis bulu tersebut berkaitan dengan berhenti bertelur. Tanda-tanda lain yang perlu mendapat perhatian pada itik yang rontok bulu ialah produksi telur. Gejala penurunan produksi yang tajam tanpa ada alasan atau sebab (biasanya sampai 20-30%) mengindikasikan itik akan segera rontok bulunya. Pada saat rontok bulu, ovarium unggas mengalami pengecilan (regress) sehingga produksi telur secara otomatis akan berhenti. Berry (2003) menyatakan bahwa kejadian mengeram dikontrol oleh hormon prolaktin.
20 Hormon Prolaktin Kejadian rontok bulu merupakan hasil interaksi yang sangat kompleks dengan melibatkan peranan hormon gonadotropin dan hormon lain, yaitu tiroksin dan prolaktin (Steven 1996; Berry 2003). Hormon prolaktin terlibat pula dalam pembentukan telur, yaitu dalam proses pembuatan kerabang dalam saluran shell gland (Hazelwood 1983). Berdasarkan fungsi ganda dari hormon prolaktin tersebut maka diduga rontok bulu berkaitan erat dengan berhentinya produksi telur akibat kerja hormon prolaktin. Oleh sebab itu, diduga bahwa gen pengontrol sifat rontok bulu adalah gen prolaktin (Bhattacharya et al. 2011; Alipanah et al. 2011; Cui et al. 2006). Hormon prolaktin adalah salah satu hormon yang dihasilkan oleh hipofisa anterior, bersama-sama dengan hormon gonadotropin yaitu FSH dan LH untuk merangsang kelenjar saluran reproduksi agar menghasilkan hormon seks, yaitu estrogen, progesterone, dan androgen. Hazelwood (1983) menyatakan bahwa hormon prolaktin terlibat dalam pembentukan telur, yaitu ketika proses pembuatan kerabang di saluran shell gland. Efek kerja hormon adalah negative feedback mechanism (Djojosoebagjo 1996), sehingga bila kadar hormon prolaktin di dalam peredaran darah mencapai suatu keadaan yang telah melebihi dari yang diperlukan maka produksi yang terus menerus akan mengacaukan keseimbangan. Konsentrasi prolaktin di dalam darah meningkat setelah masa produksi telur. Level hormon prolaktin yang tinggi akan menurunkan pengeluaran gonadotropinreleasing hormone (GnRH) dari hipotalamus, selanjutnya akan menurunkan pengeluaran luteinizing hormone (LH) dari hipofisis sehingga tidak ada telur yang diovulasikan (Tabibzadeh et al. 1995). Pada spesies unggas yang menunjukkan sifat mengeram, seperti ayam hutan ataupun ayam-ayam domestik lainnya, perubahan hormon endokrin yang terjadi pada saat induksi molting dimulai dengan meningkatnya level prolaktin. Sastrodiharjo (1996) menyatakan bahwa sifat
mengeram
dikontrol
oleh
hormon
prolaktin.
Hasil
penelitiannya
menunjukkan bahwa ayam kampung yang dimandikan setiap dua hari sekali pada saat mengeram akan menurun hormon prolaktinnya dibandingkan dengan yang tidak dimandikan, yaitu masing-masing sebesar 2.66 ng/mL dan 4.17 ng/mL plasma darah. Menurunnya hormon prolaktin ini berkaitan dengan lamanya
21 istirahat produksi telur. Istirahat produksi telur pada ayam yang dimandikan adalah 12.7 hari, sedangkan pada ayam yang tidak dimandikan adalah 41.2 hari. Kejadian rontok bulu pada itik-itik lokal juga menyebabkan berhentinya produksi telur sehingga diduga bahwa sifat rontok bulu juga berhubungan dengan hormon prolaktin. Sekresi hormon-hormon reproduksi yang mempengaruhi rontok bulu tersebut diduga dikontrol oleh gen-gen tertentu sehingga kejadian rontok bulu berbeda pada setiap spesies dan jenis unggas. Purba (2005) menyatakan bahwa lamanya rontok bulu pada itik alabio lebih cepat daripada itik mojosari. Hal ini mengindikasikan bahwa sifat rontok bulu dipengaruhi oleh bangsa ternak atau gen.
Pola Pewarisan Sifat Rontok Bulu Upaya untuk mengatasi sifat rontok bulu pada itik dapat didekati dengan mempelajari kejadian mengeram pada ayam dengan asumsi bahwa mekanisme genetisnya dikontrol oleh gen yang sama karena proses fisiologisnya yang sama, yaitu terkait dengan kelangsungan produksi telur. Sartika (2005) menyatakan bahwa sifat mengeram merupakan sifat yang diwariskan. Tinggi rendahnya sifat mengeram bergantung pada faktor genetik, seperti bangsa atau strain ayam. Lessons dan Summer (2000), menyatakan bahwa sifat mengeram memiliki nilai heritabilitas relatif tinggi sehingga sifat ini dapat digunakan sebagai kriteria seleksi. Pengamatan secara genetik atas sifat rontok bulu masih jarang dilakukan. Pendekatan dengan sifat mengeram mungkin akan memberikan hasil yang sama. Berdasarkan hasil penelitian Dunn et al. (1998) diperoleh bahwa sifat mengeram dikontrol oleh gen utama yang terpaut kelamin (major gen sex-linked). Dinyatakan pula bahwa lokasi gen mayor sifat mengeram ini terletak pada kromosom Z. Romanov et al. (2002) menegaskan bahwa secara genetik sifat mengeram tidak hanya dipengaruhi oleh gen sex-linked, akan tetapi dipengaruhi pula oleh adanya aksi gen dominan autosomal tidak lengkap pada satu lokus dengan genotipe AA, sedangkan pada ayam yang tidak mengeram dikontrol oleh gen dominan autosomal tidak lengkap sebagai inhibitor dengan genotipe BB.
22 Artinya bahwa paling sedikit terdapat 3 pasang gen yang mempengaruhi sifat mengeram, yaitu 1 gen terpaut kelamin pada kromosom Z dan 2 gen autosomal yang terdiri atas 1 penyebab dan 1 penghambat sifat mengeram, dan keduanya mempunyai pengaruh yang sama. Pendugaan pola pewarisan sifat mengeram tersebut dilakukan pada persilangan resiprokal (F1) dan backcross (F2) antara ayam white leghorn yang tidak mengeram dengan ayam bantam yang mempunyai sifat mengeram tinggi. Pola pewarisan sifat rontok bulu diduga sama dengan pola pewarisan sifat mengeram pada ayam. Ilustrasi pola pewarisan tersebut tercantum pada Gambar 5. ♂ WL aaBB
X
♀B AAbb
♂B AAbb
a
F1 : ♂ AaBb; ♀ AaBb
♂ F1(♂ WL X ♀ B) AaBb
X
♀ WL aaBB
b
F1 : ♂ AaBb; ♀ AaBb
X
♀ WL aaBB
c
F2 : ♂ ¼ AaBB, ¼ AaBb, ¼ aaBB, ¼ aaBb; ♀ ¼ AaBB, ¼ AaBb, ¼ aaBB, ¼ aaBB
Sumber : Romanov et al. (2002)
Gambar 5 Pola pewarisan sifat mengeram pada persilangan resiprokal antara ayam white leghorn jantan dengan bantam betina (a), bantam jantan dengan white leghorn betina (b), dan persilangan backcross F1 jantan dengan white leghorn betina (c).
23 BAHAN DAN METODE Waktu dan Tempat Penelitian Pengamatan terhadap sifat rontok bulu dan produksi telur dilakukan sejak itik memasuki periode bertelur, yaitu pada bulan Januari 2011 sampai Januari 2012. Pengamatan ciri-ciri biologis itik hasil persilangan yang meliputi bobot tetas, bobot badan masa starter dan grower, konsumsi dan konversi ransum, warna bulu, dan kualitas telur dilakukan sejak itik menetas, yaitu pada bulan Juli 2010. Kegiatan penelitian dilakukan di laboratorium kandang itik Balai Penelitian Ternak Ciawi-Bogor untuk pengamatan fenotipik dan di Laboratorium Kebidanan dan Reproduksi, Fakultas Kedokteran Hewan, Universitas Airlangga, Surabaya untuk analisis hormon prolaktin. Materi Penelitian Penelitian ini menggunakan itik AP dan PA, yaitu hasil persilangan antara itik alabio (A) dan itik peking (P). Itik AP adalah persilangan antara itik alabio jantan dengan peking betina, sedangkan itik PA adalah hasil persilangan itik peking jantan dan alabio betina. Rancangan perkawinan silang pada populasi dasar itik Alabio dengan itik Peking secara resiprokal tercantum pada Gambar 6.
Generasi P0
Alabio ♀
X
Peking ♂
Alabio ♂
X
Peking ♀
(populasi dasar)
Generasi F1
PA ♀
PA ♂
AP ♀
AP ♂
Gambar 6 Skema persilangan resiprokal itik alabio dengan itik peking untuk evaluasi pewarisan sifat rontok bulu terkait produksi telur. Tujuan perkawinan silang adalah untuk mengetahui genotipe pada masingmasing populasi itik. Informasi tersebut akan berguna sebagai keluarga acuan (reference family) apabila akan melakukan program pemuliaan lanjutan, terutama secara molekuler pada ternak itik yang berhubungan dengan sifat rontok bulu. Sistem perkawinan untuk menghasilkan keturunan populasi F1 dilakukan dengan IB (Inseminasi Buatan). Nomor pejantan dan nomor induknya dicatat, sehingga diketahui bapak dan induk dari masing-masing individu keturunan F1
24 tersebut. Jumlah populasi masing-masing itik hasil persilangan yang diamati adalah 10 ekor jantan dan 90 ekor betina, sehingga jumlah seluruhnya yang diamati adalah 200 ekor. Jumlah itik alabio dan peking untuk menghasilkan masing-masing persilangan adalah 7 ekor jantan dan 25 ekor betina. Sistem pemeliharaan itik dilakukan secara terkurung sesuai dengan standar operasional yang ada di Balai Penelitian Ternak. Kedua jenis itik dipelihara sejak DOD sampai produksi telur 48 minggu. Jenis pakan yang diberikan untuk kedua populasi itik adalah sama, yaitu ransum komersial dengan kandungan protein 2122% dan energy metabolic (ME) 2920 kkal/kg pada masa starter, sedangkan pada masa grower digunakan ransum dengan kandungan protein 15-16% dan ME 2500 kkal/kg. Jenis pakan yang diberikan pada masa produksi adalah sama untuk semua itik, yaitu pakan jadi dengan kandungan protein sekitar 18-19% dan ME 2900 kkal/kg, dengan jumlah pemberian 250-300 g/ekor. Air minum diberikan secara ad libitum. Itik-itik tersebut ditempatkan pada kandang brooder sejak menetas sampai umur 4 minggu (masa starter) dan diberi wing band (nomor pada sayap) untuk memudahkan pencatatan karena
pengamatan dilakukan pada masing-
masing individu itik. Pada masa grower, itik-itik ditempatkan pada kandang litter berukuran 1,5 x 2,5 m yang beralaskan sekam sampai siap produksi. Pada umur 4 bulan (sebelum produksi telur), itik-itik ditempatkan pada kandang individu (cages). Peubah yang diamati adalah ciri-ciri biologis itik, yang meliputi bobot badan yang ditimbang setiap minggu pada masa starter dan setiap 2 minggu pada masa grower, konsumsi dan konversi ransum, warna bulu, dan kualitas telur pertama (bobot telur, bobot kuning telur, bobot putih telur, dan bobot kerabang). Pada periode produksi, peubah yang diamati adalah pola rontok bulu, yang meliputi frekuensi dan
waktu mulai terjadinya, lama berhenti bertelur, dan
konsentrasi hormon prolaktin yang dikaitkan dengan produksi telur selama 48 minggu. Konsentrasi hormon prolaktin diukur pada periode rontok bulu, periode produksi telur sebelum dan setelah rontok. Waktu mulai terjadi rontok bulu ditentukan berdasarkan hari ketika itikitik tersebut berhenti bertelur dan jatuhnya bulu sayap primer maupun sekunder. Pada penelitian ini dibuat enam kelompok berdasarkan waktu mulai terjadinya
25 rontok bulu, yaitu hari ke < 60, 61-120, 121-180, 181-240, 241-300, dan > 300 yang dihitung sejak itik pertama kali bertelur. Lamanya berhenti bertelur dihitung berdasarkan jumlah hari itik-itik tersebut mulai berhenti bertelur sampai bertelur kembali. Pada penelitian ini dibuat lima kelompok lamanya berhenti bertelur, yaitu < 30, 31-60, 61-90, 91120, dan > 120 hari. Produksi telur dinyatakan dengan persen, yaitu banyaknya butir telur yang dihasilkan seekor itik selama 48 minggu dibagi jumlah hari selama 48 minggu dikali 100%. Pengamatan produksi telur dilakukan selama 48 minggu dengan pertimbangan bahwa pemeliharaan selama 48 minggu sudah dapat memberikan informasi keunggulan produksi seekor individu itik. Selanjutnya, itik-itik dibiarkan mengalami rontok bulu secara alami untuk melakukan regenerasi saluran reproduksinya sebelum memasuki siklus produksi berikutnya. Pengamatan lamanya berhenti bertelur dan produksi telur dilakukan secara individu setiap hari. Cara pengukuran hormon prolaktin dilakukan sesuai Yanhendri (2007), yaitu sampel darah itik sebanyak 3 mL diambil dari pembuluh darah vena yang ada di sayap dengan syringe, kemudian disimpan dalam tabung steril selama 7-8 jam dan tabung dalam kondisi miring sekitar 30°C. Setelah darah terpisah antara serum dan plasma, kemudian serum dipindahkan ke tabung lain yang lebih kecil. Kemudian disentrifuse selama 5 menit dengan kecepatan 2500 rpm untuk membersihkan serum dari gumpalan sel-sel darah. Sampel serum ini disimpan pada suhu -20°C untuk digunakan dalam pengukuran kadar hormon prolaktin. Aktivitas sekresi hormon prolaktin pada itik terjadi malam hari, yaitu pada saat tidak ada cahaya, termasuk cahaya matahari (Djojosoebagjo, 1996) sehingga pengambilan sampel darah disesuaikan dengan kondisi fisiologi alami itik tersebut, yaitu sekitar pukul 21.00 WIB. Metode pengukuran yang digunakan adalah enzim immunoassay (ELISA) teknik fase padat dengan menggunakan kit Avian Prolactin atau Luteotropic Hormone (PRL/LTH) ELISA yang diproduksi oleh Cusabio Biotech China. Pengambilan sampel darah itik dilakukan dalam 3 periode, yaitu periode rontok bulu, periode produksi telur sebelum rontok bulu, dan periode produksi telur sesudah rontok bulu. Periode sebelum rontok bulu
26 adalah 7-9 minggu setelah bertelur pertama dan periode setelah rontok bulu adalah 4-5 minggu setelah bertelur kembali, sedangkan pada periode rontok bulu adalah 2-3 hari setelah lepasnya bulu sayap.
Analisis Data Analisis sidik ragam (ANOVA) digunakan untuk penentuan signifikansi pengaruh waktu mulai terjadinya rontok bulu pada produksi telur 48 minggu, pengaruh kondisi, yaitu rontok bulu, produksi telur sebelum dan sesudah rontok pada konsentrasi hormon prolaktin, pengaruh genotipe itik pada produksi telur, pengaruh kejadian rontok pada kualitas telur pertama dan pengaruh bobot badan pada kedua genotipe itik. Persamaan ANOVA sebagai berikut : y ij = µ + α i + ε ij Keterangan : y ij = Peubah yang diamati µ = rataan umum α i = pengaruh perlakuan ke-i ε ij = galat Analisis berikutnya adalah melakukan scatter plot antara peubah sifat rontok bulu dengan produksi telur pada kelompok itik yang mengalami rontok bulu. Keterkaitan sifat rontok bulu dengan produksi telur dapat dianalisis dengan korelasi dan regresi (Mattjik & Sumertajaya 2000). Analisis yang sama dilakukan antara konsentrasi hormon prolaktin pada periode rontok bulu dengan produksi telur 48 minggu. Nilai koefisien korelasi akan menentukan hubungan antara kedua peubah tersebut, sedangkan nilai koefisien regresi akan menentukan jumlah perubahan produksi telur, apabila terjadi perubahan dalam konsentrasi hormon prolaktin. Persamaan regresinya sebagai berikut : y = a + bx Keterangan : a = intersep, b = koefisien regresi produksi telur terhadap lamanya berhenti bertelur, x = lamanya berhenti bertelur karena rontok bulu (hari), y = produksi telur (%)
27 Koefisien regresi dihitung dengan rumus : ∑ XY - (∑X) (∑Y)/n b yx =
∑ X2 - (∑X)2/n
Koefisien korelasi dihitung dengan rumus : ∑XY rp =
(∑X)(∑Y)
∑X2 - (∑X)2/n
/n
∑Y2 - (∑Y)2/n
½
Pengaruh peubah bebas pada peubah tak bebas secara simultan dilakukan uji F dengan software SAS 9.0, sedangkan untuk melihat pengaruh peubah bebas secara parsial diuji dan dihitung dengan t-student (Mattjik & Sumertajaya 2000). Selanjutnya, ditentukan persamaan regresi, nilai koefisien determinasi (R2) dan Kuadrat Tengah Galat (KTG). Nilai koefisien determinasi yang semakin besar dan nilai KTG yang semakin kecil menunjukkan model regresi semakin baik. Perhitungan heterosis dilakukan untuk pendugaan keunggulan itik hasil persilangan dibandingkan dengan tetuanya. Nilai heterosis dapat dihitung dengan rumus sebagai berikut (Noor 2010) :
AP - ½ (AA + PP) Heterosis AP =
x 100 % ½ (AA + PP)
PA - ½ (AA + PP) Heterosis PA =
x 100 % ½ (AA + PP)
Keterangan : AP = rataan peubah (produksi telur atau lama berhenti bertelur) AP PA = rataan peubah (produksi telur atau lama berhenti bertelur) PA AA = rataan peubah (produksi telur atau lama berhenti bertelur) alabio PP = rataan peubah (produksi telur atau lama berhenti bertelur ) peking
28 Perhitungan nilai heterosis hanya dilakukan pada peubah lama berhenti bertelur dan produksi telur, karena dua peubah tersebut yang sangat mempengaruhi sifat rontok bulu.
29 HASIL DAN PEMBAHASAN Ciri-ciri Biologis Itik AP dan PA Itik AP dan PA yang merupakan hasil silangan antara alabio sebagai itik petelur dengan peking sebagai itik pedaging memiliki karakteristik yang berbeda jika dibandingkan dengan itik-itik lokal yang sudah ada di Indonesia. Pada umumnya itik-itik lokal berpotensi sebagai petelur dengan karakteristik bobot badan relatif sedang, sedangkan itik AP dan PA memiliki bobot badan relatif besar mewarisi gen bobot besar dari induknya yaitu peking. Karakteristik bobot badan tersebut menjadi salah satu ciri biologis pada ternak hasil persilangan ini. Ciri-ciri biologis lain itik AP dan PA yang diamati dalam penelitian ini adalah konsumsi dan konversi ransum, warna bulu dan kualitas telur. Bobot Badan Keberhasilan produksi telur yang optimum pada periode bertelur ditentukan oleh pertumbuhannya, terutama masa starter, yaitu sejak itik menetas (DOD) sampai umur 8 minggu (Susanti dan Prasetyo 2007b). Pertumbuhan pada ternak itik diartikan sebagai pertumbuhan dalam bobot hidup dari sejak menetas (DOD) sampai umur dewasa kelamin. Pengamatan pertumbuhan itik masa starter dilakukan sejak itik menetas (DOD) sampai umur 8 minggu. Bobot badan DOD itik AP (48.12 ± 0.46 g) sangat nyata lebih besar daripada itik PA (42.57 ± 0.36 g). Begitu pula pada umur 1 sampai 4 minggu, bobot badan itik AP sangat nyata lebih besar dibandingkan itik PA, yaitu masingmasing berturut-turut dari umur 1 sampai 4 minggu 135.04±2.71 vs 122.48±2.68 g, 281.51±4.62 vs 250.40±4.97 g, 538.24±9.67 vs 507.72±11.32 g, dan 813.61±12.54 vs 774.55±15.16 g. Hal ini menunjukkan adanya maternal effect, karena itik AP adalah hasil persilangan antara alabio jantan sebagai tipe petelur dengan peking betina yang merupakan galur pedaging. Hasil penelitian ini memiliki bobot DOD itik AP (48.12±0.46 g) dengan nilai di antara hasil persilangan itik alabio dengan itik cihateup, yaitu sebesar 50.23±3.01g pada itik AC dan 45.63±1.08 g pada itik CA, namun itik PA (42.57±0.36 g) memiliki nilai di bawah kedua hasil persilangan tersebut (Matitaputty et al. 2011). Pada umur 5 sampai 8 minggu, itik AP memiliki bobot badan yang sama dengan itik PA, yaitu masing-masing berturut-turut adalah 1099.75±16.04 vs
30 1058.32±17.78 g, 1413.87±16.30 vs 1367.52±21.41 g, 1672.94±19.08 vs 1655.15±23.47 g dan 1882.61±20.82 vs 1911.70±23.26 g. Meskipun bobot badan itik AP lebih baik dibandingkan dengan itik PA pada awal pertumbuhan, namun pada umur 8 minggu bobot badan itik PA masih menunjukkan laju pertumbuhan yang cepat sehingga
pertambahan bobot badan (PBB) selama masa starter
menjadi sama pada itik AP dan PA, yaitu masing-masing 1834.49±20.84 vs 1869.14±23.13 g. Hal ini menunjukkan bahwa laju pertumbuhan itik peking sebagai tipe pedaging sudah mengalami perlambatan pada umur 8 minggu, sedangkan galur itik alabio sebagai tipe petelur masih menunjukkan laju pertumbuhan yang cepat. Perubahan laju pertumbuhan itik PA yang lebih tinggi daripada itik AP terus berlanjut sampai memasuki masa grower. Laju pertumbuhan itik PA lebih baik dibandingkan dengan itik AP. Hal ini terlihat dari bobot badan itik AP dan PA yang sama secara statistik pada umur 10 minggu. Namun, pada umur 12 sampai 18 minggu, bobot badan itik AP sangat nyata lebih rendah dibandingkan itik PA. Padahal, pada umur DOD sampai umur 4 minggu bobot badan itik AP lebih baik daripada itik PA. Pola laju pertumbuhan pada penelitian ini hampir sama dengan persilangan itik CA dan AC. Pada bobot awal itik AC lebih baik daripada itik CA, namun pada bobot akhir, yaitu umur 8 minggu itik CA lebih baik daripada itik AC sehingga pertambahan bobot badan itik CA lebih baik dibandingkan itik AC (Matitaputty et al. 2011). Hal ini menunjukkan bahwa bobot badan dan ukuran-ukuran tubuh pada masa grower dipengaruhi oleh galur pejantan. Bobot badan itik AP dan PA pada umur 10 sampai 16 minggu berturutturut
adalah
2108.98±24.80
vs
2166.50±21.87
g,
2172.03±27.46
vs
2261.00±23.01 g, 2209.83±28.36 vs 2314.60±22.99 g, 2251.49±38.33 vs 2344.70±22.40 g. Pertambahan bobot badan sampai masa grower itik PA sangat nyata lebih besar daripada itik AP, yaitu masing-masing 2203.46±38.38 dan 2302.14±22.33 g. Hasil ini menunjukkan bahwa itik PA, yang berasal dari induk alabio sebagai tipe petelur, masih menunjukkan laju pertumbuhan yang cepat pada masa grower, sedangkan itik AP, yang berasal dari induk peking sebagai tipe pedaging, laju pertumbuhannya sudah mengalami perlambatan pada umur 8 minggu sehingga bobot badan pada masa grower menjadi rendah. Hal ini
31 mungkin sebagai akibat seleksi dalam kurun waktu yang panjang terhadap galur itik peking yang memang ditujukan untuk pembentukan itik tipe pedaging dengan umur potong 8 sampai 12 minggu, meskipun itik alabio dan peking merupakan keturunan yang sama, yaitu dari itik Mallard (Anas plathyrhynchos). Perubahan laju pertumbuhan itik AP dan PA dari sejak menetas sampai dewasa kelamin terlihat jelas pada Gambar 7. 2500
Bobot badan (g)
2000 1500 1000 500 0 DOD
1
2
3
4
5
6
7
8
10
12
14
16
itik PA (g) 42.57 122.5 250.4 507.7 774.6 1058 1368 1655 1912 2167 2261 2315 2345 Itik AP (g) 48.12 135 281.5 538.2 813.6 1100 1414 1673 1883 2109 2172 2210 2251
Umur (mi nggu)
Gambar 7 Laju pertumbuhan itik AP dan PA masing-masing sebanyak 90 ekor pada umur DOD sampai 16 minggu. Berdasarkan Gambar 7 tampak bahwa pada awal pertumbuhan, yaitu umur DOD sampai umur 3 minggu, itik AP memiliki bobot badan lebih besar daripada itik PA. Namun, sejak umur 4 minggu, laju pertumbuhan itik AP sudah memasuki perlambatan, sedangkan itik PA masih mengalami laju percepatan pertumbuhan sehingga laju pertumbuhan masa starter, yaitu umur DOD sampai 8 minggu pada itik AP dan PA, adalah sama. Laju pertumbuhan itik PA masih mengalami percepatan sampai umur 16 minggu sehingga bobot badan itik PA sangat nyata lebih besar daripada itik AP.
32 Konsumsi dan Konversi Ransum Hasil pengamatan atas konsumsi dan konversi itik AP dan PA tercantum pada Tabel 1. Tabel 1 Konsumsi dan konversi ransum pada masa starter dan grower itik AP dan PA Peubah Itik AP (n = 90 ekor) Itik PA (n = 90 ekor) Masa starter (0-8 minggu) : Konsumsi (g/e/8 mg) 8804.84a ± 441.92 7973.10a ± 303.33 a Konversi 4.70 ± 0.22 4.31a ± 0.19 Masa grower (10-16 minggu) : Konsumsi (g/e/16 mg) Konversi
21577.00a ± 1530.86 9.74a ± 0.69
20100.28a ± 852.55 8.81a ± 0.38
Huruf superskrip yang sama pada baris yang sama menunjukkan tidak berbeda nyata (P > 0.05).
Berdasarkan Tabel 1 tampak bahwa konsumsi itik AP dan PA tidak berbeda
nyata
pada
semua
fase
pertumbuhan,
yaitu
masing-masing
8804.84±441.92 g dan 7973.10±303.33 g untuk masa starter, 21577.00±1530.86 g dan 20100.28±852.55 g untuk masa grower. Konversi ransum itik AP dan PA juga tidak berbeda, yaitu masing-masing 4.70±0.22 dan 4.31±0.19 untuk masa starter, 9.74±0.69 dan 8.81±0.38 untuk masa grower. Konsumsi dan konversi yang diperoleh dalam penelitian ini lebih besar daripada galur murni alabio, peking, maupun hasil persilangan alabio dengan cihateup (Matitaputty et al. 2011; Marie-Etancelin et al. 2008 ). Hal ini mungkin disebabkan oleh banyaknya pakan yang tercecer dan tidak diukur sehingga terjadi peningkatan jumlah pakan yang digunakan yang berakibat tingginya nilai konversi ransum pada penelitian ini.
Warna Bulu Warna bulu itik AP dan PA sebagai keturunan itik peking dan alabio didominasi warna hitam, meskipun ada beberapa ekor yang berwarna putih dan cokelat menyerupai itik alabio. Variasi warna bulu itik AP dan PA tidak berbeda, yaitu di bagian punggung berwarna hitam, dada berwarna putih, sayap bagian atas bervariasi antara putih, hitam, dan abu-abu totol cokelat seperti warna itik alabio. Penampilan itik alabio, peking, PA dan AP tercantum pada Gambar 8.
33 a
b
c
d
Gambar 8 Penampilan itik alabio (a), peking (b), PA (c) dan AP (d).
Berdasarkan Gambar 8 tampak bahwa penampilan warna bulu itik PA dan AP hampir sama, yaitu didominasi warna hitam dengan bercak putih di bagian dada, sayap, dan kepala. Warna hitam pada itik dikontrol oleh gen E (Lancaster 1993). Gen E adalah gen autosomal yang dominan terhadap e+ (warna lain, seperti biru dan cokelat) dan menyebabkan bulu di seluruh tubuh berwarna hitam, kecuali warna bulu pada bagian-bagian tubuh tertentu yang dikontrol oleh gen warna putih. Gen E menjadi epistasis lengkap terhadap semua gen pada lokus M dan Li. Pada awalnya, hanya diketahui 3 tipe alel warna bulu itik mallard, yaitu MR, M+, dan md yang merupakan gen autosomal dengan derajat dominan lengkap MR>M+>md. Saat ini, Campbell (1984) telah menemukan gen MB pada itik sebagai pengontrol warna hitam dan merupakan gen paling dominan terhadap
34 warna lain yang telah diketahui sebelumnya, yaitu MR (restricted), M+ (mallard), dan md (dusky), namun diduga gen MB sama dengan gen E (Lancaster 1993). Gen pada lokus L adalah gen pengontrol untuk warna terang mengkilap. Lancaster (1993) menyatakan bahwa terdapat 3 gen pengontrol warna terang mengkilap pada itik, yaitu Li+ (fase gelap), li (fase mengkilap), dan lih (fase harlequin). Pada itik AP dan PA, warna terang yang mengkilap tidak muncul. Semua bagian tubuh didominasi warna hitam di bagian punggung dan bercak putih di bagian sayap. Meskipun ada beberapa ekor yang memiliki warna bulu putih di bagian leher dan dada, sebagian besar bagian tubuh lainnya didominasi oleh warna hitam. Hal tersebut memunculkan dugaan bahwa warna hitam bulu itik AP dan PA dikontrol oleh gen E atau MB, sedangkan kilapan warna pada itik AP dan PA dikontrol oleh gen lih. Induk itik AP dan PA adalah alabio dan peking. Itik alabio memiliki variasi warna bulu dominan cokelat dengan variasi biru, ungu, dan hijau pada sayap. Gen pengontrol warna bulu itik alabio adalah M+ dengan warna dilusi (d) sehingga diduga genotipenya adalah bi+/bi+ d/d yang mengekspresikan warna bulu cokelat yang seragam. Gen d adalah resesif dan terkait kelamin. Itik peking yang merupakan keturunan Indian Runner memiliki gen R dalam keadaan heterosigot, yaitu Rr+ dengan ekspresi warna bulu putih (Jaap 1933), namun apabila R bertemu dengan warna dilusi, maka zuriatnya akan menghasilkan warna hitam dan putih yang hanya muncul sebagian kecil saja.
Kualitas Telur Itik Kualitas telur itik AP dan PA yang diamati adalah telur yang pertama kali dikeluarkan. Tujuannya adalah untuk mengetahui kualitas telur apabila akan ditetaskan untuk menjadi bibit. Hasil pengukuran terhadap kualitas telur itik AP dan PA tercantum pada Tabel 2.
35 Tabel 2 Rataan ± S.E kualitas telur pertama itik AP dan PA Peubah Bobot telur Bobot kuning telur Bobot putih telur Bobot kerabang basah Bobot kerabang kering
Itik AP (n = 90 butir) Itik PA (n = 90 butir) ............................... g ………………..……. 62.58A ± 1.00 62.64A ± 0.80 A 17.86 ± 0.41 17.07A ± 0.39 A 37.14 ± 0.53 38.04A ± 0.42 A 7.87 ± 0.11 7.52B ± 0.08 a 6.57 ± 0.09 6.27b ± 0.07
Huruf kecil superskrip yang berbeda pada baris yang sama menunjukkan perbedaan yang sangat nyata (P < 0.01); Huruf kapital superskrip yang berbeda pada baris yang sama menunjukkan perbedaan yang nyata (P < 0.05); S.E = standar error
Bobot telur dan bobot kerabang merupakan indikator utama yang menjadi bahan pertimbangan dalam proses penetasan. Bobot telur pertama itik AP tidak berbeda dari itik PA, yaitu masing 62.58±1.00 dan 62.64±0.80 g. Peubah bobot telur akan menentukan bobot tetas. Telur-telur yang ditetaskan berasal dari itikitik yang telah mengalami masa produksi minimal 3 bulan agar diperoleh DOD yang sehat dan kuat. Selain itu, bobot telur yang pertama dikeluarkan biasanya relatif rendah, sehingga apabila telur-telur tersebut ditetaskan, maka akan diperoleh DOD yang lemah dan rentan terhadap penyakit. Pada masa produksi 3 bulan, bobot telur relatif stabil dan seragam sehingga akan dihasilkan bobot DOD yang seragam pula. Bobot telur yang tidak berbeda antara itik AP dan PA berhubungan dengan bobot kuning dan bobot putih telur itik AP dan PA yang tidak berbeda pula (Tabel 2). Bobot kerabang itik AP berbeda dari itik PA, terutama bobot kerabang kering. Hal ini mungkin merupakan suatu indikasi bahwa itik-itik yang berproduksi telur tinggi memiliki bobot kerabang telur yang tinggi pula.
Pola Rontok Bulu Kejadian rontok bulu selalu diawali dengan berhenti bertelur yang diikuti dengan rontok bulu dalam kondisi berhenti bertelur selama beberapa hari kemudian bertelur kembali. Urutan kejadian rontok bulu dengan berhenti bertelur dan bertelur kembali tercantum pada Gambar 9.
36
Lama berhenti bertelur Produksi telur
Berhenti
Rontok bulu
Berhenti
Bertelur kembali
Gambar 9 Pola rontok bulu itik AP dan PA.
Pola rontok bulu dalam penelitian ini sejalan dengan penelitian Purba et al. (2005) yang mengamati pola rontok bulu pada itik alabio dan mojosari. Kejadian rontok bulu yang selalu diawali dengan berhenti bertelur mungkin sebagai akibat dari mulai mengecilnya organ saluran reproduksi sehingga tidak ada telur yang dihasilkan (Berry 2003; Park et al. 2004). Periode berhenti bertelur akibat rontok bulu dihitung dalam hari dan dinyatakan sebagai lamanya berhenti bertelur. Glatz (2001) menyatakan bahwa lamanya periode rontok bulu dapat dipengaruhi oleh galur, spesies, dan status nutrisi. Oleh sebab itu, dalam penelitian ini digunakan kelompok hasil persilangan berbeda, yaitu itik AP dan PA untuk mengetahui pengaruh galur pada lamanya berhenti bertelur akibat rontok bulu secara genetis. Hasil pengamatan lamanya berhenti bertelur sebelum dan sesudah rontok bulu, serta waktu mulai terjadinya rontok bulu tercantum pada Tabel 3. Tabel 3 Rataan ± S.E waktu mulai terjadinya rontok bulu, lamanya berhenti bertelur sebelum dan sesudah rontok bulu itik AP dan PA Peubah Itik AP (n = 21 ekor) Itik PA (n = 45 ekor) Waktu mulai rontok (hari ke-) Lamanya berhenti bertelur : - Sebelum rontok (hari) - Setelah rontok (hari) - Total hari berhenti bertelur (hari)
135.10a ± 17.21
129.18a ± 11.67
12.80a ± 1.50 36.70a ± 4.64 48.57a ± 5.01
14.56a ± 1.23 54.00b ± 7.44 69.00b ± 8.11
Huruf kecil superskrip yang berbeda pada baris yang sama menunjukkan berbeda nyata (P < 0.05)
Waktu mulai terjadinya rontok bulu pada itik AP dan PA tidak berbeda, yaitu masing-masing pada hari ke-135.10±17.21 dan 129.18±11.67 yang dihitung sejak itik pertama kali bertelur. Hasil pengamatan ini menunjukkan bahwa waktu mulai terjadinya rontok bulu relatif lambat, yaitu pada minggu ke-17 dan 18
37 masing-masing pada itik PA dan AP. Ellis (2004) menyatakan bahwa pada umumnya rontok bulu terjadi pada minggu ke-6 setelah produksi pertama. Lamanya berhenti bertelur sebelum rontok bulu pada itik AP dan PA tidak berbeda, yaitu masing-masing 12.80±1.50 vs 14.56±1.23 hari, namun lamanya berhenti bertelur setelah rontok bulu berbeda nyata antara itik AP dan PA, yaitu masing-masing 36.70±4.64 vs 54.00±7.44 hari. Perbedaan lamanya berhenti bertelur setelah rontok bulu menyebabkan total lama berhenti bertelur juga berbeda, yaitu 48.57±5.01 vs 69.00±8.11 hari masing-masing pada itik AP dan PA. Lama berhenti bertelur yang pendek pada itik AP merupakan sinyal bahwa itik AP memiliki potensi produksi telur yang lebih baik dibandingkan dengan itik PA. Hasil pengamatan ini juga mendapatkan bahwa lamanya berhenti bertelur adalah relatif pendek baik pada itik AP maupun itik PA karena Purba et al. (2005) memperoleh lama berhenti bertelur pada itik alabio dan mojosari berturutturut adalah 90.70 dan 90.90 hari. Terjadinya rontok bulu yang relatif lambat dan dalam periode yang pendek ini menunjukkan bahwa persilangan itik alabio dan peking dapat diharapkan sebagai sumber bibit induk untuk menghasilkan itik-itik dengan sifat rontok bulu yang terkendali, yaitu terjadinya rontok bulu yang lambat dan dalam periode yang pendek. Informasi ini belum lengkap karena belum dikaitkan dengan produksi telur sebagai sifat utama dalam usaha peternakan. Oleh karena itu, analisis dilanjutkan dengan menghubungkan sifat rontok bulu dengan produksi telur. Hasil pengamatan produksi telur selama 48 minggu pada itik yang mengalami rontok bulu dan tidak rontok bulu tercantum pada Tabel 4. Tabel 4 Produksi telur selama 48 minggu itik AP dan PA yang mengalami rontok bulu dan tidak rontok bulu Jumlah itik (ekor) Produksi telur (%) Kondisi itik Itik AP Itik PA Itik AP Itik PA rataan ± S.E Itik rontok 21 45 62.18 a ± 3.30 63.86 a ± 2.71 Belum rontok sampai 62 42 86.48b ± 1.28 83.15b ± 1.67 48 minggu Huruf superskrip yang berbeda (a dan b) pada kolom yang sama menunjukkan perbedaan yang sangat nyata pada taraf P<0.01, S.E = standar eror
38 Produksi telur itik yang belum mengalami rontok bulu sampai pengamatan 48 minggu sangat nyata lebih tinggi dibandingkan dengan kelompok itik yang mengalami rontok bulu. Hal ini terjadi pada kedua kelompok itik AP dan PA. Produksi telur itik AP dan PA yang belum mengalami rontok bulu sampai 48 minggu sangat nyata lebih tinggi dibandingkan dengan itik yang rontok bulu sebelum 48 minggu, yaitu berturut-turut 86.18 vs 61.92%; dan 83.15 vs 63.86%. Perbedaan produksi ini menunjukkan bahwa kejadian rontok bulu sangat mempengaruhi produksi telur. Oleh karena itu, seleksi diperlukan untuk memilih individu-individu yang akan diperbanyak untuk menghasilkan keturunan dengan rontok bulu yang lambat. Seleksi individu berdasarkan muncul tidaknya rontok bulu pada periode produksi dapat dilakukan dengan pemisahan itik-itik yang mengalami rontok bulu dari itik-itik lain yang belum mengalami rontok bulu. Seleksi berdasarkan sifat kualitatif ini dapat diaplikasikan di tingkat peternak. Kenyataan di lapangan bahwa para peternak masih mempertahankan dan memperjualbelikan itik-itik yang sudah mengalami rontok bulu dengan harapan masih dapat menghasilkan telur yang tinggi. Hal ini menunjukkan upaya seleksi perlu dilakukan untuk pemilihan itik-itik yang masih memiliki produksi telur relatif tinggi meskipun telah mengalami rontok bulu. Oleh karena itu, peubah rontok bulu yang berkaitan dengan produksi telur perlu dicari sebagai kriteria seleksi. Pada penelitian ini diamati peubah-peubah rontok bulu yang berkaitan dengan produksi telur, yaitu frekuensi rontok bulu, waktu mulai terjadinya rontok bulu, lama berhenti bertelur, dan konsentrasi hormon prolaktin pada saat rontok bulu. Frekuensi Rontok Bulu Hasil pengamatan selama periode produksi 48 minggu menunjukkan adanya itik-itik yang mengalami rontok bulu, namun ada pula yang belum menunjukkan rontok bulu. Berdasarkan hasil pengamatan tersebut dibuat dua kelompok itik, yaitu (a) kelompok itik yang mengalami rontok dan (b) itik yang belum rontok sampai produksi telur 48 minggu. Jumlah ternak pada kedua kelompok, frekuensi rontok bulu, dan lamanya rontok bulu tercantum pada Tabel 5.
39 Tabel 5 Jumlah ternak, frekuensi dan lamanya rontok bulu itik betina AP dan PA Waktu dan frekuensi mulai rontok bulu Itik AP Itik PA ……..…Ekor (%)……….. (a) Itik yang mengalami rontok 21 (23.33) 45 (50.00) Rontok 3 kali 0 4 (4.44) Rontok 2 kali 3 (3.33) 13 (14.44) Rontok 1 kali 18 (20.00) 28 (31.11) (b) Belum rontok sampai 48 minggu Mortalitas
62 (68.89)
42 (46.67)
7 (7.78)
3 (3.33)
Itik PA, yaitu hasil persilangan jantan peking dengan betina alabio, lebih banyak mengalami kejadian rontok bulu dibandingkan dengan itik AP sebagai hasil persilangan antara jantan alabio dengan betina peking. Sebanyak 50.00% (45/90) itik PA mengalami rontok bulu selama masa pengamatan 48 minggu, sedangkan pada itik AP kejadian rontok bulu hanya muncul sebanyak 23.33% (21/90). Mayoritas kejadian rontok bulu adalah satu kali masing-masing 20.00 % (18/90) untuk itik AP dan 31.11 % (28/90) untuk itik PA, namun pada itik PA ada yang mengalami rontok bulu dua kali, yaitu 14.44% (13/90) dan 4.44% (4/90) mengalami rontok bulu tiga kali. Selama masa pengamatan terdapat mortalitas sebanyak 7.78 % (7/90) pada itik AP dan 3.33 % (3/90) pada itik PA. Hasil pengamatan atas jumlah ternak berdasarkan kejadian rontok bulu pada populasi itik AP dan PA menunjukkan kecenderungan bahwa kejadian rontok bulu dipengaruhi oleh maternal effect (pengaruh induk). Hasil penelitian ini tidak sejalan dengan Dun et al. (1998) yang menyatakan bahwa sifat mengeram dipengaruhi oleh gen terpaut kelamin pada kromosom Z karena kejadian rontok bulu pada itik AP lebih sedikit dibandingkan itik PA. Hal ini mungkin terkait gen kelamin, namun pada kromosom W.
Pendugaan ini
berdasarkan bahwa induk itik betina alabio sebagai pembawa rontok berpengaruh pada anaknya, yaitu PA yang mengalami rontok bulu lebih banyak dan lebih sering, sedangkan itik peking, sebagai induk betina dari itik AP, memiliki sifat rontok bulu lambat dan menghasilkan keturunan dengan sifat rontok bulu lambat juga (Tabel 5).
40 Apabila diduga bahwa sifat rontok bulu dipengaruhi oleh 2 gen dominan autosomal tidak lengkap yang saling menghilangkan (AA sebagai penyebab rontok bulu dan BB sebagai penghambat rontok bulu) dan dipengaruhi oleh lingkungan, maka diprediksi kejadian rontok bulu pada hasil persilangan lebih kecil dibandingkan dengan kejadian rontok bulu pada tetua itik alabio (asumsi≤ 50%). Pada penelitian ini, kejadian rontok bulu pada kedua genotipe berada di bawah 50%, yaitu 23.33% pada AP dan 50.00% pada PA sehingga konsisten dengan pola pewarisan sifat mengeram pada ayam yang dipengaruhi oleh paling sedikit 2 gen dominan autosomal tidak lengkap yang saling menghilangkan (Romanov et al. 2002). Hasil pengamatan ini belum lengkap sehingga perlu dibuktikan melalui penelitian lebih lanjut dengan melakukan persilangan backcross antara F1 jantan dengan Peking betina untuk menghasilkan populasi F2. Kromosom kelamin unggas adalah ZZ (homogametik) pada jantan dan ZW (heterogametik) pada betina (Noor 2010). Sifat rontok bulu, selain dipengaruhi oleh gen dominan autosomal tidak lengkap, berhubungan pula dengan gen terpaut kelamin pada kromosom Z (Dun et al. 1998; Romanov et al. 2002). Oleh karena itu, program seleksi dengan tujuan mengendalikan sifat rontok bulu harus melibatkan kelompok pejantannya dengan membentuk reference family. Hal ini akan memudahkan dalam menentukan genotipe sifat rontok bulu yang berasal dari induk dan pejantannya. Penentuan frekuensi rontok bulu sebagai peubah yang dapat digunakan sebagai kriteria dalam program seleksi dengan tujuan untuk meningkatkan produksi telur memerlukan analisis hubungan antara frekuensi rontok bulu dengan lamanya berhenti bertelur dan produksi telur. Hasil analisis keterkaitan frekuensi rontok bulu dengan lamanya berhenti bertelur tercantum pada Tabel 6, sedangkan hasil analisis keterkaitan frekuensi rontok bulu dengan produksi telur tercantum pada Tabel 7.
41 Tabel 6 Rataan ± S.E lama berhenti bertelur itik AP dan PA berdasarkan frekuensi rontok bulu yang berbeda Total lamanya Lamanya berhenti bertelur per kejadian rontok berhenti bertelur (hari) (hari) Frekuensi rontok bulu Itik AP Itik PA Itik AP Itik PA Rontok Rontok Rontok Rontok Rontok ke-1 ke-2 ke-1 ke-2 ke-3 1 kali 2 kali 3 kali
44.67±5.19 a
27.33 ±4.18 -
59.46±9.97 b
44.67 ±11.89
a
a
35.08 ±4.91
33.92 ±7.53
-
37.33a±2.33
31.67a±5.78
30.67a±11.35
44.67B±5.19
59.46B±9.97
A
72.00 ±7.77
69.00AB±10.63
-
99.67A±16.02
Huruf kecil superskrip yang berbeda pada baris yang sama menunjukkan perbedaan yang sangat nyata (P < 0.01); Huruf besar superskrip yang berbeda pada kolom yang sama menunjukkan perbedaan yang nyata (P < 0.05); S.E = standar error
Frekuensi rontok bulu tiga kali pada itik PA secara nyata menyebabkan periode berhenti bertelur yang lebih lama, yaitu 99.67±16.02 hari, jika dibandingkan dengan itik yang mengalami rontok bulu satu kali, yaitu 59.46±9.97 hari, tetapi tidak berbeda dari itik-itik yang mengalami rontok dua kali dengan lama berhenti bertelur 69.00±10.63 hari. Kelompok itik yang mengalami rontok bulu dua kali memiliki lama berhenti bertelur yang sama dengan kelompok itik yang mengalami rontok bulu satu kali, yaitu 69.00±10.63 dan 59.46±9.97 hari. Lamanya berhenti bertelur per kejadian rontok bulu tidak berbeda pada itik PA. Itik-itik yang mengalami rontok dua kali maupun tiga kali memiliki lama berhenti bertelur yang sama pada setiap kejadian rontok bulunya. Itik-itik yang mengalami rontok bulu dua kali mengalami lama berhenti bertelur 35.08a±4.91 hari pada kejadian rontok pertama dan 33.92±7.53 hari pada kejadian rontok ke-2. Begitu pula dengan itik-itik yang mengalami rontok bulu tiga kali memiliki lama berhenti bertelur yang sama pada setiap kejadian rontok yaitu 37.33±2.33, 31.67±5.78, dan 30.67±11.35 hari masing-masing pada kejadian rontok bulu ke-1, 2, dan 3. Frekuensi rontok bulu pada itik AP nyata mempengaruhi lamanya berhenti bertelur. Total lama berhenti bertelur itik AP yang mengalami rontok bulu satu kali adalah 44.67±5.19 hari yang nyata berbeda dari itik yang mengalami rontok bulu dua kali dengan lama berhenti bertelur 72.00±7.77 hari. Begitu pula pada setiap kejadian rontok bulu mempunyai lama berhenti bertelur yang berbeda
42 sangat nyata antara kejadian rontok pertama dengan rontok ke-2, yaitu masingmasing 27.33±4.18 dan 44.67±11.89 hari. Berdasarkan hasil pengamatan di atas menunjukkan bahwa frekuensi rontok bulu berpengaruh pada lamanya berhenti bertelur. Itik-itik yang sering mengalami rontok bulu juga akan mengalami lama berhenti bertelur yang lebih panjang. Pengaruh frekuensi rontok bulu ini perlu dikaitkan dengan produksi telur karena tujuan utama dalam beternak itik adalah menghasilkan telur. Hasil pengamatan frekuensi rontok bulu dan produksi telur tercantum pada Tabel 7. Tabel 7 Rataan ± S.E produksi telur itik AP dan PA selama 48 minggu berdasarkan frekuensi rontok bulu yang berbeda Produksi telur (%) Frekuensi rontok bulu Itik AP n (AP) = Itik PA n (PA) = ekor ekor Rontok 3 kali Rontok 2 kali Rontok 1 kali
58.33 ± 5.75 62.82a ± 3.76 a
3 18
63.51a ± 3.16 64.80a ± 4.09 64.80a ± 3.71
4 13 28
Huruf superskrip yang sama pada kolom yang sama menunjukkan tidak berbeda nyata (P > 0.05); S.E = standar error
Frekuensi rontok bulu ternyata tidak mempengaruhi jumlah produksi telur pada kedua kelompok itik persilangan AP maupun PA (Tabel 7). Itik-itik yang mengalami rontok bulu selama periode pengamatan 48 minggu memiliki produksi telur relatif rendah, yaitu berkisar antara 58.33 sampai 62.82% pada itik AP dan 63.51 sampai 64.80% pada itik PA. Hal ini menunjukkan bahwa kelompok itik PA yang mengalami rontok bulu lebih dari tiga kali memiliki lama berhenti bertelur yang panjang, namun produksi telurnya sama dengan kelompok itik yang mengalami rontok bulu dua dan satu kali. Dengan demikian, frekuensi rontok bulu tidak dapat digunakan sebagai kriteria seleksi ketika memilih itik-itik yang sudah mengalami rontok bulu. Oleh karena itu, peubah lain perlu dicari dan salah satunya digunakan peubah waktu mulai terjadinya rontok bulu.
Waktu Mulai Terjadinya Rontok Bulu dan Produksi Telur Frekuensi terjadinya rontok bulu tidak berpengaruh pada produksi telur sehingga peubah lain digunakan untuk memperoleh informasi keterkaitan sifat
43 rontok bulu dengan produksi telur, yaitu waktu mulai terjadinya rontok bulu. Itikitik yang mengalami rontok bulu dibagi menjadi 6 kelompok berdasarkan waktu mulai terjadinya rontok bulu. Tujuannya adalah untuk memperoleh informasi yang lebih akurat mengenai pengaruh waktu mulai terjadinya rontok bulu pada produksi telur. Hasil pengamatan pengaruh waktu mulai terjadinya rontok bulu pada produksi telur ditampilkan pada Gambar 10.
90 80
Produksi telur (%)
70 60 50 40 30 20 10 0
< 60
61-120
121-180
181-240
241-300
301-336
AP (%)
68.06
52.36
67.05
62.99
61.01
71.13
PA (%)
66.65
61.39
60.21
63.07
72
79.47
Waktu mulai terjadinya rontok bulu (hari ke-)
Gambar 10 Produksi telur selama 48 minggu pada itik AP dan PA berdasarkan waktu mulai terjadinya rontok bulu yang berbeda.
Kelompok itik yang mengalami rontok bulu di awal (< hari ke-60) dan akhir periode produksi (> hari ke-301) masih memiliki produksi telur yang relatif tinggi, yaitu 68.06% dan 71.13% pada itik AP, sedangkan pada itik PA adalah 66.65% dan 79.47% (Gambar 10). Terdapat kecenderungan bahwa itik-itik yang mengalami rontok bulu pada awal atau akhir periode produksi cenderung memiliki produksi telur yang tinggi. Hal ini disebabkan kejadian rontok bulu tidak dalam masa puncak produksi. Sebaliknya, rontok bulu yang terjadi pada periode menuju puncak produksi, yaitu sekitar hari ke-61 sampai hari ke-240 menyebabkan rendahnya produksi telur pada itik AP maupun PA. Itik-itik yang mengalami rontok bulu pada periode menuju puncak produksi memiliki produksi
Comment [T6]: Judul belum menggambarkan produksi telur pada itik AP dan PA yang mengalami waktu mulai rontok bulu yang berbeda.
44 telur berkisar antara 52.36 sampai 67.05% pada itik AP dan 61.39 sampai 63.07% pada itik PA. Hasil pengamatan tersebut menunjukkan bahwa waktu mulai terjadinya rontok bulu berpengaruh pada produksi telur. Itik-itik yang mengalami rontok bulu pada awal dan akhir periode produksi memiliki produksi telur selama 48 minggu yang relatif tinggi baik pada itik AP maupun itik PA, namun itik-itik yang mengalami rontok bulu pada periode produksi terutama menjelang puncak produksi memiliki produksi yang relatif rendah. Meskipun waktu mulai terjadinya rontok bulu berpengaruh pada produksi telur itik, penentuan waktu mulai terjadinya rontok bulu sebagai kriteria seleksi untuk meningkatkan produksi telur memerlukan analisis korelasi antara dua peubah tersebut. Hasil analisis korelasi dan regresi kedua peubah tersebut pada itik AP dan PA tercantum pada Tabel 8. Tabel 8 Koefisien korelasi, persamaan regresi, dan koefisien determinasi antara waktu mulai terjadinya rontok bulu dengan produksi telur 48 minggu pada itik AP dan PA Peubah Itik AP Itik PA Korelasi 0.14 0.16 Persamaan regresi y = 58.6 + 0.03x y = 59.16 + 0.04x F hitung 0.36 (P = 0.55) 1.08 (P = 0.31) Koefisien determinasi (R2) 0.02 0.03 y =Nilai pendugaan untuk produksi telur, x = Waktu mulai terjadinya rontok bulu, n (AP) = 21 ekor, n (PA) = 45 ekor
Hasil analisis regresi korelasi tampak bahwa waktu mulai terjadinya rontok bulu dengan produksi telur berkorelasi rendah, yaitu 0.14 pada itik AP dan 0.16 pada itik PA. Begitu pula dengan persamaan regresinya untuk menduga produksi telur berdasarkan waktu rontok bulu tidak nyata (P>0.05) dengan nilai koefisien determinasi yang rendah pula, yaitu 0.02 dan 0.03 masing-masing pada itik AP dan PA. Berdasarkan hasil tersebut dapat disimpulkan bahwa waktu mulai terjadinya rontok bulu tidak dapat digunakan sebagai kriteria seleksi, karena berkorelasi sangat rendah dengan produksi telur sebagai tujuan utama seleksi. Peubah lain perlu dicari sebagai kriteria seleksi, yang dalam penelitian ini dianalisis lamanya berhenti bertelur.
45 Lamanya Berhenti Bertelur dan Produksi Telur Peubah waktu mulai terjadinya rontok bulu berpengaruh pada produksi telur, namun berkorelasi rendah dengan produksi telur sehingga tidak dapat digunakan sebagai kriteria seleksi untuk meningkatkan produksi telur. Oleh karena itu, peubah lain digunakan untuk mengetahui hubungan antara sifat rontok bulu dengan produksi telur, yaitu lamanya berhenti bertelur. Hasil pengamatan pada lamanya berhenti bertelur yang mengakibatkan rontok bulu dengan produksi telur selama 48 minggu tercantum pada Tabel 9. Tabel 9 Rataan ± S.E produksi telur itik AP dan PA selama 48 minggu berdasarkan lama berhenti bertelur yang berbeda Lamanya berhenti Produksi telur bertelur akibat rontok Itik AP (%) n Itik PA (%) (hari) (AP) < 30 68.49A ± 4,28 8 76.19a ± 6.73 A 31 – 60 68.13 ± 8,04 5 73.42a ± 3.44 B 61 – 90 52.16 ± 4,15 8 63.28b ± 5.72 91 – 120 52.71c ± 47.27 > 120 32.50d ± 18.74
n (PA) 11 16 7 3 8
Huruf kecil superskrip yang berbeda pada kolom yang sama menunjukkan perbedaan yang sangat nyata pada taraf P<0.01; huruf besar superskrip yang berbeda pada kolom yang sama menunjukkan perbedaan yang nyata pada taraf P<0.05, S.E=standar eror, n=jumlah ternak
Pengelompokan itik yang mengalami rontok bulu berdasarkan lamanya berhenti bertelur ternyata memberikan informasi yang lebih menarik daripada waktu mulai terjadinya rontok bulu. Pada Tabel 9 tampak bahwa lamanya berhenti bertelur akibat proses rontok bulu berpengaruh pada produksi telur.
Itik-itik
dengan lama berhenti bertelur selama kurang dari 60 hari masih berproduksi tinggi, yaitu 68.13% pada itik AP dan 73.42% pada itik PA. Hal ini menunjukkan bahwa itik-itik yang mengalami rontok bulu masih dapat dipertahankan, apabila lamanya berhenti bertelur tidak lebih dari 60 hari karena masih mampu berproduksi sekitar 70% sebagai patokan produksi tinggi jika dibandingkan ratarata produksi itik lokal yang masih berkisar antara 60 sampai 65% per tahun. Hasil pengamatan tersebut membentuk kelompok itik dengan lamanya berhenti bertelur yang pendek. Seleksi individu berdasarkan peubah waktu mulai terjadinya rontok bulu di awal (
hari ke-301) dan lamanya berhenti bertelur yang pendek kurang dari 60 hari akan membentuk kelompok itik
46 yang sudah mengalami rontok bulu tetapi memiliki produksi telur yang relatif tinggi. Tujuan seleksi ini adalah untuk pemilihan individu-individu yang akan dijadikan tetua untuk menghasilkan keturunan dengan periode rontok bulu yang pendek. Informasi ini harus dilengkapi dengan nilai korelasi antara lamanya berhenti bertelur dengan produksi telur karena tujuan utama usaha ternak itik adalah memperoleh produksi telur yang optimum. Hasil scatter plot antara lamanya berhenti bertelur akibat proses rontok bulu dengan produksi telur pada itik AP dan PA tersaji pada Gambar 11.
Gambar 11 Hubungan antara lamanya berhenti bertelur yang mengakibatkan rontok bulu dengan produksi telur pada itik AP dan PA. Distribusi tingkat produksi telur yang dibentuk antarpeubah lamanya berhenti bertelur dengan produksi telur cenderung linear sehingga bentuk persamaan regresinya adalah sederhana (Gambar 11). Hasil scatter plot ini diperkuat dengan pengamatan atas korelasi, pendugaan persamaan regresi, dan koefisien determinasi antara lamanya berhenti bertelur yang mengakibatkan rontok bulu dengan produksi telur 48 minggu pada itik AP dan PA, seperti tercantum pada Tabel 10.
47 Tabel 10 Koefisien korelasi, persamaan regresi, dan koefisien determinasi antara lamanya berhenti bertelur akibat rontok bulu dengan produksi telur selama 48 minggu pada itik AP dan PA Peubah Itik AP Itik PA Korelasi -0.553 -0.896 Persamaan regresi y = 80.7- 0.369x y = 84 – 0.299x F hitung 7.92 (P = 0.0115) 174.83 (P = 0.0001) Koefisien determinasi (R2) 0.306 0.803 y =Nilai pendugaan untuk produksi telur, x = lamanya berhenti bertelur akibat rontok bulu, n (AP) = 21 ekor, n (PA) = 45 ekor
Korelasi antara peubah lamanya berhenti bertelur karena rontok bulu dengan produksi telur memiliki nilai negatif tinggi. Hal ini berarti bahwa bertambahnya lama berhenti bertelur menyebabkan menurunnya produksi telur selama 48 minggu. Persamaan regresi yang diperoleh sangat nyata (P < 0.01). Hal ini berarti bahwa peubah bebas lamanya berhenti bertelur karena rontok bulu berhubungan erat dengan peubah produksi telur. Koefisien regresi ini sejalan dengan nilai korelasi, yaitu semakin pendek lamanya berhenti bertelur karena rontok akan menyebabkan produksi telur yang semakin tinggi, begitu pula sebaliknya. Koefisien determinasi (R2) relatif besar yang berarti bahwa produksi telur dalam penelitian ini dapat diduga dengan persamaan regresi tersebut terutama pada itik PA. Nilai pendugaan produksi telur berkaitan dengan lamanya berhenti bertelur karena rontok bulu. Pada itik PA dengan tingginya nilai R2 berarti persamaan regresi (Y=840.299X) dapat digunakan untuk pendugaan produksi telur menurut lamanya berhenti bertelur karena rontok bulu. Namun analisis ini masih berdasarkan sifat fenotipik, sedangkan untuk memperoleh respons seleksi yang akurat diperlukan informasi secara genetik. Oleh karena itu, penelitian perlu dilanjutkan untuk mengetahui korelasi genetik antara sifat produksi telur dengan lamanya berhenti bertelur, sekaligus menduga nilai heritabilitasnya.
Konsentrasi Hormon Prolaktin Proses berhenti bertelur yang berkaitan dengan rontok bulu menyebabkan perubahan fisiologis dengan melibatkan hormon reproduksi (Bell 2003). Salah satu hormon tersebut adalah prolaktin yang berperan dalam proses pembentukan
48 telur dan pertumbuhan bulu (Steven 1996). Oleh karena itu, dalam penelitian ini dilakukan pengukuran konsentrasi hormon prolaktin dengan dugaan bahwa konsentrasi hormon prolaktin berkaitan dengan produksi telur sehingga pengukuran konsentrasi hormon prolaktin terutama pada masa rontok bulu dapat digunakan sebagai salah satu kriteria seleksi, dengan pertimbangan bahwa pengukuran pada periode rontok bulu tidak akan membuat itik stress yang akhirnya mengganggu produksi telur itik tersebut. Hasil pengukuran hormon prolaktin pada populasi itik yang sedang mengalami periode rontok bulu, periode bertelur sebelum dan sesudah rontok bulu tercantum pada Tabel 11. Tabel 11 Konsentrasi hormon prolaktin itik sedang bertelur, rontok bulu dan bertelur kembali pada itik hasil persilangan PA dan AP Konsentrasi hormon prolaktin (ng/mL) Kondisi Itik AP (n=21 ekor) Itik PA (n=45 ekor) Bertelur sebelum rontok bulu 196.50aA ± 17.56 166.50aB ± 8.85 bA Rontok bulu 75.38 ± 11.84 79.18bA ± 4.98 aA Bertelur kembali setelah rontok bulu 174.20 ± 31.31 170.00aA ± 22.00 Huruf kecil superskrip berbeda (a, b) pada kolom yang sama menunjukkan berbeda sangat nyata (P < 0.01); Huruf besar superskrip berbeda (A, B) pada baris yang sama menunjukkan berbeda sangat nyata (P < 0.01)
Konsentrasi hormon prolaktin pada kondisi itik yang sedang mengalami rontok bulu nyata lebih rendah dibandingkan pada kondisi itik dalam periode bertelur, baik pada itik AP maupun PA. Hormon prolaktin PA pada kondisi rontok bulu adalah 79.18±4.98 yang nyata lebih rendah dibandingkan dengan pada kondisi bertelur sebelum dan sesudah rontok bulu, yaitu masing-masing 166.50±8.85 dan 170.00±22.00 ng/mL. Begitu pula pada itik AP, konsentrasi hormon prolaktin pada periode rontok bulu adalah 75.38±11.84 ng/mL yang nyata lebih rendah dibandingkan dengan pada periode bertelur baik sebelum dan sesudah rontok bulu, yaitu berturut-turut 196.50±17.56 dan 174.20±31.31 ng/mL. Hasil yang sama dijumpai pada kalkun betina, yaitu konsentrasi prolaktin pada periode bertelur lebih tinggi dibandingkan dengan pada periode molting atau tidak bertelur (Gulde et al. 2010). Hal ini mungkin berkaitan dengan peranan hormon prolaktin yang banyak diperlukan pada masa produksi telur sehingga konsentrasinya menjadi tinggi (Hazelwood 1983), sedangkan pada kondisi rontok
49 bulu, yaitu kondisi tidak terbentuknya telur, namun terjadi pertumbuhan bulu, maka konsentrasi hormon prolaktin menjadi rendah. Konsentrasi hormon prolaktin itik AP dan PA pada periode produksi sebelum rontok bulu berbeda sangat nyata, yaitu masing-masing adalah 166.50 ±8.85 dan 196.50 ±17.56 ng/mL, sedangkan pada periode rontok bulu dan periode bertelur setelah rontok bulu tidak berbeda nyata. Konsentrasi hormon prolaktin pada periode rontok bulu itik AP dan PA masing-masing adalah 79.18 ±4.98 dan 75.38 ±11.84 ng/mL, sedangkan pada periode bertelur setelah rontok bulu pada itik AP dan PA adalah 170.00 ±22.00 dan 174.20 ±31.31 ng/mL.
Produksi Telur Hormon prolaktin berpengaruh pada produksi telur, terutama pada saat proses pembentukan kerabang (Hazelwood 1983). Hasil pengamatan produksi telur itik AP dan PA tercantum pada Tabel 12. Tabel 12 Produksi telur itik AP dan PA selama 48 minggu pengamatan Periode produksi (minggu) 0-4 4-8 8-12 12-16 16-20 20-24 24-28 28-32 32-36 36-40 40-44 44-48 Rataan 0-48
Itik AP (butir) n = 83 ekor 25.53a ± 0.36 24.55a ± 0.57 23.86a ± 0.69 24.19a ± 0.61 22.16a ± 0.82 22.12a ± 0.69 22.30a ± 0.83 21.94a ± 0.84 21.96a ± 0.83 21.78a ± 0.88 20.71a ± 0.96 20.11a ± 1.24 256.66a ± 6.00
Itik PA (butir) n = 87 ekor 23.76b ± 0.54 23.36a ± 0.63 20.64b ± 0.88 20.54b ± 0.85 21.47a ± 0.76 20.23a ± 0.89 19.92b ± 0.84 21.00a ± 0.89 20.39a ± 0.99 20.10a ± 1.00 17.97a ± 1.04 15.67b ± 1.44 232.22b ± 6.64
Huruf superskrip berbeda (a, b) pada baris yang sama menunjukkan berbeda sangat nyata (P < 0.01)
Produksi telur itik AP sebelum rontok bulu, periode 0 sampai 16 minggu, sangat nyata lebih tinggi daripada itik PA, yaitu masing-masing adalah 25.53±0.36 vs 23.76±0.54
butir selama periode 0-4 minggu, 24.55±0.57 vs
23.36±0.63 butir selama periode 4-8 minggu, 23.86±0.69 vs 20.64±0.88 butir selama periode 8-12 minggu, dan 24.19±0.61 vs 20.54±0.85 butir selama periode
50 12-16 minggu. Hasil pengamatan produksi telur ini konsisten dengan kejadian rontok bulu dan hasil pengukuran konsentrasi hormon prolaktin. Rontok bulu pada itik AP dan PA mulai terjadi pada minggu ke-17 dan 18, sehingga dapat didefinisikan bahwa produksi telur sebelum rontok adalah periode awal produksi sampai 16 minggu. Produksi telur itik AP pada awal produksi sampai 16 minggu sangat nyata lebih tinggi daripada itik PA. Hasil ini konsisten dengan hasil pengukuran konsentrasi hormon prolaktin sebelum rontok bulu, yaitu itik AP (196.50±17.56 ng/mL) sangat nyata lebih tinggi
dibandingkan itik PA
(166.50±8.85 ng/mL). Hal ini terjadi karena itik dengan produksi telur lebih tinggi akan membutuhkan hormon prolaktin yang lebih banyak untuk proses pembentukan kerabang. Hasil penelitian ini, yaitu mengenai informasi keterkaitan hormon prolaktin dengan produksi telur sejalan dengan Wang et al. (2011) yang melakukan penelitian pada gen prolaktin dalam kaitannya dengan produksi telur itik lokal di China. Hasil penelitiannya menunjukkan bahwa gen prolaktin yang mengalami mutasi C-5961T sangat nyata berkaitan dengan produksi dan bobot telur. Pada itik dengan genotipe CC memiliki produksi telur dan bobot telur yang lebih tinggi dibandingkan dengan genotipe TC. Gen prolaktin juga mempengaruhi sifat-sifat reproduksi terutama fertilitas pada itik Tsaiya yaitu itik lokal China (Chang et al. 2012). Produksi telur itik AP dan PA pada periode 16 sampai 48 minggu tidak berbeda nyata. Hasil ini sejalan dengan hasil pengukuran hormon prolaktin yang tidak berbeda nyata pada periode bertelur kembali setelah rontok bulu. Produksi telur itik AP dan PA masing-masing adalah 22.16±0.82 vs 21.47±0.76 butir untuk periode 16-20 minggu, 22.12±0.69 vs 20.23±0.89 butir untuk periode 20-24 minggu, 22.30±0.83 vs 19.92±0.84 butir untuk periode 24-28 minggu, 21.94±0.84 vs 21.00±0.89 butir untuk periode 28-32 minggu, 21.96±0.83 vs 20.39±0.99 butir untuk periode 32-36 minggu, 21.78±0.88 vs 20.10±1.00 butir untuk periode 3640 minggu, 20.71±0.96 vs 17.97±1.04 butir untuk periode 40-44 minggu, dan 20.11±1.24 vs 15.67±1.44 butir untuk periode 44-48 minggu. Rataan produksi telur itik AP (256.66±6.00 butir) sangat nyata lebih tinggi dibandingkan dengan itik PA (232.22±6.64 butir) selama pengamatan sampai 48 minggu.
51 Hasil analisis pengaruh hormon prolaktin dan terjadinya rontok bulu pada produksi telur dijelaskan dengan Gambar 12. b
a
30
250
Produksi telur (butir)
25
200
20
150
15
100
10
50
5
0
0 4
8
12 16 20 24 28 32 36 40 44 48 Periode produksi (minggu) Itik PA
Itik AP
Periode produksi sebelum rontok
Periode rontok bulu
Hormon prolaktin PA
Periode produksi setelah rontok
Hormon prolaktin AP
Gambar 12 Trend produksi telur (a) dan konsentrasi hormon prolaktin (b) pada itik AP dan PA. Produksi telur itik AP lebih tinggi dibandingkan dengan itik PA. Begitu pula dengan hasil pengukuran hormon prolaktin pada itik AP lebih tinggi daripada itik PA (Gambar 12). Hal ini menunjukkan bahwa hormon prolaktin berperan dalam produksi telur, terutama dalam proses pembuatan kerabang telur (Hazelwood, 1983). Hal ini memperkuat dugaan bahwa terdapat hubungan yang kuat antara konsentrasi hormon prolaktin dengan produksi telur, yang harus dibuktikan melalui analisis korelasi dan regresi. Konsentrasi hormon prolaktin pada periode rontok bulu pada itik AP berkorelasi positif tinggi dengan produksi telur selama 48 minggu, yaitu 0.85, sedangkan pada itik PA konsentrasi hormon prolaktin bernilai rendah, yaitu -0.34, sehingga analisis berikutnya hanya dilakukan pada populasi itik AP untuk menduga persamaan regresi pada peubah konsentrasi hormon prolaktin dengan produksi telur 48 minggu tersebut. Hubungan atau korelasi antara hormon prolaktin pada periode rontok bulu dengan produksi telur 48 minggu ditentukan melalui analisis scatter plot. Hasil analisis tercantum pada Gambar 13.
52
120
Produksi telur (%)
100
Y = 24.45 + 0.48 X
80 60 40 20 0 0
50
100
150
200
Hormon prolaktin (ng/ml)
Gambar 13 Konsentrasi hormon prolaktin pada periode rontok bulu dengan produksi telur selama 48 minggu.
Hubungan antara hormon prolaktin pada periode rontok bulu dengan produksi telur selama 48 minggu adalah linear positif (Gambar 13). Hal ini diperkuat oleh nilai koefisien korelasi sebesar 0.85. Warwick et al. (1995) menyatakan bahwa nilai koefisien korelasi mendekati angka 1, maka dapat diduga hubungan tersebut adalah linear. Hasil ini menunjukkan bahwa pada itik AP semakin tinggi konsentrasi hormon prolaktin pada periode rontok bulu, maka diduga semakin tinggi pula produksi telurnya. Hal ini terjadi karena dalam produksi telur yang semakin tinggi, maka semakin tinggi pula hormon prolaktin yang diperlukan untuk proses pembuatan kerabang. Korelasi yang tinggi antara hormon prolaktin, yang diukur pada periode rontok bulu dengan produksi telur mendukung dugaan gen prolaktin sebagai pengontrol sifat rontok bulu yang berkaitan dengan produksi telur. Pada penelitian ini pengukuran kadar hormon prolaktin dalam periode rontok bulu belum dapat digunakan untuk menduga produksi telur 48 minggu karena belum diperoleh informasi mengenai konsentrasi prolaktin tertinggi yang menghambat pembentukan telur sehingga penelitian perlu dilanjutkan untuk memperoleh informasi tersebut. Hasil analisis regresi diperoleh persamaan : Y = 24.45 + 0.48 X. Nilai determinasi (R2) adalah 0.72 yang berarti bahwa hanya 72% persamaan tersebut
53 dapat menggambarkan keragaman antara peubah konsentrasi hormon prolaktin dan produksi telur. Hal ini dapat dipahami karena kerja hormon prolaktin yang akan menjadi negatif apabila telah mencapai konsentrasi tinggi tertentu sehingga pengambilan sampel dalam periode yang lebih pendek mungkin akan menghasilkan grafik dengan bentuk bukan linear.
Alternatif Cara Pengendalian Rontok Bulu secara Genetis Berdasarkan beberapa hasil di atas tampak bahwa terdapat keeratan hubungan yang relatif tinggi antara lama berhenti bertelur yang mengakibatkan rontok bulu dengan produksi telur. Oleh karena itu, kedua sifat tersebut dapat dimanfaatkan dalam upaya pengendalian sifat rontok bulu. Program persilangan dalam penelitian ini dievaluasi dengan menghitung nilai heterosis pada kedua sifat tersebut sebagai salah satu alternatif upaya membentuk kelompok itik dengan tingkat produksi tinggi dan sifat rontok bulu yang sudah terkendali. Lama berhenti bertelur yang mengakibatkan rontok bulu dan produksi telur dievaluasi pada 4 genotipe, yaitu itik AP, itik PA dan kedua tetuanya alabio dan peking. Hasil pengamatan kedua sifat pada 4 genotipe tersebut tercantum pada Tabel 13. Tabel 13 Lama berhenti bertelur dan produksi telur 30 minggu pada itik alabio, peking dan hasil persilangan resiprokalnya Peubah Alabio Peking AP PA (n = 25 ekor) (n = 25 ekor) (n = 83 ekor) (n = 87 ekor) Lama berhenti 42.44b ± 8.59 71.31a ± 9.36 43.63b ± 4.88 49.35b ± bertelur (hari) 4.85 Produksi telur 72.48b ± 3.24 56.41c ± 4.59 83.75a ± 1.39 76.12b ± (%) 1.68 Huruf superskrip berbeda pada baris yang sama menunjukkan perbedaan sangat nyata (P<0.01).
Lama berhenti bertelur yang mengakibatkan rontok bulu pada itik peking paling tinggi dibandingkan 3 genotipe lain, yaitu alabio, AP, dan PA. Padahal, itik peking di negara asalnya China atau pun di negara-negara Eropa yang mengembangkannya, mengalami rontok bulu setelah produksi 40 minggu (Cherry & Morris 2008). Di Indonesia itik peking mengalami lama berhenti bertelur yang panjang mungkin disebabkan oleh lingkungan yang tidak sama dengan lingkungan asalnya. Lama berhenti bertelur itik peking adalah 71.31±9.36 hari yang lebih lama dibandingkan itik alabio, AP, dan PA, yaitu masing-masing
54 42.44± 8.59, 43.63 ±4.88, dan 49.35±4.85 hari. Lama berhenti bertelur berdampak pada produksi telur. Lama berhenti bertelur dalam penelitian ini lebih pendek daripada hasil penelitian Purba (2005) yang memperoleh total lama berhenti bertelur 90.70±12.78 dan 96.90±11.98 hari masing-masing pada itik alabio dan mojosari. Produksi telur itik peking lebih rendah dibandingkan 3 genotipe lainnya, yaitu itik alabio, AP, dan PA, yaitu masing-masing 56.41±4.59 vs 72.48± 3.24 %, 83.75± 1.39%, dan 76.12±1.68%. Meskipun itik peking mengalami lama rontok bulu yang panjang dan produksi telur yang rendah, keturunannya mampu mengekspresikan potensi yang dimiliki oleh itik peking sebagai tetuanya. Itik AP sebagai keturunan dari induk itik peking memiliki lama berhenti bertelur relatif pendek dengan produksi telur yang paling tinggi. Penghitungan heterosis dilakukan dengan membandingkan antara hasil silangan dengan tetuanya. Pendugaan nilai heterosis lama berhenti bertelur dan produksi telur itik PA dan AP tercantum pada Tabel 14. Tabel 14 Nilai heterosis (%) lama berhenti bertelur yang mengakibatkan rontok bulu dan produksi telur 30 minggu itik AP dan PA Peubah Itik AP Itik PA Lama berhenti bertelur -23.29 -13.23 Produksi telur 30 minggu 29.96 18.12 Nilai heterosis lama berhenti bertelur yang mengakibatkan rontok bulu bernilai negatif pada kedua genotipe. Nilai heterosis yang negatif pada lamanya berhenti bertelur sangat diharapkan karena akan memperpendek lamanya berhenti bertelur. Selain itu, sifat lama berhenti bertelur berkorelasi negatif dengan produksi telur sehingga nilai heterosis yang negatif tinggi menunjukkan nilai heterosis yang baik. Nilai heterosis lama berhenti bertelur yang mengakibatkan rontok bulu pada itik AP lebih tinggi daripada itik PA, yaitu masing-masing 23.29 dan -13.23%. Hal ini berarti bahwa persilangan timbal balik antara itik alabio dengan peking akan menurunkan panjangnya berhenti bertelur yang mengakibatkan rontok bulu. Diharapkan dengan berhenti bertelur yang pendek, maka produksi telurnya menjadi tinggi. Nilai heterosis produksi telur pada itik AP lebih tinggi daripada itik PA,
55 yaitu masing-masing 29.96 dan 18.12%. Nilai heterosis ini relatif tinggi dibandingkan hasil Prasetyo dan Susanti (2000) yang memperoleh nilai heterosis produksi telur 11.69 pada persilangan mojosari jantan dan alabio betina, maupun persilangan alabio dengan tegal yang memperoleh nilai heterosis 7.4 % pada produksi telur selama 72 minggu (Hetzel 1983). Hasil ini menunjukkan bahwa persilangan timbal balik antara itik alabio dan peking dapat digunakan untuk meningkatkan produksi telur dengan sifat rontok bulu yang sudah terkendali. Nilai rataan lama berhenti bertelur dan produksi telur itik persilangan AP dan PA lebih baik daripada kedua tetuanya, yaitu Alabio dan Peking. Hal tersebut disebabkan oleh keragaman fenotipik sebagai akibat adanya keragaman genetik, keragaman lingkungan, dan interaksi genetik dengan lingkungan. Pada penelitian ini, keragaman lingkungan diasumsikan sama sehingga keragaman yang terjadi merupakan keragaman yang disebabkan oleh faktor genetik. Keragaman genetik disebabkan oleh aksi gen aditif dan nonaditif yang terdiri atas gen dominan dan gen epistasis. Perbedaan rataan yang tinggi
pada kedua peubah antara itik
persilangan (AP dan PA) dengan kedua tetuanya (alabio dan peking) menunjukkan adanya nilai heterosis, maka diduga sifat lamanya berhenti bertelur dan produksi telur tersebut dipengaruhi oleh aksi gen nonaditif, yaitu aksi gen dominan dan gen epistasis (Noor 2010). Hasil ini mendukung dugaan bahwa sifat rontok bulu dipengaruhi oleh gen dominan autosomal (Romanov et al. 2002). Nilai heterosis yang tinggi pada peubah lama berhenti bertelur dan produksi telur menunjukkan bahwa kedua peubah tersebut memiliki nilai heritabilitas rendah, karena pada umumnya nilai heterosis yang dikontrol oleh gen nonaditif berlawanan dengan nilai hertitabilitas yang dikontrol oleh gen aditif (Noor 2010). Nilai hertitabilitas yang rendah biasanya berhubungan dengan sifatsifat reproduksi yang terjadi pada sel kelamin dan pada unggas dikontrol oleh gen Z dan W dengan gamet ZZ untuk jantan dan ZW untuk betina. Nilai heterosis sifat lama berhenti bertelur dan produksi telur itik AP lebih tinggi daripada PA sehingga diduga di samping adanya pengaruh gen dominan, terdapat juga pengaruh gen terpaut kelamin pada kromosom W (maternal effect). Hal ini berbeda dari Dun et al. (1998) yang menduga sifat mengeram pada ayam dikontrol oleh gen terpaut kelamin pada kromosom Z. Pengaruh maternal yang
56 lebih tinggi pada kromosom W daripada Z dapat dipahami karena induk betina memiliki DNA mitokondria sebagai tambahan sumbangan material genetik yang diwariskan pada keturunannya di samping dari DNA inti. DNA mitokondria ini hanya diturunkan dari induk betina, karena hanya terdapat pada sel telur dan tidak ada pada sel sperma.
57 PEMBAHASAN UMUM
Salah satu pemicu rontok bulu adalah stress. Akibat dari stress tersebut akan menyebabkan meningkatnya konsentrasi hormon prolaktin dalam darah. Akibat dari tingginya konsentrasi hormon prolaktin menyebabkan 2 hal yang saling berkaitan yaitu berhenti bertelur dan rontok bulu. Berhenti bertelur yang terjadi karena tingginya konsentrasi hormon prolaktin akan menghambat sekresi FSH dan LH yang pada gilirannya tidak terjadi pembentukan telur atau berhenti bertelur. Selain itu, hormon prolaktin berperan dalam mengatur metabolisme lemak dalam saluran reproduksi. Pada kondisi stress itik hanya sedikit mengkonsumsi pakan, sehingga bobot badannya berkurang, termasuk menyusutnya jaringan otot dan jaringan lemak.
Hal ini
menyebabkan kurangnya suplai lemak ke hati sebagai salah satu depot lemak sehingga ukuran hati menjadi kecil seperti itik-itik dara yang belum bertelur. Penyusutan ukuran hati berdampak pada ovarium yang mengalami regress. Hal ini terjadi karena ovarium mendapat suplai lemak secara langsung dari hati untuk membentuk kuning telur. Metabolisme lemak dalam pembentukan telur diatur oleh hormon endokrin, salah satunya adalah hormon prolaktin. Penyusutan ovarium pada gilirannya menyebabkan tidak ada telur yang diproduksi atau berhenti bertelur.
Kadar hormon prolaktin yang tinggi, selanjutnya akan
merangsang pertumbuhan bulu-bulu baru. Ketika proses pertumbuhan bulu terjadi, maka kadar hormon prolaktin berangsur-angsur mengalami penurunan. Sehingga pada saat rontok bulu yaitu lepasnya bulu-bulu lama karena terdorong oleh pertumbuhan bulu-bulu baru, maka konsentrasi hormon prolaktin berada pada level yang paling rendah. Akibat dari rendahnya konsentrasi hormon prolaktin, selanjutnya akan merangsang sekresi hormon FSH dan LH, sehinga proses pembentukan telur akan dimulai kembali. Ketahanan terhadap stress setiap individu berbeda-beda yang berakibat bervariasinya kejadian rontok bulu pada masing-masing individu. Hal ini menunjukkan adanya variasi genetik, sehingga dapat disimpulkan bahwa sifat rontok bulu dikontrol oleh gen. Selain itu, hasil analisis regresi dan korelasi
58 menunjukkan bahwa semakin tinggi konsentrasi hormon prolaktin pada periode rontok bulu, maka diduga semakin tinggi pula produksi telurnya selama 48 minggu. Hal ini terjadi karena dalam produksi telur yang semakin tinggi, semakin tinggi pula hormon prolaktin yang diperlukan untuk proses pembuatan kerabang. Korelasi yang tinggi antara hormon prolaktin, yang diukur pada periode rontok bulu dengan produksi telur mendukung dugaan gen prolaktin sebagai pengontrol sifat rontok bulu yang berkaitan dengan produksi telur. Dalam penelitian ini belum diperoleh konsentrasi prolaktin tertinggi yang menghambat pembentukan telur, sehingga penelitian perlu dilanjutkan untuk memperoleh informasi tersebut melalui pengukuran hormon prolaktin per satuan waktu tertentu dalam kondisi mulai berhenti bertelur sebelum rontok bulu dan selama periode rontok bulu. Terjadi tidaknya rontok bulu bergantung pada daya tahan masing-masing individu terhadap stress sebagai pemicu terjadinya rontok bulu. Selama 48 minggu periode produksi, rontok bulu tidak selalu terjadi pada 180 ekor individu itik yang diamati. Pada itik AP hanya 23.33% (21/90 ekor) dan PA sekitar 50% (45/90 ekor) yang mengalami rontok bulu. Berdasarkan jumlah ternak yang mengalami rontok bulu pada populasi itik AP dan PA, maka diduga bahwa kejadian rontok bulu dipengaruhi oleh maternal effect (pengaruh induk). Pendugaan ini berdasarkan bahwa induk itik betina alabio sebagai pembawa rontok berpengaruh pada anaknya, yaitu PA yang mengalami rontok bulu lebih banyak dan lebih sering, sedangkan itik peking, sebagai induk betina dari itik AP, memiliki sifat rontok bulu lambat dan menghasilkan keturunan dengan sifat rontok bulu lambat juga. Hasil pengamatan ini belum lengkap sehingga perlu dibuktikan melalui penelitian lebih lanjut dengan melakukan persilangan backcross antara F1 jantan dengan Peking betina untuk menghasilkan populasi F2. Mayoritas itik-itik mengalami rontok bulu satu kali, meskipun pada itik PA ada yang mengalami sampai 3 kali. Kejadian rontok bulu
sangat nyata
mempengaruhi tingkat produksi telur selama 48 minggu, yaitu 86.48±1.28 vs 62.18±3.30% pada itik AP dan 83.15±1.67 vs 63.86±2.71% pada itik PA. Dapat diasumsikan bahwa berdasarkan muncul tidaknya rontok bulu, maka program seleksi dapat dilakukan sebagai salah satu upaya pengendalian sifat rontok bulu.
59 Pada kelompok itik yang mengalami rontok bulu, dengan rataan produksi telur 62.18±3.30 dan 63.86±2.71% masing-masing pada itik AP dan PA, masih memungkinkan untuk dilakukan seleksi karena variasi produksi telur yang relatif tinggi. Kriteria seleksi dapat ditentukan dengan mengevaluasi peubah-peubah yang berkaitan dengan sifat rontok bulu dan produksi telur. Pada penelitian ini dievaluasi peubah frekuensi terjadinya rontok bulu, waktu mulai terjadinya rontok bulu dan lamanya berhenti bertelur yang mengakibatkan rontok bulu. Peubah frekuensi rontok bulu tidak berpengaruh pada produksi telur sehingga peubah frekuensi rontok bulu tidak dapat digunakan sebagai kriteria seleksi untuk meningkatkan produksi telur. Waktu mulai terjadinya rontok bulu berpengaruh pada produksi telur. Itik-itik yang mengalami kejadian rontok bulu di awal (< hari ke-60) dan di akhir periode produksi (> hari ke-301) memiliki produksi telur yang relatif tinggi, yaitu 68.06 dan 71.13% pada itik AP, sedangkan pada itik PA adalah sebesar 66.65 dan 79.47%. Namun, peubah waktu mulai terjadinya rontok bulu berkorelasi rendah dengan produksi telur sehingga tidak dapat digunakan sebagai kriteria seleksi. Peubah lain, yaitu lamanya berhenti bertelur, diamati untuk mencari peubah rontok bulu yang berkaitan dengan produksi telur yang akan dijadikan sebagai kriteria seleksi dalam memilih individu-individu dengan potensi telur tinggi dan sifat rontok bulu yang sudah terkendali. Itik-itik dengan lamanya berhenti bertelur selama kurang dari 60 hari masih berproduksi tinggi, yaitu 68,13% pada itik AP dan 73,42% pada itik PA. Hal ini menunjukkan bahwa itik-itik yang mengalami rontok bulu masih dapat dipertahankan, apabila lamanya berhenti bertelur kurang dari 60 hari, karena masih mampu berproduksi sekitar 70% sebagai patokan produksi tinggi jika dibandingkan rata-rata produksi itik lokal yang masih berkisar antara 60 sampai 65% per tahun. Upaya pengendalian rontok bulu secara genetis dapat dilakukan dengan persilangan antara itik yang memiliki potensi sifat rontok bulu tinggi (alabio) dengan itik yang berpotensi rontok bulunya rendah (peking). Itik AP sebagai hasil persilangan itik alabio jantan dengan peking betina ternyata menunjukkan nilai heterosis yang relatif tinggi pada sifat lamanya berhenti bertelur yang mengakibatkan rontok bulu (-23.29%) dan produksi telur (29.96%). Oleh karena
60 itu, itik AP ini dapat digunakan sebagai inisiasi untuk pembentukan galur baru itik yang berproduksi telur tinggi dengan sifat rontok bulu yang sudah terkendali. Pembentukan galur baru dapat dilakukan dengan memanfaatkan keragaman lamanya berhenti bertelur dan produksi telur yang masih tinggi di dalam populasi itik AP. Hasil persilangan ini pun menunjukkan keunggulan itik Alabio yang mampu mengekspresikan tujuan dari penelitian ini yaitu mempelajari pola pewarisan sifat rontok bulu yang berkaitan dengan produksi telur. Keunggulan ini ditunjukkan dengan nilai heterosis yang relatif tinggi pada sifat lamanya berhenti bertelur dan produksi telur. Program pemuliaan yang dapat dilakukan adalah melalui seleksi dalam 2 tahap, yaitu (a) tahap I berdasarkan sifat kualitatif dengan kriteria muncul tidaknya rontok bulu pada periode produksi dan (b) tahap II melakukan seleksi pada kelompok itik yang sudah mengalami rontok bulu berdasarkan sifat kuantitatif, yaitu kriteria lamanya berhenti bertelur tidak lebih dari 60 hari dan waktu mulai terjadinya rontok bulu di awal (< hari ke-60) atau di akhir periode produksi (> hari ke-301). Kedua peubah tersebut terbukti berkaitan erat dengan produksi telur. Namun, analisis pendugaan parameter genetik seperti nilai heritabilitas dan korelasi genetik kedua peubah perlu dilakukan dalam menentukan kriteria seleksi dengan tujuan meningkatkan produksi telur. Seleksi hanya dilakukan pada individu-individu betina, sedangkan pejantan diperoleh dari keturunan betina-betina terseleksi. Generasi berikutnya dihasilkan melalui perkawinan inter se (jantan dan betina satu generasi) dengan harapan akan diperoleh galur baru dengan keragaman sifat yang rendah (<5%) sehingga dapat disebut galur baru yang “mantap” atau “stabil”. Pada gilirannya, galur-galur baru tersebut akan berperan sebagai bibit itik unggul untuk mendukung intensifikasi dan memenuhi permintaan yang tinggi terhadap itik petelur dan pedaging dapat segera terpenuhi.
61 SIMPULAN DAN SARAN Simpulan
1. Mekanisme rontok bulu selalu diawali dengan berhenti bertelur, rontok bulu, dan bertelur kembali. Secara genetis keterkaitan rontok bulu dengan produksi telur dipengaruhi oleh faktor maternal. Hal ini ditunjukkan oleh jumlah itik PA (hasil persilangan peking jantan dengan alabio betina) yang mengalami rontok bulu lebih banyak dibandingkan dengan itik AP (hasil persilangan alabio jantan dengan peking betina), yaitu 50.00 vs 23.33%. Kejadian rontok bulu membentuk dua kelompok itik, yaitu (a) itik yang belum rontok bulu sampai 48 minggu dan (b) itik yang mengalami rontok bulu. Produksi telur kelompok itik yang belum rontok sampai 48 minggu sangat nyata lebih tinggi jika dibandingkan dengan kelompok itik yang mengalami rontok bulu (P < 0.01), yaitu masing-masing 62.18 ±3.30 vs 86.48 ±1.28% pada itik AP dan 63.86 ±2.71 vs 83.15 ±1.67%. Peubah frekuensi rontok bulu dan waktu mulai terjadinya rontok bulu tidak berkorelasi dengan produksi telur 48 minggu. Peubah lamanya berhenti bertelur akibat proses rontok bulu memiliki korelasi yang tinggi dengan produksi telur 48 minggu sehingga peubah tersebut dapat digunakan sebagai kriteria seleksi untuk meningkatkan produksi telur. 2. Hasil pengukuran konsentrasi hormon prolaktin konsisten dengan waktu mulai terjadinya rontok bulu dan produksi telur. Konsentrasi hormon prolaktin itik AP dan PA pada periode bertelur sebelum dan setelah rontok sangat nyata lebih tinggi dibandingkan pada periode rontok bulu. Hasil ini mendukung dugaan bahwa gen prolaktin sebagai salah satu pengontrol sifat rontok bulu dan produksi telur. 3. Alternatif penanganan terhadap sifat rontok bulu adalah seleksi dengan kriteria muncul tidaknya sifat rontok bulu. Pada populasi itik yang mengalami rontok bulu, seleksi dapat dilakukan dengan kriteria seleksi lamanya berhenti bertelur kurang dari dari 60 hari, karena masih memiliki produksi telur relatif tinggi, yaitu sekitar 70%. Inisiasi pembentukan bibit itik unggul, yang berproduksi telur tinggi dengan sifat rontok bulu yang sudah terkendali, dapat
62 memanfaatkan hasil persilangan itik AP (alabio jantan dan peking betina), karena memiliki nilai heterosis yang relatif tinggi, yaitu 29.96 %.
Saran 1. Perlu dilakukan penelitian sampai generasi F-2 untuk memperoleh informasi yang lengkap mengenai pola pewarisan sifat rontok bulu dan memperoleh parameter genetik yang mempengaruhi sifat rontok bulu. 2. Perlu penelitian dari segi molekuler untuk mengidentifikasi dan membuktikan gen prolaktin sebagai salah satu gen yang mempengaruhi sifat rontok bulu.
63 DAFTAR PUSTAKA Alipanah M, Shojaian K, Bandani HK. 2011. The polymorphisms of prolactin gene in native chicken zabol region. J Anim Vet Adv 10(5):619-621. Andrews DK, Berry WD, Brake J. 1987. Effect of lighting program and nutrition on feather replacement of moulted Single Comb White Leghorn hens. Poult Sci 66:1635-1639. Bell DD. 2003. Historical and current molting practices in the U.S.A table egg industry. Poult Sci 82:965- 970. Bellairs R, Osmond M. 2005. The Atlas of Chick Development. Department of Anatomy and Developmental Biology. Elsevier, University College London, UK. Berry WD. 2003. The physiology of induced molting. Poult Sci 82:971-980. Bhattacharya TK et al. 2011. Polymorphisms in the prolactin promoter and its association with growth traits in chickens. Biochem Genet 49:385- 394. doi:10.1007/s10528-010-9415-3. Brake J, Thaxton P. 1979. Physiological changes in caged layers during a forced molt. 2. Gross changes in organs. Poult Sci 58:707-716. Campbell RR, Reinhard BS, Jerome FN. 1984. A ‘New’ allele of the mallard plumage pattern in ducks. Poult Sci 63: 19- 24. Chang MT, Cheng YS, Huang MC. 2012. Association of prolactin haplotypes with reproductive traits in Tsaiya ducks. Anim. Reprod. Sci. http://dx.doi.org/10.1016/j.anireprosci.2012.08.024. Cherry P, Morris T. 2008. Domestic Duck Production Science and Practice. London. United Kingdom. British Library. Clayton GA. 1984. Chapter 48 Common duck. Chapter 49 Muscovy duck. In: Mason IL (Eds). Evolution of Domesticated Animals. Longman Inc., New York. Crawford RD. 1993. Origin and history of poultry species. In: Crawford RD (Eds). Poultry Breeding and Genetics. Elsevier, Amsterdam. Cui JX et al. 2006. Association of polymorphisms in the promoter region of chicken prolactin with egg production. Poult Sci 85:26–31. Djojosoebagjo S. 1996. Fisiologi Kelenjar Endokrin. Universitas Indonesia Press. Jakarta.
64 Dunn IC et al. 1998. Genetic mapping of the chicken prolactin receptor gene: Acandidate gene for the control of broodiness. Br. Poult. Sci. 39:S23–24. Duncan IJH. 2001. Animal welfare issues in the poultry industry: Is there a lesson to be learned. J Appl Anim Welf Sci 4:207- 221. Ellis MR. 2004. Moulting – a Natural Process. Department of Primary Industries and Fisheries. Queensland Government, Australia. Falconer DS, Mackay TFC. 1996. Introduction to Quantitative Genetics. Fourth Edition. Longman, England. Glatz PC. 2001. Effect of feather cover on feed intake and production of aged laying hens. Asian-Aust J Anim Sci 14 (4):553- 558. Gulde VAL, Renema R, Bedecarrats GY. 2010. Use of dietary thyroxine as an alternate molting procedure in spent turkey breeders hens. Physiology, endocrinology and reproduction. Poult Sci 89:96- 107. Hardjosoworo PS. 1995. Peluang pemanfaatan potensi genetik dan prospek pengembangan unggas lokal. Prosiding Seminar Nasional Sains dan Teknologi Peternakan. Balai Penelitian Ternak. Bogor. hlm. 17-23. Hazelwood RL. 1983. Egg production in fowl. In: Riis PM (Eds). World Animal Sience a Basic Information. Dynamic Biochemistry of Animal Production. Elsevier, Amsterdam. p.389- 428. Herremans M, Verheyen G, Decuypere E. 1988. Effect of temperature during induced moulting on plumage renewal and subsequent production. Br Poult Sci 29:853- 861. Heryanto B, Yoshimura B, Tamur T. 1997. Cell proliferation in the process of oviducal tissue modeling during induced moulting in hens. Poult Sci 76: 1580- 1586. Hetzel DJS. 1983. The egg production of intensively managed Alabio and Tegal ducks and their reciprocal crosses. World Rev of Anim Prod 19(4):41- 46. Hetzel DJS. 1985. Duck breeding strategies – the Indonesian example. In: Farrel DJ and Stapleton P. (Eds). Duck Production Science and World Practice. University of New England: p.204- 223. Huang CW et al. 2009. Duck (Anas platyrhynchos) linkage mapping by AFLP fingerprinting. Gen Sel Evol 41:28. doi: 10.1186/1297-9686-41-28. Jaap RG. 1933. Inheritance of white spotting in ducks. Poult Sci 12: 233- 241. Kuenzel WJ. 2003. Neurobiology of molt in avian species. Poult Sci 82:981-991.
65
La
Bonde J. 1998. Feathers. The National Cockatiel http://www.cockatiels.org.articles/care/feathers.html.
Society.
Lancaster FM. 1993. Mutations and major variants in domestic ducks. In: Crawford RD (Eds). Poultry Breeding and Genetics. Elsevier, Amsterdam. p.381- 388. Lee K. 1982. Effects of forced moult period on post-moult performance of Leghorn hens. Poult Sci 61: 1594- 1598. Leeson S, Summer JD. 2000. Broiler Breeder Production. Guelph, Ontario, Canada. University Books. Marie-Etancelin C et al. 2008. Genetics and selection of mule ducks in France : a review. World’s Poult Sci Assoc 64:187- 208. Martojo H. 1992. Peningkatan Mutu Genetik Ternak. Bogor. PAU IPB. IPB Press. Matitaputty PP, Noor RR, Hardjosworo PS, Wijaya CH. 2011. Performa, persentase karkas dan nilai heterosis itik Alabio, Cihateup dan hasil persilangannya pada umur delapan minggu. JITV 16(2):90- 97. Mattjik AA, Sumertajaya M. 2000. Perancangan Percobaan dengan Aplikasi SAS dan MINITAB. Bogor. IPB PRESS. Mrosovsky N, Sherry D. 1980. Animal anorexias. Science 207:837-842. Noor RR. 2010. Genetika Ternak. Edisi VI. Jakarta. Penebar Swadaya. Ogilvie M, Pearson B. 1994. Wildfowl. London. Hamlyn. Park SY et al. 2004. Induced moulting issues and alternative dietary strategies for the egg industry in the United States. World’s Poult Sci J 60:196-209. Peczely P. 1992. Hormonal regulation of feather development and moult on the level of feather follicle. Ornis Scand 23: 346- 354. Pingel H. 1990. Genetics of egg production and reproduction in waterfowl. In: Crawford RD (Eds). Poultry Breeding and Genetics. Elsevier, Amsterdam. p.771- 780. Prasetyo LH, Susanti T. 1997. Persilangan timbal balik antara itik tegal dan mojosari: I. Awal pertumbuhan dan awal bertelur. JITV 2(3):152- 156. Prasetyo LH, Susanti T. 2000. Persilangan timbal balik antara itik alabio dan mojosari : periode awal bertelur. JITV 5(4):210- 214.
66 Purba M, Hardjosworo PS, Prasetyo LH, Ekastuti DR. 2005. Pola rontok bulu itik betina alabio dan mojosari serta hubungannya dengan kadar lemak darah (trigliserida), produksi dan kualitas telur. JITV 10(2): 96- 105. Qu L et al. 2009. Origin and domestication history of peking ducks determined through microsatellite and mitochondrial marker analysis. J Chin Life Sci 52(11):1030-1035. Romanov MN, Talbot RT, Wilson PW, Sharp PJ. 2002. Genetic control of incubation behavior in domestic hen. Poult Sci 81:928- 931. Rouvier R. 1999. Genetics and physiology of waterfowl. In: Proceeding 1st World Waterfowl Conference. December 1-4, 1999. Taichung, Taiwan, Republic of China: p.1-18. SAS. 2002. SAS/STAT Guide for Personal Computers. Ver.9.00. SAS Institute Inc. Cary, NC 27513, USA. Sartika T. 2005. Peningkatan mutu bibit ayam kampung melalui seleksi dan pengkajian penggunaan penanda genetik promotor prolaktin dalam MAS/Marker Assisted Selection untuk mempercepat proses seleksi [disertasi]. Bogor: Program Pascasarjana, Institut Pertanian Bogor. Sastrodihardjo S. 1996. Peranan hormon prolaktin ayam kampung terhadap sifat lama istirahat produksi telur. Laporan Penelitian. Balai Penelitian Ternak. Ciawi-Bogor. Setioko AR. 2005. Ranggas paksa (forced molting): upaya memproduktifkan kembali itik petelur. Wartazoa 15:119-127. Sherry D, Mrosovsky N, Hogan JA. 1980. Weight loss and anorexia during incubation in birds. J Comp Physiol Psychol 94:89-98. Spearman RIC. 1971. Integumentary System. In: Bell DJ, Freeman BM (Eds). Physiology and Biochemistry of the Domestic Fowl. Academic Press. London. New York. p.603- 619. Stevens L. 1996. Avian Biochemistry and Molecular Biology. Cambridge University Press. p. 46-60 & 100-114. Suryana, Noor RR, Hardjosworo PS, Prasetyo LH. 2010. The color pattern of Alabio duck (Anas platyrhynchos Borneo) in south Kalimantan. JITAA 35(2):83-89. Susanti T, Prasetyo LH. 2007a. Model regresi pertumbuhan dua generasi populasi terseleksi itik alabio. JITV 12(4):300- 305.
67 Susanti T, Prasetyo LH. 2007b. Panduan Karakterisasi Ternak Itik. Pusat Penelitian dan Pengembangan Peternakan. Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian. Departemen Pertanian. Bogor. Tabibzadeh C et al. 1995. Modulation of ovarian cytochrome P450 17Shydroxylase and cytochrome aromatase mRNA by prolactin in the domestic turkey. Biol Reprod 52:800-608. Tai C, Wang CT, Huang CC. 1999. Production System and Economic Characters in Waterfowl. Proceeding 1st World Waterfowl Conference. December 14, 1999. Taichung, Taiwan, Republic of China: 19-31. Wang C et al. 2011. Polymorphisms of the prolactin gene and its association with egg production traits in native Chinese ducks. South African J. of anim. sci. 41(1):63- 69. Warwick EJ, Maria AJ, Hardjosubroto W. 1995. Pemuliaan Ternak. Bulaksumur, Yogyakarta. Gadjah Mada University Press. Webster AB. 2000. Behaviour of White Leghorn hens after withdrawal of feed. Poult Sci 79:192- 200. Yanhendri. 2007. Penampilan reproduksi sapi persilangan F1 dan F2 Simental serta hubungannya dengan kadar hormon estrogen dan progesterone pada dataran tinggi Sumatera Barat. [tesis]. Bogor: Program Pascasarjana, Institut Pertanian Bogor.
68
69
Lampiran 1. Rataan bobot badan masa starter dan grower itik AP dan PA Umur (minggu) Itik AP Itik PA DOD 48.12a ± 0.46 42.57b ± 0.36 1 135.04a ± 2.71 122.48b ± 2.68 a 2 281.51 ± 4.62 250.40b ± 4.97 a 3 538.24 ± 9.67 507.72b ± 11.32 a 4 813.61 ± 12.54 774.55b ± 15.16 a 5 1099.75 ± 16.04 1058.32a ± 17.78 6 1413.87a ± 16.30 1367.52a ± 21.41 a 7 1672.94 ± 19.08 1655.15a ± 23.47 a 8 1882.61 ± 20.82 1911.70a ± 23.26 a PBB (0-8) 1834.49 ± 20.84 1869.14a ± 23.13 10 12 14 16 PBB (0-16)
2108.98a ± 24.80 2172.03b ± 27.46 2209.83b ± 28.36 2251.49b ± 38.33 2203.46b ± 38.38
2166.50a ± 21.87 2261.00a ± 23.01 2314.60a ± 22.99 2344.70a ± 22.40 2302.14a ± 22.33
Huruf superskrip yang berbeda pada baris yang sama menunjukkan perbedaan sangat nyata (P < 0.01), PBB= Pertambahan Bobot Badan
Lampiran 2. Sidik ragam konsumsi dan konversi masa starter itik AP dan PA. Variabel: konsumsi starter Sumber keragaman Derajat bebas Jumlah kuadrat Kuadrat Tengah Nilai F Pr > F Genotipa 1 3424816.72 3424816.72 2.19 0.1559 Galat 18 28107022.95 1561501.27 Total 19 31531839.67
Variabel: konversi starter Sumber keragaman Derajat bebas Jumlah kuadrat Kuadrat Tengah Nilai F Pr > F Genotipa 1 0.75016747 0.75016747 1.76 0.2009 Galat 18 7.66145253 0.42563625 Total 19 8.41162000 Uji Duncan untuk konsumsi starter Duncan Grouping Rataan N genotipa A 8804.8 11 AP A 7973.1 9 PA Uji Duncan untuk konversi starter Duncan Grouping Rataan N genotipa A 4.6982 11 AP A 4.3089 9 PA
70
Lampiran 3. Sidik ragam konsumsi dan konversi masa grower itik AP dan PA. Variabel: konsumsi grower Sumber keragaman Derajat bebas Jumlah kuadrat Kuadrat Tengah Nilai F Pr > F Genotipa 1 9698015.0 9698015.0 0.79 0.3875 Galat 16 196654098.3 12290881.1 Total 17 206352113.3 Variabel: konversi grower Sumber keragaman Derajat bebas Jumlah kuadrat Kuadrat Tengah Nilai F Pr > F Genotipa 1 3.87921361 3.87921361 1.57 0.2278 Galat 16 39.46509750 2.46656859 Total 17 43.34431111 Uji Duncan untuk konsumsi grower Duncan Grouping Rataan N genotipa A 21577 8 AP A 20100 10 PA Uji Duncan untuk konversi grower Duncan Grouping Rataan N genotipa A 9.7413 8 AP A 8.8070 10 PA
Lampiran 4. Sidik ragam kualitas telur pertama itik AP dan PA Variabel: Bobot Telur Sumber keragaman Derajat bebas Jumlah kuadrat Kuadrat Tengah Nilai F Pr > F Genotipa 1 0.15254 0.15254 0.00 0.9638 Galat 178 13133.56505 73.78407 Total 179 13133.71759 Variabel: Bobot Kerabang Basah Sumber keragaman Derajat bebas Jumlah kuadrat Kuadrat Tengah Nilai F Pr > F Genotipa 1 5.3148050 5.3148050 6.36 0.0125 Galat 178 148.6854278 0.8353114 Total 179 154.0002328
Variabel: Bobot Kerabang Kering Sumber keragaman Derajat bebas Jumlah kuadrat Kuadrat Tengah Nilai F Pr > F Genotipa 1 4.0440022 4.0440022 6.98 0.0090 Galat 178 103.0934756 0.5791768 Total 179 107.1374778 Uji Duncan untuk Bobot Telur Duncan Grouping Rataan N genotipa A 62.639 90 PA A 62.581 90 AP
71
Uji Duncan untuk Bobot Kerabang Basah Duncan Grouping Rataan N genotipa A 7.8662 90 AP B 7.5226 90 PA Uji Duncan untuk Bobot Kerabang Kering Duncan Grouping Rataan N genotipa A 6.5738 90 AP B 6.2740 90 PA
Variabel: Bobot Kuning Telur Sumber keragaman Derajat bebas Jumlah kuadrat Kuadrat Tengah Nilai F Pr > F Genotipa 1 27.526200 27.526200 1.92 0.1673 Galat 177 2533.406647 14.313032 Total 178 2560.932847 Variabel: Bobot Putih Telur Sumber keragaman Derajat bebas Jumlah kuadrat Kuadrat Tengah Nilai F Pr > F Genotipa 1 36.388194 36.388194 1.79 0.1832 Galat 177 3607.092279 20.379052 Total 178 3643.480474 Uji Duncan untuk Bobot Kuning Telur Duncan Grouping Rataan N genotipa A 17.8572 89 AP A 17.0729 90 PA Uji Duncan untuk Bobot Putih Telur Duncan Grouping Rataan N genotipa A 38.0434 90 PA A 37.1417 89 AP Lampiran 5. Sidik ragam waktu mulai terjadinya rontok bulu itik AP dan PA Variabel: waktu mulai terjadinya rontok Sumber keragaman Derajat bebas Jumlah kuadrat Kuadrat Tengah Nilai F Pr > F Genotipa 1 501.3703 501.3703 0.08 0.7762 Galat 64 393822.3873 6153.4748 Total 65 394323.7576 Uji Duncan untuk waktu mulai terjadinya rontok bulu Duncan Grouping Rataan N genotipa A 135.10 21 AP A 129.18 45 PA Lampiran 6. Sidik ragam lamanya berhenti bertelur itik AP dan PA Variabel: Lama Berhenti Bertelur Sumber keragaman Derajat bebas Jumlah kuadrat Kuadrat Tengah Nilai F Pr > F Genotipa 1 5975.3571 5975.3571 2.72 0.1042 64 140769.1429 2199.5179 Galat Total 65 146744.5000
72
Uji Duncan untuk Lamanya Berhenti Bertelur Duncan Grouping Rataan N genotipa A 69.00 45 PA A 48.57 21 AP Lampiran 7. Sidik ragam produksi telur itik AP yang rontok dan tidak rontok Variabel: produksi AP Sumber keragaman Derajat bebas Jumlah kuadrat Kuadrat Tengah Nilai F Pr > F Kondisi 1 9266.55066 9266.55066 69.82 <.0001 Galat 81 10750.46162 132.72175 Total 82 20017.01227 Uji Duncan untuk produksi telur itik AP Duncan Grouping Rataan N Kondisi A 86.484 62 Tidak rontok B 62.180 21 Rontok Lampiran 8. Sidik ragam produksi telur itik PA yang rontok dan tidak rontok Variabel: produksi PA Sumber keragaman Derajat bebas Jumlah kuadrat Kuadrat Tengah Nilai F Pr > F Kondisi 1 8082.16418 8082.16418 35.52 <.0001 Galat 85 19342.16602 227.55489 Total 86 27424.33020 Uji Duncan produksi telur itik PA Duncan Grouping Rataan N kondisi A 83.150 42 tidak rontok B 63.862 45 rontok Lampiran 9. Sidik ragam produksi telur 48 minggu itik AP berdasarkan frekuensi rontok bulu yang berbeda Variabel: produksi telur AP Sumber keragaman Derajat bebas Jumlah kuadrat Kuadrat Tengah Nilai F Pr > F Frekuensi rontok 1 51.865917 51.865917 0.22 0.6463 Galat 19 4533.123378 238.585441 Total 20 4584.989295 Uji Duncan untuk produksi telur itik AP Duncan Grouping Rataan N frekuensi rontok A 62.821 18 satu kali A 58.330 3 dua kali Lampiran 10. Sidik ragam produksi telur 48 minggu itik PA berdasarkan frekuensi rontok bulu yang berbeda Variabel: produksi telur PA Sumber keragaman Derajat bebas Jumlah kuadrat Kuadrat Tengah Nilai F Pr > F Frekuensi rontok 2 404.98473 202.49236 0.60 0.5520 Galat 42 14109.70579 335.94538 Total 44 14514.69052
73
Uji Duncan produksi telur itik PA Duncan Grouping Rataan N frekuensi rontok bulu A 64.804 13 Dua kali A 64.797 28 Satu kali A 63.510 4 Tiga kali
Lampiran 11. Sidik ragam produksi telur itik AP berdasarkan lamanya berhenti bertelur yang berbeda Variabel: produksi AP Sumber keragaman Derajat bebas Jumlah kuadrat Kuadrat Tengah Nilai F Pr > F LBB 2 1298.722228 649.361114 3.56 0.0499 Galat 18 3286.267068 182.570393 Total 20 4584.989295 Uji Duncan untuk produksi telur itik AP Duncan Grouping Rataan N Lamanya Berhenti Bertelur A 68.485 8 < 30 hari A 68.128 5 31 – 60 hari B 52.156 8 61 – 90 hari Lampiran 12. Sidik ragam produksi telur itik PA berdasarkan lamanya berhenti bertelur yang berbeda Variabel: produksi telur PA Sumber keragaman Derajat bebas Jumlah kuadrat Kuadrat Tengah Nilai F Pr > F LBB 4 11375.98466 2843.99617 36.24 <.0001 Galat 40 3138.70586 78.46765 Total 44 14514.69052 Uji Duncan produksi telur itik PA Duncan Grouping Rataan N Lamanya Berhenti Bertelur A 76.189 11 < 30 hari A 73.416 16 31 – 60 hari B 63.276 7 61 – 90 hari C 52.710 3 91 – 120 hari D 32.500 8 > 120 hari Lampiran 13. Sidik ragam konsentrasi hormon prolaktin sedang bertelur dan rontok bulu pada itik AP Variabel: hormon AP Sumber keragaman Derajat bebas Jumlah kuadrat Kuadrat Tengah Nilai F Pr > F Kondisi 2 51181.26618 25590.63309 11.50 0.0011 Galat 14 31153.67500 2225.26250 Total 16 82334.94118
Uji Duncan untuk konsentrasi hormon prolaktin pada itik AP Duncan Grouping Rataan N kondisi A 196.50 4 produksi telur sebelum rontok A 174.20 5 bertelur kembali setelah rontok B 75.38 8 rontok
74
Lampiran 14. Sidik ragam konsentrasi hormon prolaktin sedang bertelur dan rontok bulu pada itik PA Variabel: hormon PA Sumber keragaman Derajat bebas Jumlah kuadrat Kuadrat Tengah Nilai F Pr > F Kondisi 2 39467.91364 19733.95682 25.14 <.0001 Galat 17 13346.63636 785.09626 Total 19 52814.55000 Uji Duncan untuk konsentrasi hormon prolaktin pada itik AP Duncan Grouping Rataan N kondisi A 170.00 5 bertelur kembali setelah rontok A 166.50 4 produksi telur sebelum rontok B 79.18 11 Rontok
Lampiran 15. Sidik ragam produksi telur itik AP dan PA selama 48 minggu Variabel: Produksi bulan ke-1 Sumber keragaman Derajat bebas Jumlah kuadrat Kuadrat Tengah Nilai F Pr > F Genotipa 1 133.300149 133.300149 7.34 0.0074 Galat 168 3050.605733 18.158367 Total 169 3183.905882 Variabel: Produksi bulan ke-2 Sumber keragaman Derajat bebas Jumlah kuadrat Kuadrat Tengah Nilai F Pr > F Genotipa 1 60.951718 60.951718 1.96 0.1635 Galat 168 5228.460047 31.121786 Total 169 5289.411765 Variabel: Produksi bulan ke-3 Sumber keragaman Derajat bebas Jumlah kuadrat Kuadrat Tengah Nilai F Pr > F Genotipa 1 438.157387 438.157387 8.18 0.0048 Galat 168 8996.219083 53.548923 Total 169 9434.376471 Variabel: Produksi bulan ke-4 Sumber keragaman Derajat bebas Jumlah kuadrat Kuadrat Tengah Nilai F Pr > F Genotipa 1 566.681024 566.681024 12.10 0.0006 Galat 168 7868.524858 46.836457 Total 169 8435.205882 Variabel: Produksi bulan ke-5 Sumber keragaman Derajat bebas Jumlah kuadrat Kuadrat Tengah Nilai F Pr > F Genotipa 1 19.952101 19.952101 0.38 0.5394 Galat 168 8864.642016 52.765726 Total 169 8884.594118 Variabel: Total produksi telur 0-48 minggu Sumber keragaman Derajat bebas Jumlah kuadrat Kuadrat Tengah Nilai F Pr > F Genotipa 1 25380.6187 25380.6187 7.42 0.0071 168 575005.4048 3422.6512 Galat Total 169 600386.0235
75
Uji Duncan untuk Produksi bulan ke-1 Duncan Grouping Rataan N Genotipa A 25.5301 83 AP B 23.7586 87 PA Uji Duncan untuk Produksi bulan ke-2 Duncan Grouping Rataan N Genotipa A 24.5542 83 AP A 23.3563 87 PA Uji Duncan untuk Produksi bulan ke-3 Duncan Grouping Rataan N Genotipa A 23.855 83 AP B 20.644 87 PA Uji Duncan untuk Produksi bulan ke-4 Duncan Grouping Rataan N Genotipa A 24.193 83 AP B 20.540 87 PA Uji Duncan untuk produksi bulan ke-5 Duncan Grouping Rataan N genotipa A 22.157 83 AP A 21.471 87 PA Uji Duncan untuk total produksi 0-48 minggu Duncan Grouping Rataan N genotipa A 256.663 83 AP B 232.218 87 PA Variabel: Produksi bulan ke-6 Sumber keragaman Derajat bebas Jumlah kuadrat Kuadrat Tengah Nilai F Pr > F Genotipa 1 150.542373 150.542373 2.80 0.0959 Galat 167 8968.144018 53.701461 Total 168 9118.686391 Variabel: Produksi bulan ke-7 Sumber keragaman Derajat bebas Jumlah kuadrat Kuadrat Tengah Nilai F Pr > F Genotipa 1 239.76853 239.76853 4.09 0.0448 Galat 167 9799.90011 58.68204 Total 168 10039.66864 Variabel: Produksi bulan ke-8 Sumber keragaman Derajat bebas Jumlah kuadrat Kuadrat Tengah Nilai F Pr > F Genotipa 1 37.30120 37.30120 0.58 0.4455 Galat 167 10650.69880 63.77664 Total 168 10688.00000 Uji Duncan untuk Produksi bulan ke-6 Duncan Grouping Rataan N genotipa A 22.120 83 AP A 20.233 86 PA
76
Uji Duncan untuk Produksi bulan ke-7 Duncan Grouping Rataan N genotipa A 22.301 83 AP B 19.919 86 PA Uji Duncan untuk Produksi bulan ke-8 Duncan Grouping Rataan N genotipa A 21.940 83 AP A 21.000 86 PA Variabel: Produksi bulan ke-9 Sumber keragaman Derajat bebas Jumlah kuadrat Kuadrat Tengah Nilai F Pr > F Genotipa 1 101.65722 101.65722 1.46 0.2285 Galat 163 11342.92460 69.58849 Total 164 11444.58182 Uji Duncan untuk Produksi bulan ke-9 Duncan Grouping Rataan N genotipa A 21.963 81 AP A 20.393 84 PA Variabel: Produksi bulan ke-10 Sumber keragaman Derajat bebas Jumlah kuadrat Kuadrat Tengah Nilai F Pr > F Genotipa 1 109.78773 109.78773 1.57 0.2121 Galat 154 10768.43663 69.92491 Total 155 10878.22436 Uji Duncan untuk Produksi bulan ke-10 Duncan Grouping Rataan N genotipa A 21.779 77 AP A 20.101 79 PA Variabel: Produksi bulan ke-11 Sumber keragaman Derajat bebas Jumlah kuadrat Kuadrat Tengah Nilai F Pr > F Genotipa 1 266.86843 266.86843 3.75 0.0548 Galat 140 9964.23016 71.17307 Total 141 10231.09859 Uji Duncan untuk produksi bulan ke-11 Duncan Grouping Rataan N genotipa A 20.714 70 AP A 17.972 72 PA Variabel: Produksi bulan ke-12 Sumber keragaman Derajat bebas Jumlah kuadrat Kuadrat Tengah Nilai F Pr > F Genotipa 1 472.222222 472.222222 5.33 0.0232 Galat 94 8329.777778 88.614657 Total 95 8802.000000 Uji Duncan untuk produksi bulan ke-12 Duncan Grouping Rataan N genotipa A 20.111 45 AP B 15.667 51 PA
77
Lampiran 16. Sidik ragam lama berhenti bertelur itik Alabio, Peking, AP dan PA Variabel: Lama berhenti bertelur Sumber keragaman Derajat bebas Jumlah kuadrat Kuadrat Tengah Nilai F Pr > F Populasi 3 9046.42496 3015.47499 3.04 0.0333 Galat 89 88399.40300 993.25172 Total 92 97445.82796 Uji Duncan untuk lamanya berhenti bertelur Duncan Grouping Rataan N Populasi A 71.313 16 Peking B 49.350 40 PA B 43.632 19 AP B 42.444 18 Alabio Lampiran 17. Sidik ragam produksi telur itik Alabio, Peking, AP dan PA Variabel: Produksi telur Sumber keragaman Derajat bebas Populasi 3 Galat 208 Total 211
Jumlah kuadrat Kuadrat Tengah Nilai F Pr > F 11559.41007 3853.13669 17.31 <.0001 46287.86399 222.53781 57847.27406
Uji Duncan untuk produksi telur Duncan Grouping Rataan N populasi A 83.747 83 AP B 76.122 87 PA B 72.476 25 Alabio C 56.414 17 Peking